Anda di halaman 1dari 4

KI HADJAR DEWANTARA DAN KEWARTAWANAN Oleh: Tikha Novita Sari Ki Hadjar Dewantara adalah pendorong dan pemimpin bangsa

Indonesia yang oleh Tuhan diberi karunia untuk memimpin bangsanya. Kalau dulu tak ada seorang yang bernama Soewardi Soerjaningrat yang kemudian menjadi Ki Hadjar Dewantara, keadaan pergerakan kebangsaan Indonesia tak akan cemerlang seperti yang kita alami [Bung Karno] Berbicara tentang organisasi pers di Indonesia sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia sendiri. Hal ini dikarenakan tokoh-tokoh penggerak pers sebenarnya merupakan tokoh pergerakan yang aktif di berbagai organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, Partai Nasional Indonesia dan sebagainya. Sesungguhnya, wartawan itu tidaklah dilahirkan, tetapi diciptakan. Jurnalisme adalah perpaduan antara seni dan ilmu. Itulah sebabnya, mengandalkan bakat saja tidaklah cukup untuk dijadikan modal sebagai wartawan. Terlebih lagi untuk menjadi seorang wartawan yang baik. Maka orang yang mempunyai bakat dan ditambah dengan teori, akan mencapai prestasi yang lebih baik daripada orang yang hanya mengalami praktek saja. Jadi, bakat dan teori harus bergandengan tangan. Bakat itu baru tampak, kalau seseorang melakukan praktek. Barulah bisa dikatakan apakah ia mempunyai bakat atau tidak. Karena itu, untuk mengembangkan pers yang sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat, yakni pers yang menyajikan berita sebagai informasi dan sebagai komunikasi secara lebih lengkap, dalam, aktual, dan jelas, tetap berlaku kualifikasi wartawan di mana pun. Kualifikasi itu adalah kepekaan terhadap masalah manusia, pikiran yang kritis, terus mencari dan menggugat, hati yang hangat, gelisah, semangat kerja keras tidak setengahsetengah. Kualifikasi ini tetap merupakan persyaratan pokok. Tanpa kualifikasi itu, wartawan tidak bisa berkembang secara optimal. Memang harus diakui bahwa pada umumnya wartawan menjadi besar dan ternama karena mahirnya ia menggunakan apa yang selalu kita sebut panca indera keenam, yang tidak bisa diperoleh atau diketemukan pada mata kuliah di perguruan tinggi manapun. Ia menggunakan matanya lebih intensif dibanding orang-orang biasa. Ia memasang telinganya bagaikan hendak membuka tabir rahasia dari bisikan-bisikan halus. Ia dapat merasa apa yang orang lain tidak rasakan. Selebihnya, ia diberikan kesempatan setiap saat guna memperkaya diri dengan pengetahuan kehidupan secara lebih menyeluruh.

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat nama asli dari Ki Hadjar Dewantara. Seorang tokoh pendidikan Nasional dan sejak tahun 1911 sudah aktif di dunia jurnalistik. Beliau menulis dan memimpin beberapa surat kabar anatara lain: Sedya Tama berbahasa Jawa di Yogyakarta; Middle Java berbahasa Belanda di Yogyakarta; De Express berbahasa Belanda di Bandung; Kaum Muda di Bandung; Oetoesan Hindia di Surabaya; dan Tjahaya Timur di Malang (Ki Sunarno, Ki Sutikno, 2011: 7). Kembalinya Ki Hadjar Dewantara ke Yogyakarta pada tahun 1911 dan bekerja sebagai pembantu apoteker serta mulai giat menulis artikel dalam surat kabar, beliau kemudian dipanggil ke Bandung oleh Douwes Dekker, teman sekolahnya dulu di STOVIA untuk ikut mengasuh surat kabar De Ekspress berbahasa Belanda. Beliau juga menjadi pembantu surat kabar Middler Java di Bandung sebagai anggota redaksi. Lalu diminta pula untuk membantu surat kabar Oetoesan Hindia di Surabaya (Najamuddin, 2005: 83-84). Pada tahun 1913, Cipto Mangunkusumo bersama Ki Hadjar Dewantara mendirikan Komite Bumi Putra yang bertujuan menampung isi hati rakyat mengenai protes akan diadakannya peringatan hari kemerdekaan Kerajaan Belanda. Komite tersebut mengeluarkan brosur yang berjudul Seandainya Aku Orang Belanda (judul asli: Als ik eens Nederlander was) yang dikarang oleh Ki Hadjar. Cipto Mangunkusumo juga mengarang artikel dengan judul Kekuatan atau Ketakukan. Kemudian Douwes Dekker juga membuat artikel dengan judul Pahlawan Kita Cipto Mangunkusumo dan Soewardi Suryaningrat (Najamuddin, 2005: 84). Akibat artikel itu, ketiga pemimpin tersebut ditangkap oleh Belanda karena dianggap merongrong kebijaksanaan pemerintah. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan bahwa ketiga pemimpin tersebut dikenakan hukuman buang. Ki Hajar dibuang ke Bangka, Cipto Mangunkusumo ke Bandanaire, Douwes Dekker dibuang ke Timor Kupang (Najamuddin, 2005: 85). Sewaktu di Negeri Belanda, Ki Hadjar Dewantara menggunakan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk belajar di bidang pendidikan dan pengajaran serta ilmu Jurnalistik. Berkat bantuan dari Indiche Vereninging, sebuah perkumpulan mahasiswa yang dipimpin Ki Hajar Dewantara sendiri sebagai ketuanya, beliau mengadakan ceramah-ceramah tentang pentingnya kesadaran terhadap perjuangan bangsa Indonesia (Najamuddin, 2005: 85). Selama di Negeri Belanda, Ki Hadjar masih sempat menulis artikel yang dikirim ke surat kabar Oetoesan Hindia yang dipimpin oleh Cokroaminoto. Ketiga pemimpin yang dibuang tersebut, Cipto Mangunkusumo diizinkan pulang pada tahun 1914, Douwes Dekker pada tahun 1917, dan Soewardi Suryaningrat pada tahun 1919 (Najamuddian, 2005: 86).

Sepulang dari pembuangan, Ki Hadjar Dewantara kembali memimpin majalah De Beweging; Persatuan Hindia; De Express; dan Panggugah di Semarang. Namun, pada bulan Agustus 1920 Ki Hadjar terjebak ranjau pers sebagai wartawan Indonesia yang pertama dan kemudian beliau dijatuhi hukuman selama 3 bulan (Ki Sunarno, Ki Sutikno, 2011: 8). Setelah bebas dari hukuman, Ki Hadjar Dewantara merasa yakin pendidikan adalah satu-satunya cara dan langkah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Akhirnya ia memilih untuk mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan sebagai salah satu bentuk perjuangan meraih kemerdekaan. Semula ia menjadi guru di Adhi Darma, sekolah yang didirikan kakaknya, Raden Mas Soeryopranoto. Bersama rekan-rekan seperjuangannya, Ki Hadjar kemudian mendirikan National Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Selama memimpin Tamansiswa beliau memimpin majalah Wasita dan Pusara. Tamansiswa merupakan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang menekankan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta semangat berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Perjuangan Ki Hadjar Dewantara tak hanya melalui Tamansiswa, sebagai penulis, Ki Hadjar Dewantara tetap produktif menulis untuk berbagai surat kabar. Hanya saja kali ini tulisannya tidak bernuansa politik, namun beralih ke bidang pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan Tamansiswa mengacu pada konsep metode Among dan konsep Tri Sentra Pendidikan seperti yang diajarkan Ki Hadjar, yaitu keluarga, sekolah (perguruan) dan masyarakat, maka budi pekerti sebaiknya dilakukan dalam keluarga, sekolah maupun di tengah-tengah masyarakat secara koordinatif. Dengan metode among, guru sebagai pamong, pendidik yang harus ngemong, membimbing dan mendampingi anak didiknya, agar mereka sendiri yang belajar untuk menyerap pengetahuannya. Sebagai pahlawan pendidikan yang akrab disebut sebagai bapak pendidikan, di usia nya yang genap 40 tahun, Ki Hadjar Dewantara mencabut gelar kebangsawanannya dan mengganti nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hadjar Dewantara. Hal ini dimaksudkan agar beliau dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hati. Pada masa pendudukan Jepang, Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai salah satu pimpinan pada organisasi Putera bersama-sama dengan Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Di masa kemerdekaan Ki Hadjar Dewantara dingkat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Perjuangan Ki Hadjar Dewantara terhadap pendidikan Indonesia membuat beliau layak dianugerahi gelar pahlawan pendidikan Indonesia. Atas jasanya di bidang pers pula,

maka pada 2 hari setelah wafat, tepatnya pada 28 April 1959, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Ketua Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) secara anumerta (Ki Sunarno, Ki Sutikno, 2011: 8). Tak berlebihan pula jika tanggal lahir beliau, 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional untuk mengenang serta sebagai penyemangat bagi kita generasi penerus untuk meneruskan prakarsa dan pemikiran-pemikiran beliau terhadap pendidikan Indonesia. Mahasiswa PBSI10

Anda mungkin juga menyukai