Anda di halaman 1dari 28

DITULIS OLEH RADEN PANJI KAMZAH

PADA TAHUN MASEHI 1858

(TAHUN JAWA 1787)

DITULIS KEMBALI OLEH

RADEN PANJI KARSONO

PADA TAHUN MASEHI 1920

(TAHUN JAWA 1857)

Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh:

Sinung Widya Pratikto

Page 1
PERINGATANKU Ingat ingatlah!

Aku ingin supaya buku Sejarah Lasem ini dijadikan panutan oleh semua anak keturunanku tanpa
kecuali. Mereka harus meneladani seluruh isi buku ini tanpa bergeser sedikitpun, satupun isinya
jangan ada yang dirubah, bila buku ini sudah rusak akibat usia agar segera diperbaharui, buku ini
hendaknya disimpan di tempat yang tersembunyi dan jangan dipinjamkan kepada sembarang
orang. Aku takut nanti diketahui oleh mata mata Belanda dan dihukum berat oleh Pemerintah
Belanda.

Di waktu waktu senggang janganlah lupa untuk membaca buku ini. Kisahnya tentang para
leluhur pada jaman dahulu yang bertujuan agar semua keturunanku mau melestarikan
kebudayaan kita sendiri dan tidak terpengaruh bahkan mengagung agungkan kebudayaan bangsa
Magribi dari kerajaan atas angin.

Suatu saat nanti bila jaman sudah berubah para Priyayi akan dikirim untuk menanam pohon
Mandira di setiap pelosok Desa, orang orang wilayah Argo dan Muria akan duduk bersila
menyanyikan lagu Dharmagita dipayungi payung Kembang Tunjung Silugangga; pada jaman
itulah para mata mata Belanda akan berlarian, cerita sejarah Lasem akan dibaca oleh semua
orang. Yang ingin memiliki boleh membacanya hingga selesai dan jangan lupa agar diteruskan
kepada semua keturunannya.

Buku SEJARAH LASEM ini adalah hasil dari mengumpulkan berbagai bahan yang tercecer
dimana mana, buku ini adalah peninggalan dari ayahku yang sudah meninggal dunia yaitu Mbah
Kambara. Aku menuliskan buku ini secara diam diam pada tahun Jawa 1857 saat bulan puasa di
rumah Karangturi Kemendhung.

Mbah Karsono

Tokoh Masyarakat Jawa dan Cina

Di Lasem

Page 2
Awighnam Astu

Sebelum Pustaka Sabda Badrasanti disalin dan ditulis dalam bentuk lagu, aku akan lebih dulu
menceritakan tentang silsilah leluhur Lasem serta awal mula turunnya Wahyu Sabda Badrasanti
seiring pasang surutnya kehidupan dan keadaan pada masa itu menurut catatan leluhur Lasem
yang diwariskan kepada keturunannya yang masih setia meneladani ajaran ajaran mereka. Yang
aku tulis ini adalah benar benar menurut keadaan yang sebenarnya bukan mengikuti alur cerita
yang sudah diselewengkan oleh orang orang yang sudah dihasut oleh pemerintah Belanda dan
para pengikutnya.

Begini ceritanya.

Pada tahun Saka 1273 tersebutlah yang menjadi Ratu di Lasem adalah Dewi Indu, adik ipar
Prabu Hayam Wuruk di Wilwatikta. Paras sang ratu ini sangatlah rupawan menyerupai
kecantikan paras Dewi Srikandi yang bersinar layaknya pancaran rembulan malam. Sehingga
masyarakat masa itu menjulukinya sebagai Dewi Purnama Wulan.

Suaminya bernama Pangeran Rajasawardhana yang akhirnya menjadi Dhang Puhawang


Wilwatikta. Dia menguasai semua kapal perang di pelabuhan Kiringan dan pelabuhan Regol
serta merangkap sebagai Adipati di Mataun. Sang pangeran ini tampan seperti Arjuna, pandai
bernyanyi dan menulis berbagai karya sastra sehingga dijuluki Raden Panji Maladresmi.
Keduanya begitu rukun dalam membina rumah tangga hingga ajal menjelang seperti kerukunan
Kama Ratih dan Sang Hyang Kadharpa.

Dewi Indu meninggal pada tahun Saka 1304 Pangeran Rajasa Wardhana pada tahun 1305,
jenazah keduanya dimasukkan dalam candi di celah gunung Argasoka sebelah utara di sebelah
timur candi Ganapati di bukit sekitar gunung Ngendhen.

Candi itu dibuat dari batu sungai, dilapisi batu Cendhani, dilindungi sepasang pohon beringin
Bramasthana di timur dan baratnya. Tingginya candi ini dihiasi arca Sang Hyang Budha
Sakyamuni, dikelilingi rangkaian bunga Widuri; dibawahnya ditandai dengan arca Dewi Indu
bersebelahan dengan arca Sang Bathari Sri Lokeswara didalam ruang candi. Di bagian lereng
yang tingginya setinggi dada orang dewasa, di sisi timur diukir relief Sang Panji Maladresmi
yang akan berangkat berperang berpamitan kepada Dewi Purnamawulan. Sisi barat terdapat
relief Sang Panji menghibur istrinya yang bersedih sebab akan ditinggal berperang di medan laga
Bubat untuk mengepung pasukan Pasundan yang mendarat di wilayah Majapahit dan siap
berperang hingga mati demi membela Ratu Dyah Pitaloka junjungan rakyat Pasundan. Oleh
karena candi ini berisikan relief tentang tembang dan lagu maka disebut juga sebagai candi
Malad.

Page 3
Pada jaman pemerintahan Prabu Lasem Dewi Indu di Lasem, wibawa Sang Prabu Putri sangat
besar, pemerintahannya adil, kuat dan tetap. Wilayah kekuasaan Maharani Lasem ini seperti
belahan semangka, dimulai Pacitan dan wilayah seiring sungai Genthong, sampai ke sungai
Silugangga di Muara sungai Sedayu. Sementara wilayah di sekitar timur sungai dan semua pulau
di seluruh Nusantara menjadi wilayah kekuasaan Prabu Hayam Wuruk dari Majapahit; kedua
wilayah ini berada di satu kekuasaan di pusat kerajaan di Ngawantipura Wilwatikta.

Sang Prabu Putri Lasem dipuja dan dianggap serupa dengan Bathari Bodhisatwa
Awalokiteswara, yang selalu memberikan pengayoman dan memberikan keberuntungan kepada
semua punggawanya. Para punggawa berbakti dan mengagungkan nama besar Sang Rani Lasem.

Kerajaan Lasem ini sangat makmur, berhadapan dengan laut dan di belakangnya adalah gunung,
di belakang gunung, kumpulan kera di sepanjang sawah yang terhampar luas seluas mata
memandang. Di pinggir gunung Argapura tumbuh berbagai pepohonan dan semak semak; yang
menjadi rumah bagi hewan dan burung burung. Pada waktu pagi hari suara merak bercuitan,
ayam hutan berkokok ramai, burung burung berkicau sambil memakan buah dhuwet atau buah
trenggulun yang tumbuh matang di pohon pohon yang asri.

Pusat kota Lasem nampak sangat asri dan sejuk, sebab begitu banyak pohon peneduh yang
ditanam di sepanjang jalan. Keraton Lasem terletak di tanah Kriyan, di dekatnya terdapat
tamansari Balekambang Kamalapuri di sebelah selatan dan sebelah timur Keraton, dimana
tumbuh banyak pohon Kamal Tropong yang rimbun. Di sepanjang jalur keraton ditanami pohon
sawo kecik, setiap ujung perempatan dan pertigaan ditanami pohon beringin. Setiap pelataran
rumah ditanami sepasang pohon krambil gading puyuh, yang buahnya begitu lebat berdampingan
dengan bunga bunga aneka warna: mawar, gambir, ketongkeng, bunga sedap malam, kemuning
dan butiran bunga pacar. Di sisi rumah penduduk terdapat tumbuhan sawo Manila, mangga golek
jambu lumut dan pohon jambe.

Di daerah pedesaan tumbuh pohon buah yang sangat rimbun, seperti pohon nangka, belimbing,
krambil dan sejenisnya. Di sepanjang jalan desa, perkebunan dan ladang ditanami pohon bogor
yang menghasilkan nira, buah siwalan dan daun lontar. Daun lontar digunakan untuk menulis
cerita, daftar buku atau lagu tema sejarah; nira dibuat gula atau badheg (sejenis minuman
beralkohol). Diantara pohon bogor ditanami pohon randu yang dirambati buah suruh yang
menghijau, sebagai bahan jamu penangkal sakit perut.

Rumah para pembesar kerajaan dibangun dengan model Sinom di bagian depan dan bagian
belakangnya dibangun model Joglo, sebuah bentuk rumah dengan anyaman bambu ditopang
kayu jati yang dipasang saling bersambung satu sama lain. rumah para pembesar dibawahnya
terletak di sekitar kotaraja dibangun dengan model rumah burung dara dengan pagar bambu
dianyam dengan lima susunan yang melambangkan semboyan Pancawignya (Gotrah atau
Persaudaraan, Pekah atau Rejeki, Pomah atau Rumah, Krandhah atau Kuburan, Pamrentah atau
Penguasa). Keraton Lasem dibangun dari tumpukan batu yang disusun rapi, dasarnya dari batu

Page 4
yang ditemukan di laut, diukir dengan ukiran bunga Tunjung, bagian atap diukir dengan hiasan
dada burung Garuda, tiang penyangga terbuat dari serbuk kayu yang dipadatkan diukir dengan
pola tengkurap dan telentang, anyaman bambu diukir dengan gambar rangkaian bunga melati.
Susunan batu bata berbentuk kotak lebar dan halus, bagian atas rumah ditutup anyaman daun
kelapa dan ditutup dengan genteng tanah liat yang dipasang bersambung sambung.

Pada jaman itu agama yang dianut orang orang Lasem adalah agama Siwa dan Budha, namun
agama keduanya digabung menjadi ajaran Dharma. Pusat agama Budha ada di daerah Butun di
puncak gunung Gebang dan di sepanjang Samudrawela (daerah pantai sepanjang kerajaan Lasem
dan Rembang) Panembahan Maha Guru di Butun inilah yang pertama kali mengajarkan ilmu
tentang Kebenaran Hyang Widi yang esa. Pusat agama Budha di daerah Pamulang puncak
Punggur, serta di daerah Ratnapangkaja. Di daerah inilah para empu Pujangga dan Guru yang
memuja Sang Hyang Ganapati, di gunung Pucangan di bukit Ngendhen.

Dewi Indu melahirkan Prabu Badrawardana, Prabu Badrawardana menurunkan Pangeran


Wijayabadra, Prabu Wijayabadra menurunkan Prabu Badranala. Tiga generasi keturunan Dewi
Indu ini menjadi adipati turun temurun di Lasem dan menempati keraton Dewi Indu di daerah
Kriyan kecuali Prabu Badranala. Dia tidak menempati keraton Kriyan.
Pangeran Badranala menikah dengan Putri Campa yang bernama : Bi Nang Ti, memiliki dua
anak yaitu Pangeran Wirabajra dan Pangeran Santibadra. Setelah meninggalnya Prabu Badranala
maka kedudukannya digantikan oleh adipati Lasem yaitu Pangeran Wirabajra, putera
pertamanya.

Prabu Wirabajra menjadi adipati Lasem tetapi tidak tinggal di Kriyan, tetapi pindah ke keraton di
daerah Bonang Binangun pada tahun Saka 1391; dekat dengan makam orangtuanya di puncak
gunung Regol. Sementara keraton Kriyan ditinggali oleh Prabu Santibadra dan istri serta seluruh
keturunannya.

Pada masa pemerintahan Prabu Badranala yang membangun dan mendiami Kadipaten Binangun,
orang orang pada umumnya berdagang di laut di sekitar Tuban, Gresik dan Ampel. Mereka pada
umumnya sudah menganut agama yang disebarkan para wali dan meninggalkan agama Budha
dan Siwa sebab agama yang disebarkan para wali ini dianggap lebih mudah dan hemat. Tidak
membutuhkan berbagai macam upacara dan sesaji yang membutuhkan banyak biaya. Maka dari
itu orang orang di daerah pesisir mulai meninggalkan agama lama dan mulai menganut agama
yang dibawa para wali ini.

Pangeran Wirabajra menurunkan Pangeran Wiranegara, yang sedari kecilnya sudah diajar untuk
beribadah berdasarkan agama para wali yang kemudian terkenal dengan agama bernama Islam.
Pangeran Wiranegara belajar agama di daerah Ngampelgadhing dan di kemudian hari diangkat
sebagai menantu oleh Maulana Rokhmat, seorang Sunan di Ngampelgadhing, dinikahkan dengan
puterinya yang bernama Malokhah. Prabu Wiranegara menggantikan ayahnya sebagai adipati
Binangun selama lima tahun namun pada tahun yang kelima pada tahun Saka 1401 meninggal

Page 5
dunia. Pemerintahan Kadipaten ini kemudian dipegang oleh jandanya yang tabah Puteri
Malokhah yang kala itu baru berusia 28 tahun dan memiliki dua anak. Anak pertama bernama
Puteri Solikhah dan adiknya yang tidak disebut namanya karena meninggal dunia ketika
Pangeran Wiranegara masih hidup.

Pada tahun Saka 1402 keraton Binangun dipindah lagi ke wilayah Lasem dan Puteri Malokhah
mendiami tanah Colegawan berhadapan dengan keraton pangeran di Kriyan, yang kala itu
didiami oleh Pangeran Santipuspa putera dari Pangeran Santibadra yang sulung, yang menjadi
Dhang Puhawang atau Raja Samudera di Bandar Kiringan. Keraton janda Puteri Malokhah
menghadap kearah selatan sebelah utara tanah luas yang ditumbuhi sawo kecik dan bunga
kanthil. Sementara keraton Bonang yang ditinggalkan ditempati adik dari Puteri Malokhah yang
bernama Makdum Ibrohim, seorang pemuda kelahiran tahun Saka 1376; dia menjadi Kyai atau
guru agama Islam dan menjadi seorang Muazin Masjid yang mengumandangkan panggilan
adzan. Pada saat dia berusia 30 tahun dilantik oleh Sunan Agung Ngampel dan diangkat menjadi
Wali Negeri Tuban mengurus bab bab agama Islam, diberikan jabatan Sunan di tanah Bonang
Lasem, di tempat yang dulunya didiami kakak perempuannya, Puteri Malokhah.

Sunan Makdum Ibrohim ditugaskan oleh Puteri Malokhah agar merawat dan memelihara makam
Puteri Campa Bi Nang Ti di puncak Regol serta kuburan Prabu Wirabrja dan Prabu Wiranegara
yang dimakamkan di tanah Keben. Sunan Makdum Ibrohim yang kemudian bergelar Sunan
Bonang ini sangat berbakti kepada keluarganya dan memegang erat tugas dari Puteri Malokhah
dalam merawat kuburan Eyang Puteri Campa, rangkaian bangunan dari batu sungai yang ada di
sekitar kuburan dihancurkan dan diratakan untuk dijadikan tempat sujud dan bersembahyang
Sunan Bonang yang bersujud di depan kuburan Eyang Puteri Campa Bi Nang Ti.

Keraton Kadipaten di Colegawan ini dimaksudkan supaya dekat dengan keraton Pangeran
Santipuspa sebagai benteng pengamanan sementara Puteri Malokhah menjadi penasehat
pangeran di Lasem. Penduduk di Lasem sangat memuliakan Prabu Santibadra terutama
penduduk di sekitar wilayah Pambelah dan pesisir Hulu kerajaan Demak sampai ke ujung sungai
Sedayu karena dianggap sebagai perwujudan Dhang Puhawang putera kesayangan Sang Hyang
Waruna. Akhirnya sang pangeran diangkat sebagai anak angkat oleh Puteri Malokhah untuk
menghibur hatinya yang sedih akibat ditinggalkan untuk selama lamanya oleh suami dan
puteranya yang baru berusia setahun saat berada di keraton Bonang Binangun. Setelah itu Puteri
Malokhah juga ditinggalkan oleh puterinya, Puteri Solikhah yang diboyong suaminya yaitu Arya
Jin Bun. Bintara Dhang Puhawang di kerajaan Demak.

Untuk menghilangkan kesedihannya, maka dia membangun dua bangunan peristirahatan yaitu
Gedhong dan Petamanan di dekat pesisir Kiringan dekat Candi Samudrawela yang dijadikan
tempat pemujaan kaum Pambelah (nelayan) yang memuja Sang Hyang Waruna. Tempat
peristirahatan tersebut dinamakan Taman Sitaresmi. Setelah terjadi masa kekacauan besar di
Lasem maka orang orang yang tidak mengerti sejarah dan berhati jahat mengubah namanya
menjadi Taman Caruban.

Page 6
Selama masa kesepiannya di Lasem inilah Puteri Malokhah hanya ditemani oleh Prabu
Santipuspa; yang mana memiliki usia yang sama yaitu 32 tahun. Adapun Puteri Malokhah ini
parasnya seperti Dewi Banowati dan Prabu Santipuspa sangat tampan seperti Raden Permadi.
Setelah Makdum Ibrohim dilantik menjadi Wali Negeri bergelar Sunan Bonang, dia sangat
bersemangat menyebarkan agama Islam dari Lasem hingga ke Tuban. Tetapi kebalikannya
dengan Puteri Malokhah yang justru terlalu terbuai dengan kedekatannya dengan iparnya
sehingga dialah yang terbawa ajaran ajaran Pangeran Santipuspa yang mengakibatkan Puteri
Malokhah agak melupakan kewajibannya sebagai penganut agama Islam yang taat. Dia jarang
menunaikan sholat lima waktu dan enggan menjalani puasa bulan Ramadhan. Hal ini
mengakibatkan hubungan antara Makdum Ibrohim dan Puteri Malokhah menjadi renggang
sehingga Makdum Ibrohim sering sekali meninggalkan keraton Regol dan Keben lalu
menghabiskan waktunya di KeratonTuban hingga berbulan bulan.

Puteri Malokhah menjadi janda hingga meninggalnya saat genap berusia 39 tahun, menjalankan
pemerintahan dengan didampingi Prabu Santipuspa yang menemani Sang Adipati Janda. Setelah
meninggalnya Puteri Malokhah maka pemerintahan Lasem dipimpin oleh Dhang Puhawang
Pangeran Santipuspa dan adiknya Pangeran Santiyoga yang diutus menempati Keraton
Kadipaten Colegawan.

Setelah meninggalnya Pangeran Santipuspa dan Puteri Malokhah sekitar seratus tahun setelah itu
pemerintahan Lasem dipegang oleh Adipati Suroadimenggolo yang merupakan boneka Belanda.
Pada jaman inilah penguasa Lasem menyelewengkan kisah silsilah raja raja Lasem dan membuat
kisah karangan sendiri yang berisikan hasutan dan hinaan terhadap keturunan Puteri Malokhah
dan Puteri Campa Bi Nang Ti serta seluruh keturunannya.

Sigeg

Pangeran Santipuspa dilahirkan pada tahun Saka 1373. Pada usia 18 tahun diutus oleh ayahnya
untuk menempati Keraton Kriyan bersama ibunya untuk membantu merawat sembilan adiknya
yang masih kecil sebab ayahnya pergi ke kerajaan Majapahit untuk mendalami agama Siwa
Budha. Oleh karena itulah prabu Santipuspa rela tidak menikah hingga usia 39 tahun karena
menunggu adik adiknya mendapatkan kehidupan yang lebih baik terlebih dahulu.

Berikut adalah nama adik adiknya sesuai urutan yang paling sulung:

• Adik pertamanya bernama Silastuti yang kemudian menjadi isteri Adipati Mataun

• Adik kedua bernama Santawira yang kemudian menjadi Kyai Ageng Bedhog yang
menjadi cikal bakal desa Bedhog.

• Adik ketiga bernama Sulantari yang kemudian menjadi isteri Tumenggung Pamotan.

• Adik keempat bernama Sulanjari yang kemudian menjadi isteri Kyai Ageng Ngataka
yang membangun desa Karangasem dan desa Gedhug.

Page 7
• Adik kelima bernama Silarukmi yang kemudian menjadi isteri Kyai Ageng Demang
Ngadhem.

• Adik keenam bernama Santiyoga yang bergelar Kyai Ageng Gada, menjadi Dhang
Puhawang yang membantu Prabu Santipuspa serta menjadi pelopor dan ketua seni bela
diri Pathol (campuran silat dan gulat). Beliau mengembangkan Pathol hingga ke daerah
Sarang.

• Adik ketujuh bernama Santidatma yang akhirnya menjadi Demang Bakaran dan
menurunkan generasi pejabat kerajaan di daerah Jakenan dan Juwana.

• Adik kedelapan bernama Silagati yang kemudian menjadi isteri Kyai Ageng Sutisna di
Criwik. Beliau menurunkan generasi pejabat kerajaan di daerah Argasoka.

• Adik kesembilan bernama Santikusuma yang dilahirkan pada tahun Saka 1390. Pangeran
Santipuspa sangat menyayangi adiknya yang paling kecil ini karena pada usia setahun
ditinggalkan selama lamanya oleh ibunya dan juga ayahnya yang meninggalkannya
hingga sepuluh tahun.

Saat usianya dirasa cukup maka Pangeran Santipuspa sering mengajak adik bungsunya ini
menuju pelabuhan Kiringan untuk belajar mendayung perahu, atau pergi menggunakan kapal
layar ke Tuban untuk menemui kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Bejagung yang adalah
Adipati Tuban. Selama pelayaran itulah Prabu Santikusuma diajarkan oleh kakaknya perihal
perbintangan. Tanda perbintangan yang berguna baik bagi nelayan ataukah petani sebagai tanda
munculnya ikan ataukah pertanda kapan harus bercocok tanam. Pangeran Santikusuma adalah
anak yang sangat cerdas sehingga semua ajaran dari ayahnya yang diajarkan lewat kakak
tertuanya langsung dapat diingat dan dilaksanakannya dengan baik. Di usianya yang ke 18 tahun
inilah kematangan pola berpikir dan pola kerjanya nampak sehingga segala pekerjaan ringan dan
berat tidka menjadi masalah baginya. Kegemarannya adalah belajar pada orang orang bijak
dimanapun dia singgah dalam perjalanan sehingga ilmunyapun semakin meningkat. Semua
ilmunya ini digunakannya sebagai dasar mempelajari ilmu paling tinggi yaitu ilmu Badrasanti
yang hanya dimiliki ayahnya Pangeran Santibadra. Pangeran Santibadra sering mengajarkan
ilmunya ini di tempat pengajaran di puncak gunung Punggur dimana Pangeran Satikusuma
sering menghadap ayahnya untuk mendapatkan pengajaran.

Pada usia 19 tahun Pangeran Santikusuma menyatakan keinginannya untuk mendalami Islam
sehingga memutuskan untuk berguru kepada kakeknya di Tuban; Sunan Bejagung yang juga
mengajar banyak santri di pondok pesantren Bejagung. Dari Sunan Bejagung inilah Pangeran
Santikusuma mendapatkan nama Islam yaitu Raden Mas Said. Raden Mas Said memiliki
kedekatan dengan Sunan Bonang dimana mereka berdua sering bertukar pikiran tentang Islam.
Raden Mas Said kemudian juga menerjemahkan ajaran Islam yang tadinya ditulis dalam bahasa

Page 8
Arab kedalam bahasa Jawa sebagai pendamping ajaran Budha yang selama ini dianut oleh
penduduk Lasem. Hasil terjemahannya inilah yang kemudian disebut ajaran Kebatinan Kejawen.

Dari semua keturunan trah Majapahit dari garis keturunan Dewi Indu hanya Pangeran
Santikusuma atau Raden Mas Said inilah yang paling menonjol karena memiliki sifat Wibawa
Pandai Tangguh Bijaksana, sehingga tidak ada satupun orang yang dia takuti kecuali ayah dan
kakaknya bahkan kepala bajak laut hingga pimpinan rampok sekalipun beliau tidak takut. Dia
sangat mengasihi orang kecil namun sangat membenci orang orang yang menyombongkan
kekuasaan dan bersifat penindas. Orang orang seperti ini pasti akan ditumpasnya. Beliau juga
dikenal tidak mempan disantet, ditenung bahkan kebal segala racun.

Kyai Makdum Ibrohim yang adalah Sunan Wali Negeri bergelar Sunan Bonang juga akhirnya
mengakui kewibawaan dan kekuasaan Raden Mas Said karena secara keturunan masih
merupakan trah Jawa walaupun neneknya berasal dari negeri Campa sedangkan Sunan Bonang
menyadari dirinya hanya seorang kelahiran Ngampel dari garis keturunan Sunan Pwa Lang
Maulana dari negeri Smarakandhi (negeri yang dikenal dengan negeri Samarkand, sebuah negeri
di wilayah Rusia selatan) yang sangat jauh dari tanah Jawa. Sunan Bonang juga hanya mengurus
soal agama di Ngampel bukan pemerintahan dengan dibantu oleh Maulana Rokhmat yang
bergelar Sunan Agung.

Orang orang Lasem menjuluki Raden Mas Said sebagai Pangeran Lokawijaya. Oleh karena
kekuasaannya yang besar inilah maka kepala bajak laut di teluk Menco yang berasal dari
Palembang, Arya Jin Bun, menyerahkan diri tunduk bersama dengan seluruh anak buahnya di
hadapan Raden Mas Said. Raden Mas Said akhirnya dianugerahi gelar Panembahan Glagahlangu
sedangkan Arya Jin Bun yang dulunya menguasai daerah pesisir Glagahlangu ini diangkat
sebagai punggawa dibawah Panembahan.

Orang orang Glagahlangu yang matapencahariannya sebagai buruh tani, pencari glagah
(semacam rotan), kenthos (tunas kelapa yang bisa dimakan) dan telur belibis (sejenis angsa)
seluruhnya tunduk dan menyerahkan diri kepada Panembahan Glagahlangu yaitu Pangeran
Santikusuma atau Raden Mas Said atau Pangeran Lokawijaya. Daerah Glagahlangu dulunya
berupa lahan rawa yang pekat. Orang orang di sekitarnya harus berhati hati saat berjalan
melewati rawa ini. Mereka harus berjalan dengan berjongkok supaya tidak terperosok kedalam
rawa pekat yang memiliki kemampuan menghisap ini. Cara berjalan ini dalam bahasa daerah
disebut “ndhemeg” sehingga wilayah ini terkenal dengan sebutan wilayah Ndemak. Di kemudian
hari daerah Glagahlangu yang dikenal dengan daerah Ndemak ini dikenal sebagai wilayah
kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yaitu kerajaan Demak.

Sigeg

Pangeran Santipuspa meninggal dunia pada usia 50 tahun dan dimakamkan di tanah tempat dia
berkuasa dulu yaitu di tanah Kiringan di sebelah barat candi Samudrawela tempat pemujaan
Sang Hyang Waruna, tidak jauh dari makam Puteri Malokhah di tempat peristirahatan Gedhong

Page 9
Taman Sitaresmi; makam Pangeran Santipuspa dimakamkan bersama makam tiga abdi setianya
yaitu: Ging Hong, Palon dan Kecruk. Ketiganya adalah abdi yang bertugas menyenangkan hati
sang pangeran dengan ucapan dan candaan yang menggembirakan hati. Mereka bertiga sudah
mengabdi sejak jaman Pangeran Santibadra masih tinggal di keraton Banjarmlathi, merekalah
yang mengasuh Pangeran Santipuspa dan semua saudaranya. Saat menjelang usia tua ketiganya
kemudian menghabiskan masa tuanya di tanah Kiringan dengan tetap setia kepada keluarga
kerajaan hingga masa menutup mata untuk selamanya dan dimakamkan di wilayah Kiringan
yang merupakan bagian dari wilayah Kajungan.

Sigeg

Makam Prabu Santipuspa dipuja oleh para pemain Pathol dan kaum Pambelah setiap munculnya
rembulan purnama pertama saat bulan Waisak tiba. Pada saat itu orang orang akan mengadakan
pemujaan dan keramaian berupa adu keperkasaan melalui adu gulat, lomba mendayung perahu
dari Kiringan ke Marongan pulang pergi, memanjat pohon jambe dan lain lainnya.

Pada waktu pagi keesokan harinya sebelum matahari terbit di puncak gunung Arga, kegiatan
kedua dimulai. Kegiatan ini adalah upacara menghanyutkan bubur Baro Baro (bubur beras merah
yang diatasnya terdapat bubur beras putih) dalam tampah besar yang ditaburi bunga bunga melati
oleh para gadis suci yang dipilih khusus oleh para tokoh masyarakat Lasem. Bubur Baro Baro ini
kemudian diarak berkeliling laut oleh semua keturunan Pangeran Santipuspa diiringi para gadis
suci. Setelah itu sesaji berupa bubur beras merah tersebut dibawa oleh para pemain Pathol dan
kaum Pambelah ke tengah laut hingga sebatas dada orang dewasa lalu dihanyutkan ke laut
setelah didoakan dan dimanterai oleh sesepuh Lasem. Upacara ini dilakukan sebagai
penghormatan kepada Cucut Dhenok Biyung Lintang, seekor ikan cucut betina besar jenis ikan
cucut bintang yang pernah menolong Pangeran Santipuspa saat hampir tenggelam di laut. Kala
itu Prabu Santipuspa sedang dalam perjalanan pulang dari Pulau Baweyan tiba tiba kapalnya
oleng dan tenggelam. Diduga ada pihak musuh yang sengaja merusak kapalnya. Pangeran
Santipuspa yang sedang berjuang di tengah laut memohon pertolongan kepada Sang Hyang
Waruna dan doanya didengar. Entah datang darimana serombongan ikan cucut besar dan kecil
berdatangan dipimpin oleh seekor ikan cucut betina besar yang dijuluki Cucut Biyung Dhenok.

Sang pangeran didorong oleh Biyung Dhenok Cucut, Pangeran Santipuspa berpegangan pada
kepala ikan cucut dan diantar sampai pelabuhan Regol. Sementara anak buahnya didorong ikan
cucut lainnya sampai ke pantai.

Pangeran Santipuspa dan seluruh anak buahnya yang selamat akhirnya mengucap syukur dengan
melakukan semedi dan mengucapkan sumpah:

Jangan sampai ada siapapun dari garis keturunan orang Lasem yang boleh memakan daging ikan
cucut.

Page 10
Berikut silsilah keturunan Pangeran Santipuspa:

Pangeran Santipuspa menurunkan Pangeran Kusumabadra

Pangeran Kusumabadra menurunkan Pangeran Santiwira

Pangeran Santiwira menurunkan Pangeran Tejakusuma I

Pangeran Tejakusuma I adalah salah satu keturunan Pangeran Santibadra yang pada tahun Saka
1502 bulan Palguna hari pasaran Soma Manis membaca Puisi Badra Santi dan mengubahnya
kedalam bentuk tembang Jawa atas perintah dari Kanjeng Sultan Pajang karena Sultan Pajang
juga sangat mengagumi surat Badra Santi yang merupakan peninggalan leluhurnya yaitu Puteri
Silastuti anak kedua dari Pangeran Santibadra yang menjadi isteri dari Adipati Mataun, Bagus
Tingkir Mas Karebet. Sultan Pajang ini adalah cucu buyut Puteri Silastuti.

Pangeran Tejakusuma diangkat sebagai menantu Sultan Pajang dan diangkat sebagai Adipati
Lasem pada tahun Saka 1507. Tejakusuma I mendiami keratonnya yang baru di daerah Sadita
(desa Soditan) di sebelah utara jalan besar di bagian selatan alun alun kota pada tahun Saka 1501
bulan Caitra hari pasaran Buda Manis. Bersamaan dengan itu dibangun pula Masjid baru di
sebelah timur alun alun kota yang puncaknya dihiasi dengan Tiga Mustika ditopang oleh
mahkota yang dinamakan Makutapraba. Pelataran masjid ditanami pohon sawo kecik yang
sangat banyak sehingga memberikan suasana rimbun. Pangeran Tejakusuma sangat taat pada
agama dan menjalani banyak tirakat. Beliau sering bertapa di puncak Punggur tepatnya di gua
Pamulang serta tetap melaksanakan ritual sembah sujud di makam Pangeran Santibadra. Karena
ketaatannya bertapa di puncak Punggur maka dia diberi gelar Kyai Ageng Punggur. Pada waktu
masih kecil dia dijuluki Bagus Srimpet karena sering tidak mau bangun dan memegangi kaki
ibunya sehingga menghalangi jalannya yang dalam bahasa Jawa disebut “nyrimpeti”.

Pangeran Tejakusuma melakukan berbagai cara untuk menyebarkan agama Islam tanpa
menciptakan permusuhan dengan agama Kejawen yang sudah turun temurun dianut masyarakat
Lasem. Untuk mewujudkan keinginannya itu beliau memanggil seorang guru ahli Makrifat dari
Tuban bernama Syeh Maulana Sam Bwa Smarakandhi pada tahun Saka 1547 yang masih satu
keturunan dengan Sunan Pwa Lang di Tuban. Pangeran Tejakusuma sangat akrab dengannya dan
memiliki pemikiran yang sejalan dengan sang syeh sehingga Pangeran Tejakusuma akhirnya
memberikan anak perempuan dari selirnya untuk dijadikan isteri oleh Syeh Sam Bwa
Smarakandhi.

Pangeran Tejakusuma I meninggal dunia pada tahun Saka 1554 pada usia 77 tahun dimakamkan
di belakang Masjid Kota Lasem, tepat di belakang ruang imam masjid.

Kyai Guru Syeh Maulana Sam Bwa Smarakandhi meninggal pada tahun Saka 1575 pada usia 61
tahun dimakamkan di belakang masjid kota Lasem di sebelah utara serambi masjid.

Page 11
Pangeran Tejakusuma I menurunkan Pangeran Tejakusuma II

Pangeran Tejakusuma II menurunkan Raden Mas Wingit dan Raden Mas Wigit. Raden Mas
Wigit ini adalah anak bungsu yang menjadi Adipati Lasem bergelar Raden Panji Arya Adipati
Tejakusuma III yang menurunkan Raden Panji Arya Tejakusuma IV.

Raden Mas Wingit sebagai anak sulung sudah menunjukkan kedekatan dengan Kanjeng Sultan
Agung bahkan dinikahkan dengan salah satu puteri yang masih satu garis keturunan dengan
Sultan Agung. Tetapi ketika Sunan Amangkurat I berkuasa di Mataram dan bersekutu dengan
Belanda mulailah kelihatan sifat asli Sunan Amangkurat I yang pemarah, kasar dan kejam.
Raden Mas Wingit yang tidak menyukai Sunan Amangkurat I akhirnya memilih mohon diri dan
kembali ke Lasem dan membuka hutan Kajor sehingga beliau ini terkenal dengan sebutan
Pangeran Kajoran atau Panembahan Rama. Ketika Pangeran Adipati Anom putera dari Sunan
Amangkurat I memberontak dan bersekutu dengan Raden Trunojoyo dari Madura untuk
menggulingkan ayahnya, Pangeran Kajoran membantu menantunya, Raden Trunojoyo. Tetapi
ketika mereka menang dan Pangeran Anom berhasil menduduki takhta, dia justru berbalik
melawan Raden Trunojoyo dan Panembahan Rama.

Penduduk Mataram yang mengalami penderitaan akibat penindasan oleh Sunan Amangkurat I
dan akhirnya juga ditindas oleh Amangkurat II akhirnya mengungsi ke Lasem dan membuka
hutan Megamalang. Mereka bersekutu dengan Pangeran Kajoran melawan Sunan Amangkurat II
yang didukung Belanda. Perang ini berlangsung sengit, pasukan Amangkurat II yang didukung
Belanda lebih unggul dalam persenjataan seperti senapan dan meriam sedangkan pasukan Lasem
yang dijuluki Berandhal Lasem hanya menggunakan senjata tajam. Pangeran Kajoran akhirnya
tertangkap oleh Belanda saat mengungsi di desa Criwik akibat dikhianati oleh temannya saat di
pesantren, yaitu seorang guru mengaji di desa Warugunung bernama Kyai Ambyah yang berhasil
disuap oleh Belanda. Pangeran Kajoran dijatuhi hukuman mati. Kepalanya dipenggal oleh
serdadu Belanda asal Bugis. Hukuman mati ini dilaksanakan di sebelah timur desa Tulis. Tetapi
penduduk Megamalang berhasil mengambil jenazahnya dengan menyamar menjadi penduduk
desa Tulis, lalu menguburkannya di puncak gunung Seklothok. Pasukan Belanda yang
mengetahuinya marah besar lalu mengobrak abrik seluruh desa Kajor sehingga mengakibatkan
penduduk desa tersebut lari ke gunung Argasoka dan mendirikan pemukiman disana.

Raden Panji Sumilir putera sulung Pangeran Kajoran juga sangat terdesak sehingga harus
mundur ke wilayah orang Kanung yang masih memuja Candi Malad di dukuh Lowah, saat itu
isterinya tengah hamil tua dan hampir melahirkan. Bersamaan dengan kelahiran anaknya, dia
mendengar kabar tentang kematian ayahnya yang dipenggal Belanda atas suruhan Sunan
Amangkurat II. Pangeran Kajoran sangat marah lalu mengangkat anaknya yang baru lahir itu
keatas kepalanya sambil bersumpah:

“Aku dan seluruh keturunanku akan melawan Belanda beserta seluruh begundalnya.”

Page 12
Jabang bayi itu lahir bertepatan dengan waktu matahari terbit dan mekarnya bunga bunga pohon
durian. Tertanda waktu itu adalah bulan Jumadilakir tahun Jawa 1602. Anak itu diberi nama
Raden Panji Suryakusuma.

Tercatat perang di Lasem ini terjadi pada bulan Jumadilawal tahun Jawa 1601 diawali dengan
serangan pasukan Amangkurat II dan pasukan Belanda ke Lasem.

Pasukan Berandhal Lasem yang dipimpin oleh tiga sahabat yaitu Raden Trunojoyo, Raden Mas
Wigit (Pangeran Tejakusuma III) dan Raden Mas Wingit (Pangeran Kajoran) mengucapkan
sumpah:

“Jangan sampai bumi Lasem ini dikuasai Belanda. Kami banteng banteng Lasem siap bertempur
hingga mati walaupun tidak terhitung jumlah teman teman kami yang tewas di medan perang
melawan singa singa Belanda dan anjing hutan yang mengawalnya. Anjing anjing hina yang
hanya mengharap upah tulang sapi dan tulang kerbau dari majikannya.”

Akibat perang yang tidak pernah berhenti ini kota Lasem menjadi sepi karena penduduknya
mengungsi. Raden Mas Wigit tewas di medan perang pada tahun Jawa 1602, jenazahnya
dimakamkan di Pejaratan Brangkal; Raden Trunojoyo yang terdesak mundur ke arah timur ke
wilayah Bulu. Panembahan Kajoran atau Raden Mas Wingit tertangkap Belanda pada bulan
Jumadilawal tahun 1602 dan dihukum penggal. Sejak saat itu Belanda dan para begundalnya
resmi menguasai Lasem.

Sunan Amangkurat II berkenan mengangkat Kyai Ambyah menjadi penguasa Lasem dengan
gelar Tumenggung Puspayuda menggantikan Pangeran Tejakusuma III yang tewas membela
negerinya. Tetapi baru setahun menjabat, Tumenggung Puspayuda tewas diracun oleh orang
yang membencinya. Kedudukannya digantikan oleh Tejakusuma IV. Pangeran Tejakusuma IV
sebenarnya hanya berpura pura setia kepada Amangkurat II dan pemerintah Belanda. Dia
memanfaatkan kedudukannya sebagai adipati sbagai cara untuk menghimpun kekuatan pasukan
Lasem melawan Belanda. Diam diam dia mengirimkan bantuan bahan makanan dan senjata
kepada pasukan Lasem yang berbasis di Argasoka yang diambil oleh prajurit Lasem melalui
kurir.

Masa itu adalah masa yang paling genting di Lasem karena walaupun Belanda sudah menguasai
wilayah Lasem tetapi kelompok kelompok perlawanan masih tetap siaga untuk melakukan
serangan. Kelompok kelompok perlawanan Lasem yang kemudian terkenal dengan julukan
Berandhal Lasem ini mendirikan pemukiman yang terpencar pencar di sekitar gunung Argasoka
dan mereka ternyata para Berandhal Lasem ini terdiri dari penduduk dari berbagai wilayah
seperti Mataram, Purwodadi, Blora, Lasem. Walaupun berbeda tetapi mereka merasa memiliki
kesamaan karena berada di wilayah Argasoka yang merupakan tempat pemakaman raja mereka
yaitu Pangeran Empu Santibadra di puncak Punggur gunung Argasoka. Mereka bersumpah akan

Page 13
memelihara kebudayaan asli Lasem tanpa terpengaruh kebudayaan bangsa Magribi dari negeri
atas angin, berusaha meremajakan pohon Mandira dan bunga Tunjung Teratai di seluruh pelosok
Nusantara.

Hingga masa tua dan wafatnya, Raden Panji Arya Adipati Tejakusuma IV memerintah Lasem
dengan baik dan tidak mengecewakan pihak penguasa Belanda dan juga kelompok Berandhal
Lasem yang bersembunyi di gunung Argasoka. Mereka dapat hidup tenang tanpa gangguan
sehingga bisa bertani, bercocok tanam dan melakukan pekerjaan pekerjaan lainnya. Hal ini
dikarenakan karena penguasa Belanda berkedudukan di Rembang sehingga tidak terlalu sering
mengadakan pengawasan langsung ke Lasem.

Penduduk di Argasoka bukan hanya tertarik kepada bidang pertanian saja, mereka juga menaruh
perhatian kepada seni dan budaya. Mereka suka sekali membaca kitab Badrasanti, sebuah karya
tembang Jawa karangan Pangeran Tejakusuma I. Kebetulan pada masa itu para pedagang Cina
sudah menemukan cara membuat kertas dari bahan dhedak (sisa kulit padi dari penggilingan
yang dipadatkan) sehingga orang orang Lasem tinggal membelinya dan kemudian menuliskan isi
dari surat Badrasanti diatas kertas tersebut supaya dapat dibaca oleh keturunan setelahnya.
Adipati Tejakusuma IV inilah yang akhirnya banyak menyumbang kertas dhedak untuk
menuliskan wejangan wejangan Badrasanti demi melestarikan kebudayaan leluhur. Karena
begitu cintanya Adipati ini kepada kebudayaan Jawa maka pada tahun Jawa 1606 dia membuat
sebuah karya seni berupa wayang yang dapat menari terbuat dari kayu jati yang dipahat,
tangannya diberi cempurit (penyangga dari kayu); bentuk wayang ini meniru wayang Beber.
Walaupun di keraton Mataram sudah ada wayang yang dibuat dari tulang sapi namun karena
sebagian besar penduduk kadipaten Lasem ini masih banyak yang memeluk agama Hindu yang
mengagungkan sapi yang disebut Lembu Nandi maka wayang Mataram ini kurang dikenal di
Lasem. Warga penganut Hindu ini masih sering memberikan sesaji di Pasraman Butun di puncak
Gebang serta melakukan perayaan setahun sekali yang disebut perayaan Ngalungi (menggunakan
tulang tulang sapi sebagai kalung yang dipercaya sebagai jimat). Mereka tidak mau memakan
daging sapi karena sapi dianggap sebagai tunggangan dewa mereka. Tulang tulang sapi yang
mereka temukan biasanya digunakan sebagai perhiasan atau pelengkap penampilan. Berbeda
dengan orang orang yang sudah memeluk agama Rasul; mereka tidak dilarang memakan daging
sapi.
Pangeran Tejakusuma IV pernah memanggil seorang tukang angkat kayu dari desa Ketandhan
bernama Ki Mijan dan diajaknya membuat wayang dari kayu jati yang dinamakan wayang
Krucil. Kisah pakem wayang ini adalah sejarah Panji Lasem Maladresmi hingga tibanya Panji
Sitaresmi. Para Panji ini dikisahkan memiliki abdi abdi setia yang melambangkan tiga abdi
Pangeran Santipuspa yaitu Ging Hong, Palon dan Kecruk.

Pada jaman itu orang orang dukuh Ngeblek senang membuat pertunjukan Emprak, yang dibuat
pertama kali oleh pimpinan Berandhal dukuh Lowah bernama Ki Guntur. Pada mulanya

Page 14
pertunjukan Emprak ini hanya bersifat lelucon dan hiburan yang berisi sindiran terhadap
ketidakadilan. Melihat itu Raden Panji Arya Adipati Tejakusuma IV ikut memberi masukan dan
memberi sentuhan kisah kerajaan yang memberikan contoh kesusilaan dan kesopanan. Kisah
gubahan Pangeran Tejakusuma IV ini terkenal dengan kisah Ande Ande Lumut. (Sebuah kisah
terkenal tentang Pangeran dari Kediri yang mencari cinta sejati dengan menyamar sebagai orang
biasa).

Pada masa pemerintahan Pangeran Tejakusuma IV, Lasem benar benar tidak memiliki kekuasaan
apapun di tanah Jawa bahkan di depan keraton Mataram; Lasem juga tidak memiliki wibawa.
Pergantian pemerintahan antara Amangkurat II ke Amangkurat III juga tidak memberikan
pengaruh apapun. Sunan Mas Amangkurat III nampaknya juga tidak memiliki kemampuan
sebagai seorang raja. Wajahnya tidak tampan, kakinya pincang, sifatnya pemarah dan juga tidak
disukai oleh para punggawanya. Akhirnya setelah beberapa lama takhta Mataram berganti
kepada Pangeran Puger atau Sunan Pakubuwono I yang ternyata sama saja dengan para
pendahulunya yang selalu mencari aman dengan bersekutu dengan Belanda. Keadaan inilah yang
membuat Pangeran Tejakusuma IV semakin marah kepada Belanda dan juga kepada para
penguasa Mataram yang selalu berebut kekuasaan menggunakan kekuatan Belanda sebagai
pendukungnya. Tetapi karena pangeran sangat memahami kekuatan pasukannya yang tidak
berimbang dengan kekuatan Belanda maka sang pangeran tidak memilih pertempuran terbuka
tetapi lebih memilih memerintah kadipaten Lasem supaya menjadi kadipaten yang makmur
sejahtera.

Ketika Raden Panji Arya Adipati Tejakusuma IV meninggal dunia, yang menggantikan adalah
Pangeran Tejakusuma V. Semua adipati Lasem mulai dari Tejakusuma I hingga Tejakusuma V
menempati keraton Sadhita. (sekarang disebut Soditan dari kata sodetan yang artinya membelah
jalan). Sementara keraton Kriyan dan keraton Malokhah justru rusak parah karena tidak ada yang
menempati. Wilayahnya yang masih kosong ditempati oleh para keturunan Pangeran Santibadra
dan keturunan Dewi Indu. Sebenarnya Pangeran Santiwira adalah pangeran yang berhak
menempati dua keraton ini tetapi dia meninggalkan semuanya memilih jalan sebagai brahmana
dan bertapa di puncak gunung Argapura karena kekecewaannya tidak bisa mempertahankan
agama Kejawen dari pengaruh agama Rasul yang masuk ke Lasem.

Sigeg

Saat meninggalkan keraton Kriyan sebelum menempuh jalan sebagai brahmana di gunung
Argapura, dia menyamar sebagai orang Sudra (orang dari kasta terendah menurut urutan kasta
Hindu) mengembara ke seluruh wilayah di utara dan barat gunung Glanggran dengan diikuti oleh
dua abdi setianya pada tahun Saka 1478 lalu membuka hutan disana dan membuka tempat
pertapaan untuk menenangkan tubuh serta jiwa. Tujuan bertapa ini adalah untuk mengenang dan
meneladani ajaran eyang buyut Pangeran Empu Santibadra yang menjadi penguasa Nusantara.

Page 15
Penguasa yang bernaung di bawah pohon Mandira, menghayati ajaran Kejawen serta
melestarikan ajaran Budi Budha menurut kitab Badrasanti.

Setelah padepokan ini didirikan, orang orang yang masih setia kepada Pangeran Santiwira dan
masih memiliki kepercayaan Budha yang kuat mulai mendatangi padepokan ini. Jumlah
pengunjung yang semakin banyak akhirnya membuat padepokan ini menjadi sebuah pedukuhan.
Tercatat masa itu adalah tahun Saka 1483. Pangeran Santiwira ini dianggap sebagai penolong
bagi para penganut Budha yang semakin terdesak oleh ajaran agama bangsa Magribi yang kini
semakin luas menguasai wilayah pantai selatan Lasem. Pangeran Santiwira yang sekarang
menjalani hidup sebagai petani dari kasta Sudra dianggap oleh pendukungnya sebagai Sang
Penggiring menuju ajaran awal sehingga dia dijuluki Kyai Ageng Panggiring atau Ki Ageng
Nggiring dan desanya disebut desa Giring Ngrawatana.

Pada tahun Saka 1506, saat Ki Ageng Giring berusia 78 tahun dia sangat merindukan tanah
kelahirannya di Lasem. Ki Ageng Giring lalu pergi ke Lasem dan menuju padepokannya di
puncak Argapura. Sepanjang matanya memandang dia tidak bisa mengedipkan matanya melihat
segala keindahan alam di sekitarnya serta kedamaian yang dirasakannya sehingga dia berucap
Keberuntungan dan Kemakmuran-Keberuntungan dan Kemakmuran karena perlindungan pohon
Mandira.

Karena Ki Ageng Giring meninggalkan desa maka kedudukannya digantikan oleh anaknya yaitu
Panembahan Santiwira yang bernama Ki Teja Bagus Srimpet. Penduduk disana memanggilnya
Ki Ageng Giring II.

Sultan Pajang yang mengetahui bahwa Ki Ageng Giring Teja Bagus Srimpet ini masih termasuk
keturunan raja Lasem dan dikenal mampu memerintah bawahannya terutama rakyat jelata
membuat sultan berkenan mengangkatnya sebagai menantu dan melantiknya menjadi adipati
Lasem bergelar Adipati Tejakusuma I pada tahun Saka 1507.

Desa Giring akhirnya diperintah oleh putera Tejakusuma I bernama Ki Tara, orang orang
menyebutnya Ki Ageng Giring Tara. Pada masa itu kerajaan Pajang sudah hampir runtuh dan
segera digantikan oleh Ngabehi Sutawijaya Senapati Mataram, pendiri kerajaan Mataram; Ki
Ageng Giring Tara dilantik menjadi Demang Giring III dengan sebutan Ki Tara Tejakusuma II.
Ki Ageng Giring Tara ini suka sekali mengembara dan bertapa di celah gua maupun tapa
berendam di danau dengan harapan mendapat kekuatan melaksanakan segenap ajaran Pangeran
Empu Santibadra.

Pada jaman pemerintahan Kanjeng Sinuhun Mas Jolang, putera dari Raden Sutawijaya, di Lasem
pecah kerusuhan besar akibat ulah Tumenggung Puspanegara bawahan Pangeran Tejakusuma I.
Tumenggung Puspanegara yang mendiami keraton Kriyan mengajak para ulama dan santri
memberontak dengan tujuan menggulingkan Pangeran Tejakusuma I yang sudah tua karena
berusia sekitar 57 tahun dan sakit sakitan. Pangeran Tejakusuma I yang tidak berhasil

Page 16
menghentikan pemberontakan ini akhirnya mengungsi bersama keluarganya ke Mataram dan
menetap disana selama 4 tahun.

Pada tahun Saka 1538 pada saat Sultan Agung bertakhta di Mataram sebagai raja, dia bertindak
keras terhadap para pemberontak Lasem. Tumenggung Puspanegara ditangkap pasukan Mataram
setelah berhasil menghancurkan semua pertahanan pemberontak di kota Lasem termasuk
menghancurkan kota Lasem itu sendiri. Tumenggung Puspanegara diadili di Mataram sementara
kedudukan adipati dikembalikan ke Pangeran Tejakusuma I.

Ki Ageng Demang Giring (Tara Tejakusuma II) memiliki dua anak laki laki, yang sulung
bernama Raden Mas Wingit, sedangkan yang bungsu bernama Raden Mas Wigit. Keduanya
diasuh oleh kakeknya di Kadipaten Lasem. Raden Mas Wingit setelah dewasa menikah dengan
seorang wanita dari desa Criwik yang masih merupakan keturunan Putri Silagati dan memiliki
seorang putera bernama Raden Panji Sumilir. Pada masa kejayaan Sultan Agung, Raden Mas
Wingit diutus kakeknya untuk berkunjung ke Mataram sedangkan kedua puteranya diasuh
istrinya di Criwik. Di Mataram ini Raden Mas Wingit menikah lagi dengan seorang gadis
Mataram dan memiliki dua puteri kembar.

Raden Mas Wingit adalah seorang pribadi yang jujur dan sering memberikan pengajaran kepada
para pemuda. Dia juga sangat disegani dan disukai para punggawa Lasem maupun Mataram. Dia
diberi gelar Panembahan Rama.

Setelah Pangeran Tejakusuma I meninggal, Raden Mas Wigit yang masih tinggal dengan
kakeknya di kadipaten Lasem dilantik di depan Kanjeng Sultan Agung di Mataram, diangkat
menjadi Adipati Lasem dengan gelar Pangeran Tejakusuma III. Setelah meninggal, sang adipati
Lasem ini diberi gelar Pangeran Tejakusuma Manggalayuda karena keberaniannya dan
kehebatannya dalam peperangan.

Putera dari Pangeran Tejakusuma III yang bernama Raden Mas Wicaksana, diangkat oleh Sunan
Amangkurat II sebagai Adipati Lasem bergelar Pangeran Tejakusuma IV. Pada tahun Jawa 1605
bulan Sura, sang pangeran menggubah SABDA BADRASANTI yang disalin kedalam tembang
(lagu Jawa) Macapat, ditulis dalam bahasa Jawa di atas buku kertas dhedak; yang akhirnya
diturunkan secara turun temurun kepada seluruh keturunan Tejakusuma dan para Berandhal
Lasem di Argasoka yang sangat menggemari Kesusasteraan Jawa.

Pada masa pemerintahan Tejakusuma IV di Lasem, para seniman wayang dan empu kesenian
Jawa, serta pujangga kesusasteraan Jawa sangat diperhatikan kesejahteraannya supaya dapat
meningkatkan kemampuannya di bidang seni wayang. Desa Ketandan adalah desa tempat
bermukimnya para pembuat gamelan, penabuh gamelan dan para dalang wayang krucil. Desa
Demungan menjadi desa pusat musik karawitan dan penghasil sinden (penyanyi Jawa) yang
cukup terkenal. Desa Kemandhung dan Kranggan menjadi pusat pengrajin emas, pembuat batik,
penjahit, pembuat slepi (tempat tembakau dari anyaman bambu) dan kipas dengan motif sayap
merak. Desa Sumbergirang menjadi desa tempat para pengrajin kayu, pengrajin tanah liat dan

Page 17
pengrajin tembaga. Desa Ngemprak menjadi pusat penggergajian kayu dan pengrajin tembaga.
Desa Kepohlandak menjadi desa pembuat gula kelapa dan air gula perasan buah bogor atau yang
kemudian disebut buah siwalan. Desa Semangu Banjarmlathi di tanah Taman Pratapan adalah
pusat pembelajaran ilmu Kejawen. Desa Purikawak adalah pusat pembelajaran agama Rasul.

Setelah meninggalnya Pangeran Tejakusuma IV, yang menggantikannya adalah puteranya


sendiri yang bernama Raden Panji Sasangka yang di kemudian hari dikenal sebagai Raden Panji
Sasangka Tejakusuma V.

Pangeran Tejakusuma V yang menjabat sebagai adipati Lasem ini rupanya dianggap berhasil dan
direstui serta mendapat penghargaan dari raja Mataram Sultan Pakubuwana I, pada tahun
Belanda 1714 atau tahun Jawa 1638. Pada saat kekuasaan Pakubuwana I digantikan oleh
puteranya Sunan Amangkurat IV, Pangeran Tejakusuma V tidak setuju dengan sikap sang raja
Mataram baru ini yang jelas jelas mendukung Belanda. Hingga akhirnya Pangeran Tejakusuma
V secara diam diam mendukung perjuangan Arya Mataram dan Pangeran Purbaya melawan
Belanda.

Tetapi kemudian perjuangan para Berandhal Mataram semakin lama semakin lemah dan semakin
terdesak oleh serbuan Belanda yang dibantu oleh raja Mataram. Karena melihat kenyataan
tersebut Pangeran Tejakusuma V yang merasa sudah lelah dan memang sudah mengalami
gangguan kesehatan terutama mengalami kelesuan tubuh dan gangguan pendengaran
mengajukan pengunduran diri dari takhta Lasem kepada raja Mataram. Dia kemudian
menghabiskan masa hidup hingga meninggalnya di Kadipaten Lasem di tanah Ketandhan sambil
menikmati Taman Pretapan Banjarmlathi. Dia dimakamkan di Pejaratan Widara wilayah
Brangkal. Sebenarnya setelah dia memutuskan untuk mundur dari takhta, takhta adipati Lasem
ini sudah diserahkan kepada seorang dari bangsa Cina yang sudah memeluk agama Rasul.
Rumahnya berada tepat di sebelah timur perempatan menghadap ke Masjid Lasem, orang Cina
tadi menunjukkan kesetiaannya yang tinggi kepada Pangeran Tejakusuma V. Namanya adalah
Oei Ing Kiat. Yang kemudian diangkat sebagai Tumenggung Lasem dan diberi gelar
Widyadiningrat oleh Sultan Pakubuwana II pada tahun Belanda 1727.

Pada tahun 1740 akibat kerusuhan anti Cina yang menelan ribuan korban jiwa di Batavia dan
sekitarnya banyak sekali orang orang Cina Batavia yang mengungsi ke Lasem atau di wilayah
Dresi sampai ke sebelah timur Lasem dari kampung Pereng hingga ke kampung Sadhita. Pada
tahun itu pula bermunculan orang orang Cina pendatang lainnya yang kemudian membeli tanah
dari wilayah Paturen hingga ke Sumberrejo di ujung sungai Kemandhung.

Sebenarnya sebelum Oei Ing Kiat atau Tumenggung Widyadiningrat dilantik menjadi
Tumenggung Lasem, takhta adipati Lasem sudah diserahkan kepada putera pertama Pangeran
Tejakusuma V yaitu Raden Mas Panji Margono. Tetapi Raden Panji Margono menolak tawaran
menjadi bangsawan Jawa dan memilih hidup bebas sebagai pedagang dan petani yang bergaul
erat baik dengan warga Jawa ataupun warga Cina. Karena rumah Raden Panji Margono

Page 18
berdekatan dengan kediaman Tumenggung Widyadiningrat maka terjalinlah persahabatan antara
keduanya.

Dari persahabatan inilah maka muncul kesepakatan keduanya untuk menampung para pengungsi
Cina dan sekaligus merencanakan perlawanan besar melawan Belanda dan raja Mataram yang
pada saat itu memusatkan kekuatannya di Rembang.

Pada masa itu Raden Panji Margono sudah berusia 45 tahun tercatat saat itu adalah tahun 1672
menurut tahun Jawa bulan Sawal. Dialah yang menjadi pelopor pembukaan lahan rawa dan
semak belukar di wilayah Sambong dan Narukan khusus untuk menampung para pengungsi
Cina. Pada saat itu di kedua wilayah tersebut banyak sekali tumbuh pohon Tal yang uniknya
memiliki dua bunga dengan jenis kelamin jantan dan betina. Bunga pohon Tal ini disebut
manggar. Manggar yang jantan disadap airnya dan air tersebut kemudian dijadikan gula. Dari
manggar yang betina dibiarkan tumbuh dan menghasilkan buah yang disebut buah siwalan. Buah
ini biasanya dikupas dan dijadikan pelengkap minuman es cendol ataukah bisa dimakan langsung
karena rasanya manis dan segar. Daunnya dijadikan pembungkus ketupat, dibuat timba air,
bahkan dibuat sebagai caping petani. Beberapa orang juga memakainya sebagai lembaran kertas
yang disebut juga Serat Kropak. Sayang sekali pada perkembangan jaman lembaran lembaran
daun Tal atau di kemudian hari disebut lontar ini semakin punah kalah dengan kertas dari
dhedak.

Raden Panji Margono juga melarang warganya menebangi pohon pohon Tal yang ada di kedua
wilayah ini karena sangat berguna sebagai sarana pengintaian pasukan Lasem yang mengawasi
pergerakan pasukan Belanda.

Pada tahun Belanda 1730, orang orang Cina kaya di kampung Pereng yang pekerjaannya
berdagang dengan kapal layar sepakat untuk memperdalam sungai Paturen mulai dari dukuh
Layur sampai desa Brangkal, aliran sungai Tuyuwan dibelokkan ke barat sampai desa Brangkal
kemudian berbelok ke utara masuk sungai Paturen di wilayah Sumberrejo, dan mendapat aliran
air tambahan dari sungai Kemandhung yang bersumber dari Taman Banjarmlathi. Di kanan kiri
sungai Paturen dibangun tembok kuat supaya menjadi tempat berlabuh kapal kapal dagang Cina
masa itu.

Tetapi akibat dari proyek pembelokan air tersebut menyebabkan aliran sungai ke timur tanah
Trawangsan yang memasuki rawa Narukan menjadi terhenti. Akhirnya rawa rawa di Narukan
menjadi kering. Tanah di sebelah utara akhirnya digali (dalam bahasa lokal disebut disambong)
oleh orang orang yang setia kepada Raden Panji Margono, diolah, dijadikan lahan persawahan
dan perumahan penduduk yang kemudian terkenal dengan nama Dukuh Sambong. Orang
pertama yang diutus mendiami tanah Sambong ini untuk pertama kalinya tidak lain adalah orang
kepercayaan Raden Panji Margono sendiri yaitu Ki Mursodo pada tahun Belanda 1741. Tahun
itu adalah masa matangnya buah randu, jambu mete dan matangnya buah mangga. Kebetulan

Page 19
waktu itu rawa rawa di sekitarnya juga sedang kering sehingga yang tersisa hanyalah lubang
dalam berisi ikan ikan besar yang menggelepar menunggu diambil.

Pada tahun 1741 inilah yang menjadi masa pergerakan rakyat Cina melawan kekuasaaan VOC
Belanda. Mereka menyimpan dendam kepada Belanda yang menyiksa dan membantai habis
habisan warganya di tanah Betawi. Para pelopor gerakan ini menyebut dirinya Berandhal Cina
yang kemudian bekerjasama dengan para pangeran di kota Kartasura Mataram.

Di Lasem juga muncul gerakan serupa yang dinamakan Tiga Serangkai Manggalayudha yang
mempelopori gerakan Berandhal Cina Lasem. Ketiganya adalah:

• Raden Panji Margana yang menyamar sebagai orang Cina dengan nama samaran Babah
Tan Pan Ciang. Dia mengenakan pakaian Cina hitam khas pendekar Kundaow.

• Babah Tan Kie Wi. Saudagar pedagang batu bata yang dermawan. Seorang pendekar
Kundaow yang terkenal hebat dan nekad.

• Raden Ngabehi Widyadiningrat sang Tumenggung Lasem yang bernama Cina : Babah Ui
Ing Kiat.

Pasukan perlawanan para Berandhal Lasem yang terkenal dengan pakaian hitamnya ini membagi
dua pasukannya yaitu pasukan darat dan pasukan laut. Pasukan darat berhasil menembus
pertahanan pasukan VOC di Rembang setelah mendapat bantuan dari pasukan Berandhal Cina
Dresi dan Jangkungan. Korban di pihak VOC sangat besar waktu itu. Bentengnya hancur dan
sebagian besar tentara VOC tewas.

Serangan kedua diarahkan ke kota Juwana dengan sasaran tangsi Belanda di sebelah timur
sungai Juwana. Kali ini pasukan Berandhal Lasem dibantu oleh pasukan Berandhal Cina
Purwadadi. Tetapi serangan kali ini gagal karena pasukan Belanda mendapat bantuan dari
pasukan Belanda dari Semarang. Pertempuran sengit tidak terelakkan lagi tetapi karena
persenjataan Belanda yang dilengkapi dengan senapan dan meriam jelas bukan tandingan
pasukan Berandhal yang hanya mengandalkan senjata tajam pasukan Berandhal mundur ke desa
Ngerang di timur sungai Juwana untuk menyusun rencana. Saat itu disepakati bahwa pasukan
Berandhal akan menyerang tangsi Belanda lewat jalur sungai dan langsung menyerbu pusat kota.
Serangan dimulai tepat lingsir wengi (selepas tengah malam) yaitu sekitar pukul 2 dini hari.
Mereka menyeberangi sungai menggunakan perahu batang pisang atau rakit bambu dan
menyusup ke arah selatan kota Juwana. Serangan fajar ini rupanya berhasil. Pasukan bantuan
Belanda dari Semarang rupanya langsung ditarik mundur kembali ke Semarang meninggalkan
benteng di Juwana dengan sejumlah tentara VOC yang tidak siap. Pasukan Belanda yang tidak
siap ini benar benar kewalahan menghadapi serangan mendadak yang langsung mengejar tentara
Belanda yang melarikan diri dan menggiring mereka kearah Bengawan Juwana sehingga banyak
diantara mereka yang tewas tenggelam. Belum termasuk yang tewas akibat serangan di tangsi
Juwana. Begitu pagi merekah barulah pasukan bantuan Belanda dari Semarang datang ke

Page 20
Juwana. Mereka menembaki pasukan Berandhal yang masih berada di tepi selatan dan timur
Bengawan Juwana. Tidak terhitung jumlah mereka yang tewas akibat dihajar meriam tanpa
ampun. Korban dari pihak pasukan Berandhal bergelimpangan dengan kondisi mengerikan. Dada
hancur dan potongan potongan tubuh berserakan penuh lumuran darah.

Melihat keadaan itu, pasukan Berandhal yang berada di dalam kota seketika mengamuk. Tetapi
karena mereka menyadari bahwa persenjataan mereka kalah dari Belanda maka mereka
menggunakan taktik gerilya. Bersembunyi ketika pasukan Belanda menembaki lalu menyerang
ketika mereka sedang mengisi peluru. Pasukan Berandhal menyerbu dengan ganas menggunakan
pedang dan keris membabat habis tentara Belanda yang masih sibuk mengisikan mesiu ke dalam
senapannya. Taktik ini terbukti berhasil memukul pasukan Belanda dengan jumlah korban yang
sangat besar tergeletak di sepanjang alun alun Juwana.

Saat itu pasukan Berandhal juga memburu seorang antek Belanda dari kota Pati yang selalu
menyerang pasukan Berandhal dengan ilmu hitamnya. Dia adalah seorang berkebangsaan Arab
bernama Khaidar. Sorang guru agama dan guru kesaktian ilmu hitam yang mengaku kebal
terhadap senjata apapun. Pada saat yang kacau itu dia mencoba melarikan diri menuju ke masjid
Juwana. Tetapi sayang, disana sudah menunggu Babah Ui Ing Kiat dengan senjata andalannya :
Pedang Naga Popwe Gap Sow Bun. Sebilah pedang peninggalan panglima laut Bi Nang Un yang
diwariskan turun temurun. Seketika pedang itu membabat tubuhnya dan merobek perutnya
sehingga ususnya terburai. Sang Tuan Arab yang kabarnya sakti dan kebal senjata ini akhirnya
tewas dan langsung dikuburkan di depan tangsi Belanda bersama orang orang Belanda kafir yang
pernah dibelanya.

Rupanya setelah serangan pertama di Rembang yang berhasil memukul mundur pasukan
Belanda, pasukan Berandhal Lasem, Dresi dan Jangkungan berpisah. Pasukan Berandhal Lasem
yang dipimpin oleh Tan Kie Wie berangkat ke Jepara melalui jalur laut untuk menghancurkan
kekuatan Belanda disana. Pasukan ini berangkat dari Dresi. Di tengah perjalanan mereka dibantu
oleh pasukan Berandhal Cina dari Tayu.

Tetapi sesampainya di pulau Mandalika Jepara, pasukan Belanda rupanya sudah siap
menghadang. Mereka menembakkan meriam tanpa henti ke arah perahu perahu pasukan
Berandhal. Pasukan Berandhal jelas sangat sulit melawan karena mereka tidak dipersenjatai
dengan meriam sedangkan pasukan Belanda sudah mengepung seluruh pulau Mandalika
terutama pantai Ujung Watu yang merupakan pintu masuk ke pulau. Dan saat itulah perahu Tan
Kie Wie tertembak dan Tan Kie Wie tewas seketika. Perahunya seketika hancur dan tenggelam.
Korban dari pihak pasukan Berandhal cukup besar. Mayat mereka mengapung di atas laut dalam
keadaan yang benar benar mengenaskan. Hancur berantakan tidak berbentuk lagi.

Tentara Berandhal yang berhasil berenang dengan susah payah mencapai pantai juga bernasib
sama buruknya. Di sepanjang garis pantai, pasukan Belanda sudah berjaga dengan bersembunyi
di balik pasir muncul lalu membantai siapapun yang memasuki pantai. Perahu perahu Berandhal

Page 21
yang berada di sisi timur pulau Mandalika masih beruntung tidak terkena hantaman meriam
karena berada di luar jarak tembak. Perahu perahu ini kemudian berbalik arah menuju utara dan
sementara waktu menghilang dari pengawasan Belanda. Pasukan yang selamat ini kemudian
menyusuri hutan Danaraja dan langsung menyerang pasukan Belanda yang saat itu lengah karena
selama ini hanya mengawasi sisi selatan pulau. Serangan ini berhasil karena pasukan Belanda
merasa aman mengira pasukan Berandhal sudah melarikan diri sehingga banyak diantara mereka
tertidur atau beristirahat. Banyak diantara mereka bahkan tidak sempat membawa senjata dan
melarikan diri tanpa sempat berpakaian lengkap. Tetapi kemenangan ini dirasakan hambar
karena pasukan Berandhal belum berhasil menguasai benteng Jepara dan juga mereka merasa
kehilangan pemimpin mereka Sian Sing Tan Kie Wie yang tewas di laut Jepara.

Karena jumlah pasukan Berandhal yang berkurang sangat banyak, pasukan inipun memutuskan
untuk kembali ke Lasem karena tidak mungkin menyerang Benteng Jepara dengan kekuatan
yang kecil seperti ini. Meninggalnya Sang Wirengyuda Babah Tan Kie Wie ini dijadikan
peringatan ditulis diatas batu besar menggunakan tulisan huruf Cina yang tertulis tanggal 5
November Tahun Belanda 1742. Batu peringatan ini diletakkan di tengah tengah tambak garam
Bathuk Mimi di wilayah tambak garam milik Sian Sing Tan Kie Wie sendiri dan dipuja puja oleh
keluarganya dengan memasang dupa dupa Hio beraroma harum. Orang orang Cina ini merasa
sangat marah kepada Belanda dan menginginkan agar Belanda segera pergi dari Jawa. Seorang
perempuan Cina yang sudah tua bernama Ui Tiang Nio bertapa di tepi pantai Mandalika dengan
penuh kesedihan karena kedua anaknya tewas dalam penyerbuan ke Mandalika. Dalam tapanya
itu dia merasa didatangi oleh Mak Cow Kwan Iem Hu yang bergelar Dewi Maha Belas Kasih,
yang bersabda:

“Wahai umatku yang menanggung penderitaan di tanah Jawa, tabahkanlah hatimu dan tetaplah
memohon kepada Yang Maha Kuasa dan juga kepada Budha, maka ingatlah bahwa akan
terlaksana semua permohonanmu. Kompeni Belanda akan sirna segera setelah Tambak Bathuk
Mimi ini sirna.”

Orang orang Jawa Lasem rupanya sangat sulit memahami kata kata dari Dewi Kwan Iem ini.
Mereka yang menanggapinya secara harafiah menganggapnya aneh karena bagaimana mungkin
tambak garam yang terdiri dari tanah dan garam bisa dihilangkan? Dan kalaupun tidak
dihilangkan harus dipindahkan. Lalu siapa yang bisa memindahkannya? Mereka hanya
berpegang pada satu semboyan: “Ayo Berandhal, Lawan Belanda!”. Kalau ada yang memimpin
langsung ikut.

Sementara itu peperangan di kota Juwana antara Belanda melawan pasukan Berandhal Brandhal
Banteng Wirengsudra di bawah pimpinan Ki Wirengsudra belum menunjukkan tanda tanda akan
berakhir. Kota Juwana penuh dengan asap tebal dari berbagai arah. Dari arah selatan bantuan
Berandhal dari Jaken dan Kawak yang dipimpin oleh Ki Ageng Sokawangi seorang keturunan
Mpu Santibadra bergabung bersama pasukan Berandhal dari Purwodadi. Dari arah timur
dipimpin Raden Panji Margana alias Babah Tan Pan Ciang dan Babah Tumenggung Ui Ing Kiat.

Page 22
Jumlah pasukan Berandhal yang semakin bertambah menambah semangat mereka untuk terus
menggempur pertahanan Belanda tetapi pasukan Belanda harus diakui memang lebih unggul
karena dilengkapi senapan laras panjang. Lagipula Belanda dibantu oleh pasukan Jawa di bawah
pimpinan Adipati Cakraningrat IV yang mempersenjatai pasukannya dengan senapan api. Situasi
semakin sulit karena pasukan Belanda berhasil mengetahui persembunyian pasukan Berandhal di
semak semak lebat di sebelah barat Ngerang. Pasukan Belanda menggempurnya tanpa ampun.

Akibatnya sungguh sangat mengerikan. Ki Wirengsudra dan anak buahnya tewas mengenaskan,
bergelimpangan dengan tubuh terkoyak di sepanjang jalan. Pasukan Belanda kemudian memaksa
masyarakat di sekitarnya menggali lubang untuk mengubur mayat para Berandhal di mana saja
dan tentunya dikuburkan ala kadarnya. Hal ini dilakukan Belanda sebagai peringatan kepada
rakyat Jawa agar tidak melawan Belanda kalau tidak mau bernasib sama dengan para Berandhal
ini yang tewas dengan tubuh hancur lalu dikubur seperti binatang. Pasukan Berandhal semakin
terdesak lalu melarikan diri kemana mana. Beberapa diantara mereka mencoba menangkis
serangan peluru Belanda menggunakan perisai baja sedangkan yang lain nekad menantang
peluru Belanda menggunakan ajian kebal Wesi Aji. Tetapi lambat laun pertahanan pasukan
Berandhal hancur juga dan sisa sisa Berandhal dikejar hingga ke pelosok Juwana.

Raden Panji Margana dan pengawal pribadinya, Ki Galiya, membuang semua pakaian
Berandhalnya lalu menggantinya dengan pakaian Cina yang dibelinya di desa Raci lalu membeli
dandang (tempat menanak nasi) dari tembaga rongsokan. Mereka menyamar sebagai tukang
memperbaiki perkakas dapur. Penyamaran ini berhasil mengelabui pasukan Belanda dan pasukan
Cakraningrat IV yang menjelajahi seluruh Juwana mencari sisa sisa anggota Berandhal. Raden
Panji Margana dan Ki Galiya akhirnya berhasil keluar dari Juwana menjelang senja dan berhasil
mencapai pelabuhan Kiringan di Lasem saat malam tiba. Setibanya di timur Kiringan, dandang
yang dibawa Ki Galiya dipendam di tambak garam milik Ki Galiya sendiri dan berpesan agar dia
dikuburkan di dekat dandang yang dibawanya. Dandang ini dijadikan sebagai pengingat bahwa
mereka pernah selamat karena benda ini.

Setibanya di rumah, Raden Panji Margono merasa sangat lelah dan jatuh sakit dan akhirnya
benar benar sakit parah hingga berbulan bulan dan tidak kunjung sembuh karena pusing
memikirkan pemberontakan Berandhal Lasem yang mengalami kegagalan. Karena Raden Panji
Margana sakit maka perlawanan Berandhal Lasempun meredup dan sementara Kompeni Belanda
merasa tenang karena tidak ada gangguan yang berarti dari para Berandhal.

Babah Tumenggung Ui Ing Kiat yang melihat pasukannya berantakan, langsung mengganti
pakaiannya dengan pakaian Jawa dan menyamar sebagai pedagang Kartasura yang menjual
seperangkat gamelan Jawa dan menempuh perjalanan menuju Kartasura. Setelah menempuh
perjalanan berat akibat dihadang pertempuran besar antara pasukan Berandhal dan pasukan
Belanda yang juga terjadi di Kartasura akhirnya dengan susah payah Babah Ui Ing Kiat berhasil
mencapai keraton Raja Kartasura, Sinuhun Pakubuwana II dan mengaku sebagai pengungsi dari
Lasem yang melarikan diri karena diancam akan dibunuh para Berandhal.

Page 23
Setelah pemberontakan Berandhal Cina Lasem mereda, Tumenggung Widyadiningrat pulang
kembali ke Lasem dan disambut gembira oleh sanak keluarganya yang mengira dia sudah tewas
dan mayatnya dibuang ke sungai Juwana. Tumenggung Widyadiningrat kemudian memohon
ampun kepada pemerintah Belanda dan mengarang cerita bahwa dia adalah korban
persekongkolan pemberontak Cina Lasem. Siasatnya ini berhasil karena kemudian Belanda
mengembalikan kedudukannya sebagai Tumenggung Lasem walaupun hanya untuk sementara
waktu. Belanda yang tidak lagi mempercayai orang orang Cina kemudian mencopot jabatan
Tumenggung Widyadiningrat. Pangkat Tumenggung diturunkan menjadi Mayor Tituler dan
namanya dikembalikan menjadi nama Cina lagi yaitu Babah Ui Ing Kiat.

Keturunan Tumenggung Widyadiningrat banyak yang menjabat jabatan tinggi dalam


pemerintahan Jawa terutama di wilayah Kartasura dan Madiun; mereka masih menganut ajaran
kuno Kejawen Sabda Badrasanti dan mengakui bahwa mereka masih merupakan keturunan
Puteri Cempa Winarti Kumuwardhani dan suaminya Pangeran Badranala Adipati Lasem.
Sementara keturunannya yang lain bermukim di Lasem dan menjalankan usahanya yang maju
pesat. Banyak diantara mereka menjadi orang orang kaya di Lasem.

Sejak tahun 1743 bulan November orang orang Cina yang bermukim di Dresi dan desa desa
lainnya yang selama ini hidup bersama sama orang Jawa dan bekerja seperti orang orang Jawa
lainnya sebagai petani, petani garam, nelayan, tukang kayu kemudian dipaksa untuk pindah dari
pemukiman mereka selama ini. Mereka semua dikumpulkan jadi satu di tengah kota dan
dipisahkan dari kumpulan orang orang Jawa dan diawasi secara ketat oleh pemerintah Belanda.
Mereka dipaksa menjadi pedagang hasil bumi, pemungut pajak pasar, pedagang candu dan
pedagang garam. Mereka diharuskan menyetorkan hasilnya kepada pihak Belanda.

Gubernur Jenderal Belanda di Batavia pada tahun 1745 mengangkat seorang dari Semarang
bernama Suroadimenggolo III sebagai Bupati wilayah Lasem yang berkedudukan di desa Tulis.
Orangnya bertubuh tinggi besar bercambang lebat seperti bangsawan Arab. Belanda mengawal
rumahnya siang malam dan juga mendirikan tangsi Belanda di puncak Gebang di sekitar candi
Butun.

Pada saat itu di kaki gunung Argasoka sebelah timur Lasem, masih banyak Berandhal yang
masih bersembunyi sambil menyusun kekuatan untuk kembali melawan Belanda. Tujuan utama
mereka saat itu adalah membunuh Bupati Regen Suroadimenggolo yang memang perilakunya
kasar dan suka menyombongkan diri sebagai orang paling benar.

Pada tahun 1747 maka Belanda mengumumkan undang undang baru :

 Siapapun orang yang berani bersekutu dengan para Berandhal akan menghadapi
hukuman siksa hingga mati
 Dilarang menyimpan surat surat pustaka Syiwa atau Budha yang bermuatan cerita Lasem
tentang Berandhal Lasem. Yang masih menyimpan surat atau karya sastra tersebut

Page 24
diharuskan mengumpulkannya segera di alun alun kabupaten. Siapapun yang berani
menyimpannya akan dijatuhi hukuman cambuk 25 kali.
 Arca arca candi harus dihancurkan dan candinya dibongkar.

Karya karya sastra suci tadi termasuk juga surat Badrasanti yang ditulis diatas daun lontar dan
banyak diantara karya karya tersebut berhasil disita dan dibakar oleh penguasa Jawa yang
mendukung Belanda. Saat itu masyarakat Lasem seakan terbelah dua; sebagian menangis sedih
karena melihat pustaka sastra yang tidak ternilai harganya dan merupakan pegangan hidup orang
Lasem peninggalan leluhur ini dibakar habis bahkan ada seorang kakek Cina yang pingsan
melihat karya sastra Sabda Badrasanti miliknya yang berbentuk lagu Jawa dibakar di depan
matanya. Diketahui kemudian kakek ini meninggal dunia. Tetapi tidak semua orang bersedih.
Sebagian lagi justru bersorak sorai melihat dibakarnya pustaka leluhur tersebut. Orang orang ini
adalah orang orang yang sudah hilang ingatannya dan dipengaruhi oleh Belanda.

Ketika para begundal Belanda dan anak buah Bupati Regen Suradimenggolo III mulai
menggeledah rumah rumah penduduk untuk mencari karya sastra Jawa milik penduduk dan
membakarnya. Akibat kejadian ini Berandhal Lasem bermunculan dari berbagai penjuru
terutama dari Sedan, Pamotan dan Kragan lalu mengangkat sumpah setia kepada Raden Mas
Panji Margono yang kala itu sudah berusia 52 tahun. Karena kemunculan pasukan Berandhal
dalam jumlah besar inilah yang mengakibatkan tidak ada prajurit Bupati Regen yang berani
menggeledah rumah Raden Mas Panji Margono karena takut akan diserang pasukan Berandhal.
Hal inilah yang menyelamatkan Raden Mas Panji Margono beserta karya karya sastra Jawa yang
dimilikinya yaitu: Guritan Sabda Badrasanti dan Sabda Badrasanti dalam bentuk tulisan diatas
daun lontar. Karya sastra yang tersisa inilah yang kemudian ditulis ulang dan diteruskan kepada
seluruh keturunannya.

Pada tahun 1748 penghancuran arca dan candi serta pembakaran karya sastra Jawa kuno
semakin parah dan ini membuat kebencian masyarakat Lasem yang masih menganut agama
Hindu Budha dan Kejawen makin bertambah. Mereka kemudian berencana membunuh Bupati
Regen Suroadimenggolo III.

Bupati Suroadimenggolo III yang sudah mengalami berbagai ancaman dan percobaan
pembunuhan akhirnya merasa tidak tahan dan memindahkan tempat tinggalnya ke wilayah
Magersari Rembang pada tahun 1750. Pasukan Belanda yang tadinya menempati markas di
Gebang akhirnya ikut pindah ke Rembang demi menghindari ancaman para Berandhal yang
semakin nekad.

Page 25
SIGEG

Putera dari Raden panji Sumilir yang bernama Raden Panji Suryakusuma dan Raden Panji
Suryadilaga yang kemudian menjadi sesepuh warga Lowah dan seluruh keturunan warga Lowah
mengangkat sumpah setia di Punden Candi Malad tempat abu dari semua leluhur mereka yang
gugur dibunuh oleh serdadu anjing Belanda atas perintah Bupati Suroadimenggolo. Sumpah itu
berbunyi:

Akan menghancurkan Suradimenggolo III beserta seluruh begundalnya.

Sumpah setia ini mengguncang seluruh Lowah dan sekitarnya seketika membakar semangat
masyarakat Lasem yang mengalami penindasan Belanda akibat dituduh bersekutu dengan
Berandhal atau yang mengalami perampasan karya sastra Jawa miliknya.

Pada bulan Agustus 1750 para pemimpin Berandhal yang sudah beranjak tua kembali
meneriakkan ajakan perang melawan Belanda. Ajakan itu ditanggapi oleh para pemuda yang
langsung bergabung dengan pasukan Berandhal melawan Belanda.
Ketika mendengar itu, Raden Panji Margono kemudian mengucapkan sumpahnya yang terkenal:
Aku akan membalas dendam dengan menghancurkan Bupati Suroadimenggolo III dan
menumpas kompeni Belanda dan seluruh begundalnya.

Sumpah setia para pemberontak Lowah ini menyebar ke seluruh penjuru Lasem dan sekitarnya
dan membakar semangat para penduduk seperti api di dalam rerumputan terlebih bagi orang
orang yang pernah merasakan penderitaan akibat penindasan Belanda akibat dianggap sebagai
sekutu Berandhal dan yang melihat dengan mata kepalanya sendiri pustaka Jawa yang sangat
mereka muliakan dibakar oleh para begundal Suroadimenggolo III.

Pada bulan Agustus 1750 para tokoh pemberontak Lasem yang sudah lanjut usia ini kembali
mengumandangkan ajakan pemberontakan melawan Belanda beserta para begundalnya. Melihat
tekad para sesepuh Berandhal ini, para pemuda tergerak tekadnya untuk ikut dalam
pemberontakan melawan Belanda.

Raden Panji Margono yang saat itu masih sangat dihormati oleh semua orang Cina dan Lasem di
Lasem mendengar kabar tentang aksi perlawanan para Berandhal Lasem di Argasoka akhirnya
mulai terbakar lagi semangatnya dan bertekad untuk membasmi “Kerbau kerbau Putih yang
dikalungi rantai bangsa Ngatasangin Maghribi.” Pada satu hari, orang orang ini berkumpul di
depan masjid Lasem sampai memenuhi seluruh ruangan masjid bahkan sampai berdesak desakan
sambil mengucap sumpah: sukarela hingga mati mendukung dengan segenap jiwa raga untuk
menghilangkan seluruh Kompeni Belanda dari tanah Jawa.”

Page 26
Pada waktu itu bertepatan dengan hari Jumuwah (Jumat) hari dimana para santri beribadah di
masjid dimana pemimpinnya adalah Kyai Ali Badawi dari Purikawak, seorang ulama berwajah
tampan bertubuh tinggi besar dan masih satu keturunan dengan Pangeran Tejakusuma I, yang
masih satu keturunan dengan Pangeran Mpu Santibadra yang masih melestarikan Wasita
(Pedoman) dan Wecane (Nasihat) para leluhurnya yang masih menganut budaya Kejawen. Kyai
Ali Badawi sebenarnya pada hari sebelumnya sudah mendapatkan nasihat dari Raden Panji
Margono yang membakar semangatnya untuk memusnahkan Belanda. Sehingga pada hari itu
Kyai Ali Badawi langsung mengumandangkan perang Sabil untuk menghancurkan Belanda yang
bermarkas di Rembang yang disambut suara dukungan dari para Berandhal Lasem di masjid
Lasem.

Raden Panji Mlayakusuma seorang Berandhal dari pasukan Banteng Gada yang masih keturunan
Pangeran Santiyoga yang menjabat sebagai Kyai Ageng Gada yang merupakan putera dari
Pangeran Mpu Santibadra menggerakkan para Berandhal dari Gada, Kasareman, Badheg, dan
Ngadem mengepung Rembang dari utara.

Nasib malang menimpa pasukan Berandhal dari Sedan dan Pamotan yang dipimpin oleh
Nayagimbal karena dihadang oleh pasukan Belanda di gerbang masuk wilayah Tireman. Pusaka
Payung andalannya juga hancur lebur dihantam meriam Belanda. Pasukannya yang sudah
menyerang terlebih dahulu ternyata dihadang oleh pasukan Belanda yang ternyata sudah
mendapatkan pemberitahuan dari mata mata Belanda di dalam pasukan Nayagimbal sendiri.
Mata mata tersebut tidak lain adalah sahabat Nayagimbal yang termakan suap Belanda. Tergiur
tawaran akan dijadikan bangsawan Jawa di bawah pemerintahan Belanda.

Orang orang Cina di Lasempun ikut terbakar semangatnya untuk melawan Belanda setelah
mendengar kabar pemberontakan Berandhal Lasem yang digerakkan oleh para penduduk
pribumi Lasem di desa desa. Mereka dipimpin oleh Sian Sing Babah Mayor Ui Ing Kiat yang
bertekad berjuang hingga mati membalaskan dendam saudaranya Sian Sing Babah Tan Kie Wie
yang hanyut di lautan Mandalika Jepara.

Dalam waktu kurang dari dua minggu para Berandhal berhasil menghancurkan pasukan Belanda
di Rembang. Pemerintah Kompeni Belanda dan Bupati Suroadimenggolo yang mendapat laporan
dari mata matanya tentang serangan ini segera mengungsikan keluarga dan sanak saudaranya ke
benteng Jepara dan Semarang melalui jalur laut seklaigus meminta bantuan dari pasukan yang
ada disana. Pasukan bantuan ini datang ke Rembang dan masih dibantu oleh pasukan dari para
bupati yang mendukung Belanda. Pasukan dengan jumlah besar inilah yang kemudian
menghantam pasukan Nayagimbal yang sudah menerobos wilayah Tireman.

Bantuan pasukan dari Bupati Tuban yang mendukung Belanda dipimpin oleh Tumenggung
Citrasoma. Dia mendaratkan pasukannya di daerah Bonang dan Leran tetapi langsung dihadang
oleh pasukan Berandhal dari gunung Argasoka yang dipimpin Raden Panji Suryakusuma yang
Page 27
didukung oleh warga Ngendhen. Perang berlangsung sengit dan meluas hingga ke daerah
Karangpace dan Sambong. Di desa Sambong ini pasukan Berandhal melarikan diri di balik
pohon pohon Tal yang tumbuh lebat di sana karena mendapat bantuan dari para pencari gula aren
yang

Page 28

Anda mungkin juga menyukai