Anda di halaman 1dari 4

Fungsi Medan nan Bapaneh di Kuburan Panjang Pariangan

Sebelah timur bagian kawasan makam ini juga terdapat kursi yang terbuat dari batu
seperti sandaran yang disusun delapan buah. Dan ini menandakan bahwa tempat ini pernah
berfungsi sebagai tempat bermusyawarah yang dikenal dengan medan nan bapaneh.
Jumlahnya sebanyak delapan inilah yang disebut niniak mamak nan salapan (ninik mamak
yang delapan) yakni tempat yang disebut dengan balai panjang. Di lokasi ini juga terdapat
gundukan tanah yang tingginya lebih kurang 2,1 meter dengan diameter 10 meter, gundukan
ini dipercaya sebagai galian dari makam tersebut yang akhirnya dipergunakan sebagai tempat
pemujaan.

Batas batas Wilayah Minangkabau di Batu Lantak Pariangan


Dalam konteks sosial budaya, wilayah Minangkabau ini terbagi lagi atas tiga, yaitu
wilayah darek (darat), pasisia (pesisir), dan rantau. Wilayah darek ini dianggap sebagai
sumber dan pusat adat Minangkabau, dan terletak di dataran tinggi. Wilayah ini terbagi lagi
atas tiga wilayah yang disebut luhak, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak
Limo Puluh Koto. Kota-kota yang termasuk ke dalam tiga luhak ini antara lain Bukittinggi,
Payakumbuh, Lubuk Basung, dan Batu Sangkar.
Wilayah pasisia (pesisir) adalah wilayah yang berada di sepanjang pantai, mulai dari
Padang Pariaman, Painan, dan Pasisia Selatan. Wilayah rantau adalah wilayah yang dulunya
berada di bawah pengaruh kerajaan Minangkabau atau wilayah yang merupakan perluasan
kerajaan Minangkabau. Wilayah tersebut antara lain Air Bangis, Lubuak Sikapiang, Kerinci,
Indrapura, Muara Labuh, Bangkinang, Lembah Kampar Kiri, Kampar Kanan, dan Rokan.
Kondisi topografis wilayah Minangkabau tidak hanya datar. Di wilayah ini terdapat bukit-
bukit (di antaranya Bukit Barisan), gunung (Marapi, Singgalang, Talang), sungai, dan danau
(Maninjau, Singkarak, Danau Ateh dan Bawah). Selain masih didominasi oleh hutan-hutan,
curah hujan pun cukup tinggi sehingga tanahnya pun subur. Jika dikaitkan dengan tradisi dan
kesenian Minang, kondisi daerah yang berbukit-bukit dan kadang terpisah oleh jarak ini
sangat mungkin menjadi sebab munculnya beberapa tradisi dan kesenian yang hanya dimiliki
oleh daerah tersebut (tidak tersebar luas di wilayah Minangkabau).

Fungsi dan filosofi yang terdapat di Balairung Sari Tabek Pariangan


Fungsi Balairung Sari dari dulu sampai sekarang tidak berubah, yaitu tempat
bermusyawarah, artinya tempat membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan adat
Sejarah Masjid Tuo Limo Kaum
cikal bakal keberadaan masjid ini berawal dari sebuah masjid di Nagari Lima Kaum
yang didirikan pada pertengahan abad ke-17, menyusul masuknya Islam ke Dataran Tinggi
Minangkabau. Masjid itu terletak di Jorong Balai Batu dan masih berupa bangunan sederhana
beralaskan batu tanpa dinding dan atap, atau dalam bahasa Minangkabau dijuluki
dengan baaleh batu, badindiang angin, baatok langik.[5] Pada waktu yang tidak diketahui,
dibangun masjid pengganti di lokasi lain, yaitu di Jorong Tigo Tumpuak,[6] yang
keberadaannya tidak bertahan lama karena kapasitasnya tak memadai. Pada tahun 1710, di
atas lokasi sebuah pagoda yang telah lama ditinggalkan penganutnya karena masuk Islam,
dibangunlah masjid yang kini dikenal sebagai Masjid Raya Lima Kaum.[7]
Pembangunan masjid ini dilakukan secara bersama oleh masyarakat setempat.
Bangunannya terbuat dari kayu dan papan, mulai dari dinding hingga tiang, sementara
atapnya yang semula terbuat dari ijuk telah diganti dengan seng. Dalam perkembangan
selanjutnya, masjid ini juga mengalami beberapa perbaikan yang dilakukan secara swadaya,
termasuk perbaikan dan pelebaran mihrab, pembuatan serambi, perbaikan dan pemasangan
kaca pada jendela, penggantian bilah-bilah papan yang telah rapuh, dan pembuatan loteng.

Peristiwa Batu Batikam dan Kubu Rajo di Limo Kaum


Menurut ceritanya dulu, di Dusun Tuo Lima Kaum ini adalah tepat berunding
bermusyawarah bagi orang-orang tua dulunya. Batu Batikam ini dahulunya terjadi karena
adanya perselisihan paham dalam menentukan sistem pemerintahan adat antara dua orang
beradik kakak Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumangguangan. Datuak
Parpatiah Nan Sabatang dengan sistem pemerintahan kelarasan Bodi Chaniago, sedangkan
Datuak Katumanggungan dengan sistem pemerintahan kelarassan koto Piliang. Karena
mereka beradik kakak maka tidak mungkin untuk berkelahi saling pukul, maka dari itu
bermusyawarahlah mereka. Datuak Parpatiah Nan Sabatang menyelesaikan perselisihannya
dengan keris yang ditancapkan ke batu sampai batu itu berlobang dan keris itu di buang ke
sungai supaya perselisihan itu selesai dan tidak akan berulang lagi besoknya. Sampai
sekarang keris yang dibuang itu belum ditemukan, sampai sudah kering pula sungai itu tidak
juga bertemu.
Bentuk tulisan Sanskerta di Pagaruyuang

Prasasti ini ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan menggunakan


aksara Sanskerta. Bentuk goresan aksaranya tidak terlalu baik, prasasti ini dituliskan dalam
bahasa Sanskerta dengan memakai huruf pasca Pallawa.
Sejarah Kerajaan Pagaruyuang
Dari manuskrip yang terdapat pada bagian belakang arca Amoghapasa,
diketahui bahwa pada 1347 M Adityawarman menyatakan dirinya sebagai raja di
Malayapura. Meski nama Pagaruyung tidak ditemukan dalam berbagai sumber
sejarah, Adityawarman diduga kuat sebagai pendiri Kerajaan Pagaruyung.
Adityawarman adalah seorang keturunan Minangkabau-Jawa, putra dari
Adwayawarman (pemimpin Ekspedisi Pamalayu dari Kerajaan Kediri) dan Dara
Jingga (putri Kerajaan Dharmasraya). Namun, sebagian sejarawan berpendapat
bahwa Adityawarman adalah putra dari Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit)
dan Dara Jingga. Terlepas dari perbedaan pendapat para ahli, Adityawarman adalah
sepupu Raja Jayanegara (raja kedua Majapahit) dari pihak ibu.
Jayanegara, Raja Majapahit yang Dibenci Sebelum mendirikan Kerajaan
Pagaruyung, ia pernah menaklukkan Bali dan Palembang bersama Mahapatih Gajah
Mada. Pasalnya, Adityawarman adalah raja bawahan (uparaja) dari Majapahit yang
dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera. Dalam
perjalanannya, ia berusaha melepaskan diri dari Majapahit hingga dikejar oleh
pasukan dari Jawa Timur. Setelah terlibat pertempuran dahsyat di daerah Padang
Sibusuk, Adityawarman akhirnya menang. Puncak kejayaan Kerajaan Pagaruyung
Di bawah pemerintahan Adityawarman dan putranya, Ananggawarman, Kerajaan
Pagaruyung menjadi sangat kuat hingga berhasil melebarkan kekuasaannya ke
wilayah Sumatera bagian tengah. Dari berita China, diketahui bahwa antara 1371
hingga 1377 Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Dinasti Ming sebanyak
enam kali. Namun, keturunan Ananggawarman bukanlah raja-raja yang kuat dan
dapat melanjutkan kejayaan pendahulunya. Setelah Adityawarman meninggal,
Kerajaan Majapahit diduga kembali mengirimkan ekspedisi pada 1409.
Pemerintahan kemudian digantikan oleh orang Minangkabau sendiri, yaitu Rajo Tigo
Selo yang dibantu oleh Basa Ampat Balai. Daerah-daerah Siak, Kampar, dan
Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Aceh.
Kerajaan Majapahit: Sejarah, Raja-raja, Keruntuhan, dan Peninggalan
Berubah menjadi Kesultanan Pagaruyung Pada abad ke-16, agama Islam mulai
berkembang di Pagaruyung setelah dibawa oleh para musafir yang singgah dari
Aceh dan Malaka. Salah satu ulama yang pertama kali menyebarkan Islam di
Pagaruyung adalah Syaikh Burhanuddin Ulakan, murid ulama terkenal dari Aceh.
Memasuki abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan
dan raja pertamanya yang masuk Islam adalah Sultan Alif. Setelah itu, banyak
aturan adat Minangkabau yang dihilangkan karena bertentangan dengan ajaran
Islam. Hanya sedikit sistem dan cara adat yang dipertahankan, hingga nantinya
mendorong pecahnya perang saudara atau dikenal dengan Perang Padri. Di saat
yang sama, kerajaan ini harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh.

Anda mungkin juga menyukai