Anda di halaman 1dari 10

KEMUNGKINAN BHUMI JAWA DI DAERAH LAMPUNG

Nanang Saptono, Nurul Laili, Octaviadi Abrianto

Sari

Daerah Lampung pernah menjadi wilayah kekuasaan Sriwijaya. Prasasti


Palas Pasemah dan prasasti Bungkuk merupakan prasasti yang dikeluarkan
Sriwijaya yang ditemukan di Lampung. Pada prasasti Palas Pasemah disebutkan
bahwa Sriwijaya akan menyerang Bhumijawa. Nama Bhumijawa juga disebutkan
dalam prasasti Kotakapur yang ditemukan di P. Bangka. P.V. van Stein Callenfels
dan Buchari berpendapat bahwa Bhumijawa merupakan lokasi yang ada di
Lampung.
Di Lampung terdapat dua lokasi yang bernama Bumijawa, yaitu di daerah
Lampung Timur dan Lampung Barat. Bumijawa di Lampung Timur merupakan
permukiman masyarakat marga Nuban dari klan Abung Siwa Mega. Tradisi lisan
masyarakat menyebutkan bahwa mereka berasal dari daerah Sekalabrak yaitu di
sekitar Bukit Pesagi hingga Danau Ranau. Masyarakat Bumijawa di Lampung
Barat adalah marga buay Nyerupa yang termasuk dalam Paksi Pak Sekalabrak.
Tinggalan arkeologi di situs Gedongdalem, Bumijawa, Lampung Timur
menunjukkan bekas permukiman dari sekitar abad ke-14. Sedangkan di Bumijawa
Lampung Barat terdapat situs permukiman yang mengandung ciri budaya
megalitik. Selain itu di kawasan sekitar Gunung Pesagi hingga Danau Ranau juga
banyak terdapat tinggalan dari masa klasik seperti prasasti Hujung Langit dan
candi Jepara. Dengan demikian, mungkin Bhumijawa yang disebut dalam prasasti
Kota Kapur dan Palas Pasemah berada di wilayah sekitar Gunung Pesagi hingga
Danau Ranau.

Pendahuluan
Di daerah Lampung hingga saat ini belum pernah ditemukan data yang
menunjukkan adanya pusat kekuasaan besar kecuali berita Cina zaman dinasti
Liang yang memuat keterangan bahwa antara tahun 430 – 475 datang di Cina
beberapa kali utusan dari To-lang P’o-hwang. Menurut G. Ferrand lafal To-lang
P’o-hwang dalam dialek Cina dapat disamakan dengan Tulangbawang.
Poerbatjaraka juga berpendapat bahwa To-lang P’o-hwang yang disebut dalam
sejarah dinasti Liang, merupakan sebuah kerajaan di daerah aliran sungai
Tulangbawang, Lampung. Kerajaan ini pada suatu saat ditaklukkan oleh kerajaan
lain. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa berita Cina hanya sekali saja
menyebut kerajaan ini (Sumadio, 1990: 79).
Setelah masa Tulangbawang, daerah Lampung diperkirakan menjadi
wilayah kekuasaan Sriwijaya. Prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Lampung
antara lain prasasti Bungkuk, Palas Pasemah (Purwanti, 1995: 98), dan Batubedil
(Soekmono, 1985: 49 – 50). Prasasti Palas Pasemah ditemukan di tepi Way
Pisang, Lampung Selatan berisi peringatan penaklukan daerah Lampung oleh
Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut termuat catatan tentang bhûmi jawa yang tidak
mau tunduk kepada Sriwijaya. Berdasarkan segi paleografis prasasti tersebut
diduga berasal dari abad ke-7 (Buchari, 1979: 19 – 40). Keterangan serupa juga
terdapat di dalam prasasti Kota Kapur.
Prasasti Kota Kapur (608 Ç atau 686 M) yang ditemukan di dekat sungai
Menduk di P. Bangka bagian barat berisi tentang kutukan kepada mereka yang
berbuat jahat, serta tidak tunduk dan setia kepada raja. Di samping itu terdapat
juga keterangan penting yaitu mengenai usaha Sriwijaya untuk menaklukkan
bhûmi jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. P.V. van Stein Callenfels
berpendapat bahwa kata “jawa” dalam prasasti Kota Kapur bukan merupakan
suatu nama tetapi kata sifat yang berarti luar. Dengan demikian prasasti ini
berkenaan dengan suatu ekspedisi ke luar negeri (Sumadio, 1990: 58 – 59).
Boechari (1986: 33 – 56) berpendapat prasasti Kota Kapur dikeluarkan untuk
memperingati suksesnya ekspedisi tentara Sriwijaya dalam menaklukkan
Lampung. Sedangkan Bhûmi jawa yang terdapat dalam prasasti Kota Kapur dapat
dicari di daerah Lampung, bukan di Jawa.

2
Penelitian yang akhir-akhir ini dilakukan terutama di kawasan Batujaya
memang menunjukkan bahwa bhûmi jawa yang dimaksud adalah Pulau Jawa.
Namun demikian di Lampung juga terdapat nama Bumijawa yang masyarakat
pendukungnya adalah asli Lampung. Mungkinkah Bumijawa yang dimaksudkan
prasasti Kotakapur dan Palas Pasemah menunjuk lokasi yang ada di Lampung?

Situs Permukiman Bumijawa


Di daerah Lampung terdapat dua lokasi yang bernama Bumijawa, yaitu di
wilayah Kecamatan Sukadana, Lampung Timur (Saptono, 2000: 109 – 110) dan
di Kecamatan Sukau, Lampung Barat (Tim Penelitian, 2006). Desa Bumijawa di
Lampung Timur berada di sebelah barat kota Sukadana. Masyarakat asli
Bumijawa adalah marga Nuban yang merupakan salah satu marga dalam klan
Abung Siwa Mega. Klan ini adalah keturunan salah satu penguasa awal di
Lampung yang bernama Ratu Dipuncak.
Pada silsilah keluarga milik Bp. Efendi Glr. Sutan Pangeran Junjungan
Nuban, ketua adat masyarakat Bumijawa, cikal bakal Ratu Dipuncak adalah Tali
Tunggal. Ratu Dipuncak sendiri merupakan keturunan ke-11. Beberapa nama
keturunannya setelah Nuban yaitu Ratu Sang Balaikang, Minak Sang Bujang
Ratu, Tuan Baliksyah, Minak Pengawo Bumi, Gajah Dalam, Minak Nyeringgem,
dan seterusnya hingga Sutan Pangeran Junjungan Nuban yang merupakan
keturunan ke-29.
Masyarakat marga Nuban berasal dari Bukit Pesagi, Lampung Barat dan
sebelumnya bermukim di sekitar daerah Martapura sekarang. Masyarakat ini
bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain. Lokasi di mana kelompok masyarakat
ini tinggal selalu disebut Bumijawa. Masyarakat marga Nuban yang bermukim di
Kenali (Bukit Pesagi), kemudian pindah dan menetap di daerah yang sekarang
termasuk dalam wilayah administratif Desa Raman Indra di tepi Way Seputih,
kemudian ke Gedongdalem di tepi Way Batanghari, dan akhirnya menetap di
Desa Bumijawa sekarang.
Situs bekas permukiman masyarakat Bumijawa di Lampung Timur yang
masih bisa ditemukan adalah situs Gedongdalem. Situs ini berada di sebelah utara
Way Batanghari atau pada posisi 5°03’ LS dan 105°25’ BT . Luas situs sekitar

3
200 X 100 m. Pada sisi timur dan barat situs terdapat parit yang menjadi batas
pemukiman. Keadaan situs sekarang berupa kebun jagung. Pada lahan ini terdapat
sebaran keramik dan gerabah dalam jumlah banyak. Masyarakat penggarap lahan
di lokasi ini sering menemukan mata uang.
Di sebelah barat parit sisi barat (sebelah barat situs) terdapat tiga gundukan
tanah yang berjajar utara selatan. Gundukan paling selatan setinggi sekitar 2 m
dengan diameter sekitar 3 m merupakan makam istri Minak Nyeringgem yang
bernama Midah. Makam ini banyak ditumbuhi semak belukar. Pada puncak
makam tidak dijumpai adanya batu atau kayu sebagai nisan. Di sebelah utara
makam ini berjarak sekitar 8 m terdapat gundukan tanah setinggi sekitar 1 m
dengan diameter sekitar 2 m merupakan makam Putri Bagus (anak gadis Minak
Nyeringgem). Makam ini juga banyak ditumbuhi semak belukar. Di sebelah utara
makam Putri Bagus merupakan makam Minak Nyeringgem. Gundukan tanah
setinggi sekitar 2 m dengan diameter sekitar 4 m. Pada puncak gundukan terdapat
beberapa bongkah batu. Selain semak belukar, pada makam ini tumbuh rumpun
bambu.
Di Lampung Barat, Bumijawa merupakan dusun yang secara administratif
termasuk di wilayah Desa (Pekon) Tapak Siring, Kecamatan Sukau. Masyarakat
Tapak Siring sekarang merupakan masyarakat Buay Nyerupa, termasuk dalam
Paksi (persekutuan) Pak Sekalabrak. Salah satu sumber mengenai kerajaan Buay
Nyerupa menyebutkan bahwa kerajaan ini berdiri pada tahun 1420. Pusat kerajaan
Buay Nyerupa di Tapak Siring, Sukau. Wilayah kekuasaannya meliputi daerah
Sukau, Liwa, hingga Ulu Krui. Pada zaman kepemimpinan Dalom Piekulun
kerajaan ini mengalami masa keemasan. Perekonomian ditunjang dari sektor
perkebunan. Hasil perkebunan yang terutama adalah kopi, kayu manis, dan sayur-
sayuran. Daerah perkebunan terhampar dari lereng Gunung Seminung hingga
Way Jangkar serta dari Ulu Krui hingga Penggawa Lima. Pada zaman
kepemimpinan Si Piekuk Baginda Dalom Piekulun terjalin hubungan dagang
dengan Kesultanan Banten, Kesultanan Palembang, dan Kesultanan Aceh.
Situs Tapak Siring berada di perbukitan Bukit Katai di Dusun Kunyayan,
Desa (Pekon) Tapak Siring. Pada bagian puncak bukit terdapat areal yang dibatasi
jurang dan parit. Jejak parit berada di sisi barat membujur arah utara selatan. Pada

4
lahan ini banyak ditanami kopi. Di lokasi ini terdapat dua batu yang oleh
penduduk setempat disebut dengan batu katai. Pada penampang atas batu katai
pertama -- berada di sebelah selatan -- terdapat cekungan yang menyerupai
telapak kaki kerbau dan kaki ayam. Batu tersebut berukuran tebal 70 cm, tinggi 70
cm, dan lebar 100 cm. Batu katai kedua berada di sebelah utara batu katai
pertama. Pada penampang atas batu ini terdapat cekungan. Batu ini berukuran
tebal 25 cm, tinggi 60 cm, dan lebar 80 cm. Di lokasi terdapat artefak sebagai
indikator permukiman berupa fragmen keramik asing diantaranya fragmen
mangkuk buatan Cina masa dinasti Song.
Pada lereng sebelah barat Bukit Katai terdapat makam Adipati Sebrak
Bumi dan istri. Adipati Sebrak Bumi merupakan salah satu moyang buay
Nyerupa. Sebrak dalam bahasa Lampung berarti luas dan bumi mempunyai arti
tanah. Dinamai demikian karena Adipati Sebrak Bumi mempunyai wilayah atau
tanah yang sangat luas.
Makam Adipati Sebrak Bumi terdapat di dalam cungkup berdenah segi
empat berukuran 550 x 550 cm yang dibangun pada tahun 2003. Makam ditandai
jirat dan dua nisan dari batu alam berbentuk tidak beraturan dengan orientasi barat
laut – tenggara. Nisan yang terletak di bagian barat laut berukuran panjang 29 cm,
tinggi 20, dan tebal 18 cm. Nisan yang terletak di bagian tenggara berukuran
panjang 34 cm, tinggi 12, dan tebal 22 cm. Jarak antarnisan 200 cm. Jirat makam
dilapisi ubin keramik, berdenah segi empat berukuran panjang 240 cm, lebar 60
cm, dan tinggi 35 cm.
Di sebelah timur makam Adipati Sebrak Bumi terdapat makam istri
Adipati Sebrak Bumi. Makam ditandai dua nisan dari batu alam berbentuk tidak
beraturan dengan orientasi barat laut – tenggara. Nisan yang terletak di bagian
barat laut berukuran panjang 28 cm, tinggi 13, dan tebal 20 cm. Nisan yang
terletak di bagian tenggara berukuran panjang 17 cm, tinggi 10 cm, dan tebal 7
cm. Jarak antar nisan 160 cm. Jirat makam terbuat dari keramik berdenah segi
empat berukuran panjang 200 cm, lebar 40 cm, dan tinggi 35 cm.

Marga Pada Masyarakat Lampung

5
Masyarakat yang berkaitan dengan Bumijawa di Lampung adalah
masyarakat Marga Nuban dan Buay Nyerupa. Marga Nuban merupakan salah satu
marga dalam klan Abung Siwa Mega sedangkan Nuay Nyerupa merupakan salah
satu buay (kelompok masyarakat dalam satu keturunan) dalam Paksi Pak
Sekalabrak. Pemerintahan adat dalam bentuk marga, menurut kajian Ahmad
Kesuma Yudha dengan mengacu pada pendapat J.W. Naarding (Yudha, 1996: 3),
dikenal setelah kerajaan Tulangbawang punah. Kekosongan pemerintahan ini
dimanfaatkan Sriwijaya menguasai Lampung dan memperkenalkan sistem
pemerintahan adat marga. Sistem ini berlangsung terus hingga kemudian Banten
menguasainya.
Kajian yang dilakukan Hilman Hadikusuma menyimpulkan sedikit
berbeda. Menurut Hilman Hadikusuma (1989: 157), pemerintahan marga
terbentuk pada sekitar abad ke-17 – 18. Sebelum marga terbentuk masyarakat
Lampung sudah mengenal pemerintahan dalam bentuk keratuan. Pada sekitar
abad ke-17 – 18 tersebut keratuan di Lampung membentuk pemerintahan
persekutuan adat berdasarkan buay (keturunan) yang disebut paksi (kesatuan buay
inti atau klan) dan marga (kesatuan dari bagian buay atau jurai dalam bentuk
kesatuan kampung atau suku.
Kajian lain mengenai pemerintahan marga dilakukan oleh Mintosih (1993:
42 – 45). Menurut hasil kajian Mintosih, sistem pemerintahan marga di Sumatera
diciptakan oleh Kesultanan Palembang dalam rangka upaya menguasai kehidupan
politik dan perekonomian daerah-daerah yang berada di bawahnya. Sistem
pemerintahan marga cenderung lebih birokratis untuk kepentingan kehidupan
sosial politik yang lebih besar dan kompleks. Berbeda dengan sistem
kepemimpinan tradisional seperti keratuan di Lampung, pemerintahan marga
merupakan bagian dari sistem pemerintahan otoriter di mana para pemimpinnya
dipilih dan diangkat oleh pemegang kekuasaan yang lebih tinggi. Pembentukan
marga mengacu pada Undang-undang Simbur Cahaya, yaitu suatu kodifikasi
ketentuan hukum kerajaan yang berlaku abad ke-17 di wilayah Kesultanan
Palembang. Kodifikasi undang-undang itu dilakukan oleh Ratu Sinuhun Sending,
permaisuri Sultan Sending Kenayan (1629 – 1636).

6
Pemerintahan keratuan di Lampung, menurut tradisi lisan masyarakat
terdapat empat pemimpin yaitu Empu Cangih bergelar Datu Dipuncak, Empu
Serunting bergelar Ratu Pugung, Empu Rakihan bergelar Ratu Balaw, dan Empu
Aji Saka bergelar Ratu Pemanggilan (Soebing, 1988: 5 – 7; Hadikusuma, 1989:
44 – 47; Warganegara, 1994: 2 – 4). Pada sekitar abad ke-14 di wilayah ini terjadi
tekanan populasi yang cukup tinggi. Kondisi seperti itu menyebabkan terjadinya
migrasi ke seluruh wilayah Lampung (Sevin, 1989).
Datu Dipuncak pindah dari Sekalabrak menuju Canguk Gaccak. Di lokasi
baru ini kemudian bergabung dengan kelompok masyarakat lain. Pendatang yang
lebih kemudian juga ikut bergabung membentuk permukimann lebih besar lagi.
Beberapa kelompok ini kemudian membentuk klan Abung Siwa Mega yang
terdiri sembilan marga yaitu Nunyai, Unyi, Subing, Nuban, Bulan, Beliyuk,
Kunang, Selagai, dan Anak Tuha (Soebing, 1988: 20). Dalam perkembangannya
marga Buay Bulan keluar dari klan Abung Siwa Mega bergabung dengan klan
Mega Pak dan kedudukannya digantikan Buay Nyerupa (Warganegara, 1994: 19).
Buay Nyerupa yang bergabung dengan klan Abung Siwa Mega ini merupakan
bagian dari Buay Nyerupa di daerah Sukau, Lampung Barat. Buay Nyerupa di
Sukau tergabung dalam Paksi Pak Sekalabrak. Masyarakat Bumijawa di Lampung
Timur adalah termasuk marga Nuban yang bila dirunut asalnya dari daerah
Sekalabrak.
Mengenai Paksi Pak Sekalabrak berpangkal pada Empu Rakihan atau Ratu
Balaw. Perkawinan antara Ratu Balaw dengan Puteri Sindi menurunkan Empu
Belunguh, Empu Nyerupa, Empu Perenong, dan Empu Bejalan Di Wai.
Keturunan (Buay) keempat putera Ratu Balaw ini membentuk klan Paksi Pak
Sekalabrak dan menetap di sekitar Bukit Pesagi dan Danau Ranau (Sekalabrak).

Dasar Pertimbangan Tentang Bumijawa


Bumijawa di Lampung dapat dikaitkan dengan situs Gedongdalem di
Lampung Timur dan situs Tapak Siring di Lampung Barat. Situs Gedongdalem
berada pada tepi sungai (Way Batanghari). Berdasarkan sebaran artefak yang ada,
batas pemukiman memanfaatkan sungai tersebut. Salah satu unsur permukiman
yang terdapat di situs Gedongdalem adalah makam leluhur masyarakat setempat

7
yaitu makam Minak Nyeringgem, Midah, dan Putri Bagus. Makam-makam
tersebut berada di luar pemukiman namun masih dalam satu lokasi. Makam kuna
yang terdapat di situs Gedongdalem, keadaannya hanya berupa gundukan tanah
yang tidak jelas orientasinya. Bentuk demikian ini kemungkinan merupakan
bentuk “asli”.
Bentuk fetur berupa gundukan tanah (tumulus) terdapat juga di situs
Bentengsari, Kecamatan Jabung. Di situs ini gundukan tanah berada di dalam
benteng tanah. Selain gundukan tanah juga terdapat beberapa makam kuna dan
batu dakon (Laili, .....). Berdasarkan perbandingan dengan keadaan fetur di situs
Bentengsari, situs Gedongdalem, menunjukkan berasal dari masa pra-Islam.
Tumulus yang terdapat di situs Bentengsari berasosiasi dengan batu dakon.
Sebagaimana di situs Gedongdalem, situs Tapak Siring juga dibatasi
dengan parit. Sedikit berbeda dengan di Gedongdalem, parit di situs Tapak Siring
merupakan parit buatan. Di situs Tapak Siring juga terdapat tinggalan yang
memberi ciri budaya megalitik yaitu berupa batu yang pada salah satu
permukaannya terdapat goresan/cekungan. Batu tersebut oleh masyarakat
setempat disebut dengan istilah batu katai.

(Megalitik daerah Lampung Barat dan konsep-konsepnya)

Dalam kaitanya dengan Sriwijaya, yaitu sebutan Bhûmi jawa dalam


beberapa prasasti Sriwijaya, semula ada dugaan bahwa masyarakat desa
Bumijawa di Lampung adalah merupakan masyarakat transmigran dari Jawa.
Hasil observasi menunjukkan bahwa Bumijawa di Sukadana adalah
perkampungan masyarakat “asli” Lampung. Prasasti Kota Kapur dan Palas
Pasemah berasal dari abad ke-7. Sedangkan Bumijawa yang ada di Lampung
diperkirakan berlangsung mulai abad ke-14. Dengan demikian dapat dipastikan
Bhûmi jawa yang dimaksudkan prasasti Kota Kapur dan Palas Pasemah bukan
Bumijawa yang terdapat di Sukadana. Namun harus dipertimbangkan bahwa
masyarakat Bumijawa di Sukadana merupakan masyarakat migran yang selalu
membawa juga nama daerah asal ke daerah baru.

8
Keterangan etno-histori menyebut bahwa masyarakat Bumijawa berasal
dari Bukit Pesagi dan sebelumnya tinggal di sekitar daerah Martapura sekarang.
Kawasan ini dalam tradisi disebut sebagai Sekalaberak yang cakupan wilayahnya
di sekitar Danau Ranau. Pada masa klasik daerah di sekitar Danau Ranau memang
merupakan kawasan potensial. Di Jepara terdapat runtuhan candi. Meskipun
hanya runtuhan, Candi Jepara memberi kesan termasuk candi tua. Pada sebagian
batunya tidak berhias ukiran, tetapi ada yang membentuk setengah bulat dan sisi
genta. Bentuk demikian ini banyak dijumpai pada candi-candi tua di Jawa Tengah
dan Jawa Timur (Soekmono, 1985). Berdasarkan gaya bangunannya candi Jepara
diperkirakan berasal dari abad ke-9 – 10. Di daerah Bawang terdapat prasasti yang
kemudian dinamakan Prasasti Hujung Langit sesuai dengan sebutan dalam
prasasti itu. Damais (1962) memastikan prasasti tersebut berasal dari tahun 919 Ç
atau 997 M. Pengaruh Jawa tampak dalam sistem penanggalannya. Pengaruh Jawa
yang terdapat pada prasasti, oleh Damais dihubungkan dengan ekspedisi Jawa
dalam melawan Sriwijaya yang menurut berita Cina terjadi pada tahun 992 – 993
M. Damais menarik kesimpulan bahwa pengaruh Jawa tersebut merupakan hasil
pendudukan Jawa sebagaimana dilaporkan dalam sumber Cina (Guillot, et all,
1996: 116). Apabila nafas Jawa yang terdapat di kawasan sekitar Danau Ranau
dikaitkan dengan prasasti Kota Kapur juga tidak sesuai. Namun kemungkinan
kawasan sekitar Ranau sudah dihuni jauh-jauh sebelum masa prasasti Hujung
Langit dan Candi Jepara dapat diterima apabila ada data yang memperkuatnya.
Hipotesis yang menyatakan Bhûmi jawa berada di Lampung masih harus
memerlukan data penguat yang mungkin dapat dicari di sekitar Danau Ranau atau
daerah Martapura, Sumatra Selatan, bukan di Lampung.

KEPUSTAKAAN

Boechari. 1979. An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South


Lampong). Dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat
Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.
-----------. 1986. New Investigations on The Kedukan Bukit Inscription. Dalam
Untuk Bapak Guru.Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

9
Damais, L Ch. 1962. Études Soumatranaises, I: La date de l’inscription de Hujung
Langit (Bawang). Dalam BEFEO, L (2).
Guillot, Claude; Lukman Nurhakim; Sonny Wibisono. 1996. Banten Sebelum
Zaman Islam, Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? – 1526. Jakarta:
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, École Française d’Extrême-Orient,
Penerbit Bentang.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung:
Mandar Maju.
Mintosih, Sri (et. al.) 1993. Sistem Pemerintahan Tradisional Daerah Sumatera
Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Purwanti, Retno. 1995. Perang Pada Masa Sriwijaya: Tinjauan Terhadap Prasasti-
prasasti Abad VII Masehi. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi
Bandung No. 3, hlm. 98 – 103.
Saptono, Nanang. 2000. Pemukiman Kuna di Daerah Sukadana, Propinsi
Lampung. Dalam Edy Sunardi dan Agus Aris Munandar (ed.). Rona
Arkeologi, hlm. 107 – 122. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Sevin, Olivier. 1989. History and Populations. Dalam Transmigration. Jakarta:
Orstom-Departemen Transmigrasi.
Soebing, Abdullah A. 1988. Kedatuan di Gunung Keratuan di Muara. Jakarta:
Karya Unipress.
Soekmono. 1985. Amerta 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuna, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Penelitian. 2006. Laporan Penelitian Awal Situs-situs Keratuan di Propinsi
Lampung. Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Lampung – Balai
Arkeologi Bandung.
Warganegara, Marwansyah. 1994. Riwayat Orang Lampung.
Yudha, Ahmad Kesuma. 1995. Perspektif Sosiologis Dalam Pembangunan
Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang. Makalah pada
Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29
– 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Persiapan
Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang (belum diterbitkan).

10

Anda mungkin juga menyukai