Nama Sunda yang terdapat pada sebuah Kerajaan tercatat dalam dua batu
prasasti. Kedua batu itu ditemukan di lokasi yang berbeda, yaitu di daerah Bogor dan di
daerah Sukabumi. Batu Prasasti pertama ditemukan di kampung Pasir Muara, lebih
tepatnya di pinggiran sebuah persawahan yang tidak jauh dari lokasi prasasti Telapak
Gajah. Prasasti Telapak Gajah adalah prasasti yang menjadi peninggalan
Purnawarman.
Prasasti Pasir Muara atau yang biasa dikenal dengan nama Prasasti Kebon Kopi
II adalah peninggalan Kerajaan Sunda. Dinamakan Prasasti Kebon II karena pada saat
ditemukan lokasinya tidak jauh atau hanya berjarak sekitar 1 km dari prasasti Kebon
Kopi I.
Meskipun hanya berjarak sekitar 1 km, tetapi prasasti Kebon Kopi I (prasasti
Tapak Gajah) bukan peninggalan Kerajaan Sunda melainkan peninggalan Kerajaan
Tarumanegara. Prasasti Kebon Kopi II ditemukan pada abad ke-19 dan lokasi
penemuan prasasti Kebon Kopi II terletak di Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir,
Cibungbulang, Bogor, Jawa Barat.
Sekitar tahun 1940-an prasasti ini dinyatakan hilang. Namun pakar F. D. K Bosch
sempat mempelajari batu prasasti ini dan mengungkapkan bahwa prasasti ini ditulis
dalam bahasa Melayu Kuno. Selain itu, pakar F. D. K Bosch mengungkap bahwa batu
prasasti ini berisi tentang “raja Sunda menduduki kembali tahtanya” sekitar tahun 932
Masehi. Batu prasasti yang ditemukan di kampung Pasir Muara memiliki sebuah tulisan
atau kalimat yang berisi empat baris.
Bosch menerjemahkan kalimat yang ada pada batu prasasti itu, “ini tanda
ucapan Rakryan Juru Pangambat; alam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4),
pemerintahan negara dikembalikan kepada Raja Sunda.” Untuk membaca angka
tahunnya dibaca dari kanan ke kiri, karena angka tahunnya memiliki corak sangkala.
Dengan demikian, pembuatan prasasti tersebut pada tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Dalam batu prasasti yang kedua terdapat gambar sepasang telapak kaki gajah
dan pada prasasti itu terdapat tulisasn yang berisi “jayavi shãlasya tãrumnendrasya
hastinah airãvatãbhasya vibhãtidam padadvayam”. Jika diartikan ke dalam bahasa
Indonesia berarti “kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang
seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanegara yang jaya dan
berkuasa).Sebagai informasi tambahan, Airawata dalam mitologi Hindu adalah nama
gajah yang ditunggangi Batara Indra. Ia adalah seorang dewa perang dan penguasa
guntur.
Wretikandayun adalah seorang putra Galuh menikah dengan seorang Putri yang
bernama Parwati. Parwati adalah seorang putri Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga
(sebuah kerajaan di Jawa Tengah). Dengan dukungan Kerajaan Kalingga,
Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Kerajaan
Tarumanegara dibagi menjadi dua bagian.
Tarusbawa sedang dalam keadaan lemah dan tidak ingin terjadi perang saudara
maka ia menerima tuntutan yang diajukan Wretikandayun. Di tahun 670 Masehi, bekas
kawasan Kerajaan Tarumanegara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galuh.
Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Setelah terjadi pemecahan, Tarusbawa kemudian mendirikan atau membangun Ibukota
Kerajaan yang baru yang terletak di daerah pedalaman dekat hulu sungai Cipakancilan.
Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa hanya disebut dengan gelarnya
saja, yatitu Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Tarusbawa bisa dikatakan sebagai
seseorang yang mencetuskan cikal bakal raja-raja Sunda. Masa pemerintahan
Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Tarusbawa hanya sampai pada tahun 723 Masehi.
Putra dari Tarusbawa sudah wafat terlebih dahulu sehingga putra putri mahkota
yang bernama Tejakencana diangkat menjadi seorang anak dan ahli waris kerajaan.
Suami dari putri inilah yang menjadi raja kedua di Kerajaan Sunda. Suami putri itu
bernama Rakeyan Jamri yang juga cicit dari Wretikandayun.
Ketika menjadi seorang raja di Kerajaan Sunda, Rakeyan Jamri dikenal dengan
nama Prabu Harisdarma. Namun, setelah ia berhasil menguasai Kerajaan Galuh, nama
Sanjaya lebih dikenal oleh banyak orang.
Kerajaan Sunda terletak di daerah Jawa Barat sekarang. Tak dapat dipastikan
dimana pusat kerajaan ini sesungguhnya. Berdasarkan sumber sejarah berupa
prasasti dan naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno dikatakan bahwa pusat kerajaan
Sunda telah mengalami beberapa perpindahan.
Menurut Kitab Carita Parahyangan, Ibukota kerajaan Sunda mula-mula di Galuh,
kemudian menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di tepi sungai Cicatih,
Cibadak Sukabumi, Isi dari prasasti itu tentang pembuatan daerah terlarang di sungai
itu yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilirnya.
Oleh Raja Sri Jayabhupati penguasa kerajaan Sunda. Di daerah larangan itu
orang tidak boleh menangkap ikan dan hewan yang hidup di sungai itu. Tujuannya
mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan (agar ikan dan lain-lainnya tidak punah)
siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa-dewa.
Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda. Sementara itu menurut
prasasti Astana Gede (Kawali – Ciamis) ibu kota kerajaan Sunda berada di Pakwan
Pajajaran. Mengenai perpindahan kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan tetapi, hal-
hal yang bersifat ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim menjadi alasan
perpindahan pusat ibu kota suatu kerajaan.
Kerajaan Sunda menguasai daerah Jawa Barat untuk waktu yang lama, diantara
rajanya, yang terkenal adalah Jaya Bhupati dan Sri Baduga Maharaja.
BIOGRAFI PENULIS
Baihazrah Januarti Nangroe Tualeka lahir pada 26 Januari 2004 di kota
Purworejo. Ayahnya adalah seorang tentara, sehingga Zahra dibesarkan dengan
memegang teguh nilai-nilai kemiliteran yang salah satunya ialah menanamkan sejak
dini akan cinta kepada tanah air.
Jejak Pendidikan Zahra hingga Sekolah Menengah Atas yang mana Sebagian
besar dihabiskan atau ditempuh di daerah Jawa tepatnya di kota Purworejo. Yang
mana membuatnya pandai atau mengerti berbahasa Jawa. Walau merupakan orang
daerah timur Indonesia.
Ia juga sempat belajar di Jakarta dan di Kampung halamannya, Ambon. Namun,
kemudian Kembali ke kota Purworejo.