212030009
Kerajaan Sunda adalah sebuah kerajaan di bagian barat Jawa Barat (sekarang Banten,
Jakarta, dan Jawa Barat) antara tahun 932 dan 1579 M. Hal ini didasarkan pada bahan-bahan
sejarah berupa prasasti Sunda kuno dan manuskrip Kerajaan Sunda. Pusat Kerajaan Sunda
dikatakan telah mengalami beberapa perubahan.
Ibukota Kerajaan Sunda pada awalnya adalah Garoo, namun menurut prasasti
Sangang Tapak di tepi Sungai Chicati, isi prasasti Chibadax Kabumi adalah tentang membuat
daerah terlarang yang ditandai dengan batu besar di sungai. Sisi hulu dan hilirnya. Oleh Raja
Sri Jayabupati, penguasa Kerajaan Sunda. Secara historis, Kerajaan Pajajaran dimulai pada
tahun 923 dan didirikan oleh Srijayabpati. Bukti ini berasal dari prasasti Matahari tahun
1030 M di Sukabumi. Selain itu, Kerajaan Pajajaran tampaknya telah berdiri setelah
pemekaran Kerajaan Garoo yang dipimpin oleh Rayan Wastu. Ketika Rahyang Wastu
meninggal, kerajaan Galuh terbagi menjadi dua. Satu dipimpin oleh Dewa Niskala dan yang
lainnya dipimpin oleh Susuktunggal. Mereka terbagi menjadi dua, tetapi mereka berada di
posisi yang sama.
Asal usul Kerajaan Pajajaran dimulai dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit sekitar
tahun 1400 di Jawa Barat. Pada masa ini, Majapahit menjadi semakin lemah, terutama ketika
ditandai dengan runtuhnya Raja Kertabumi atau pemerintahan Brawijaya kelima. Beberapa
anggota kerajaan dan rakyatnya melarikan diri ke Garoo, ibu kota Kawari di wilayah
Kuningan, yang menyerbu Jawa Barat.
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan
bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah kerajaan
dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari
ibukota Pakuan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah- naskah Babad Pajajaran,
Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.
Kerajaan Sunda diperintah oleh raja. Raja memerintah raja wilayah yang dia kuasai.
Tahta itu diberikan secara genetik kepada putranya. Namun, jika raja tidak memiliki anak,
penerus raja akan menjadi salah satu raja di wilayah tersebut, berdasarkan hasil pemilihan.
Karena sumber sejarah yang sangat terbatas, sedikit yang diketahui tentang aspek
kehidupan politik Kerajaan Sunda / Pajajaran. Aspek kehidupan politik diketahui terbatas
pada relokasi pusat pemerintahan dan pergantian tahta. Pusat kerajaan adalah Garoo, Praha
Jansunda, Kawari dan Pakwan Pajajaran berturut-turut.
1. Kerajaan Galuh
Sejarah di Jawa Barat setelah Tarumanegara tidak banyak diketahui. Kegelapan itu
sedikit tersingkap oleh Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah
berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal dibuat oleh Sanjaya sebagai tanda kebesaran dan
kemenangannya. Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sanaha, saudara
perempuan Raja Sanna. Dalam kitab Carita Parahyangan juga disebutkan nama Sanjaya.
Menurut versi kitab Carita Parahyangan, Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di
Kerajaan Galuh.
Pada zaman pemerintahan siapa pusat Kerajaan Sunda mulai berada di Kawali tidak
diketahui secara pasti. Akan tetapi, menurut prasasti di Astanagede (Kawali), diketahui
bahwa setidak-tidaknya pada masa pemerintahan Rahyang Niskala Wastu Kancana pusat
kerajaan sudah berada di situ. Istananya bernama Surawisesa. Raja telah membuat selokan di
sekeliling keraton dan mendirikan perkampungan untuk rakyatnya.
Setelah Raja Rahyang Ningrat Kancana jatuh, takhtanya digantikan oleh putranya, Sang
Ratu Jayadewata. Pada Prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai yang kini menjadi
Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada Prasasti Batutulis Sang Jayadewata disebut dengan
nama Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu
Dewata.
Sejak pemerintahan Sri Baduga Maharaja, pusat kerajaan beralih dari Kawali ke Pakwan
Pajajaran yang dalam kitab Carita Parahyangan disebut Sri Bima Unta Rayana Madura
Suradipati. Menurut kitab Carita Parahyangan, raja menjalankan pemerintahan berdasarkan
kitab hukum yang berlaku sehingga terciptalah keadaan aman dan tenteram, tidak terjadi
kerusuhan atau perang.
Selain itu, dia juga membangun asrama para prajurit, kaputren, tempat pagelaran,
memperkuat benteng pertahanan, merencanakan dan mengatur masalah upeti, dan menyusun
peraturan atau undang-undang kerajaan.
Semua kegiatan dan pembangunan yang dilakukan oleh Sri Baduga Maharaha ini
terukir di dalam dua buah prasasti bersejarah yaitu prasasti Batutulis dan Prasasti
Kabantenan. Di sana di tulis tentang bagaimana Sri Baduga Maharaha membangun seluruh
aspek kehidupan kerajaannya. Sejarah tersebut pun diceritakan dengan pantun dan kisah
Babad.
Tercatat bahwa Kerajaan Pajajaran ini runtuh pada tahun 1579. Keruntuhan Pajajaran
lebih banyak disebabkan oleh penyerangan yang dilakukan oleh Kasultanan Banten. Selain
itu, keruntuhan ini ditandai oleh tahta atau singgasana Raja yang disebut Palangka Sriman
Sriwacana dibawa oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kerajaan Pajajaran ke Kraton
Surosowan.
Pemboyongan singgasana raja ini dilakukan sebagai tradisi sekaligus sebagai tanda
bahwa tidak mungkin ada raja baru lagi yang bisa dinobatkan di Kerajaan Pajajaran.
Akhirnya, Maulana Yusuf lah yang berkuasa di wilayah-wilayah Kerajaan Sunda. Jika Anda
menengok bekas Kraton Surosowan di Banten, maka Anda bisa melihat terdapat reruntuhan
Palang Sriman Sriwacana yang telah diboyong oleh Maulana Yusuf. Reruntuhan batu
tersebut di sebut oleh masyarakat Banten sebagai Watu Gilang yang berarti berseri atau
mengkilap.