Anda di halaman 1dari 7

PEMBAHASAN

A. Ihwal Masyarakat Lampung


1. Asal usul Masyarakat Lampung
Sebagaimana halnya dengan tradisi nusantara lainnya, asal usul masyarakat Lampung atau yang
disebut sebagai Ulun Lampung (Orang Lampung) sangat erat kaitannya dengan munculnya istilah
Lampung sendiri. Firman Sujadi memaparkan ada setidaknya lima pendapat yang membahas kemunculan
awal dari Ulun Lampung (Sujadi, 2012: 71).
a. Sebagaimana dicatat oleh seorang musafir Cina yang mengunjungi Indonesia pada abad VII, I
Tsing dan kemudian diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma,
disebutkan bahwa Lampung berasal dari kata To-Lang-po-Hwang. To berari orang dalam bahasa
toraja, sedangkan Lang-Po-Hwang kepanjangan dari Lampung tadi. Jadi To-Lang-Po-Hwang
adalah orang Lampung.
b. Teori selanjutnya datang dari Dr. R. Boesma sebagaimana yang ia tuliskan di dalam buku “De
Lampungsche Districten (1916), bahwa Tuhan menurunkan manusia pertama di bumi dengan
nama Sang Dewa Sanembahan dan Widodari Simuhun. Mereka inilah yang kemudian
menurunkan si Jawa (Ratu Majapahit), Si Pasundayang (Ratu Pajajaran), dan Si Lampung (Ratu
Balau). Masing-masing nama para ratu ini menunjukkan identitas negeri yang dibawahinya.
Sehingga selanjutnya orang-orang yang berada di dalam wilayah kekuasaan para ratu ini
dipanggil dengan nama ratunya. Dan kata Lampung berasal dari nama yang diberikan oleh Tuhan
kepada Ratu Balau, yaitu Lampung.
c. Legenda selanjutnya adalah yang berasal dari tanah Tapanuli. Pada zaman dahulu kala tatakala
meletusnya gunung berapi yang menjadi sebab terciptanya danau Toba, ada empat orang
bersaudara yang berusaha menyelamatkan diri. Salah seorang dari empat bersaudara itu bernama
Ompung Silamnponga yang dalam pelariannya terdampar di Krui, Lampung Barat. Ompung
Silamponga ini kemudian naik ke dataran tinggi Belalau atau Sekalabrak. Dari atas bukit itu,
terhampar pemandangan luas dan menawan hati seakan-akan daerah itu terapung. Dengan
perasaan kagum Ompung Silamponga kemudian meneriakkan kata “Lappung!”. Secara bahasa
Lappung memiliki arti terapung atau luas, dan kemudian dipercayai bahwa dari kata inilah kata
Lampung berasal. Namun juga ada yang berpendapat bahwa kata Lampung justru berasal dari
nama Silamponga sendiri.
d. Pendapat selanjutnya adalah apa yang dipaparkan oleh Hilman Hadikusuma, bahwa orang
Lampung berasal dari Sekalabrak, di kaki gunung Pesagi, Lampung Barat. Penduduknya disebut
Tumi (Buay Tumi) yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Sekarmong. Mereka
menganut kepercayaan dinamisme yang dipengaruhi oleh Hindu Bairawa. Buay Tumi kemudian
dapat dipengaruhi oleh empat orang pembawa Islam dari Pagaruyung. Empat orang ini memiliki
nama, Umpu Nyerupa, Umpu Lapah di Way, Umpu Pernong, dan Umpu Beluguh. Keempat
Umpu inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Paksi Pak sebagaimana yang diungkapkan
naskah kuno Kuntara Raja Niti . Namun dalam versi buku Kunta Raja Niti, nama Poyang itu
adalah Inder Gajah, Pak Lang, Sikin, Beluguh, dan Indarwati. Berdasarkan Kunta Raja Niti,
Hilman Hadikusuma kemudian menyusun hipotesis keturunan ulun Lampung sebagai berikut:
- Inder Gajah
Gelar: Umpu Lapah di Way
Kedudukan: Puncak
Keturunan: Orang Abung
- Pak Lang
Gelar: Umpu Pernong
Kedudukan: Hanibung
Keturunan: Orang Pubian
- Sikin
Gelar: Umpu Nyerupa
Kedudukan: Sukau
Keturunan: Jelma Daya
- Belunguh
Gelar: Umpu Belunguh
Kedudukan: Kenali
Keturunan: Peminggir
- Indarwati
Gelar: Puteri Bulan
Kedudukan: Ganggiring
Keturunan: Tulang Bawang
e. Penelitian yang dilakukan oleh pelajar Thawalib Padang Panjang pada tahun 1938. Penelitian ini
didasarkan kepada salah satu Tambo yang terkenal di Minangkabau, yaitu Cinduo Mato.
Diceritakan bahwa ketika kerajaan Pagaruyung diserang musuh dari India, penduduknya
mendapat kekalahan karena perbedaan senjata yang digunakan. Banyak dari pendudukan
Pagaruyung yang kemudian melarikan diri ke arah, Timur, Selatan dan Utara pulau Sumatera.
Ada yang melalui sungai Rokan, sedangkan sebahagiaan yang lain melalui dan terdampar di hulu
sungai Ketaun di Bengkulu lalu menurunkan suku Rejang. Sementara itu sebahagian yang menuju
ke Utara menurunkan suku Batak. Sementara itu yang terdampar di Gowa, Sulawesi Selatan
menurunkan Suku Bugis. Dan yang terakhir adalah mereka yang terdampar di Krui, lalu
menyebar di dataran tinggi Sekalabrak, Lampung Barat. Dan mereka inlah yang menjadi cikal
bakal suku Lampung. (Sujadi, 2012: 72)
Meski terdapat lima teori dan pendapat yang berbeda mengenai bagaimana cikal bakal
masyarakat atau orang Lampung, namun setidaknya ada satu kesamaan yang tergambar yaitu orang
Lampung percaya bahwa mereka adalah keturunan raja-raja.

2. Wilayah Sosial Masyarakat Lampung


Etnis Lampung atau yang biasa disebut sebagai Ulun Lampung secara tradisional geografis
adalah suku yang menempati seluruh wilayah Provinsi Lampung dan sebagian Provinsi Sumatera Selatan
dan tengah yang menempati daerah martapura, muaradua di Komering Ulu, Kayu Agung, Tanjung Raja
di Komering Ilir, Merpas di sebelah selatan Provnsi Bengkulu serta cikoneng di pantai barat Provinsi
Banten. (Sujadi, 2012: 21)
Sebagaimana yang dicatat oleh sejarah, penduduk Lampung pada dasarnya dikenal dari Sekala
Brak. Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat adat Lampung terbagi menjadi dua, yaitu:
Masyarakat Adat Saibatin, yang dicirikan dengan dialek yang biasa disebut Dialek Belalau atau dialek
Api, dan Masyarakat Adat Lampung Pepadun yang dicirikan dengan Dialek Abung atau Nyow.
Masyarakat Adat Saibatin adalah kelompok masyarakat yang mendapat klaim sebagai suku Lampung asli.
Sementara masyarakat adat Lampung Pepadun adalah masyarakat Lampung pendatang atau yang sudah
bercampur. Sebagaimana yang telah penulis sampaikan di atas, pembagian ini kemudian menjadikan
kedua kelompok masyarakat utama ini memiliki corak adat yang berbeda. Masyarakat Saibatin sangat
kental dengan tradisi dan budaya Aristokrasinya sementara Masyarakat Pepadun lebih mengembangkan
nilai-nilai demokratis yang mereka jalankan. (Sujadi, 2012: 21)
Suku-suku asli Lampung antara lain Lampung, Rawas, Melayu, Pasemah dan Sumendo.
Sedangkan suku pendatang dimulai dengan yang paling besar adalah Jawa, Sunda, dan Minangkabau.
Suku pendatang yang dimaksudkan disini dengan menggunakana standar penyebaran pendudukan
Indonesia Modern, sehingga tidak berhubungan dengan tambo serta kemungkinan asal dari orang
Lampung sendiri.

TINJAUAN PUSTAKA
Sebagaimana suku lainnya yang tersebar di belahan nusantara, suku Lampung juga memiliki
berbagai produk kebudayaan. Produk kebudayaan yang berupa karya fisik seperti rumah adat, kerajinan
tangan yang meliputi karya tenun, sulam, dan ukir. Produk kebudayaan yang berupa karya seni seperti
puisi, lagu, tari-tarian. Dan produk kebudayaan yang kental dengan nuansa falsafati seperti adat istiadat,
petatah-petitih, dan prinsip hidup yang tertuang dalam falsafah hidup masyarakat Lampung. Berikut akan
dijabarkan beberapa produk kebudayaan suku Lampung yang menjadi ikon dari masyarakat Lampung
hingga saat ini.

A. Rumah Adat
Berbicara tentang produk kebudayaan fisik, hal yang paling erat dan menyatu dalam kehidupan
masyarakat adalah rumah adat yang berfungsi sebagai rumah tinggal. Sebagaimana rumah adat-rumah
adat yang lainnya, rumah adat Lampung dibentuk berdasarkan pandangan masyarakatnya tentang alam.
Konstruksi rumah yang cenderung tinggi dapat menghindari serangan hewan liar. Selain itu susunan
papan pada rumah adat ini dapat meminimalisir kerusakan dan mampu bertahan apabila terjadi gempa
bumi, mengingat letak provinsi Lampung terletak pada pertemuan lempeng Asia dan Australia
(http://kebudayaanindonesia.net/id/). Masyarakat Lampung, melalui budaya dan pembagian sosialnya
pada suatu waktu mendefenisikan konsep ruang dan waktu ke dalam rumah adat yang mereka sepakati
bentuknya.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa suku lampung terbagi menjadi dua yaitu masyarakat
adat Saibatin dan Pepadun, maka untuk rumah adat Lampung juga terdapat perbedaan antara masyarakat
Saibatin dan Pepadun. Masyarakat Saibatin menyebut rumah adat mereka dengan sebutan Lamban Balak,
sedangkan masyarakat Pepadun menyebutnya dengan Nuwo Sessat. Bentuk, arsitektur, istilah, peruntukan
juga bagian rumah adat Lampung secara umum berbeda antara masyarakat adat Lampung Saibatin
dengan masyarakat adat Lampung Pepadun (Natakembang, 2013).

B. Kain Tapis
Kain tapis merupakan salah satu kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan
kehidupanya terhadp lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta (Sujadi, 2012:60). Para
peneliti mendapatkan data bahwa berdasarkan catatan sejarah, kain tapis Lampung sudah mulai
dikembangkan sejak tahun 800-an. Hal itu bisa dilihat pada Prasasti Raja Belitang yang berangka tahun
898—915 Masehi. Para kolektor banyak mendapatkan tenun Lampung berusia tua pada umumnya didapat
dari daerah Tulangbawang dan Kenali serta Krui, maka berat dugaan daerah pertama yang
mengembangkan tapis adalah Tulang dan Kenali atau Krui (http://fachruddin54.blogspot.com). Kain
Tapis termasuk kerajian tradisional, karena peralatan yang digunakan dalam membuat kain dasar dan
motif-motif hiasnya masih sederhana dan dikerjakan oleh pengerajin. Kerajinan ini dibuat oleh wanita,
baik ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk mengisi waktu
senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral. Kain Tapis saat ini
diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang bermacam-macam sebagai barang komoditi yang
memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Menurut Van der Hoop, orang lampung telah menenun kain
Brokat Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad ke-II Masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci,
pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal (Sujadi, 2012: 60).
Kain tapis menjadi salah satu benda yang memiliki tempat penyimpanan tersendiri di dalam
rumah adat Lampung (http://rumahkita2011.blogspot.com). Tapis terbagi menurut asal daerahnya dan
pemakaiannya. Ragam hias Kain Tapis, terus berkembang seiring terjalinnya interaksi dan komunikasi
antara masyarakat adat Lampung dengan kebudayaan lain. Pertemuan tersebut menyebabkan terjadinya
akulturasi antara unsur-unsur hias kebudayaan asli (lama) dengan unsur-unsur hias kebudayaan asing
(baru). Unsur-unsur asing yang datang tidak menghilangkan unsur-unsur lama, akan tetapi semakin
memperkaya corak, ragam, dan gaya yang sudah ada. Berbagai kebudayaan tersebut terpadu dan
terintegrasi dalam satu konsep utuh yang tidak dapat dipisahkan dan melahirkan corak baru yang unik dan
khas. Kebudayaan yang memberikan pengaruh pada pembentukan gaya seni hias Kain Tapis antara lain,
kebudayaan Dongson dari daratan Asia, Hindu-Budha, Islam, dan Eropa (http://lili.staff.uns.ac.id/).

C. Falsafah Hidup
Falsafah hidup suku Lampung dikenal dengan lima prinsip. Firman Sujadi menyebutkan dalam
bukunya terdapat lima prinsip hidup atau Falsafah Hidup Ulun Lampung yang termaktub dalam kitab
Kuntara Raja Niti, yaitu :
1. Piil-Pusanggiri, malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri.
Piil-Pusanggiri diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut harga diri, perilaku dan
sikap yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik dan martabat secara pribadi maupun
secara berkelompok senantiasa dipertahankan. Dalam hal-hal tertentu seseorang (Lampung)
dapat mempertaruhkan apa saja termasuk nyawanya demi untuk mempertahankan pi`ill
pesenggiri tersebut (http://pakar-lampung.blogspot.com/)
2. Juluk-Adok, mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya.
didasarkan kepada "Titei Gemettei" yagn diwarisi tutun temurun dari zaman dahulu, tata
ketentuan pokok yang selalul diikuti (Titei Gemettei) termasuk antara lain menghendaki agar
seseorang disamping mempunyai nama juga diberi gelar sebagai panggilan terhadapnya. Bagi
orang yang belum berkeluarga diberi juluk (bejuluk) dan setelah kawin di beri gelar.
3. Nemui-Nyimah, saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu.
Nemui-nyimah sendiri apabila dilihat dari segi bahasa, terdiri dari dua kata yaitu kata nemui
yang artinya tamu atau pertemuan dan nyimah yang berasal dari kata simah yang artinya
santun.
4. Nengah-Nyampur, terdiri dari dua kata, yaitu kata nengah yang memiliki setidaknya tiga arti,
yaitu kerja keras, berketerampilan dan bersaing. Nengah-Nyampur diartikan sebagai aktif
dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis.
5. Sakai-Sambaian, gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya.
Sakai yang artinya terbuka, siap untuk dinilai, siap menerima dalam hal ini tidak terbatas
pada sesuatu yang bersifat materi saja, tetapi juga dalam arti moril termasuk sumbangan
pikiran dan lain sebagainya.
Sifat-sifat di atas dilambangkan dnegan ‘lima kembang penghias Siger’ yang menjadi lambang Provinsi
Lampung. Sifat-sifat orang Lampung tersebut juga diungkapkan dalam adi-adi (pantun)
Tandani ulun Lampung, wat piil-pusanggiri
Mula heno sehitung, wat liom ghegha dighi
Julul-adok gham pegung, nemui-nyimah muaghi
Nengah-nyampugh mak ngungkung, sakai-Sambaian gawi

Ada juga yang mengartikan Piil Pusanggiri sebagai falsafah hidup orang Lampung, sehingga empat
prinsip lainnya merupakan bagian dari Piil Pusanggiri (http://fachruddin54.blogspot.com). Setidaknya
ada dua daerah lain yang menggunakan kata Pusanggiri selain di Lampung. Yang pertama pasunggiri
yaitu nama tim prajurut pilihan di Kerajaan Kuno Bali, dimana para prajurit ini memiliki keterampilan
yang luar biasa, dan yang kedua adalah pasunggiri di sunda yang artinya lomba, siap tanding atau pilih
tanding.

Daftar Pustaka

Sujadi, Firman. Lampung Sai Bumi Ruwa Jurai. 2012. Citra Insan Madani, Jakarta.

Sumber internet :
http://kebudayaanindonesia.net/id/
http://pakar-lampung.blogspot.com/
http://batinbudayapoerba.blogspot.com/2013
http://fachruddin54.blogspot.com/2012
http://rumahkita2011.blogspot.com/2011
http://lili.staff.uns.ac.id/2010

Anda mungkin juga menyukai