TINJAUAN PUSTAKA
Sebagaimana suku lainnya yang tersebar di belahan nusantara, suku Lampung juga memiliki
berbagai produk kebudayaan. Produk kebudayaan yang berupa karya fisik seperti rumah adat, kerajinan
tangan yang meliputi karya tenun, sulam, dan ukir. Produk kebudayaan yang berupa karya seni seperti
puisi, lagu, tari-tarian. Dan produk kebudayaan yang kental dengan nuansa falsafati seperti adat istiadat,
petatah-petitih, dan prinsip hidup yang tertuang dalam falsafah hidup masyarakat Lampung. Berikut akan
dijabarkan beberapa produk kebudayaan suku Lampung yang menjadi ikon dari masyarakat Lampung
hingga saat ini.
A. Rumah Adat
Berbicara tentang produk kebudayaan fisik, hal yang paling erat dan menyatu dalam kehidupan
masyarakat adalah rumah adat yang berfungsi sebagai rumah tinggal. Sebagaimana rumah adat-rumah
adat yang lainnya, rumah adat Lampung dibentuk berdasarkan pandangan masyarakatnya tentang alam.
Konstruksi rumah yang cenderung tinggi dapat menghindari serangan hewan liar. Selain itu susunan
papan pada rumah adat ini dapat meminimalisir kerusakan dan mampu bertahan apabila terjadi gempa
bumi, mengingat letak provinsi Lampung terletak pada pertemuan lempeng Asia dan Australia
(http://kebudayaanindonesia.net/id/). Masyarakat Lampung, melalui budaya dan pembagian sosialnya
pada suatu waktu mendefenisikan konsep ruang dan waktu ke dalam rumah adat yang mereka sepakati
bentuknya.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa suku lampung terbagi menjadi dua yaitu masyarakat
adat Saibatin dan Pepadun, maka untuk rumah adat Lampung juga terdapat perbedaan antara masyarakat
Saibatin dan Pepadun. Masyarakat Saibatin menyebut rumah adat mereka dengan sebutan Lamban Balak,
sedangkan masyarakat Pepadun menyebutnya dengan Nuwo Sessat. Bentuk, arsitektur, istilah, peruntukan
juga bagian rumah adat Lampung secara umum berbeda antara masyarakat adat Lampung Saibatin
dengan masyarakat adat Lampung Pepadun (Natakembang, 2013).
B. Kain Tapis
Kain tapis merupakan salah satu kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan
kehidupanya terhadp lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta (Sujadi, 2012:60). Para
peneliti mendapatkan data bahwa berdasarkan catatan sejarah, kain tapis Lampung sudah mulai
dikembangkan sejak tahun 800-an. Hal itu bisa dilihat pada Prasasti Raja Belitang yang berangka tahun
898—915 Masehi. Para kolektor banyak mendapatkan tenun Lampung berusia tua pada umumnya didapat
dari daerah Tulangbawang dan Kenali serta Krui, maka berat dugaan daerah pertama yang
mengembangkan tapis adalah Tulang dan Kenali atau Krui (http://fachruddin54.blogspot.com). Kain
Tapis termasuk kerajian tradisional, karena peralatan yang digunakan dalam membuat kain dasar dan
motif-motif hiasnya masih sederhana dan dikerjakan oleh pengerajin. Kerajinan ini dibuat oleh wanita,
baik ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk mengisi waktu
senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral. Kain Tapis saat ini
diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang bermacam-macam sebagai barang komoditi yang
memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Menurut Van der Hoop, orang lampung telah menenun kain
Brokat Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad ke-II Masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci,
pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal (Sujadi, 2012: 60).
Kain tapis menjadi salah satu benda yang memiliki tempat penyimpanan tersendiri di dalam
rumah adat Lampung (http://rumahkita2011.blogspot.com). Tapis terbagi menurut asal daerahnya dan
pemakaiannya. Ragam hias Kain Tapis, terus berkembang seiring terjalinnya interaksi dan komunikasi
antara masyarakat adat Lampung dengan kebudayaan lain. Pertemuan tersebut menyebabkan terjadinya
akulturasi antara unsur-unsur hias kebudayaan asli (lama) dengan unsur-unsur hias kebudayaan asing
(baru). Unsur-unsur asing yang datang tidak menghilangkan unsur-unsur lama, akan tetapi semakin
memperkaya corak, ragam, dan gaya yang sudah ada. Berbagai kebudayaan tersebut terpadu dan
terintegrasi dalam satu konsep utuh yang tidak dapat dipisahkan dan melahirkan corak baru yang unik dan
khas. Kebudayaan yang memberikan pengaruh pada pembentukan gaya seni hias Kain Tapis antara lain,
kebudayaan Dongson dari daratan Asia, Hindu-Budha, Islam, dan Eropa (http://lili.staff.uns.ac.id/).
C. Falsafah Hidup
Falsafah hidup suku Lampung dikenal dengan lima prinsip. Firman Sujadi menyebutkan dalam
bukunya terdapat lima prinsip hidup atau Falsafah Hidup Ulun Lampung yang termaktub dalam kitab
Kuntara Raja Niti, yaitu :
1. Piil-Pusanggiri, malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri.
Piil-Pusanggiri diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut harga diri, perilaku dan
sikap yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik dan martabat secara pribadi maupun
secara berkelompok senantiasa dipertahankan. Dalam hal-hal tertentu seseorang (Lampung)
dapat mempertaruhkan apa saja termasuk nyawanya demi untuk mempertahankan pi`ill
pesenggiri tersebut (http://pakar-lampung.blogspot.com/)
2. Juluk-Adok, mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya.
didasarkan kepada "Titei Gemettei" yagn diwarisi tutun temurun dari zaman dahulu, tata
ketentuan pokok yang selalul diikuti (Titei Gemettei) termasuk antara lain menghendaki agar
seseorang disamping mempunyai nama juga diberi gelar sebagai panggilan terhadapnya. Bagi
orang yang belum berkeluarga diberi juluk (bejuluk) dan setelah kawin di beri gelar.
3. Nemui-Nyimah, saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu.
Nemui-nyimah sendiri apabila dilihat dari segi bahasa, terdiri dari dua kata yaitu kata nemui
yang artinya tamu atau pertemuan dan nyimah yang berasal dari kata simah yang artinya
santun.
4. Nengah-Nyampur, terdiri dari dua kata, yaitu kata nengah yang memiliki setidaknya tiga arti,
yaitu kerja keras, berketerampilan dan bersaing. Nengah-Nyampur diartikan sebagai aktif
dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis.
5. Sakai-Sambaian, gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya.
Sakai yang artinya terbuka, siap untuk dinilai, siap menerima dalam hal ini tidak terbatas
pada sesuatu yang bersifat materi saja, tetapi juga dalam arti moril termasuk sumbangan
pikiran dan lain sebagainya.
Sifat-sifat di atas dilambangkan dnegan ‘lima kembang penghias Siger’ yang menjadi lambang Provinsi
Lampung. Sifat-sifat orang Lampung tersebut juga diungkapkan dalam adi-adi (pantun)
Tandani ulun Lampung, wat piil-pusanggiri
Mula heno sehitung, wat liom ghegha dighi
Julul-adok gham pegung, nemui-nyimah muaghi
Nengah-nyampugh mak ngungkung, sakai-Sambaian gawi
Ada juga yang mengartikan Piil Pusanggiri sebagai falsafah hidup orang Lampung, sehingga empat
prinsip lainnya merupakan bagian dari Piil Pusanggiri (http://fachruddin54.blogspot.com). Setidaknya
ada dua daerah lain yang menggunakan kata Pusanggiri selain di Lampung. Yang pertama pasunggiri
yaitu nama tim prajurut pilihan di Kerajaan Kuno Bali, dimana para prajurit ini memiliki keterampilan
yang luar biasa, dan yang kedua adalah pasunggiri di sunda yang artinya lomba, siap tanding atau pilih
tanding.
Daftar Pustaka
Sujadi, Firman. Lampung Sai Bumi Ruwa Jurai. 2012. Citra Insan Madani, Jakarta.
Sumber internet :
http://kebudayaanindonesia.net/id/
http://pakar-lampung.blogspot.com/
http://batinbudayapoerba.blogspot.com/2013
http://fachruddin54.blogspot.com/2012
http://rumahkita2011.blogspot.com/2011
http://lili.staff.uns.ac.id/2010