Anda di halaman 1dari 11

BABAD MANGIR 1

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Jawa Sumber (1)
Dosen Pengampu: Dr. Hartini, M. Hum

Disusun oleh:
1. Putri Kusuma W (C0514049)
2. Sandika Aris N (C0514052)

JURUSAN ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA

2016
BAB I
PENDAHULUAN
Babad merupakan bentuk dari folklor lisan yang berupa legenda, yakni suatu peristiwa
yang dianggap benar-benar terjadi tetapi tidak dianggap suci. Menurut Darusuprapta di dalam
buku Citra Pahlawan dalam Kebudayaan Jawa (1985: 77) babad adalah salah satu hasil
kebudayaan Jawa yang mengandung nilai-nilai dan berbagai aspek alam pikiran Jawa. Selain
itu, di dalam buku Sekar Macapat dikatakan bahwa babad adalah teks sastra yang memiliki
kandungan sejarah dan dapat disamakan dengan sastra sejarah (Karsono H. Saputra, 2001).
Dapat dikatakan bahwa babad merupakan bentuk jati diri suatu daerah yang akan terus
dilestarikan agar daerah tersebut tidak kehilangan jati dirinya.
Babad juga merupakan historiografi tradisional. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, babad adalah kisahan berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, dan Madura yang berisi
tentang sebuah peristiwa sejarah. Dalam sebuah babad terdiri dari beberapa pupuh yang berisi
beberapa bait. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, bangsa Belanda telah
melakukan pengkajian terhadap babad. Dapat dikatakan bahwa babad merupakan bentuk jati
diri suatu daerah yang akan terus dilestarikan agar daerah tersebut tidak kehilangan jati
dirinya. Salah satunya yaitu babad Mangir.
Pada hari Kamis Legi kurang lebih pukul dua, tanggal delapan, bulan Ruwah, tahun
1786 Jawa, bertepatan dengan tahun Jimakir, ditulislah suatu cerita dalam bentuk babad, yaitu
babad Mangir. Babad Mangir menceritakan Kerajaan Pajang, Mataram, sampai dengan
Kartasura. Babad ini dimaksudkan agar dapat dijadikan peringatan serta teladan bagi para
raja yang memerintah di Pulau Jawa, rakyat biasa dan para bangsawan. Di samping itu
dimaksudkan juga agar setiap orang mengetahui kehendak raja. Disini akan dijelaskan
mengenai isi babad Mangir secara lebih lanjut.
BAB II
PEMBAHASAN
Kisah Babad Mangir ini dimulai ketika pada suatu hari Tumenggung Mayang sedang
berunding dengan istrinya membicarakan anaknya yang bernama Raden Pabelan yang
ketampanannya tersohor di Kerajaan Pajang. Pada suatu hari, Raden Pabelan jatuh hati pada
putri Raja Pajang, perasaanya itu ternyata dibalas oleh sang putri. Keduanya secara diam-

diam berhubungan hingga akhirnya hal tersebut diketahui oleh Raja Pajang. Pada akhirnya
Raja Pajang memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Raden Pabelan. Jenazahnya lalu
dilemparkan ke sungai Laweyan. Perbuatan Raden Pabelan ini berdampak pada ayahnya yang
kemudian di buang ke Semarang. Mengetahui hal tersebut, Senapati Mataram yang
merupakan ipar dari Tumenggung Mayang merasa marah. Kemarahan Senapati ini memicu
terjadinya perang antara kerajaan Pajang dan kerajaan Mataram.
Pada suatu hari, Juru Mertani menyarankan Senapati agar meminta bantuan Ratu
Kidul. Namun, pada akhirnya Raja Pajang wafat ditangan Jurutaman yang merupakan
pengikut setia Senapati Mataram. Beberapa orang prajurit Mataram diperintahkan oleh sang
Senapati agar membeli bungan telasih untuk diletakkan di sepanjang jalan besar menuju
kraton sebagai pertanda bahwa ia sangat menghormati ayahnya yang tidak lain adalah Raja
Pajang serta menandakan bahwa sang Senapatilah yang akan menggantikan kedudukannya.
Jenazah Raja Pajang kemudian dimakamkan di Desa Butuh.
Senapati Mataram tidak ikut campur tangan dalam menentukan pengganti Raja
Pajang, ia memilih untuk kembali pulang ke Mataram. Sunan Kudus memutuskan bahwa
Adipati Demak yang akan naik tahta sebagai pengganti Raja Pajang, sedangkan saudaranya,
Pangeran Benawa menjadi adipati di Jipang. Namun, keadaan Pajang dibawah pimpinan
Adipati Demak malah menjadi kacau. Pangeran Benawa segera bberunding dengan Senapati
agar mau menyerang Pajang. Bahkan, prajurit Pajang pun meminta Senapati untuk
menyerang Pajang dan memenggal kepala Adipati Demak. Mereka merasa Senapati lebih
pantas karena memang ia anak Raja Pajang yang paling tua.
Kekalahan Adipati Demak membawa Pangeran Benawa naik tahta menjadi Raja
Pajang dengan perintah Senapati, walaupun hanya bertahan satu tahun karena sakit dan
kemudian wafat. Senapati kemudian mengangkat Tumenggung Gagakbaning yang kemudian
juga wafat dan digantikan putranya yang bernama Pangeran Pajang.
Sunan Giri meramalkan bahwa aka nada penerus Mataram yang nantinya akan
menguasai seluruh Pulau Jawa dengan syarat Senapati harus memerangi kadipaten di brang
wetan. Penyerangan ke kadipaten brang wetan dilakukan pada bulan Muharam. Setelah
saling berhadapan antara prajurit brang wetan dan prajurit Mataram, maka terjadilah perang
yang sangat ramai. Amukan prajurit Mataram ibarat amukan seekor banteng yang terluka.
Walaupun sang Senapati hanya bersenjatakan keris, ternyata mampu mematahkan senjata

lawan-lawannya. Para adipati brang wetan memusatkan perhatiannya kepada sang


Senapati.
Senapati berhasil menaklukkan Madiun dan sekitarnya, kemudian melanjutkan
penyerangan ke Pasuruan. Namun, Pasuruan tidak melakukan perlawanan dan justru
mengabdi kepada Mataram. Oleh karena itu, Adipati Pasuruan tetap diperbolehkan
memimpin daerahnya. Setelah Pasuruan dapat dikalahkan, Senapati dan Ratna Dumilah, anak
Panembahan Madiun yang diperistrinya beserta prajuritnya pulang ke Mataram.
Setelah Pasuruan, keluarga Senapati Kediri dan saudara-saudaranya ikut bergabung
dan

menghamba

kepada

Mataram.

Senapati

Kediri

bersama

saudara-saudaranya

diperintahkan untuk membangun benteng. Pembangunan benteng tersebut berlangsung pada


tahun 1509.
Sementara itu,para adipati brang wetan merencanakan untuk menyerang Mataram
dari tiga arah. Senapati kemudian perundingan dengan para pejabat istana dan para prajurit
serta para kerabat. Di dalam pertemuan tersebut Senapati Kediri mengatakan bahwa ia akan
menyongsong musuh yang datang dari salah satu arah yang ditentukan oleh sang Senapati. Di
arah selatan dipimpin oleh Pangeran Purbaya. Barisan di utara dipimpin oleh Senapati Kediri.
Sedangkan barisan tengah akan dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi.
Prajurit brang wetan dipimpin oleh Adipati Pesagi sementara prajurit Mataram
dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi. Dalam peperangan terjadi perkelahian hebat antara
Adipati Pesagi dan Senapati Kediri. Adipati Pesagi dapat dikalahkan oleh Senapati Kediri,
namun ia sembat membalasnya hingga pada akhirnya keduanya meninggal. Prajurit Mataram
segera mengamuk prajurit brang wetan untuk menuntut bela atas gugurnya Senapati Kediri.
Peperangan antara Mataram dan brang wetan pun terus berlanjut. Sudah ada ramalan
bahwa yang akan mampu meratakan bumi brang wetan adalah anak sang Senapati. Sang
Senapati berpesan bahwa kelak ia wafat, ia menunjuk Adipati Anom sebagai penggantinya.
Ada sebuah kisah yang menceritakan runtuhnya kerajaan Majapahit dan mulai
masuknya agama Islam. Ada seorang raja di Panaraga bernama Raja Katong yang sudah
memeluk agama Islam. Ia memiliki seorang anak bernama Raden Wanabaya. Bersama ayah
dan ibunya, Raden Wanabaya melakukan pengembaraan. Dalam pengembaraannya, orang
tuanya meninggal dunia, dan membuatnya merasa sangat sedih. Pada suatu malam ia

mendengar suara yang menyuruhnya untuk pergi ke desa Mangir dan bertapa serta memeluk
agama yang suci disana.
Raden Wanabaya segera melakukan perjalanan melalui Parangtigan, Parangtritis,
Parangkusuma, Parangwedang, Mancingan, Sungai Opak, Sungai Progo, kemudian
sampailah di desa Mangir. Di desa Mangir banyak orang yang bersimpati padanya dan
berguru dengannya. Raden Wanabaya kemudian menikah dengan seorang putri, yaitu anak
seorang pengembara dari Desa Juwana. Ia bergelar Kiai Ageng Mangir Wanabaya dan
dikarunia seorang anak laki-laki yang tampan, yaitu Kiai Ageng Mangir.
Kiai Ageng Mangir berguru pada seorang sunan bernama Sunan Kadilangu. Kiai
Ageng Mangir sudah mempunyai anak yang cukup banyak, ada yang laki-laki dan ada yang
perempuan. Ia kemudian pergi ke gunung merbabu untuk bertapa mengikuti jejak ayahnya,
Kiai Ageng Mangir Wanabaya. Dalam pertapaannya ia mendengar suara yang meyuruhnya
untuk bertapa di bawah pohon beringin dan mengambil pusaka yang bernama Barukuping
yang kelak akan menjadi pusaka yang sangat ampuh bagi raja yang menguasai Pulau Jawa.
Dalam waktu yang tidak lama kesaktian Kiai Ageng Mangir sudah termashur. Oleh
karena itu, ia ingin berdiri sendiri tidak mau menghadap ke Mataram. Sejak kerajaan Pajang
berdiri hingga berdirinya Mataram Kiai Ageng Mangir memang tidak mau menghadap,
bahkan hingga ia meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Raden Jaka Mangir
yang juga bergelar Kiai Ageng Mangir. Ia baru sudi menghamba Senapati bila ia mampu
menerima tombaknya yang bernama Barukuping.
Senapati bersama Adipati Mandaraka menyusun rencana yaitu dengan memerintahkan
putrinya yang bernama Pembayun untuk memikat Kiai Ageng Mangir dengan ditemani dua
saudaranya yaitu Jayasupanta dan Saradipa. Ia juga ditemani Adipati Martalaya yang
menyamar sebagai seorang dalang bernama Sandiguna yang merupakan ayah dari Raden
Ajeng Pembayun. Rencana itupun berhasil dilakukan, dengan Kiai Ageng Mangir yang
dibuat jatuh hati dengan Pembayun dan permintaan Pembayun agar ia mau menghadap ke
Mataram. Semua berjalan sangat mulus, Raden Ajeng Pembayun kembali, namun ketika Kiai
Ageng Mangir menyembah Senapati, ia teringat akan peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi
sehingga kemurkaannya seketika itu menghabisi nyawa Kiai Ageng Mangir yang kemudian
kematiannya dirahasiakan.

Pada suatu hari sang Senapati jatuh sakit setelah berperang melawan prajurit Pati.
Hingga pada akhirnya Senapati wafat dan sesuai pesannya, Adipati Anom diangkat sebagai
penggantinya. Ia memerintah dengan penuh keadilan dan selalu berdasar pada ajaran agama.
Pangeran Puger sebagai kakaknya merasa sakit hati dan meminta bagian Demak sebagai
wilayahnya. Ia pun diizinkan untuk menjadi Adipati Demak, hingga kemudian ia terbenam
dalam kekuasaan dan berencana merebut wilayah kekuasaan Mataram. Peperangan antara
Mataram dan Adipati Demak pun tidak dapat dihindari. Namun, pada akhirnya tetap saja
Mataram tidak terkalahkan. Perang saudara juga terjadi kembali antara Raja Mataram dengan
adiknya Pangeran Jayaraga yang berakhir sama dengan kemenangan Mataram.
Raja Mataram mempunyai putra lima orang, empat orang laki-laki dan seorang
perempuan. Putranya yang tertua bernama Raden Rangsang, adiknya seorang perempuan
bernama Raden Ajeng Pandhan, dan yang paling muda bernama Raden Pamenang. Dua orang
lagi lahir dari istri yang lain bernama Raden Martapura dan Raden Cakrawijaya yang diberi
gelar Pangeran Selarong. Setelah dua belas tahun memimpin, Raja Mataram wafat dan
digantikan oleh Pangeran Rangsang. Namun, ternyata Pangeran Purbaya sudah menyatakan
dirinya yang akan menjadi raja Mataram, sedangkan Pangeran Rangsang hanya dinobatkan
menjadi Sultan Mataram.
Pada suatu hari, Adipati Mandaraka yang selama ini telah mengasuh empat raja
akhirnya wafat. Anaknya yang bernama Juru wirapraba juga wafat. Anak Adipati yang
bernama Pangeran Mandureja dan Pangeran Jurukithing menjadi pengasuh Kanjeng Sultan
dengan gelar sang Pandhita Anyakrakusuma.
Kanjeng Sultan bersama para Adipati dan kerabatnya kembali merencankan untuk
memerangi orang-orang brang wetan. Peperangan yang terjadi kali ini sangatlah ramai,
karena prajurit brang wetan dapat mengimbangi kekuatan Mataram yang pada akhirnya
menewaskan Tumenngung Suratani, orang yang sangat dipercaya dan dikasihi oleh Sultan.
Kematian Tumenggung Suratani di medan perang dib alas oleh amukan prajurit Mataram
yang merasa harus menuntut bela.
Peperangan prajurit Mataram dan prajurit brang wetan berlanjut sampai ke Madiun,
Lumajang, Pamekasan, Pasuruan, dan Jember. Di Jember terjadi peperangan yang
dimenangkan oleh prajurit Mataram. Adipati Jember yang merasa malu atas kekalahannya
pergi menghadap Sultan Mataram dan meminta untuk dibunuh. Namun, dengan kerendahan
hati, Sultan justru mengangkat Adipati Jember menjadi putranya. Akan tetapi, Adipati Jember

menolaknya karena tetap menganngap Mataram sebagai seterunya. Pada suatu hari, ia
dibunuh dan jenazahnya dilarung. Sultan Mataram kemudian membagi Jember menjadi
dua wilayah dan mengangkat Pangeran Wirabumi dan Pangeran Wirakusuma sebagai Adipati.
Pada suatu hari, Adipati Tuban merencanakan akan memberontak Mataram dan
terlebih dahulu menaklukan kadipaten di brang kulon. Pemberontakannya ini mendapat
dukungan dari Adipati Jember dan Adipati Pajang. Para adipati manca Negara dan brang
wetan ikut bergembira karena kekuatan akan bertambah besar. Dari pihak lain datang pula
dukungan dari prajurit Surabaya dan Singasari.
Setelah pemberontakan pertama yang gagal, mereka singgah ke Giri dan minta
pendapat kepada Sunan Giri. Namun, Sunan Giri mengatakan bahwa pemberontakan mereka
akan sia-sia karena belum tiba takdir Tuhan untuk mengalahkan Mataram. Hal itu ternyata
tidak digubris oleh mereka. Pemberontakan tetap dilakukan hingga akhirnya mereka sudah
dekat dengan Pajang.
Prajurit Mataram kembali bersiap untuk perang. Sultan Mataram juga bersiap dengan
membawa senjatanya yaitu Kiai Sengkelat, Kiai Belabar, Kiai Plered, Kiai Barukuping. Ia
naik gajah Kiai Dipangga yang berpelana merah dan berpayung sutra gilap. Para sentana
sudah mengiringi dalam tiga kesatuan yang dipimpin oleh para sesepuh masing-masing
Pangeran Purbaya, Panembahan Juminah, dan Adipati Pringgalaya. Keesokan harinya
peperangan terjadi dan prajurit Tuban serta prajurit brang wetan berhasil didesak mundur.
Bahkan Adipati Tuban yang semula bersikap jantan justru melarikan diri dengan
menunggangi kudanya.
Sultan Agung merasa bersenang meraih kemenangan gemilang memukul penyerang
dari brang wetan. Perhatian Mataram sekarang beralih ke Pajang karena sudah lama tidak
menghadap ke Mataram. Terdengar kabar bahwa Pajang bekerjasama dengan Mandureja
untuk melawan prajurit Mataram. Adipati Pajang, Rangga Jagaraga, dan Tambakbaya akan
melawan prajurit Mataram karena mereka yakin kepada janji Mandureja untuk berbalik
menyeberang ke pihak Pajang memukul Mataram.
Mandureja ternyata ingkar janji, dan Pajang mengungsi ke Surabaya. Pertempuran
sudah reda, kemenangan jatuh pada Mataram. Harta benda orang-orang Pajang dirampas
untuk bukti kepada raja Mataram. Sedangkan Adipati Pajang yang tidak terima akan
kekalahannya, merencanakan untuk pembalasan dengan mengajak orang brang wetan.

Peperangan kembali terjadi, pihak Mataram dipimpin oleh Adipati Surjanapura dan Adipati
Bragola.
Peperangan kali ini Pajang dibantu juga oleh Madura. Dalam peperangan ini, Adipati
Surjanapura gugur di medan perang. Tugas diambil alih oleh Adipati Bragola yang kemudian
mendapat bantuan dari Pangeran Selarong dan Ki Jurukithing. Perang ini berakhir dengan
Adipati Pajang, Rangga Jagaraga, dan Tambakbaya menghadap ke Mataram. Pemberontakan
terhadap Mataram kembali dilakukan oleh Adipati Pati dan Adipati Bragola. Adipati Pati
berhasil dikalahkan oleh Pangeran Purbaya, sedangkan Adipati Bragola dikalahkan oleh
Nayaderma yang disenjatai Kiai Barukuping oleh Sultan Agung.
Persoalan Pati sudah selesai. Kanjeng Sultan Agung kini membicarakan masalah
Surabaya dan berencana untuk membawa raja Surabaya yaitu Pangeran Pekik ke Mataram.
Setibanya Pangeran Pekik di Mataram, Sultan kemudian mengawinkannya dengan adiknya
yang bernama Wandhansari. Pangeran Pekik kini dibebani tugas agar bisa membuat Sunan
Giri takluk terhadap Mataram. Ratu Wandhansari sangat mendukung segala tindakan
suaminya. Pangeran Pekik berhasil mebujuk istri Sunan Giri untuk menyuruh suaminya
tunduk kepada Mataram. Dengan rendah hati, Sunan Giri pun menerima bujukan Pangeran
Pekik dan sanggup untuk tunduk terhadap Mataram.
Kini Sultan Agung diminta untuk menggempur Jakarta yang sudah diduduki Belanda.
Orang-orang Jawa yang semula terpaksa memihak Belanda kini berbalik di pihak Mataram
untuk memerangi Belanda. Prajurit Mataram sangat bersenang hati karena mereka tinggal
berhadapan dengan Belanda tanpa melawan bangsa sendiri. Saat itu, Prajurit Belanda
dipimpin oleh Kapten Murjangkung, Belem, Edrel, Cibuye, Jrudeh, Weling, Katrang dan
Kapten Gebyak.
Prajurit Mataram kedatangan bantuan dari Pangeran Purbaya. Pada saat itu kekuatan
Mataram memang sangat kuat sehingga prajurit Belanda lari meninggalkan pertempuran.
Meski begitu Belanda kembali menyerang hingga memaksa prajurit Mataram mundur untuk
sementara waktu. Belanda merasa senang dan berlega hati mengetahui prajurit Mataram
bubar meninggalkan peperangan kembali ke Mataram. Mundurnya prajurit Mataram ini
merupakan tindakan Sultan yang menhendaki pasukan ditarik mundur. Hanya Raja sendirilah
yang mengetahui mengapa penyerangan dihentikan.

Pada suatu hari Kanjeng Sultan pergi menemui istrinya di Laut Kidul. Pada
kesempatan ini, Kanjeng Ratu Kidul mengatakan bahwa usia Sultan hanya tinggal dua tahun
lagi. Ia memintanya untuk tinggal bersamanya saja. Namun Sultan menolak karena ia tidak
bisa meninggalkan Mataram. Dua tahun setelah itu, ramalan Kanjeng Ratu Kidul Benar-benar
terjadi, Sultan Agung mulai menderita sakit. Beliau memanggil semua keluarganya seperti
Adipati Harya Mataram, Mas Alit, dan pamannya Pangeran Purbaya. Di samping itu
dipanggil pula Tumenggung Wiraguna yang kali ini mendapat tugas untuk melabuh keris ke
Laut Kidul. Sultan Agung wafat dengan tenang ditunggui para keluarganya. Jenazahnya
kemudian dimakamkan di istana pemakaman Imogiri.
Sementara waktu pemerintahan Mataram dipegang oleh Pangeran Purbaya. Kemudian
ia memutuskan untuk mengangkat Harya Mataram sebagai pengganti. Raja baru Mataram ini
bergelar Sunan Mangkurat Senapati Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama. Sejak itu
pemerintahan Mataram makin kokoh, rakyat hidup makmur dan rukun. Seluruh warga
Mataram seiya-sekata membangun dan menjaga kebesaran Mataram.
Di kemudian hari, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Alit. Namun
tak disangka pemberontakan ini berujung dengan kematiannya. Orang-orang Mataram merasa
menyesal atas kematiannya, mereka sebenarnya tidak berniat untuk membunuhnya. Sunan
Mangkurat merasa marah dengan kematian Pangeran Alit. Amarahnya berhasil diredakan
oleh penjelasan dari Pangeran Selarong. Meninggalnya Pangeran Alit ini terjadi ketika
Blambangan dan Bali melakukan pemberontakan terhadap Mataram. Wiraguna yang
memimpin pasukan Mataram wafat karena jatuh sakit.
Tindakan-tindakan Sunan Mangkurat dari masa ke masa semakin memberatkan rakyat
dan membawa Mataram ke dalam kekacauan. Pangeran Pekik yang sudah menikahkan
putrinya dengan Adipati Anom berniat ingin menggeser tahtanya dan mengangkat Adipati
Anom menjadi raja Mataram. Adipati Anom segera melakukan pemberontakan yang dibantu
oleh Trunajaya. Pemberontakan ini mendapati kegagalan, namun justru membawa hal baik
bagi Trunajaya. Ia dijadikan pemimpin di wilayah Madura dan menamkan perasaan anti
Mataram di hati rakyat Madura.
Di lain pihak, Raja Mataram mendapat laporan bahwa brang wetan dirusak oleh
orang-orang pelarian dari Makasar. Mendengar laporan ini raja segera memerintahkan
melakukan serangan pengusiran terhadap orang-orang Makasar itu. Orang-orang Makasar
sudah mendengar berita itu. Mereka juga sudah bersiap untuk menghadapinya dengan

membangun benteng. Orang-orang Makasar ini dipimpin oleh seorang bernama Galengsong.
Galengsong berpesan kepada pasukannya apabila terdesak lawan, lebih baik mundur dulu
barulah kemudian melakukan serangan balasan untu mengusirnya. Mataram yang juga
dibantu oleh Kompeni terus menyerang Makasar. Pertempuran berjalan gencar karena
masing-masing sudah bertekad akan bertempur sampai nafas terakhir. Tidak ada prajurit yang
mundur sejengkal pun dari tempat kedudukan masing-masing.
BAB III
KESIMPULAN
Babad Mangir menceritakan Kerajaan Pajang, Mataram, sampai dengan Kartasura.
Dalam Babad Mangir I ini diceritakan tentang sejarah Kerajaan Mataram yang merupakan
kerajaan terkuat di Jawa saat itu. Raja Mataram sendiri ingin melebarkan wilayah
kekuasaannya di seluruh Pulau Jawa. Pergantian kekuasaan kerajaan Mataram dijelaskan
mulai dari Senapati Mataram hungga Sultan Agung. Kehadiran Kiai Ageng Mangir yang
memiliki pusaka Kiai Baru Kuping sangat diinginkan oleh Raja Mataram. Menurut ramalan,
suatu saat Kiai Baru Kuping akan menjadi pusaka yang sangat kuat untu Raja yang
menguasai Pulau Jawa. Dengan direbutnya Kiai Baru Kuping dari tangan Kiai Ageng Mangir,
kekuatan Mataram semakin bertambah hebat. Kiai Baru Kuping selalu berhasil menjatuhkan
lawan di medan perang. Selain peperangan dalam perebutan wilayah, dalam babad ini juga
diceritakan peperangan yang terjadi karena perebutan kekuasaan Mataran serta perang
saudara yang terjadi antara putra para raja yang menghendaki naik tahta sebagai pengganti
ayahnya. Dalam babad Mangir ini juga diceritakan tentang perjuangan prajurit Mataram yang
memerangi pasukan Belanda. Namun, pada akhirnya Mataram bekerjasama dengan Belanda
untuk mengusir orang-orang Makasar dari kadipaten brang wetan.

Nilai-nilai moral yang terkandung dalam babad Mangir I:

Menghormati orang tua: Beberapa orang prajurit Mataram diperintahkan oleh sang
Senapati agar membeli bungan telasih untuk diletakkan di sepanjang jalan besar
menuju kraton sebagai pertanda bahwa ia sangat menghormati ayahnya yang tidak
lain adalah Raja Pajang

Nilai spiritual: Pada suatu malam Raden Wanabaya mendengar suara yang
menyuruhnya untuk pergi ke desa Mangir dan bertapa serta memeluk agama yang
suci disana.Raden Wanabaya segera melakukan perjalanan melalui Parangtigan,
Parangtritis, Parangkusuma, Parangwedang, Mancingan, Sungai Opak, Sungai Progo,
kemudian sampailah di desa Mangir.

Rela berkorban: tindakan yang dilakukan oleh Raden Ajeng Pembayun dengan rela
menikahi Kiai Ageng Mangir agar tidak dianggap durhaka pada orangtuanya.
Kata-kata sukar:

Pancaniti: balai, tempat raja mengadakan musyawarah.

Pekathik: pencari rumput untuk makanan kuda.

Kaki: panggilan untuk anak laki-laki yang diaksihi.

Sumber: Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, Babad Mangir I, Proyek Penerbitan Buku
Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta, 1980.

Anda mungkin juga menyukai