Anda di halaman 1dari 5

PENEMBAHAN SENOPATI

Panêmbahan Senopati; adalah bapak dari wangsa Mataram dan merupakan


Panembahan (pemimpin) pertama dari Mataram, yang di masanya masih berupa
kadipaten. Beliau mewarisi jabatan ayahnya sebagai adipati Mataram di bawah
Kesultanan Pajang. Saat kesultanan tersebut mengalami gonjang-ganjing, Senopati
memerdekakan diri dan memerintah Mataram hingga menjadi kerajaan yang berdaulat.
Berdasarkan serat atau naskah babad seperti Serat Bauwarna, Serat Centhini, Babad
Tanah Jawi dan beberapa naskah lainnya disebutkan bahwa Panembahan Senopati
memiliki beberapa nama kecil dan julukan diantaranya; Raden Bagus Dananjaya, Raden
Ngabehi Saloring Pasar, Raden Ngabehi Salering Peken, Risang Sutawijaya, dan Danang
Sutawijaya, yang lebih dikenal di kemudian hari.
Panembahan Senopati adalah putra sulung dari pasangan Kyai Ageng Pamanahan dan
Nyai Ageng Pamanahan. Ibunya adalah adik dari Kyai Juru Martani, yang menjadi patih
pertama Mataram pada masa pemerintahannya. Kyai Ageng Pamanahan dan istrinya
Nyai Ageng Pamanahan pun tidak keberatan. Hal tersebut dikarenakan hubungan
mereka sudah sangat baik layaknya kakak beradik.
“Kanda, saya berjanji akan merawat Danang Sutawijaya layaknya darah daging saya.”
“Sungguh kami tidak keberatan, justru kami sangat senang anak kami mendapat kasih
sayang yang besar.”
Kehadiran Danang Sutawijaya mampu mengobati kehampaan hati Sultan Hadiwijaya
yang tidak memiliki keturunan. Kemudian beliau dibesarkan dengan penuh kasih
sayang. Setelah dewasa Danang Sutawijaya diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar.
Hal tersebut menjadikan Danang Sutawijaya dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi
Saloring Pasar. Hadiwijaya begitu menyayangi Danang Sutawijaya seperti anaknya
sendiri.Meskipun daftar raja-raja Mataram selalu menempatkan Panembahan Senopati
berada dalam urutan pertama, gelar sultan baru resmi digunakan pada tahun 1641 di
masa kekuasaan cucunya, Anyakrakusuma. Sutawijaya masih mempertahankan gelar
lamanya, panembahan, dapat disepadankan dengan adipati atau kepala pemerintahan
dalam konteks ini, gelar yang beliau sandang saat masih menjadi bawahan Kesultanan
Pajang.
Semenjak kecil beliau di didik oleh ayahanda dan kakek beliau yaitu Kyai Ageng Enis
yang menjadi penasehat spiritual dari Sultan Hadiwijaya. Dan juga beliau didik sendiri
oleh Sultan Hadiwijaya hingga Pangeran Benawa Lahir. Dalam bidang agama selain
dididik oleh kakeknya Kyai Ageng Enis, beliau bersama-sama dengan Pangeran Benawa
juga diajari oleh Sunan Kalijaga.Maka tak heran lah jika semenjak kecil beliau sudah
menjadi orang mumpuni. Karena banyak sekali yang menyayanginya. Selain olah
kanuragan beliau juga sangat pintar dalam hal Agama dan strategi. Karena hal itulah
beliau diberi julukan Panembahan Senopati.
Ketika menginjak dewasa di Demak sedang terjadi keributan dengan kadipaten Jipang
yang dipimpin oleh Arya Penangsang. Dan masalah tersebut membuat Sultan
Hadiwijaya terpaksa turun tangan dikarenakan di mintai tolong oleh Ratu Kalinyamat.
Dari hal itu maka di buatlah sayembara. Barang siapa yang bisa menumpas
pemberontakan Arya penangsang akan di beri hadiah tanah Perdikan. Kyai Ageng
Pamanahan, ayah Senopati ikut serta dalam sayembara tersebut bersama Kyai Panjawi
dan Kyai Juru Martani dari Pajang menuju Demak. Beliau membantu Jaka Tingkir dari
pemberontakan Arya Panangsang atas Demak.
Sultan Hadiwjaya melakukan sayembara bukan dikarenakan tidak sanggup membunuh
Arya Penangsang dengan tangannya sendiri tetapi dikarenakan perbedaan status.
Waktu itu, Sultan Hadiwijaya berstatus sebagai Raja atau penguasa Kerajaan Pajang,
sedangkan Arya Penangsang hanya berstatus sebagai Adipati Demak. Antara raja dan
adipati terdapat perbedaan status yang sangat tinggi. Kedudukan seorang raja jauh
lebih tinggi daripada kedudukan seorang adipati. Karena itulah, Sultan Hadiiwjaya
merasa malu sebagai raja jika harus melawan sendiri Arya Penangsang yang seorang
Adipati
Panembahan Senopati yang juga anak angkat Sultan Adiwijaya, ikut serta membantu
ayahnya, Kyai Ageng Pamanahan dalam sayembara melawan Arya Panangsang. Karena
Adiwijaya mengkhawatirkan putra angkatnya turut dalam melaksanakan tugas tersebut,
beliau memberikan bantuan pasukan Pajang untuk membantunya berperang. Perang
antara pasukan Pajang melawan Arya Panangsang terjadi di dekat Bengawan Sore.
Berkat siasat cerdik yang disusun Kyai Juru Martani, Arya Panangsang berhasil tumpas
di tangan Panembahan Senopati.
Sebenarnya Panembahan Senopati yang berhasil membunuh Arya Penangsang.akan
tetapi dikarenakan sebelumnya ada ramalan dari Sunan Prapen bahwa Mataram akan
menjadi Kerajaan besar setelah Pajang. Maka oleh Kyai Juru Martani dilaporkan kepada
Sultan Hadiwijaya bahwa yang berhasil menumpas pemberontakan adalah Kyai Ageng
Pemanahan dan Kyai Ageng Penjawi. Hal ini dilakukan untuk menutupi keberhasilan
Panembahan Senopati agar kelak tidak di persulit oleh Sultan Hadiwijaya.
Atas keberhasilan tersebut Kyai Ageng Panjawi diberikan tanah perdikan di daerah Pati
dan Kyai Ageng Pemanahan (putra dari Kyai Ageng Enis dan cucu Kyai Ageng Sela),
diberi imbalan daerah Mataram, yaitu daerah di hutan Mentaok (sekitar Kota Gedhe,
Yogyakarta) pada tahun 1558 Masehi untuk dijadikan tempat pemukiman yang
baru.Pemberian tanah di daerah Mataram oleh Hadiwijaya kepada Kyai Ageng
Pemanahan, seakan menjadi bumerang bagi perkembangan Kesultanan Pajang sendiri,
karena Mataram setelah diberikan oleh Kyai Ageng Pemanahan dan seharusnya
menjadi wilayah bagian di Kesultanan Pajang, justru menjadi wilayah yang lebih maju .
Kyai Ageng Pemanahan, yang kemudian juga dikenal dengan sebutan Kyai Gedhe
Mataram, dalam waktu singkat mampu membuat Mataram beserta rakyatnya maju.
Kyai Ageng Pamanahan berjanji setia kepada Sultan Adiwijaya yang memberinya izin
mendirikan tanah perdikan (kadipaten) di Mentaok yang saat itu masih merupakan
wilayah selatan Pajang.

2
Sepeninggal Kyai Ageng Pamanahan tahun 1584, Sutawijaya menggantikan
kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senopati Ingalaga (yang artinya
“panglima di medan perang”).
Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk
menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senopati sudah lebih dari setahun tidak
menghadap Sultan Hadiwijaya. Senopati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah
tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu
pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.
Senopati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Beliau sibuk
mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya
membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan
Gunung Merapi. Senopati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu
dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil
dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senopati.Sultan Hadiwijaya
resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki
perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran Benawa,
dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senopati. Hanya saja
sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senopati) dengan Arya
Pamalad. Tapi oleh Pangeran Benawa dilaporkan bahwa hal itu terjadi karena ketidak
sengajaan.
Pada tahun 1582 seorang keponakan Danang Sutawijaya yang tinggal di Pajang,
bernama Pangeran Pabelan (putera Tumenggung Mayang dengan adik perempuan
Danang Sutawijaya) dihukum mati karena berani menyusup ke dalam Keraton Puteri
Kasultanan Pajang untuk menemui Ratu Sekar Kedaton (puteri Sultan Hadiwijaya, yang
memiliki kecantikan dan kebaikan hati yang luar biasa).
Ayah Pangeran Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang pun ikut dijatuhi hukuman
dibuang ke daerah Semarang karena diduga ikut membantu Pangeran Pabelan. Ibu
Pangeran Pabelan yang merupakan adik perempuan Danang Sutawijaya meminta
bantuan ke Mataram. Maka dari itu, Danang Sutawijaya berniat untuk mencegah
pasukan Kasultanan Pajang ditengah perjalanan dari Kasultanan Pajang menuju
Semarang yang membawa Tumenggung Mayang. Akhirnya, utusan Mataram berhasil
mencegah pasukan Kasultanan Pajang membawa Tumenggung Mayang ke Semarang,
karena kebetulan disaat yang sama terjadi peristiwa alam yaitu meletusnya Gunung
Merapi, peristiwa inilah yang mengakibatkan stigma yang terbentuk bahwa Danang
Sutawijaya melakukan pemberontakan terhadap Kasultanan Pajang.Keberhasilan
utusan Mataram berhasil mencegah pasukan Kasultanan Pajang membawa Tumenggung
Mayang ke Semarang ini menjadi akhir dari pemerintahan dari Sultan Hadiwijaya.
Kampanye militer yang dilakukan Senopati setelah mangkatnya Sultan Adiwijaya adalah
pendudukan daerah-daerah brang wetan yang banyak melepaskan diri dari Pajang.
Persekutuan adipati brang wetan tetap dipimpin Surabaya sebagai kadipaten terkuat.
Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat
dipisah utusan Kesunanan Giri.Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram,
daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola
putra Kyai Panjawi. Kakak perempuannya, Waskita Jawi menjadi permaisuri Senopati,

3
bergelar Kanjeng Ratu Mas. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram
kelak akan dipimpin keturunan kakak perempuannya.
Setelah itu, di Pajang sedang terjadi perebutan kekuasaan besar-besaran yang terjadi
setelah Sultan Adiwijaya wafat pada tahun 1582. Pewaris Adiwijaya seharusnya adalah
Pangeran Benawa, yang digulingkan takhtanya oleh Arya Pangiri. Arya Pangiri adalah
menantu Sultan Adiwijaya yang menjadi adipati Demak pada tahun 1583 dan
menyingkirkan Pangeran Benawa.
Sejak saat itu Mataram mulai melepaskan kekuasaannya dari Pajang. Di bawah
Panembahan Senopati, Mataram mulai melancarkan kampanye militer melawan Pajang.
Senopati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan yang merdeka. Beliau
sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual. Senopati
juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak
menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga
berdatangan kepadanya dengan harapan dapat melemahkan Pajang. Selain itu,
Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senopati, karena pemerintahan Arya
Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang antara Pajang melawan Mataram
pun terjadi dengan akhir kekalahan Arya Pangiri.
Pangeran Benawa akhirnya diangkat menjadi Raja Pajang. Hanya berselang satu tahun
Pangeran Benawa menjadi Raja Pajang beliau menyerahkan kekuasaan sepenuhnya
Keseltanan Pajang kepada Mataram, dikarenakan jiwa beliau lebih memilih menjadi
ulama menyebarkan dakwah Agama Islam daripada menjadi penguasa. Dan beliau
berwasiat agar Pajang bergabung dengan Mataram. Senopati ditunjuk untuk
menggantikan posisinya. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, akhirnya
ditunjuk Pangeran Gagak Baning sebagai adipati yang tak lain adalah adik Senopati.
Danang Sutawijaya akhirnya mampu menjadikan Kerajaan Mataram sebagai kerajaan
yang memiliki kekuasaan penuh. Danang Sutawijaya memproklamirkan Mataram
sebagai Kerajaan Islam yang berdiri sendiri dan menggunakan gelar Panembahan
Senopati Khalifatullah Sayyidin Penatagama. Semenjak itulah Danang Sutawijaya
dikenal dengan nama Panembahan Senopati (1586-1601), dengan ibu kota kerajaan
berada di Kotagede.Panembahan Senopati berkeinginan menjadikan Kerajaan Mataram
sebagai tonggak kerajaan di Jawa, perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram pun
kemudian dilakukan ke sebagian Jawa Tengah (Mataram, Pajang, dan Demak), serta ke
sebagian Jawa Timur (Madiun).Maka sejak tahun 1586, Senopati menjadi raja pertama
Mataram bergelar panembahan. Ia tidak memakai gelar susuhunan atau sultan karena
menghormati Sultan Adiwijaya dan Pangeran Benawa. Pusat pemerintahannya terletak
di Kotagede.
Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pajang, Pati, dan Demak bergerak
menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jumena (putra bungsu Sultan
Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya.
Melalui siasat yang cerdik, Madiun berhasil ditundukkan. Rangga Jumena melarikan diri
ke Surabaya. Rangga Jumena setelah mengalami kekalahan kemudian mengandalkan
putrinya yang cantik, yaitu Ratna Dumilah untuk membuat siasat mengalahkan
Panembahan Senopati.

4
Bujuk rayu Senopati yang berwajah tampan dan tegap dapat menaklukkan hati Ratna
Dumilah, karena Senopati datang ke Madiun bukan untuk menaklukkan melainkan
untuk mempersatukan darah Mataram dan darah Demak agar dapat menjadi kerajaan
yang bersatu. Ratna Dumilah sebagai seorang wanita terhormat tidak mau menyerah
kepada bujuk rayu Senopati, dan perlu membuktikan bahwa Senopati unggul dalam
peperangan.Setelah terbukti kesaktian Senopati, akhirnya Ratna Dumilah menyerah dan
dipersunting oleh Panembahan Senopati. Dari kisah Panembahan Senopati dan Ratna
Dumilah itulah oleh KGPAA Mangkunagara IV diciptakan sebuah tari yang bernama Tari
Bedaya Bedah Madiun.
Pada tahun 1591 terjadi konflik suksesi di Kediri sepeninggal Pangeran Mas. Setelah
Pangeran Mas wafat, Pangeran Surabaya menempatkan Ratu Jalu sebagai penguasa di
Kediri. Tindakan itu ternyata menimbulkan kekecewaan keluarga Pangeran Mas.
Saudara Pangeran Mas yang bergelar Senopati Kediri terusir posisinya oleh adipati baru
bernama Ratu Jalu hasil pilihan Surabaya. Senopati Kediri kemudian diambil sebagai
anak angkat oleh Senopati dan dibantu merebut kembali takhta Kediri.
Pada tahun 1595 adipati Pasuruan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun
dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat
dikalahkan oleh Senopati dalam sebuah perang tanding. Beliau kemudian ditumpas
sendiri oleh adipati Pasuruan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.

• Pada tahun 1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati.


Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Ratna Dumilah putri Madiun
sebagai permaisuri kedua Senopati. Perang kemudian terjadi di dekat Sungai
Dengkeng di mana pasukan Mataram dipimpin langsung oleh Senopati sendiri
dan berhasil meredamkan pemberontakan itu.
Panembahan Senopati meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar,
kemudian diberi gelar sebagai Panembahan Seda ing Kajenar (Panembahan yang
meninggal di Kajenar). Dan dimakamkan di Makam Hastana Kitha Ageng Kotagede.
Setelah Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601 Kerajaan Mataram dipimpin oleh
Raden Mas Jolang (putera Panembahan Senopati dengan Ratu Mas Waskitajawi, puteri
Kyai Ageng Penjawi). Raden Mas Jolang naik takhta dengan gelar Panembahan Hadi
Prabu Hanyakrawati (1601-1613) atau Panembahan Seda Ing Krapyak atau dikenal
dengan nama Panembahan Hanyakrawati, dengan ibu kota kerajaan tetap berada di
Kotagede.

Anda mungkin juga menyukai