2
Sepeninggal Kyai Ageng Pamanahan tahun 1584, Sutawijaya menggantikan
kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senopati Ingalaga (yang artinya
“panglima di medan perang”).
Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk
menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senopati sudah lebih dari setahun tidak
menghadap Sultan Hadiwijaya. Senopati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah
tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu
pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.
Senopati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Beliau sibuk
mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya
membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan
Gunung Merapi. Senopati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu
dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil
dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senopati.Sultan Hadiwijaya
resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki
perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran Benawa,
dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senopati. Hanya saja
sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senopati) dengan Arya
Pamalad. Tapi oleh Pangeran Benawa dilaporkan bahwa hal itu terjadi karena ketidak
sengajaan.
Pada tahun 1582 seorang keponakan Danang Sutawijaya yang tinggal di Pajang,
bernama Pangeran Pabelan (putera Tumenggung Mayang dengan adik perempuan
Danang Sutawijaya) dihukum mati karena berani menyusup ke dalam Keraton Puteri
Kasultanan Pajang untuk menemui Ratu Sekar Kedaton (puteri Sultan Hadiwijaya, yang
memiliki kecantikan dan kebaikan hati yang luar biasa).
Ayah Pangeran Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang pun ikut dijatuhi hukuman
dibuang ke daerah Semarang karena diduga ikut membantu Pangeran Pabelan. Ibu
Pangeran Pabelan yang merupakan adik perempuan Danang Sutawijaya meminta
bantuan ke Mataram. Maka dari itu, Danang Sutawijaya berniat untuk mencegah
pasukan Kasultanan Pajang ditengah perjalanan dari Kasultanan Pajang menuju
Semarang yang membawa Tumenggung Mayang. Akhirnya, utusan Mataram berhasil
mencegah pasukan Kasultanan Pajang membawa Tumenggung Mayang ke Semarang,
karena kebetulan disaat yang sama terjadi peristiwa alam yaitu meletusnya Gunung
Merapi, peristiwa inilah yang mengakibatkan stigma yang terbentuk bahwa Danang
Sutawijaya melakukan pemberontakan terhadap Kasultanan Pajang.Keberhasilan
utusan Mataram berhasil mencegah pasukan Kasultanan Pajang membawa Tumenggung
Mayang ke Semarang ini menjadi akhir dari pemerintahan dari Sultan Hadiwijaya.
Kampanye militer yang dilakukan Senopati setelah mangkatnya Sultan Adiwijaya adalah
pendudukan daerah-daerah brang wetan yang banyak melepaskan diri dari Pajang.
Persekutuan adipati brang wetan tetap dipimpin Surabaya sebagai kadipaten terkuat.
Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat
dipisah utusan Kesunanan Giri.Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram,
daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola
putra Kyai Panjawi. Kakak perempuannya, Waskita Jawi menjadi permaisuri Senopati,
3
bergelar Kanjeng Ratu Mas. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram
kelak akan dipimpin keturunan kakak perempuannya.
Setelah itu, di Pajang sedang terjadi perebutan kekuasaan besar-besaran yang terjadi
setelah Sultan Adiwijaya wafat pada tahun 1582. Pewaris Adiwijaya seharusnya adalah
Pangeran Benawa, yang digulingkan takhtanya oleh Arya Pangiri. Arya Pangiri adalah
menantu Sultan Adiwijaya yang menjadi adipati Demak pada tahun 1583 dan
menyingkirkan Pangeran Benawa.
Sejak saat itu Mataram mulai melepaskan kekuasaannya dari Pajang. Di bawah
Panembahan Senopati, Mataram mulai melancarkan kampanye militer melawan Pajang.
Senopati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan yang merdeka. Beliau
sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual. Senopati
juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak
menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga
berdatangan kepadanya dengan harapan dapat melemahkan Pajang. Selain itu,
Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senopati, karena pemerintahan Arya
Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang antara Pajang melawan Mataram
pun terjadi dengan akhir kekalahan Arya Pangiri.
Pangeran Benawa akhirnya diangkat menjadi Raja Pajang. Hanya berselang satu tahun
Pangeran Benawa menjadi Raja Pajang beliau menyerahkan kekuasaan sepenuhnya
Keseltanan Pajang kepada Mataram, dikarenakan jiwa beliau lebih memilih menjadi
ulama menyebarkan dakwah Agama Islam daripada menjadi penguasa. Dan beliau
berwasiat agar Pajang bergabung dengan Mataram. Senopati ditunjuk untuk
menggantikan posisinya. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, akhirnya
ditunjuk Pangeran Gagak Baning sebagai adipati yang tak lain adalah adik Senopati.
Danang Sutawijaya akhirnya mampu menjadikan Kerajaan Mataram sebagai kerajaan
yang memiliki kekuasaan penuh. Danang Sutawijaya memproklamirkan Mataram
sebagai Kerajaan Islam yang berdiri sendiri dan menggunakan gelar Panembahan
Senopati Khalifatullah Sayyidin Penatagama. Semenjak itulah Danang Sutawijaya
dikenal dengan nama Panembahan Senopati (1586-1601), dengan ibu kota kerajaan
berada di Kotagede.Panembahan Senopati berkeinginan menjadikan Kerajaan Mataram
sebagai tonggak kerajaan di Jawa, perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram pun
kemudian dilakukan ke sebagian Jawa Tengah (Mataram, Pajang, dan Demak), serta ke
sebagian Jawa Timur (Madiun).Maka sejak tahun 1586, Senopati menjadi raja pertama
Mataram bergelar panembahan. Ia tidak memakai gelar susuhunan atau sultan karena
menghormati Sultan Adiwijaya dan Pangeran Benawa. Pusat pemerintahannya terletak
di Kotagede.
Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pajang, Pati, dan Demak bergerak
menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jumena (putra bungsu Sultan
Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya.
Melalui siasat yang cerdik, Madiun berhasil ditundukkan. Rangga Jumena melarikan diri
ke Surabaya. Rangga Jumena setelah mengalami kekalahan kemudian mengandalkan
putrinya yang cantik, yaitu Ratna Dumilah untuk membuat siasat mengalahkan
Panembahan Senopati.
4
Bujuk rayu Senopati yang berwajah tampan dan tegap dapat menaklukkan hati Ratna
Dumilah, karena Senopati datang ke Madiun bukan untuk menaklukkan melainkan
untuk mempersatukan darah Mataram dan darah Demak agar dapat menjadi kerajaan
yang bersatu. Ratna Dumilah sebagai seorang wanita terhormat tidak mau menyerah
kepada bujuk rayu Senopati, dan perlu membuktikan bahwa Senopati unggul dalam
peperangan.Setelah terbukti kesaktian Senopati, akhirnya Ratna Dumilah menyerah dan
dipersunting oleh Panembahan Senopati. Dari kisah Panembahan Senopati dan Ratna
Dumilah itulah oleh KGPAA Mangkunagara IV diciptakan sebuah tari yang bernama Tari
Bedaya Bedah Madiun.
Pada tahun 1591 terjadi konflik suksesi di Kediri sepeninggal Pangeran Mas. Setelah
Pangeran Mas wafat, Pangeran Surabaya menempatkan Ratu Jalu sebagai penguasa di
Kediri. Tindakan itu ternyata menimbulkan kekecewaan keluarga Pangeran Mas.
Saudara Pangeran Mas yang bergelar Senopati Kediri terusir posisinya oleh adipati baru
bernama Ratu Jalu hasil pilihan Surabaya. Senopati Kediri kemudian diambil sebagai
anak angkat oleh Senopati dan dibantu merebut kembali takhta Kediri.
Pada tahun 1595 adipati Pasuruan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun
dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat
dikalahkan oleh Senopati dalam sebuah perang tanding. Beliau kemudian ditumpas
sendiri oleh adipati Pasuruan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.