Kyai Juru Martani (lahir: ? - wafat: Mataram, 1615) adalah tokoh cerdik yang merupakan
salah satu perintis Kesultanan Mataram, ia menjabat sebagai patih pertama dalam sejarah
Kesultanan Mataram, bergelar Kyai Adipati Mandaraka.
Ki Juru Martani / Kyai Adipati Mandaraka posisinya begitu sentral dalam "Dinasty Mataram",
baik sebagai perintis Mataram, sebagai anggota keluarga besar keturunan Brawijaya, sebagai
tokoh agama maupun sebagai Penasehat Panembahan Senopati. Oleh karena itu kiranya
perlu ada kajian khusus mengenai keberadaannya. Ada beberapa versi mengenai asal-usul Ki
Juru Martani, diantaranya adalah:
Versi 1 (http://kiagengmandaraka.blogspot.com/2011/06/saya-pengagum-beliau.html)
Diarsipkan (https://web.archive.org/web/20140408111640/http://kiagengmandaraka.blog
spot.com/2011/06/saya-pengagum-beliau.html) 2014-04-08 di Wayback Machine.
Ki Juru Martani adalah putra Ki Ageng Saba atau Ki Ageng Madepandan, putra Sunan Kedul,
putra Sunan Giri anggota Walisanga pendiri Giri Kedaton. Ibunya adalah putri dari Ki Ageng
Sela, yang masih keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad).
Juru Martani
memiliki adik perempuan bernama Nyai Sabinah yang menikah dengan Ki Ageng
Pamanahan, putra Ki Ageng Ngenis, putra Ki Ageng Sela. Dengan demikian, Ki Ageng
Pemanahan adalah adik sepupu sekaligus ipar Juru Martani.
Juru Martani memiliki beberapa
orang anak yang menjadi bangsawan pada zaman Kesultanan Mataram, antara lain Pangeran
Mandura dan Pangeran Juru Kiting.
Pangeran Mandura berputra Pangeran Mandurareja dan
Pangeran Upasanta. Mandurareja pernah mencoba berkhianat pada pemerintahan Sultan
Agung tetapi batal. Ia kemudian ikut menyerang Batavia tahun 1628 dan dihukum mati di
sana bersama para panglima lainnya karena kekalahannya. Sementara itu Upasanta diangkat
menjadi bupati Batang. Putrinya dinikahi Sultan Agung sebagai selir, yang kemudian
melahirkan Amangkurat I.
2. Pangeran Upasanta
1. Kanjeng Ratu Batang istri Sultan Agung
1. Amangkurat I
Versi 2 (http://kincho-ngerang.blogspot.com/)
Ki Ageng Wanasaba merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit dan merupakan
putra Raden Bondan Kejawan, Lembu Peten, putra Brawijaya V yang menikah dengan
Nawangsih, dan Nawangsih sendiri putri dari Ki jaka Tarub yang menikah dengan Dewi
Nawang wulan ( epos Jaka Tarub ), memiliki putra 3: Ki Ageng Wanasaba, Ki Ageng Getas
Pandawa, dan Nyai Ageng Ngerang / Roro Kasihan.
Ki Ageng Wanasaba mempunyai Putra yaitu Pangeran Made Pandan, nama lain dari Ki Ageng
Pandanaran. Pangeran Made Pandan mempunyai putra Ki Ageng Pakiringan yang
mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat Putra yaitu Nyai
Ageng Laweh, Nyai Ageng Manggar, Putri dan Ki juru Martani.
3. Putri
4. Ki Juru Martani
Peran Awal Ki Juru Martani
Nama Juru Martani muncul dalam Babad Tanah Jawi sebagai tokoh yang mendesak Ki
Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi agar berani mengikuti sayembara menumpas Arya
Penangsang.
Arya Penangsang adalah bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja
Demak tahun 1549. Sayembara diadakan oleh Hadiwijaya bupati Pajang dengan hadiah,
tanah Pati dan Mataram.
Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi semula tidak berani mengikuti sayembara karena takut
pada kesaktian Arya Penangsang. Setelah Ki Juru Martani berjanji menjadi pengatur strategi,
maka keduanya pun berangkat mendaftar.
Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di Surakarta, tidak dapat dipisahkan dengan
sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya Laweyan merupakan perkampungan masyarakat yang
beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Beluk, sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat
Laweyan saat itu. Ia menganut agama Hindu, tetapi karena dakwah yang dilakukan oleh Ki
Ageng Henis, Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyerahkan
bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi Masjid
Laweyan.
Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan putra
Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng Pamanahan,
Ki Juru Martani dan Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram"
atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram". Disamping itu banyak perintis
lainnya yang dianggap berjasa besar terhadap terbentuknya Kesultanan Mataram seperti:
Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki
Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela,
Ki Ageng Enis dan tokoh lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai
leluhur Raja-raja Mataram yang mewarisi nama besar keluarga keturunan Brawijaya
majapahit yang keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan
menyandang nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki arti: tokoh
besar keagamaan dan pemerintahan yang dihormati yang memiliki kelebihan, kemampuan dan
sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.
Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan
Mataram yaitu:
Fakta 3: Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh para
Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang bertujuan
"mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu
dengan garis keturunan kerajaan.
Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan
Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi
yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di
Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa
maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah
dan/atau Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh
dan para Wali.
Strategi untuk mengalahkan adipati Jipang disusun rapi oleh Juru Martani. Mula-mula Ki
Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara sambil membawa serta Sutawijaya
(putra kandung Ki Ageng Pemanahan). Hadiwijaya merasa tidak tega karena Sutawijaya telah
menjadi anak angkatnya. Maka, ia pun memberikan pasukan Pajang untuk mengawal
Sutawijaya.
Pasukan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi yang terdiri atas gabungan orang Pajang dan
Sela berangkat dan menunggu di sebelah barat Sungai Bengawan Sore.
Juru Martani kemudian menangkap tukang kuda musuh yang sedang mencari rumput.
Telinga orang itu dipotong dan ditempeli surat tantangan atas nama Hadiwijaya.
Si tukang kuda pulang ke kadipaten Jipang melapor pada majikannya. Arya Penangsang
marah melihat pembantunya dilukai, apalagi terdapat surat tantangan agar Arya Penangsang
bertarung tanpa kawan melawan Hadiwijaya di tepi Sungai Bengawan Solo.
Arya Penangsang tidak kuasa menahan emosi. Ia pun berangkat melayani tantangan musuh.
Siasat Juru Martani berhasil. Apabila surat tantangan dibuat atas nama Ki Ageng
Pemanahan atau Ki Panjawi, pasti Arya Penangsang tidak sudi berangkat.
Arya Penangsang tiba di tepi timur Bengawan Sore berteriak-teriak menantang Hadiwijaya. Ia
tidak berani menyeberang karena ingat pesan Sunan Kudus. Namun Juru Martani sudah
menyusun rencana jitu. Sutawijaya disuruh naik kuda betina yang sudah dipotong ekornya.
Akibatnya, kuda jantan milik Arya Penangsang yang bernama Gagak Rimang bisa melihat alat
vital si kuda betina. Kuda tersebut menjadi liar dan tidak terkendali sehingga membawa Arya
Penangsang menyeberangi sungai mengejar kuda milik Sutawijaya.
Ketika Arya Penangsang baru saja mencapai tepi barat, Sutawijaya segera menusuk perutnya
menggunakan tombak Kyai Plered. Perut Arya Penangsang robek dan ususnya terburai.
Namun ia masih bertahan. Ususnya itu disampirkan pada pangkal keris pusakanya.
Arya Penangsang yang sudah terluka parah masih bisa meringkus Sutawijaya. Sutawijaya
dicekik sampai tidak berdaya. Juru Martani meneriaki Arya Penangsang agar bertarung
secara adil. Karena Sutawijaya bersenjata tombak pusaka Kyai Plered, maka ia juga harus
memakai pusaka jika ingin membunuh Sutawijaya.
Maka, Arya Penangsang pun mencabut keris pusaka Kyai Setan Kober yang terselip di
pinggangnya. Akibatnya, usus yang tersampir di pangkal keris tersebut ikut terpotong,
sehingga Arya Penangsang pun menemui kematiannya.
Pasukan Jipang dipimpin Patih Matahun datang menyusul majikan mereka. Melihat Arya
Penangsang tewas, mereka pun menyerbu untuk bela pati. Kesemuanya itu dapat ditumpas
oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi.
Sayembara telah usai. Ki Juru Martani menyusun laporan palsu bahwa, Arya Penangsang
mati dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Apabila Hadiwijaya di Pajang
mengetahui kalau pembunuh sebenarnya adalah Sutawijaya, tentu ia akan lupa memberi
hadiah tanah Mataram dan Pati, mengingat Sutawijaya adalah anak angkat Hadiwijaya.
Ki Juru Martani Sebagai Penasihat Sutawijaya
Juru Martani tidak hanya dikisahkan cerdik, tetapi juga memiliki kesaktian tinggi, meskipun
tidak pernah diceritakan bertarung melawan musuh.
Babad Tanah Jawi mengisahkan, Sutawijaya memiliki putra sulung bernama Raden Rangga
yang suka memamerkan kesaktiannya. Suatu hari Raden Rangga disuruh pergi ke rumah
Juru Martani untuk berguru. Pemuda itu pun berangkat dengan setengah hati karena merasa
lebih kuat daripada Juru Martani.
Sesampainya di tujuan, Juru Martani sedang salat. Raden Rangga menunggu di teras
mushala sambil iseng melubangi batu lantai menggunakan jari. Juru Martani muncul dari
dalam dan mengatakan kalau batu mushala tersebut keras jadi jangan buat mainan. Seketika
itu juga, Raden Rangga tidak mampu lagi melubangi batu mushala dengan jarinya.
Sejak itu, Raden Rangga berguru pada Juru Martani dengan sepenuh hati karena ia yakin
kalau orang tua yang dianggapnya lemah dan tidak pernah bertarung itu ternyata menyimpan
kesaktian yang luar biasa.
Ki Juru Martani menjabat sebagai patih Kesultanan Mataram sejak pemerintahan Sutawijaya
tahun 1586-1601. Dilanjutkan pemerintahan Mas Jolang putra Sutawijaya yang memerintah
tahun 1601-1613. Lalu digantikan oleh Adipati Martapura putra Mas Jolang yang menjadi raja
satu hari, dan dilanjutkan Sultan Agung putra Mas Jolang lainnya yang naik takhta sejak
tahun 1613.
Kyai Juru Martani alias Adipati Mandaraka meninggal dunia pada tahun 1615. Kedudukannya
sebagai patih Mataram kemudian digantikan oleh Tumenggung Singaranu. Dengan demikian,
Juru Martani mengabdi di Mataram dalam waktu yang sangat lama, yaitu ikut membuka Alas
Mentaok menjadi desa Mataram, sampai awal pemerintahan Sultan Agung, cicit Ki Ageng
Pemanahan.
Sultan Agung memerintah sampai tahun 1645 kemudian digantikan oleh putranya, bergelar
Amangkurat I yang lahir dari permaisuri keturunan Ki Juru Martani.
Kepustakaan
Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta:
Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI. Jakarta: Proyek
Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Didahului oleh:
Ki Ageng Enis
Terakhir disunting 3 bulan yang lalu oleh 114.10.4.235
Wikipedia