Dalam sejarah Pajang, Ki Ageng Pamanahan dan Sutawijaya bersama-sama dengan Ki Juru
Martani dan Ki Panjawi, sangat berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau
Mas Karebet) sebab telah berhasil membunuh Arya Panangsang, musuhnya dari Jipang.
Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah tanah Pati kepada Ki
Panjawi, dan tanah Mataram kepeda Ki Ageng Pamanahan. Sedang kepada Ki Ageng Enis
dianugerahi tanah perdikan di Laweyan Karena ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis
mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih, makamnya di Astana Lawiyan. Istilah Lawiyan berasal
dari kata Luwih (sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut.
Ki Ageng Ngenis
Nama lengkap
Ki Ageng Karatongan
Agama Islam
Serat Kandha menyebutkan bahwa Ki Ageng Ngenis dengan seluruh keluarganya mendapat
pekerjaan pada raja Pajang (Sultan Hadiwijaya) yang begitu senang padanya, sehingga ia
diberi tanah Laweyan (di Surakarta, ada hingga kini) sebagai hadiah. Ki Ageng Ngenis
meninggal di sana. Setelah meninggalnya, Ki Pemanahan dan Ki Panjawi menjadi lurah para
prajurit tamtama Pajang.
Asal usul
Ki Ageng Enis adalah putra dari Ki Ageng Sela dengan Nyai Bicak putri Ki Ageng Ngerang /
Sunan Ngerang I keturunan Maulana Maghribi II. Ki Ageng Enis berputra Ki Ageng
Pemanahan dan Ki Ageng Pemanahan berputra Sutawijaya atau Mas Ngabehi Loring Pasar
atau Senapati pendiri kerajaan Mataram Islam.
Ki Ageng Enis adalah putra bungsu dari tujuh bersaudara, di mana semua saudaranya adalah
perempuan.
4. Pangeran Teposono
6. Raden Suryokusumo
7. Pangeran Blitar
9. Pangeran Purbaya
4. Pangeran Martosana
5. Pangeran Singasari
6. Pangeran Silarong
7. Pangeran Notoprojo
8. Pangeran Satoto
2. Pangeran Mangkubumi
3. Pangeran Bumidirja
7. Pangeran Bhuminata
8. Pangeran Notopuro
9. Pangeran Pamenang
3. Pangeran Ronggo
7. Pangeran Teposono
8. Pangeran Mangkubumi
1. Adipati Sukawati
Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di Surakarta, tidak dapat dipisahkan dengan
sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya Laweyan merupakan perkampungan masyarakat yang
beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Beluk, sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat
Laweyan saat itu. Ia menganut agama Hindu, tetapi karena dakwah yang dilakukan oleh Ki
Ageng Henis, Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyerahkan
bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi Masjid
Laweyan.
Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan putra
Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng Pamanahan,
Ki Juru Martani dan Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram"
atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram". Disamping itu banyak perintis
lainnya yang dianggap berjasa besar terhadap terbentuknya Kesultanan Mataram seperti:
Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki
Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela,
Ki Ageng Enis dan tokoh lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai
leluhur Raja-raja Mataram yang mewarisi nama besar keluarga keturunan Brawijaya
majapahit yang keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan
menyandang nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki arti: tokoh
besar keagamaan dan pemerintahan yang dihormati yang memiliki kelebihan, kemampuan dan
sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.
Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan
Mataram yaitu:
Fakta 3: Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh para
Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang bertujuan
"mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu
dengan garis keturunan kerajaan.
Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan
Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi
yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di
Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa
maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah
dan/atau Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh
dan para Wali.
Ki Ageng Henis adalah putera Ki Ageng Sela, keturunan dari Brawijaya V seorang raja
Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Henis adalah seorang punggawa Keraton Pajang semasa Jaka
Tingkir menjadi Adipati.
Kilas tentang Saudagar Laweyan
Laweyan merupakan kampung tradisional yang sudah ada sejak sebelum tahun 1500 M.
Kelurahan/Kampung Laweyan, Surakarta – Jawa Tengah merupakan kawasan sentra industri
batik yang unik, spesifik dan bersejarah.
Berdasarkan buku yang ditulis oleh RT. Mlayadipuro, desa Laweyan (sekarang wilayah
Kelurahan Laweyan) sudah ada sebelum munculnya kerajaan Pajang. Sejarah kawasan
Laweyan masih bisa dirunut dengan fakta artefak makam maupun letak geografisnya yaitu
setelah dekade Kyai Ageng Ngenis yang bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546 M,
tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati), era
sebelumnya sangat sulit dilacak kecuali hanya dari dongeng dan tutur lisan saja. Letak pasar
Laweyan membelakangi jalan yang menghubungkan antara Mentaok dengan desa Sala
(sekarang jalan Dr. Rajiman).
Kyai Ageng Ngenis adalah putra dari Kyai Ageng Selo yang merupakan keturunan raja
Brawijaya V. Kyai Ageng Ngenis atau Kyai Ageng Laweyan adalah juga manggala
pinituwaning nagara kerajaan Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang pada
tahun 1546 M.
Kyai Ageng Ngenis meninggal dan dimakamkan di pesarean Laweyan (tempat Sunan
Kalijaga istirahat selama lelaku menyusuri sungai Bengawan Solo). Rumah tempat tinggal
Kyai Ageng Ngenis kemudian ditempati oleh cucunya yang bernama Bagus Danang atau Mas
Ngabehi Sutowijaya. Kemudian Sutowijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi
Loring Pasar (pasar Laweyan), Sutowijaya pindah ke Kota Gede dan dalam perjalanannya
kemudian menjadi raja pertama Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan
Senopati yang kemudian menurunkan raja-raja Mataram.
Mitos Laweyan
Ada folklor yang menjadi mitos membentuk kesan komunitas Laweyan teralienasikan. Hal ini
mendorong Drs. Soedarmono, SU (Sejarahwan Surakarta - alm) menulis dalam upaya
meluruskan sejarah.
Wong laweyan pada zaman dahulu, ditengah peradaban dominannya
budaya feodal kerajaan, agak tidak disukai oleh kalangan bangsawan kerajaan di kota Solo.
Karena komunitas Laweyan lebih mencerminkan gaya hidup yang praksis dalam dunia
ekonomi industri dan perdagangan batik. Wacana prilaku ekonomi perdagangan dan industri
batik di Solo ini dianggap kurang pantas terlibat dalam pergaulan masyarakat feodalistik
kerajaan. Sebagian besar bangsawan kerajaan yang gaya hidupnya lebih mencerminkan pola
hidup establish pada system ekonomi feodom, agak kurang senang hidup berdampingan
dengan wong Laweyan yang mencerminkan gaya hidup sebagai entrepreuner yang dianggap
egois, kikir, dan dianggap cenderung pamer kekayaan. Bangsawan kerajaan takut bersaing
dalam hal meraih ethos hedonis Jawa: drajad, semat dan pangkat, maka dengan segala cara,
orang Laweyan dialienasikan, diasingkan dari pergaulan masyarakat Jawa. Folklore yang
muncul untuk mengalienasikan ethos pedagang dan industriawan batik kaum perempuan ini
antara lain,
2. Folklor Kyai Ageng Ngenis, ini adalah folklore yang sangat tendensius untuk mengklaim
bahwa kawasan Laweyan adalah bagian dari ekologi cultural kraton, bukan ekologi
pedagang lawe yang telah lama ada (Pajang). Konon menurut cerita lokal, asal usul
nama tempat “laweyan” sangat berhubungan erat dengan nama tokoh lokal yang
disakralkan, yaitu Kyai Ageng Ngenis. Di era pemerintahan Sultan Hadiwijoyo di Pajang,
Kyai Ageng Ngenis, putra Kyai Ageng Selo, adalah tokoh cikal-bakal Mataram. Karena
jasanya yang besar atas berdirinya kasultanan Pajang, ia diberi hadiah tanah “perdikan”.
Tanah itu diberi nama “luwihan”, folklor ini menggeser etimologi kata 'luwihan' seolah
berubah sebutan menjadi “laweyan”, karena kekaguman rakyat Pajang atas “keluwihan”
(kesaktian) Kyai Ageng Ngenis.
Kepustakaan
The Kartasura Dinasty - Genealogy, Christopher Buyers, October 2001 - September 2008 (ht
tp://www.royalark.net/Indonesia/solo2.htm)
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti
Sumber Lain
Diteruskan oleh:
Didahului oleh:
Perintis Kesultanan Mataram
Ki Ageng Pemanahan
Ki Panjawi
Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Ki_Ageng_Enis&oldid=18516736"
Terakhir disunting 5 bulan yang lalu oleh Syzyszune
Wikipedia