Anda di halaman 1dari 19

Ki Ageng Enis

Dalam sejarah Pajang, Ki Ageng Pamanahan dan Sutawijaya bersama-sama dengan Ki Juru
Martani dan Ki Panjawi, sangat berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau
Mas Karebet) sebab telah berhasil membunuh Arya Panangsang, musuhnya dari Jipang.
Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah tanah Pati kepada Ki
Panjawi, dan tanah Mataram kepeda Ki Ageng Pamanahan. Sedang kepada Ki Ageng Enis
dianugerahi tanah perdikan di Laweyan Karena ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis
mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih, makamnya di Astana Lawiyan. Istilah Lawiyan berasal
dari kata Luwih (sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut.

Ki Ageng Ngenis

Wangsa Majapahit Rajasa

Nama lengkap

Ki Ageng Enis / Kyai Ageng Laweyan

Ayah Ki Ageng Selo

Ibu Nyai Ageng Selo II / Nyai Bicak / Roro Kasihan

Pasangan Nyai Ageng Ngenis

Anak Ki Ageng Pemanahan

Ki Ageng Karatongan

Agama Islam

Serat Kandha menyebutkan bahwa Ki Ageng Ngenis dengan seluruh keluarganya mendapat
pekerjaan pada raja Pajang (Sultan Hadiwijaya) yang begitu senang padanya, sehingga ia
diberi tanah Laweyan (di Surakarta, ada hingga kini) sebagai hadiah. Ki Ageng Ngenis
meninggal di sana. Setelah meninggalnya, Ki Pemanahan dan Ki Panjawi menjadi lurah para
prajurit tamtama Pajang.

Ki Ageng Ngenis, kakek Panembahan Senapati (=Danang-Sutawijaya) adalah berasal dari


Sela, karena ia adalah putra Ki Ageng Sela. Jadi, Ki Ageng Sela adalah kakek buyut
Panembahan Senapati. Nama-nama Ki Gede (=Ki Ageng) adalah menunjukkan bahwa ia
adalah pembesar dari wilayah tersebut. Namun perlu diketahui, bahwa Sela yang disebut di
sini bukanlah wilayah Sela yang terletak di antara gunung Merapi dan Merbabu, melainkan
Sela yang ada di wilayah Grobogan. Ki Ageng Sela kakek buyut dari Panembahan Senapati
inilah yang diceritakan dalam cerita legenda turun-temurun memiliki kesaktian mampu
menangkap petir itu. Saya masih ingat sedikit pada masa kecil orang tua-tua cerita bahwa
kami sebagai orang Mataram bila saat petir menyambar dapat menyahutnya dengan bilang,
“Gandrik! Putune Ki Ageng Sela!” (Astaga! (Saya) cucu Ki Ageng Sela!). Dengan begitu, petir
akan menghindar [1] (http://kijurumartani.blogspot.com/) .

Asal usul

Ki Ageng Enis adalah putra dari Ki Ageng Sela dengan Nyai Bicak putri Ki Ageng Ngerang /
Sunan Ngerang I keturunan Maulana Maghribi II. Ki Ageng Enis berputra Ki Ageng
Pemanahan dan Ki Ageng Pemanahan berputra Sutawijaya atau Mas Ngabehi Loring Pasar
atau Senapati pendiri kerajaan Mataram Islam.

Ki Ageng Enis adalah putra bungsu dari tujuh bersaudara, di mana semua saudaranya adalah
perempuan.

Silsilah Ki Ageng Enis versi Mangkunegaran (http://www.babadbali.com/babad/silsilah.ph


p?id=550932&pr=babadpage%7CSilsilah) Diarsipkan (https://web.archive.org/web/2016
0305182049/http://www.babadbali.com/babad/silsilah.php?id=550932&pr=babadpage%7
CSilsilah) 2016-03-05 di Wayback Machine.

Silsilah Keturunan Lengkap:


1. Ki Ageng Enis (? - 1503) memiliki 2 orang putra:
1. Ki Ageng Pemanahan / Kyai Gede Mataram (Membuka Kota Gede Mataram
pada tahun 1558 sebagai hadiah dari Raja Pajang), wafat pada tahun 1584,
menikah dengan Nyai Sabinah (putri Ki Ageng Saba) mempunyai putra-putri 26
orang:
1. Adipati Manduranegara

2. Kanjeng Panembahan Senopati / Raden Sutawijaya (Sultan Mataram ke


1, pendiri, 1587-1601) menikah dengan 3 istri melahirkan putra-putri 14
orang:
1. Gusti Kanjeng Ratu Pambayun / Retna Pembayun

2. Pangeran Ronggo Samudra (Adipati Pati)

3. Pangeran Puger / Raden Mas Kentol Kejuro (Adipati Demak)

4. Pangeran Teposono

5. Pangeran Purbaya / Raden Mas Damar

6. Pangeran Rio Manggala

7. Pangeran Adipati Jayaraga / (Raden Mas Barthotot)

8. Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati/Panembahan Seda ing


Krapyak (Sultan Mataram ke 2, 1601-1613) menikah dengan Ratu
Tulung Ayu dan Dyah Banowati / Ratu Mas Hadi (Cicit dari Raden
Joko Tingkir & Ratu Mas Cempaka), menurunkan putra-putri 12
orang:
1. Sultan Agung / Raden Mas Djatmika (1593-1645), Sultan
Mataram ke 3 (1613-1645) menikah dengan Permaisuri ke
1 Kanjeng Ratu Kulon / Ratu Mas Tinumpak (putri
Panembahan Ratu Cirebon ke 4 setelah Sunan Gunung
Jati), permaisuri ke 2 Kanjeng Ratu Batang / Ratu Ayu
Wetan / Kanjeng Ratu Kulon mempunyai 9 orang putra-
putri:
1. Raden Mas Sahwawrat / Pangeran Temenggong
Pajang

2. Raden Mas Kasim / Pangeran Demang Tanpa


Nangkil

3. Pangeran Ronggo Kajiwan

4. Gusti Ratu Ayu Winongan

5. Pangeran Ngabehi Loring Pasar

6. Pangeran Ngabehi Loring Pasar

7. Sunan Prabu Amangkurat Agung / Amangkurat I /


Raden Mas Sayidin (Sultan Mataram ke 4, 1646-
1677) wafat 13 Juli 1677 di Banyumas.
1. Sunan Prabu Mangkurat II / Sunan Amral /
Raden Mas Rahmat (Sunan Kartasura ke 1,
1677-1703)
1. Sunan Prabu Amangkurat III (Sunan
Kartasura ke 2, 1703-1705)

2. Susuhunan Pakubuwono I / Pangeran


Puger / Raden Mas Drajat (Sunan Kartasura
ke 3, 1704-1719)
1. Raden Mas Sengkuk

2. Prabu Amangkurat IV (Mangkurat


Jawi) wafat 20 April 1726
1. Kanjeng Pangeran Arya
Mangkunegara
(Mangkunegara I, 1757-
1795)

2. Gusti Raden Ayu Suroloyo, di


Brebes

3. Gusti Raden Ayu Wiradigda

4. Gusti Pangeran Hario


Hangabehi

5. Gusti Pangeran Hario Pamot

6. Gusti Pangeran Hario


Diponegoro

7. Gusti Pangeran Hario


Danupaya

8. Sri Susuhunan Pakubuwono


II / Raden Mas Prabasuyasa
(Sunan Surakarta ke 1, 1726-
1742)

9. Gusti Pangeran Hario


Hadinagoro

10. Gusti Kanjeng Ratu


Maduretno, Garwa Pangeran
Hindranata

11. Gusti Raden Ajeng Kacihing,


Dewasa Sedho
12. Gusti Pangeran Hario
Hadiwijoyo

13. Gusti Raden Mas Subronto,


Wafat Dalam Usia Dewasa

14. Gusti Pangeran Hario


Buminoto

15. Pangeran Hario


Mangkubumi Hamengku
Buwono I (Sultan Yogyakarta
Ke 1, 1717-1792)

16. Sultan Dandunmatengsari

17. Gusti Raden Ayu Megatsari

18. Gusti Raden Ayu Purubaya

19. Gusti Raden Ayu Pakuningrat


di Sampang

20. Gusti Pangeran Hario


Cokronegoro

21. Gusti Pangeran Hario


Silarong

22. Gusti Pangeran Hario


Prangwadono

23. Gusti Raden Ayu Suryawinata


di Demak

24. Gusti Pangeran Hario


Panular

25. Gusti Pangeran Hario


Mangkukusumo

26. Gusti Raden Mas Jaka

27. Gusti Raden Ayu Sujonopuro

28. Gusti Pangeran Hario


Dipawinoto
29. Gusti Raden Ayu Adipati
Danureja I

30. Gusti Raden Ayu


Mangkupraja

3. Pangeran Diposonto / Ki Ageng


Notokusumo

4. Raden Ayu Lembah

5. Raden Ayu Himpun

6. Raden Suryokusumo

7. Pangeran Blitar

8. Pangeran Dipanegara Madiun

9. Pangeran Purbaya

10. Kyai Adipati Nitiadiningrat I Raden


Garudo (groedo)

11. Raden Suryokusumo

12. Tumenggung Honggowongso / Joko


Sangrib (Kentol Surawijaya)

3. Gusti Raden Ayu Pamot

4. Pangeran Martosana

5. Pangeran Singasari

6. Pangeran Silarong

7. Pangeran Notoprojo

8. Pangeran Satoto

9. Pangeran Hario Panular

10. Gusti Raden Ayu Adip Sindurejo

11. Raden Ayu Bendara Kaleting Kuning

12. Gusti Raden Ayu Mangkuyudo

13. Gusti Raden Ayu Adipati Mangkupraja

14. Pangeran Hario Mataram

15. Bandara Raden Ayu Danureja / Bra. Bendara


16. Gusti Raden Ayu Wiromenggolo / R.Aj.
Pusuh

8. Gusti Raden Ayu Wiromantri

9. Pangeran Danupoyo/Raden Mas Alit

2. Pangeran Mangkubumi

3. Pangeran Bumidirja

4. Pangeran Arya Martapura / Raden Mas Wuryah (1605-


1688)

5. Ratu Mas Sekar / Ratu Pandansari

6. Kanjeng Ratu Mas Sekar

7. Pangeran Bhuminata

8. Pangeran Notopuro

9. Pangeran Pamenang

10. Pangeran Sularong / Raden Mas Chakra (wafat Desember


1669)

11. Gusti Ratu Wirokusumo

12. Pangeran Pringoloyo

9. Gusti Raden Ayu Demang Tanpa Nangkil

10. Gusti Raden Ayu Wiramantri

11. Pangeran Adipati Pringgoloyo I (Bupati Madiun, 1595-1601)

12. Ki Ageng Panembahan Djuminah/Pangeran Djuminah/Pangeran


Blitar I (Bupati Madiun, 1601-1613)

13. Pangeran Adipati Martoloyo / Raden Mas Kanitren (Bupati Madiun


1613-1645)

14. Pangeran Tanpa Nangkil

3. Pangeran Ronggo

4. Nyai Ageng Tumenggung Mayang menikah dengan Kyai Ageng


Tumenggung Mayang berputra 1 orang:
1. Raden Pabelan (wafat 1587)

5. Pangeran Hario Tanduran


6. Nyai Ageng Tumenggung Jayaprana

7. Pangeran Teposono

8. Pangeran Mangkubumi
1. Adipati Sukawati

2. Bagus Petak Madiun

9. Pangeran Singasari/Raden Santri


1. Pangeran Blitar

10. Raden Ayu Kajoran

11. Pangeran Gagak Baning (Adipati Pajang, 1588-1591)

12. Pangeran Pronggoloyo

13. Nyai Ageng Haji Panusa, ing Tanduran

14. Nyai Ageng Panjangjiwa

15. Nyai Ageng Banyak Potro, ing Waning

16. Nyai Ageng Kusumoyudo ing Marisi

17. Nyai Ageng Wirobodro, ing Pujang

18. Nyai Ageng Suwakul

19. Nyai Ageng Mohamat Pekik ing Sumawana

20. Nyai Ageng Wiraprana ing Ngasem

21. Nyai Ageng Hadiguno ing Pelem

22. Nyai Ageng Suroyuda ing Kajama

23. Nyai Ageng Mursodo ing Silarong

24. Nyai Ageng Ronggo ing Kranggan

25. Nyai Ageng Kawangsih ing Kawangsen

26. Nyai Ageng Sitabaya ing Gambiro

2. Ki Ageng Karatongan. Bagi mereka yang sering melakukan ziarah ke makam –


makam para wali dan para ulama, pasti sudah tidak asing jika mendengar Desa
Paremono, desa yang sudah ada pada abad 15 berbarengan dengan kisah babat
alas Mentaok. Di jelaskan pada tahun 60an sampai 70an (Alm) KH Ahmad
Abdul Haq Dalhar ( Mbah Mad ) selaku Pengasuh Pondok Pesantren
Darussalam, Watucongol, Gunung Pring,Muntilan, Magelang sering berziarah
ke Makan Kyai Ageng Karotangan / Kyai Ageng Pagergunung 1 / Bagus Bancer,
di Desa Paremono. Bahkan menurut salah seorang putra (alm) KH Ahmad Abdul
Haq Dalhar (Mbah Mad), KH Agus Aly Qayshar, menceritakan, bahwa salah satu
kelebihan Mbah Mad yang dimiliki sejak kecil adalah mengetahui makam para
wali yang sebelumnya tidak diketahui oleh masyarakat sekitar. Yang pada
awalnya, makam seseorang itu dianggap biasa oleh masyarakat, justru Mbah
Mad memberi tahu kalau itu makam seorang wali. Kelebihan ini merupakan
warisan dari abahnya, Mbah Kyai Dalhar. Desa yang secara administratif berada
di kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, banyak sekali
menyimpan kisah – kisah sejarah masa Mataram Islam. Bukan hanya itu, sisa –
sisa peninggalan peradaban masa Mataram Hindu atau masa klasik pun
berserakan di desa ini. Sepak terjang Bagus Bancer Nama kecil dari Kyai Ageng
Karotangan adalah Bagus Bancer, beliau adalah putra dari Kyai Ageng Henis
(Kyai Ageng Laweyan) atau adik dari Bagus Kacung (Kyai Ageng Pemanahan).
Pada masa kesultanan Pajang, Kyai Ageng Henis mendapat tanah perdikan di
daerah Laweyan oleh Jaka Tingkir dan beliau juga mendapatkan jabatan adipati.
Di laweyan itulah beliau sering menyebarkan agama islam, Setelah dewasa
Bagus Kacung, Ki Penjawi dan Ki Juru Mertani masuk jadi tamtama di
Kesultanan Pajang dan belajar ilmu pemerintahan. Berbeda dengan sang adik,
Bagus Bancer pada masa kecil beliau justru mendalami agama islam kepada
Sunan Kalijogo,kemudian setelah dewasa beliau pun menyiarkan agama Islam
dan menolak jabatan di Kesultanan Pajang. Pada waktu pemberontakan Arya
Penangsang, Jaka Tingkir mengadakan sayembara siapa yang bisa
mengalahkan Arya Penangsang akan mendapatkan hadiah berupa tanah
perdikan yaitu Pati dan Alas Mentaok, maka atas nasihat dari Kyai Ageng Henis,
kemudian Bagus Kacung, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani mengikuti sayembara
untuk mengalahkan Arya Penangsang yang sangat sakti mandraguna dengan
pusakanya Keris Setan Kober. Singkat cerita maka mereka bertiga yang di bantu
oleh pasukan Pajang pada tahun 1549 bisa mengalahkan Arya Penangsang,
sebenarnya yang membunuh adalah Danang Sutowijaya dengan pusaka Tombak
Kyai Plered . Atas jasanya itu Ki Penjawi mendapatkan hadiah tanah perdikan di
Pati, tapi Bagus Kacung belum mendapatkan hadiah dari Jaka Tingkir. Ini di
karenakan ada bisikan dari Sunan Giri bahwa tanah bumi mentaok yang akan di
hadiahkan ke Bagus Kacung kelak akan menjadi Kerajaan besar, maka dengan
pemikiran matang Jaka Tingkir mengulur – ulur waktu. Karena merasa janji Jaka
Tingkir belum di penuhi maka Bagus Kacung menemui dan meminta bantuan
Sunan Kalijaga untuk membujuk Jaka Tingkir agar segera merealisasikan
janjinya memberi hadiah berupa Alas Bumi Mentaok, kemudian atas bujukan
Sunan Kalijaga itulah Bagus Kacung diberikan sebuah wilayah dibagian barat
daya Kasultanan Pajang yang bernama “Bhumi Mentaok” (bekas kerajaan
Mataram Hindu) yang terbentang antara daerah Yogyakarta sampai dataran
Kedhu oleh Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir ) pada tahun 1556. Dikisahkan, Ki
Ageng Karang Lo ( sahabat kyai Ageng Pemanahan) yang tinggal di Kampung
Taji, timur Prambanan, suatu hari kedatangan rombongan tamu yang singgah di
rumahnya. Tamu tersebut adalah Kyai Ageng Pemanahan beserta keluarganya
termasuk sang adik yaitu Bagus Bancer, Ki Juru Mertani dan Danang Sutowijaya
yang sedang dalam perjalanan menuju Mentaok, yaitu tempat yang dihadiahkan
Sultan Pajang kepada dirinya. Konon, nama Mataram sendiri diambil dari kata
‘mentaok arum’ yang berarti mentaok yang harum. Kata ‘mentaok arum’ ini
mengalami peluruhan menjadi ‘mentarum’. Untuk memudahkan pengucapan,
lama kelamaan kata ‘mentarum’ berubah menjadi Mataram. Alasan lain ialah
dulunya mentaok adalah bekas kerajaan mataram hindu biar nantinya mentaok
bisa jadi kerajaan besar maka desa tersebut dinamakan desa mataram biar bisa
mengikuti kebesaran kerajaan mataram hindu. Kemudian setelah 2 tahun Kyai
Ageng Pemanahan ( Bagus Kacung ) yang terkenal sakti ini akhirnya berhasil
membuka hutan Mentaok pada tahun 1558, yang dulunya terkenal angker dan
banyak dihuni binatang buas. Setelah beberapa waktu alas Mentaok menjadi
desa yang berkembang, kemudian Bagus Kacung menginginkan dalam proses
Babat Alas Bumi Mentaok ini di perluas, oleh karena itu maka dengan pemikiran
yang matang Kyai Ageng Pemanahan (Bagus Kacung) akhirnya memanggil sang
adik kandungnya, Bagus Bancer yang bergelar Kyai Ageng Karotangan untuk
meminta bantuan membabat alas (hutan) di daerah barat Gunung Merapi.
Daerah barat Gunung Merapi ini mencakup wilayah dataran Kedhu dan
sekitarnya yang mana daerah ini juga terkenal tak kalah angker dibanding Alas
Mentaok di daerah Yogyakarta. (Pada zaman dahulu, hutan Mentaok merupakan
wilayah bekas Kerajaan Mataram Kuno yang menguasai wilayah Jawa Tengah
bagian selatan pada abad 8 hingga abad 10. Setelah Kerajaan Mataram Hindu
memindahkan pusat kerajaannya ke daerah Jawa Timur akhirnya wilayah pusat
kerajaan yang lama menjadi hutan dan disebut Alas Mentaok . Setelah beberapa
abad kemudian Alas Mentaok menjadi wilayah Kesultanan Pajang. Pada tahun
1556, saat Kesultanan Pajang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir,
wilayah Alas Mentaok, yang juga disebut Bumi Mataram pada kala itu, diberikan
kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas keberhasilannya menumpas
pemberontakan Arya Penangsang Kemudian setelah itu Alas Mentaok yang saat
itu berupa hutan lebat dibuka menjadi sebuah desa oleh Ki Ageng Pemanahan dan
Ki Juru Martani Desa di Alas Mentaok tersebut selanjutnya dinamai Mataram dan
berstatus sebagai tanah perdikan atau swatantra atau daerah bebas pajak Seiring
berjalannya waktu, wilayah Alas Mentaok semakin berkembang dan menjadi pusat
pemerintahan Kesultanan Mataram. Kini, bekas wilayah Alas Mentaok telah
menjadi bagian dari Kota Yogyakarta di mana juga terdapat Keraton Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat) Sebagai seorang adik kandung Kyai Ageng
Pemanahan, maka tidak heran jika Bagus Bancer juga mempunyai ilmu
kanuragan yang tinggi. Dikisahkan, ketika Bagus Bancer / Kyai Ageng
Karotangan membuka alas di kawasan Kedhu, beliau hanya menggunakan
tangan kosong dan punya senjata yang namanya Kudi ( seperti sabit tapi
berbentuk mirip huruf “S”). Konon, beliau membabat pepohonan dan rumputan
yang ada di daerah Kedhu ini sampai wilayah yang apa sekarang disebut sebagai
Wates, Magelang. Nama Wates (dalam bahasa Indonesia berarti Batas) sendiri
sebenarnya adalah suatu batas dimana Bagus Bancer berhenti membuka hutan.
Karena kesaktianya membuka hutan hanya dengan tangan kosong inilah, beliau
juga memiliki julukan sebagai Kyai Ageng Karotangan (Karo = menggunakan;
tangan = tangan). Setelah beberapa lama babat alas di daerah Kedhu hanya
menggunakan tangan, beliau merasakan kedua tangannya sampai terasa pegel-
pegel dan kemudian Kyai Ageng Karotangan bersama para pengikutnya istirahat
sebentar di suatu daerah di kedhu. Sambil istirahat beliau memijat (meg-meg)
kedua tangannya, setelah di pijat akhirnya rasa pegalnya hilang, dan kelak
kemudian hari untuk mengenang kejadian itu maka oleh beliau sebagai pertanda
tempat itu dinamakan Magelang (di meg-meg pegel e ilang ) Karena jasanya
babat alas di sebelah barat Gunung Merapi (daerah kedhu) sampai sekarang
banyak orang yang meyakini bahwa Kyai Ageng Karotangan sebagai Pok (cikal
bakal) nya daerah Kedhu, Sedangkan kakaknya, Kyai Ageng Pemanahan babat
alas di alas mentaok sebelah timur Gunung Merapi sekarang jadi Pok (cikal
bakal) nya Yogyakarta. Syahdan, Setelah selesai babat alas sampai di daerah
wates, Magelang, Kyai Ageng Karotangan kemudian balik ke arah timur untuk
kembali ke Mataram, betapa kagetnya beliau ketika di suatu wilayah di dataran
Kedhu dan di dekatnya ada mata airnya, (mata air ini sampai sekarang masih ada,
orang sering menyebutnya combrang dan cebol ) beliau melihat hamparan Pari /
Padi ( Persawahan ini sekarang sering di sebut sawah jomblang di selatan dusun
Paremono). Di wilayah tersebut beliau bertemu dengan seorang Kisanak (yang
kelak kemudian hari banyak orang menyebutnya Mbah Kyai Jomblang ) dan
kemudian bertanya – tanya mengenai wilayah tersebut. Karena didaerah
tersebut sudah terdapat banyak sekali padi, kemudian beliau berujar Wis Ono
Pari = Sudah ada padi . Dikarenakan daerah sebut sangat subur, di dataran yang
diapit beberapa gunung ( gunung merapi, gunung merbabu,pegunungan menoreh,
gunung sumbing, gunung andong dan telomoyo), ada mata airnya (disekitaran
daerah combrang dan ngudal) dan sudah banyak padinya. Suatu pemandangan
yang sangat indah maka kemudian Kyai Ageng Karotangan dan para
pengikutnya memutuskan tidak kembali ke desa Mataram di Mentaok, tetapi
malah memutuskan untuk tinggal di daerah tersebut (Yang kelak daerah tersebut
terkenal dengan nama desa Paremono) Kyai Ageng Karotangan setelah menetap
di Pariono beliau menyebarkan agama islam, dari perkawinannya dengan Nyai
Hugeng Karotangan beliau menurunkan Pronontoko II ( Sindurejo I), Sindureja I
menurunkan Raden Sukro dan RM Gerit ( dari ibu Kleting kuning ) dan
menurunkan pronontoko III ( jaksa) dari ibu ayu /niken rubiyah. Dan Pronontoko
II adalah Keturunan beliau yang kelak kemudian hari jadi Patih Ndalem di
Mataram yang ibu kotanya di Kartosuro dengan gelar Patih Sindurejo 1. Waktu
demi waktu terus berjalan Kyai Ageng Karotangan di samping tinggal di Pariono
juga beliau teringat akan pesan dari Sunan Kalijaga dan Dewan Walisanga yang
berada di Kesultanan Demak untuk berdakwah Agama Islam, Pesan dan Perintah
tersebut selalu beliau ingat dan di lakukan dengan sering menyebarkan dakwah
islam dengan media bercocok tanam/ menanam padi/ bertani di sekitar Kedhu.
Dan sampai pada akhirnya Kyai Ageng Karotangan meninggal dunia dan di
semayamkan di Pagergunung atau Pariono ( sekarang orang menyebutnya lebih
familier dengan sebutan Ger Gunung), yang letaknya antara Sumping Wetan
(Simping Wetan) dan Sumping Kulon (Simping Kulon). Karena di semayamkan di
Pagergunung maka beliau juga sering di juluki Kyai Ageng Pagergunung. Istilah
nama ono pari diperkirakan muncul pertama antara 1558 sampai 1595. Lama
kelamaan, dari nama ono pari berubah menjadi Pariono, kemudian berubah lagi
menjadi Parimono. Pada masa - masa tahun 1970-an, nama Parimono akhirnya
berubah lagi untuk terakhir kalinya menjadi Paremono. Begitulah konon nama
desa Paremono berasal. Perubahan nama tersebut tidak lepas dari pengucapan
masyarakat dalam menyebutan saja. Berdasarkan Pernyataan Juru Kunci
Makam Kyai Ageng Henis yang berada di Laweyan, Solo, Kyai Ageng Karotangan
adalah putra dari Kiai Ageng Henis/ Anis yang jika diruntut silsilahnya
kebelakang akan sampai pada Trah Bondan Kejawan. Trah ini merupakan
keturunan dari putra Prabu Brawijaya V dan Raden Roro Nawangsih pada era
Majapahit. Kyai Ageng Karotangan sendiri mempunyai keturunan yang bergelar
Patih Sindurejo I. Dan di ceritakan juga masa kecil Patih Sindurejo sudah di
gembleng ilmu agama islam, kemudian berjalannya waktu usia nya menginjak
dewasa, beliau sudah belajar ilmu pemerintahan, keprajuritan dan tata susila.
Bahkan menurut babad tanah jawa di ceritakan kalau Patih Sindurejo I ini
merupakan patih pada zaman Amangkurat Amral (Mangkurat II). Beliau
beristrikan BRA Klenting Kuning yang merupakan Putri Raja Amangkurat Agung
dengan selir yang bernama RA. Mayang Sari. Sebagai hadiah karena berhasil
memetik bunga Wijayakusuma di Cilacap/ Nusa Kambangan, dengan cara
menggiring bebek jambul berwarna putih semua, anehnya ke-11 bebek jambul
tadilah yang menunjukan bunga WijayaKusuma kepada Patih Sindureja I sampai
Cilacap/NusaKambangan,keturunan dari Kyai Ageng Karotangan ini mendapat
gelar Patih Sindurejo I. Tidak di pungkiri memang Kyai Ageng Karotangan
adalah seorang tokoh yang sangat berperan besar dalam Babad Tanah Jawa,
memang beliau tidak masuk dalam pemerintahan di kala itu, tapi peran beliau
dalam sepak terjang perkembangan di daerah Kedhu dan menyebarkan Dakwah
Islam sangatlah besar, hal ini bisa kita lihat adanya bukti-bukti di komplek
Pesarean Agung Paremono, bahkan dengan seringnya mbah Mad watucongol
berziarah ke makam Kyai Ageng Karotangan pada tahun 50an sampai 70an,
yang di perkuat oleh pernyataan dari putra Mbah Mad (KH Agus Aly Qayshar)
kalau ayahandanya pengetahui makam para wali yang belia ziarahi. Juga tidak
lah di kesampingkan pitutur orang tua secara turun temurun tentang kisah
sepak terjang Kyai Ageng Karotangan yang sampai sekarang masih terjaga. Di
samping itu dalam Penuturan Langgam Asmaradana, pupuh XXIX, bait 10-13 di
sebutkan bahwa Kyai Ageng Karotangan adalah salah satu dari Wali nukhba /
wali penerus dari wali Songo,di jelaskanya sebagai berikut: Kang nututi ambek
wali/Anenggih Sunan Tembayat/ Sunan Giri Parepen/Jeng Sunan
Kuduskelawan/Sultan Syah ‘Alim Akbar/ Pangeran Wijil Kadilangu/Kalawan
Kewangga//Ki Gede Kenanga Pengging/malihe Pangeran Konang/lawan
Pangeran Cirebon/ lan Pangeran Karanggayam/Myang Ki Ageng Sesela/tuwin
sang Pangeran panggung /Pangeran ing Surapringga//lan Kiai Juru Mertani/ing
Giring Ki Ageng Pamanahan/ Buyut Ngerana Sabran (g) Kulon/ Ki Gede
wanasaba /Panembahan Palembang/Ki Buyut ing Banyubiru/lawan Ki Ageng
Majastra//Malihi Ki Ageng Gribig/Ki Ageng Karotangan/Ki Ageng ing Toyajene/
lan Ki Ageng Tuja Reka/pamungkas wali raja/nenggih Kanjeng Sultan Agung
Hanyokrokusumo/kasebut wali nukhba. Terjemahan: Adapun berikutnya yang
bergelar wali adalah Sunan Tembayat dilanjutkan Sunan Giri Parepen, Sunan
Kudus seterusnya Sultan Syah ‘Alim Akbar, Pangeran Wijil Kadilangu, serta
Pangeran Kewangga. Ki Ageng Kenanga Pengging yang kemudian bergelar
Pangeran Konang. Selanjutnya Pangeran Cirebon dan Pangeran Karanggayam, Ki
Ageng Sesela (sela), Pangeran Panggung, Pangeran Surapringga. selanjutnya Ki
Juru Mertani di Giring, Ki Ageng Pamanahan, Buyut Ngerang, Pangeran Sabrang
Kulon dan Kyai Gede Wanasaba Panembahan Palembang, Ki Buyut Banyubiru, Ki
Ageng Majastra yang akhirnya bergelar Ki Agengi Gribig. Ki Ageng Karotangan,
Ki Ageng ing Toyajene (Ki Ageng bayu kuning ) serta Ki Ageng Tuja Reka. Yang
terakhir adalah “wali raja”, yakni (Kanjeng) Sultan Agung HanyokroKusuma.
Mereka semua disebut wali nubuwa /nukhba Atau memiliki “nubuah” kewalian.
Di dalam serat walisana juga si sebutkan bahwa dalam rangka menanamkan
para kader dan menyebarkan para mubaligh ahli dakwah, Sunan Ampel
mendorong Sayyid Es bin Maulana Ishaq ke Demak atas izin Prabu Majapahit
sehingga Sayyid ini bergelar Sutamaharaja. Sedangkan Sayyid Ya’kub bin
Maulana Ishaq atau Syaikh wali Lanang ditetapkan di Blambangan, Syaikh
Waliyul Islam ke Pasuruhan kemudian ke Semarang. Kemudian Maulana Ishaq
diutus ke Madura, antara lain ke Balega, lalu Sumenep, dan karena merasa tidak
berhasil lalu kembali ke Malaka. Maulana Magribi di utus ke Banten, Maulana
Gharibi ke Jawa Barat, Sayyid Jen (Zayn) dan Sunan Gunung Jati ke Cirebon,
Syaikh Jumhur ‘Alim ke Pajarakan, Syaikh Subabangip ke Ponorogo dan saentaro
pesisir Jawa Timur bagian selatan. Raden Fatah ke Bintara (Demak), Syaikh Sabil
ke Ngudung Muria, sedangkan Sayyid Ali Mukid ke Majagung. Murid-murid yang
menjadi kader Walisanga dan disebut sebagai Wali nawbah atau wali pengganti
adalah Sunan Tembayat di daerah Klaten, Sunan Gin Parepen, Pangeran Wijil di
Kadilangu, Pangeran Kewangga, Ki Gede Kenanga di Pengging, Pangeran
Konang, Pangeran Cirebon, Pangeran Karanggayam, Ki Ageng Sela, Pangeran
Panggung, Pangeran Surapringga. Di Giring Gunungkidul ada Ki Juru Martani, Ki
Ageng Pamanahan di Kota Gede Yogyakarta, Ki Buyut Pangeran Sabrang Kulon,
Ki Gede Wanasaba, Panembahan Palembang, Ki Ageng Majastra, Ki Ageng
Garibig di Jatinom Klaten, Ki Buyut Banyubiru, Ki Ageng Karotangan, Ki Ageng
Toyajene, Ki Ageng Tayreka, dan Kanjeng Sultan Agung di Mataram.

Ki Ageng Enis Sebagai Perintis Kesultanan Mataram

Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di Surakarta, tidak dapat dipisahkan dengan
sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya Laweyan merupakan perkampungan masyarakat yang
beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Beluk, sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat
Laweyan saat itu. Ia menganut agama Hindu, tetapi karena dakwah yang dilakukan oleh Ki
Ageng Henis, Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyerahkan
bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi Masjid
Laweyan.

Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan putra
Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng Pamanahan,
Ki Juru Martani dan Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram"
atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram". Disamping itu banyak perintis
lainnya yang dianggap berjasa besar terhadap terbentuknya Kesultanan Mataram seperti:
Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki
Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela,
Ki Ageng Enis dan tokoh lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai
leluhur Raja-raja Mataram yang mewarisi nama besar keluarga keturunan Brawijaya
majapahit yang keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan
menyandang nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki arti: tokoh
besar keagamaan dan pemerintahan yang dihormati yang memiliki kelebihan, kemampuan dan
sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.

Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan
Mataram yaitu:

Fakta 1: Tokoh-tokoh perintis tersebut adalah keturunan ke 1 sampai dengan ke 6 raja


Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, yang sudah dapat
dipastikan masih memiliki pengaruh baik dan kuat terhadap Kerajaan yang memerintah
maupun terhadap masyarakat luas;

Fakta 2: Tokoh-tokoh tersebut adalah keturunan Silang/Campuran dari Walisongo beserta


leluhurnya yang terhubung langsung kepada Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, yang
sudah dapat dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan (Islam) berikut ilmu
pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan islam jajirah Arab. Hal ini terbukti dalam aktivitas
keseharian mereka juga sering berdakwah dari daerah satu ke daerah lainnya dengan
mendirikan banyak Masjid, Surau dan Pesantren;

Fakta 3: Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh para
Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang bertujuan
"mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu
dengan garis keturunan kerajaan.

Fakta 4: Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi Kesultanan


Mataram pada dasarnya adalah kesinambungan dari "Misi" sesuai Fakta 3, seperti juga
yang terjadi dengan Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang, Kerajaan Talaga
Majalengka dan Kerajaan Sarosoan Banten, di luar adanya perebutan kekuasaan.

Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan
Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi
yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di
Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa
maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah
dan/atau Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh
dan para Wali.

Ki Ageng Henis adalah putera Ki Ageng Sela, keturunan dari Brawijaya V seorang raja
Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Henis adalah seorang punggawa Keraton Pajang semasa Jaka
Tingkir menjadi Adipati.
Kilas tentang Saudagar Laweyan

Laweyan merupakan kampung tradisional yang sudah ada sejak sebelum tahun 1500 M.
Kelurahan/Kampung Laweyan, Surakarta – Jawa Tengah merupakan kawasan sentra industri
batik yang unik, spesifik dan bersejarah.

Berdasarkan buku yang ditulis oleh RT. Mlayadipuro, desa Laweyan (sekarang wilayah
Kelurahan Laweyan) sudah ada sebelum munculnya kerajaan Pajang. Sejarah kawasan
Laweyan masih bisa dirunut dengan fakta artefak makam maupun letak geografisnya yaitu
setelah dekade Kyai Ageng Ngenis yang bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546 M,
tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati), era
sebelumnya sangat sulit dilacak kecuali hanya dari dongeng dan tutur lisan saja. Letak pasar
Laweyan membelakangi jalan yang menghubungkan antara Mentaok dengan desa Sala
(sekarang jalan Dr. Rajiman).

Kyai Ageng Ngenis adalah putra dari Kyai Ageng Selo yang merupakan keturunan raja
Brawijaya V. Kyai Ageng Ngenis atau Kyai Ageng Laweyan adalah juga manggala
pinituwaning nagara kerajaan Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang pada
tahun 1546 M.

Kyai Ageng Ngenis meninggal dan dimakamkan di pesarean Laweyan (tempat Sunan
Kalijaga istirahat selama lelaku menyusuri sungai Bengawan Solo). Rumah tempat tinggal
Kyai Ageng Ngenis kemudian ditempati oleh cucunya yang bernama Bagus Danang atau Mas
Ngabehi Sutowijaya. Kemudian Sutowijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi
Loring Pasar (pasar Laweyan), Sutowijaya pindah ke Kota Gede dan dalam perjalanannya
kemudian menjadi raja pertama Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan
Senopati yang kemudian menurunkan raja-raja Mataram.

Mitos Laweyan

Ada folklor yang menjadi mitos membentuk kesan komunitas Laweyan teralienasikan. Hal ini
mendorong Drs. Soedarmono, SU (Sejarahwan Surakarta - alm) menulis dalam upaya
meluruskan sejarah.
Wong laweyan pada zaman dahulu, ditengah peradaban dominannya
budaya feodal kerajaan, agak tidak disukai oleh kalangan bangsawan kerajaan di kota Solo.
Karena komunitas Laweyan lebih mencerminkan gaya hidup yang praksis dalam dunia
ekonomi industri dan perdagangan batik. Wacana prilaku ekonomi perdagangan dan industri
batik di Solo ini dianggap kurang pantas terlibat dalam pergaulan masyarakat feodalistik
kerajaan. Sebagian besar bangsawan kerajaan yang gaya hidupnya lebih mencerminkan pola
hidup establish pada system ekonomi feodom, agak kurang senang hidup berdampingan
dengan wong Laweyan yang mencerminkan gaya hidup sebagai entrepreuner yang dianggap
egois, kikir, dan dianggap cenderung pamer kekayaan. Bangsawan kerajaan takut bersaing
dalam hal meraih ethos hedonis Jawa: drajad, semat dan pangkat, maka dengan segala cara,
orang Laweyan dialienasikan, diasingkan dari pergaulan masyarakat Jawa. Folklore yang
muncul untuk mengalienasikan ethos pedagang dan industriawan batik kaum perempuan ini
antara lain,

1. Eksistensi komunitas dagang Laweyan di zaman Pajang, dialienasikan dalam folklor


Raden Pabelan yang melakukan perselingkuhan dengan putri raja Ratu Sekar Kedhaton.
Peristiwa itu mengakibatkan dijatuhkannya eksekusi mati atas Raden Pabelan
bertempat di Laweyan. Folklor ini seolah-olah menjadikan wacana memori kolektif
orang Jawa dalam Babad minor Pajang, untuk akses pembenaran (legitimasi) bahwa
sudah layak dan sepantasnya orang yang melanggar tata-krama adat istana harus di-
eksekusi hukum "Lawe" (digantung dengan tali = lawe), dan yang sangat disengaja
eksekusi itu dijatuhkan di Laweyan.

2. Folklor Kyai Ageng Ngenis, ini adalah folklore yang sangat tendensius untuk mengklaim
bahwa kawasan Laweyan adalah bagian dari ekologi cultural kraton, bukan ekologi
pedagang lawe yang telah lama ada (Pajang). Konon menurut cerita lokal, asal usul
nama tempat “laweyan” sangat berhubungan erat dengan nama tokoh lokal yang
disakralkan, yaitu Kyai Ageng Ngenis. Di era pemerintahan Sultan Hadiwijoyo di Pajang,
Kyai Ageng Ngenis, putra Kyai Ageng Selo, adalah tokoh cikal-bakal Mataram. Karena
jasanya yang besar atas berdirinya kasultanan Pajang, ia diberi hadiah tanah “perdikan”.
Tanah itu diberi nama “luwihan”, folklor ini menggeser etimologi kata 'luwihan' seolah
berubah sebutan menjadi “laweyan”, karena kekaguman rakyat Pajang atas “keluwihan”
(kesaktian) Kyai Ageng Ngenis.

Kepustakaan

Silsilah Ki Ageng Enis versi Mangkunegaran (http://www.babadbali.com/babad/silsilah.ph


p?id=550932&pr=babadpage%7CSilsilah) Diarsipkan (https://web.archive.org/web/2016
0305182049/http://www.babadbali.com/babad/silsilah.php?id=550932&pr=babadpage%7
CSilsilah) 2016-03-05 di Wayback Machine.

The Kartasura Dinasty - Genealogy, Christopher Buyers, October 2001 - September 2008 (ht
tp://www.royalark.net/Indonesia/solo2.htm)

Ki Ageng Henis Pendakwah Islam di Laweyan (http://www.timlo.net/baca/4109/ki-ageng-h


enis-tokoh-pendakwah-islam-di-laweyan/)

Riwayat Mataram Islam 'Kejawen' Sejak dari Demak (http://kijurumartani.blogspot.com/)

Penyebaran Islam di Nusantara


Imam Leluhur Seikh dan Wali Nusantara

Jalur Keturunan Nabi Muhammad SAW melalui Husain bin Ali

Maulana Pelopor Dakwah Nusantara (http://kanzunqalam.com/2010/08/31/maulana-husa


in-pelopor-dakwah-nusantara/)

Beberapa versi Asal usul Jaka Tarub (http://padepokankraton1000.wordpress.com/2012/1


0/21/berbagai-versi-cerita-tentang-jaka-tarub-kidang-telangkas/)

1-kiageng-penjawi/ Ki Ageng Penjawi (http://ketoprakjawa.wordpress.com/2011/06/25/ja


man-mataram-islam-)

Sejarah Singkat Keraton-Keraton Lama Jawa (http://www.karatonsurakarta.com/sejarah.ht


ml)

Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi

H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti

Purwadi. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Sumber Lain

Laweyan dan Keris (http://javakeris.com/?mode=viewid&post_id=102%7CLaweyan)

Penghargaan dan prestasi

Diteruskan oleh:

Didahului oleh:
Perintis Kesultanan Mataram
Ki Ageng Pemanahan

Ki Ageng Sela 1478-1587 Ki Juru Martani

Ki Panjawi

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Ki_Ageng_Enis&oldid=18516736"

Terakhir disunting 5 bulan yang lalu oleh Syzyszune

Wikipedia

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali


dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai