Anda di halaman 1dari 6

HIKAYAT DAYAK & BANJAR VERSI URANG BANUA

Dari Legenda suku Melayu Tua (Dayak) ini disebutkan bahwa terdapat lima kelompok besar yang dipimpin Lima bersaudara yaitu Abal, Anyan, Aban, Anum dan Aju. Kelima bersaudara ini sangat sakti, bijaksana dan berwibawa. Menurut cerita suku Dayak Tua, kelima saudara ini titisan dari Dewa Batara Babariang Langit, yaitu : titisan Dewa Batahara Sangiang Langit. Batara Babariang Langit kawin dengan Putri Mahuntup Bulang anak dari Batari Maluja Bulan dan Melahirkan Maanyamai, dan Maanyamai beristri dan istrinya melahirkan anak bernama Andung Prasap Konon sangat sakti. Dan membangun Negeri Nan Marunai (Nan Sarunai) kemudian Andung Prasap beristri anak Raja menggaling Langit dan melahirkan kelima saudara tersebut di atas. Kelima saudara inilah kelak menjadi cikal bakal suku Dayak di pulau Kalimantan. Mereka mengembara ke pelosok pulau Kalimantan, konon si Abal ke daerah Timur menurunkan suku Aba, Anyan ke daerah Selatan menurunkan suku Manyan, Aban ke daerah Barat menurunkan suku Iban, Anum ke Utara menurunkan suku Otdanum dan Aju ke daerah Tengah menurunkan suku Ngaju. Dan mereka diberi pitua : Tabu/ dilarang bacakut papadaan apalagi bermusuhan, karena mereka satu daerah satu nyawa, menurut pitua Nenek Moyang mereka mengatakan (pitua) terkutuk apabila bakalahi satamanggungan. Dari cerita silsilah keturunan Dayak tersebut adalah Anyan anak nomor dua menurunkan suku Maanyan yang mengembara ke daerah selatan mempunyai 10 orang anak yang dikenal dengan sebutan cucu urang 10 yaitu Luwa, Pahi, Alai, Wangi, Sari, Aju, Burai, Buun, Kutip dan Asih. Mereka ini adalah cikal bakal penduduk Kalimantan Selatan, sebagian ke daerah Barito Selatan dan Timur (Kalteng) serta ke daerah Pasir (Kaltim). Luwa menjadi cikal bakal urang Kalua, Pahi jadi cikal bakal urang Mahi, Alai menjadi cikal bakal urang Birayang (HST), Wangi menjadi cikal bakal urang Mawangi (HSS), Sari menjadi cikal bakal urang Masari/Marga Sari (Tapin), Aju menjadi cikal bakal urang Biaju, Burai menjadi cikal bakal urang Maburai (Tabalong), Buun menjadi cikal bakal urang Mabuun dan Warukin, Kutip menjadi cikal bakal urang Makutip dan Asih menjadi cikal bakal urang Masih (Alalak).

Pada abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan di Kalimantan Selatan bernama Kerajaan Tanjungpuri. Berdirinya kerajaan ini bermula dari kedatangan para Imigran Melayu dari Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatera pada sekitar abad ke- 4 M. Para Imigran Melayu yang mempunyai kebudayaan lebih maju dibanding penduduk lokal pada masa itu mendirikan perkampungan kecil di daerah pesisir sungai Tabalong. Para imigran tersebut berbaur bahkan melakukan perkawinan dengan penduduk setempat yakni suku Dayak. Hasil dari perpaduan antara suku Melayu dan Dayak itulah yang akhirnya menjadi cikal bakal Suku Banjar. Semakin lama perkampungan di pesisir sungai Tabalong itu semakin ramai sehingga akhirnya menjadi sebuah kerajaan kecil bernama kerajaan Tanjungpuri (diperkirakan terletak di kota Tanjung sekarang). Keturunan Anyan dari anaknya Masari mendirikan kerajaan Candi Laras di Margasari (Kab. Tapin sekarang) pada Tahun 678 M. Bukti keberadaan Kerajaan Candi Laras adalah Tulisan di Prasasti Kedukan Bukit yang terdapat di kota Palembang bertahun 605 Saka/ 683 M berhuruf Pallawa. Isi tulisan Daputra yang mengadakan perjalanan suci dengan perahu dari Minanga Tamwan membawa dua laksa tentara menuju timur. Bukti lainnya adalah Prasasti Batung Batulis yang ditemukan di kompleks Candi Laras Margasari bertahun 606 Saka. Isi tulisannya adalah Jaya Sidda Yatra yang artinya perjalanan Ziarah. Menurut Arkeologi Nasional prasasti tersebut berasal dari Sriwijaya. Jadi dua buah prasasti tersebut mempunyai keterkaitan karena memiliki kesamaan yaitu berhuruf Pallawa. Prasasti Kedukan bukit bertahun 605 Saka yang merupakan Tahun keberangkatan dari Sriwijaya dan Prasasti Batung Batulis bertahun 606 Saka yang merupakan Tahun kedatangan di Candi Laras Marga Sari, merupakan hal yang logis sebab perjalanan waktu itu mungkin saja mencapai setahun dari Sriwijaya ke Candi Laras di Pulau Kalimantan. Sehingga menghapus mitos selama ini yang mengatakan bahwa Candi laras didirikan oleh Ampu Jatmika asal Keling pada Tahun 1387 M. Bukti lainnya lagi adalah ditemukannya Patung Buddha dipangkara, patung tersebut dikenal sebagai azimat keselamatan bagi pelaut Sriwijaya yang beragama Buddha. Jadi sebenarnya yang datang ke Candi Laras di Marga Sari itu adalah rombongan dari kerajaan Sriwijaya pada Tahun 683 M.

Pada Tahun 1309 M orang-orang Maanyan mendirikan sebuah Kerajaan bernama Nan Sarunai. Kerajaan Nan Sarunai ini konon lanjutan dari periode sebelumnya dimana dahulu pernah berdiri juga kerajaan Nan Marunai (Nan Sarunai) oleh lima orang bersaudara yang merupakan leluhur orang Dayak di Kalimantan. Pada periode kedua ini Nan Sarunai didirikan oleh Japutra Layar. Nan Sarunai sendiri berasal dari kata Marunai = memanggil dengan suara nyaring, Sarunai = menyaru dengan suara seperti suling, Nai = Seruling (dalam bahasa arab/melayu tua) sehingga dapat di artikan bahwa Nan Sarunai adalah rakyat yang gemar bermain musik/bernyanyi. Kerajaan Nan Sarunai ini rakyatnya sangat makmur disebabkan mereka melakukan perdagangan sampai ke Sumatera, Jawa, Sulawesi bahkan sampai ke Madagaskar. Barang dagangan yang mereka bawa keluar antara lain kayu besi, getah, damar, rotan, madu lebah hutan dan lain-lain. Rakyat kerajaan nan Sarunai ini menganut kepercayaan Kaharingan. Pada masa itu kerajaan Majapahit di pulau Jawa sedang berusaha menancapkan kekuasaannya di seluruh Nusantara. Adalah Maha Patih Gajah Mada (1313-1364) seorang mangkubumi terkenal Majapahit yang melakukan sumpah saat diangkat menjadi Mangkubumi Kerajaan pada Tahun 1336 M di masa kekuasaan Ratu Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350) dikenal dengan Sumpah Palapa yaitu sebuah tekad untuk mempersatukan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Ambisi Maha Patih Gajah Mada berlanjut sampai Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) naik tahta. Salah satu kerajaan incaran Majapahit untuk ditaklukkan adalah kerajaan Nan Sarunai dan kerajaan Tanjungpuri. Pada masa itu dua kerajaan ini merupakan wilayah perdagangan yang ramai, rakyatnya hidup makmur bahkan diceritakan dinding-dinding Istana kedua kerajaan ini berlapis emas sebagai tanda kemakmuran. Maha Patih Gajah Mada mengutus seorang panglima handalnya untuk memata-matai kedua kerajaan ini yaitu Laksamana Nala, seorang berdarah Melayu asal Melaka yang mengabdi kepada kerajaan Majapahit. Atas hasil penyelidikan Laksamana Nala akhirnya Majapahit mengetahui kelemahan kedua kerajaan ini, sehingga pada Tahun 1356 M Majapahit mengirimkan ekspedisi militer pertamanya ke kerajaan Nan Sarunai sebagai batu loncatan untuk selanjutnya menyerang Tanjungpuri. Serangan pertama ini mengalami kegagalan sebab kerajaan Nan Sarunai bersatu dengan kerajaan Tanjungpuri dalam menghadapi serangan Majapahit. Tersebutlah dalam legenda lima orang panglima Tanjungpuri yang terkenal ketika membantu kerajaan Nan Sarunai menghadapi serangan Majapahit yaitu Panglima Alai, Panglima Tabalong, Panglima Balangan, Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Kelima orang panglima ini merupakan lima bersaudara dimana si bungsu yaitu Panglima Hamandit dan Panglima Tapin adalah saudara kembar. Mereka berlima anak dari Datu Intingan yang terkenal dalam legenda masyarakat di pegunungan Meratus. Datu Intingan adalah saudara dari Datu Dayuhan mereka berdua ini masih keturunan dari legenda Dayak Maanyan cucu urang 10 dimana salah satu anak dari Datu Anyan yaitu Datu Alai (Alai Tua) menetap di wilayah Birayang (Meratus) yang menurunkan Datu Dayuhan dan Datu Intingan. Datu Intingan kawin dengan para Imigran Melayu dan mempunyai lima orang putera yang sekarang menjadi Panglima di Kerajaan Tanjungpuri. Setelah gagal dalam ekspedisi pertama, Majapahit kembali mengirim ekpsedisi militer kedua pada Tahun 1358 M. Ekspedisi kedua kali ini dipimpin langsung oleh Laksamana Nala dengan

membawa dua kali lipat pasukan dari ekspedisi pertama. Dalam rombongan pasukan besar ini terdapat juga pasukan khusus Majapahit yang terkenal yaitu pasukan Bhayangkara. Pada ekspedisi kedua ini pasukan Majapahit berhasil menaklukkan kerajaan Nan Sarunai, bahkan Raja Nan Sarunai yang bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas serta Ratu yang bergelar Dara Gangsa Tulen gugur dalam peperangan. Peristiwa itu oleh orang Maanyan dikenal dengan istilah Nan Sarunai Usak Jawa. Konon Raja Nan Sarunai di bunuh oleh Laksamana Nala dengan sebuah tombak sakti di dalam sebuah sumur tempat persembunyiannya. Laksamana Nala adalah seorang panglima terhebat Majapahit di masa itu, karirnya dimulai dari menjadi prajurit pasukan khusus kerajaan yaitu pasukan Bhayangkara. Setahun sebelum ekspedisi militer kedua ke Tanah Borneo yaitu pada Tahun 1357 M, Laksamana Nala terlibat dalam Perang Bubat melawan pasukan Pajajaran mendampingi Maha Patih Gajah Mada. Perang ini terjadi akibat kesalah pahaman di antara kedua pasukan. Dalam perang tersebut Prabu Lingga Buana Raja Pajajaran beserta seluruh pengawalnya terbunuh, karena menghadapi pasukan Majapahit yang berkali-kali lipat lebih banyak, melihat ayahnya terbunuh anak Prabu Lingga Buana yang bernama Putri Dyah Pitaloka bunuh diri, padahal Putri Dyah Pitaloka ini rencananya hendak di lamar oleh Prabu Hayam Wuruk. Akibat dari peperangan ini hubungan Maha Patih Gajah Mada dengan Prabu Hayam Wuruk menjadi terganggu, dan juga mengakibatkan permusuhan yang berkepanjangan antara orang Sunda dan Majapahit, konon tak satu pun daerah di Sunda (Jawa Barat) menggunakan nama berbau Majapahit. Setelah berhasil menaklukkan Nan Sarunai pasukan Majapahit bergerak menuju Tanjungpuri namun pasukan Majapahit mendapati perlawanan yang hebat dari pasukan dan rakyat Tanjungpuri terutama dari lima orang panglima kerajaan yang terkenal tersebut. Setelah berharihari berperang akhirnya kedua pasukan sepakat untuk berdamai dan tidak melanjutkan peperangan. Pasukan Majapahit kembali ke pulau Jawa dengan kekecewaan mereka tidak sanggup lagi melanjutkan peperangan karena sebelumnya sudah kelelahan berperang menghadapi kerajaan Nan Sarunai, sedangkan pihak Tanjungpuri mengalami kehancuran dimana-mana Infrastruktur kerajaan banyak yang rusak. Akibat dari peperangan tersebut kerajaan Tanjungpuri menjadi lemah, perdagangan yang dahulu ramai menjadi sunyi karena para pedagang takut untuk singgah di pelabuhan ketika mendengar ada peperangan. Sebagai tanda terima kasih kepada lima orang Panglima kerajaan, Raja Tanjungpuri memberikan kelima orang Panglimanya wilayah kekuasaan. Panglima Alai di daerah Batang Alai, Panglima Tabalong di daerah Batang Tabalong, Panglima Balangan di daerah Batang Balangan, Panglima Hamandit di daerah Batang Hamandit dan Panglima Tapin di daerah Batang Tapin. Raja Tanjungpuri sendiri akhirnya memindahkan pusat kerajaan ke daerah Kuripan (Amuntai) karena kota raja sebelumnya (Tanjung) banyak mengalami kehancuran akibat diserang Majapahit. Lambat laun nama Tanjungpuri semakin terlupakan dan lebih dikenal dengan sebutan baru yaitu Kuripan. Kekuasaan kerajaan Kuripan melingkupi daerah yang sama dengan kekuasaan kerajaan Tanjungpuri. Pada Tahun 1387 M seorang bangsawan kediri dari Keling (dulunya daerah kekuasaan Sriwijaya di India yang menjadi wilayah Majapahit) melakukan ekspedisi ke tanah Borneo, pertama-tama mereka menaklukkan kerajaan Candi laras di Marga Sari. Ekspedisi ini di pimpin oleh Empu Jatmika, di bantu oleh dua orang putranya yaitu Lambungmangkurat dan Mandastana. Dalam rombongan itu juga turut serta Pasukan Bhayangkara di bawah pimpinan Hulubalang Arya

Megatsari dan 1000 tentara Majapahit di bawah pimpinan Tumenggung Tatah Jiwa. Empu Jatmika sendiri sebenarnya adalah seorang buronan politik masa lalu Majapahit. Karena Empu Jatmika adalah keturunan bangsawan kerajaan Kediri yang merupakan musuh kerajaan Singosari (leluhur Majapahit) di masa lalu. Setelah berhasil menguasai Candi Laras Empu Jatmika mendirikan kerajaan Negaradipa dan diangkat sebagai kepala pemerintahan dengan gelar Maharaja di Candi. Dengan bantuan Majapahit akhirnya Negaradipa menjadi kerajaan yang kuat. Namun demikian sebagai timbal baliknya Negaradipa menjadi Negara bagian Majapahit atau dikenal dengan istilah sakai. Walau Negaradipa cukup kuat tapi untuk menyerang kerajaan Kuripan masih berpikir dua kali karena walau bagaimana pun kekuatan Kuripan waktu itu masih diperhitungkan, apalagi ada lima kerajaan kecil yang dipimpin oleh mantan Panglima kerajaan Tanjungpuri ada dibelakangnya. Untuk memuluskan rencananya Maharaja di Candi merayu Raja Kuripan agar mau mengawinkan putrinya dengan putranya, namun Raja Kuripan menolak, tidak putus asa Lambungmangkurat yang bertindak sebagai Mangkubumi menawarkan penggabungan kedua kerajaan dan mengangkat Putri Junjung Buih anak Raja Kuripan sebagai ratu Negaradipa. Akhirnya Raja Kuripan menerima tawaran tersebut dengan berbagai pertimbangan, walau banyak ditentang oleh para kerabat dan pejabat Kahuripan. Negaradipa pun memindahkan pusat kerajaan ke Kuripan. Atas keputusannya yang kontroversi itu membuat Raja Kuripan merasa bersalah dan akhirnya mengasingkan diri diikuti beberapa kerabat ke daerah Batu Piring (Paringin). Di Batu Piring Raja Kuripan mendirikan kerajaan kecil bernama Kerajaan Batu Piring dan saudara raja diangkat sebagai kepala pemerintahannya. Walau pun Junjung Buih sudah diangkat menjadi Ratu di Negaradipa namun semua kebijakan tetap ditangan Patih Lambungmangkurat. Negaradipa ternyata kepanjangan tangan Majapahit di Pulau Kalimantan, Puteri Junjung Buih pun dinkahkan dengan Pangeran anak Raja Majapahit, bernama Raden Putra atau Pangeran Suryanata. Beberapa Pangeran Kuripan yang kecewa pergi meninggalkan Istana, namun diburu oleh pihak Negaradipa karena dikawatirkan akan melakukan pemberontakan. Para Pangeran melarikan diri ke daerah Batang Alai dan diangkat menjadi pemimpin di daerah tersebut. Merasa terancam Patih Lambungmangkurat memerintahkan menyerang daerah Banua Lima, yaitu Batang Alai, Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Hamandit dan Batang Tapin. Kerajaan Batu Piring sendiri luput dari penyerangan karena bersedia menjadi bagian dari kerajaan Negaradipa. Dibantu oleh pasukan Majapahit pimpinan Hulubalang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa kelima daerah itu bisa ditaklukkan. Sementara Pangeran Kuripan berhasil diselamatkan oleh para Panglima dan disembunyikan di daerah Mangga Jaya (Wilayah Kec. Batang Alai Timur sekarang) di pegunungan Meratus. Daerah Mangga Jaya sendiri konon sulit ditaklukkan oleh Negaradipa beberapakali pasukan Negaradipa dikirim kesana namun tidak pernah berhasil menaklukkan daerah Manggajaya, sebab menurut legenda setempat di sana tempat berkumpulnya para Panglima Banua Lima yang sakti dan juga topografi daerahnya yang dikelilingi banyak pegunungan sehingga sangat bagus untuk sebuah tempat pertahanan. Bahan/Sumber: 1.Tulisan Mudjahidin. S (Pemerhati Budaya dan Kebudayaan). 2.Hikayat Datu Banua Lima (Cerita Rakyat Hulu Sungai) 3.Hikayat Manggajaya (Cerita Rakyat Batang Alai) 4.Wikipedia (Ensiklopedia Bahasa Indonesia)

Anda mungkin juga menyukai