Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH KOTA SANGGAU

Sanggau adalah sebuah nama sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang terletak tidak begitu
jauh dari Kota Pontianak. Sebelum berubah menjadi kabupaten, di wilayah Sanggau berdiri suatu
kerajaan Melayu yang sudah ada sejak abad ke-4 Masehi. Penyebutan “Sanggau” sendiri berasal
dari nama tanaman yang tumbuh di tepi sungai daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni
Sungai Sekayam. Dalam buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat karya
J.U. Lontaan disebutkan bahwa Sungai Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan
yang dipimpin Dara Nante, seorang perempuan ningrat dari Kerajaan Sukadana, Ketapang, saat
mencari suaminya yang bernama Babai Cinga (J.U.Lontaan, 1975:170). Namun ada juga
pendapat yang meyakini bahwa nama “Sanggau” diambil dari nama Suku Dayak Sanggau,
sebuah klan Suku Dayak yang menjadi suku asal Baba Cinga.

Masa Awal Kerajaan Sanggau

Dalam perjalanan menyusuri Sungai Sekayam, rombongan Dara Nante bertemu dengan orang-
orang dari Suku Dayak Mualang yang dipimpin oleh Patih Bardat dan Patih Bangi. Rombongan
Suku Dayak Mualang tersebut sedang berusaha menemukan sebuah tempat yang bernama
Tampun Juah. Akhirnya, kedua rombongan itu bergabung dan bersama-sama mengarungi Sungai
Sekayam. Di tengah perjalanan, ternyata di aliran Sungai Sekayam terdapat dua cabang anak
sungai. Rombongan besar ini kemudian memilih salah satu cabang Sungai Sekayam yang
dikenal dengan nama Sungai Entabai. Ternyata pilihan itu tepat karena rombongan Dara Nante
dan Suku Dayak Mualang berhasil menemukan Tampun Juah yang terletak di hulu Sungai
Entabai. Berkah bagi Dara Nante karena di tempat itulah ia dapat menemukan Babai Cinga.

Tampun Juah merupakan tempat persinggahan dan salah satu pusat berkumpulnya suku-suku
bangsa Dayak dari berbagai klan yang bermigrasi dari banyak daerah asal. Setelah beberapa saat
menetap di Tampun Juah, rombongan Patih Bardat dan Patih Bangi memutuskan untuk
meneruskan perjalanannya menuju hulu Sungai Kapuas. Kelak, rombongan Singa Patih Bardat
menurunkan Suku Kematu, Benawas, Sekadau, dan Melawang. Sedangkan rombongan Patih
Bangi adalah leluhur Suku Dayak Melawang yang menurunkan raja-raja Sekadau
(www.pontianakonline.com).
Istana Beringin Kesultanan Sanggau

Dalam perjalanan menyusuri Sungai Sekayam, rombongan Dara Nante bertemu dengan orang-
orang dari Suku Dayak Mualang yang dipimpin oleh Patih Bardat dan Patih Bangi. Rombongan
Suku Dayak Mualang tersebut sedang berusaha menemukan sebuah tempat yang bernama
Tampun Juah. Akhirnya, kedua rombongan itu bergabung dan bersama-sama mengarungi Sungai
Sekayam. Di tengah perjalanan, ternyata di aliran Sungai Sekayam terdapat dua cabang anak
sungai. Rombongan besar ini kemudian memilih salah satu cabang Sungai Sekayam yang
dikenal dengan nama Sungai Entabai. Ternyata pilihan itu tepat karena rombongan Dara Nante
dan Suku Dayak Mualang berhasil menemukan Tampun Juah yang terletak di hulu Sungai
Entabai. Berkah bagi Dara Nante karena di tempat itulah ia dapat menemukan Babai Cinga.

Tampun Juah merupakan tempat persinggahan dan salah satu pusat berkumpulnya suku-suku
bangsa Dayak dari berbagai klan yang bermigrasi dari banyak daerah asal. Setelah beberapa saat
menetap di Tampun Juah, rombongan Patih Bardat dan Patih Bangi memutuskan untuk
meneruskan perjalanannya menuju hulu Sungai Kapuas. Kelak, rombongan Singa Patih Bardat
menurunkan Suku Kematu, Benawas, Sekadau, dan Melawang. Sedangkan rombongan Patih
Bangi adalah leluhur Suku Dayak Melawang yang menurunkan raja-raja Sekadau
(www.pontianakonline.com).

Dara Nante tidak menetap selamanya di Tampun Juah karena Dara Nante memutuskan untuk
pulang ke Sukadana dan kembali menyusuri Sungai Sekayam. Namun, di tengah perjalanan,
tepatnya di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Labai Lawai, rombongan Dara Nante
menghentikan perjalanannya dan membangun suatu kerajaan kecil di tempat itu, yang kemudian
dikenal dengan nama Kerajaan Sanggau. Rombongan Dara Nante sendiri sebelumnya pernah
singgah di Labai Lawai dalam perjalanan pertama mereka ketika mencari Babai Cinga.

Hingga kini, di Labai Lawai masih dapat ditemukan situs sejarah peninggalan Kerajaan Sanggau,
yakni berupa batu-batu keramat yang dinamakan Batu Dara Nante dan Batu Babai Cinga. Batu-
batu itu menancap di tanah dan ditutup kain kuning berbentuk segi empat dengan ketinggian
sekitar 1 meter. Hingga saat ini, warga setempat masih melakukan ritual adat yang rutin diadakan
setiap tahun tersebut dengan memberikan sesaji untuk batu-batu yang disucikan tersebut
(www.harianberkat.com).

Keturunan Kerajaan Sanggau di masa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur mereka itu
didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M, yaitu ketika Dara Nante dinobatkan sebagai
penguasa Kerajaan Sanggau yang pertama. Untuk itu, maka pada tanggal 26 Juli 2009,
perwakilan tiga etnis yang terdapat di Sanggau, yaitu Melayu, Dayak, dan Tionghoa,
menyepakati bahwa setiap tanggal 7 April diperingati sebagai hari jadi Kota Sanggau, meskipun
hal ini masih sebatas pendeklarasian dan belum sebagai ketetapan pemerintah. Sedangkan upaya
untuk mendapatkan peresmian dari pemerintah masih diperjuangkan sampai saat ini
(www.borneotribune.com).

Kerajaan Sanggau mengalami masa-masa sulit ketika Dara Nante menitipkan pucuk
pimpinanKerajaan Sanggau kepada orang kepercayaannya yang bernama Dakkudak. Namun,
Dakkudak ternyata tidak mampu menjalankan amanat Dara Nante dengan semestinya. Berbagai
perkara tidak dapat diselesaikannya dengan baik. Akibat kondisi yang kian terjepit dan tidak
menguntungkan, Dakkudak kemudian memilih angkat kaki dari Kerajaan Sanggau dan pergi
menuju ke daerah Semboja dan Segarong (Lontaan, 1975:171).

Kepergian Dakkudak membuat roda pemerintahan Kerajaan Sanggau tersendat. Kelanjutan


riwayatKerajaan Sanggau setelah era pemerintahan Dakkudak belum diketahui dengan pasti,
namun, pada tahun 1485 M, seorang perempuan yang masih memiliki garis keturunan dengan
Dara Nante, bernama Dayang Mas Ratna (1485-1528 M), dinobatkan sebagai penguasa Sanggau.
Kebijakan pertama Dayang Mas Ratna setelah bertahta adalah memindahkan pusat pemerintahan
dari Labai Lawai ke Mengkiang, sebuah tempat yang terletak di muara Sungai Sekayam. Dalam
menjalankan pemerintahannya, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Nurul
Kamal atau Abdurrahman, keturunan Kyai Kerang dari Banten (Lontaan, 1975:172). Meski
Nurul Kamal diduga kuat adalah seorang muslim, namun belum diketahui apakah Kerajaan
Sanggau sejak masa pemerintahan Dayang Mas Ratna juga telah bercorak Islam.
Pemimpin Kerajaan Sanggau pengganti Dayang Mas Ratna masih seorang perempuan, bernama
Dayang Puasa yang kemudian bergelar Nyai Sura (1528-1569 M). Dalam menjalankan
pemerintahan Kerajaan Sanggau, Dayang Puasa dibantu oleh suaminya yang bernama Abang
Awal, seorang keturunan penguasa Kerajaan Embau di Kapuas Hulu. Selain itu, masih pada era
pemerintahan Nyai Sura, Kerajaan Sanggau telah menjalin hubungan kekerabatan dengan
KerajaanSintang yang saat itu dipimpin oleh Raja Juhair atau Jubair. Jadi, dalam hal ini
sebenarnya masih ada hubungan darah (famili) antara raja-raja Kerajaan Sanggau dengan raja-
raja Kerajaan Sintang (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:32).

Selanjutnya, Kerajaan Sanggau dipimpin oleh seorang raja bernama Abang Gani dengan gelar
Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M). Pada era ini, Kerajaan Sanggau terlibat
perkara dengan Kerajaan Matan (Tanjungpura). Kasus ini bermula dari perkawinan puteri
Sanggau, bernama Dayang Seri Gemala, dengan seorang penguasa dari Kerajaan Matan. Namun,
beberapa tahun setelah perkawinan itu, terdengar kabar bahwa Raja Matan telah menikah lagi.
Oleh karena itu, pihak Kerajaan Sanggau bermaksud untuk menjemput Dayang Seri Gemala dari
KerajaanMatan. Melalui berbagai perundingan antara Kerajaan Matan dan Kerajaan Sanggau,
akhirnya Dayang Seri Gemala berhasil dipulangkan kembali ke Sanggau secara damai. Warga
KerajaanSanggau menyambut kepulangan sang puteri dengan suka-cita (Lontaan, 1975:172).

Setelah Raja Abang Gani wafat pada tahun 1614 M, tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau
diserahkan kepada putra mahkota yang bernama Abang Basun dengan gelar Pangeran
Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M). Pemerintahan Pangeran Mangkubumi Pakunegara
mendapat dukungan penuh dari saudaranya, bernama Abang Abon dengan gelar Pangeran
Sumabaya, dan sepupunya yang bernama Abang Guneng

(A. Roffi Faturrahman, et.al., tt:97).

Eksitensi Kesultanan Sanggau

Penerus pemerintahan Kerajaan Sanggau setelah Pangeran Mangkubumi Pakunegara adalah


Abang Bungsu (Uju) yang bertahta sejak tahun 1658 hingga 1690 M. Abang Bungsu adalah anak
lelaki Pangeran Mangkubumi Pakunegara dari istri ketiga yang berasal dari Tanah Silat,
Kabupaten Kapuas Hulu. Pengangkatan Abang Bungsu menjadi raja dilakukan karena kedua istri
Pangeran Mangkubumi yang lain tidak bisa memberikan anak laki-laki. Abang Bungsu
dinobatkan sebagai Raja Sanggau dengan gelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara.
Menilik nama dan penyebutan gelar yang disematkan kepada Abang Bungsu, dapat dipastikan
bahwa pemerintahan Sanggau pada masa ini telah bercorak Islam. Dengan demikian, nama
Kerajaan Sanggau pun berubah menjadi Kesultanan Sanggau, sesuai dengan pemerintahan khas
Islam.

Sultan Mohammad Jamaluddin memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat


yang sekarang menjadi Kota Sanggau. Akan tetapi, masih banyak keturunan Abang Bungsu yang
tetap bertahan di Mengkiang. Konon, Abang Bungsu atau Sultan Mohammad Jamaluddin pernah
berkunjung ke Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Sultan Mohammad Jamaluddin membawa
pulang oleh-oleh berupa tiga buah meriam yang diberi nama Bujang Juling, Dara Kuning, dan
Dara Hijau (Lontaan, 1975:173).
Istana Kuta Kesultanan Sanggau

Pada tahun 1690 M Sultan Mohammad Jamaluddin mangkat. Tahta Kerajaan Sanggau dijabat
oleh anak sulungnya, bernama Abang Kamaruddin atau Abang Saka bergelar Sultan Akhmad
Kamaruddin (1690-1722 M). Dalam mengelola pemerintahan, Sultan Akhmad dibantu oleh
adiknya yang bernama Panembahan Ratu Surya Negara. Kedua putera almarhum Sultan
Mohammad Jamaluddin ini saling bekerja sama untuk memajukan Kesultanan Sanggau. Sultan
Akhmad Kamaruddin berperan sebagai kepala pemerintahan dan menyandang gelar Gusti,
sedangkan Panembahan Ratu Surya Negara, yang memperoleh gelar Ade, diangkat sebagai
penasehatkesultanan sekaligus membawahi daerah perairan atau kawasan pesisir laut
(Faturrahman, et.al.,tt:98).

Pada suatu hari, Sultan Akhmad Kamaruddin menderita sakit. Ketika Sultan Akhmad
Kamaruddin dalam kondisi lemah karena sakitnya itu, Panembahan Ratu Surya Negara berkali-
kali datang menghadap sang kakak agar tahta pemerintahan Kesultanan Sanggau diserahkan
kepadanya. Awalnya, permintaan itu tidak ditanggapi secara serius oleh Sultan Akhmad
Kamaruddin, namun karena Panembahan Ratu Surya Negara terus-menerus mendesak, maka
akhirnya Sultan menyerahkan tahta kepada sang adik. Pada tahun 1722 M, Panembahan Ratu
Surya Negara dinobatkan menjadi Sultan Sanggau dan bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741
M). Selain itu, karena sebelum dinobatkan Panembahan Ratu Surya Negara selalu bertanya
kepada kakaknya kapan ia bisa naik tahta menjadi raja, maka ia mendapat julukan Abang
Sebilang Hari (Lontaan, 1975:174).
Pascawafatnya Sultan Zainuddin, terjadi sedikit perubahan dalam aturan suksesi
KesultananSanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara
bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin. Selain itu, kedua
belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk
pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak
keturunan Sultan Zainuddin.

Pengganti Sultan Zainuddin (dari Istana Kuta di daerah laut) sebagai pemimpin Kesultanan
Sanggau adalah Abang Tabrani dengan gelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M) dari
daerah darat dan bertahta di Istana Beringin. Pada masa ini, terjalin hubungan akrab antara
Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Hal ini dibuktikan dengan
pemberian sebuah meriam yang dinamakan “Gentar Alam” kepada Kesultanan Sanggau dari
Sultan Kadriah Pontianak. Sebagai hadiah balasan, Pangeran Ratu Surya Negara mengirimkan
balok-balok kayu belian yang kini masih tersimpan di Istana Kesultanan Kadriah
Pontianak (Faturrahman, et.al., tt:98).

Hubungan antara Kesultanan Sanggau dan Kesultanan Kadriah Pontianak mulai retak pada tahun
1778 M. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak saat itu berambisi melakukan sejumlah
ekspansi untuk memperluas wilayahnya (Hasanuddin, 2000:17).

Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil menduduki wilayah Kesultanan Sanggau sekaligus


menguasai jalur perdagangan Sungai Kapuas. Sebagai legitimasi penguasaan atas wilayah
Sanggau, Sultan Kadriah Pontianak mendirikan benteng yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau
Simpang Labi yang merupakan pulau milik Kerajaan Sanggau (Ansar Rahman, 2000:81).

Setelah Pangeran Ratu Surya Negara wafat pada tahun 1762 M, tahta Kesultanan Sanggau
kembali beralih ke Istana Kuta yang dijabat oleh Panembahan Mohammad Thahir I Surya
Negara (1762-1785 M). Selanjutnya, Kesultanan Sanggau dipimpin oleh Pangeran Usman (di
Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812). Pada masa
pemerintahan Panembahan Usman Paku Negara, Kerajaan Sanggau menjalin hubungan
kekerabatan denganKerajaan Sekadau melalui ikatan perkawinan. Ratu Godok, puteri
Panembahan Usman Paku Negara, menikah dengan Raja Sekadau (Lontaan, 1975:174). Di sisi
lain, pada tahun 1812, terjadi lagi perselisihan antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan
Kadriah Pontianak. Kali ini, KesultananSanggau dapat menghalau serangan dari Kesultanan
Kadriah Pontianak (Lontaan, 1975:174).

Setelah Panembahan Usman Paku Negara, tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggau beralih kepada
Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823) dari Istana Kuta. Era pemerintahan
Panembahan Mohammad Ali Mangku Negara berakhir pada tahun 1823 dan digantikan oleh
wakil dari Istana Beringin, yakni Sultan Ayub Paku Negara, yang memimpin Kerajaan Sanggau
sampai tahun 1828. Pada masa pemerintahannya, Sultan Ayub mengagagas pembangunan
Masjid Jami’ Syuhada yang diperkirakan berdiri pada tahun 1826. Selain itu, menurut laporan
yang ditulis Bassilius dalam surat kabar Pontianak Pos edisi 28 September 2004 dan terangkai
dalam tulisan berseri dengan judul “Melihat Perkembangan Sanggau dari Masa ke Masa”,
disebutkan bahwa Sultan Ayub memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau ke
Kampung Kantuk (Basilius, dalam Pontianak Pos, 28 September 2004).
Saudara Sultan Ayub, bernama Ade Akhmad, naik tahta menjadi Sultan Sanggau dengan gelar
Panembahan Mohammad Kusuma Negara. Penobatan Ade Akhmad yang notabene masih berasal
dari pihak Istana Beringin itu disebabkan karena calon sultan dari Istana Kuta masih kecil dan
belum cukup umur untuk memimpin Kesultanan Sanggau. Setelah Ade Akhmad atau
Panembahan Mohammad Kusuma Negara wafat pada tahun 1860, giliran wakil dari keluarga
Istana Kuta yang naik tahta, yakni Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876). Panembahan
Mohammad Thahir II pernah merumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan
Sanggau dengan KesultananBrunei. Namun, tanda batas yang telah dibuat Panembahan
Mohammad Thahir II tersebut kini belum dapat dilacak dan ditemukan (Lontaan, 1975:175).

Pada era pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II, wilayah Kesultanan Sanggau
didatangi bangsa Belanda. Pada awalnya, kedatangan Belanda disambut dengan baik oleh rakyat
dan keluarga Kesultanan Sanggau. Belanda memanfaatkan sambutan baik ini dengan memohon
untuk diizinkan menetap di Sanggau. Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh Panembahan
Mohammad Thahir II. Dengan demikian, Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di wilayah
KesultananSanggau.

Panembahan Mohammad Thahir II wafat pada tanggal 23 Maret 1876,. Kedudukannya sebagai
Sultan Sanggau digantikan oleh Ade Sulaiman (dari Istana Beringin) yang bergelar Panembahan
Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Sejak saat inilah roda pemerintahan di
KesultananSanggau mulai dipengaruhi oleh hegemoni Belanda, termasuk dalam hal mengangkat,
memecat, dan menggantikan kedudukan seorang sultan, serta berbagai perjanjian yang dilakukan
antara pihak Kesultanan Sanggau dengan Belanda.

Pada tahun 1877, misalnya, dilakukan penandatanganan surat kontrak mengenai penyewaan
tanahKesultanan Sanggau oleh Belanda, yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia
Belanda J.W. van Lansberge (1875-1881) serta pihak Kesultanan Sanggau yang diwakili oleh
Sultan Sanggau, Panembahan Muhammad Saleh (Mangkubumi), Pangeran Ratu Mangku Negara
(Raja di Semerangkai), Pangeran Mas Paduka Putera (Raja di Balai Karangan), dan Pangeran
Adi Ningrat selaku (Menteri Kesultanan Sanggau). Dalam perjanjian itu, ditetapkan bahwa
Tanjung Sekayam disewakan kepada Belanda (Basilius, dalam Pontianak Pos, 28 September
2004).

Setelah Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara meninggal dunia pada tahun 1908, tampuk
pemerintahan Kesultanan Sanggau diteruskan oleh Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya
Negara (dari Istana Kuta) yang berkuasa sampai tahun 1915 (Faturrahman, et.al., tt:98).
Pemangku tahtaKesultanan Sanggau berikutnya adalah Pangeran Gusti Mohammad Said Paku
Negara (dari Istana Beringin). Era Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara berakhir pada
tahun 1921 setelah beliau dipensiunkan oleh Belanda. Belanda yang telah berhasil masuk ke
dalam setiap kebijakan pemerintahan Kesultanan Sanggau kemudian menobatkan Panembahan
Thahir III Surya Negara (dari Istana Kuta) menjadi pemimpin Kesultanan Sanggau yang
selanjutnya. Kekuasaan Panembahan Thahir III Surya Negara bertahan hingga tahun 1941 dan
digantikan oleh Gusti Mohammad Arif Paku Negara dari pihak keluarga Istana Beringin.
Pada tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Sejak itulah masa pendudukan Jepang di
Indonesia, termasuk di wilayah Kesultanan Sanggau, dimulai. Era kekuasaan Gusti Mohammad
Arif Paku Negara hanya bertahan selama satu tahun karena pada tahun 1942 beliau ditangkap
dan kemudian dibunuh oleh tentara Jepang. Sepeninggal Gusti Mohammad Arif Paku Negara,
atas campur-tangan pemerintah pendudukan Jepang, Ade Marhaban Saleh diangkat sebagai
pemangku adat Kesultanan Sanggau (Faturrahman, et.al., tt:98). Ade Marhaban Saleh sejatinya
juga berasal dari pihak Istana Beringin. Namun, kondisi ini menjadi hal yang bisa dimaklumi
karena adanya tekanan dari pihak pemerintah militer Jepang. Ade Marhaban Saleh digantikan
oleh Panembahan Gusti Ali Akbar, masih dari keluarga Istana Beringin, pada tahun 1944.
Panembahan Gusti Ali Akbar mengemban mandat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau
pada saat-saat terakhir pendudukan Jepang di Indonesia.

Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu. Tiga hari
kemudian, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun, pada bulan September 1945,
Belanda yang menjadi bagian dari pemenang Perang Dunia ke-2, datang ke wilayah Indonesia
dan bermaksud berkuasa lagi, termasuk berkeinginan untuk kembali menanamkan pengaruhnya
diKesultanan Sanggau. Oleh karena itu, Belanda kemudian mengirim utusannya yang bernama
Riekerk untuk menempati posisi sebagai Asisten Residen di wilayah Sanggau. Riekerk, yang
datang ke Sanggau bersama pasukan militer bersenjata lengkap, kemudian menurunkan
Panembahan Gusti Ali Akbar dari singgasana Kesultanan Sanggau dan mengangkat Panembahan
Gusti Mohammad Taufik Surya Negara sebagai penggantinya (Lontaan, 1975:177). Panembahan
Gusti Mohammad Taufik Surya Negara berasal dari pihak keluarga Istana Kuta.

Tahta Panembahan Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara bertahan hingga
Sanggau diubah menjadi daerah swapraja. Dengan demikian, maka Panembahan Gusti
Mohammad Taufik Surya Negara merupakan Sultan Sanggau yang terakhir (Basilius, dalam
Pontianak Pos, 3 Oktober 2004). Pada tanggal 2 Mei 1960 dilakukan serah terima pemerintahan
Swapraja Sanggau kepada M. Th. Djaman selaku Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sanggau.
Sejak saat inilah riwayatKesultanan Sanggau mengalami kemandegan seiring perubahan
statusnya menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat.

Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 26 Juli 2009,
dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal
politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya
Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau. Acara agung itu dihadiri oleh beberapa tokoh,
seperti Sultan Iskandar Machmud Badarudin dari Kesultanan Palembang Darussalam, Pangeran
Ratu Gusti Suryansyah dari Istana Ismayana, dan Bupati Sanggau Ir. H. Setiman H. Sudin.
Silsilah

Urutan para pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan/Kesultanan Sanggau yang berhasil


ditemukan dari buku karya J.U.Lontaan yang berjudul Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat
Kalimantan Barat” dan tulisan bertajuk “Kesultanan Sanggau” karya A. Roffi Faturrahman, et.al.
(tt) yang terhimpun dalam buku Istana-istana di Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:

1. Dara Nante (1310 M).


2. Dakkudak.
3. Dayang Mas Ratna (1485-1528 M).
4. Dayang Puasa atau Nyai Sura (1528-1569 M).
5. Abang Gani bergelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M).
6. Abang Basun bergelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M).
7. Abang Bungsu bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M).
8. Abang Kamaruddin bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M).
9. Panembahan Ratu Surya Negara bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M).
10. Abang Tabrani bergelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M).
11. Panembahan Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M).
12. Pangeran Usman bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812).
13. Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823).
14. Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828).
15. Panembahan Mohammad Kusuma Negara (1812-1860).
16. Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876).
17. Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908).
18. Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1808-1915).
19. Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (1915-1921).
20. Panembahan Thahir Surya Negara (1921-1941).
21. Gusti Mohammad Arif (1941-1942).
22. Ade Marhaban Saleh (1942-1944).
23. Panembahan Gusti Ali Akbar (1944-1945).
24. Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara (1945).
25. Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara (2009).

Sistem pemerintahan Kerajaan Sanggau sejak masa awal atau ketika didirikan pertama kali oleh
Dara Nante pada tahun 1310 masih berdasarkan aturan dan hukum-hukum adat setempat. Pejabat
sementara pengganti Dara Nante, yakni Dakkudak, ternyata tidak dapat mengelola pemerintahan
Kerajaan Sanggau dengan baik. Dakkudak tidak mampu menjalankan undang-undang adat
dengan semestinya. Ketidakmampuan ini membuat Dakkudak memilih pergi meninggalkan
Kerajaan Sanggau. Pengganti Dakkudak adalah keturunan Dara Nante yang bernama Dayang
Mas Ratna (1485-1528 M). Sejak masa inilah tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau mulai
diampu oleh orang-orang yang mempunyai tali keturunan berdasarkan garis darah. Dalam
menjalankan pemerintahan, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Nurul
Kamal. Hal yang sama juga berlaku pada masa pemerintahan Dayang Puasa atau Nyai Tua yang
berperan meneruskan kekuasaan Dayang Mas Ratna. Pengelolaan pemerintahan Kerajaan
Sanggau pada rezim Dayang Puasa juga dibantu oleh sang suami yang bernama Abang Awal
(Faturrahman, et.al., tt:97).
Sejak masa kepemimpinan Dayang Puasa berakhir, Kerajaan Sanggau selalu dipimpin oleh kaum
pria dari waktu ke waktu. Dalam melaksanakan pemerintahannya, biasanya Raja atau Sultan
Sanggau dibantu oleh penasehat kerajaan/kesultanan yang diberi gelar Ade. Bahkan, sejumlah
orang yang pernah menjabat sebagai Ade, sempat naik tahta menjadi penguasa Sanggau,
beberapa di antaranya adalah Panembahan Ratu Surya Negara (1722-1741 M) yang mengambil-
alih tahta Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M) dan Panembahan Mohammad Ali Surya
Negara (1812-1823) yang menggantikan Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828). Para pemegang
jabatan Ade pada umumnya adalah saudara dari pemimpin Kesultanan Sanggau yang tengah
berkuasa.

Setelah era pemerintahan Panembahan Ratu Surya Negara yang bergelar Sultan Zainuddin
(1722-1741 M), terjadi perubahan dalam aturan suksesi Kesultanan Sanggau. Mulai saat itu,
pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan
Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin, keduanya adalah putera dari Sultan Sanggau
sebelumnya, yakni Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M). Selain itu,
kedua belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat)
untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak
keturunan Sultan Zainuddin. Suksesi kepemimpinan yang bergantian seperti ini terus
berlangsung hingga Kesultanan Sanggau melebur dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dengan sedikit pengecualian yang disebabkan hal-hal tertentu, misalnya
calon Sultan masih berusia belum dewasa atau kondisi politik saat itu.

Sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau mempunyai undang-undang yang didasarkan atas


hukum adat dan hukum Islam. Akan tetapi, ketika Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di
Kesultanan Sanggu, segala kebijakan yang dirumuskan Kesultanan Sanggau harus mendapat
persetujuan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Selain itu, Kesultanan Sanggau juga
memiliki lembaga Mahkamah Syariah atau Raad Agama. Lembaga ini dipimpin oleh Haji
Muhammad Yusuf bergelar Pangeran Tumenggung Suria Igama dan Ade Ahmaden Baduwi
bergelar Raden Penghulu Suria Igama (Basilius, dalam Pontianak Pos, 1 Oktober 2004).
Pembentukan Raad Agama ini sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk turut campur dalam
persoalan-persoalan agama (Islam) yang sebelumnya menjadi wewenang penuh Sultan Sanggau.

Pada tanggal 30 Oktober 1932, dilakukan penyempurnaan hukum adat yang berlaku di
Kesultanan Sanggau. Hukum adat yang sebelumnya berjumlah 34 pasal ditambah menjadi 70
pasal. Dalam hukum baru tersebut dikatakan bahwa segala urusan agama tidak hanya diputuskan
oleh Sultan Sanggau, tetapi juga harus dilakukan oleh Raad Agama. Urusan-urusan yang
ditangani oleh Raad Agama antara lain: nikah, talak, rujuk, waris, wasiat, penetapan bulan
Ramadhan, fardlu kifayah, pengangkatan imam dan khatib, dan bilal (muadzin) masjid (Basilius,
dalam Pontianak Pos, 1 Oktober 2004).

Belanda memang berupaya mengendalikan sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau. Hal yang
paling jelas adalah ketika terjadi suksesi kepemimpinan kesultanan di mana Belanda sangat
berpengaruh dalam hal ini. Belanda, misalnya, menobatkan Panembahan Gusti Mohammad Ali
Surya Negara (1808-1915), sebagai pengganti Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-
1908). Orang-orang yang menolak pengangkatan itu, salah satunya adalah Pangeran Dipati Ibnu,
dibuang ke Jawa oleh Belanda. Campur-tangan Belanda dalam proses pengangkatan pemangku
adat Sanggau terus terjadi sampai tahun 1941.

Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia pada tahun 1949, maka
kedudukan Kesultanan Sanggau secara politik sudah tidak berlaku lagi karena Sanggau
bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berubah bentuk menjadi swapraja.
Sejak tanggal 2 Mei 1960, riwayat Kesultanan Sanggau berubah status menjadi ibu kota
Kabupaten Sanggau yang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat (Lontaan,
1975:177). Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 26
Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan
dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman
Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau.

Sejak pertama kali didirikan oleh Dara Nante pada tahun 1310, Kerajaan/Kesultanan Sanggau
telah mengalami perpindahan pusat pemerintahan selama beberapa kali dengan masing-masing
daerah kekuasaannya. Pertama kali didirikan, pusat Kerajaan Sanggau berada di Labai Lawai di
dekat Sungai Sekayam. Kemudian, pada era pemerintahan Dayang Mas Ratna (1485-1528 M),
keturunan Dara Nante, pusat pemerintahan Kerajaan Sanggau dipindahkan dari Labai Lawai ke
Mengkiang di muara Sungai Sekayam. Pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Sanggau di
Mengkiang bertahan hingga masa kekuasaan Abang Bungsu yang bergelar Sultan Mohammad
Jamaluddin Kusumanegara yang bertahta dari tahun 1658 hingga 1690 M. Sultan Mohammad
Jamaluddin Kusumanegara memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang
sekarang menjelma menjadi Kota Sanggau (Lontaan, 1975:173).

Menurut laporan Bassilius dalam surat kabar Pontianak Pos edisi 28 September 2004 yang
terangkai dalam tulisan berseri dengan judul “Melihat Perkembangan Sanggau dari Masa ke
Masa”, disebutkan bahwa Sultan Ayub Paku Negara (1823-1828) memindahkan pusat
pemerintahanKesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk (Basilius, dalam Pontianak Pos, 28
September 2004). Sementara Lontaan (1975) menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan
Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876), telah dirumuskan batas-batas wilayah hukum
antara KesultananSanggau dengan Kesultanan Brunei. Namun, tanda batas yang telah dibuat
tersebut kini belum dapat dilacak lagi (Lontaan, 1975:175).

Selain itu, meski bukan sebuah kerajaan yang besar, namun Kesultanan Sanggau juga memiliki
beberapa wilayah pendudukan. Pada masing-masing dari daerah taklukan Kesultanan Sanggau
tersebut ditempatkan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Sultan Sanggau. Daerah-daerah yang
disebutkan sebagai bagian dari wilayah pendudukan Kesultanan Sanggau tersebut di antaranya
adalah Semerangkai, Balai Karangan, Tanjung Sekayam, dan sejumlah daerah lainnya (Basilius,
dalam Pontianak Pos, 28 September 2004).

Secara umum, wilayah Kerajaan/Kesultanan Sanggau tidak jauh berbeda dengan wilayah
Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, pada masa sekarang. Hal tersebut terlihat ketika
pembentukan Kabupaten Sanggau yang mengacu kepada wilayah Swapraja Sanggau, sementara
Swapraja Sanggau merupakan kelanjutan dari Kerajaan/Kesultanan Sanggau dahulu. Kabupaten
Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara
Kalimantan Barat. Sebelah utara Sanggau berbatasan dengan Serawak (Malaysia), sebelah
selatan dengan Kabupaten Ketapang, sebelah barat dengan Kabupaten Landak, dan sebelah timur
dengan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau.

Anda mungkin juga menyukai