Anda di halaman 1dari 15

BOGOR KOTA TUA

Bogor Kota Tua

Diatas puncak gunung kapur di Ciampea Bogor terdapat sebuah makom (petilasan), belum
diketahui pasti tempat tersebut petilasan siapa, tetapi makom tersebut berada di puncak gunung
kapur dimana puncaknya sendiri adalah batu-batu karang laut seperti umumnya batu karang yang
ada di laut. Mungkin dahulu daerah tersebut memang sebuah bagian dari laut yang terendam
sesudah jaman es mencair. Mungkin juga di tempat tersebut sudah ada peradaban pada saat air
laut mulai surut.

Sayang sekali cerita itu tidak didukung dengan fakta-fakta serta cerita-cerita sejarah, atau
mungkin fakta sejarah itu saat ini belum tergali/belum ditemukan.

Kampung Muara dekat tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu
merupakan sebuah “Kota pelabuhan sungai” yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane
dengan Cianten. Menurut cerita, dahulu di dekat gunung kapur tersebut memang merupakan
suatu pelabuhan yang biasa dikenal dengan nama dermaga, barangkali itulah sebabnya di sekitar
Kampus IPB sekarang disebut daerah Darmaga. Hingga awal abad ke 19 tempat tersebut
memang masih digunakan sebagai pelabuhan terutama oleh para pedagang bambu.

Kerajaan-kerajaan yang berhubungan dengan sejarah kota Bogor diantaranya adalah:

Kerajaan Salaka Nagara, rajanya bernama Dewawarman (I – VIII), tidak diketahui pasti kapan
kerajaan ini berdiri, letak kerajaan Salaka Nagara ini diperkirakan berada di sekitar Pandeglang
Banten, namun ada juga yang beranggapan bahwa letak Salaka Nagara ada di kaki gunung Salak
di sebelah Barat kota Bogor. Menurut cerita kerajaan ini didirikan oleh seseorang yang bernama
Aki Tirem, yang kemudian keturunannya mendirikan kerajaan Salaka Nagara, konon nama
gunung Salak diambil dari asal kata Salaka.
Pada catatan sejarah India, para cendekiawan India telah menulis tentang nama Dwipantara atau
kerajaan Jawa Dwipa di pulau Jawa sekitar 200 SM. Dan dari catatan itupun diketahui bahwa
Kerajaan Taruma menguasai Jawa sekitar tahun 400 M. Salakanagara (kota Perak) pernah pula
disebutkan dalam catatan yang disebut sebagai ARGYRE oleh Ptolemeus pada tahun 150 M.

Dari peninggalan sejarah yang berhasil ditemukan hingga saat ini, asal mula kota Bogor dapat
ditelusuri mulai dari Ciaruteun, Ciampea. Di Ciaruteun terdapat sebuah prasasti peninggalan
kerajaan Taruma Nagara (358 – 669 M), prasasti tersebut diperkirakan dibuat pada tahun 450 M,
jauh sebelum Kerajaan Pajajaran dan Majapahit serta kerajaan-kerajaan lainnya berdiri di
Indonesia. Letak prasasti itu sendiri saat ini sudah dipindahkan, semula prasasti itu berada di
tengah-tengah sungai Ciaruteun yang kemudian dipindahkan ke tepi karena prasasti tersebut
beberapa kali terbawa arus pada saat banjir bandang di sungai Ciaruteun.
Selain itu di area yang sama terdapat pula prasasti lainnya yang biasa disebut dengan prasasti
Tapak Gajah. Prasasti ini diperkirakan dibuat bersamaan dengan prasasti yang ada di sungai
Ciaruteun. Arti dari isi prasasti ini kira-kira: “Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah
yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa”
Di salahsatu bagian kaki gunung Salak ada pula ditemukan sebuah prasasti di desa Jambu
kampung Pasirgintung kecamatan Nanggung, oleh karena itu biasa disebut dengan Prasasti
Jambu. Pada prasasti ini terukir 2 telapak kaki dan 2 baris huruf palawa dalam bahasa sansekerta,
kemungkinan prasasti ini dibuat pada masa yang hampir bersamaan pula dengan dengan Prasasti
Ciaruteun. Prasasti ini bertuliskan: “Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang
tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak
dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini,
yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan
kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-
musuhnya”.

Pada prasasti Ciaruteun dipahat juga sepasang telapak kaki serta tulisan dengan huruf palawa
dalam bahasa sansekerta, bunyi tulisan tersebut kira-kira “Inilah telapak kaki yang mulia Sang
Purnawarman Raja Negeri Taruma yang gagah berani, yang menguasai dunia sebagai telapak
kaki Dewa Wisnu”
Tidak diketahui dengan pasti mengapa prasasti-prasasti tersebut ada di daerah itu, apakah karena
pusat pemerintahannya ada disana atau tempat tersebut merupakan salah satu tempat penting
pada masa itu yang berada dikawasan kerajaan.

Pada masa Kerajaan Taruma Nagara kerajaan ini diperintah oleh 12 orang raja, berkuasa dari
tahun 358 – 669 M.
Kerajaan Sunda, nama baru dari kerajaan Taruma Nagara, diperintah 28 orang raja, tahun 669 –
1333 M. Pada masa ini, kerajaan tersebut dipecah menjadi 2 bagian, di sebelah Barat bernama
kerajaan Sunda dan di sebelah Timur bernama kerajaan Galuh dengan sungai Citarum sebagai
batasnya.
Kerajaan Kawali, diperintah oleh 6 orang raja, tahun 1333 – 1482 M.
Kerajaan-kerajaan diatas adalah kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh “garis keturunan” yang
sama.

Kerajaan Taruma didirikan oleh Jayasingawarman, keturunan-keturunan raja Kerajaan Taruma


pergi ke luar wilayah kerajaan serta membentuk kerajaan-kerajaan baru di wilayah lain. Ini
terlihat dari berdirinya kerajaan-kerajaan baru yang lebih “muda” usianya dibandingkan dengan
kerajaan Taruma Nagara. Pada masa abad ke 7 hingga abad ke 14 kerajaan Sriwijaya
berkembang di Sumatera. Penjelajah Tiongkok yang bernama I Ching pernah mengunjungi
ibukotanya yaitu Palembang sekitar tahun 670. Pada abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya
sebuah kerajaan di Jawa Timur yaitu Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364,
yang bernama Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian
besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Mungkin karena
senioritas atau karena kekerabatan atau juga karena sebab lainnya, kerajaan Sunda dan kerajaan
Galuh tidak pernah dikuasai oleh kerajaan Majapahit.
Ada 2 orang keturunan Taruma Nagara yang menjadi raja besar diluar tanah Sunda:
1. Sanjaya / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama, raja ke 2 Kerajaan Sunda (723 – 732M), menjadi
raja di Kerajaan Mataram (732 – 760M). Ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno, dan
sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.
2. Raden Wijaya, penerus sah Kerajaan Sunda ke – 27, yang lahir di Pakuan, menjadi Raja
Majapahit pertama (1293 – 1309 M).
Selain itu dikisahkan pula bahwa Putri Sobakancana anak dari Linggawarman, raja Taruma
Nagara terakhir menjadi isteri Dapuntahyang Srijayanasa yang kemudian mendirikan kerajaan
Sriwijaya di Sumatera.
Di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja-raja daerah yang kekuasaannya membentang
dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga
(sekarang Purbalingga) di Jawa Tengah. Secara tradisional Ci Pamali (Kali Brebes) memang
dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa bagian Barat pada masa silam.
Kerajaan Galuh Pakuan (516 – 852 M), berada di sekitar wilayah kota Ciamis sekarang. Pendiri
kerajaan Galuh adalah keturunan raja Taruma Nagara yang pergi menuju sekitar Selatan Jawa.
Kerajaan Galuh didirikan oleh cicit dari Manikmaya, menantu Suryawarman (raja Taruma
Nagara ke 7). Ada sebagian dari keturunan raja Galuh (yang juga keturunan Taruma Nagara)
yang kemudian kembali menuju Utara dan mendirikan kerajaan dengan nama baru Pakuan
Pajajaran. Sedangkan sebagian lainnya pergi menuju Timur untuk kemudian mendirikan
kerajaan-kerajaan baru di wilayah Jawa Tengah (Sanjaya, mendirikan Mataram) dan Jawa Timur
(Raden Wijaya, mendirikan Majapahit).

Kerajaan Pakuan Pajajaran biasa disebut kerajaan Pajajaran saja (1482 – 1579 M). Pada masa
kejayaannya kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang sangat terkenal yaitu Sri Baduga
Maharaja dengan gelar Prabu Siliwangi dinobatkan sebagai raja pada usia 18 tahun. Raja tersebut
terkenal dengan “ajaran dari leluhur yang dijunjung tinggi yang mengejar kesejahteraan”.

Pusat kota Pajajaran ini terdapat di sekitar wilayah Batutulis sekarang, ini diketahui dari
ditemukannya sisa-sisa bekas bangunan istana yang ditemukan di sekitar wilayah itu. Ini
terungkap dalam ekspedisi yang dilakukan pihak VOC sebelum menguasai suatu wilayah baru.

Untuk kesejahteraan rakyatnya yang sebagian besar bertani dan juga untuk menghalangi
serangan pihak musuh maka pada masa itu dibuat sebuat sodetan sungai yang sekarang dikenal
dengan nama kali Cidepit dan Cipakancilan. Sungai Cidepit dan Cipakancilan adalah sungai
buatan yang sumber airnya berasal dari sungai Cisadane.
Sama seperti kerajaan sebelumnya, kerajaan Pajajaran sendiri pada masa kejayaannya sudah
menjalin hubungan dagang dengan negara-negara di Asia, Timur Tengah serta Eropa. Pelabuhan
lautnya ada di Sunda Kalapa yang kemudian berubah nama menjadi Batavia dan kemudian
berubah lagi menjadi Jakarta yang sekarang.

Prabu Siliwangi memiliki beberapa orang anak dari beberapa orang isteri. Dari istrinya yang
bernama Kentring Manik Mayang Sunda (beragama Islam) (puteri Prabu Susuktunggal, raja
kerajaan Sunda) keturunan-keturunannya pergi mengembara serta membangun wilayah pesisir
Utara di wilayah Karawang. Dari istrinya yang bernama Subang Larang (beragama Islam) (puteri
Ki Gedeng Tapa yang menjadi raja Singapura), Prabu Siliwangi memiliki 3 orang anak yaitu
Kian Santang, Lara Santang dan Cakrabuana. Kian Santang adalah anaknya yang paling sakti
serta memiliki ilmu yang sangat tinggi, konon dalam menuntut ilmu Islam Kian Santang
mengembara hingga ke Timur Tengah. Ada juga kisah yang menceritakan bahwa Kian Santang
dapat pergi menuju Pelabuanratu melalui sebuah goa besar yang terdapat di sungai Ciliwung
(dulu bernama cihaliwung). Letak goa itu sendiri sampai sekarang belum ada yang berhasil
menemukannya, tetapi dari mitos yang berkembang letak goa itu berada di leuwi sipatahunan,
sebuah bagian sungai yang paling dalam yang sekarang berada di tengah-tengah lokasi kebun
raya Bogor. Bagi kalangan spiritual, leuwi sipatahunan ini konon memiliki aura misteri yang
sangat kuat. Lara Santang mengembara hingga ke Sumatera dan daratan Asia, menyebarkan
agama Islam yang di Sumatera dikenal dengan nama Ibu Syarifah Mudaif. Lara Santang adalah
ibu dari Syarif Hidayatullah, raja Cirebon yang pada tahun 1579 ikut menyerang ke Pajajaran.
Cakrabuana mengembara di sekitar wilayah Cirebon, menurut cerita versi Pajajaran beliau yang
mendirikan asal muasal kota Cirebon.

Perbedaan yang mencolok antara Ibu Subang Larang dengan Ibu Kentring Manik Mayang Sunda
adalah keunggulannya yang berbeda; Ibu Subang Larang mencerminkan sosok ibu yang idealnya
seperti seorang ibu sedangkan Ibu Kentring Manik Mayang Sunda mencerminkan sosok seorang
wanita yang perkasa dan mandiri. Bagi sebagian orang Bogor, Ibu Subang Larang-lah yang biasa
disebut dengan nama Ibu Ratu bukan Nyai Roro Kidul seperti yang diyakini sebagian
masyarakat.
Menurut cerita, Prabu Siliwangi tidak meninggal dunia tetapi beliau menghilang
(sunda:ngahiyang), karena itulah makam Prabu Siliwangi tidak pernah ditemukan hingga saat
ini. Legenda masyarakat yang berkembang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menghilang dan
kadang-kadang menampakan diri dengan wujud seekor harimau besar. Mungkin ini dihubungkan
dengan seorang anggota ekspedisi pimpinan Scipio pada tahun 1687 yang diterkam harimau
besar di tepi sungai Cisadane di sekitar prasasti Batutulis.

Pada masa masa kejayaan Kerajaan Pajajaran ada 4 orang patih Pajajaran yang terkenal:
Ranggagading, paling sakti dan bertindak sebagai pimpinan para patih, petilasan Ranggagading
dapat ditemukan di desa Cipinang Gading di Batutulis Bogor. Entah bagaimana cerita ini
bermula tapi ada sebagian orang yang mempercayai bahwa Ranggagading-lah yang selama ini
disebut-sebut sebagai patih Gajahmada di kerajaan Majapahit.
Ranggawulung, petilasannya ada di dekat kota Subang
Ranggadipa, petilasannya ada di dekat kaki gunung kapur Ciampea
Ranggasukma, hingga saat ini petilasannya belum ditemukan

Di sekitar kota Bogor banyak “nama-nama lama” peninggalan bekas kerajaan Pajajaran pada saat
masih berdiri, misalnya Lawang Gintung, Lawang Saketeng, Pamoyanan, Pasirkuda,
Cibalagung, Pagentongan, Balekambang, Panaragan, Pagelaran dan lain-lain.

Peninggalan kerajaan Pajajaran yang terkenal adalah prasasti Batutulis, isi prasasti ini kira-kira
berarti: “Semoga selamat, ini adalah tanda peringatan untuk Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan
dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana dinobatkan dia dengan nama Sri Baduga Maharaja
Ratu Aji di Pakuan Pajajaran. Sri sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit pertahanan
Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala
Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa
gunung-gunungan, undakan untuk hutan Samida dan Sahiyang Talaga Rena Mahawijaya. Dibuat
dalam saka 1455.” Selain prasasti banyak pula peninggalan-peninggalan kerajaan Pajajaran yang
ditemukan di sekitar komplek ini, salah satunya adalah bangunan sisa kerajaan Pajajaran
(ditemukan oleh Scipio, seorang ekspedisi Belanda pada tahun 1687) pada saat sesudah
dibumihanguskan pada tahun 1579 oleh Kerajaan Banten (Maulana Yusuf) yang berkoalisi
dengan Kesultanan Cirebon (Syarief Hidayatullah).
Kerajaan Pajajaran dibumihanguskan oleh Kerajaan Banten dan Cirebon karena Raja Pajajaran
pada saat itu menolak untuk di-Islamkan, agama “resmi” kerajaan yang dianut saat itu adalah
agama Sunda (Sunda Wiwitan?). Konon agama Sunda memang tidak mensyaratkan untuk
membangun tempat peribadatan khusus, oleh karena itu maka sisa-sisa peninggalan yang berupa
bangunan mirip candi hampir tidak ditemukan di Jawa Barat.

Pada saat pembumihangusan, raja terakhir kerajaan Pajajaran yang bernama Raga Mulya (1567 –
1579) ikut tewas terbunuh dan sebagian dari para pangeran yang tidak terbunuh lari menuju
pakidulan, Selatan Bogor (desa Sirnaresmi di sekitar Pelabuanratu) untuk kemudian menuju ke
arah pakulonan, menuju ke Barat (sekarang propinsi Banten), menurut cerita ada anggapan
bahwa kemungkinan mereka inilah yang menjadi cikal bakal dari masyarakat Badui yang kita
kenal sekarang.

Prasasti Batutulis dibuat oleh Prabu Surawisesa pada tahun 1533 M dengan maksud
memperingati jasa-jasa ayahandanya Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama
Prabu Siliwangi yang sakti. Selain itu di Batutulis tersebut adalah tempat upacara dilantiknya
raja-raja Pajajaran yang disebut dengan upacara Kuwerabhakti.

Sri Baduga Maharaja adalah raja Pajajaran terbesar yang memerintah dari tahun 1482 sampai
1521 M. Pelantikan Sri Baduga Maharaja sebagai raja Pajajaran itu sendiri dilakukan pada saat
Sri Baduga Maharaja memindahkan ibukota kerajaan dari Galuh ke Pajajaran (Bogor) pada
tanggal 3 Juni 1482. Maka tanggal itulah yang kemudian secara resmi oleh pemerintah
ditetapkan sebagai hari jadi kota Bogor, walapun ada juga yang mengganggap bahwa tanggal
tersebut terlalu “muda” untuk dijadikan penetapan hari jadi sebuah kota sesusia kota Bogor.

Konon kehancuran kerajaan Pajajaran disebabkan pula oleh adanya penghianatan dari “orang
dalam” yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan Raga Mulya (Suryakancana). Setelah
kehancuran kerajaan Pajajaran pada tahun 1579 dan larinya para pangeran kerajaan maka
terputuslah sejarah kerajaan ini. Sesuai tradisi, kursi singgasana milik kerajaan Pajajaran oleh
Maulana Yusuf ikut diboyong menuju Banten yang secara simbolis menyatakan bahwa kerajaan
Pajajaran tidak akan berdiri lagi. Inipun menandakan bahwa kekuasaan kerajaan Pajajaran
sebenarnya telah beralih ke Maulana Yusuf dari Banten. Terlebih dengan berdirinya VOC
beberapa tahun kemudian yaitu tahun 1602 yang memanfaatkan perbedaan pendapat dan
perpecahan diantara kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia, maka berakhirlah sudah masa
kerajaan Pajajaran.
Pada tahun 1681 Belanda menandatangani kesepakatan dengan kesultanan Cirebon dan tahun
1684 Belanda menandatangani kesepakatan dengan kesultanan Banten. Maka ditetapkanlah batas
wilayahnya yaitu sungai Cisadane, untuk itu dilakukan sebuah ekspedisi untuk mencari sisa-sisa
kerajaan Pajajaran pada tahun 1687 seperti diceritakan diatas.

Cerita ini sebagian bersumber dari catatan dan fakta sejarah dan sebagian lagi dari sebuah cerita
yang diceritakan dan diceritakan lagi serta diceritakan lagi secara turun temurun oleh para
pangeran kerajaan yang berhasil melarikan diri hingga kemudian cerita ini berubah menjadi
sebuah cerita rakyat dan kemudian ada yang berkembang menjadi sebuah mitos.

Tidak seperti kisah sejarah “versi pemerintah” yang terdapat dalam buku-buku sejarah SD, SMP
dan SMA bahwa yang selama ini selalu disebut-sebut sebagai awal mula peradaban di Indonesia
(pulau Jawa) adalah Kerajaan Mataram kuno. Dalam buku sejarah “versi pemerintah” tersebut
sedikit sekali tulisan tentang kerajaan Tarumanagara bahkan kerajaan Pajajaran tidak disebutkan
samasekali. Maka dalam uraian singkat ini kami mencoba menggali lebih dalam lagi ke masa
sebelum adanya Kerajaan Mataram agar tidak ada fakta sejarah yang diputarbalikan hanya demi
sebuah kepentingan segelintir orang.

Demikian sejarah singkat kota tua Bogor. Tulisan ini memang hanya menceritakan dari awal
sejarah dapat terungkap sampai dengan hari jadi kota Bogor. Kesalahan serta kurang lengkapnya
nama, tahun dan lokasi kejadian sejarah bukanlah sebuah kesengajaan tapi semata-mata karena
kurang lengkapnya referensi kami.

Silsilah kerajaan di Jawa Barat

KERAJAAN SALAKANAGARA
Masa pemerintahan kerajaan ini dari tahun 200 SM (menurut catatan sejarah dari India yang
menyebutnya sebagai Java Dwipa) sampai tahun 362 M. Tokoh awal dari kerajaan ini bernama
Aki Tirem. Kerajaan ini berkedudukan di Teluk Lada Pandeglang namun ada juga yang
menyatakan kerajaan ini berkedudukan di sebelah Barat Kota Bogor di kaki gunung Salak,
konon nama gunung Salak diambil dari kata Salaka.

1. Dewawarman I
2. Dewawarman II
3. Dewawarman III
4. Dewawarman IV
5. Dewawarman V
6. Dewawarman VI
7. Dewawarman VII
8. Dewawarman VIII

KERAJAAN TARUMANAGARA

1. Jayasingawarman (358 – 382) dia adalah menantu dari Dewawarman VIII


2. Dharmayawarman (382 – 395)
3. Purnawarman (395 – 434)
4. Wisnuwarman (434 – 455)
5. Indrawarman (455 – 515)
6. Candrawarman (515 – 535)
7. Suryawarman (535 – 561)
Tahun 526 menantu Suryawarman yang bernama Manikmaya mendirikan kerajaan baru di
wilayah Timur (dekat Nagreg Garut) yang kemudian cicit dari Manikmaya yang bernama
Wretikandayun mendirikan kerajaan baru tahun 612 yang kemudian dikenal dengan nama
kerajaan Galuh.
8. Kertawarman (561 – 628)
9. Sudhawarman (628 – 639)
10. Hariwangsawarman (639 – 640)
11. Nagajayawarman (640 – 666)
12. Linggawarman (666 – 669)
Anak Linggawarman yang bernama Sobakancana menikah dengan Daputahyang Srijayanasa
yang kemudian mendirikan kerajaan Sriwijaya. Anaknya yang bernama Manasih menikah
dengan Tarusbawa yang kemudian melanjutkan kerajaan Tarumanagara dengan nama kerajaan
Sunda. Karena Tarusbawa merubah nama kerajaan Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda maka
Wretikandayun pada tahun 612 menyatakan kerajaan Galuh adalah sebagai kerajaan yang berdiri
sendiri bukan dibawah kekuasaan kerajaan Sunda walaupun sebenarnya kerajaan-kerajaan itu
diperintah oleh garis keturunan yang sama hanya ibukotanya saja yang berpindah-pindah (Sunda,
Pakuan, Galuh, Kawali, Saunggalah).

KERAJAAN SUNDA/GALUH/SAUNGGALAH/PAKUAN

1. Tarusbawa (670 – 723)


2. Sanjaya/Harisdarma/Rakeyan Jamri (723 –732) ibu dari Sanjaya adalah putri Sanaha dari
Kalingga sedangkan ayahnya adalah Bratasenawa (raja ke 3 kerajaan Galuh) Sanjaya adalah cicit
dari Wretikandayun (kerajaan Galuh) Sanjaya kemudian menikah dengan anak perempuan
Tarusbawa yang bernama Tejakancana.
3. Rakeyan Panabaran/Tamperan Barmawijaya (732 – 739) adalah anak Sanjaya dari istrinya
Tejakancana. Sanjaya sendiri sebagai penerus ke 2 kerajaan Sunda kemudian memilih
berkedudukan di Kalingga yang kemudian mendirikan kerajaan Mataram Kuno dan wangsa
Sanjaya (mulai 732)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi (783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (795 – 819)
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa (891 – 895)
10. Windusakti Prabu Dewageng (895 – 913)
11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916 – 942)
13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana (954 – 964)
15. Prabu Munding Ganawirya (964 – 973)
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17. Prabu Brajawisesa (989 – 1012)
18. Prabu Dewa Sanghyang (1012 – 1019)
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030 – 1042) Ayah Sri Jayabupati (Sanghyang Ageng)
menikah dengan putri dari Sriwijaya (ibu dari Sri Jayabupati) sedangkan Sri Jayabupati sendiri
menikah dengan putri Dharmawangsa (adik Dewi Laksmi istri dari Airlangga)
21. Raja Sunda XXI
22. Raja Sunda XXII
23. Raja Sunda XXIII
24. Raja Sunda XXIV
25. Prabu Guru Dharmasiksa
26. Rakeyan Jayadarma, istri Rakeyan Jayadarma adalah Dyah Singamurti/Dyah Lembu Tal
anak dari Mahesa Campaka, Mahesa Campaka adalah anak dari Mahesa Wongateleng, Mahesa
Wongateleng adalah anak dari Ken Arok dan Ken Dedes dari kerajaan Singasari.
Anak Rakeyan Jayadarma dengan Dyah Singamurti bernama Sang Nararya Sanggrama Wijaya
atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya. Karena Jayadarma meninggal di usia muda dan
Dyah Singamurti tidak mau tinggal lebih lama di Pakuan maka pindahlah Dyah Singamurti dan
anaknya Raden Wijaya ke Jawa Timur yang kemudian Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit
pertama.
27. Prabu Ragasuci (1297 – 1303) dia adalah adik dari Rakeyan Jayadarma. Istri Ragasuci
bernama Dara Puspa seorang putri dari Kerajaan Melayu. Dara Puspa adalah adik Dara Kencana
(yang menikah dengan Kertanegara dari Singasari).
28. Prabu Citraganda (1303 – 1311)
29. Prabu Lingga Dewata (1311 – 1333)
30. Prabu Ajigunawisesa (1333 – 1340) menantu Prabu Lingga Dewata
31. Prabu Maharaja Lingga Buana (1340 – 1357)
32. Prabu Mangkubumi Suradipati/Prabu Bunisora (1357 – 1371) adik Lingga Buana
33. Prabu Raja Wastu/Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475) anak dari Prabu Lingga Buana.
Istri pertamanya bernama Larasarkati dari Lampung memiliki anak bernama Sang Haliwungan
setelah menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri keduanya adalah
Mayangsari putri sulung Prabu Mangkubumi Suradipati/Bunisora memiliki anak yang bernama
Ningrat Kancana setelah menjadi Raja Galuh bergelar Prabu Dewaniskala.
Setelah Prabu Raja Wastu meninggal dunia kerajaan dipecah menjadi 2 dengan hak serta
wewenang yang sama, Prabu Susuktunggal menjadi raja di kerajaan Sunda sedangkan Prabu
Dewaniskala menjadi raja di kerajaan Galuh.
Putra Prabu Dewaniskala bernama Jayadewata, mula-mula menikah dengan Ambetkasih putri
dari Ki Gedeng Sindangkasih kemudian menikah lagi dengan Subanglarang (putri Ki Gedeng
Tapa yang menjadi raja Singapura) setelah itu ia menikah lagi dengan Kentringmanik Mayang
Sunda, putri Prabu Susuktunggal.
Pada tahun 1482 Prabu Dewaniskala menyerahkan kekuasaan kerajaan Galuh kepada puteranya
(Jayadewata), demikian pula dengan Prabu Susuktunggal, ia menyerahkan tahta kerajaan kepada
menantunya (Jayadewata), maka jadilah Jayadewata sebagai penguasa kerajaan Galuh dan Sunda
dengan gelar Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.

KERAJAAN PAJAJARAN

1. Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1482 – 1521)


Pada masa inilah kerajaan Pajajaran mengalami kemajuan serta kemakmuran.
2. Surawisesa (1521 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1543)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5. Raga Mulya (1551 – 1579)
Sekelumit tentang kisah kerajaan Pajajaran sampai dengan tanggal penetapan hari jadi kota
Bogor telah ditulis dibagian awal dari tulisan ini.

Penutup
Kami berharap kisah/cerita/fakta sejarah dapat diungkap dengan proporsional karena selama ini
saya dan juga bangsa Indonesia lainnya merasa telah “tertipu” oleh politik Soeharto yang
mengagung-agungkan orang Jawa/Mataram dengan menyembunyikan fakta sejarah yang
sebenarnya hanya untuk kepentingan politiknya saja. Mengapa tidak pernah disebutkan bahwa
wangsa Sanjaya pendiri Mataram Kuno adalah seorang putra Sunda? Demikian pula dengan
sejarah Majapahit, kenapa tidak pernah pula disebutkan bahwa Raden Wijaya raja pertama
Majapahit adalah seorang putera Sunda? dan sumpah Palapa-nya Gajahmada, apakah Majapahit
pernah berhasil menguasai Sunda dan Galuh? Jawabannya: tidak pernah. Siapa sebenarnya
Gajahmada? Dimana dia lahir? Siapa nama orangtuanya? Kapan dia meninggal? Dimana dia
dimakamkan? Tidak ada seorangpun yang tahu pasti, oleh karena itulah maka ada orang yang
beranggapan bahwa Ranggagading dari Pakuan-lah yang selama ini disebut-sebut sebagai
Gajahmada patih kerajaan Majapahit. Mungkin sama seperti tokoh Si Kabayan, tidak ada yang
tahu asal usulnya, jadi siapapun boleh saja mengatakan bahwa di kampung merekalah adanya
makam Kabayan.

Bila kita bandingkan dengan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia, maka kerajaan Salakanagara di
Jawa Barat-lah yang pantas dikatakan sebagai kerajaan tua, dan dari situlah seharusnya asal
muasal sejarah Indonesia ini diungkapkan dengan benar.

Mudah-mudahan kejadian “penipuan sejarah” tidak terulang lagi dimasa yang akan datang,
terlepas dari keuntungan politik yang akan diperoleh, walau bagaimananpun juga masyarakat
tentu akan lebih menghargai informasi yang jujur.

Tadinya saya hanya mencari-cari asal-usul nama jalan di seputaran Dago, yaitu jalan
Purnawarman, Sawunggaling, Mundinglaya, Ciungwanara, Ranggagading, Ranggamalela,
Ranggagempol, Hariangbanga, Geusan Ulun, Adipati Kertabumi, Dipati Ukur, Suryakancana,
Wira Angunangun, Ariajipang, Prabu Dimuntur, Bahureksa, Wastukancana, Gajah Lumantung,
Sulanjana, Badaksinga, Bagusrangin, Panatayuda, dan Singaperbangsa. Tidak banyak yang saya
dapat dari pencarian Google, juga tidak punya buku referensi untuk saya dongengkan kembali.
Jadi hanya saya tulis asal-usul Sunda saja, mungkin nanti saya temukan juga dongeng atau pun
sejarah tentang nama-nama jalan di atas.

Disadur, diringkas, dipotong dan didongengkan kembali oleh saya dari situs catatan sejarah kota
Bogor. Silakan baca langsung sumbernya jika anda berminat membaca lebih detil.

Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M untuk menyebut
ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara. Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang
ke-13 ingin mengembalikan keharuman Tarumanagara yang semakin menurun di purasaba
(ibukota) Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan
Sunda (selanjutnya punya nama lain yang menunjukkan wilayah/pemerintahan yang sama seperti
Galuh, Kawali, Pakuan atau Pajajaran).

Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan
Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Maharaja Tarusbawa
menerima tuntutan Raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan,
yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batas (Cianjur ke
Barat wilayah Sunda, Bandung ke Timur wilayah Galuh).

Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:

Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan


Galuh Pakuan beribukota di Kawali
Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan
Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan
Tarusbawa bersahabat baik dengan raja Galuh Bratasenawa atau Sena. Purbasora –yang
termasuk cucu pendiri Galuh– melancarkan perebutan tahta Galuh di tahun 716M karena merasa
lebih berhak naik tahta daripada Sena. Sena melarikan diri ke Kalingga (istri Sena; Sanaha,
adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga).

Sanjaya, anak Sena, ingin menuntut balas kepada Purbasora. Sanjaya mendapat mandat
memimpin Kerajaan Sunda karena ia adalah menantu Tarusbawa. Galuh yang dipimpin
Purbasora diserang habis-habisan hingga yang selamat hanya satu senapati kerajaan, yaitu
Balangantrang.

Sanjaya yang hanya berniat balas dendam terpaksa harus naik tahta juga sebagai Raja Galuh,
sebagai Raja Sunda ia pun harus berada di Sundapura. Sunda-Galuh disatukan kembali hingga
akhirnya Galuh diserahkan kepada tangan kanannya yaitu Premana Dikusuma yang beristri
Naganingrum yang memiliki anak bernama Surotama alias Manarah.

Premana Dikusuma adalah cucu Purbasora, harus tunduk kepada Sanjaya yang membunuh
kakeknya, tapi juga hormat karena Sanjaya disegani, bahkan disebut rajaresi karena nilai
keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat seperti Purnawarman. Premana menikah dengan
Dewi Pangreyep –keluarga kerajaan Sunda– sebagai ikatan politik.

Di tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia
meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara putranya,
Tamperan dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan,
sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan.

Premana akhirnya lebih sering bertapa dan urusan kerajaan dipegang oleh Tamperan yang
merupakan ‘mata dan telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan terlibat skandal dengan Pangreyep hingga
lahirlah Banga (dalam cerita rakyat disebut Hariangbanga). Tamperan menyuruh pembunuh
bayaran membunuh Premana yang bertapa yang akhirnya pembunuh itu dibunuh juga, tapi
semuanya tercium oleh Balangantrang.

Balangantrang dengan Manarah merencanakan balas dendam. Dalam cerita rakyat Manarah
dikenal sebagai Ciung Wanara. Bersama pasukan Geger Sunten yang dibangun di wilayah
Kuningan Manarah menyerang Galuh dalam semalam, semua ditawan kecuali Banga
dibebaskan. Namun kemudian Banga membebaskan kedua orang tuanya hingga terjadi
pertempuran yang mengakibatkan Tamperan dan Pangreyep tewas serta Banga kalah menyerah.

Perang saudara tersebut terdengar oleh Sanjaya yang memimpin Medang atas titah ayahnya.
Sanjaya kemudian menyerang Manarah tapi Manarah sudah bersiap-siap, perang terjadi lagi
namun dilerai oleh Demunawan, dan akhirnya disepakati Galuh diserahkan kepada Manarah dan
Sunda kepada Banga.

Konflik terus terjadi, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum
dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai
orang Sunda di Galuh. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang baru selalu
memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan
demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara
tahun 895M sampai tahun 1311M kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-
iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.

Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki
gunung dan orang Galuh sebagai orang air. Dari faktor inilah secara turun temurun dongeng
Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya disampaikan.

Hingga pemerintahan Ragasuci (1297M–1303M) gejala ibukota mulai bergeser ke arah timur ke
Saunggalah hingga sering disebut Kawali (kuali tempat air). Ragasuci sebenarnya bukan putra
mahkota. Raja sebelumnya, yaitu Jayadarma, beristrikan Dyah Singamurti dari Jawa Timur dan
memiliki putra mahkota Sanggramawijaya, lebih dikenal sebagai Raden Wijaya, lahir di Pakuan.
Jayadarma kemudian wafat tapi istrinya dan Raden Wijaya tidak ingin tinggal di Pakuan,
kembali ke Jawa Timur.

Kelak Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang besar, hingga jaman Hayam Wuruk dan Gajah
Mada mempersatukan seluruh nusantara, kecuali kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin
Linggabuana, yang gugur bersama anak gadisnya Dyah Pitaloka Citraresmi pada perang Bubat
tahun 1357M. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat
keraton Majapahit.

Menurut Kidung Sundayana, inti kisah Perang Bubat adalah sebagai berikut (dikutip dari
JawaPalace):

Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh rakyat,
konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga bagaikan
singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah
taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama.
Makmur negaranya, kondang kemana-mana. Namun sang raja belum kawin rupanya. Mengapa
demikian? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri. Konon ceritanya, ia menginginkan isteri
yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian
seorang calon permaisuri inilah terdengar khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali
dari Kidung Sundayana.

Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh
Nusantara sujud di hadapannya. Tetapi engkau satu, jiwanya yang senantiasa menjerit meminta
pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja Sunda (Kerajaan
Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi.

Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri Sunda
tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda.
Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu Hayam Wuruk.
Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba
dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa
diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan,
dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.

Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari kerajaan
Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang berkeberatan menyambut
putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri tersebut akan “dihadiahkan” kepada
sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda, putri tersebut akan “di pinang” oleh sang raja.
Dalam dialog antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling
ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu peperangan besar antara keduanya sampai
terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena bunuh diri. Setelah selesai
pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang mendapati calon pinangannya telah meninggal,
sehingga sang raja tak dapat menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya
mangkat. Demikian inti Kidung.

Sunda-Galuh kemudian dipimpin oleh Niskala Wastukancana, turun temurun hingga beberapa
puluh tahun kemudian Kerajaan Sunda mengalami keemasan pada masa Sri Baduga Maharaja,
Sunda-Galuh dalam prasasti disebut sebagai Pajajaran dan Sri Baduga disebut oleh rakyat
sebagai Siliwangi, dan kembali ibukota pindah ke barat.

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit.
Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki 6 buah
Jung (kapal laut model Cina) untuk perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis
Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).

Selain tahun 1511 Portugis menguasai Malaka, VOC masuk Sunda Kalapa, Kerajaan Islam
Banten, Cirebon dan Demak semakin tumbuh membuat kerajaan besar Sunda-Galuh Pajajaran
semakin terpuruk hingga perlahan-lahan pudar, ditambah dengan hubungan dagang Pajajaran-
Portugis dicurigai kerajaan di sekeliling Pajajaran. Stop.

Lanjut!

Setelah Kerajaan Sunda-Galuh-Pajajaran memudar kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaan


Pajajaran mulai bangkit dan berdiri-sendiri, salah satunya adalah Kerajaan Sumedang Larang
(ibukotanya kini menjadi Kota Sumedang). Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Prabu
Geusan Ulun Adji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan
kembali ke Pakuan Pajajaran, Bogor.
Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang
sosial, budaya, agama (terutama penyebaran Islam), militer dan politik pemerintahan. Setelah
wafat pada tahun 1608, putranya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata/Rangga Gempol I
atau yang dikenal dengan Raden Aria Suradiwangsa naik tahta. Namun, pada saat Rangga
Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620M Sumedang Larang dijadikan wilayah
kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai ‘kerajaan’ diubah
menjadi ‘kabupaten’.

Sultan Agung memberi perintah kepada Rangga Gempol I beserta pasukannya untuk memimpin
penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan sementara diserahkan kepada
adiknya, Dipati Rangga Gede. Hingga suatu ketika, pasukan Kerajan Banten datang menyerbu
dan karena setengah kekuatan militer kabupaten Sumedang Larang diberangkatkan ke Madura
atas titah Sultan Agung, Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten dan
akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan
Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur. Sekali lagi,
Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk
menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui
kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung,
diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggungjawabannya dan akhirnya tertangkap dari
persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.

Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk
memerintah di Sumedang, sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis)
dibagi kepada tiga bagian; Pertama, Kabupaten Bandung, yang dipimpin oleh Tumenggung
Wiraangunangun, kedua, Kabupaten Parakanmuncang oleh Tanubaya dan ketiga, kabupaten
Sukapura yang dipimpin oleh Tumenggung Wiradegdaha atau R. Wirawangsa atau dikenal
dengan “Dalem Sawidak” karena memiliki anak yang sangat banyak.

Selanjutnya Sultan Agung mengutus Penembahan Galuh bernama R.A.A. Wirasuta yang
bergelar Adipati Panatayuda atau Adipati Kertabumi III (anak Prabu Dimuntur, keturunan
Geusan Ulun) untuk menduduki Rangkas Sumedang (Sebelah Timur Citarum). Selain itu juga
mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi dan Kuta Tandingan.
Setelah mendirikan benteng tersebut Adipati Kertabumi III kemudian kembali ke Galuh dan
wafat. Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah menjadi Karawang karena kondisi
daerahnya berawa-rawa, karawaan.

Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putra Adipati Kertabumi III, yakni Adipati
Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang, pada Tahun 1656M. Adipati Kertabumi IV
ini juga dikenal sebagai Panembahan Singaperbangsa atau Eyang Manggung, dengan ibu kota di
Udug-udug. Pada masa pemerintahan R. Anom Wirasuta putra Panembahan Singaperbangsa
yang bergelar R.A.A. Panatayuda I antara Tahun 1679M dan 1721M ibu kota Karawang dari
Udug-udug pindah ke Karawang. Stop.

Jadi nama jalan Sawunggaling, Mundinglaya, Ranggagading, Ranggamalela, Suryakancana,


Ariajipang, Bahureksa, Gajah Lumantung, Sulanjana, Badaksinga dan Bagusrangin belum saya
temukan dongeng atau sejarahnya, sebagian –kalau tidak salah ingat– adalah tokoh-tokoh dalam
cerita rakyat Lutung Kasarung.

SUNDA NUSANTARA SEBAGAI INDUK BANGSA

Sunda Nusantara merupakan salah satu sejarah yang sangat perlu kita pelajari dan kita ungkap
bersama.
Dengan sepintas orang dikacaukan dengan nama Sunda Kelapa. Pada dasarnya walaupun ada
kemiripan nama, tetapi mempunyai makna lain. Sunda Kelapa identik dengan Batavia, Betawi,
Jayakarta, Jakarta sebagi Ibu Kota Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia sekarang ini.

Sedangkan Sunda Nusantara merupakan suatu Negara yang berbentuk Kerajaan dengan
Pemerintahannya berdasarkan Konstitusi Parlementer Demokrasi Sejati Reformasi Kerakyatan
dan Kemakmuran Bangsa Sunda Tanah Air di daratan Sunda Nusantara.
Wilayah: Sunda Nusantara memiliki wilayah yang terbentang dari barat sampai timur dari Jawa
sampai dengan Papuniginia (Irian), bentangan dari selatan sampai dengan utara, mulai dari
Timor sampai dengan selat Malaka-Singapura.
[Sisanya dihapus, hanya copy paste dari
http://www.mail-archive.com/kisunda@yahoogroups.com/msg04126.html%5D

Suryakencana adalah nama seorang putra Pangeran Aria Wiratanudatar (pendiri kota Cianjur)
yang beristrikan seorang putri jin. Pangeran Suryakencana memiliki dua putra yaitu: Prabu Sakti
dan Prabu Siliwangi.
arKawasan Gunung Gede merupakan tempat bersemayam Pangeran Suryakencana. Beliau
bersama rakyat jin menjadikan alun2 sebagai lumbung padi yang disebut Leuit Salawe, Salawe
Jajar, dan kebun kelapa salawe tangkal, salawe manggar.

Petilasan singgasana Pangeran Suryakencana berupa sebuah batu besar berbentuk pelana. Hingga
kini, petilasan tersebut masih berada di tengah alun-alun, dan disebut Batu Dongdang yang
dijaga oleh Embah Layang Gading. Sumber air yang berada ditengah alun-alun, dahulu
merupakan jamban untuk keperluan minum dan mandi.

Di dalam hutan yang mengitari Alun-alun Surya Kencana ini ada sebuah situs kuburan kuno
tempat bersemayam Prabu Siliwangi. Pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi yang menguasai
Jawa Barat, terjadi peperangan melawan Majapahit. Selain itu Prabu Siliwangi juga harus
berperang melawan Kerajaan Kesultanan Banten. Setelah menderita kekalahan yang sangat hebat
Prabu Siliwangi melarikan diri bersama para pengikutnya ke Gunung Gede.

Sekitar gunung Gede banyak terdapat petilasan peninggalan bersejarah yang dianggap sakral
oleh sebagian peziarah, seperti petilasan Pangeran Suryakencana, putri jin dan Prabu Siliwangi.
Kawah Gunung Gede yang terdiri dari, Kawah Ratu, Kawah Lanang, dan Kawah Wadon, dijaga
oleh Embah Kalijaga. Embah Serah adalah penjaga Lawang Seketeng (pintu jaga) yang terdiri
atas dua buah batu besar. Pintu jaga tersebut berada di Batu Kukus, sebelum lokasi air terjun
panas yang menuju kearah puncak.

Eyang Jayakusumah adalah penjaga Gunung Sela yang berada disebelah utara puncak Gunung
Gede. Sedangkan Eyang Jayarahmatan dan Embah Kadok menjaga dua buah batu dihalaman
parkir kendaraan wisatawan kawasan cibodas. Batu tersebut pernah dihancurkan, namun bor
mesin tidak mampu menghancurkannya. Dalam kawasan Kebun Raya Cibodas, terdapat
petilasan/ makam Eyang Haji Mintarasa.

Pangeran Suryakencana menyimpan hartanya dalam sebuah gua lawa/walet yang berada di
sekitar air terjun Cibeureum. Gua tersebut dijaga oleh Embah Dalem Cikundul. Tepat berada di
tengah-tengah air terjun Cibeureum ini terdapat sebuah batu besar yang konon adalah
perwujudan seorang pertapa sakti yang karena bertapa sangat lama dan tekun sehingga berubah
menjadi batu. Pada hari kiamat nanti barulah ia akan kembali berubah menjadi manusia.

Hari gini masih ada yang mau memproklamirkan Kerajaan Sunda Nusantara di Bogor beberapa
waktu yang lalu. Bila mereka belajar sejarah, sudah ada 2 penerus sah dari tahta KERAJAAN
SUNDA tempo dulu yang menjadi raja besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Yaitu, Raja ke 2, SANJAYA / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama (Raja Sunda di tahun 723 –
732M), yang kemudian menjadi raja di Kerajaan MATARAM (Hindu) (732 – 760M), dan 1 lagi,
RADEN WIJAYA, penerus sah Kerajaan Sunda ke – 27, yang lahir di Pakuan, menjadi Raja
MAJAPAHIT pertama (1293 – 1309 M).

SANJAYA / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama (723 – 732M)


Cicit Wretikandayun, pendiri kerajaan Galuh, ini bernama RAKEYAN JAMRI. Sebagai
penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama PRABU HARISDARMA dan kemudian
setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan SANJAYA.
Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Maharani SIMA of KALINGGA / Kerajaan MEDANG.
Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, raja GALUH ke 3, teman dekat
Tarusbawa. Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta GALUH oleh Purbasora. Purbasora dan
Sena adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah.
Sebagai ahli waris Kalingga, SANJAYA kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang
disebut Bumi MATARAM dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada
puteranya dari TEJAKENCANA, TAMPERAN atau RAKEYAN PANARABAN.
RADEN WIJAYA, Raja MAJAPAHIT pertama (1293 – 1309 M).
Menurut PUSTAKA RAJYARAJYA i BHUMI NUSANTARA parwa II sarga 3:
RAKEYAN JAYADARMA, anak PRABU DHARMASIKSA (Raja Kerajaan Sunda ke 25),
adalah menantu MAHISA CAMPAKA di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan DYAH
SINGAMURTI alias DYAH LEMBU TAL.
Mahisa Campaka adalah anak dari MAHISA WONGATELENG, yang merupakan anak dari
KEN ANGROK dan KEN DEDES dari kerajaan SINGHASARI.
Mahisa Campaka dan Dyah Lembu Tal berputera SANG NARARYA SANGGRAMAWIJAYA
atau lebih dikenal dengan nama RADEN WIJAYA (lahir di PAKUAN). Dengan kata lain, Raden
Wijaya adalah turunan ke 4 dari Ken Angrok, dari pihak ibu.
Karena RAKEYAN JAYADARMA wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal
lebih lama di Pakuan. Akhirnya Raden Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam
BABAD TANAH JAWI, Wijaya disebut pula JAKA SUSURUH yang kemudian menjadi Raja
MAJAPAHIT yang pertama.
Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa
Timur
Jadi, sebenarnya, RADEN WIJAYA, Raja MAJAPAHIT pertama, adalah penerus sah dari tahta
Kerajaan Sunda yang ke-27.

GENEAOLOGY OF THE EMPEROR OF SUNDA NUSANTARA-


THE SUNDA ARCHIPELAGO -SUNDA MAINLAND-
SUNDA PASIFIC-SUNDA MALAY-ASIA MINOR.

130 Yr. AC
————
SERI BADUGA MAHARAJA ——-Ibu Kota
PRABU MAHADEWA DEWA WARMAN Kerajaan di
————————- Salaka Nagara
I (Ujung Kulon
II Bantan/Banten)
III
IV
!
!
!
_______________________!____________________________
||!|||
(1) (2) (3)VII (4) (5) (6)
NYAI RATU MENDANG ! PRABU PRABU PRABU
RARA KAMOLAN ! MULA- ADITYA- BRAM-
PURBASARI PRABU ! WARMAN WARMAN BANGAN
ATAU SYALENDRA/ !
NYAI RATU (PRABU !
RARA KIDUL BRAWIJAYA) !
!
VIII
!
!
SERI BADUGA MAHARAJA
PRABU
NISKALA WASTU KENCANA
!
!
SERI BADUGA MAHARAJA
PRABU —–1467-1474
WANGI ANGGALARANG
(SILIWANGI)
!
!
_____________________!_____________________
|!|
PANGERAN ! PANGERAN
PRABU ! PRABU
SINGAPORE ! MALAKA
!
!
SERI BADUGA MAHARAJA
DEWA TAPRANA PRABU GURU RATU HAJI
(PRABU SILIWANGI)
(1474-1513)
MENIKAH DENGAN PUTERI SUMBANG KRANCANG
SULTAN MALAKA
!
!
!
NYAI RATU RARA SANTANG
(Al Syarifah Siti Muda’im)
wafat di Madinah 1528
MENIKAH DENGAN SYARIEF ABDULLAH AL MISRI
(RAJA MESIR)
GE KE XXII
GUSTI RASUL MUHAMMAD SAW
!
!
!
(1513-1552)
KAISAR
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
SUSUHUNAN SYARIEF HIDAYATULLAH AL MISRI
(SUNAN GUNUNG JATI/JATI PURBA)
Ibu kota di Charuban/Cirebon dan
dikenal oleh negara-negara di dunia
MENIKAH
CROWN PRINCE
KANJENG GUSTI RATU PREMBAYUN
(PUTERI TERTUA MAHARAJA/KESULTANAN
DEMAK, EMPEROR SULTAN FATAH
PUTERA TERTUA
dari KERAJAAN MAJAPAHIT:
EMPEROR PRABU BRAWIJAYA V)
!
!
______________________!
|!
PANGERAN !
JAPARA !
WAFAT DI BANTAN !
!
(1552-1570)
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA HASANUDIN AL MISRI/
MAULANA SABA KIN-KING
Ibu kota dipindahkan dari Charuban(Cirebon)
ke Taruma Nagara (Sunda Kelapa)
!
!
(1570-1580)
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA YUSUF AL MISRI
!
!
(1580-1596)
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA MUHAMMAD AL MISRI
!
!
(1596-1640)
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
SUSUHUNAN ABUL MAFACHIR RACHMATULLAH AL MISRI
!
!
(1640-1651)
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
SUSUHUNAN ABUL MA’ALI ACHMAD RACHMATULLAH AL MISRI/
KYAI AGENG TIRTAYASA
!
!
(1651-1675)
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
KANJENG SULTAN AGUNG ABUL TATGHI ABDUL FATAH AL MISRI/
KAISAR SULTAN WANGI AGENG TIRTAYASA
!
!
(1675-1687)
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
KAISAR SULTAN ABUN NAZAR ABDUL KAHAR AL MISRI
!
!
(1690-1733)
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
KAISAR SULTAN ZAINUL ABIDIN AL MISRI
!
!
(1733-1747)
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
KAISAR SULTAN
ABUL FATAH MUHAMMAD SYAFEI ZAINUL ARIFIN AL MISRI
!
!
(1753-1777)
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
KAISAR SULTAN ZAINUL ASIKIN AL MISRI
!
!
(1777-1802)
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
KAISAR SULTAN MAHA ALI’OEDDIN AL MISRI
!
!
(1802-1810-1811)
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
KAISAR SULTAN ACHMAD AL MISRI
berkedudukan
di Istana Merdeka,Istana Cipanas,Istana Bogor,
Istana Serosowan Bantan
(Inti sejarah kedatangan
SIR THOMAS STANFORD RAFLLES (France)/1811
1808-1815:
Belanda merupakan bagian dari pendudukan Perancis)
di tipu oleh STANFORD RAFLLES
ditinggal sendirian
di pulau Banda Maluku (Sunda Kecil Sunda Nusantara)
dengan tangan diikat
Wafat : 1840 di Desa Burakan Rembang Jawa Tengah
!
!
!
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
KAISAR SULTAN ABDULAH AL MISRI
berkedudukan di Istana Cipanas, Bogor
wafat 1860
!
!
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
PANGERAN GUNAWAN MARTAKUSUMAH AL MISRI
!
!
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
PANGERAN ABDULLAH HALIM PRAWITA PURNAMA AL MISRI
!
!
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
KAISAR SULTAN
ABUL MAFACHIR MOEHAMMAD HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI
WAFAT DI BOGOR 12 NOVEMBER 1989
!
!
SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA
KANJENG GUSTI PANGERAN
HADIPATI HARYA RACHMATULLAH HEROENINGRAT
SILIWANGI AL MISRI II/
HIS IMPERIAL MAJESTY SERI PADUKA YANG MAHA MULYA
BAGINDA MAHARAJA MAJESTY KAISER KANGJENG MAHA PAGUSTEN
EMPEROR SULTAN AGUNG MAHA PRABU SYARIEF ABUL MAFACHIR
MOEHAMMAD HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI II
(lahir di Jakarta 30 september 1963)
Legal Crown of THE Monarchies of the Sovereign
Emperor of the Sovereign Empire of Sunda-Sunda Maindland-
The Sunda-Archipelago or the Sunda-Nusantara-Pasific-
a Greater part of the Pasific-the Mountain-Pasific
in the part of-the Pasific Sunda-Malay-Asia-Minor.
The Empire Parlementer was
Manual Democratie, Basically the Religons and Humanity
************************************
**Ketikan ini sumbangsih pemerhati sejarah yang perlu di pelajari dan di teliti lebih dalam akan
Sejarah Sunda Nusantara Induk Bangsa (akar sejarah Ibu pertiwi kita) yang hingga kini belum
dapat terselesaikan. Informasi Sejarah/Silsilah Kerajaan Sunda Nusantara ini di dapat dari
dokumen resmi Al Misri II di Jakarta. Semoga Informasi ini dapat bermanfaat untuk mengenal
lebih jauh akar sejarah ibu pertiwi kita.

Maaf ada yang salah pengetikan dalam silsilah Kerajaan Sunda Nusantara yang seharusnya

Anda mungkin juga menyukai