Anda di halaman 1dari 9

Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Tarumanegara didirikan leh Rajadirajaguru


Jayasinghawarman pada tahun 358 M. Raja Jayasinghawarman
memimpin pelarian keluarga kerajaan yang berhasil meloloskan diri
dari musuh. Di mana kala itu, kerajaan Salakanagara mengalami
serangan secara terus menerus. Pada masa pengasingannya,
Jayasinghawarman mendirikan kerajaan baru, yang diberi nama
Kerajaan Tarumanegara.

Kerajaan ini didirikan di tepi sungai Citarum, Kabupaten Lebak,


Banten. Nama Tarumanegara sendiri diambil dari nama tanaman yang
tumbuh subur di tepi sungai Citarum bernama tarum. Tanaman itu
dulunya digunakan untuk pewarna benang tenun dan pengawet
pakaian. Bukan hanya itu saja, tanaman ini juga merupakan komoditi
ekspor terbesar dan sumber pendapatan terbesar di Kerajaan
Tarumanegara.
Letak Kerajaan Tarumanegara

Menurut para ahli arkeolog, letak Kerajaan Tarumanegara


berada di Jawa Barat di tepi Sungai Cisadane, yang saat ini
merupakan wilayah Banten. Kerajaan Tarumanegara berpusat di
Sundapura, yang saat ini dikenal sebagai Bekasi.

Kehidupan Sosial
Masyarakat Kerajaan Tarumanegara sudah
menanamkan sikap gotong royong, berdasarkan isi dari
prasasti Tugu. Kehidupan sosial Kerajaan Tarumanegara
sudah teratur rapi, hal ini terlihat dari upaya Raja
Purnawarman untuk terus meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya. Beliau sangat memperhatikan kedudukan
kaum brahmana yang dianggap penting dalam
melaksanakan setiap upacara korban yang dilaksanakan
di kerajaan sebagai tanda penghormatan kepada para
dewa
Kehidupan Ekonomi
Masyarakat Tarumanegara
mengutamakan bidang pertanian sebagai
sumber mata pencaharian mereka. Mereka
berladang secara berpindah-pindah. Selain itu,
bidang pelayaran dan perdagangan tidak kalah
penting dalam perekonomian Tarumanegara.

Kehidupan Politik
Kuatnya pemerintahan dibuktikan oleh informasi
prasasti mengenai proyek penggalian saluran Gomati dan
sungai Candrabhaga. Proyek itu membutuhkan tenaga
manusia yang cukup besar, sehingga mungkin
terselenggara oleh pemerintahan yang berwibawa, yang
kekuasaanya diakui rakyatnya. Karena merupakan
kerajaan, kekuasaan raja bersifat mutlak. Hal itu
tergambar dari pengakuan Raja Purnawarman sebagai
jelmaan Dewa Wisnu.
Kehidupan Agama
Kepercayaan yang dianut warga di dalam
Kerajaan Tarumanegara yaitu Hindu, tepatnya
Hindu Wisnu. Sebagai bukti, pada prasasti
Ciareteun ada tapak kaki raja yang diibaratkan
tapak kaki Dewa Wisnu

Kehidupan Budaya
perkembangan kebudayaan masyarakat
Tarumanegara. Sebagai contoh, di bidang sastra
masyarakat mulai mengenal syair. Hal ini dibuktikan
dari beberapa prasasti peninggalan kerajaan
Tarumanegara berbentuk syair, dengan
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta.
Penyebab Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara
Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan
menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang
puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Kerajaan
Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang
Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan
Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu
Tarusbawa.
Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada
Tarusbawa. Ia memilih mengembangkan Kerajaan Sunda yang sebelumnya
merupakan kerajaan daerah yang berada dalam kekuasaan Tarumanagara.
Atas pengalihan kekuasaan ke Kerajaan Sunda ini, kerajaan lain bernama
Kerajaan Galuh memutuskan untuk berpisah dari Kerajaan Sunda. Akhirnya
wilayah bekas Kerajaan Tarumanegara dibagi menjadi dua, sehingga
kekuatan kerajaan Tarumanagara menjadi lemah.
Tahun 686 Kerajaan Tarumanegara runtuh ditaklukan Dapunta Hyang
Salendra, yaitu raja Sriwijaya dari Kedah. Dalam prasasti Kedukan Bukit
yang ditemukan di dekat Palembang mempunyai angka tahun 605 Caka atau
sama dengan 683 Masehi, menerangkan tentang perjalanan penjelajahan
Raja Dapunta Hyang Cri Jayanaca. Raja berangkat dari Minangatamwan
dengan armada berkekuatan 20.000 tentara dan menaklukan beberapa daerah
sehingga menjadikan Palembang sebagai Bandar pelabuhan terbesar di
Sumatra (Suwarna Dwipa). Dalam sejarah, Palembang menjadi tempat
penting untuk pusat ziarah umat beragama Buddha Mahayana. Karena
kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada tahun 670 M dan didirikannya Bandar
pelabuhan Palembang, maka kekuatan armada laut semakin kuat dan
bertambah besar sehingga dengan mudah memperluas kekuasaannya di
Tanah Jawa termasuk Kerajaan Tarumanegara
Prasasti Ciaruteun (Ciampea, Bogor)

Terletak di pinggir sungai Ciaruteun, dekat muaranya dengan Cisadane.


Di atasnya terdapat lukisan laba-laba dan tapak kaki yang dipahatkan di atas
aksaranya. Prasasti terdiri dari 4 baris, ditulis dalam bentuk puisi India dengan
irama anustubh (Anustubh: jumlah suku kata pada masing-masing baris dalam
satu bait puisi Jawa kuno sebanyak 8 suku kata). Prasasti ini mengingatkam
adanya hubungan dengan prasasti raja Mahendawarman I dari keluarga Pallawa.

Prasasti Jambu/ Pasir Koleangkak

Di temukan di bukit, daerah perkebunan Jambu kira-kira 30 km sebelah


barat Bogor.
Prasasti Kebon Kopi (kampung Muara Hilir, Cibungbulang)

Terdapat dua tapak kaki gajah yang disamakan dengan tapak kaki gajah
Airawata. Bunyinya sebagai berikut:
jayavsalasya taruma/ ndra/ sya ha/st/inah- sira/ vatabhasya vibhatidam-
padavayam
‘’ Disini nampak sepasang tapak kaki….yang seperti Airavata, gajah
penguasa taruma (yang) agung dalam….dan(?) kejayaan’’

Prasasti Tugu (Tugu, Jakarta)

Merupakan prasasti terpanjang dari semua peninggalan Purnawarman.


Tulisannya dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang secara melingkar.
Yang khas dari prasasti ini adalah:Di dalamnya disebutkan nama dua sungai
yang terkenal di Panjab, yaitu sungai Candrabhaga dan Gomati.
Prasasti Pasir Awi (Pasir Awi, Bogor)

Tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Pada prasasti ini juga
terdapat gambar tapak kaki.

Prasasti Muara Cianten (muara Cianten, Bogor)

Prasasti ini di temukan di muara Cianten Bogor , prasasti ini juga terdapat
telapak kaki. Sayang tulisannya belum dapat diartikan sebab tulisannya
dalam huruf ikal sehingga tidak banyak yang diketahui tentang isinya.
Prasasti Cidanghiang atau Lebak

Ditemukan di kampung Lebak, pinggir Sungai Cidanghiang, kecamatan


Munjul, kabupaten Pandeglang, Banten. Prasasti Cidanghiyang dilaporkan
pertama kali oleh Toebagus Roesjan kepada Dinas Purbakala tahun 1947
(OV 1949:10), tetapi diteliti pertama kali tahun 1954 dan berisi dua baris
aksara yang merupakan satu Sloka dalam metrum anustubh.

Anda mungkin juga menyukai