Anda di halaman 1dari 4

Ki Ageng Pemanahan

Ki Ageng Pamanahan (sebutan lainnya: Ki Gede Pamanahan atau Kyai Gede


Mataram) adalah tokoh yang dianggap menurunkan raja-raja dinasti Mataram (Islam),
menurut naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha. Ia adalah keturunan orang-orang
Sela (nama lama untuk Pati) yang hijrah ke Pajang dan pada tahun 1556 mendapat
mandat oleh Sultan Adiwijaya (sultan Pajang waktu itu) untuk memimpin bumi Mataram
sebagai bupati. Putranya, Bagus Srubut atau R.Ng. Sutawijaya, kelak menjadi orang
pertama dari dinasti Mataram yang menguasai Kesultanan
Mataram sebagai Panembahan Senapati.

Ki Ageng Pamanahan

Wangsa Majapahit Rajasa

Nama lengkap

Kyai Ageng Pamanahan /

Kyai Gede Mataram

Ayah Ki Ageng Enis

Ibu Nyai Ageng Enis

Pasangan Nyai Sabinah

(Nyai Ageng Pemanahan)

Agama Islam
Riwayat Hidup

Narasi dalam Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Pamanahan adalah putra Ki
Ageng Enis dan cucu Ki Ageng Sela. Ki Ageng Enis bertempat tinggal di Laweyan.
Mereka adalah termasuk dalam rombongan orang-orang dari Sela, suatu tempat yang
sekarang bagian dari Kabupaten Grobogan (yaitu Desa Selo), yang hijrah ke Pajang
untuk membantu Hadiwijaya, adipati Pajang (sekarang wilayah Surakarta).
Babad Tanah Jawi tidak menyebutkan nama kecilnya. Ia menikah dengan sepupunya
sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis).
Menurut Sadjarah Dalem, nama kecilnya adalah Bagus Kacung, atau Castioeng
menurut van der Horst (1707). Ia memiliki saudara angkat bernama Ki Penjawi.
Keduanya belajar pada Ki Ageng Sela. Dalam perkembangan lebih lanjut, Ki Gede
Pamanahan diangkat menjadi lurah wiratama oleh bupati Pajang.
Nama "Pamanahan" diambil dari tempat tinggalnya setelah dewasa, yaitu suatu tempat
di utara Laweyan bernama Pamanahan (sekarang menjadi Manahan, kawasan yang
dikenal sebagai pusat keolahragaan di Kota Surakarta). Suatu petilasan
berupa sendhang (kolam mata air) yang konon menjadi tempat Ki Gede Pamanahan
biasa membersihkan diri masih dapat ditemukan. Di masa pemerintahannya, atas
prakarsa Poerbatjaraka, Pangeran Adipati Mangkunegara VII membangunkan tembok
yang mengelilingi tempat tersebut.
Setelah pindah ke Mataram, ia dijuluki sebagai Kyai (Ki) Ageng Mataram. Bersama-
sama putra dan para pengikutnya, ia membuka Hutan (Alas) Mentaok (episode "Babat
Alas Mentaok" ini populer dalam lakon-lakon panggung kethoprak Mataraman di masa
kini), yang terletak di Kotagede, Yogyakarta sekarang. Perkampungan baru ini lalu
menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Mataram ketika Pajang kemudian tunduk pada
Mataram.
Ki Ageng Pamanahan, isteri dan putranya setelah wafat dimakamkan di kompleks
Pemakaman Kotagede yang berada di selatan Masjid Kotagede.

 Peran awal

Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Kesultanan Demak mengalami perpecahan


akibat perebutan takhta. Putra Sultan yang naik takhta bergelar Sunan Prawata tewas
dibunuh sepupunya sendiri, yaitu Arya Penangsang, Bupati Jipang. Arya Penangsang
yang didukung Sunan Kudus juga membunuh Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat,
putri Sultan Trenggana. Sejak itu, Ratu Kalinyamat memilih hidup bertapa di Gunung
Danaraja menunggu kematian Arya Penangsang Bupati Jipang.
Arya Penangsang ganti mengirim utusan untuk membunuh Hadiwijaya di Pajang tapi
gagal. Sunan Kudus pura-pura mengundang keduanya untuk berdamai. Hadiwijaya
datang ke Kudus dikawal Ki Pamanahan. Pada kesempatan itu, Ki Pamanahan berhasil
menyelamatkan Hadiwijaya dari kursi jebakan yang sudah dipersiapkan Sunan Kudus.
Dalam perjalanan pulang, Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja. Ki Pamanahan
bekerja sama dengan Ratu Kalinyamat membujuk Hadiwijaya supaya bersedia
menghadapi Arya Penangsang. Sebagai hadiah, Ratu Kalinyamat memberikan cincin
pusakanya kepada Ki Pamanahan.

 Ki Ageng Pemanahan sebagai Perintis Kesultanan Mataram

Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di Surakarta, tidak dapat dipisahkan


dengan sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya Laweyan merupakan perkampungan
masyarakat yang beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Beluk, sahabat Ki Ageng Henis,
adalah tokoh masyarakat Laweyan saat itu. Ia menganut agama Hindu, tetapi karena
dakwah yang dilakukan oleh Ki Ageng Henis, Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki
Ageng Beluk kemudian menyerahkan bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng
Henis untuk diubah menjadi Masjid Laweyan.
Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan
putra Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng
Pamanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga
Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram".
Disamping itu banyak perintis lainnya yang dianggap berjasa besar terhadap
terbentuknya Kesultanan Mataram seperti : Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki
Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made
Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan tokoh
lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai leluhur Raja-raja
Mataram yang mewarisi nama besar keluarga keturunan Brawijaya Majapahit yang
keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan menyandang
nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki arti : tokoh besar
keagamaan dan pemerintahan yang dihormati yang memiliki kelebihan, kemampuan
dan sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.

Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan
Mataram yaitu :

• Fakta 1 : Tokoh-tokoh perintis tersebut adalah keturunan ke 1 sampai dengan ke 6 raja


Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, yang sudah dapat
dipastikan masih memiliki pengaruh baik dan kuat terhadap Kerajaan yang memerintah
maupun terhadap masyarakat luas;

• Fakta 2 : Tokoh-tokoh tersebut adalah keturunan Silang/Campuran dari Walisongo


beserta leluhurnya yang terhubung langsung kepada Imam Husain bin Ali bin Abu
Thalib, yang sudah dapat dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan (Islam)
berikut ilmu pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan islam jajirah Arab. Hal ini terbukti
dalam aktivitas keseharian mereka juga sering berdakwah dari daerah satu ke daerah
lainnya dengan mendirikan banyak Masjid, Surau dan Pesantren;

• Fakta 3 : Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh
para Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang
bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan
cara menyatu dengan garis keturunan kerajaan.

• Fakta 4 : Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi


Kesultanan Mataram pada dasarnya adalah kesinambungan dari "Misi" sesuai Fakta 3,
seperti juga yang terjadi dengan Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang,
Kerajaan Talaga Majalengka dan Kerajaan Surasoan Banten, di luar adanya perebutan
kekuasaan.

Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya
Kesultanan Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya
merupakan strategi yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk
mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan
pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus
mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah dan/atau Turki, jalur untuk keperluan
tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh dan para Wali.

 Melawan Arya Penangsang

Hadiwijaya segan memerangi Arya Penangsang karena masih sama-sama anggota


keluarga Kesultanan Demak. Maka, ia pun mengumumkan sayembara, barang siapa
bisa membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan hadiah tanahMataram dan Pati.

Ki Pamanahan dan Ki Penjawi mengikuti sayembara atas desakan Ki Juru Martani


(kakak ipar Ki Pamanahan). Putra Ki Pamanahan yang juga anak angkat Hadiwijaya,
bernama Sutawijaya ikut serta. Hadiwijaya tidak tega sehingga memberikan
pasukan Pajang untuk melindungi Sutawijaya.
Perang antara pasukan Ki Pamanahan dan Arya Penangsang terjadi di dekat Bengawan
Sore. Berkat siasat cerdik yang disusun Ki Juru Martani, Arya Penangsang tewas di
tangan Sutawijaya.

Ki Juru Martani menyampaikan laporan palsu kepada Hadiwijaya bahwa Arya


Penangsang mati dibunuh Ki Pamanahan dan Ki Penjawi. Apabila yang disampaikan
adalah berita sebenarnya, maka dapat dipastikan Hadiwijaya akan lupa memberi
hadiah sayembara mengingat Sutawijaya adalah anak angkatnya.

 Membuka Mataram

Hadiwijaya memberikan hadiah berupa tanah Mataram dan Pati. Ki Pamanahan yang
merasa lebih tua mengalah memilih Mataram yang masih berupa hutan lebat,
sedangkan Ki Penjawi mandapat daerah Pati yang saat itu sudah berwujud kota.

Bumi Mataram adalah bekas kerajaan kuno yang runtuh tahun 929. Seiring berjalannya
waktu, daerah ini semakin sepi sampai akhirnya tertutup hutan lebat. Masyarakat
menyebut hutan yang menutupi Mataram dengan nama Alas Mentaok.

Setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549, Hadiwijaya dilantik menjadi raja baru
penerus Kesultanan Demak. Pusat kerajaan dipindah ke Pajang, di daerah pedalaman.
Pada acara pelantikan, Sunan Prapen cucu (Sunan Giri) meramalkan kelak di daerah
Mataram akan berdiri sebuah kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.
Ramalan tersebut membuat Sultan Hadiwijaya resah. Sehingga penyerahan Alas
Mentaok kepada Ki Pamanahan ditunda-tunda sampai tahun 1556. Hal ini diketahui
oleh Sunan Kalijaga, guru mereka. Keduanya pun dipertemukan. Dengan disaksikan
Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan bersumpah akan selalu setia kepada Sultan Hadiwijaya.
Maka sejak tahun 1556 itu, Ki Pamanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, pindah
ke Hutan Mentaok, yang kemudian dibuka menjadi desa Mataram. Ki Pamanahan
menjadi kepala desa pertama bergelar Ki Ageng Mataram. Adapun status desa
Mataram adalah desa perdikan atau daerah bebas pajak, di mana Ki Ageng Mataram
hanya punya kewajiban menghadap saja.

Babad Tanah Jawi juga mengisahkan keistimewaan lain yang dimiliki Ki Ageng
Pamanahan selaku leluhur raja-rajaMataram. Konon, sesudah membuka desa Mataram,
Ki Pamanahan pergi mengunjungi sahabatnya di desa Giring. Pada saat itu Ki Ageng
Giring baru saja mendapatkan buah kelapa muda bertuah yang jika diminum airnya
sampai habis, si peminum akan menurunkan raja-raja Jawa.

Ki Pamanahan tiba di rumah Ki Ageng Giring dalam keadaan haus. Ia langsung menuju
dapur dan menemukan kelapa muda ajaib itu. Dalam sekali teguk, Ki Pamanahan
menghabiskan airnya. Ki Giring tiba di rumah sehabis mandi di sungai. Ia kecewa
karena tidak jadi meminum air kelapa bertuah tersebut. Namun, akhirnya Ki Ageng
Giring pasrah pada takdir bahwa Ki Ageng Pamanahan yang dipilih Tuhan untuk
menurunkan raja-raja pulau Jawa.

Ki Ageng Pamanahan memimpin desa Mataram sampai meninggal tahun 1584. Ia


digantikan putranya, yaitu Sutawijaya sebagai pemimpin desa selanjutnya.
Kelak Sutawijaya menjadi raja Mataram Islam yang pertama dengan nama
Panembahan Senopati.

Anda mungkin juga menyukai