Ki Ageng Pamanahan
Nama lengkap
Agama Islam
Riwayat Hidup
Narasi dalam Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Pamanahan adalah putra Ki
Ageng Enis dan cucu Ki Ageng Sela. Ki Ageng Enis bertempat tinggal di Laweyan.
Mereka adalah termasuk dalam rombongan orang-orang dari Sela, suatu tempat yang
sekarang bagian dari Kabupaten Grobogan (yaitu Desa Selo), yang hijrah ke Pajang
untuk membantu Hadiwijaya, adipati Pajang (sekarang wilayah Surakarta).
Babad Tanah Jawi tidak menyebutkan nama kecilnya. Ia menikah dengan sepupunya
sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis).
Menurut Sadjarah Dalem, nama kecilnya adalah Bagus Kacung, atau Castioeng
menurut van der Horst (1707). Ia memiliki saudara angkat bernama Ki Penjawi.
Keduanya belajar pada Ki Ageng Sela. Dalam perkembangan lebih lanjut, Ki Gede
Pamanahan diangkat menjadi lurah wiratama oleh bupati Pajang.
Nama "Pamanahan" diambil dari tempat tinggalnya setelah dewasa, yaitu suatu tempat
di utara Laweyan bernama Pamanahan (sekarang menjadi Manahan, kawasan yang
dikenal sebagai pusat keolahragaan di Kota Surakarta). Suatu petilasan
berupa sendhang (kolam mata air) yang konon menjadi tempat Ki Gede Pamanahan
biasa membersihkan diri masih dapat ditemukan. Di masa pemerintahannya, atas
prakarsa Poerbatjaraka, Pangeran Adipati Mangkunegara VII membangunkan tembok
yang mengelilingi tempat tersebut.
Setelah pindah ke Mataram, ia dijuluki sebagai Kyai (Ki) Ageng Mataram. Bersama-
sama putra dan para pengikutnya, ia membuka Hutan (Alas) Mentaok (episode "Babat
Alas Mentaok" ini populer dalam lakon-lakon panggung kethoprak Mataraman di masa
kini), yang terletak di Kotagede, Yogyakarta sekarang. Perkampungan baru ini lalu
menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Mataram ketika Pajang kemudian tunduk pada
Mataram.
Ki Ageng Pamanahan, isteri dan putranya setelah wafat dimakamkan di kompleks
Pemakaman Kotagede yang berada di selatan Masjid Kotagede.
Peran awal
Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan
Mataram yaitu :
• Fakta 3 : Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh
para Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang
bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan
cara menyatu dengan garis keturunan kerajaan.
Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya
Kesultanan Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya
merupakan strategi yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk
mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan
pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus
mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah dan/atau Turki, jalur untuk keperluan
tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh dan para Wali.
Membuka Mataram
Hadiwijaya memberikan hadiah berupa tanah Mataram dan Pati. Ki Pamanahan yang
merasa lebih tua mengalah memilih Mataram yang masih berupa hutan lebat,
sedangkan Ki Penjawi mandapat daerah Pati yang saat itu sudah berwujud kota.
Bumi Mataram adalah bekas kerajaan kuno yang runtuh tahun 929. Seiring berjalannya
waktu, daerah ini semakin sepi sampai akhirnya tertutup hutan lebat. Masyarakat
menyebut hutan yang menutupi Mataram dengan nama Alas Mentaok.
Setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549, Hadiwijaya dilantik menjadi raja baru
penerus Kesultanan Demak. Pusat kerajaan dipindah ke Pajang, di daerah pedalaman.
Pada acara pelantikan, Sunan Prapen cucu (Sunan Giri) meramalkan kelak di daerah
Mataram akan berdiri sebuah kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.
Ramalan tersebut membuat Sultan Hadiwijaya resah. Sehingga penyerahan Alas
Mentaok kepada Ki Pamanahan ditunda-tunda sampai tahun 1556. Hal ini diketahui
oleh Sunan Kalijaga, guru mereka. Keduanya pun dipertemukan. Dengan disaksikan
Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan bersumpah akan selalu setia kepada Sultan Hadiwijaya.
Maka sejak tahun 1556 itu, Ki Pamanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, pindah
ke Hutan Mentaok, yang kemudian dibuka menjadi desa Mataram. Ki Pamanahan
menjadi kepala desa pertama bergelar Ki Ageng Mataram. Adapun status desa
Mataram adalah desa perdikan atau daerah bebas pajak, di mana Ki Ageng Mataram
hanya punya kewajiban menghadap saja.
Babad Tanah Jawi juga mengisahkan keistimewaan lain yang dimiliki Ki Ageng
Pamanahan selaku leluhur raja-rajaMataram. Konon, sesudah membuka desa Mataram,
Ki Pamanahan pergi mengunjungi sahabatnya di desa Giring. Pada saat itu Ki Ageng
Giring baru saja mendapatkan buah kelapa muda bertuah yang jika diminum airnya
sampai habis, si peminum akan menurunkan raja-raja Jawa.
Ki Pamanahan tiba di rumah Ki Ageng Giring dalam keadaan haus. Ia langsung menuju
dapur dan menemukan kelapa muda ajaib itu. Dalam sekali teguk, Ki Pamanahan
menghabiskan airnya. Ki Giring tiba di rumah sehabis mandi di sungai. Ia kecewa
karena tidak jadi meminum air kelapa bertuah tersebut. Namun, akhirnya Ki Ageng
Giring pasrah pada takdir bahwa Ki Ageng Pamanahan yang dipilih Tuhan untuk
menurunkan raja-raja pulau Jawa.