Anda di halaman 1dari 26

Majapahit

Kemaharajaan Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat


di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri sekitar tahun 1293 hingga 1527 M. Kerajaan
ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang
luas di Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari
tahun 1350 hingga 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Menurut Negarakertagama,
kekuasaannya terbentang dari Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan,
hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.

Historiografi
Hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit, dan sejarahnya
tidak jelas. Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-
raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno. Pararaton terutama
menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian
pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan
puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam
Wuruk. Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008 diakui sebagai bagian dalam Daftar
Ingatan Dunia (Memory of the World Programme) oleh UNESCO. Setelah masa itu, hal yang
terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun
catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal
bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti
C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti
supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan. Namun, banyak pula sarjana yang
beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan
catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak
cukup pasti. Tahun 2010 sekelompok pengusaha Jepang dipimpin Takajo Yoshiaki
membiayai pembuatan kapal Majapahit atau Spirit of Majapahit yang akan berlayar ke Asia.
Menurut Takajo, hal ini dilakukan untuk mengenang kerjasama Majapahit dan Kerajaan
Jepang melawan Kerajaan China (Mongol) dalam perang di Samudera Pasifik. Menurut Guru
Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic jangkauan
kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan
dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni.[11] Bahkan ada
perguruan silat bernama Kali Majapahit yang berasal dari Filipina dengan anggotanya dari
Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit ini mengklaim berakar dari Kerajaan Majapahit kuno
yang disebut menguasai Filipina, Singapura, Malaysia dan Selatan Thailand.
Sejarah Berdirinya Majapahit

Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini
menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan
yang bernama Meng Chi ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan
Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan
tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kubilai Khan marah dan lalu
memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara.
Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya,
menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan
ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin
mengabdi kepada Jayakatwang. Jawaban dari surat di atas disambut dengan senang hati.
[15]
 Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa
baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit"
dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol
untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden
Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang
kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing Saat itu juga
merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang,
atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari
penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang
bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa
Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang tepercaya Kertarajasa,
termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipu pemberontakan
tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra
Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut
disebutkan dalam Pararaton. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang
melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai
posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti),
Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[17] Wijaya meninggal dunia pada
tahun 1309.
Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang
berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara,
seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada
tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni
seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana
dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana
Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana
menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada
mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan
Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan
Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana
berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh
putranya, Hayam Wuruk.

Kejayaan Majapahit

Perkembangan Kemaharajaan Majapahit, bermula di Trowulan, Majapahit, Jawa Timur, pada


abad ke-13, kemudian mengembangkan pengaruhnya atas kepulauan Nusantara, hingga surut
dan runtuh pada awal abad ke-16.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari
tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan
bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit
menguasai lebih banyak wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan
Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa
Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina.[19] Sumber
ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.

Meriam Cetbang Majapahit, dari Metropolitan Museum of Art, yang diperkirakan berasal


dari abad ke-14. Perhatikan adanya lambang Surya Majapahit.
Namun, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut
tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu
sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja.[21] Majapahit juga
memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan
bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan
diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam
Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan
Sunda sebagai permaisurinya. Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian
persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke
Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan
tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di
bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di
lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan,
keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan
keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam. Tradisi menyebutkan bahwa sang
putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk
membela kehormatan negaranya. Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam
naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita
Parahiyangan. Kisah ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan
dalam Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang
adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta
sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai
pusat mandala raksasa yang membentang dari Sumatra ke Papua, mencakup Semenanjung
Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah
legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan
Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam
pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit
atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas
daerah itu dapat mengundang reaksi keras.
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan
serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.
Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadang-
kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit tampaknya adalah
mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada
saat inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.

Surutnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur
melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa
kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Kematian Hayam Wuruk dan adanya konflik
perebutan takhta menyebabkan daerah-daerah Majapahit di bagian utara Sumatra
dan Semenanjung Malaya memerdekakan diri, dimana semenanjung Malaya menjadi daerah
kekuasaan Kerajaan Ayutthaya hingga nantinya muncul Kesultanan Melaka yang didukung
oleh Dinasti Ming.
Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya
sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari
selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta. Perang saudara yang
disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi
melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana, semetara
Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan
kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang
dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa
kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah
menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara
Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki
pijakan di pantai utara Jawa.
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya,
Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua
Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita
mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah
hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar
Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 M. Terjadi jeda
waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra
Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh
Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap
Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit. Ketika Majapahit
didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara.
Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai
berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam,
yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara. Di bagian barat
kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung
kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat
Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatra. Sementara itu beberapa jajahan dan
daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan
diri.
Pada masa pemerintahan Wikramawardhana, daerah kekuasaan Majapahit di pulau Sumatra
hanya tinggal Indragiri, Jambi dan Palembang, sebagaimana ditulis pada catatan Yingyai
Shenglan ciptaan Ma Huan, salah satu penerjemah laksamana Cheng Ho. Dan setelah
kematian Wikramawardhana dan masa pemerintahan penerusnya, daerah Indragiri diberikan
kepada Mansur Syah dari Malaka sebagai hadiah pernikahannya dengan putri Majapahit,
yang semakin mengurangi kendali Majapahit di Sumatra.
Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan dengan Bhre Kertabumi,
Singhawikramawardhana mengasingkan diri ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan
Kediri) dan terus melanjutkan pemerintahannya di sana hingga digantikan oleh
putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi
dengan memanfaatkan ketidakpuasan umat Hindu dan Budha atas kebijakan Bhre Kertabumi
serta mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada
kurun waktu 1474 hingga 1498 dengan gelar Girindrawardhana hingga ia digulingkan oleh
Patih Udara. Akibat konflik dinasti ini, Majapahit menjadi lemah dan mulai bangkitnya
kekuatan kerajaan Demak yang didirikan oleh keturunan Bhre Wirabumi di pantai utara
Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun
1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan
berakhirnya suatu pemerintahan) hingga tahun 1527.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang
kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca
sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna
hilanglah kemakmuran bumi”. Namun yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala
tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit,
oleh Girindrawardhana. Raden Patah yang saat itu adalah adipati Demak sebetulnya berupaya
membantu ayahnya dengan mengirim bala bantuan dipimpin oleh Sunan Ngudung, tetapi
mengalami kekalahan dan bahkan Sunan Ngudung meninggal di tangan Raden Kusen adik
Raden Patah yang memihak Ranawijaya hingga para dewan wali menyarankan Raden Fatah
untuk meneruskan pembangunan masjid Demak.
Hal ini diperkuat oleh prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah
mengalahkan Kertabhumi dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu
perang antara Ranawijaya dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah
keturunan Kertabhumi. Pada masa ini, Demak sudah menjadi penguasa pesisir Jawa yang
dominan, dan mereka mengambil alih daerah Jambi dan Palembang dari kekuasaan
Majapahityang telah terpukul dan berfokus di pedalaman pulau Jawa. Sebenarnya perang ini
sudah mulai mereda ketika Patih Udara melakukan kudeta ke Girindrawardhana dan
mengakui kekuasan Demak bahkan menikahi anak termuda Raden Patah, tetapi peperangan
berkecamuk kembali ketika Prabu Udara meminta bantuan Portugis untuk mengalahkan
Demak. Sehingga pada tahun 1527, Demak melakukan serangan ke Daha yang mengakhiri
sejarah Majapahit dan ke Malaka. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota
keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk
menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung
Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan
Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit. Demak di bawah
pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus
kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah
karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan
bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke
tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama
yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang
masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan
Sunda yang beribu kota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar
seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung
masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger,
kawasan Bromo dan Semeru.
Militer dan persenjataan
Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik
pembuatan keris berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami
penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-Majapahit dikenal
berat namun semenjak masa ini dan seterusnya, bilah keris yang ringan tetapi kuat menjadi
petunjuk kualitas sebuah keris. Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran
kalangan aristokrat juga berkembang pada masa ini dan meluas ke berbagai penjuru
Nusantara, terutama di bagian barat.
Berdasarkan buku Sejarah Yuan, prajurit pada masa Majapahit awal didominasi oleh infanteri
ringan. Pada saat serbuan Mongol ke Jawa (1293), tentara Jawa dideskripsikan sebagai
prajurit yang dimobilisasi sementara dari petani dan beberapa prajurit bangsawan. Para
bangsawan berbaris di garis depan, dan pasukan belakang yang besar berformasi T terbalik.
"Tentara petani" Jawa berpakaian setengah telanjang dan ditutupi dengan kain katun di
bagian pinggangnya (sarung). Sebagian besar senjata adalah busur dan panah, tombak bambu,
dan pedang pendek. Kaum aristokrat sangat dipengaruhi oleh budaya India, biasanya
dipersenjatai dengan pedang dan tombak, dan berpakaian putih.

Senjata mesiu yang digunakan oleh Majapahit:

 Sebuah cetbang berlaras ganda di atas kereta meriam (gun carriage), dengan garpu
putar, sekitar tahun 1522. Mulut meriam berbentuk Nāga Jawa.
 Gambaran sebuah meriam galah China yang ditemukan di Jawa, 1421 masehi.
Kemungkinan meriam galah Jawa, yakni bedil tombak, dimodelkan dari senjata ini.
Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak dan meriam kapal
sederhana yang disebut Cetbang. Majapahit di bawah Mahapatih (perdana menteri) Gajah
Mada memanfaatkan teknologi senjata bubuk mesiu yang diperoleh dari dinasti Yuan untuk
digunakan dalam armada laut. Saat ini salah satu koleksi Cetbang Majapahit tersebut berada
di The Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika.
Cetbang dipasang sebagai meriam tetap atau meriam putar, cetbang ukuran kecil dapat
dengan mudah dipasang di kapal kecil yang
disebut Penjajap (Portugis: Pangajaua atau Pangajava), dan juga Lancaran. Meriam ini
dipergunakan sebagai senjata anti personil, bukan anti kapal. Pada zaman ini, bahkan sampai
abad ke 17, prajurit angkatan laut Nusantara bertempur di panggung yang biasa disebut Balai
(lihat gambar kapal). Ditembakan pada kumpulan prajurit dengan peluru scattershot (peluru
sebar atau peluru gotri, dapat berupa grapeshot, case shot, atau paku dan batu), cetbang
sangat efektif untuk pertempuran jenis iniMajapahit memiliki pasukan elit yang
disebut Bhayangkara. Tugas utama pasukan ini adalah untuk melindung raja dan kaum
bangsawan, namun mereka juga dapat diterjunkan ke pertempuran jika diperlukan. Hikayat
Banjar mencatat perlengkapan Bhayangkara di istana Majapahit:
... dengan perhiasannya orang berbaju rantai empat puluh serta pedangnya
berkopiah taranggos sachlat merah, orang membawa astengger [senapan sundut] empat
puluh, orang membawa perisai serta pedangnya empat puluh, orang membawa dadap [perisai
rotan] serta sodoknya [senjata mirip tombak dengan mata lebar] sepuluh, orang membawa
panah serta anaknya sepuluh, yang membawa tombak rampukan bersulam emas empat puluh,
yang membawa tameng Bali bertulis air empat puluh.

— Hikayat Banjar. 6.3

Bagian yang dipotong dari peta Laut Cina di atlas Miller, men
 

Baju besi dari sebuah patung candi di Singasari.


 
Menurut catatan China, prajurit yang lebih kaya menggunakan baju pelindung yang
disebut kawaka. Baju pelindung ini berbentuk seperti tabung panjang dan terbuat dari
tembaga yang dicetak. Walaupun begitu, prajurit yang lebih miskin pergi berperang dengan
telanjang dada. Jenis baju zirah lain yang digunakan di Jawa era Majapahit adalah waju
rante (zirah rantai) dan karambalangan (lapisan logam yang dikenakan di depan
dada). Dalam Kidung Sunda pupuh 2 bait 85 dijelaskan bahwa mantri-mantri (menteri atau
perwira) Gajah Mada mengenakan baju besi dalam bentuk zirah rantai atau plastron dengan
hiasan emas dan mengenakan pakaian kuning, sedangkan dalam Kidung Sundayana pupuh 1
bait 95 disebutkan bahwa Gajah Mada mengenakan karambalangan berhias timbul dari emas,
bersenjata tombak berlapis emas, dan perisai penuh dengan hiasan dari intan berlian.
Majapahit juga mengawali penggunaan senjata api di Nusantara. Meskipun pengetahuan
membuat senjata berbasis serbuk mesiu di Nusantara sudah dikenal setelah serangan Mongol
ke Jawa, dan pendahulu senjata api, yaitu meriam galah (bedil tombak), dicatat digunakan
oleh Jawa pada tahun 1413,pengetahuan membuat senjata api sejati datang jauh kemudian,
setelah pertengahan abad ke-15. Ia dibawa oleh negara-negara Islam di Asia Barat,
kemungkinan besar oleh orang Arab. Tahun pengenalan yang tepat tidak diketahui, tetapi
dapat dengan aman disimpulkan tidak lebih awal dari tahun 1460. Suatu catatan tentang
penggunaan senjata api pada pertempuran melawan pasukan Giri pada sekitar tahun 1500-
1506 berbunyi:
"... wadya Majapahit ambedili, dene wadya Giri pada pating jengkelang ora kelar nadhahi
tibaning mimis ..."
"... pasukan Majapahit menembaki (bedil=senjata api), sementara pasukan Giri berguguran
karena mereka tidak kuat dihujani peluru (mimis=peluru bulat)..."
- Serat Darmagandhul
Tidak diketahui secara pasti jenis senjata api apa yang digunakan dalam pertempuran ini.
Kata "bedhil" dapat merujuk ke beberapa jenis senjata bubuk mesiu yang berbeda. Itu
mungkin merujuk pada arquebus Jawa (Zua Wa Chong - 爪哇銃) yang dilaporkan oleh orang
China. Arquebus ini memiliki kemiripan dengan arquebus Vietnam pada abad ke-17. Senjata
ini sangat panjang, dapat mencapai 2,2 m panjangnya, dan memiliki dudukan bipod yang
dapat ditekuk.
Catatan Tome Pires tahun 1513 menyebutkan pasukan tentara Gusti Pati, wakil raja Batara
Brawijaya, berjumlah 200.000 orang, 2.000 diantaranya adalah prajurit berkuda dan 4.000
adalah musketir. Duarte Barbosa sekitar tahun 1514 mengatakan bahwa penduduk Jawa
sangat ahli dalam membuat artileri dan merupakan penembak artileri yang baik. Mereka
membuat banyak meriam 1 pon (cetbang atau rentaka), senapan
lontak panjang, spingarde (arquebus), schioppi (meriam tangan), api Yunani, gun (bedil besar
atau meriam), dan senjata api atau kembang api lainnya. Setiap tempat disana dianggap
sangat baik dalam mencetak/mengecor artileri, dan juga dalam ilmu penggunaanya.
Kavaleri sejati pertama, unit terorganisir dari penunggang kuda yang kooperatif, mungkin
telah muncul di Jawa selama abad ke-12 M. Naskah Jawa kuno kakawin
Bhomāntaka menyebutkan kisah kuda Jawa awal dan sejarah menunggang kuda Naskah
tersebut mungkin mencerminkan konflik (secara alegoris) antara kavaleri Jawa yang baru jadi
dan infanteri elit mapan yang membentuk inti dari pasukan Jawa sampai abad ke-12. Pada
abad ke-14 M, Jawa menjadi peternak kuda yang penting dan pulau ini bahkan terdaftar di
antara pemasok kuda ke Cina. Selama masa Majapahit, jumlah kuda dan kualitas kuda
keturunan Jawa terus berkembang sehingga pada tahun 1513 masehi Tomé Pires memuji
kuda-kuda yang sangat dihiasi dari bangsawan Jawa, dilengkapi
dengan sanggurdi bertatahkan emas dan pelana yang dihiasi dengan mewah yang "tidak
ditemukan di tempat lain di dunia".

Sebuah lancaran dari Madura. Perhatikan adanya panggung tempur atau "balai" di atas
geladak utamanya.
Untuk angkatan laut, armada Majapahit menggunakan djong/jong secara besar-besaran
sebagai kekuatan lautnya. Pada puncaknya Majapahit memiliki 5 armada perang. Tidak
diketahui secara pasti berapa jumlah total jong yang dimiliki Majapahit, tetapi jumlah
terbesar yang pernah digunakan dalam satu ekspedisi adalah berjumlah 400 buah, tepatnya
saat Majapahit menyerang Pasai. Setiap kapal berukuran panjang sekitar 70-180 meter, berat
sekitar 500-800 ton dan dapat membawa 200-1000 orang. Kapal ini dipersenjatai meriam
sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang berukuran kecil. Sebuah jong dari tahun 1420
memiliki daya muat 2000 ton dan hampir saja menyeberangi samudera
Atlantik. Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit
setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal besar dan 2000 kapal yang
lebih kecil. Kapal yang dinaiki keluarga kerajaan adalah sebuah jong hibrida Cina-Asia
tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wagunan ring Tatarnagari
tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik China dalam pembuatannya, yaitu
menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air
(watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral. Jenis kapal lain yang digunakan
Majapahit adalah malangbang, kelulus, lancaran, penjajap, jongkong, cerucuh, tongkang,
dan pelang. Penggambaran angkatan laut Majapahit di masa modern sering kali
menggambarkan kapal-kapal bercadik, namun pada kenyataannya kapal ini berasal dari abad
ke-8 yaitu kapal Borobudur, yang digunakan dinasti Sailendra. Penelitian oleh Nugroho
menyimpulkan bahwa kapal yang digunakan oleh Majapahit tidak menggunakan cadik, dan
menggunakan ukiran Borobudur sebagai dasar rekonstruksi kapal Majapahit adalah salah.

Penjelajahan dan navigasi


Selama era Majapahit penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya.
Ludovico di Varthema (1470-1517), dalam bukunya Itinerario de Ludouico de Varthema
Bolognese menyatakan bahwa orang Jawa Selatan berlayar ke "negeri jauh di selatan" hingga
mereka tiba di sebuah pulau di mana satu hari hanya berlangsung selama empat jam dan
"lebih dingin daripada di bagian dunia mana pun". Penelitian modern telah menentukan
bahwa tempat tersebut terletak setidaknya 900 mil laut (1666 km) selatan dari titik paling
selatan Tasmania.
Orang Jawa, seperti suku-suku Austronesia lainnya, menggunakan sistem navigasi yang
mantap: Orientasi di laut dilakukan menggunakan berbagai tanda alam yang berbeda-beda,
dan dengan memakai suatu teknik perbintangan sangat khas yang dinamakan star path
navigation. Pada dasarnya, para navigator menentukan haluan kapal ke pulau-pulau yang
dikenali dengan menggunakan posisi terbitnya dan terbenamnya bintang-bintang tertentu di
atas cakrawala. Pada zaman Majapahit, kompas dan magnet telah digunakan, selain
itu kartografi (ilmu pemetaan) telah berkembang. Pada tahun 1293 Raden Wijaya
memberikan sebuah peta dan catatan sensus penduduk pada pasukan Mongol dinasti Yuan,
menunjukkan bahwa pembuatan peta telah menjadi bagian formal dari urusan pemerintahan
di Jawa. Penggunaan peta yang penuh garis-garis memanjang dan melintang, garis rhumb,
dan garis rute langsung yang dilalui kapal dicatat oleh orang Eropa, sampai-sampai orang
Portugis menilai peta Jawa merupakan peta terbaik pada awal tahun 1500-an.
Ketika Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka (1511), orang Portugis mendapatkan
sebuah peta dari seorang mualim Jawa, yang juga menampilkan bagian dari benua Amerika.
Mengenai peta itu, Albuquerque berkata:
"... peta besar seorang mualim Jawa, yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan
tanah Brazil, Laut Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, navigasi orang Cina dan
Gom, dengan garis rhumb dan rute langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir
(hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan satu sama lain. Bagiku, Tuan, ini adalah hal
terbaik yang pernah saya lihat, dan Yang Mulia akan sangat senang melihatnya memiliki
nama-nama dalam tulisan Jawa, tetapi saya punya saya orang Jawa yang bisa membaca dan
menulis, saya mengirimkan karya ini kepada Yang Mulia, yang ditelusuri Francisco
Rodrigues dari yang lain, di mana Yang Mulia dapat benar-benar melihat di mana orang
Cina dan Gore (Jepang) datang, dan tentu saja kapal Anda harus pergi ke Kepulauan
Cengkih, dan di mana tambang emas ada, pulau Jawa dan Banda, tindakan seperiodenya, dari
siapa pun sezamannya, dan tampaknya sangat mungkin bahwa apa yang dia katakan adalah
benar..." - Surat untuk raja Manuel I dari Portugal, April 1512.

Kebudayaan

Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota
Majapahit.

Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan.


"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah" [Dalam
lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai
pemandangan dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di
atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa
saja yang memandangnya".
— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa
seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam
kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan
dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak.
Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu
kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai
oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan
Nusantara yang menikmati otonomi luas.
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar
keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa,
dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap
sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak
menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi
istana muslim saat itu.
Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek
Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya. Candi-candi Majapahit berkualitas baik
secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai
perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi
Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto. Beberapa elemen arsitektur berasal
dari masa Majapahit, antara lain gerbang terbelah candi bentar, gapura paduraksa (kori
agung) beratap tinggi, dan pendopo berdasar struktur bata. Gaya bangunan seperti ini masih
dapat ditemukan dalam arsitektur Jawa dan Bali.
".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk
banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana
yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya
berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China
beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil
mengalahkannya."
— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).
Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari
catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan
Pendeta Odorico da Pordenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatra,
Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di
Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus
Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan
Nikobar hingga mencapai Sumatra, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke
Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa
pada 1330.
Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat
yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di
pulau ini terdapat banyak cengkih, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia
menyebutkan istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan
perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi
selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di sini tak lain
adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa
pemerintahan Jayanegara.
Diplomat Portugis Tome Pires, yang mengunjungi Nusantara pada 1512, mencatat
kebudayaan Jawa pada akhir zaman Majapahit. Kisah Pires menceritakan tentang para tuan
dan bangsawan di Jawa. Mereka digambarkan sebagai:
... tinggi dan tampan, dengan dekorasi mewah, dan mereka memiliki banyak kuda yang
sangat dihiasi. Mereka menggunakan keris, pedang, dan tombak dari berbagai jenis,
semuanya bertatahkan emas. Mereka adalah pemburu dan penunggang kuda yang hebat -
kuda itu memiliki sanggurdi semua bertatahkan emas dan pelana yang juga bertatahkan, yang
tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia. Penguasa Jawa begitu mulia dan agung
sehingga tidak ada bangsa yang bisa dibandingkan dengan mereka di wilayah yang luas di
bagian ini. Kepala mereka dicukur - setengah dicukur - sebagai tanda keindahan, dan mereka
selalu mengusap rambut mereka dari dahi ke atas tidak seperti yang dilakukan orang Eropa.
Penguasa Jawa dipuja seperti dewa, dengan rasa hormat yang tinggi dan penghormatan yang
dalam.
Para bangsawan pergi berburu atau mencari kesenangan dengan gaya yang agung. Mereka
menghabiskan seluruh waktu mereka dalam kesenangan, pengiring memiliki begitu banyak
tombak dengan gagang emas dan perak, begitu kaya tatahannya, dengan begitu banyak anjing
jenis harrier, greyhound dan anjing lainnya; dan mereka memiliki begitu banyak gambar
yang dilukis dengan pemandangan dan pemandangan berburu. Pakaian mereka dihiasi
dengan emas, keris, pedang, pisau, kelewang mereka semua bertatahkan emas; mereka
memiliki sejumlah selir, kuda jennet, gajah, lembu untuk menarik kereta dari kayu yang dicat
dan bersepuh emas. Para bangsawan pergi dengan kereta kemenangan, dan jika mereka pergi
melalui laut mereka pergi dengan kelulus yang dicat dan dihiasi; ada apartemen indah untuk
wanita mereka, tempat lain untuk para bangsawan yang menemaninya.

Kesusasteraan
Pada zaman Majapahit ditulis berbagai kakawin (puisi berbahasa Jawa Kuno),
seperti Negarakertagama, prosa, seperti Pararaton, dan juga muncul berbagai cerita
kembangan (carangan, spin off) dari epos raya India dalam bentuk kidung (seperti Tantu
Panggelaran, Garudeya, dan Sudhamala) maupun cerita lisan yang populer hingga masa kini,
seperti lingkaran cerita Panji, kisah Sri Tanjung, dan kisah Bhubuksah dan Gagangaking.
Berbagai ukiran batu candi dari masa ini banyak mengabadikan fragmen cerita-cerita tersebut

Ekonomi
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan. Pajak dan denda
dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad
ke-8 pada masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan
perak. Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah
perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng"
yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping
koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk
di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa
koin tersebut berasal dari era Majapahit. Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini
tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan
semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh
dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari
di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak
yang mahal.
Tau-I Chi, yang ditulis sekitar 1350 M, menyebutkan tentang kekayaan dan kemakmuran
Jawa pada masa itu:
"Ladang-ladang di Jawa kaya dan tanahnya rata dan berair baik, maka dari itu gandum dan
beras berlimpah, dua kali lipat di negara lain. Orang-orang tidak mencuri, dan apa yang
dijatuhkan di jalan tidak diambil. Pepatah umum: "Jawa yang makmur" berarti negara ini.
Pria dan wanita menutup kepala mereka dan mengenakan pakaian panjang."
Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari
berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan
sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri
(mandala Jawa). Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan
spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal
atau tukang daging. Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak
zaman sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata
pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.
Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu
ialah lada, garam, kain, dan burung Kakaktua, sedangkan komoditas impornya
adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata
uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu,
catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa
pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak,
dan permata.
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama adalah kesuburan lahan di
lembah Sungai Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara mendukung
pertanian padi. Pada masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi,
sebagian dengan dukungan pemerintah. Faktor kedua adalah pelabuhan-pelabuhan Majapahit
di pantai utara Jawa yang berperan penting sebagai ekspor-impor serta transit bagi
komoditas rempah-rempah dari timur (Maluku). Pajak yang dikenakan pada komoditas
rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.
Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemasyhuran penguasa Wilwatikta telah menarik
banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan Tiongkok. Pajak
khusus dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan
melakukan pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri
untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan
maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.
Selama era Majapahit, hampir semua komoditas dari Asia ditemukan di Jawa. Ini
dikarenakan perdagangan laut ekstensif yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit yang
menggunakan berbagai jenis kapal, terutamanya jong, untuk berdagang ke tempat-tempat
yang jauh. Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) yang mengunjungi Jawa pada 1413,
menyatakan bahwa pelabuhan di Jawa adalah memperdagangkan barang dan menawarkan
layanan yang lebih banyak dan lebih lengkap daripada pelabuhan lain di Asia Tenggara.

Struktur pemerintahan
Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak
berubah selama perkembangan sejarahnya. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia
dan ia memegang otoritas politik tertinggi.
Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para
putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan
kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:

 Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja


 Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
 Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
 Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting
yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai
perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan
pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang
anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

Pembagian wilayah

Kawasan inti Majapahit dan provinsinya (Mancanagara) di kawasan Jawa Timur dan
Jawa Tengah, termasuk pulau Madura dan Bali.
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari, terdiri
atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini
diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre atau "Bhatara
i". Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah
untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka,
memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di
perbatasan daerah yang mereka pimpin.
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit,
yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di
kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:

1. Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja


2. Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre
(pangeran atau bangsawan)
3. Watek: dikelola oleh wiyasa,
4. Kuwu: dikelola oleh lurah,
5. Wanua: dikelola oleh thani,
6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.

Hubunga
N
Provinsi Gelar Penguasa n dengan
o
Raja

Kahuripan (atau Janggala, Bhre Tribhuwanatunggadew


1 ibu suri
sekarang Sidoarjo) Kahuripan i

bibi
Daha (bekas ibu kota Bhre sekaligus
2 Rajadewi Maharajasa
dari Kediri) Daha ibu
mertua

Tumapel (bekas ibu kota Bhre


3 Kertawardhana ayah
dari Singhasari) Tumapel

4 Wengker (sekarang Ponorogo) Bhre Wijayarajasa paman


Wengker sekaligus
ayah
mertua

suami dari
Putri
Matahun (sekarang Bojonegor Bhre
5 Rajasawardhana Lasem,
o) Matahun
sepupu
raja

Bhre
Bhre Wirabhumi[Catatan
6 Wirabhumi (Blambangan) Wirabhum 4]1 anak
i

saudara
Bhre
7 Paguhan Singhawardhana laki-laki
Paguhan
ipar

anak
Bhre Kusumawardhani[Catatan
8 Kabalan perempua
Kabalan 5]2
n

keponaka
Bhre n
9 Pawanuan Surawardhani
Pawanuan perempua
n

Lasem (kota pesisir di Jawa Bhre


10 Rajasaduhita Indudewi sepupu
Tengah) Lasem

saudara
Bhre
11 Pajang (sekarang Surakarta) Rajasaduhita Iswari perempua
Pajang
n

keponaka
Mataram (sekarang Yogyakart Bhre Wikramawardhana[Catata
12 n laki -
a) Mataram n 5]2
laki
Catatan:
1
 Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi (blambangan),
nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut sebagai Bhre Wirabhumi dari
Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani, keponakan perempuan raja.
2
 Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan laki-
laki raja), pasangan ini lalu menjadi pewaris tahta.

Prasasti ini tidak menyebutkan beberapa daerah yang telah diketahui merupakan dibawah
kekuasaan Majapahit berdasarkan sumber-sumber luar, seperti Sulalatus Salatin dan buku
Suma Oriental ciptaan Tome Pires. Daerah-daerah ini termasuk:

 Indragiri di Sumatra dan Siantan (sekarang Pontianak pada pesisir barat Kalimantan),


yang menurut Sulalatus Salatin, diberikan sebagai hadiah pernikahan kepada Kesultanan
Malaka atas pernihkahan sultan Mansur Syah dari Malaka dengan putri Majapahit. Sultan
Mansur Syah memerintah pada tahun 1459 - 1477, sehingga pada tahun 1447 artinya
Indragiri dan Siantan masih dibawah kekuasaan Majapahit.
 Jambi dan Palembang, yang hanya mulai lepas dari genggaman Majapahit ketika diambil-
alih oleh Kesultanan Demak pada saat masa perangnya melawan Majapahit yang
diperintah Ranawijaya. Perang antara Demak dan Majapahit terjadi sekitar tahun 1478 -
1498 ketika Ranawijaya membunuh Bhre Kertabhumi dan terusir kembali ke Daha oleh
pasukan Demak
 Dan Bali yang merupakan daerah pengungsian terakhir para bangsawan, seniman,
pendeta dan penduduk agama Hindu di Jawa ketika Majapahit runtuh oleh Demak.
Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada,
beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit,
sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:

 Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit
Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang
termasuk area ini adalah ibu kota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara
efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa,
dengan semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan
kerabat dekat raja.
 Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung
dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi,
area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan
membentuk persekutuan atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan
Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur
kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka
menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah Mancanegara termasuk di
dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan
juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
 Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke
dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi
yang cukup luas dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk
menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun
yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan menuai reaksi keras.
Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa
Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.
Ketiga kategori tersebut masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan
tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan
diplomatik luar negeri.
Hubungan diplomatik
Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dalam menjalin persekutuan. Semboyan Mitreka
Satata digunakan oleh Mahapatih Gajah Mada sebagai landasan dalam menjalankan politik
luar negeri Majapahit yang bersifat kekerabatan, hidup berdampingan secara damai dengan
negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Kutipan ini berasal dari
Kakawin Nagarakretagama pupuh 15, bait 1. Lengkapnya ialah:
Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian diidentifikasi
oleh sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat
atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik
bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut.[81] Daerah-daerah bawahan yang termasuk
dalam lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya
memiliki pemimpin asli penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup
luas. Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit, tetap
menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan
pusat di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam kerajaan-
kerajaan sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor, serta mandala-mandala tetangga
Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan Champa.

Raja-raja Majapahit
Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai
dalam gambar ini.

Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis
oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah
daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara
pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin
diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua
kelompok

Nama Raja Gelar Tahun

Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana 1293 - 1309

Sri Maharaja Wiralandagopala Sri


Jayanagara 1309 - 1328
Sundarapandya Dewa Adhiswara

Tribhuwana Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa


1328 - 1350
Wijayatunggadewi Jayawisnuwardhani

Hayam Wuruk Maharaja Sri Rajasanagara 1350 - 1389


Wikramawardhana Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama 1389 - 1429

Suhita Prabu Stri Suhita 1429 - 1447

Kertawijaya Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana 1447 - 1451

Rajasawardhana Rajasawardhana Sang Sinagara 1451 - 1453

Girishawardhana Girishawardhana Dyah Suryawikrama 1456 - 1466

Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana


Suraprabhawa 1466 - 1474
Giripati Pasutabhupati Ketubhuta

-Girindrawarddhana Dyah Wijayakarana
-Dyah Wijayakarana
-Girindrawarddhana Dyah Wijayakusuma
-Dyah Wijayakusuma 1474 - 1527
-Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya
-Dyah Raṇawijaya
(Brawijaya V)

Girindrawarddhana
Girīndrawarddhana adalah gelar bagi tiga raja Majapahit terakhir. Ketiga raja Majapahit
yang menggunakan gelar ini adalah anak-anak dari Rajasawardhana Sang Sinagara (Raja
Majapahit ke-8), yaitu : Dyah Wijayakarana, Dyah Wijayakusuma dan Dyah
Ranawijaya Gelar ini ditemukan dalam Prasasti Waringinpitu yang bertahun 1369 Saka (1447
M), serta Prasasti Ptak (OJO XCI) dan Prasasti Jiwu (OJO XCII-XCV) yang keduanya
bertahun 1408 Saka (1486 M).
Brawijaya
Brawijaya atau Bhra Wijaya atau Prabu Brawijaya adalah gelar yang dianggap melekat pada
penguasa Majapahit, khususnya Dyah Ranawijaya dengan gelar "Brawijaya V" yang
dianggap penguasa terakhirnya. Sebagai gelar historis, gelar ini diragukan karena sampai saat
ini tidak ada sumber dari masa Majapahit yang menyebutkan adanya gelar Brawijaya.

Warisan sejarah
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara
pada abad-abad berikutnya.
Legitimasi politik
Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi
atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi
keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton
Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar
istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin
langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibu kota
Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha
membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit — sering kali
dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi
dianggap meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar
dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan
Majapahit.
Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit,
disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang
dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini. Dalam propaganda yang
dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang
masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari Majapahit yang
diromantiskan. Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa,
sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi
kekuasaan negara. Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang
luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.
Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit.
Bendera kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih" atau kadang disebut "Dwiwarna" ("dua
warna"), berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal
perang TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna
Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", dikutip dari "Kakawin
Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga Majapahit.
Arsitektur

Sepasang patung penjaga gerbang abad ke-14 dari kuil Majapahit di Jawa Timur


Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di
Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibu kota
Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai
bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini.
Meskipun bata merah sudah digunakan jauh lebih awal, para arsitek Majapahitlah yang
menyempurnakan teknik pembuatan struktur bangunan bata ini.
Beberapa elemen arsitektur kompleks bangunan di Jawa dan Bali diketahui berasal dari masa
Majapahit. Misalnya gerbang terbelah candi bentar yang kini cenderung dikaitkan dengan
arsitektur Bali, sesungguhnya merupakan pengaruh Majapahit, sebagaimana ditemukan
pada Candi Wringin Lawang, salah satu candi bentar tertua di Indonesia. Demikian pula
dengan gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berlandaskan struktur
bata. Pengaruh citarasa estetika dan gaya bangunan Majapahit dapat dilihat pada
kompleks Keraton Kasepuhan di Cirebon, Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah, dan Pura
Maospait di Bali. Tata letak kompleks bangunan berupa halaman-halaman berpagar bata yang
dihubungkan dengan gerbang dan ditengahnya terdapat pendopo, merupakan warisan
arsitektur Majapahit yang dapat ditemukan dalam tata letak beberapa kompleks keraton di
Jawa serta kompleks puri (istana) dan pura di Bali.

Kesenian modern
Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi sumber
inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk menuangkan
kreasinya, terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan
dengan masa tersebut.
Puisi lama
Serat Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama
pena Ki Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah
tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari agama
sinkretis "Hindu" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.
Komik dan strip komik
Serial "Mahesa Rani" karya Teguh Santosa yang dimuat di Majalah Hai, mengambil latar
belakang pada masa keruntuhan Singhasari hingga awal-awal karier Mada (Gajah Mada),
adik seperguruan Lubdhaka, seorang rekan Mahesa Rani.

 Komik/Cerita bergambar Imperium Majapahit, karya Jan Mintaraga.


 Komik Majapahit karya R.A. Kosasih
 Strip komik "Panji Koming" karya Dwi Koendoro yang dimuat di surat kabar "Kompas"
edisi Minggu, menceritakan kisah sehari-hari seorang warga Majapahit bernama Panji
Koming.
 Komik "Dharmaputra Winehsuka", karya Alex Irzaqi, kisah Ra Kuti dan Ra Semi dalam
latar peristiwa pemerontakan Nambi 1316 M.
Roman/novel sejarah
Sandyakalaning Majapahit (1933), roman sejarah dengan setting masa keruntuhan Majapahit,
karya Sanusi Pane.

 Pelangi Di langit Singasari (1968 - 1974), roman sejarah dengan setting zaman kerajaan


Kediri dan Singasari, karya S. H. Mintardja.
 Bara Di Atas Singgasana, roman sejarah dengan setting zaman kerajaan singasari dan
Majapahit, karya S. H. Mintardja
 Kemelut Di Majapahit, roman sejarah dengan setting masa kejayaan Majapahit,
karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo.
 Zaman Gemilang (1938/1950/2000), roman sejarah yang menceritakan akhir masa
Singasari, masa Majapahit, dan berakhir pada intrik seputar terbunuhnya Jayanegara,
karya Matu Mona/Hasbullah Parinduri.
 Senopati Pamungkas (1986/2003), cerita silat dengan setting runtuhnya Singhasari dan
awal berdirinya Majapahit hingga pemerintahan Jayanagara, karya Arswendo
Atmowiloto.
 Arus Balik (1995), sebuah epos pasca kejayaaan Nusantara pada awal abad 16,
karya Pramoedya Ananta Toer.
 Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit (2005), roman karya Hermawan
Aksan tentang Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan Sunda yang gugur
dalam Peristiwa Bubat.
 Gajah Mada (2005), sebuah roman sejarah berseri yang mengisahkan kehidupan Gajah
Mada dengan ambisinya menguasai Nusantara, karya Langit Kresna Hariadi.
 Jung Jawa (2009), sebuah antologi cerita pendek berlatar Nusantara, karya Rendra
Fatrisna Kurniawan, diterbitkan Babel Publishing dengan ISBN 978-979-25-3953-0.
Film/sinetron
Tutur Tinular, suatu adaptasi film karya S. Tidjab dari serial sandiwara radio. Kisah ini
berlatar belakang Kerajaan Singhasari pada pemerintahan Kertanegara hingga Majapahit
pada pemerintahan Jayanagara.

 Saur Sepuh, suatu adaptasi film karya Niki Kosasih dari serial sandiwara radio yang
populer pada kurun dasawarsa pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an. Film ini
sebetulnya lebih berfokus pada sejarah Pajajaran namun berkait dengan Majapahit pula.
 Walisanga, sinetron Ramadan tahun 2003 yang berlatar Majapahit pada masa Brawijaya
V hingga Kesultanan Demak pada zaman Sultan Trenggana.
 Puteri Gunung Ledang, sebuah film Malaysia tahun 2004, mengangkat cerita berdasarkan
legenda Melayu terkenal, Puteri Gunung Ledang. Film ini menceritakan kisah percintaan
Gusti Putri Retno Dumilah, seorang putri Majapahit, dengan Hang Tuah, seorang
perwira Kesultanan Malaka.
Permainan video
Civilization V: Brave New World yang terbit pada Juli 2013, terdapat
peradaban Indonesia dengan tokoh pemimpinnya Gajah Mada. Meskipun dinamakan
peradaban 'Indonesia', namun perdaban ini menggunakan Surya Majapahit sebagai
simbolnya. Peradaban ini memiliki bangunan unik yaitu Candi, yang memiliki ikon
bergambar Candi bentar di Trowulan, Mojokerto.

 Kemudian pada Civilization VI sebuah DLC memiliki salah satu pemimpin Majapahit,


Dyah Gitarja sebagai pemimpin peradaban Indonesia dengan simbolnya berupa Surya
Majapahit yang lebih sederhana. Unit unik untuk peradaban ini adalah jong, yang
menggantikan frigate.
 Age of Empires II: The Age of Kings ekspansi keempat Rise of Rajas yang terbit pada
Desember 2016, menampilkan misi sebagai Gajah Mada, dari awal pendirian Majapahit
mengusir tentara Mongolia dan Kediri (Kerajaan Singhasari), menaklukkan kerajaan-
kerajaan lain di kepulauan Nusantara setelah Sumpah Palapa hingga peristiwa Perang
Bubat yang mengakhiri karier Gajah Mada sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit.
Bangunan Candi bentar, Gapura Bajang Ratu serta Candi Kalasan ditampilkan secara
visual pada misi Gajah Mada. Gajah Mada juga muncul di Age of Empires II Definitive
Edition yang dirilis pada November 2019.
 Bendera Majapahit, Getih-Getah Samudra atau Gula Kelapa, ada dalam Age of Empires
III Definitive Edition (rilis Oktober 2020) sebagai bendera untuk Indonesia, sebuah
negara revolusioner yang hadir bagi peradaban Belanda. Sebuah unit bernama Cetbang
Cannon tersedia untuk Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai