Anda di halaman 1dari 18

KERAJAAN MAJAPAHIT

Majapahit adalah sebuah kemaharajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri sekitar
tahun 1293 hingga 1527 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang
menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari
tahun 1350 hingga 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai
kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.[2] Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang
dari Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Filipina (Kepulauan
Sulu, Manila (Saludung)), Sulawesi, Papua, dan lainnya.

Historiografi
Sejarah mengenai kemaharajaan Majapahit masih menjadi salah satu subjek penelitian yang menarik untuk
dibahas dan ditelusuri lebih jauh lagi.[4][5] Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan diantaranya
adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa
Kuno.[6] Pararaton menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian
pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang
ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Kakawin Nagarakretagama
pada tahun 2008 diakui sebagai bagian dalam Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World Programme)
oleh UNESCO.[7] Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah
dari Tiongkok dan negara-negara lain.[8]
Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap sebagian naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi
memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan.[9] Namun, banyak pula sarjana yang
beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan
sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang cukup meyakinkan.[5] Tahun
2010 sekelompok pengusaha Jepang dipimpin Takajo Yoshiaki membiayai pembuatan kapal Majapahit
atau Spirit of Majapahit yang akan berlayar ke Asia. Menurut Takajo, hal ini dilakukan untuk mengenang
kerjasama Majapahit dan Kerajaan Jepang melawan Kerajaan China (Mongol) dalam perang di Samudera
Pasifik.[10] Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic
jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan
pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni.[11] Bahkan ada perguruan silat bernama Kali
Majapahit yang populer di Filipina dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit ini mengklaim
berakar dari Kemaharajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai Filipina, Singapura, Malaysia dan Selatan
Thailand.

Sejarah
Berdirinya Majapahit

Arca Harihara (paduan Siwa dan Wisnu) perwujudan Kertarajasa dari Candi Simping, Blitar, kini koleksi Museum
Nasional.
Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi
perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi[13] ke
Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk
membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong
telinganya.[13][14] Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran Aria
Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang
menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan,
Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang.[15] Jawaban dari surat di atas disambut
dengan senang hati.[15] Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun
desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah
tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan
Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu
Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena
mereka berada di negeri asing.[16][17] Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap
angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden
Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10
November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi
masalah. Beberapa orang tepercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak
melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh
Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini
tersebut disebutkan dalam Pararaton.[18] Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang
melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi
dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan
dipenjara, dan lalu dihukum mati.[17] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti "penjahat
lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da
Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya,
Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih
mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana
Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai
Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan
rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama
kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan
Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh
putranya, Hayam Wuruk.
Kejayaan Majapahit

Perkembangan Kemaharajaan Majapahit, bermula di Trowulan, Majapahit, Jawa Timur, pada abad ke-13, kemudian
mengembangkan pengaruhnya atas kepulauan Nusantara, hingga surut dan runtuh pada awal abad ke-16.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada
masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah
perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan
Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa
Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina.[19] Sumber ini menunjukkan
batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.

Meriam Cetbang Majapahit, dari Metropolitan Museum of Art, yang diperkirakan berasal dari abad ke-14.[20] Perhatikan
adanya lambang Surya Majapahit.
Namun, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya
tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan
yang mungkin berupa monopoli oleh raja.[21] Majapahit juga memiliki hubungan
dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya
ke Tiongkok.
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin
persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat
mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[22] Pihak Sunda
menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga
dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk.
Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah
Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak
terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan
akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara
kejam.[23] Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan "bela
pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[24] Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam
naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan. Kisah
ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang adiluhung,
anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan
yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang
dari Sumatra ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di
Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan
langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya
semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas
mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat
mengundang reaksi keras.
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk
menumpas pemberontakan di Palembang.
Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadang-kadang
menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit tampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan
mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan penyebar agama
Islam mulai memasuki kawasan ini.
Surutnya Majapahit

Bidadari Majapahit, arca emas apsara gaya Majapahit menggambarkan zaman kerajaan Majapahit sebagai "zaman
keemasan" Nusantara.
Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah
wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan
takhta. Kematian Hayam Wuruk dan adanya konflik perebutan takhta menyebabkan daerah-daerah Majapahit
di bagian utara Sumatra dan Semenanjung Malaya memerdekakan diri, dimana semenanjung Malaya menjadi
daerah kekuasaan Kerajaan Ayutthaya hingga nantinya muncul Kesultanan Melaka yang didukung oleh Dinasti
Ming.
Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri,
pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga
menuntut haknya atas takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun
1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana,
semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali
Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh
laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405
sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab
di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam
pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang
memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang
juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik
laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan
gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 M. Terjadi jeda waktu tiga
tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia
kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi
memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit.
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara.
Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada
saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai
muncul di bagian barat Nusantara.[28] Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa
lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat
Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatra. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan
Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri.
Pada masa pemerintahan Wikramawardhana, daerah kekuasaan Majapahit di pulau Sumatra hanya tinggal
Indragiri, Jambi dan Palembang, sebagaimana ditulis pada catatan Yingyai Shenglan ciptaan Ma Huan, salah
satu penerjemah laksamana Cheng Ho. Dan setelah kematian Wikramawardhana dan masa pemerintahan
penerusnya, daerah Indragiri diberikan kepada Mansur Syah dari Malaka sebagai hadiah pernikahannya
dengan putri Majapahit, yang semakin mengurangi kendali Majapahit di Sumatra.
Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan dengan Bhre Kertabumi, Singhawikramawardhana
mengasingkan diri ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus melanjutkan
pemerintahannya di sana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478
Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dengan memanfaatkan ketidakpuasan umat Hindu dan Budha atas
kebijakan Bhre Kertabumi serta mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya
memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1498 dengan gelar Girindrawardhana hingga ia digulingkan oleh
Patih Udara. Akibat konflik dinasti ini, Majapahit menjadi lemah dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan Demak
yang didirikan oleh keturunan Bhre Wirabumi di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka,[Catatan
1]
berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan)
hingga tahun 1527.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi.
Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun
1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun yang
sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11
Majapahit, oleh Girindrawardhana.[30] Raden Patah yang saat itu adalah adipati Demak sebetulnya berupaya
membantu ayahnya dengan mengirim bala bantuan dipimpin oleh Sunan Ngudung, tetapi mengalami
kekalahan dan bahkan Sunan Ngudung meninggal di tangan Raden Kusen adik Raden Patah yang memihak
Ranawijaya hingga para dewan wali menyarankan Raden Fatah untuk meneruskan pembangunan masjid
Demak.
Hal ini diperkuat oleh prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan
Kertabhumi [30] dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Ranawijaya
dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Pada masa ini, Demak
sudah menjadi penguasa pesisir Jawa yang dominan, dan mereka mengambil alih daerah Jambi dan
Palembang dari kekuasaan Majapahit yang telah terpukul dan berfokus di pedalaman pulau Jawa. Sebenarnya
perang ini sudah mulai mereda ketika Patih Udara melakukan kudeta ke Girindrawardhana dan mengakui
kekuasan Demak bahkan menikahi anak termuda Raden Patah, tetapi peperangan berkecamuk kembali ketika
Prabu Udara meminta bantuan Portugis untuk mengalahkan Demak. Sehingga pada tahun 1527, Demak
melakukan serangan ke Daha yang mengakhiri sejarah Majapahit dan ke Malaka. Sejumlah besar abdi istana,
seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan
besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung
Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal
abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit. Demak di bawah pemerintahan Raden (kemudian
menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan
tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri
China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah
terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa
dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.[30]
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di
tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya
tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pajajaran di bagian
barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali.
Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger,
kawasan Bromo dan Semeru.

Militer dan persenjataan


Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik pembuatan keris berikut
fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami penghalusan dan pemilihan bahan menjadi
semakin selektif. Keris pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya, bilah keris yang
ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah keris. Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran
kalangan aristokrat juga berkembang pada masa ini dan meluas ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di
bagian barat.
Berdasarkan buku Sejarah Yuan, prajurit pada masa Majapahit awal didominasi oleh infanteri ringan. Pada
saat serbuan Mongol ke Jawa (1293), tentara Jawa dideskripsikan sebagai prajurit yang dimobilisasi sementara
dari petani dan beberapa prajurit bangsawan. Para bangsawan berbaris di garis depan, dan pasukan belakang
yang besar berformasi T terbalik. "Tentara petani" Jawa berpakaian setengah telanjang dan ditutupi dengan
kain katun di bagian pinggangnya (sarung). Sebagian besar senjata adalah busur dan panah, tombak bambu,
dan pedang pendek. Kaum aristokrat sangat dipengaruhi oleh budaya India, biasanya dipersenjatai dengan
pedang dan tombak, dan berpakaian putih.
Senjata mesiu yang digunakan oleh Majapahit, kiri ke kanan:
 Sebuah cetbang berlaras ganda di atas kereta meriam (gun carriage), dengan garpu putar, sekitar tahun 1522. Mulut
meriam berbentuk Nāga Jawa.
 Gambaran sebuah meriam galah China yang ditemukan di Jawa, 1421 masehi. Kemungkinan meriam galah Jawa,
yakni bedil tombak, dimodelkan dari senjata ini.
Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak dan meriam kapal sederhana yang
disebut Cetbang. Majapahit di bawah Mahapatih (perdana menteri) Gajah Mada memanfaatkan teknologi
senjata bubuk mesiu yang diperoleh dari dinasti Yuan untuk digunakan dalam armada laut.[34] Saat ini salah
:57

satu koleksi Cetbang Majapahit tersebut berada di The Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika.
Cetbang dipasang sebagai meriam tetap atau meriam putar, cetbang ukuran kecil dapat dengan mudah
dipasang di kapal kecil yang disebut Penjajap (Portugis: Pangajaua atau Pangajava), dan juga Lancaran.
Meriam ini dipergunakan sebagai senjata anti personil, bukan anti kapal. Pada zaman ini, bahkan sampai abad
ke 17, prajurit angkatan laut Nusantara bertempur di panggung yang biasa disebut Balai (lihat gambar kapal).
Ditembakan pada kumpulan prajurit dengan peluru scattershot (peluru sebar atau peluru gotri, dapat
berupa grapeshot, case shot, atau paku dan batu), cetbang sangat efektif untuk pertempuran jenis ini.[35] [36]
:241

Majapahit memiliki pasukan elit yang disebut Bhayangkara. Tugas utama pasukan ini adalah untuk melindung
raja dan kaum bangsawan, namun mereka juga dapat diterjunkan ke pertempuran jika diperlukan. Hikayat
Banjar mencatat perlengkapan Bhayangkara di istana Majapahit:
... dengan perhiasannya orang berbaju rantai empat puluh serta pedangnya berkopiah taranggos sachlat
merah, orang membawa astengger [senapan sundut] empat puluh, orang membawa perisai serta pedangnya
empat puluh, orang membawa dadap [perisai rotan] serta sodoknya [senjata mirip tombak dengan mata lebar]
sepuluh, orang membawa panah serta anaknya sepuluh, yang membawa tombak rampukan bersulam emas
empat puluh, yang membawa tameng Bali bertulis air empat puluh.
— Hikayat Banjar. 6.3

Bagian yang dipotong dari peta Laut Cina di atlas Miller, menunjukkan jong bertiang enam dan tiga.

Baju besi dari sebuah patung candi di Singasari.


Arquebus Jiaozhi ini mirip dengan arquebus Jawa.

 Patung dewa memegang sebuah kuiras, dari Nganjuk, Jawa Timur, pada masa sebelumnya (abad ke-10
sampai ke-11).

Berbagai macam keris dan senjata galah (tombak) dari Jawa.


Menurut catatan China, prajurit yang lebih kaya menggunakan baju pelindung yang disebut kawaca.[Catatan 2] Baju
pelindung ini berbentuk seperti tabung panjang dan terbuat dari tembaga yang dicetak. Walaupun begitu,
prajurit yang lebih miskin pergi berperang dengan telanjang dada.[37] Jenis baju zirah lain yang digunakan di
Jawa era Majapahit adalah waju rante (zirah rantai) dan karambalangan (lapisan logam yang dikenakan di
depan dada).[38] [39][40] Dalam Kidung Sunda pupuh 2 bait 85 dijelaskan bahwa mantri-mantri (menteri atau
:202

perwira) Gajah Mada mengenakan baju besi dalam bentuk zirah rantai atau plastron dengan hiasan emas dan
mengenakan pakaian kuning,[41] sedangkan dalam Kidung Sundayana pupuh 1 bait 95 disebutkan bahwa
:103

Gajah Mada mengenakan karambalangan berhias timbul dari emas, bersenjata tombak berlapis emas, dan
perisai penuh dengan hiasan dari intan berlian.[39][40]
Majapahit juga mengawali penggunaan senjata api di Nusantara. Meskipun pengetahuan membuat senjata
berbasis serbuk mesiu di Nusantara sudah dikenal setelah serangan Mongol ke Jawa, dan pendahulu senjata
api, yaitu meriam galah (bedil tombak), dicatat digunakan oleh Jawa pada tahun 1413,[35] [42] pengetahuan
:245

membuat senjata api sejati datang jauh kemudian, setelah pertengahan abad ke-15. Ia dibawa oleh negara-
negara Islam di Asia Barat, kemungkinan besar oleh orang Arab. Tahun pengenalan yang tepat tidak diketahui,
tetapi dapat dengan aman disimpulkan tidak lebih awal dari tahun 1460.[43] Suatu catatan tentang penggunaan
:23

senjata api pada pertempuran melawan pasukan Giri pada sekitar tahun 1500-1506 berbunyi:[44]
"... wadya Majapahit ambedili, dene wadya Giri pada pating jengkelang ora kelar nadhahi tibaning mimis ..."
"... pasukan Majapahit menembaki (bedil=senjata api), sementara pasukan Giri berguguran karena mereka
tidak kuat dihujani peluru (mimis=peluru bulat)..."
- Serat Darmagandhul
Tidak diketahui secara pasti jenis senjata api apa yang digunakan dalam pertempuran ini. Kata "bedhil" dapat
merujuk ke beberapa jenis senjata bubuk mesiu yang berbeda. Itu mungkin merujuk pada arquebus Jawa (Zua
Wa Chong - 爪哇銃) yang dilaporkan oleh orang China. Arquebus ini memiliki kemiripan
dengan arquebus Vietnam pada abad ke-17. Senjata ini sangat panjang, dapat mencapai 2,2 m panjangnya,
dan memiliki dudukan bipod yang dapat ditekuk.[45]
Catatan Tome Pires tahun 1513 menyebutkan pasukan tentara Gusti Pati, wakil raja Batara Brawijaya,
berjumlah 200.000 orang, 2.000 diantaranya adalah prajurit berkuda dan 4.000 adalah musketir.[46] Duarte
:176

Barbosa sekitar tahun 1514 mengatakan bahwa penduduk Jawa sangat ahli dalam membuat artileri dan
merupakan penembak artileri yang baik. Mereka membuat banyak meriam 1 pon (cetbang
atau rentaka), senapan lontak panjang, spingarde (arquebus), schioppi (meriam tangan), api Yunani, gun (bedil
besar atau meriam), dan senjata api atau kembang api lainnya. Setiap tempat disana dianggap sangat baik
dalam mencetak/mengecor artileri, dan juga dalam ilmu penggunaanya.
Kavaleri sejati pertama, unit terorganisir dari penunggang kuda yang kooperatif, mungkin telah muncul di Jawa
selama abad ke-12 M. Naskah Jawa kuno kakawin Bhomāntaka menyebutkan kisah kuda Jawa awal dan
sejarah menunggang kuda. Naskah tersebut mungkin mencerminkan konflik (secara alegoris) antara kavaleri
Jawa yang baru jadi dan infanteri elit mapan yang membentuk inti dari pasukan Jawa sampai abad ke-12. Pada
abad ke-14 M, Jawa menjadi peternak kuda yang penting dan pulau ini bahkan terdaftar di antara pemasok
kuda ke Cina. Selama masa Majapahit, jumlah kuda dan kualitas kuda keturunan Jawa terus berkembang
sehingga pada tahun 1513 masehi Tomé Pires memuji kuda-kuda yang sangat dihiasi dari bangsawan Jawa,
dilengkapi dengan sanggurdi bertatahkan emas dan pelana yang dihiasi dengan mewah yang "tidak ditemukan
di tempat lain di dunia".

Sebuah lancaran dari Madura. Perhatikan adanya panggung tempur atau "balai" di atas geladak utamanya.
Untuk angkatan laut, armada Majapahit menggunakan djong/jong secara besar-besaran sebagai kekuatan
lautnya. Pada puncaknya Majapahit memiliki 5 armada perang. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah
total jong yang dimiliki Majapahit, tetapi jumlah terbesar yang pernah digunakan dalam satu ekspedisi adalah
berjumlah 400 buah, tepatnya saat Majapahit menyerang Pasai. Setiap kapal berukuran panjang sekitar 70-
180 meter, berat sekitar 500-800 ton dan dapat membawa 200-1000 orang. Kapal ini dipersenjatai meriam
sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang berukuran kecil. Sebuah jong dari tahun 1420 memiliki daya muat
2000 ton dan hampir saja menyeberangi samudera Atlantik. Sebelum tragedi Bubat tahun 1357,
raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal
besar dan 2000 kapal yang lebih kecil. Kapal yang dinaiki keluarga kerajaan adalah sebuah jong hibrida Cina-
Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wagunan ring Tatarnagari tiniru). Kapal
hibrida ini mencampurkan teknik China dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain
menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan
kemudi sentral. Jenis kapal lain yang digunakan Majapahit
adalah malangbang, kelulus, lancaran, penjajap, jongkong, cerucuh, tongkang, dan pelang. Penggambaran
angkatan laut Majapahit di masa modern sering kali menggambarkan kapal-kapal bercadik, namun pada
kenyataannya kapal ini berasal dari abad ke-8 yaitu kapal Borobudur, yang digunakan dinasti Sailendra.
Penelitian oleh Nugroho menyimpulkan bahwa kapal yang digunakan oleh Majapahit tidak menggunakan cadik,
dan menggunakan ukiran Borobudur sebagai dasar rekonstruksi kapal Majapahit adalah salah.

Penjelajahan dan navigasi


Selama era Majapahit penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya. Ludovico di
Varthema (1470-1517), dalam bukunya Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese menyatakan bahwa
orang Jawa Selatan berlayar ke "negeri jauh di selatan" hingga mereka tiba di sebuah pulau di mana satu hari
hanya berlangsung selama empat jam dan "lebih dingin daripada di bagian dunia mana pun". Penelitian modern
telah menentukan bahwa tempat tersebut terletak setidaknya 900 mil laut (1666 km) selatan dari titik paling
selatan Tasmania.
Orang Jawa, seperti suku-suku Austronesia lainnya, menggunakan sistem navigasi yang mantap: Orientasi di
laut dilakukan menggunakan berbagai tanda alam yang berbeda-beda, dan dengan memakai suatu teknik
perbintangan sangat khas yang dinamakan star path navigation. Pada dasarnya, para navigator menentukan
haluan kapal ke pulau-pulau yang dikenali dengan menggunakan posisi terbitnya dan terbenamnya bintang-
bintang tertentu di atas cakrawala.[62] Pada zaman Majapahit, kompas dan magnet telah digunakan, selain
:10

itu kartografi (ilmu pemetaan) telah berkembang. Pada tahun 1293 Raden Wijaya memberikan sebuah peta
dan catatan sensus penduduk pada pasukan Mongol dinasti Yuan, menunjukkan bahwa pembuatan peta telah
menjadi bagian formal dari urusan pemerintahan di Jawa.[63] Penggunaan peta yang penuh garis-garis
memanjang dan melintang, garis rhumb, dan garis rute langsung yang dilalui kapal dicatat oleh orang Eropa,
sampai-sampai orang Portugis menilai peta Jawa merupakan peta terbaik pada awal tahun 1500-an.
Ketika Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka (1511), orang Portugis mendapatkan sebuah peta dari
seorang mualim Jawa, yang juga menampilkan bagian dari benua Amerika. Mengenai peta itu, Albuquerque
berkata:
"... peta besar seorang mualim Jawa, yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan tanah Brazil, Laut
Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, navigasi orang Cina dan Gom, dengan garis rhumb dan rute
langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir (hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan
satu sama lain. Bagiku, Tuan, ini adalah hal terbaik yang pernah saya lihat, dan Yang Mulia akan sangat senang
melihatnya memiliki nama-nama dalam tulisan Jawa, tetapi saya punya saya orang Jawa yang bisa membaca
dan menulis, saya mengirimkan karya ini kepada Yang Mulia, yang ditelusuri Francisco Rodrigues dari yang
lain, di mana Yang Mulia dapat benar-benar melihat di mana orang Cina dan Gore (Jepang) datang, dan tentu
saja kapal Anda harus pergi ke Kepulauan Cengkih, dan di mana tambang emas ada, pulau Jawa dan Banda,
tindakan seperiodenya, dari siapa pun sezamannya, dan tampaknya sangat mungkin bahwa apa yang dia
katakan adalah benar..." - Surat untuk raja Manuel I dari Portugal, April 1512.
Kebudayaan

Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Bangunan ini masih
tegak berdiri di Trowulan.
"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah" [Dalam lingkungan dikelilingi
tembok] "terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan dalam lukisan... Kelopak
bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan
bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya".
— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra
yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap
hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke
istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis:
keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara
langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan
Nusantara yang menikmati otonomi luas.[
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang
diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk
Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali
tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana
muslim saat itu.[2]
Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling
ahli menggunakannya.[67] Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan
getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih
dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto. Beberapa elemen
arsitektur berasal dari masa Majapahit, antara lain gerbang terbelah candi bentar, gapura paduraksa (kori
agung) beratap tinggi, dan pendopo berdasar struktur bata. Gaya bangunan seperti ini masih dapat ditemukan
dalam arsitektur Jawa dan Bali.
".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau
terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat
besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini
Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil
mengalahkannya."
— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).
Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan
Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone". Ia
mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatra, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia
dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi
Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju
kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatra, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia
melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.
Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia kunjungi.
Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat
banyak cengkih, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa
sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan
raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan
Jawa yang disebutkan di sini tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-
1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.
Diplomat Portugis Tome Pires, yang mengunjungi Nusantara pada 1512, mencatat kebudayaan Jawa pada
akhir zaman Majapahit. Kisah Pires menceritakan tentang para tuan dan bangsawan di Jawa. Mereka
digambarkan sebagai:
... tinggi dan tampan, dengan dekorasi mewah, dan mereka memiliki banyak kuda yang sangat dihiasi. Mereka
menggunakan keris, pedang, dan tombak dari berbagai jenis, semuanya bertatahkan emas. Mereka adalah
pemburu dan penunggang kuda yang hebat - kuda itu memiliki sanggurdi semua bertatahkan emas dan pelana
yang juga bertatahkan, yang tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia. Penguasa Jawa begitu mulia dan
agung sehingga tidak ada bangsa yang bisa dibandingkan dengan mereka di wilayah yang luas di bagian ini.
Kepala mereka dicukur - setengah dicukur - sebagai tanda keindahan, dan mereka selalu mengusap rambut
mereka dari dahi ke atas tidak seperti yang dilakukan orang Eropa. Penguasa Jawa dipuja seperti dewa,
dengan rasa hormat yang tinggi dan penghormatan yang dalam.
Para bangsawan pergi berburu atau mencari kesenangan dengan gaya yang agung. Mereka menghabiskan
seluruh waktu mereka dalam kesenangan, pengiring memiliki begitu banyak tombak dengan gagang emas dan
perak, begitu kaya tatahannya, dengan begitu banyak anjing jenis harrier, greyhound dan anjing lainnya; dan
mereka memiliki begitu banyak gambar yang dilukis dengan pemandangan dan pemandangan berburu.
Pakaian mereka dihiasi dengan emas, keris, pedang, pisau, kelewang mereka semua bertatahkan emas;
mereka memiliki sejumlah selir, kuda jennet, gajah, lembu untuk menarik kereta dari kayu yang dicat dan
bersepuh emas. Para bangsawan pergi dengan kereta kemenangan, dan jika mereka pergi melalui laut mereka
pergi dengan kelulus yang dicat dan dihiasi; ada apartemen indah untuk wanita mereka, tempat lain untuk para
bangsawan yang menemaninya.

Kesusasteraan
Pada zaman Majapahit ditulis berbagai kakawin (puisi berbahasa Jawa Kuno),
seperti Negarakertagama, prosa, seperti Pararaton, dan juga muncul berbagai cerita kembangan
(carangan, spin off) dari epos raya India dalam bentuk kidung (seperti Tantu Panggelaran, Garudeya,
dan Sudhamala) maupun cerita lisan yang populer hingga masa kini, seperti lingkaran cerita Panji, kisah Sri
Tanjung, dan kisah Bhubuksah dan Gagangaking. Berbagai ukiran batu candi dari masa ini banyak
mengabadikan fragmen cerita-cerita tersebut.

Ekonomi

Celengan zaman Majapahit, abad 14-15 Masehi Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Gajah, Jakarta)
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan.[21] Pajak dan denda dibayarkan dalam
uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa
kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300, pada
masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam
negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008
sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang
penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin
tersebut berasal dari era Majapahit. Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam
catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa,
maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan
dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh
uang emas dan perak yang mahal.
Tau-I Chi, yang ditulis sekitar 1350 M, menyebutkan tentang kekayaan dan kemakmuran Jawa pada masa itu:
"Ladang-ladang di Jawa kaya dan tanahnya rata dan berair baik, maka dari itu gandum dan beras berlimpah,
dua kali lipat di negara lain. Orang-orang tidak mencuri, dan apa yang dijatuhkan di jalan tidak diambil. Pepatah
umum: "Jawa yang makmur" berarti negara ini. Pria dan wanita menutup kepala mereka dan mengenakan
pakaian panjang."
Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari berbagai data dan
prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa
tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa). Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan
berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual
minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak
zaman sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar
pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.
Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu
ialah lada, garam, kain, dan burung Kakaktua, sedangkan komoditas impornya
adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari
campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone,
biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja
Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama adalah kesuburan lahan di lembah
Sungai Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara mendukung pertanian padi. Pada
masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan pemerintah.
Faktor kedua adalah pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa yang berperan penting sebagai
ekspor-impor serta transit bagi komoditas rempah-rempah dari timur (Maluku). Pajak yang dikenakan pada
komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[66]
Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemasyhuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak pedagang
asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan Tiongkok. Pajak khusus dikenakan pada orang
asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan
internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang
menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.[75]
Selama era Majapahit, hampir semua komoditas dari Asia ditemukan di Jawa. Ini dikarenakan perdagangan
laut ekstensif yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit yang menggunakan berbagai jenis kapal, terutamanya
jong, untuk berdagang ke tempat-tempat yang jauh. Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) yang mengunjungi Jawa
pada 1413, menyatakan bahwa pelabuhan di Jawa adalah memperdagangkan barang dan menawarkan
layanan yang lebih banyak dan lebih lengkap daripada pelabuhan lain di Asia Tenggara.

Struktur pemerintahan
Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam
Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan
sejarahnya. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.

Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan
kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di
bawahnya, antara lain yaitu:
 Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
 Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
 Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
 Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan
Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-
sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan
pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Pembagian wilayah

Kawasan inti Majapahit dan provinsinya (Mancanagara) di kawasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk pulau Madura
dan Bali.
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari,[17] terdiri atas beberapa
kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut
Paduka Bhattara yang bergelar Bhre atau "Bhatara i". Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan.
Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka,
memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang
mereka pimpin.
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh
kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
1. Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja
2. Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)
3. Watek: dikelola oleh wiyasa,
4. Kuwu: dikelola oleh lurah,
5. Wanua: dikelola oleh thani,
6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.
Hubungan
No Provinsi Gelar Penguasa
dengan Raja
Kahuripan (atau Janggala, Bhre
1 Tribhuwanatunggadewi ibu suri
sekarang Sidoarjo) Kahuripan
bibi sekaligus
2 Daha (bekas ibu kota dari Kediri) Bhre Daha Rajadewi Maharajasa
ibu mertua
Bhre
3 Tumapel (bekas ibu kota dari Singhasari) Kertawardhana ayah
Tumapel
paman
Bhre
4 Wengker (sekarang Ponorogo) Wijayarajasa sekaligus ayah
Wengker
mertua
suami dari Putri
Bhre
5 Matahun (sekarang Bojonegoro) Rajasawardhana Lasem, sepupu
Matahun
raja
Bhre
6 Wirabhumi (Blambangan) Bhre Wirabhumi[Catatan 4]1 anak
Wirabhumi
Bhre saudara laki-laki
7 Paguhan Singhawardhana
Paguhan ipar
Bhre Kusumawardhani[Catatan anak
8 Kabalan 5]2
Kabalan perempuan
Bhre keponakan
9 Pawanuan Surawardhani
Pawanuan perempuan
Bhre
10 Lasem (kota pesisir di Jawa Tengah) Rajasaduhita Indudewi sepupu
Lasem
Bhre saudara
11 Pajang (sekarang Surakarta) Rajasaduhita Iswari
Pajang perempuan
Bhre Wikramawardhana[Catatan keponakan laki -
12 Mataram (sekarang Yogyakarta) 5]2
Mataram laki
Catatan:
1
Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi (blambangan), nama aslinya tidak diketahui dan
sering disebut sebagai Bhre Wirabhumi dari Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani, keponakan perempuan
raja.
2
Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan laki-laki raja), pasangan ini lalu
menjadi pewaris tahta.

Arca dewi Parwati sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanattunggadewi, ratu Majapahit ibunda Hayam
Wuruk.
Sedangkan dalam Prasasti Waringin Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi
menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[77] Daerah-daerah
bawahan tersebut yaitu:
 Kahuripan (no. 1)  Wengker (no. 4)  Kabalan (no. 8)  Jagaraga  Singhapura 
 Daha (no. 2)  Matahun (no. 5)  Kembang  Keling  Tanjungpura
 Tumapel (no. 3)  Wirabumi (no. 6) Jenar (no. 10)  Kelinggapura
 Pajang (no. 11)
Prasasti ini tidak menyebutkan beberapa daerah yang telah diketahui merupakan dibawah
kekuasaan Majapahit berdasarkan sumber-sumber luar, seperti Sulalatus Salatin dan buku Suma
Oriental ciptaan Tome Pires. Daerah-daerah ini termasuk :
 Indragiri di Sumatra dan Siantan (sekarang Pontianak pada pesisir barat Kalimantan), yang
menurut Sulalatus Salatin, diberikan sebagai hadiah pernikahan kepada Kesultanan Malaka atas
pernihkahan sultan Mansur Syah dari Malaka dengan putri Majapahit. Sultan Mansur Syah
memerintah pada tahun 1459 - 1477, sehingga pada tahun 1447 artinya Indragiri dan Siantan
masih dibawah kekuasaan Majapahit.
 Jambi dan Palembang, yang hanya mulai lepas dari genggaman Majapahit ketika diambil-alih
oleh Kesultanan Demak[78] pada saat masa perangnya melawan Majapahit yang diperintah
(hlm.154-155)

Ranawijaya. Perang antara Demak dan Majapahit terjadi sekitar tahun 1478 - 1498 ketika
Ranawijaya membunuh Bhre Kertabhumi dan terusir kembali ke Daha oleh pasukan Demak
 Dan Bali yang merupakan daerah pengungsian terakhir para bangsawan, seniman, pendeta dan
penduduk agama Hindu di Jawa ketika Majapahit runtuh oleh Demak.
Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada, beberapa
negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya,
konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:
 Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama
selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini
adalah ibu kota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan
pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya
yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
 Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung dipengaruhi oleh
kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya
memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah
dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan
pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan
mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah
Mancanegara termasuk di dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan
juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
 Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam
koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup luas
dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya
atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam ketuanan
Majapahit atas wilayah itu akan menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan
kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung
Malaya.
Ketiga kategori tersebut masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi
Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar
negeri.
Hubungan diplomatik
Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dalam menjalin persekutuan. Semboyan Mitreka Satata
digunakan oleh Mahapatih Gajah Mada sebagai landasan dalam menjalankan politik luar negeri
Majapahit yang bersifat kekerabatan, hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara di
kawasan Asia Tenggara. Kutipan ini berasal dari
Kakawin Nagarakretagama pupuh 15, bait 1.[79] Lengkapnya ialah:
Jawa Kuno Alih bahasa
nahan / lwir ning deçantara kacaya de çri Such is the aspect of the other countries, protected by
narapati, tuhn / tang synakayodyapura the Illustrious Prince;
kimutang darmmanagari, marutma mwang verily, to be sure: Syangkayodhyapura, together with
ring rajapura nuniweh sinhanagari, ri Dharmanagari, Marutma and Rajapura, and
campa kambojanyat i yawana mitreka Singhanagari too, Campa, Kamboja. Different is
satata Yawana, that is a friend, regul
Concerning now this island of Madura, this is not at all
kunong tekang nusa madura tatan ilwing of the same aspect as the foreign kingdoms,
parapuri, ri denyan tungal / mwang because of the fact that it has been one with the Yawa-
yawadarani rakwaikana danu, samudra(1) country, so it is said, at that time in the past: "The
nangung(2) bhumi(3) kta ça- (98b) ka oceans carry a country" (124 = 202 A.D.), such is their
kalanya karnö, teweknyan dadyapantara Shaka-year, one hears, their moment to become
sasiki tatwanya tan adoh provided with an interstice; (nevertheless) they are one
in essence, not far away (from each other).
Already the other continents are getting ready to show
huwus rabdang dwipantara sumiwi ri çri
obedience to the Illustrious Prince,
narapati, padasthity awwat / pahudama
alike orderly they bring in all kinds of products every
wijil anken / pratimasa, sake kotsahan /
ordained season. As an instance of the honoured
sang prabhu ri sakhahaywanyan iniwö,
Prabhu's exertion for all the good that is taken care of
bhujanga mwang mantrinutus umahalot /
by him, ecclesiastical officers and mandarins are sent to
patti satata.
fetch the produce regularly.
Mitreka Satata yang secara harfiah berarti "persaudaraan yang satu dengan dasar persamaan
derajat". Mitreka berasal dari kata mitra dan ika (mitra = sahabat; ika = itu) Satata berarti satu tata
(sama derajat dan kekal). Hal itu menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara
oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama
pupuh 15, bangsa asing
adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si
Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan
Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam). Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi
Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam
kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa ini.
Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian diidentifikasi oleh
sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat atau inti
kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan
tanpa integrasi administratif lebih lanjut.[80] Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam lingkup
mandala Majapahit, yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli
penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas. Wilayah-wilayah bawahan
ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit, tetap menjalankan sistem pemerintahannya
sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan
mandala ini juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor,
serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan Champa.
Raja-raja Majapahit

Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.[81]
Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri
Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa
Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana
(penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang
memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.[8]
Nama Raja Gelar Tahun
Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana 1293 - 1309
Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa
Jayanagara 1309 - 1328
Adhiswara
Tribhuwana Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa
1328 - 1350
Wijayatunggadewi Jayawisnuwardhani
Hayam Wuruk Maharaja Sri Rajasanagara 1350 - 1389
Wikramawardhana Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama 1389 - 1429
Suhita Prabu Stri Suhita 1429 - 1447
Kertawijaya Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana 1447 - 1451
Rajasawardhana Rajasawardhana Sang Sinagara 1451 - 1453
Girishawardhana Girishawardhana Dyah Suryawikrama 1456 - 1466
Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati
Suraprabhawa 1466 - 1474
Pasutabhupati Ketubhuta
• Dyah Wijayakarana • Girindrawarddhana Dyah Wijayakarana
• Dyah Wijayakusuma • Girindrawarddhana Dyah Wijayakusuma 1474 - 1527
• Dyah Raṇawijaya • Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya (Brawijaya V)
Nama Gelar
Girindrawarddhana
Artikel utama: Girindrawarddhana
Girīndrawarddhana adalah gelar bagi tiga raja Majapahit terakhir. Ketiga raja Majapahit yang
menggunakan gelar ini adalah anak-anak dari Rajasawardhana Sang Sinagara (Raja Majapahit ke-
8), yaitu : Dyah Wijayakarana, Dyah Wijayakusuma dan Dyah Ranawijaya Gelar ini ditemukan dalam
Prasasti Waringinpitu yang bertahun 1369 Saka (1447 M), serta Prasasti Ptak (OJO XCI) dan
Prasasti Jiwu (OJO XCII-XCV) yang keduanya bertahun 1408 Saka (1486 M).
Brawijaya
Brawijaya atau Bhra Wijaya atau Prabu Brawijaya adalah gelar yang dianggap melekat pada
penguasa Majapahit, khususnya Dyah Ranawijaya dengan gelar "Brawijaya V" yang dianggap
penguasa terakhirnya. Sebagai gelar historis, gelar ini diragukan karena sampai saat ini tidak ada
sumber dari masa Majapahit yang menyebutkan adanya gelar Brawijaya.
Warisan sejarah

Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada
abad-abad berikutnya.

Legitimasi politik
Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas
kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya
melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan
sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan.
Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri
memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibu kota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah
memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga
kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa
merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut. Bali
secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri
mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[67]
Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya,
sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara
Republik Indonesia saat ini.[21] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis
Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari
Majapahit yang diromantiskan.[83] Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan
bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi
kekuasaan negara.[84] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas
dan secara politik berpusat di pulau Jawa.[85]
Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit. Bendera
kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih" atau kadang disebut "Dwiwarna" ("dua warna"), berasal
dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal perang TNI Angkatan
Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna Majapahit. Semboyan nasional
Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", dikutip dari "Kakawin Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu Tantular,
seorang pujangga Majapahit.
Arsitektur

Sepasang patung penjaga gerbang abad ke-14 dari kuil Majapahit di Jawa Timur (Museum of Asian Art, San
Francisco)
Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia.
Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibu kota Majapahit dalam
kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa
serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini. Meskipun bata merah sudah
digunakan jauh lebih awal, para arsitek Majapahitlah yang menyempurnakan teknik pembuatan
struktur bangunan bata ini.
Beberapa elemen arsitektur kompleks bangunan di Jawa dan Bali diketahui berasal dari masa
Majapahit. Misalnya gerbang terbelah candi bentar yang kini cenderung dikaitkan dengan arsitektur
Bali, sesungguhnya merupakan pengaruh Majapahit, sebagaimana ditemukan pada Candi Wringin
Lawang, salah satu candi bentar tertua di Indonesia. Demikian pula dengan gapura paduraksa (kori
agung) beratap tinggi, dan pendopo berlandaskan struktur bata. Pengaruh citarasa estetika dan gaya
bangunan Majapahit dapat dilihat pada kompleks Keraton Kasepuhan di Cirebon, Masjid Menara
Kudus di Jawa Tengah, dan Pura Maospait di Bali. Tata letak kompleks bangunan berupa halaman-
halaman berpagar bata yang dihubungkan dengan gerbang dan ditengahnya terdapat pendopo,
merupakan warisan arsitektur Majapahit yang dapat ditemukan dalam tata letak beberapa
kompleks keraton di Jawa serta kompleks puri (istana) dan pura di Bali.

Kesenian modern
Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi sumber inspirasi
tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk menuangkan kreasinya, terutama di
Indonesia. Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa tersebut.
Puisi lama
 Serat Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama
pena Ki Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah
tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari agama
sinkretis "Hindu" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.

Komik dan strip komik


 Serial "Mahesa Rani" karya Teguh Santosa yang dimuat di Majalah Hai, mengambil latar
belakang pada masa keruntuhan Singhasari hingga awal-awal karier Mada (Gajah Mada), adik
seperguruan Lubdhaka, seorang rekan Mahesa Rani.
 Komik/Cerita bergambar Imperium Majapahit, karya Jan Mintaraga.
 Komik Majapahit karya R.A. Kosasih
 Strip komik "Panji Koming" karya Dwi Koendoro yang dimuat di surat kabar "Kompas" edisi
Minggu, menceritakan kisah sehari-hari seorang warga Majapahit bernama Panji Koming.
 Komik "Dharmaputra Winehsuka", karya Alex Irzaqi, kisah Ra Kuti dan Ra Semi dalam latar
peristiwa pemerontakan Nambi 1316 M.

Roman/novel sejarah
 Sandyakalaning Majapahit (1933), roman sejarah dengan setting masa keruntuhan Majapahit,
karya Sanusi Pane.
 Pelangi Di langit Singasari (1968 - 1974), roman sejarah dengan setting zaman kerajaan Kediri
dan Singasari, karya S. H. Mintardja.
 Bara Di Atas Singgasana, roman sejarah dengan setting zaman kerajaan singasari dan
Majapahit, karya S. H. Mintardja
 Kemelut Di Majapahit, roman sejarah dengan setting masa kejayaan Majapahit,
karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo.
 Zaman Gemilang (1938/1950/2000), roman sejarah yang menceritakan akhir masa Singasari,
masa Majapahit, dan berakhir pada intrik seputar terbunuhnya Jayanegara, karya Matu
Mona/Hasbullah Parinduri.
 Senopati Pamungkas (1986/2003), cerita silat dengan setting runtuhnya Singhasari dan awal
berdirinya Majapahit hingga pemerintahan Jayanagara, karya Arswendo Atmowiloto.
 Arus Balik (1995), sebuah epos pasca kejayaaan Nusantara pada awal abad 16,
karya Pramoedya Ananta Toer.
 Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit (2005), roman karya Hermawan Aksan tentang Dyah
Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan Sunda yang gugur dalam Peristiwa Bubat.
 Gajah Mada (2005), sebuah roman sejarah berseri yang mengisahkan kehidupan Gajah Mada
dengan ambisinya menguasai Nusantara, karya Langit Kresna Hariadi.
 Jung Jawa (2009), sebuah antologi cerita pendek berlatar Nusantara, karya Rendra Fatrisna
Kurniawan, diterbitkan Babel Publishing dengan ISBN 978-979-25-3953-0.

Film/sinetron
 Tutur Tinular, suatu adaptasi film karya S. Tidjab dari serial sandiwara radio. Kisah ini berlatar
belakang Kerajaan Singhasari pada pemerintahan Kertanegara hingga Majapahit pada
pemerintahan Jayanagara.
 Saur Sepuh, suatu adaptasi film karya Niki Kosasih dari serial sandiwara radio yang populer
pada kurun dasawarsa pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an. Film ini sebetulnya lebih
berfokus pada sejarah Pajajaran namun berkait dengan Majapahit pula.
 Walisanga, sinetron Ramadan tahun 2003 yang berlatar Majapahit pada masa Brawijaya
V hingga Kesultanan Demak pada zaman Sultan Trenggana.
 Puteri Gunung Ledang, sebuah film Malaysia tahun 2004, mengangkat cerita berdasarkan
legenda Melayu terkenal, Puteri Gunung Ledang. Film ini menceritakan kisah percintaan Gusti
Putri Retno Dumilah, seorang putri Majapahit, dengan Hang Tuah, seorang perwira Kesultanan
Malaka.

Permainan video
 Civilization V: Brave New World yang terbit pada Juli 2013, terdapat
peradaban Indonesia dengan tokoh pemimpinnya Gajah Mada. Meskipun dinamakan peradaban
'Indonesia', namun perdaban ini menggunakan Surya Majapahit sebagai simbolnya. Peradaban
ini memiliki bangunan unik yaitu Candi, yang memiliki ikon bergambar Candi bentar di Trowulan,
Mojokerto.
 Kemudian pada Civilization VI sebuah DLC memiliki salah satu pemimpin Majapahit, Dyah
Gitarja sebagai pemimpin peradaban Indonesia dengan simbolnya berupa Surya Majapahit yang
lebih sederhana. Unit unik untuk peradaban ini adalah jong, yang menggantikan frigate.
 Age of Empires II: The Age of Kings ekspansi keempat Rise of Rajas yang terbit pada
Desember 2016, menampilkan misi sebagai Gajah Mada, dari awal pendirian Majapahit
mengusir tentara Mongolia dan Kediri (Kerajaan Singhasari), menaklukkan kerajaan-kerajaan
lain di kepulauan Nusantara setelah Sumpah Palapa hingga peristiwa Perang Bubat yang
mengakhiri karier Gajah Mada sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit. Bangunan Candi
bentar, Gapura Bajang Ratu serta Candi Kalasan ditampilkan secara visual pada misi Gajah
Mada. Gajah Mada juga muncul di Age of Empires II Definitive Edition yang dirilis pada
November 2019.
 Bendera Majapahit, Getih-Getah Samudra atau Gula Kelapa, ada dalam Age of Empires III
Definitive Edition (rilis Oktober 2020) sebagai bendera untuk Indonesia, sebuah negara
revolusioner yang hadir bagi peradaban Belanda. Sebuah unit bernama Cetbang
Cannon tersedia untuk Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai