Anda di halaman 1dari 65

A.

Masa Kejayaan NasionalPerkembangan Singkat Kerajaan-kerajaan Kuno di IndonesiaPada Masa Hindu


Budha1.

Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur)2.

Kerajaan Tarumanegara (Jawa Barat)3.

Kerajaan Sriwijaya (Sumatra)Merupakan kerajaan maritim yang kuat sehingga dapat menguasai kunci-
kunci lalulintas Indonesia Barat.Disegani dalam percaturan politik Asia Tenggara.Kebudayaan
berkembang pesat4.

Kerajaan Kalingga (abad VII)5.

Kerajaan Sanjaya (abad VIII)6.

Kerajaan Syailendra (abad VIII dan IX)7.

Kerajaan Isyana (abad IV)8.

Kerajaan Darmawangsa (abad X)9.

Kerajaan Airlangga (abad XI)10.

Kerajaan Kediri ( abad XII)11.


Kerajaan Singosari ( abad XIII)pada saat Raja Kertanegara Kerajaan Singosari dapat menjalin hubungan
baik denganKamboja12.

Kerajaan MajapahitBerdiri pada tahub 1293. Didirikan oleh Raden Wijaya ( Menantu
Kertanegara).Mencapai puncak kejayaan di bawah Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih GajahMada,
bahkan kekuasaannya sampai daerah Maroko, pahang, Langkasuka,Trenggono, dan Tumasik.Kerajaan
Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI (1520) dikarenakan faktorkelemahan di dalam negri sendiri
(seperti adanya perang saudara pada permulaanabad XV)Pada waktu Agama Hindu dan Budha hidup
berdampingansecara damai

Empu Prapanca menulis Kitab Negarakertagama (1365)

Empu Tantular mengarang Kita$b Sutasomadi dalam kitab Sutasoma terdapat kata

“Bhineka tunggal Ika Tan DharmaMangrwa” yang berarti walaupun berbeda

-beda namun tetap satu jua, adanyasebab tidak ada agama yang mempunyai tujuan yang berbeda

Untuk kegunaan lain dari Majapahit, lihat Majapahit (disambiguasi).

Majapahit

1293–1527 →

Surya Majapahit*

Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan Nagarakertagama; keakuratan wilayah kekuasaan


Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan.[1]
Ibu kota Majapahit, Wilwatikta (Trowulan)

Bahasa Jawa Kuno, Sanskerta

Agama Siwa-Buddha (Hindu dan Buddha), Kejawen, Animisme

Bentuk Pemerintahan Monarki

Raja

- 1293-1309 Kertarajasa Jayawardhana

- 1350-1389 Hayam Wuruk

- 1478-1498 Girindrawardhana

Sejarah

- Penobatan Raden Wijaya 10 November 1293 1293

- Invasi Demak 1527

Mata uang Koin emas dan perak, kepeng (koin perunggu yang diimpor dari Tiongkok)

*Surya Majapahit adalah lambang yang umumnya dapat ditemui di reruntuhan Majapahit, sehingga
Surya Majapahit mungkin merupakan simbol kerajaan Majapahit

Artikel ini bagian dari seri

Sejarah Indonesia

Sejarah Indonesia.png

Lihat pula:

Garis waktu sejarah Indonesia

Sejarah Nusantara

Prasejarah

Kerajaan Hindu-Buddha

Salakanagara (130-362)

Kutai (abad ke-4)

Tarumanagara (358–669)

Kendan (536–612)
Galuh (612-1528)

Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)

Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)

Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)

Kerajaan Medang (752–1006)

Kerajaan Kahuripan (1006–1045)

Kerajaan Sunda (932–1579)

Kediri (1045–1221)

Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)

Singhasari (1222–1292)

Majapahit (1293–1500)

Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)

Kerajaan Islam

Penyebaran Islam (1200-1600)

Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)

Kesultanan Ternate (1257–sekarang)

Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)

Kesultanan Malaka (1400–1511)

Kerajaan Inderapura (1500-1792)

Kesultanan Demak (1475–1548)

Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)

Kesultanan Aceh (1496–1903)

Kesultanan Banjar (1520–1860)

Kesultanan Banten (1527–1813)

Kesultanan Cirebon (1430 - 1666)


Kerajaan Tayan (Abad Ke-15-sekarang)

Kesultanan Mataram (1588—1681)

Kesultanan Palembang (1659-1823)

Kesultanan Siak (1723-1945)

Kesultanan Pelalawan (1725-1946)

Kerajaan Kristen

Kerajaan Larantuka (1600-1904)

Kolonialisme bangsa Eropa

Portugis (1512–1850)

VOC (1602-1800)

Belanda (1800–1942)

Kemunculan Indonesia

Kebangkitan Nasional (1899-1942)

Pendudukan Jepang (1942–1945)

Revolusi nasional (1945–1950)

Indonesia Merdeka

Orde Lama (1950–1959)

Demokrasi Terpimpin (1959–1965)

Masa Transisi (1965–1966)

Orde Baru (1966–1998)

Era Reformasi (1998–sekarang)

lbs

Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri dari
sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan
raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang
berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap
sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.[2] Menurut Negarakertagama,
kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur,
meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.[3]

Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic jangkauan
kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan
pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni.[12] Bahkan ada perguruan silat
bernama Kali Majapahit yang berasal dari Filipina dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali
Majapahit ini mengklaim berakar dari Kerajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai Filipina,
Singapura, Malaysia dan Selatan Thailand.[13]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Berdirinya Majapahit[sunting | sunting sumber]

Arca Harihara (paduan Siwa dan Wisnu) perwujudan Kertarajasa dari Candi Simping, Blitar, kini koleksi
Museum Nasional.

Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi
perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng
Chi[14] ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir
menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan
memotong telinganya.[14][15] Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa
tahun 1293.

Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran
Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara,
yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat
berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang.[16] Jawaban dari
surat di atas disambut dengan senang hati.[16] Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka
hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah
maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan
pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang,
Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang
kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing.[17][18] Saat itu juga
merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau
mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.

Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan
Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan
tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini
menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi
memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan
Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra
Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut disebutkan dalam Pararaton.[19] Slamet Muljana menduga
bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya
raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian
pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[18] Wijaya
meninggal dunia pada tahun 1309.

Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti
"penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta
Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara
dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan
tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak
perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336,
Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada
mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit
dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit
berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di
Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Kejayaan Majapahit[sunting | sunting sumber]

Perkembangan Kemaharajaan Majapahit, bermula di Trowulan, Majapahit, Jawa Timur, pada abad ke-
13, kemudian mengembangkan pengaruhnya atas kepulauan Nusantara, hingga surut dan runtuh pada
awal abad ke-16.

Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada
masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di
bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra,
semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik
(Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina.[20] Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus
puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.

Namun, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya
tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh
perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja.[21] Majapahit juga memiliki hubungan dengan
Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke
Tiongkok.[2][21]

Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan
menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat
mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[22] Pihak Sunda
menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta
keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan
Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda
takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di
lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, keluarga
kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan
Sunda dapat dibinasakan secara kejam.[23] Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan
hati remuk redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[24] Kisah
Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di
Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan. Kisah ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak
disebutkan dalam Nagarakretagama.

Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang
adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem
ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa
yang membentang dari Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di
berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit.
Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan
Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan
pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi
ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi keras.[25]
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut
untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[2]

Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadang-kadang
menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya adalah mendapatkan porsi
terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim
dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.

Jatuhnya Majapahit[sunting | sunting sumber]

Bidadari Majapahit, arca emas apsara gaya Majapahit menggambarkan zaman kerajaan Majapahit
sebagai "zaman keemasan" Nusantara.

Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.

Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah.
Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat
konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi
sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari
selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang
Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana.
Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian
dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah
taklukannya di seberang.

Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin
oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun
waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim
China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan
Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.[26]

Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang
memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir
yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh
Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre
Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun
1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra
Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh
Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap
Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit.[9]

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki
Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai
berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu
Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara.[27] Di bagian barat kemaharajaan yang
mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada
pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera.
Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per
satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.

Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Museum Negara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.

Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan dengan Bhre Kertabumi,


Singhawikramawardhana mengasingkan diri ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan
terus melanjutkan pemerintahannya di sana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun
1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dengan memanfaatkan ketidakpuasan umat
Hindu dan Budha atas kebijakan Bhre Kertabumi serta mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu
kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1498 dengan gelar Girindrawardhana
hingga ia digulingkan oleh Patih Udara. Akibat konflik dinasti ini, Majapahit menjadi lemah dan mulai
bangkitnya kekuatan kerajaan Demak yang didirikan oleh keturunan Bhre Wirabumi di pantai utara
Jawa.

Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka,
berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu
pemerintahan[28]) hingga tahun 1518.

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning
bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu
tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”.
Namun yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi,
raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.[29] Raden Patah yang saat itu adalah adipati Demak
sebetulnya berupaya membantu ayahnya dengan mengirim bala bantuan dipimpin oleh Sunan Ngudung,
tapi mengalami kekalahan bahkan Sunan Ngudung meninggal di tangan Raden Kusen adik Raden Patah
yang memihak Ranawijaya hingga para dewan wali menyarankan Raden Fatah untuk meneruskan
pembangunan masjid Demak.

Hal ini diperkuat oleh prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan
Kertabhumi [29] dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara
Ranawijaya dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi.
Sebenarnya perang ini sudah mulai mereda ketika Patih Udara melakukan kudeta ke Girindrawardhana
dan mengakui kekuasan Demak bahkan menikahi anak termuda Raden Patah, tetapi peperangan
berkecamuk kembali ketika Prabu Udara meminta bantuan Portugis. Sehingga pada tahun 1518, Demak
melakukan serangan ke Daha yang mengakhiri sejarah Majapahit[30] dan ke Malaka. Sejumlah besar
abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini
kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka
mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.

Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1518, kekuatan kerajaan Islam pada
awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit.[31] Demak dibawah pemerintahan
Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut
Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit
Brawijaya V dengan seorang putri China.

Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah
terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus,
penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.[29]

Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang
berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan
di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di
Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke
pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di
pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.
Kebudayaan[sunting | sunting sumber]

Bendera Majapahit

Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit.
Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan.

"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah" [Dalam lingkungan
dikelilingi tembok] "terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan dalam lukisan...
Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut
gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya".

— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.

Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan
sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata
negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah
taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara
sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah
di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja;
serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas.[32]

Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan
yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh
penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu.
Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat
beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]

Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang
paling ahli menggunakannya.[33] Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan
memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi
Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan,
Mojokerto. Beberapa elemen arsitektur berasal dari masa Majapahit, antara lain gerbang terbelah candi
bentar, gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berdasar struktur bata. Gaya
bangunan seperti ini masih dapat ditemukan dalam arsitektur Jawa dan Bali.
".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak,
merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa
mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan perak,
bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja
ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya."

— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).[34]

Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan
perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan Pendeta Odorico da
Pordenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin di
Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari
Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan
Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan
Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra
menuju Eropa pada 1330.

Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia
kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat
banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa
sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol
beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa
yang disebutkan di sini tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-
1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.

Ekonomi[sunting | sunting sumber]

Celengan zaman Majapahit, abad 14-15 Masehi Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Gajah, Jakarta)

Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan.[21] Pajak dan denda
dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada
masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun
1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting terjadi:
keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu keping uang tembaga impor dari China.
Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari
halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa
Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era Majapahit.[35] Alasan penggunaan uang logam
atau koin asing ini tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa
dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh
dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar
Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.[32]

Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari berbagai
data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik
perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa).[32] Prasasti dari
masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari pengrajin
emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara
pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari
pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.

Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada,
garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra,
barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah
hitam, dan tembaga.[36] Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia
yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan
perhiasan emas, perak, dan permata.[37]

Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai Brantas dan
Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada masa
jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan pemerintah.
Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting
sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah Maluku. Pajak yang
dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber pemasukan
penting bagi Majapahit.[32]

Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak


pedagang asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus dikenakan
pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain
perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India
dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di
Jawa.[38]

Struktur pemerintahan[sunting | sunting sumber]


Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama
perkembangan sejarahnya.[39] Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang
otoritas politik tertinggi.

Aparat birokrasi[sunting | sunting sumber]

Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra
dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-
pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:

Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja

Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan

Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan

Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih
atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama
raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan
pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

Pembagian wilayah[sunting | sunting sumber]

Kawasan inti Majapahit dan provinsinya (Mancanagara) di kawasan Jawa Timur dan Jawa Tengah,
termasuk pulau Madura dan Bali.

Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari,[18] terdiri atas


beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja
yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre atau "Bhatara i". Gelar ini adalah gelar tertinggi
bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk
mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola
pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang dikelola
oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai
berikut:

Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja

Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)

Watek: dikelola oleh wiyasa,

Kuwu: dikelola oleh lurah,

Wanua: dikelola oleh thani,

Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.

Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Jawa: ꦯꦿꦶꦮꦶꦗꦪ; Thai: ศรี วิชยั atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu
kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di
Nusantara dengan daerah kekuasaan berdasarkan peta membentang dari Kamboja, Thailand Selatan,
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat dan kemungkinan Jawa Tengah.[1][2] Dalam bahasa
Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan",[2]
maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan
kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi
Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][4] Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai
Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[5]
Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa
peperangan[2] di antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun
1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.[6]

Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun
1918 dari sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.[7]

Daftar isi [sembunyikan]

1 Catatan sejarah

2 Pembentukan dan pertumbuhan

3 Agama
4 Budaya

5 Perdagangan

6 Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari

7 Hubungan dengan wangsa Sailendra

8 Hubungan dengan kekuatan regional

9 Masa keemasan

10 Masa penurunan

11 Struktur pemerintahan

12 Raja yang memerintah

13 Warisan sejarah

14 Catatan bawah

15 Rujukan

15.1 Bacaan Lanjutan

16 Pranala luar

Catatan sejarah[sunting | sunting sumber]

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang
terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar
mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan
penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.[8] Coedès menyatakan bahwa
referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam
Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]

Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu
kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir,
Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.[10] Sayang, kepala perahu kuno
itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping
perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian
buritan untuk menempatkan kemudi.[10] Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat
yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain
bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan
perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.[10]
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di
Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.[8]

Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-
fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan
Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj[11] dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama
merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2] Sementara dari peta Ptolemaeus
ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan
Sriwijaya.[6]

Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya
berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan
sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.
[2] Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar
menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun
rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau
berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20
hektare. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini
pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.[12] Namun sebelumnya Soekmono
berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak
sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan
tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens,[13] yang
sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan
Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I
Tsing,[14] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang
dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa)
tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian
dari candi yang terletak di Muara Takus).[15] Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra
Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6]

Pembentukan dan pertumbuhan[sunting | sunting sumber]


Perkembangan Kemaharajaan Sriwijaya, bermula di Palembang pada abad VII, menyebar ke sebagian
besar Sumatera, Semenanjung Malaya, Jawa, Kamboja, hingga surut sebagai Kerajaan Malayu
Dharmasraya pada abad XIII.

Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini menjadi pusat
perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar
wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar
sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat
pemerintahan Sriwijaya,[16] selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat
pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh
penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.[17][18]

Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit
pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti
Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa
prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini.[19] Pada abad ke-7 ini, orang
Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan
Sriwijaya.[2] Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka,
kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga
Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk
menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan
runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar
akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.[20]
Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda,
Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat
perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi
Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai
mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu
melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai
Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas
Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan
dengan Sriwijaya pada abad yang sama.[2] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain
Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula
wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Pada abad ini pula, Langkasuka di
semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.[2] Pada masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga,
yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai
835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer,
tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya,
ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.[2]

Agama[sunting | sunting sumber]

Arca Buddha langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang,
abad ke-7 sampai ke-8 M.

Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari
negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke
Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing
melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran
agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa
terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di
Sriwijaya.[21]

“ Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta mempraktikkan Dharma
dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua topik ajaran sebagaimana yang ada di India;
vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila
seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan
mempelajari naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1
atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat. ”

Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir
kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut
berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang
berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka
menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di
Malayagiri di Suvarnadvipa.[22]
Penyebaran ajaran Buddha dari India utara ke bagian lain di Asia, Sriwijaya pernah berperan sebagai
pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Buddha.

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula
oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat
pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.[23] Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui
perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut
serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi
Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih
dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang
biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau
dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".

— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.[4]

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia
Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga
beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal
kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, di saat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Budaya[sunting | sunting sumber]

Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M.

Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat
dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa
prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuo menggambarkan ritual Budha untuk
memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya
untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat
kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa.
Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia
modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan
ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain,
seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa
Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi
kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh
banyak penutur di Kepulauan Nusantara.[24]

Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan
sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya
di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar;
seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya
di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak
seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata
merah.

Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang,
Palembang[25], dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi[26], Bidor, Perak[27] dan Chaiya,
[28] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan
dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang
memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam
Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).[29]

Perdagangan[sunting | sunting sumber]

Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni
dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki
aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah,
yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[14] Kekayaan yang melimpah ini telah
memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan
berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu,
persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya
senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok
dan India.[30]

Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi
— dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga
monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan
bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya.
Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa
Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa
bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam
catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap
beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah
armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini
merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan
menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan
sedari tahun 670 hingga 1025 M.[31]

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal
kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi
cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda
adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa
Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang
diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan
Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun
abad ke-7 hingga ke-13 masehi.

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan
dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada
khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa
hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih
dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar
Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[32]

Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han
dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari
perdagangan ini.

Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus
(Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.[33][34]
Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari[sunting | sunting sumber]

Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berjalan seiring dengan
perluasan Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan bahari atau thalasokrasi. Dengan menaklukkan
bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi sebagai pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga
melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan. Sebagai kemaharajaan bahari, pengaruh
Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah pedalaman. Sriwijaya kebanyakan menerapkan
kedaulatannya di kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada perahu
angkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang
berasal dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak
3.300 mil atau 8.000 kilometer di sebelah barat di seberang Samudra Hindia.[35]

Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh jurnal Proceedings of The Royal Society, bahwa sebagian
nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia. Para peneliti meyakini mereka adalah
pemukim asal Kerajaan Sriwijaya.[36] Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi sekitar kurun tahun
830 M. Berdasarkan data DNA mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut silsilah mereka
kepada 30 nenek moyang perempuan perintis tiba dari Indonesia 1200 tahun yang lalu.[37] Bahasa
Malagasy mengandung kata serapan dari bahasa Sanskerta dengan modifikasi linguistik melalui bahasa
Jawa dan bahasa Melayu, hal ini merupakan sebuah petunjuk bahwa penduduk Madagaskar dikoloni
oleh penduduk yang berasal dari Sriwijaya.[38] Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun
ketika Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan Samudra
Hindia.[39]

Hubungan dengan wangsa Sailendra[sunting | sunting sumber]

Candi Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Wangsa Sailendra

Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama
Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor
di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama
Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu dn bahasa Melayu umumnya
digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera,
Walaupun asal usul bahasa melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.[14]
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa),
keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[40] Kemudian Moens menambahkan kedatangan
Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[41]
Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita
Parahiyangan[42] kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu
Kuna di antaranya prasasti Sojomerto.[43][44]

Hubungan dengan kekuatan regional[sunting | sunting sumber]

Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.

Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan
diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[45]

Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja
Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin
Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan
ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya.[46] Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd
Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda
dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).
[46]

" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari
ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua
sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya
menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku
telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap
engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya
kepadaku."

— Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[32]

Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam
atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk
agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari
berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal
Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim
bahwa Chaiya, di provinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh
Sriwijaya tampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan
Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat
Nikhom.

Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah degan perpindahan Wangsa
Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya
berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan
Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Sailendra
di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara
Sriwijaya dan Medang memburuk.[47] Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di
Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda
yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal usulnya sebagai keturunan raja Sailendra di Jawa
sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja
Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan.[48]
Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja
Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan
penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari ( sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas
dorongan Sriwijaya.[49]

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka
860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda.
Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja
Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan
dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang
melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa
Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta
dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma
tersebut. Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik
Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu
perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama
Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]

Masa keemasan[sunting | sunting sumber]


Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi,
Indonesia.

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada
lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa
kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang,
memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[50]

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir
seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand,
Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[51] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan
Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea
dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan
gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955
M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang
Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya,
dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak
cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu
gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.[52]

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli
dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang
pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa
Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.
[11]

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada
akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai
menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di
Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan
bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu
saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di
pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan
dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa
pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[53]

Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di
Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan
kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta
tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.[53]

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun
kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit
tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari
Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu
kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya
tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani
Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan
dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan
kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.[53]

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan


Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan
mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk
mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan
itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi
itu.[54] (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[15]

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka
Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang.
Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti
Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa
Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006
atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[6]
[49]

Masa penurunan[sunting | sunting sumber]


Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola di Kedah.

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim
ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola
telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil
menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa
dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun
demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap
berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[55] Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-
fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[56]

Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai
Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin
berkurang.[57] Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis.
Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan
posisi Sriwijaya.[11]

Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya,
namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika
pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.[58]

Kawasan Sriwijaya dalam prasasti Tanjore

Nama kawasan Keterangan

Pannai Pannai

Malaiyur Malayu

Mayirudingam

Ilangasogam Langkasuka

Mappappalam

Mevilimbangam

Valaippanduru

Takkolam
Madamalingam Tambralingga

Ilamuri-Desam Lamuri

Nakkavaram Nikobar

Kadaram Kedah

Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok
menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga
sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat
Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi
pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong.
Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat
dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan,
rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.[2]
Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah.
Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai
kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan
Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.

Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada
Cina.[59] Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina.[59] Ini
menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama
periode tersebut.[59] Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang
memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.[60]

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[61] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua
menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya,
yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha
dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang
meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya
sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-
ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing
(Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya),
Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong
(Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][13]
Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah
identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah
jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan
yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu.
Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau
Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja
Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini
kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam
Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan
lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Struktur pemerintahan[sunting | sunting sumber]

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu

Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial.[11] Pembentukan satu negara
kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang
mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[62]

Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas
dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang
dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat
beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu
sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang
terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman.
Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh
kekuasaan kadātuan Sriwijaya.

Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat
secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra
(pewaris berikutnya).[63] Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur
pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan
raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan
pekerjaan yang ada pada zaman Sriwijaya.[20] Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut
adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan
dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja),
[Note 1] Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru tulis),
sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga (peniaga), pratisra (pemimpin kelompok
kerja), marsi haji (tukang cuci), dan hulun haji (budak raja).[20]

Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang
diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni
yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[20][63] Maka dari itu, Ahmad Jelani
Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di antara
anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.[44]

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat
terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh
Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik
raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit,
tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.

Pada abad ke-14 meskipun pengaruhnya telah memudar, wibawa dan gengsi Sriwijaya masih digunakan
sebagai sumber legitimasi politik. Sang Nila Utama yang mengaku sebagai keturunan bangsawan
Sriwijaya dari Bintan, bersama para pengikut dan tentaranya yang terdiri dari Orang Laut, telah
mendirikan Kerajaan Singapura di Tumasik. Menurut Sejarah Melayu dan catatan sejarah China yang
ditulis Wang Ta Yuan, disebutkan bahwa Kerajaan Siam sempat menyerang kerajaan Singapura pada
kurun tahun 1330 hingga 1340. Serangan Siam ini berhasil dipukul mundur. Akan tetapi serangan
Majapahit pada penghujung abad ke-14 telah meruntuhkan kerajaan ini. Akibatnya rajanya yang
terakhir, Parameswara, terpaksa melarikan diri ke Semenanjung Melayu. Parameswara kemudiannya
mendirikan Kesultanan Melaka pada tahun 1402.[59] Kesultanan Melayu Melaka akhirnya menggantikan
kedudukan Sriwijaya sebagai kuasa politik Melayu utama di kawasan.[60][61]

Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan ekononomi
dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu
Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang
berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan
Nusantara.[65] Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan
memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada
abad ke-14 M.[66]

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber
kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[67] Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi
sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang,
Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian
tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang
menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan
nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang. Demikian
pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera
Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai
penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang).
Semuanya dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan
Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011
di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang
bertajuk "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika
ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.[68][69]

Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah Sebelum Abad XX

Diperlukan pemahaman tentang sejarah perjuangan bangsa untuk membentuk suatu negara yang
berdasarkan suatu asas hidup bersama demi kesejahteraan bangsa, selain itu berfungsi untuk
memahami Pancasila secara lengkap dan utuh. Secara epistomologis, Pancasila selain sebagai dasar
negara juga sebagai Pandangan hidup, jiwa dan kepribadian bangsa serta sebagai perjanjian luhur
bangsa Indonesia waktu mendirikan bangsa.

Perbedaan Perjuangan Rakyat Indonesia Sebelum dan Sesudah Abad ke-20

1. Sebelum abad ke-20 perlawanan masih bersifat kedaerahan. Masing-masing pemimpin


mempertahankan wilayah kekuasaannya. Sesudah abad ke-20 sudah bersifat nasional, yaitu perjuangan
tidak lagi bersifat nasionalisme sempit, namun perjuangan ditujukan untuk mencapai Indonesia
Merdeka. Munculnya kata “Indonesia” sebagai identitas bangsa menyatukan berbagai suku, agama, dan
budaya yang ada di Nusantara untuk bersatu padu mengusir penjajah.
2. Sebelum abad ke-20 perlawanan dipimpin oleh raja atau bangsawan. Pangeran Diponegoro
(bangsawan), Teuku Umar (bangsawan), Sultan Hasanuddin (raja), Si Singamagaraja IX (raja). Karena
perlawanan bertumpu pada kharisma pemimpin, maka tatkala pemimpin tewas atau tertangkap,
perlawanan akan berhenti. Sesudah abad ke-20 perjuangan dipimpin oleh golongan terpelajar
(cendekiawan). Pemberian kesempatan bagi pribumi untuk mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah
Belanda pada awal abad ke-20 dimaksudkan untuk memperoleh tenaga kerja murah, namun justru
melahirkan golongan cendekiawan yang kemudian memimpin perjuangan melawan kolonialisme
Belanda. Mereka adalah Sutomo, Suardi Suryaningrat, Soekarno, Moh. Hatta, Sahrir, dan lain-lain.
Karena perjuangan melalui organisasi modern menerapkan sistem kaderisasi, maka meski pemimpin
tertangkap dan dipenjara, perlawanan tetap berlanjut.

3. Sebelum abad ke-20 perjuangan berbentuk perlawanan fisik, melalui peperangan. Pertempuran
secara frontal menimbulkan banyak korban jiwa bagi kedua pihak. Sesudah abad ke-20 perjuangan
melalui organisasi pergerakan nasional. Upaya mencapai kemerdekaan dilakukan dengan cara-cara
modern, misalnya lewat media massa, demo, pemogokan buruh/pegawai, atau mengirimkan wakil-wakil
di dewan rakyat (volksraad), serta menggalang dukungan politik dari dunia luar.

4. Sebelum abad ke-20 perlawanan berpusat di desa-desa atau di pedalaman karena kota-kota yang
merupakan pusat perniagaan dikuasai Belanda dan didirikan benteng. Sesudah abad ke-20 pusat
perjuangan di kota-kota. Organisasi pergerakan yang berkedudukan di kota-kota besar melakukan kritik,
agitasi massa, dan menentang berbagai kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Kebangkitan Nasional adalah Masa di mana Bangkitnya Rasa dan Semangat Persatuan, Kesatuan, dan
Nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, yang
sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan Belanda dan Jepang. Masa ini ditandai dengan dua
peristiwa penting yaitu berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober
1928). Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang mulai diperjuangkan sejak masa
Multatuli.

Asal usul Kebangkitan Nasional[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1912 berdirilah Partai Politik pertama di Indonesia (Hindia Belanda), Indische Partij. Pada
tahun itu juga Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (di Solo), KH Ahmad Dahlan mendirikan
Muhammadiyah (di Yogyakarta), Dwijo Sewoyo dan kawan-kawan mendirikan Asuransi Jiwa Bersama
Boemi Poetra di Magelang. Kebangkitan pergerakan nasional Indonesia bukan berawal dari berdirinya
Boedi Oetomo, tapi sebenarnya diawali dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam pada tahun 1905 di
Pasar Laweyan, Solo.
Serikat ini awalnya berdiri untuk menandingi dominasi pedagang Cina pada waktu itu. Kemudian
berkembang menjadi organisasi pergerakan sehingga pada tahun 1906 berubah nama menjadi Sarekat
Islam.

Suwardi Suryaningrat yang tergabung dalam Komite Boemi Poetera, menulis "Als ik eens Nederlander
was" ("Seandainya aku seorang Belanda"), pada tanggal 20 Juli 1913 yang memprotes keras rencana
pemerintah Hindia Belanda merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda di Hindia Belanda. Karena
tulisan inilah dr. Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat dihukum dan diasingkan ke Banda dan
Bangka, tetapi karena "boleh memilih", keduanya dibuang ke Negeri Belanda. Di sana Suwardi justru
belajar ilmu pendidikan dan dr. Tjipto karena sakit dipulangkan ke Hindia Belanda.

Saat ini, tanggal berdirinya Boedi Oetomo, 20 Mei, dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional..

Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar
ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.

Yang dimaksud dengan "Sumpah Pemuda" adalah keputusan Kongres Pemuda Kedua[1] yang
diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Keputusan ini menegaskan cita-cita
akan ada "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia". Keputusan ini juga
diharapkan menjadi asas bagi setiap "perkumpulan kebangsaan Indonesia" dan agar "disiarkan dalam
segala surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan".

Istilah "Sumpah Pemuda" sendiri tidak muncul dalam putusan kongres tersebut, melainkan diberikan
setelahnya.[2] Berikut ini adalah bunyi tiga keputusan kongres tersebut sebagaimana tercantum pada
prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda[3]. Penulisan menggunakan ejaan van Ophuysen.

Pertama:

Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea:

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:

Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Daftar isi [sembunyikan]

1 Rumusan Kongres

2 Catatan kaki

3 Pranala luar

4 Lihat pula

Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah Jepang

Sikap baik Jepang untuk menarik simpati bangsa Indonesia dan untuk menutupi maksud dan tujuan yang
sangat merugikan bangsa Indonesia akhirnya diketahui oleh bangsa Indonesia, terutama setelah Jepang
menerapkan kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan bangsa Indonesia, seperti: (Pengerahan
tenaga kerja yang disebut romusha, Eksploitasi sumber daya alam yang menyebabkan seluruh
kehidupan ekonomi lumpuh, Jepang juga menerapkan peraturan-peraturan yang bersifat membatasi
dan memonopoli sarana-sarana produksi penting, rakyat juga diwajibkan menyetor padi, jagung, dan
ternak dalam jumlah besar demi memenuhi kebutuhan logistik di medan perang, rakyat juga dibebani
pekerjaan tambahan, yaitu menanam pohon jarak untuk diambil minyaknya dan diproduksi sebagai
pelumas mesin-mesin perang). Hal hal tersebut menyebabkan munculnya perlawanan terhadap
pendudukan Jepang yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat dengan bentuk perlawanan yang
juga bermacam-macam.

1. Berbagai golongan masyarakat melawan Jepang

Golongan atau organisasi yang melawan kekuasaan Jepang di antaranya adalah:


a. golongan pangreh praja dan pegawai

b. para santri dan ulama Islam

c. golongan sosialis di bawah Syahrir

d. golongan komunis di bawah Amir Syarifudin

e. golongan Pemuda Menteng

f. pegawai-pegawai pada dinas Angkatan Laut

g. golongan nasionalis nonagama di bawah Soekarno

h. dan perkumpulan-perkumpulan pelajar.

2. Bentuk-bentuk perjuangan melawan Jepang

Menghadapi keadaan yang serba sulit maka para pemimpin bangsa Indonesia berjuang dengan
menyesuaikan situasi dan kondisi. Bangsa Indonesia mengadakan perjuangan atau perlawanan melalui
lembaga resmi pemerintahan, melalui gerakan bawah tanah, dan melalui tindakan kekerasan serta
pemberontakan. Mereka tidak kehilangan semangat perjuangan Semua itu mempunyai cita-cita yang
sama yakni mewujudkan Indonesia merdeka. Adapun bentuk perlawanan terhadap Jepang adalah
sebagai berikut :

a. Perjuangan melalui kerja sama (koperasi)

Karena gerakan yang non-kooperatif tidak mendapat tempat, para pejuang melakukan gerakan
kooperatif yang dapat diterima oleh Jepang. Tujuan utama perjuangan mereka adalah mencapai
Indonesia merdeka. Kerja sama kooperatif dengan pemerintah Jepang hanyalah suatu siasat atau taktik
belaka. Dengan cara ini, para pejuang dapat duduk dalam lembaga-lembaga pemerintah. Dengan
demikian, mereka dapat memperjuangkan atau membela nasib rakyat. Di samping itu, para pejuang
dapat memanfaatkan organisasi dan lembaga-lembaga yang didirikan pemerintah Jepang untuk
perjuangan kaum nasionalis, antara lain :

1) Memanfaatkan Gerakan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) 

Tujuan Jepang membentuk PUTERA adalah agar kaum nasionalis dan intelektual menyumbangkan
tenaga dan pikirannya untuk kepentingan Jepang. Namun oleh para pemimpinIndonesia, PUTERA justru
dimanfaatkan untuk membela rakyat dari kekejaman Jepang serta untuk menggembleng mental dan
semangat nasionalisme, cinta tanah air, anti kolonialisme dan imperialisme. Dengan demikian PUTERA
ini ibarat tombak bermata dua.

2) Memanfaatkan Barisan Pelopor (Syuisyintai) 

Organisasi ini dimanfaatkan oleh para nasionalis sebagai penyalur aspirasi nasionalisme dan
memperkuat pertahanan pemuda melalui pidato-pidatonya.
3) Memanfaatkan Chuo Sangi In (Badan Penasihat Pusat) 

Tugas badan ini adalah memberi nasihat atau pertimbangan kepada Seiko Shikikan (penguasa tertinggi
militer Jepang di Indonesia). Oleh para pemimpinIndonesia melalui Chuo Sangi In dimanfaatkan untuk
menggembleng kedisiplinan. Salah satu saran Chuo Sangi In kepada Seiko Shikikan adalah agar
dibentuknya Barisan Pelopor untuk mempersatukan seluruh penduduk agar secara bersama
menggiatkan usaha mencapai kemenangan.

b. Perjuangan Melalui Gerakan Bawah Tanah (Non Kooperasi)

Selain melalui taktik kerja sama dengan Jepang, para pejuang melakukan perjuangan secara rahasia
(gerakan bawah tanah) atau ilegal. Beberapa contoh perjuangan bawah tanah antara lain sebagai
berikut :

1) Gerakan Kelompok Sutan Syahrir. 

Kelompok ini merupakan pendukung demokrasi parlementer model Eropa barat dan menentang Jepang
karena merupakan negara fasis. Mereka berjuang dengan cara sembunyi-sembunyi atau dengan strategi
gerakan ”bawah tanah”.

2) Golongan Persatuan Mahasiswa 

golongan ini sebagian besar berasal dari mahasiswa Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) di Jalan Prapatan
10 dan yang terhimpun dalam Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia (BAPERPI) di Cikini
Raya 71. Kelompok Persatuan Mahasiswa ini anti Jepang dan sangat dekat dengan jalan pikiran Sutan
Syahrir.
3) Kelompok Pemuda Menteng 31 

Kelompok ini dibentuk oleh sejumlah pemuda yang bekerja pada bagian propaganda Jepang
(Sendenbu). Kelompok ini bermarkas di gedung Menteng 31 Jakarta. Secara resmi pendirian asrama ini
dibiayai Jepang dengan maksud menggembleng para pemuda untuk menjadi alat mereka. Akan tetapi
tempat ini oleh pemuda dimanfaatkan secara diam-diam untuk menggerakkan semangat nasionalisme.

4) Golongan Kaigun 

Kelompok ini anggotanya bekerja pada Angkatan Laut Jepang. Mereka selalu menggalang dan membina
kemerdekaan dengan berhubungan kepada tokoh-tokoh Angkatan Laut Jepang yang simpati terhadap
perjuangan bangsaIndonesia.

c. Perlawanan Bersenjata

Perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh rakyat diberbagai daerah, antara lain sebagai berikut :

1) Perlawanan Rakyat di Cot Pleing (10 November 1942) 

Perlawanan ini dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil, seorang guru mengaji. Perlawanan di Cot Pleing,
Lhoseumawe, Aceh ini diawali dari serbuan Jepang terhadap masjid di Cot Pleing. Masjid terbakar dan
pasukan Tengku Abdul Jalil banyak yang gugur. Akhirnya Tengku Abdul Jalil tewas ditembak oleh Jepang.
2) Perlawanan Rakyat di Pontianak (16 Oktober 1943) 

Perlawanan ini dilakukan oleh suku Dayak di pedalaman serta kaum feodal di hutan-hutan. Latar
belakang perlawanan ini karena mereka menderita akibat tindakan Jepang yang kejam. Tokoh
perlawanan dari kaum ningrat yakni Utin Patimah.

3) Perlawanan Rakyat di Sukamanah, Singaparna, Jawa Barat (25 Februari 1944) 

Perlawanan ini dipimpin oleh KH. Zainal Mustafa, seorang pendiri pesantren Sukamanah perlawanan ini
lebih bersifat keagamaan. KH. Zainal Mustafa tidak tahan lagi membiarkan penindasan dan pemerasan
terhadap rakyat, serta pemaksaan terhadap agama yakni adanya upacara “Seikeirei” (menyembah
terhadap Tenno Heika Kaisar Jepang). KH. Zainal Mustafa beserta 27 orang pengikutnya dihukum mati
oleh Jepang tanggal 25 Oktober 1944.

4) Perlawanan Rakyat di Cidempet, Kecamatan Lohbener, Indramayu (30 Juli 1944) 

Perlawanan ini dipimpin oleh H. Madriyas, Darini, Surat, Tasiah dan H. Kartiwa. Perlawanan ini
disebabkan oleh cara pengambilan padi milik rakyat yang dilakukan Jepang dengan kejam. Sehabis
panen, padi langsung diangkut ke balai desa. Perlawanan rakyat dapat dipadamkan secara kejam dan
para pemimpin perlawanan ditangkap oleh Jepang.

5) Pemberontakan Peta
Salah satu pemberontakan yang terbesar pada masa pendudukan Jepang adalah pemberontakan Peta di
Blitar. Pemberontakan itu dipimpin oleh Supriyadi. Pemberontakan Peta terjadi pada tanggal 14 Februari
1945.

Sejarah Perumusan Pancasila dan UUD 1945

Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI-62 orang) tanggal 29 April 1945 dan dilantik 28
Mei 1945 dengan ketua : Dr. Rajiman Wedyodiningrat dan wakil ketua R. Panji Soeroso dan Ichibangase
(orang Jepang) yang mulai bekerja 29 Mei 1945.

Tugas BPUPKI tersebut adalah :


1. Membuat rancangan dasar negara
2. Membuat rancangan Undang-Undang Dasar

BPUPKI Melakukan 2 kali sidang, yaitu :

1) Sidang pertama tanggal 29 mei s/d 1 juni 1945, membahas Dasar Negara Indonesia antara lain
dikemukakan oleh :
1.  Muhammad Yamin (29 Mei 1945) yang diusulan secara lisan :
a. Peri Kebangsaan
b. Peri Kemanusiaan
c. Peri Ketuhanan
d. Peri Kerakyatan
e. Kesejahteraan rakyat

Setelah berpidato Muhammad Yamin menyampaikan usulan tertulis yang terdiri dari :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yg dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dlm permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
2.   Soepomo (31 Mei 1945 )  menyampaikan pokok-pokok
1. pikirannya sebagai berikut :
2. Paham Negara Persatuan
3. Warga negara hendaknya tunduk kepada Tuhan dan supaya ingat kepada Tuhan (Perhubungan negara
dan agama) Sistem badan permusyawaratan
4. Ekonomi negara bersifat kekeluargaan
5. Hubungan antara bangsa yang bersifat Asia Timur Raya

3.  Soekarno (1 Juni 1945) menyampaikan lima dasar negara sebagai berikut :


a. Kebangsaan Indonesia
b. Internasionlisme atau Peri kemanusiaan
c. Mufakat atau demokrasi
d. Kesejahteraan sosial
e. Ketuhanan yang berkebudayaan

Namun, ketiga rumusan tersebut tidak ada yang ditetapkan sebagai dasar negara, maka dibentuklah
Panitia Kecil (Panitia Sembilan) yang terdiri atas :

-          Soekarno (ketua),

-          Moh. Hatta,

-          Moh. Yamin,

-          Achmad Soebardjo,

-          Wachid Hasyim,

-          Agus Salim,

-          Abdulkahar Moedzakir,

-           Abikusno Tjokrosoejoso,

-          AA. Maramis.

-           

Panitia Kecil berhasil menyusun Piagam Jakarta (Jakarta Charter) nama ini diberikan oleh M. Yamin pada
tgl 22 Juni 1945, yaitu dokumen yang berisikan asas dan tujuan negara Indonesia Merdeka dengan
rumusan berikut :
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2) Sidang kedua tanggal 10 sampai 16 Juli 1945, Membahas rancangan Undang- Undang Dasar Negara
Indonesia yang menghasilkan UUD 1945 yang terdiri dari :
1. Pembukaan UUD 1945 empat alinea yg didlmnya tercantum rumusan Pancasila.
2. Batang tubuh yg terdiri dari 16 BAB, 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan tambahan.
3. Penjelasan yang terdiri dari Penjelasan umum dan pasal demi pasal.

Selain mengesahkan Piagam Jakarta sebagai mukaddimah Rancangan UUD 1945, BPUPKI juga
mengesahkan batang tubuh UUD 1945 yang memuat dua ketentuan penting yaitu :
Negara berdasar ketuhanan yang maha esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.
Presiden adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam
Sistematika Pancasila dalam Sejarah Perkembangan
Ketatanegaraan : Periode 17 Agustus 1945 27 Desember 1949
            Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan Jepang. Untuk menindaklanjuti hasil kerja
BPUPKI, Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Lembaga tersebut dalam
bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Iinkai. PPKI beranggotakan 21 orang yang mewakili seluruh
lapisan masyarakat Indonesia. Mereka terdiri atas

-         12 orang wakil dari Jawa

-         3 orang wakil dari Sumatera

-         2 orang wakil dari Sulawesi

-         seorang wakil dari Sunda Kecil, Maluku serta penduduk Cina

 Ketua PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, menambah anggota PPKI enam orang lagi sehingga semua
anggota PPKI berjumlah 27 orang.

PPKI

- dipimpin oleh Ir. Sukarno

- wakilnya Drs. Moh. Hatta

-  penasihatnya Ahmad Subarjo.

Adapun anggotanya adalah


-Mr. Supomo

-dr. Rajiman Wedyodiningrat

-R.P. Suroso, Sutardjo

-K.H. Abdul Wachid Hasyim

-Ki Bagus Hadikusum

- Oto Iskandardinata

-Suryohamijoyo

-Abdl Kadir, Puruboyo

-Yap Tjwan Bing

-Latuharhary

-Dr. Amir

-Abdul Abbas

-Teuku Moh. Hasan

-Hamdani

-Sam Ratulangi

-Andi Pangeran

-I Gusti Ktut Pudja

-Wiranatakusumah

-Ki Hajar Dewantara

-Kasman Singodimejo,

-Sayuti Melik,

- Iwa Kusumasumantri.

Dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, diputuskan :


1.      Mengesahkan Pembukaan UUD 1945

Pembukaan (mukadimah) UUD 1945 terdiri atas empat alinea. Pada Alenia ke-4 UUD 1945 tercantum
Pancasila sebagai dasar negara.

2.      Mengesahkan Rancangan Hukum Dasar menjadi UUD 1945

Batang tubuh UUD 1945 terdiri atas 16 bab, 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, dan 2 ayat aturan
tambahan

Penjelasan UUD 1945 terdiri atas penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.

3.    Memilih Ir. Soekarno sebagai presiden dan Drs. Hoh. Hatta sebagai wakil presiden.
4.    Sebelum terbentuknya MPR kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite nasional.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan
suatu pencapaian titik puncak perjuangan pergerakan bangsa Indonesia yang telah mengantarkannya ke
pintu gerbang kebebasan. Hari kebebasan yang telah dinantikan sangat lama sejak ratusan lalu itu
tentunya telah dilalui dengan berbagai macam bentuk perjuangan dari seluruh rakyat Indonesia, baik
yang dilakukan melalui gerakan di daerah-daerah maupun gerakan yang bersifat nasional yang terjadi
sejak tahun 1908.

Latar Belakang terjadinya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Kita mungkin pernah membaca dalam catatan sejarah bangsa Indonesia bahwa para tokoh pergerakan
nasional mulai terpacu semangatnya kembali untuk lebih bergerak dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia pada momen perang dunia ke-2, dimana saat itu Jepang yang sedang menjajah
Indonesia, mengalami peristiwa yang cukup tragis ketika negara itu nyaris diratakan dengan tanah saat
Amerika Serikat menjatuhkan bom atom pada tanggal 6 Agustus 1945 di kota Hiroshima, Jepang.
Peristiwa ini tentu saja telah menurunkan mental dan moral dari semangat perjuangan tentara Jepang
yang ada di seluruh dunia.

Memanfaatkan momen itu, sehari kemudian, para tokoh pergerakan nasional yang tergabung dalam
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pun berganti nama menjadi Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan tujuan untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan
dalam mencapai kemerdekaan Indonesia.
Belum cukup penderitaan Jepang atas dijatuhinya kota Hiroshima, maka pada tanggal 9 Agustus 1945,
bom atom kedua dijatuhkan kembali oleh Amerika Serikat di atas kota Nagasaki sehingga menyebabkan
Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia
untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Kemudian, proses terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia semakin diperkuat lagi dengan adanya
peristiwa Rengasdengklok yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 dimana sekelompok pemuda yang
tergabung dalam gerakan “Menteng 31” yang dipelopori oleh Soekarni, Wikana, dan Chaerul Saleh,
“menculik” bung Karno dan bung Hatta dan keduanya didesak agar segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia.

Peristiwa Rengasdengklok sendiri dilatar belakangi oleh keinginan golongan pemuda agar proklamasi
kemerdekaan dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang.
Para golongan pemuda khawatir apabila kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari
perjuangan bangsa Indonesia menjadi seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang.

Golongan pemuda melakukannya dengan tujuan agar bung Karno dan bung Hatta tidak terpengaruh
oleh Jepang. Mereka kembali meyakinkan bung Karno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang
telah siap untuk melawan Jepang apapun risikonya. Tetapi dalam menghadapi desakan tersebut, pada
awalnya bung Karno dan bung Hatta tetap tidak berubah pendirian, namun pada akhirnya mereka
berdua bersedia untuk menyatakan kemerdekaan setelah kembali ke Jakarta. Akhirnya, dilakukanlah
kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Bung Karno, bung Hatta, serta Achmad Subardjo dengan
golongan pemuda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan terutama setelah Jepang mengalami
kekalahan dalam Perang Pasifik.

Makna peristiwa Proklamasi Kemerdekaan bagi bangsa Indonesia

Akhirnya sampai hari ini, bangsa Indonesia telah merasakan kemerdekaan negara Indonesia selama
hampir 70 tahun lamanya. Tentu saja proklamasi yang diperoleh dengan berbagai usaha yang sangat
keras dan gigih itu memiliki beberapa makna yang mendalam bagi seluruh bangsa Indonesia. Adapun
makna proklamasi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia antara lain:

Dari sudut hukum, proklamasi merupakan pernyataan yang berisi keputusan bangsa Indonesia untuk
menetapkan tatanan hukum nasional (Indonesia) dan menghapuskan tatanan hukum kolonial.
Dari sudut politik ideologis, proklamasi merupakan pernyataan bangsa Indonesia yang lepas dari
penjajahan dan membentuk Negara Republik Indonesia yang bebas, merdeka, dan berdaulat penuh.

Proklamasi merupakan puncak perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan.

Proklamasi merupakan alat hukum internasional untuk menyatakan kepada rakyat dan seluruh dunia,
bahwa bangsa Indonesia mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri untuk menggenggam seluruh hak
kemerdekaan.

Proklamasi merupakan mercusuar yang menunjukkan jalannya sejarah,pemberi inspirasi, dan motivasi
dalam perjalanan bangsa Indonesia di semua lapangan di setiap keadaan.

Dengan proklamasi kemerdekaan tersebut, maka bangsa Indonesia telah lahir sebagai bangsa dan
negara yang merdeka, baik secara de facto maupun secara de jure.

Proses Pengesahan Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD Negara RI tahun 1945

A.   Proses Pengesahan Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD Negara RI tahun 1945

Proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, telah mewujudkanNegara
Republik Indonesia.

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dalam sidang selanjutnya, pada tanggal 18 Agustus 1945,
telah  menyempurnakan dan mengesahkan rancangan Undang-Undang Dasar  Negara Indonesia, atau
yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, atau secara
singkat disebut sebagai : Undang-Undang Dasar 1945.

Beberapa penyempurnaan yang dilakukan dalam pengesahan Undang-Undang Dasar Negara tersebut,


yang sebelumnya merupakan Rancangan Pembukaan yang termuat di dalam Piagam Jakarta, sebagai
hasil kesepakatan yang telah diterima oleh sidang  BPUPKI pada sidang ke dua-nya sebelum
masa Proklamasi Kemerdekaan, yang isi penyempurnaannya antara lain :

·         Dalam Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia pada Alinea ke-4, yang


memuat sebutan : “Allah“, kemudian dirubah menjadi “ Tuhan “, sesuai dengan permintaan
anggota utusan dari Bali, Mr. I Gusti Ktut Pudja ( Naskah k. 406 )

·         Penggunaan “ Hukum Dasar ”, digantikan dengan “ Undang-Undang Dasar ”.

·         Dan pada kalimat “….  berdasarkan kepada : ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan….”, dirubah menjadi “.. berdasarkan : ke-
Tuhan-an Yang Maha Esa, kemanusiaan ….. “   

Dan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945 tersebut, setelah penyempurnaan  tersebut


kemudian disahkan dan diresmikan secara resmi pada sidang PPKI  tanggal 18 Agustus 1945,
setelah Negara Republik Indonesia terwujud  pada tanggal 17 Agustus 1945 dalam
pernyataan Proklamasi Bangsa Indonesia.

Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945 tersebut, terkandung 4


alinea-alinea yang berintikan pernyataan kebulatan tekad Bangsa Indonesia dalam menentukan
perjuangan dan nasib Bangsa Indonesia pada masa selanjutnya, dan berperan serta dalam perdamaian
dunia yang menentang bentuk-bentuk pejajahan ataupun kolonialisme di muka bumi ini.

Dan pada Alinea yang ke-4, dinyatakan pula rangkaian susunan Dasar Negara Indonesia, yakni Pancasila,
dengan susunan sebagai berikut :

1.    Ketuhanan Yang Maha Esa

2.    Kemanusiaan yang adil dan beradab

3.    Persatuan Indonesia

4.    Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan

5.    Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia

Dan susunan serta urutan Pancasila tersebutlah, yang sah dan benar yang kemudian menjadi Dasar
Negara Republik Indonesia, yang mempunyai kedudukan konstitusional, serta telah disepakati oleh
Bangsa Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI), sebagai Komite Nasional, yang
merupakan perwakilan dari seluruh bangsa Indonesia.

Dengan demikian, perjalanan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, tidak berhenti hingga masa
tersebut. Demikian pula dalam menerapkan serta melandaskan Dasar Negara Indonesia, Pancasila,
dalam peri kehidupan Bangsa Indonesia pada masa selanjutnya.

Revolusi fISIK (1945-1950)

Dipublikasi pada Juli 7, 2012 oleh istiqmaniez

Zaman revolusi fisik (1945-1950) merupakan suatu zaman yang paling cemerlang dalam sejarah
Indonesia, hak-hak Indonesia akan kemerdekaan ditunjukkan oleh pengorbanan-pengorbanan yang luar
biasa oleh bangsa Indonesia. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya
merupakan suatu kisah sentral dalam sejarah Indonesia melainkan merupakan suatu unsur yang kuat di
dalam persepsi bangsa Indonesia itu sendiri.  Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-
identitas baru, untuk persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing, dan untuk suatu tatanan sosial
yang lebih adil akhirnya membuahkan hasil pada masa-masa sesudah perang dunia II. Untuk pertama
kalinya di dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia segala sesuatu yang serba paksaan yang
berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Tradisi nasional yang mengatakan bahwa rakyat
Indonesia berjuang bahu-membahu selama revolusi hanya merupakan sedikit dasar sejarah (Ricklefs,
1991: 317).

Kedaulatan dan persatuan bangsa masih harus terus diuji karena masih adanya ancaman dari luar negeri
seperti dari Belanda yang mengandalkan tentara NICA. Begitu pula dari dalam negeri belum sepenuhnya
stabil karena adanya ancaman keamanan dimana-mana. Mengenai orang-orang Indonesia yang
mendukung revolusi, maka ditarik perbedaan-perbedaan antara kekuatan-kekuatan perjuangan
bersenjata dan kekuatan-kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi dan mereka
yang menentangnya, antara generasi muda dan generasi tua, antara golongan kiri dan golongan kanan,
antara kekuatan-kekuatan islam dan kekuatan-kekkuatan sekuler, dan sebagainya. Hal ini merupakan
suatu gambaran mengenai suatu masa ketika perpecahan-perpecahan yang menimpa bangsa Indonesia
berbentuk beraneka ragam dan terus-menerus berubah.  Sedangkan, bagi para pemimpin revolusi
Indonesia, tujuannya adalah melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan
nasional yang telah dimulai empat dasawarsa sebelumnya.

PEMBAHASAN

KONDISI SOSIAL-BUDAYA PADA MASA REVOLUSI FISIK (1945-1950)

1. A.    Kondisi masyarakat pada Awal Revolusi fisik

Laksamana Patterson (komandan garis belakang Skuadron Tempur kelima Inggris) pada tanggal 29
september 1945 mengumumkan bahwa pasukan-pasukan sekutu datang untuk melindungi rakyat dan
untuk memulihkan keamanan dan ketertiban hingga pemerintah Hindia Belanda yang berwenang
berfungsi kembali. Pada hari yang sama, letnan jenderal Sir Philip Christison (panglima sekutu untuk
Hindia Belanda) mengumumkan bahwa pasukan jepang di jawa sementara harus dipakai untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban. Pengumuman ini segera diikuti oleh pendaratan kontinen-
kontinen kecil pasukan Belanda dibawah perlindungan Inggris (Kahin, 1995: 180).

Aktivitas pasukan Ingris yang terus mendarat dibawah perlindungan inggris dan pengumuman-
pengumuman inggris yang kurang tegas, secara bersama-sama menunjukkan kepada kebanyakan orang
Indonesia, bahwa pernyataan tegas kemerdekaan mereka sedang ditantang dan ini memancing reaksi
mereka yang tajam. Komando sekutu memerintahkan para komandan jepang untuk menyerang dan
merebut kembali kota-kota yang sudah dikuasai orang Indonesia, seperti Bandung. Dipakainya pasukan
jepang oleh sekutu untuk melawan republic selanjutnya mendorong orang Indonesia untuk melawan
Inggris sekaligus Belanda, dan memperkuat kecurigaan mereka bahwa Indonesia ingin dikembalikan
kepada status penjajahan (kahin, 1995: 182).

Meskipun Inggris dilengkapi dengan pesawat-pesawat terbang dan meriam dalam pertempuran yang
lama dan pahit serta akhirnya menguasai kota, perang itu tetap dan masih dianggap suatu kemenangan
oleh orang Indonesia, karena pertempuran Surabaya adalah titik balik dalam perjuangan kemerdekaan
mereka. Ini merupakan suatu demonstrasi di hadapan inggris tentang kekuatan berperang dan
kesediaan mengorbankan jiwa raga yang ada di balik gerakan yang sedang ditentang inggris itu (Kahin,
1995: 182). Pertempuran di Surabaya membuka jalan bagi diadakannya perundingan-perundingan
diplomatik selama tahun 1946 dan awal tahun 1947 antara Belanda dan Indonesia.

Sebenarnya pada masa ini adalah saat ketiga kalinya Belanda bermaksud menaklukan Indonesia. Usaha
yang pertama, pada abad XVII dan XVIII, telah berakhir dengan penarikan mundur di pihak mereka
dalam menghadapi perlawanan  bangsa Indonesia serta ketidakcakapan mereka sendiri, dan akhirnya
dengan dikalahkannya mereka oleh pihak Inggris. Yang kedua, yaitu pada abad XIX dan awal abad abad
XX, telah berakhir dengan dikalahkannya mereka oleh pihak jepang. Dan masa ini adalah percobaan
untuk ketiga kalinya, pada masa ini masyarakat lebih bersatu dari sebelumnya. Akan tetapi, sistem
perhubungan yang buruk, perpecahan-perpecahan internal, lemahnya kepemimpinan pusat, dan
perbedaan kesukuan mengandung arti bahwa sebenarnya revolusi tersebut merupakan suatu kejadian
yang terpotong-potong.

1. B.     Kondisi Sosial Budaya pada Masa Revolusi Fisik

Dengan mulai tibanya pihak sekutu guna menerima penyerahan jepang, maka semakin meningkatlah
ketegangan-ketegangan di jawa dan sumatera serta mendorong orang-orang yang sepenuh hati
mendukung Republik untuk berbalik melawan. Atas nama ‘kedaulatan rakyat’ para pemuda revolusioner
mengintimidasi, menculik, dan kadang-kadang membunuh para pejabat pemerintahan, kepala-kepala
desa, dan anggota-anggota polisi yang kesetiaannya disangsikan, atau yang dituduh melakukan korupsi,
pencatutan, atau penindasan selama pendudukan jepang. Dalam kekacauan ini tindakan-tindakan atas
nama kedaulatan kadang-kadang sulit dibedakan dari tindakan-tindakan perampokan, perampasan,
pemerasan, dan pembalasan dendam semata. “Semangat merdeka menyala-nyala, sehingga
menyebabkan mereka kurang dapat mengendalikan diri.” (Moedjanto, 1993:100).

Surabaya menjadi ajang pertempuran yang paling hebat selama revolusi, sehingga menjadi lambang
perlawanan nasional. Soetomo, orang yang lebih dikenal dengan Bung Tomo meggunakan radio
setempat untuk menimbulkan suasana revolusi yang fanatik ke seluruh penjuru kota. Di kota yang
sedang bergolak ini kira-kira 6.000 pasukan inggris yang terdiri dari serdadu-serdadu india tiba pada
tanggal 2 Oktober untuk mengungsikan para tawanan. Sekitar 2.000 TKR yang baru saja terbentuk dan
sebanyak kurang lebih 120.000 orang dari badan-badan perjuangan siap untuk membantai prajurit-
prajurit India tersebut, meskipun persenjataan mereka sangat tidak memadai. Pada tanggal 30 oktober
diadakanlah gencatan senjata. Akan tetapi pertempuran meletus lagi dan panglima pasukan inggris
setempat, brigadier jenderal A.W.S. Mallaby terbunuh. Pada tanggal 10 November subuh, pasukan-
pasukan inggris memulai suatu aksi pembersihan berdarah sebagai hukuman di seluruh pelosok kota di
bawah lindungan pengeboman dari udara dan laut, dalam menghadapi perlawanan Indonesia yang
fanatik. Ribuan rakyat Indonesia gugur dan ribuan lainnya meninggalkan ota yang hancur tersebut.

Pihak  Republik kehilangan banyak tenaga manusia dan senjata dalam pertempuran Surabaya, tetapi
perlawanan mereka yang bersifat pengorbanan tersebut telah menciptakan suatu lambang dan pekik
persatuan demi revolusi. Banyak orang Belanda telah benar-benar merasa yakin bahwa Republik hanya
mewakili segerombolan kolaborator yang tidak mendapat dukungan rakyat.  Tak seorangpun pengamat
yang serius dapat mempertahankan anggapan seperti itu. Kepercayaan kekebalan, ramalan-ramalan dan
tradisi-tradisi pribumi lain, mendalamnya ketegangan-ketegangan sosial pribumi atau daya tarik
kekerasan bagi rakyat Indonesia, membuat gagasan mengenai suatu revolusi sosialis internasional yang
akan bersifat demokratis, anti bangsawan, dan anti fasis sulit diterapkan di Indonesia.

Keadaan di dalam Republik di Jawa pada tahun 1948 sangat gawat. Kekuasaan republik secara efektif
terdesak ke wilayah pedalaman Jawa Tengah yang sangat padat peduduknya dan kekurangan beras,
dimana penderitaan semakin meningkat sebagai akibat blokade belanda dan masuknya sekitar enam
juta pengungsi dan tentara republik. Pemerintah Republik mencetak lebih banyak uang lagi untuk
menutup biaya sehingga inflasi pun melonjak. Akan tetapi, tindakan ini bukannya tanpa akibat-akibat
yang menguntungkan. Dengan meningkatnya inflasi dan harga beras, maka meningkat pula penghasilan
para petani dan sebagian besar hutang mereka dapat dilunasi, sementara penghasilan para pekerja
merosot.

Pada tanggal 29 Agustus 1947 secara sepihak mereka memproklamirkan apa yang dinamakan “garis van
mook”. Menurut garis Van Mook, republik itu dibatasi hingga lebih sedikit dari sepertiga wilayah jawa –
wilayah tengah bagian timur (dikurangi pelabuhan-pelabuhan parairan laut-dalam) dan ujung yang
paling utara dari pulau itu. Separuh Madura, dan bagian paling luas tetapi paling miskin dari Sumatera.

Garis van Mook menyingkirkan Republik itu dari wilayah-wilayah pertanian paling subur di Jawa maupun
sumatera. Akan tetapi khusus di Jawa, situasinya sangat gawat. Wilayah yang tetap dikuasai Republik
merupakan wilayah yang kekurangan pangan dengan produksi beras perkapita diperkirakan oleh
pemerintah hanya 62,6 kuintal dibandingkan dengan 85,9 kuintal di daerah-daerah yang dikuasai
Belanda. Di samping itu, daerah yang tersisa untuk republic ini didiami penduduk sejumlah 23 juta orang
yang kemudian ditambah lebih dari 700 ribu pengungsi dari daerah-daerah yang dikuasai Belanda
(Kahin, 1995: 278).

Pola makan yang berubah, pola hidup yang berubah serta tekanan-tekanan sosial ekonomi yang
menghimpit menyebabkan perubahan mendasar dalam aspek-aspek fisik maupun psikologi masyarakat.
Dalam aspek fisik nyata terlihat kemiskinan endemis yang makin meluas, kesehatan yang merosot serta
angka kematian yang tinggi. Dalam apek nonfisik, terlihat kemiskinan mentalitas akibat rongrongan dan
ketakutan yang tidak proporsional. Kegelisahan komunal dan ketidaktentraman cultural yang makin
meningkat frekuensinya. Dapat dikatakan bahwa keadaan petani dan masyarakat pedesaan di jawa
berada dalam tingkat yang sangat buruk. Oleh Scott disebut sebagai “subsistence level”, yaitu tingkat
pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Pemikiran yang digunakan adalah bagaimana mereka dapat sekedar
bertahan hidup, dalam situasi yang makin memburuk dan suasana yang makin tak menentu kapan akan
berakhir (Cahyo Budi, 1995: 192-193).

Di sumatera, terjadi revolusi-revolusi sosial yang keras dan menentang elite-elite bangsawan. Di aceh
prmusuhan sengit antara para pemimpin agama (ulama) dan para bangsawan birokrat (uleebalang)
mengakibatkan timbulnya suatu perubahan yang permanen di tingkat elite. Banyak uleebalang yang
mengharapkan kembalinya Belanda, dan puncaknya meletuslah perang saudara. Para uleebalang gagal
untuk melaksanakan suatu perlawanan terpadu terhadap kekuatan-kekuatan pro-republik yang
dipimpin oleh para ulama. Aceh dengan ideology islam, menjadi wilayah yang paling stabil di Indonesia
selama masa revolusi.

Di sumatera timur, kelompok-kelompok bersenjata yang sebagian besar terdiri dari orang-orang batak
dan dipimpin oleh kaum kiri, menyerang raja-raja batak pada bulan maret 1946. Penangkapan-
penangkapan dan perampokan-perampokan terhadap para raja segera berubah menjadi pembantaian
yang mengakibatkan tewasnya beratus-ratus bangsawan sumatera Timur, diantaranya adalah Amir
Hamzah. Para politisi republik setempat serta satuan-satuan tentara setempat menentang tindak
kekerasan ini, dan pada akhir bulan April para pemimpin terkemuka revolusi sosial berdarah ini
ditangkap, tetapi sebagian dapat menyelamatkan diri dalam persembunyian. Perpecahan-perpecahan di
dalam tubuh/kekuatan-kekuatan revolusi di sumatera timur tampak jelas dengan penindasan terhadap
revolusi sosial tersebut. Semetara itu, perpecahan di kalangan elite revolusi di jawa menjadi semakin
tegang ketika partai-partai politik terbentuk. Partai-partai yang penting pada masa revolusi diantaranya:
PKI (Partai komunis Indonesia), Pesindo (pemuda sosialis indonesia), Masyumi, dan PNI (partai nasional
Indonesia).

Semangat revolusi juga terlihat di dalam kesusastraan dan kesenian. Surat-surat kabar dan majalah-
majalah republik bermunculan di banyak daerah, terutama di Jakarta, Yogyakarta dan Surakarta.
Keseluruhan suatu generasi satrawan pada umumnya dinamakan angkatan 45, yaitu orang-orang yang
daya kreatifnya memuncak pada zaman revolusi.

1. C.    Berakhirnya Revolusi Fisik

Dengan pengakuan kedaulatan tanggal 27 desember 1949, maka berakhirlah masa revolusi bersenjata di
Indonesia dan secara de jure pihak Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk RIS.
Namun atas kesepakatan rakyat Indonesia tanggal 17 agustus 1950, RIS dibubarkan dan dibentuk NKRI.
Selanjutnya pada tanggal 28 september 1950, Indonesia di terima menjadi anggota PBB yang ke-60. Hal
ini berarti bahwa kemerdekaan Indonesia secara resmi telah di akui oleh dunia internasional.

PENUTUP

Masa-masa revolusi fisik merupakan masa yang cukup berat bagi bangsa Indonesia karena disamping
harus berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diraihnya harus juga berjuang mewujudkan
negara kesatuan RI. Wilayah Indonesia telah dipecah-pecah oleh Belanda. Oleh karena itu, bangsa
Indonesia berjuang untuk merebut kembali wilayah yang menjadi miliknya melalui perjuangan diplomasi
maupun angkat senjata.

Akhirnya usaha Belanda untuk menguasai kembali Indonesia gagal karena ada perlawanan bangsa
Indonesia dan dukungan Negara-negara yang bersimpati terutama Amerika Serikat. Bagaimanapun juga
kemenangan pihak Belanda yang hampir tercapai ini, banyak menolong untuk menggalang kebhinekaan
bangsa Indonesia menjadi sebuah republik kesatuan yang bersepakat terhadap apa yang ditentangnya,
seandainya bukan selalu menyepakati apa yang disokongnya. Dengan demikian, akhirnya pihak Belanda
harus melupakan usahanya membentuk imperium di Indonesia dan meninggalkan suatu warisan
persatuan yang sangat berharga.

Masa Demokrasi Liberal Di Indonesia (1950 – 1959)

Setelah pengakuan kedaulatan RI pada 27 Desember 1949, maka sejalan dengan isi KMB Den Haag,
bentuk negara adalah serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Konstitusi yang berlaku di
seluruh wilayah negara adalah Konstitusi RIS. Sedangkan RI sebagai negara bagian di Jogjakarta
memberlakukan Konstitusi RIS dan UUD Negara Proklamasi. Sejalan dengan tuntutan rakyat, maka
terjadi upaya kembali ke NKRI dan tercapai pada 17 Agustus 1950. Pada tahun 1950, Negara Kesatuan
Republik Indonesia mempergunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga disebut
Undang-Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan dilakukan oleh kabinet sifatnya
parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab pada parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet
bergantung pada dukungan anggota parlemen.

Ciri utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini disebabkan karena jumlah
partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak. Setiap kabinet
terpaksa didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil usaha pembentukan partai ( kabinet
formatur ). Bila dalam perjalanannya kemudian salah satu partai pendukung mengundurkan diri dari
kabinet, maka kabinet akan mengalami krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang ( umumnya
ketua partai ) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil pembentukannya, maka kabinet
dilantik oleh Presiden.

Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia
memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia akan
mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama sepuluh tahun (1950-1959)
ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet
pada masa Demokrasi Parlementer adalah :
a. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
b. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
c. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
d. Kabinet Ali-Wongso ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
e. Kabinet Burhanudin Harahap
f. Kabinet Ali II (24 Maret 1957)
g. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )

Program kabinet pada umumnya tidak dapat diselesaikan. Mosi yang diajukan untuk menjatuhkan
kabinet lebih mengutamakan merebut kedudukan partai daripada menyelamatkan rakyat.

Sementara para elit politik sibuk dengan kursi kekuasaan, rakyat mengalami kesulitan karena adanya
berbagai gangguan keamanan dan beratnya perekonomian ysng menimbulkan labilnya sosial-ekonomi.
Adapun gangguan-gangguan keamanan tersebut antara lain :

a. Pemberontakan Kahar Muzakar


Kahar Muzakar adalah putra Sulawesi yang pada zaman perang kemerdekaan berjuang di Jawa. Setelah
kembali ke Sulawesi bergabung dengan Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan pada tahun 1950
menuntut agar pasukannya masuk APRIS. Tuntutannya ditolak tetapi kepada anggotanya yang
memenuhi syarat diperbolehkan masuk, sedangkan sisanya dimasukkan ke dalam Corps Cadangan
Nasional. Kahar akan diberikan pangkat letkol, tetapi saat pelantikan, tanggal 17 Agustus 1951, ia
bersama anak buahnya melarikan diri ke hutan dan membuat gangguan keamanan. Pada Januari 1952
menyatakan diri ikut sebagai bagian anggota Kartosuwiryo. Setelah empat belas tahun memberontak,
pada akhirnya berhasil dilumpuhkan setelah salah seorang anak buahnya, yaitu Bahar Matiliu
menyerahkan diri. Ia berhasil ditembak oleh pasukan Divisi Siliwangi pada bulan Februari 1965.

b. Pemberontakan di Jawa Tengah


Pengaruh DI meluas di Jawa Tengah, yaitu di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan yang dihadapi
pemerintah dengan operasi-operasi militer. Di Kebumen pemberontakan dilakukan oleh Angkatan Umat
Islam (AUI) di bawah pimpinan Kyai Somalangu, yang setelah intinya dapat ditumpas, sisanya bergabung
dengan DI/TII. Di lingkunganAngkatan Darat juga terjadi perembesan pemberontakan ini, sehingga
Batalyon 426 di Kudus dan Magelang juga memberontak dan bergabung dengan DI/TII (Desember 1951).
Sebagian dari mereka mengadakan gerilya di Merbabu-Merapi Complex (MMC). Untuk menghadapi
mereka, pemerintah membentuk pasukan khusus yang diberi nama Banteng Raiders. Pada bulan Juni
1954 kekuatan mereka bisa dipatahkan.

c. Pemberontakan di Aceh
Pengikut DI di Aceh memproklamirkan daerahnya sebagai bagian dari NII pada tanggal 20 September
1953. Pemimpinnya adalah Daud Beureueh, seorang ulama dan pejuang kemerdekaan yang pernah
menjabat gubernur Militer Daerah Aceh tahun 1947. Pada mulanya mereka dapat menguasai sebagian
besar daerah Aceh termasuk kota-kotanya. Setelah pemerintah mengadakan operasi, mereka
menyingkir ke hutan. Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kol. M. Jasin mengambil prakarsa mengadakan
Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang berhasil mengembalikan Daud Beureueh ke masyarakat
(Desember 1962).

d. Peristiwa 17 Oktober 1952


Peristiwa ini bersumber pada kericuhan yang terjadi di lingkungan Angkatan Darat. Kol. Bambang
Supeno tidak menyetujui kebijaksanaan Kol. A.H. Nasution selaku KSAD. Ia mengajukan surat kepada
Menteri Pertahanan dan Presiden dengan tembusan kepada parlemen berisi soal tersebut dan meminta
agar Kol. A.H. Nasution diganti. Manai Sophian selaku anggota parlemen mengajukan mosi agar
pemerintah segera membentuk panitia untuk mempelajari masalahnya dan mengajukan
pemecahannya. Hal ini dianggap usaha campur tangan parlemen terhadap tubuh Angkatan Darat.
Pimpinan AD mendesak kepada Presiden untuk membubarkan Parlemen. Desakan ini jugas dilakukan
oleh rakyat dengan mengadakan demonstrasi ke gedung parlemen dan Istana Merdeka. Presiden
menolak tuntutan ini dengan alasan tidak ingin menjadi seorang diktator, tetapi akan berusaha segera
mempercepat pemilu. Kol. A.H. Nasution akhirnya mengundurkan diri, diikuti oleh Mayjen T.B.
Simatupang. Jabatan ini akhirnya digantikan oleh Kol. Bambang Sugeng.

e. Peristiwa 27 Juni 1955


Peristiwa ini merupakan lanjutan peristiwa sebelumnya. Karena dianggap bahwa pemerintah belum
mampu menyelesaiakan persolan tersebut. Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya.
Sementara belum terpilih KSAD yang baru, pimpinan KSAD dipegang oleh Wakil KSAD yaitu Kol. Zulkifli
Lubis. Kemudian pemerintah mengangkat Kol. Bambang Utoyo sebagai KSAD yang baru. Pada saat
pelantikannya, 27 Juni 1955, tidak ada satupun perwira AD yang hadir. Peristiwa ini menyebabkan
kabinet Ali-Wongso jatuh. Kemudian pada masa Kabinet Burhanudin Harahap, bekas KSAD yang lama,
yaitu Kol. A.H. Nasution, kembali diangkat menjadi KSAD (7 November 1955).
Peristiwa di Angkatan Perang yang bersifat liberal juga terjadi pada tanggal 14 Desember 1955. Yaitu
ketika Komodor Udara Hubertus Suyono dilantik menjadi Staf Angkatan Udara di Pangkalan Udara
Cililitan (Halim Perdanakusuma), segerombolan prajurit pasukan kehormatan maju dan menolak
pelantikan tersebut. Kemudian mereka meninggalkan barisan diikuti oleh pasukan pembawa panji-panji
Angkatan Udara, sehingga upacara batal.

f. Dewan-dewan Daerah
Diawali dengan pembentukan Bewan Banteng oleh Kol (pensiun) Ismail Lengah di Padang (20 November
1956), dengan ketuanya Ahmad Husein, Komandan Resimen IV Tentara Teritorium (TT) I di Padang.
Mereka mengajukan tuntutan kepada pemerintah pusat tentang otonomi daerah. Larangan KSAD agar
tentara tidak berpolitik tidak dihiraukan. Mereka malah mengambil alaih pemerintahan daerah Sumatra
Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyodiharjo (20 Desember 1956).
Tindakan tersebut diikuti oleh daerah-daerah lain seperti pembentukan Dewan Gajah di Sumatra Utara
(Kol. M. Simbolon), Dewan Garuda di Sumatra Selatan (Kol. Barlian), dan Dewan Manguni di Sulawesi
Utara (Letkol. H.N.V. Samual). Peristiwa-peristiwa ini dilatarbelakangi oleh karena pembangunan yang
tidak merata, padahal daerah-daerah tersebut telah memberikan devisa bagi negara.
Pemerintah berusaha mengatasi masalah tersebut dengan mengadakan perundingan dan janji
pemerataan pembangunan. Namun usaha tersebut tidak berhasil. Akhirnya operasi militerpun
dilancarkan (17 Desember 1957).

g. Usaha Pembunuhan terhadap Kepala Negara


Rasa tidak puas golongan ekstrim kanan memuncak dan dilampiaskan dalam bentuk usaha pembunuhan
terhadap Presiden Soekarno di Perguruan Cikini Jakarta (30 November 1957). Usaha tersebut gagal,
tetapi menimbulkan banyak korban. Para pelaku dapat ditangkap, dan dijatuhi hukuman mati.
Usaha kedua terjadi pada saat Idhul Adha di halaman Istana Jakarta. Kemudian terjadi lagi. Pelakunya
Letnan Udara II D.A. Maukar dengan mempergunakan pesawat Mig 17. Istana Merdeka dan Bogor
ditembakinya dari udara (9 Maret 1960). Dilakukan Maukar bersama kelompoknya, Manguni, dengan
tujuan agar pemerintah mau berunding dengan PRRI dan Permesta. Usaha tersebut sia-sia.

h. Pemberontakan PRRI dan Permesta


Akhmad Husein, beserta para tokoh Masyumi dan dewan daerah mengadakan rapat di Sungai Dareh,
Sumatra Barat (9 Januari 1958). Keesokan harinya pada saat rapat akbar di Padang, Akhmad Husein
mengultimatum pemerintah agar Kabinet Juanda dalam waktu 5×24 jam menyerahkan mandat kepada
Drs. Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX agar membentuk zaken kabinet dan agar Presiden
kembali sebagai Presiden Konstitusional.

Ultimatum tersebut ditolak oleh Pemerintah. Akhirnya Husein membentuk Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dengan Syafrudin Prawiranegara sebaga
Perdana Mentri (15 Februari 1958). Hal tersebut diikuti oleh Sulawesi Utara di bawah pimpinan Letkol
D.J. Somba yang membentuk Gerakan Piagam Perjuangan Semerta (Permesta). Pemberontakan ini
ditumpas dengaan operasi militer selama beberapa tahun.

Selain gangguan keamanan, kesulitan juga dialami oleh Pemerintah dalam beberapa bidang. Sehingga
pada akhir Demokrasi Liberal terasa terjadi kemunduran. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain dalam
bidang:

a. Politik
Politik sebagai Panglima merupakan semboyan partai-partai pada umumnya, sehingga berlomba-
lombalah para partai politik untuk memperebutkan posisi panglima ini. Lembaga seperti DPR dan
Konstituante hasil PEMILU merupakan forum utama politik, sehingga persoalan ekonomi kurang
mendapat perhatian.

Pemilihan umum merupakan salah satu program beberapa kabinet, tetapi karena umur kabinet pada
umumnya singkat program itu sulit dilakukan. Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, pemerintah berusaha
keras untuk melaksanakannya. Dalam suasana liberal, PEMILU diikuti oleh puluha partai, organisasi
maupun perorangan. Anggota APRI pun ikut serta sebagai pemilih.

Pada tanggal 15 Desember 1955 pemilihan dilaksanakan dengan tenang dan tertib. Ada empat partai
yang memenangkan Pemilu, yaitu Masyumi, PNI, Nahdatul Ulama, dan PKI.
Namun pada prakteknya, kedua lembaga (DPR dan Konstituante) tidak memberikan hasil seperti yang
diharapkan. DPR tetap sebagai tempat perebutan pengaruh dan kursi pemerintahan, sedangkan
konstituante setelah lebih dari dua tahun belum juga dapat menghasilkan UUD baru untuk
menggantikan UUDS.

Politik Luar Negeri Indonesia semakin mantap setelah diterima sebagai anggota PBB ke-60 (27 Desember
1950). Cara-cara damai yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap Pemerintah Belanda tentang
Irian Jaya ( Papua ) tidak memperoleh penyelesaian yang memuaskan, seperti telah tercantum dalam
persetujuan KMB, sehingga secara sepihak Pemerintah Indonesia membatalkan perjanjian tersebut
dengan UU No. 13 Tahun 1956.
Sumbangan positif Indonesia dalam dunia Internasional adalah dikirimkannya tentara Indonesia dalam
United Nations Amergency Forces (UNEF) untuk menjaga perdamaian di Timur Tengah. Pasukan ini
diberi nama Garuda I dan diberangkatkan Januari 1957.

b. Ekonomi
Untuk menyehatkan perekonomian, dilakukan penyehatan keuangan dengan mengadakan sanering
yang dikenal dengan Gunting Syafrudin (19 Maret 1950). Uang Rp. 5,00 ke atas dinyatakan hanya
bernilai setengahnya, sedangkan setengahnya lagi merupakan obligasi. Bari tindakan tersebut
Pemerintah dapat menarik peredaran uang sebanyak Rp. 1,5 milyar untuk menekan inflasi.

Pemerintah juga mengeluarkan peraturan tentang Bukti Eksport (BE) untuk mengimbangi import.
Eksportir yang telah mengeksport kemudian memperoleh BE yang dapat diperjualbelikan. Harga BE
meningkat, sehingga pemerintah membatasinya sampai 32,5%. Karena ternyata BE tidak berhasil
meningkatkan perekonomian, akhirnya peraturan tersebut dihapuskan (1959).

Pemerintah kemudian membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang bertugas menyusun
rencana pembangunan Nasional untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur (1959). Tetapi
peningkatan belum juga terjadi, karena labilnya politik dan inflasi yang mengganas. Pemerintah juga
cenderung bersikap konsumtif. Jaminan emas menurun , sehingga rupiah merosot.

c. Sosial
Partai Politik menggalakkan masyarakat dengan membentuk organisasi massa (ormas), khususnya dalam
menghadapi Pemilu tahun 1955. Keadaan sosial-ekonomi yang kian merosot menguntungkan partai-
partai kiri yang tidak duduk dalam pemerintahan karena dapat menguasai massa. PKI makin
berkembang, dalam Pemilu tahun 1955 dapat merupakan salah satu dari empat besar dan kegiatannya
ditingkatkan yang mengarah pada perebutan kekuasaan (1965).

d. Budaya
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, Pemerintah dianggap berhasil dalam bidang budaya ini.
Untuk mencukupi tenaga terdidik dari perguruan tinggi, Pemerintah membuka banyak universitas yang
disebarkan di daerah.
Prestasi lain adalah dalam bidang olah raga. Dalam perebutan Piala Thomas (Thomas Cup) Indonesia
yang baru pertama kali mengikuti kejuaraan ini berhasil memperoleh piala tersebut (Juni 1958). Selain
itu juga Indonesia berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika dengan sukses.

Karena wilayah Indonesia berupa kepualauan, maka Pemerintah mengubah peraturan dari pemerintah
kolonial Belanda, yaitu Peraturan Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, yang menyebutkan
wilayah teritorial Hindia-Belanda dihitung tiga mil laut diukur dari garis rendah pulau-pulau dan bagian
pulau yang merupakan wilayah daratannya. Peraturan ini dinilai sangat merugikan bangsa Indonesia.
Karena itu Pemerintah Indonesia mengeluarkan Deklarasi 13 Desember 1957 yang juga disebut sebagai
Deklarasi Juanda tentang Wilayah Perairan Indonesia.

Indonesia juga membuat peraturan tentang landas kontinen, yaitu peraturan tentang batas wilayah
perairan yang boleh diambil kekayaannya. Peraturan ini tertuang dalam Pengumuman Pemerintah
tentang Landas Kontinen tanggal 17 Februari 1969. Pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian
dengan negara-negara tetangga tentang batas-batas Landas Kontinen agar kelak tidak terjadi
kesalahpahaman.

menyebarkan pengaruhkomunismedi Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwakebanyakan dari


mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakangdengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangandilakukan

rujukan?

.Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilihuntuk menghindari
dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Perpecahan bangsa

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia.Setiap hari media
massa sepertiradiodantelevisimendengungkan slogan "persatuandan kesatuan bangsa". Salah satu cara
yang dilakukan oleh pemerintah adalahmeningkatkantransmigrasidari daerah yang padat penduduknya
sepertiJawa,Bali danMadurake luar Jawa, terutama keKalimantan,Sulawesi, Timor
Timur,danIrianJaya.Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalahterjadinya
marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang
banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama
denganjawanisasiyang disertai sentimen anti-Jawadi berbagai daerah, meskipun tidak semua
transmigran itu orang Jawa.Pada awalEra Reformasikonflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain
dalam bentuk konflik Ambondankonflik Madura-Dayak di Kalimantan.

[1]

Sementara itugejolak diPapuayang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagiankeuntungan
pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.].1.

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru


o

perkembanganGDPper kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanyaAS$70dan pada 1996 telah
mencapai lebih dari AS$1.000

suksestransmigrasi

suksesKB

sukses memerangi buta huruf

sukses swasembada pangan

pengangguran minimum

sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)

sukses Gerakan Wajib Belajar

sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh

sukses keamanan dalam negeri

Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia

sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri


Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

semaraknyakorupsi, kolusi, nepotisme

pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan
daerah, sebagian disebabkan karena kekayaandaerah sebagian besar disedot ke pusat

munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh
dan Papua

kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yangmemperoleh tunjangan


pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya

bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)

kritik dibungkam dan oposisi diharamkan

kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yangdibreidel

penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan
Misterius" (petrus)

tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presidenselanjutnya)


Krisis finansial Asia

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas
lihat:Krisis finansial Asia), disertaikemarauterburuk dalam 50 tahunterakhir dan harga minyak, gas dan
komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.Rupiahjatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan
modal dipercepat. Parademonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran
diriSoeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkandiri pada21 Mei
1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh.Soeharto kemudian memilih sang
Wakil Presiden,B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Pasca-Orde Baru

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun1998dapat dikatakan sebagai tandaakhirnya Orde
Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde
Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan
bahwa OrdeBaru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasisering
disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".

Reformasi

Reformasi

secara umum berarti perubahan terhadap suatusistemyang telah ada padasuatu masa. DiIndonesia, kata

Reformasi

umumnya merujuk kepada gerakanmahasiswa pada tahun1998yang menjatuhkan kekuasaan


presidenSoehartoatau erasetelahOrde Baru

Pengertian Reformasi

Reformasi merupakan perubahan yang radikal dan menyeluruh untuk perbaikan. Reformasi
menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang
lebih baik secara konstitusional dalam berbagai bidang kehidupan. Ketika terjadi krisis ekonomi, politik,
hukum dan krisis kepercayan, maka seluruh rakyat mendukung adanya reformasi dan menghendaki
adanya pergantian pemimpin yang diharapkan dapat membawa perubahan Indonesia di segala bidang
ke arah yang lebih baik.

Tujuan Reformasi

Tujuan reformasi adalah terciptanya kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial yang
lebih baik dari masa sebelumnya. Tujuan Reformasi adalah sebagai berikut :
1. Reformasi politik bertujuan tercapainya demokratisasi.

2. Reformasi ekonomi bertujuan meningkatkan tercapainya masyarakat.

3. Reformasi hukum bertujuan tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat

4. Indonesia.

5. Reformasi sosial bertujuan terwujudkan integrasi bangsa Indonesia.

Faktor Pendorong Terjadinya Reformasi

1) Faktor politik meliputi hal-hal berikut.

 Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dalam kehidupan pemerintahan.

 Adanya rasa tidak percaya kepada pemerintah Orba yang penuh dengan nepotisme dan
kronisme serta merajalelanya korupsi.

 Kekuasaan Orba di bawah Soeharto otoriter tertutup.

 Adanya keinginan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 Mahasiswa menginginkan perubahan.

2) Faktor ekonomi, meliputi hal-hal berikut.

 Adanya krisis mata uang rupiah.

 Naiknya harga barang-barang kebutuhan masyarakat.

 Sulitnya mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok.

3) Faktor sosial masyarakat : adanya kerusuhan tanggal 13 dan 14 Mei 1998 yang melumpuhkan
perekonomian rakyat.
4) Faktor hukum : belum adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang sama di antara warga negara.

Agenda Reformasi Politik

Substansi agenda reformasi politik sebagai berikut.


1) Reformasi di bidang ideologi negara dan konstitusi.
2) Pemberdayaan DPR, MPR, DPRD maksudnya agar lembaga perwakilan rakyat benar-benar
melaksanakan fungsi perwakilannya sebagai aspek kedaulatan rakyat dengan langkah sebagai berikut.

 Anggota DPR harus benar-benar dipilih dalam pemilu yang jurdil.

 Perlu diadakan perubahan tata tertib DPR yang menghambat kinerja DPR.
 Memperdayakan MPR.

 Perlu pemisahan jabatan ketua MPR dengan DPR.

3) Reformasi lembaga kepresidenan dan kabinet meliputi hal-hal berikut.

 Menghapus kewenangan khusus presiden yang berbentuk keputusan presiden dan instruksi
presiden.

 Membatasi penggunaan hak prerogatif.

 Menyusun kode etik kepresidenan.

4) Pembaharuan kehidupan politik yaitu memperdayakan partai politik untuk menegakkan kedaulatan
rakyat, maka harus dikembangkan sistem multipartai yang demokratis tanpa intervensi pemerintah.
5) Penyelenggaraan pemilu.
6) Birokrasi sipil mengarah pada terciptanya institusi birokrasi yang netral dan profesional yang tidak
memihak.
7) Militer dan dwifungsi ABRI mengarah kepada mengurangi peran sosial politik secara bertahap sampai
akhirnya hilang sama sekali, sehingga ABRI berkonsentrasi pada fungsi Hankam.
8) Sistem pemerintah daerah dengan sasaran memperdayakan otonomi daerah dengan asas
desentralisasi.
e. Agenda Reformasi Bidang Ekonomi

 Penyehatan ekonomi dan kesejahteraan pada bidang perbankan, perdagangan, dan koperasi
serta pinjaman luar negeri untuk perbaikan ekonomi.

 Penghapusan monopoli dan oligopoli.

 Mencari solusi yang konstruktif dalam mengatasi utang luar negeri.

f. Agenda Reformasi Bidang Hukum

 Terciptanya keadilan atas dasar HAM.

 Dibentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan tuntutan reformasi. Misal : Bidang
ekonomi dikeluarkan UU kepailitan, dihapuskan UU subversi, sesuai semangat HAM dilepaskan
napol-tapol (amnesti-abolisi). (Agenda Reformasi bidang hukum difokuskan pada integrasi
nasional.)

g. Agenda reformasi bidang pendidikan Agenda reformasi bidang pendidikan ditujukan terutama
masalah kurikulum yang harus ditinjau paling sedikit lima tahunan.

Hambatan pelaksanaan reformasi politik


1. Hambatan kultural : mengingat pergantian kepemimpinan nasional dari Soeharto ke B.J. Habibie
tidak diiringi pergantian rezim yang berarti sebagian besar anggota kabinet, gubernur, birokrasi
sipil, komposisi anggota DPR/MPR masih peninggalan rezim Orba.

2. Hambatan legitimasi : pemerintah B.J. Habibie karena belum merupakan hasil pemilu.

3. Hambatan struktural : berkaitan dengan krisis ekonomi yang berlarut-larut yang berdampak
bertambah banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan.

4. Munculnya berbagai tuntutan otonomi daerah, yang jika tidak ditangani secara baik akan
menimbulkan disintegrasi bangsa.

5. Adanya kesan kurang kuat dalam menegakkan hukum terhadap praktik penyimpangan politik-
ekonomi rezim lama seperti praktik KKN.

6. Terkotak-kotaknya elite politik, maka dibutuhkan kesadaran untuk bersamasama menciptakan


kondisi politik yang mantap agar transformasi politik berjalan lancar.

Anda mungkin juga menyukai