Anda di halaman 1dari 32

SEJARAH

KERAJAAN MAJAPAHIT

DISUSUN OLEH :

SRI ANDAYANI

AQILAH SYAIRAH UTAMI

FIDYA UTAMI KASIM

ANNISA CAHYA WULANDARI

HASBI WISTARA

DINAS PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI SELATAN

SMAN 11 MAKASSAR

TAHUN AJARAN 2019-2020


SUMBER SEJARAH KERAJAAN
MAJAPAHIT
Peninggalan dari Kerajaan Majapahit diantaranya dalam bidang sastra
adalah Kitab Sutasoma dan Kitab Negara Kertagama yang dihimpun
oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular. Dalam kitab inilah tercamtum
kalimat “Bhineka Tunggal Ika”, yang kemudian dijadikan semboyan
Negara Republik Indonesia sampai saat ini.

Pada masa ini pula banyak dibangun candi yang terkenal, seperti
Candi Panataran, Candi Tikus, Candi Jabung, Candi Surawana.

Sumber Sejarah dari Kerajaan Majapahit antara lain:

1. Prasasti Butak (1294 M) – Memuat peristiwa runtuhnya Singasari


dan perjuangan Raden Wijaya untuk mendirikan Majapahit.
2. Kidung Harsawijaya dan kidung Panji Wijayakrama –
Berkisah perjuangan Raden Wijaya melawan Kediri dan tahun-
tahun awal perkembangan Majapahit.
3. Kitab Pararaton – Menceritakan pemerintahan raja-raja Singasari
dan Majapahit.
4. Kitab Negarakertagama – Menceritakan keadaan Majapahit masa
pemerintahan Hayam Wuruk.
Kehidupan Politik Kerajaan Majapahit

Kehidupan politik Kerajaan Majapahit berhubungan


pemerintahan dan kepemimpinan rajanya. Raja-raja itu antara lain
a. Raden Wijaya
Berdirinya Kerajaan Majapahit sangat berhubungan dengan
runtuhnya Kerajaan Singasari. Kerajaan Singasari runtuh setelah salah
satu raja vasalnya yaitu Jayakatwang mengadakan pemberontakan.
Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya yang merupakan
menantu dari Raja Singasari terakhir yaitu Kertanegara. Raden Wijaya
beserta istri dan pengikutnya dapat meloloskan diri ketika Singasari
diserang Jayakatwang. Raden Wijaya meloloskan diri dan pergi ke
Madura untuk menemui dan meminta perlindungan Bupati Sumenep
dari Madura yaitu Aryawiraraja. Berkat Aryawiraraja juga, Raden
Wijaya mendapat pengampunan dari Jayakatwang, bahkan Raden
Wijaya sendiri diberi tanah di hutan Tarik dekat Mojokerto yang
kemudian daerah itu dijadikan sebagai tempat berdirinya kerajaan
Majapahit.
Raden Wijaya kemudian menyusun kekuatan di Majapahit dan
mencari saat yang tepat untuk menyerang balik Jayakatwang. Untuk
itu, dia mencoba mencari dukungan kekuatan dari raja-raja yang
masih setia pada Singasari atau raja yang kurang senang pada
Jayakatwang. Kesempatan untuk menghancurkan Jayakatwang
akhirnya muncul setelah tentara Mongol mendarat di Jawa untuk
menyerang Kertanegara. Keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh Raden
Wijaya dengan cara memperalat mereka untuk menyerang
Jayakatwang. Raden Wijaya bersama-sama dengan pasukan Kubhilai
Khan berhasil mengalahkan pasukan Jayakatwang. Begitu pula
Jayakatwang berhasil ditangkap dan lalu dibunuh oleh pasukan
Kubhilai Khan.
Setelah Jayakatwang terbunuh, lalu Raden Wijaya melakukan
serangan balik terhadap pasukan Kubhilai Khan. Raden Wijaya
berhasil memukul mundur pasukan Kubhilai Khan, sehingga mereka
terpaksa menyelamatkan diri keluar Jawa. Setelah berhasil mengusir
pasukan Kubhilai Khan, Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja
Majapahit pada tahun 1293 M dengan gelar Sri Kertarajasa
Jayawardhana.
Sebagai seorang raja yang besar, Raden Wijaya memperistri
empat putri Kertanegara sebagai permaisurinya. Dari Tribuana, ia
mempunyai seorang putra yang bernama Jayanegara. Sedangkan dari
Gayatri, ia mempunyai dua orang putri, yaitu Tribuanatunggadewi dan
Rajadewi Maharajasa.
Para pengikut Raden Wijaya yang setia dan berjasa dalam
mendirikan kerajaan Majapahit, diberi kedudukan yang tinggi dalam
pemerintahan. Tetapi ada saja yang tidak puas dengan kedudukan
yang diperolehnya. Hal ini menimbulkan pemberontakan di sana-sini.
Pada tahun 1309 M, Raden Wijaya meninggal dunia dan didarmakan
di Antahpura, dekat Blitar. Setelah Raden Wijaya meninggal dunia,
Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Jayanegara dengan gelar Sri
Jayanegara.
b. Jayanegera.
Pada masa pemerintahannya, Jayanegara dirongrong oleh
serentetan pemberontakan. Pemberontakan-pemberontakan ini datang
dari Ranggalawe (1309), Lembu Sora (1311), Juru Demung dan Gajah
Biru (1314), Nambi (1316), dan Kuti (1320).
Pemberontakan Kuti merupakan pemberontakan yang paling
berbahaya karena Kuti berhasil menduduki ibu kota Majapahit,
sehingga raja Jayanegara terpaksa melarikan diri ke daerah Badandea.
Jayanegara diselamatkan oleh pasukan Bhayangkari di bawah
pimpinan Gajah Mada. Berkat ketangkasan dan siasat jitu dari Gajah
Mada, pemberontakan Kuti berhasil ditumpas. Sebagai penghargaan
atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih di Kahuripan
pada tahun 1321 M dan Patih di Daha (Kediri).
Pada tahun 1328, Jayanegara tewas dibunuh oleh Tabib Israna
Ratanca, ia didharmakan di dalam pura di Sila Petak dan Bubat.
Jayanegara tidak mempunyai putra, maka takhta kerajaan digantikan
oleh adik perempuannya yang bernama Tribhuanatunggadewi. Ia
dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar
Tribhuanatunggadewi Jaya Wisnu Wardhani.
c. Tribhuanatunggadewi
Pada masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan Sadeng dan
Keta pada tahun 1331. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh
Gajah Mada. Sebagai penghargaan atas jasanya, Gajah Mada diangkat
menjadi mahapatih di Majapahit oleh Tribhuanatunggadewi.
Di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, Gajah Mada
mengucapkan sumpah yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa. Isi
sumpahnya, ia tidak akan Amukti Palapa sebelum ia dapat
menundukkan Nusantara, yaitu Gurun, Seran, Panjungpura, Haru,
Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik.
Dalam rangka mewujudkan cita-citanya, Gajah Mada
menaklukkan Bali pada tahun 1334, kemudian Kalimantan, Nusa
Tenggara, Sulawesi, Maluku, Sumatra, dan beberapa daerah di
Semenanjung Malaka. Seperti yang tercantum dalam kitab
Negarakertagama, wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit sangat luas,
yakni meliputi daerah hampir seluas wilayah Republik Indonesia
sekarang.
Tribhuanatunggadewi memerintah selama dua puluh dua tahun.
Pada tahun 1350, ia mengundurkan diri dari pemerintahan dan
digantikan oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk. Pada tahun
1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja
Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara dan ia didampingi oleh
Mahapatih Gajah Mada.
d. Hayam Wuruk
Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk. Wilayah kekuasaan Majapahit meliputi
seluruh Nusantara. Pada saat itulah cita-cita Gajah Mada dengan
Sumpah Palapa berhasil diwujudkan.
Usaha Gajah Mada dalam melaksanakan politiknya, berakhir
pada tahun 1357 dengan terjadinya peristiwa di Bubat, yaitu perang
antara Pajajaran dengan Majapahit. Pada waktu itu, Hayam Wuruk
bermaksud untuk menikahi putri Dyah Pitaloka. Sebelum putri Dyah
Pitaloka dan ayahnya beserta para pembesar Kerajaan Pajajaran
sampai di Majapahit, mereka beristirahat di lapangan Bubat. Di sana
terjadi perselisihan antara Gajah Mada yang menghendaki agar putri
itu dipersembahkan oleh raja Pajajaran kepada raja Majapahit. Para
pembesar Kerajaan Pajajaran tidak setuju, akhirnya terjadilah
peperangan di Bubat yang menyebabkan semua rombongan Kerajaan
Pajajaran gugur.
Pada tahun 1364 M, Gajah Mada meninggal dunia. Hal itu
merupakan kehilangan yang sangat besar bagi Majapahit. Kemudian
pada tahun 1389 Raja Hayam Wuruk meninggal dunia. Hal ini
menjadi salah satu penyebab surutnya kebesaran Kerajaan Majapahit
di samping terjadinya pertentangan yang berkembang menjadi perang
saudara.
Setelah Hayam Wuruk meninggal, takhta Kerajaan Majapahit
diduduki oleh Wikramawardhana. Ia adalah menantu Hayam Wuruk
yang menikah dengan putrinya yang bernama Kusumawardhani. Ia
memerintah Kerajaan Majapahit selama dua belas tahun.
Pada tahun 1429 M, Wikramawardhana meninggal dunia.
Selanjutnya raja-raja yang memerintah Majapahit setelah
Wikramawardhana adalah:
1) Suhita (1429 M 1447 M), putri Wikramawardhana;
2) Kertawijaya (1448 M 1451 M), adik Suhita;
3) Sri Rajasawardhana (1451 M 1453 M);
4) Girindrawardhana (1456 M 1466 M), anak dari Kertawijaya;
5) Sri Singhawikramawardhana (1466 M 1474 M);
6) Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
Runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1400 Saka (1478 M)
dijelaskan dalam Chandra Sengkala yang berbunyi, “Sirna ilang
Kertaning-Bhumi” dengan adanya peristiwa perang saudara antara
Dyah Ranawijaya dengan Bhre Kahuripan. Selain itu, keruntuhan
Majapahit disebabkan karena serangan dari Kerajaan Islam Demak.
Kehidupan Sosial Ekonomi Kerajaan
Majapahit
Di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, rakyat Majapahit hidup
aman dan tenteram. Hayam Wuruk sangat memperhatikan rakyatnya.
Keamanan dan kemakmuran rakyat diutamakan. Untuk itu dibangun
jalan-jalan dan jembatan-jembatan. Dengan demikian lalu lintas
menjadi lancar.

Hal ini mendukung kegiatan keamanan dan kegiatan perekonomian,


terutama perdagangan. Lalu lintas perdagangan yang paling penting
melalui sungai. Misalnya, Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas.
Akibatnya desa-desa di tepi sungai dan yang berada di muara serta di
tepi pantai, berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan. Hal itu
menyebabkan terjadinya arus bolak-balik para pedagang yang
menjajakan barang dagangannya dari daerah pantai atau muara ke
pedalaman atau sebaliknya.

Bahkan di daerah pantai berkembang perdagangan antar daerah, antar


pulau, bahkan dengan pedagang dari luar.Kemudian timbullah kota-
kota pelabuhan sebagai pusat pelayaran dan perdagangan. Beberapa
kota pelabuhan yang penting pada zaman Majapahit, antara lain
Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban. Pada waktu itu banyak
pedagang dari luar seperti dari Cina India, dan Siam.
Adanya pelabuhan-pelabuhan tersebut mendorong munculnya
kelompok bangsawan kaya. Mereka menguasai pemasaran bahan-
bahan dagangan pokok dari dan ke daerah-daerah Indonesia Timur
dan Malaka. Kegiatan pertanian juga dikembangkan. Sawah dan
ladang dikerjakan secukupnya dan dikerjakan secara bergiliran. Hal
ini maksudnya agar tanah tetap subur dan tidak kehabisan lahan
pertanian. Tanggul-tanggul di sepanjang sungai diperbaiki untuk
mencegah bahaya banjir.
Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan
Majapahit

Kehidupan sosial masa Majapahit aman, damai, dan tenteram. Dalam


kitab Negarakrtagama disebutkan bahwa Hayam Wuruk melakukan
perjalanan keliling ke daerah-daerah untuk mengetahui sejauh mana
kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Perlindungan terhadap rakyat
sangat diperhatikan. Demikian juga peradilan, dilaksanakan secara
ketat; siapa yang bersalah dihukum tanpa pandang bulu.

Dalam kondisi kehidupan yang aman dan teratur maka suatu


masyarakat akan mampu menghasilkan karya-karya budaya yang
bermutu tinggi. Hasil budaya Majapahit dapat dibedakan sebagai
berikut.

1. Candi

Banyak candi peninggalan Majapahit, seperti Candi Penataran (di


Blitar), Candi Brahu, Candi Bentar (Waringin Lawang), Candi Bajang
Ratu, Candi Tikus, dan bangunan-bangunan kuno lainnya, seperti
Segaran dan Makam Troloyo (di Trowulan).

2. Kesusanteran
Zaman Majapahit bidang sastra sangat berkembang. Hasil sastranya
dapat dibagi menjadi zaman Majapahit Awal dan Majapahit Akhir.

Sastra Zaman Majapahit Awal

 Kitab Negarakrtagama, karangan Empu Prapanca. Isinya


tentang keadaan kota Majapahit, daerah-daearah jajahan, dan
perjalananan Hayam Wuruk keliling ke daerah-daerah.
 Kitab Sotasoma, karangan Empu Tantular. Di dalam kitab ini
terdapat ungkapan yang berbuny "Bhinneka tunggal ika tan
hana dharma mangrawa" yang kemudian dipakai sebagai motto
negara kita.
 Kitab Arjunawijaya karangan EmpuTantular. Isinya tentang
raksasa yang dikalahkan oleh Arjuna Sasrabahu.
 Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui pengarangnya.

Sastra Zaman Akhir Majapahit

 Kitab Pararaton, isinya menceritakan riwayat raja-raja Singasari


dan Majapahit.
 Kitab Sudayana, isinya tentang Peristiwa Bubat.
 Kitab Sorandakan, isinya tentang pemberontakan Sora.
 Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe.
 Kitab Panjiwijayakrama, isinya riwayat R.Wijaya sampai
dengan menjadi Raja Majapahit.
 Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Bali oleh Gajah
Mada dan Aryadamar.
 Kitab Tantu Panggelaran, tentang pemindahan gunung
Mahameru ke Pulau Jawa oleh Dewa Brahma, Wisnu, dan
Siwa.
Faktor Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan
Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam
Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran
akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri
mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri,
pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang
putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas
takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan
terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan
Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi
Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian
dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali
Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.

Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian


ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho,
seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara
kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng
Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di
beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti
di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai
memiliki pijakan di pantai utara Jawa.

Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan


diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun
1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari
seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita
mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-
lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya
wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan
memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda
waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan
takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia
kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh
Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi
memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat
dirinya sebagai raja Majapahit.

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para


penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad
ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara
mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan
baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul
di bagian barat Nusantara. Di bagian barat kemaharajaan yang mulai
runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung
kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15
mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke
Sumatra. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan
Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai
melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan
dengan Bhre Kertabumi, Singhawikramawardhana mengasingkan diri
ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus
melanjutkan pemerintahannya di sana hingga digantikan oleh putranya
Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan
Kertabhumi dengan memanfaatkan ketidakpuasan umat Hindu dan
Budha atas kebijakan Bhre Kertabumi serta mempersatukan kembali
Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun
waktu 1474 hingga 1498 dengan gelar Girindrawardhana hingga ia
digulingkan oleh Patih Udara. Akibat konflik dinasti ini, Majapahit
menjadi lemah dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan Demak yang
didirikan oleh keturunan Bhre Wirabumi di pantai utara Jawa.

Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada


kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap
sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu
pemerintahan hingga tahun 1518.

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala


yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah
tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu
tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna
hilanglah kemakmuran bumi”. Namun yang sebenarnya digambarkan
oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja
ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana. Raden Patah yang saat itu
adalah adipati Demak sebetulnya berupaya membantu ayahnya
dengan mengirim bala bantuan dipimpin oleh Sunan Ngudung, tetapi
mengalami kekalahan bahkan Sunan Ngudung meninggal di tangan
Raden Kusen adik Raden Patah yang memihak Ranawijaya hingga
para dewan wali menyarankan Raden Fatah untuk meneruskan
pembangunan masjid Demak.

Hal ini diperkuat oleh prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya


mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi dan memindahkan
ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara
Ranawijaya dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak
adalah keturunan Kertabhumi. Sebenarnya perang ini sudah mulai
mereda ketika Patih Udara melakukan kudeta ke Girindrawardhana
dan mengakui kekuasan Demak bahkan menikahi anak termuda Raden
Patah, tetapi peperangan berkecamuk kembali ketika Prabu Udara
meminta bantuan Portugis. Sehingga pada tahun 1518, Demak
melakukan serangan ke Daha yang mengakhiri sejarah Majapahit dan
ke Malaka. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota
keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini
kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari
Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan
Kertabhumi.

Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada


tahun 1518, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya
mengalahkan sisa kerajaan Majapahit. Demak di bawah pemerintahan
Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai
penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi
Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit
Brawijaya V dengan seorang putri China.

Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia


(Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan
kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati
Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521
M.

Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan


menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu
setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih
bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur,
serta Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pajajaran di bagian barat.
Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat
Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat
Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger,
kawasan Bromo dan Semeru.
Peninggalan Kerajaan Majapahit

1. Candi Tikus

Candi Tikus merupakan salah satu peninggalan kerajaan Majapahit.


Letak Candi Tikus ada di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan
Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Candi Tikus sebelumnya telah
terkubur, namun ditemukan kembali sejak tahun 1914 dan kemudian
dilakukan pemugara pada era 80an.

2. Candi Bajang Ratu


Candi Bajang Ratu merupakan sebuah candi berbentuk gapura
peninggalan Kerajaan Majapahit. Letak Bajang Ratu ada di Desa
Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Bangunan ini
diperkirakan dibangun pada abad ke-14 Masehi dan mulai dinamai
Bajang Ratu sejak tahun 1915.

3. Candi Sukuh
Candi Sukuh terletak di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar yang ada di provinsi Jawa Tengah. Dengan
corak Hindu, candi ini juga jadi salah satu candi peninggalan
Majapahit. Struktur bangunan Candi Sukuh terdiri dari tiga teras.

4. Candi Brahu
Candi Brahu merupakan candi dalam kompleks situs arkeologi
Trowulan sebagai salah satu candi peninggalan Majapahit. Letak
Candi Brahu ada di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan
Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Candi ini dibangun bercorak
Buddha dengan tinggi mencapai 20 meter.

5. Candi Wringin Lawang

Candi Wringin Lawang adalah candi berbentuk gapura yang juga


salah satu peninggalan Majapahit. Letaknya ada di Desa Jatipasar,
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Diperkirakan bangunan
ini mulai dibangun pada abad ke-14 Masehi lalu.

6. Candi Ceto
Candi Ceto terletak di lereng Gunung Lawu pada Desa Gumeng,
Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Diduga candi ini
dibangun pada akhir masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Kompleks
candi digunakan oleh penduduk setempat dan juga peziarah yang
beragama Hindu sebagai tempat pemujaan.

7. Candi Surawana
Candi Surawana merupakan candi bercorak Hindu yang terletak di
Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Nama asli candi ini
adalah Wishnubhawanapura. Dibangun pada abad ke-14 oleh raja dari
Kerajaan Wengker yang masih di bawah kekuasaan Kerajaan
Majapahit.

8. Candi Wringin Branjang

Candi Wringin Branjang merupakan candi yang terletak di Desa


Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Bentuk atap
candi menyerupai atap rumah biasa, dan diduga bangunan candi ini
merupakan tempat penyimpanan alat-alat upacara dari zaman kerajaan
Majapahit.

9. Candi Pari
Candi Pari terletak di Desa Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo. Sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit, candi
ini dibangun untuk mengenang tempat hilangnya seorang sahabat atau
adik angkat dari salah satu putra Prabu Brawijaya dan istrinya yang
menolak tinggal di keraton Majapahit di kala itu.

10.Candi Kedaton
Candi Kedaton merupakan salah satu candi bercorak Hindu yang
menjadi peninggalan Kerajaan Majapahit. Letak candi ini berada di
kompleks situs arkeologi di Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto. Candi ini memiliki struktur terbentuk dari pondasi batu
bata merah.

11.Candi Minak Jinggo

Candi Minak Jinggo merupakan situs peninggalan Majapahit yang


terletak di Dusun Unggahan, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto. Struktur candi ini menjadi satu-satunya yang
menggunakan batu andesit di semua kompleks situs di Trowulan.

12.Candi Grinting
Candi Grinting merupakan candi yang terletak di Dusun Grinting,
Desa Karangjeruk, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto.
Sebagai salah satu peninggalan kerajaan Majapahit, candi ini pertama
kali ditemukan oleh pengrajin batu bata yang diperkirakan semacam
pondasi lama.

13.Candi Jolotundo
Candi Jototundo merupakan salah satu peninggalan Kerajaan
Majapahit. Bentuk Candi Jolotundo dikenal memiliki arsitektur
bangunan yang sangat megah. Letaknya ada di Desa Seloliman,
Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto dengan bentuk petirtaan
yang mengalirkan mata air.

14.Candi Gentong

Candi Gentong merupakan salah satu dari tiga candi yang berderet
dengan arah bujur barat ke timur yaitu Candi Gedong, Candi Tengah
dan Candi Gentong. Kini hanya Candi Gentong yang tersisar setelah
dilakukan pemugaran sejak tahun 1995. Letaknya ada di Desa Telogo
Gede, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto

Prasasti Kerajaan Majapahit :

 Prasasti Alasantan (939 Masehi), ditemukan di Desa Bejijong,


Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto
 Prasasti Kamban (941 Masehi), ditemukan tertulis dalam bahasa
Kawi
 Prasasti Hara-Hara (966 Masehi), dikenal juga sebagai prasasti
Trowulan VI
 Prasasti Maribong (1264 Masehi), dikenal juga sebagai prasasti
Trowulan II
 Prasasti Wurare (1289 Masehi), ditemukan di daerah Kandang
Gajak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto
 Prasasti Kudadu (1294 Masehi), ditemukan di lereng Gunung
Butak di wilayah perbatasan Kabupaten Blitar dan Kabupaten
Malang.
 Prasasti Sukamerta (1296 Masehi), ditemukan di Gunung
Penanggungan, dikenal juga sebagai Prasasti Raden Wijaya.
 Prasasti Butulan (1298 Masehi), ditemukn di Kawasan
Pegunungan Kapur Utara di Kabupaten Gresik
 Prasasti Balawi (1305 Masehi), ditemukan di Desa Blawi di
wilayah Kabupaten Lamongan
 Prasasti Canggu (1358 Masehi), dikenal juga sebagai prasasti
Trowulan I
 Prasasti Biluluk I (1366 Masehi), ditemukan di Kecamatan
Bluluk, Kabupaten Lamongan
 Prasasti Karang Bogem (1387 Masehi), ditemukan di
Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik
 Prasasti Katiden (1392 Masehi), ditemukan di wilayah
Kabupaten Malang
 Prasasti Biluluk II (1393 Masehi), ditemukan di Kecamatan
Bluluk, Kabupaten Lamongan
 Prasasti Biluluk III (1395 Masehi), ditemukan di Kecamatan
Bluluk, Kabupaten Lamongan
 Prasasti Lumpang (1395 Masehi), ditemukan di wilayah
Kabupaten Malang dan dikenal sebagai prasasti Katiden II
 Prasasti Waringin Pitu (1447 Masehi), ditemukan di wilayah
Kabupaten Mojokerto
 Prasasti Marahi Manuk, ditemukan di wilayah Kabupaten
Mojokerto
 Prasasti Parung, ditemukan di wilayah Kabupaten Mojokerto
Kitab Peninggalan Kerajaan Majapahit

 Kitab Negarakertama, dikarang oleh Empu Prapanca pada tahun


1365 Masehi
 Kitab Sutasoma, dikarang oleh Empu Tantular
 Kitab Arjunawiwaha, dikarang oleh Empu Tantular
 Kitab Kutaramanawa, dikarang oleh Gajah Mada
 Kitab Kunjakarna, tidak diketahui siapa pengarangnya
 Kitab Parthayajna, tidak diketahui siapa pengarangnya
 Kitab Pararaton, tidak diketahui siapa pengarangnya
 Kitab Sudayana, tidak diketahui siapa pengarangnya
 Kitab Ronggolawe, tidak diketahui siapa pengarangnya
 Kitab Sorandakan, tidak diketahui siapa pengarangnya
 Kitab Panjiwijayakarma, tidak diketahui siapa pengarangnya
 Kitab Usana Jawa, tidak diketahui siapa pengarangnya
 Kitab Usana Bali, tidak diketahui siapa pengarangnya
 Kitab Tantu Panggelaran, tidak diketahui siapa pengarangnya
 Kitab Calon Arang, tidak diketahui siapa pengarangnya
DAFTAR PUSTAKA

https://budisma.net/2019/09/sumber-sejarah-kerajaan-majapahit.html

https://www.gurupendidikan.co.id/kerajaan-majapahit/

https://www.sridianti.com/kehidupan-sosial-ekonomi-kerajaan-
majapahit.html

https://www.zonasiswa.com/2015/04/sejarah-kerajaan-majapahit-
kehidupan.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit#Surutnya_Majapahit

https://www.zonareferensi.com/peninggalan-kerajaan-majapahit/

Anda mungkin juga menyukai