Anda di halaman 1dari 15

KESULTANAN MATARAM ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran sejarah

Oleh :
1. Adhitya Cahya (01)
2. Mochammad Novel Miftachul F (21)
3. Naila Putri Amalia (27)
4 .Zhafira Salwa Asahy (36)

X TPFL 1
SMK N 7 SEMARANG
A. Awal berdirinya Kesultanan Mataram Islam

Pada awalnya berbicara tentang kesultanan Mataram ini diawali


dengan keterlibatan Sultan Hadiwijaya, Sultan Hadiwijaya yaitu raja
dari kerajaan Pajang. Dalam usahanya untuk menegakkan
kekuasaan
Pajang, Arya Panangsang yang merupakan putra Sinuwunn Sekar
Seda Lepen yang tak rela tahta Demak diambil Sultan Hadiwijaya.
Sultan Hadiwijayapun merasa tidak mudah untuk mengalahkannya,
dan Sultan Hadiwijaya tetap membuat strategi yaitu dengan
mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat mengalahkan
Penangsang tersebut akan mendapatkan hadiah, tanah Pati dan
Mataram.

Dalam sayembara tersebut akhirnya Panangsang dapat


dikalahkanoleh Danang Sutawijaya, putra Pemanahan. Karena
kesuksesan ini merupakan strategi Pemanahan dan Penjawi, maka
Sultan Hadiwijaya menganggap kemenangan Danang Sutawijaya
tersebut adalah juga kemenangan Pemanahan dan Penjawi. Maka
Sultan memberikan tanah tersebut kepada mereka berdua. Penjawi
mendapatkan tanah Pati, sebuah kadipaten di pesisir utara yang
telah maju. Sedangkan Pemanahan mendapatkan tanah Mataram
yang masih berupa Mentaok, wilayah tersebut saat ini berada
tepatnya di sekitar Kota Gede, Yogyakarta. Pemanahan kemudian
lebih dikenal dengan panggilan Ki Gede Mataram.

Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575, Sutawijaya


diangkat menjadi bupati di Mataram. Karena ketidakpuasan
Sutawijaya menjadi bupati dan keinginanya menjadi raja, ia mulai
memperkuat sistem pertahanan Mataram. Hal itu ternyata telah
diketahui oleh Sultan Hadiwijaya, sehingga Sultan Hadiwijaya
mengirim pasukan untuk menyerang Mataram. Dalam peperangan
ini pasukan Pajang mengalami kekalahan, kondisi Sultan Hadiwijaya
juga sedang sakit. Kemudian pada saat terjadi perebutan kekuasaan
antara bangsawan Pajang, Pangeran Pangiri yang merupakan
menantu Hadiwijaya yang menjabat sebagai bupati di Demak
datang menyerbu Pajang untuk merebut takhta. Hal tersebut tentu
saja sangat ditentang oleh para bangsawan Pajang yang
bekerjasama dengan Sutawijaya, bupati Mataram. Pada akhirnya
pangeran Pangiri telah tersingkirkan dan diusir dari
Pajang.Kemudian setelah keadaan aman, pangeran Benawa yang
merupakan anak dari Hadiwijaya menyerahkan tahtanya kepada
Sutawijaya yang kemudian memindahkan pusat pemerintahannya
ke Mataram pada tahun 1586. Sejak saat itulah berdiri kerajaan
Mataram. Sutawijaya mengangkat dirinya sebagai raja Mataram
dengan gelar Panembahan Senopati, dengan ibukota kerajaan
berada di Kota Gede. Berbeda dengan ayahnya yang mematuhi
sebagai bawahan Pajang, dimana tiap tahun melakukan
penghadapan serta mengirim upeti kepada raja Pajang. Senopati
memang sengaja mempersiapkan diri untuk suatu pembangkangan
yang direncananakan. Hal ini terlihat dari upaya membuat benteng
sebagai pertahanan. Akhirnya raja Pajang memutuskan untuk
menyelesaikan pembangakangan Senopati dengan kekuatan
militer. Penyerbuan ke Mataram berada langsung dibawah
komando dari Sultan Pajang sendiri akan tetapi usaha mereka
mengalami kegagalan.

Setelah wafatnya Sultan Pajang maka semakin kokoh kekuasaan


Senopati atas Mataram. Sebagai founding father kerajaan Mataram,
Ia sadar betul bagaimana mengelola konflik intern maupun
menghegemoni wilayah lain. Langkah politik kedalam, misalnya
harus menyingkirkan Ki Ageng Mangir tokoh lokal yang selama ini
menjadi batu sandungan bagi kekuasaan Senopati. Adapun langkah
politik keluar, Senopati metaram kemudian melakukan politik
ekpansionis kewilayahan. Tindakan-tindakan penting yang
dilakukan adalah meletakkan dasardasar kerajaan Mataram dan
berhasil memperluas wilayah kekuasaan ke Timur, Surabaya,
Madiun, Ponorogo, dan ke wilayah Barat berhasil menundukkan
wilayah Cirebon dan Galuh.

Pengganti Panembahan Senopati adalah Mas Jolang.Dalam


pengangkatannya menimbulkan pemberontakan pemberontakan.
Diantaranya timbul pemberontakan Pangeran Puger di Demak pada
tahun 1602-1605. Pangeran Jayanegara di Ponorogo pada tahun
1608 M.Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan dalam waktu
yang cukup lama, Surabaya masih menyusun kekuatan dan tidak
tunduk ke Mataram, sehingga sampai beberapa dekade Surabaya
dan sekitarnya masih merupakan rival bagi Mataram. Kemudian Ia
gugur di daerah Krapyak dalam upaya memperluas wilayah,
sehingga disebut Panembahan Seda Krapyak. Setelah meninggalnya
Mas Jolang, ia digantikan oleh putranya yaitu Raden Mas Rangsang
yang dikenal sebagai raja terbesar Kerajaan Mataram dengan gelar
Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).

Raja-Raja Mataram Islam :


1. Panembahan Senopati (1584-1601 M)
2. Mas Jolang atau Seda Ing Krapyak (1601- 1613 M)
3. Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma dan Sultan
Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman (1613-1646 M)
4. Amangkurat I (1646- 1676 M)
5. Amangkurat II dikenal juga sebagai Sunan Amral (1677- 1703 M)
6. Sunan Mas atau Amangkurat III pada 1703 M
7. Pangeran Puger yang bergelar Paku Buwana I (1703-1719 M)
8. Amangkurat IVdikenal sebagai Sunan Prabu (1719-1727 M)
9. Paku Buwana II (1727-1749 M)
10. Paku Buwana III pada 1749 M pengangkatannya dilakukan oleh VOC.

B. Letak Kesultanan Mataram Islam

Jauh sebelum menjadi kerajaan, wilayah ini merupakan hutan yang


bertumbuhan tropis di atas puing-puing Istana tua Mataram Hindu.
Wilayah ini sampai pada akhir abad ke-16 M merupakan bawahan
Pajang setelah dibabat kembali oleh seorang panglima Pajang Ki
Ageng Pemanahan.

Wilayah ini dianugrahkan oleh Sultan Pajang kepada Ki Ageng


Pemanahan beserta putranya yaitu Senapati, atas jasa mereka
dalam ikut serta melumpuhkan Arya Penangsang, Adipati Jipang
Panolan.

Ki Ageng Pemanahan yang lebih dikenal dengan nama Kiai Gede


Mataram adalah perintis Kerajaan Mataram. Dialah yang dalam
waktu singkat menjadikan daerahnya sangat maju. Kiai ageng
Pemanahan ini tidak sempat menikmati hasil usahanya, karena dia
meninggal pada tahun 1575. Akan tetapi, anaknya yang bernama
Sutawijaya yang dikenal dengan Senapati melanjutkan usahanya
dengan giat.

Pada tahun 1586 dia mengangkat dirinya sebagai raja Mataram.


Pada saat dia menjadi raja Mataram, Senopati baru menguasai
beberapa wilayah diantaranya yaitu Mataram, Kedu, Banyumas.
Ketika pada saat dia meninggal Jawa Tengah dan sebagian wilayah
Jawa Timur sudah dapat ditaklukan.

Panembahan Senopati memperluas wilayahnya ke arah timur. Yang


menjadi sasaran pertama ialah Surabaya, karena Adipati Surabaya
paling kuat dan mempunyai banyak bawahan. Senopati bergerak ke
arah timur melalui Blora dan berhenti di Japan. Pangeran Surabaya
mengumpulkan semua para bupati bawahannya, yaitu bupati
Tuban, Sedayu, Lamongan,Gresik, Lumajang Kertasana, Malang,
Pasuruan, Kediri, Blitar, Pringgabaya,Lasem, Madura, Sumenep,
Pekacangan, dan Praguna demi persiapan menghadapi
Panembahan Senopati. Akan tetapi Pangeran Surabaya dapat
ditaklukan, kemudian setelah itu panembahan Senopati bergerak ke
Madiun. Kemudian wilayah Pasuruan, Kediri, dan Panaraga takluk
kepada Mataram. Di daerah sebelah timur hanya Blambangan,
Panarukan, dan Bali yang masih merdeka dari kekuasaan Mataram.
Lainnya tanduk kepada kekuasaan Senopati. Demikianlah
kesultanan Mataram berkat keperwiraan Panembahan Senopati
menjadi besar. Kesultanan Mataram yang begitu luas wilayahnya ini
merupakan negara pertanian. Kesultanan Mataram ini tetap
merupakan negara pertanian, tidak dapat menjadi negara maritim.

Setelah Senopati wafat, pada tahun 1601 dia digantikan oleh


putranya, yaitu Mas Jolang yang hanya sempat mempertahankan
daerah-daerah yang telah ditundukkan oleh ayahnya, sebab
daerah-daerah tersebut selalu memberontak.

Jawa baru dapat dikuasai Mataram pada saat Mataram dipegang


oleh Sultan Agung (Raden Mas Rangsang), dia memerintah dari
tahun 1613-1645.
Jika para pendahulunya mengambil ibu kotanya di Kotagede, maka
Sultan Agung mengambil ibu kotanya di kera/ Karta. Konon,
dipindahnya keraton ke sebelah selatan karena dekat pantai
selatan.

Dalam pemerintahannya, Sultan Agung menerapkan politik


ekspansi sehingga bukan hanya Jawa saja yang ingin dikuasainya,
melainkan wilayah Nusantara. Pada masa Sultan Agung ini untuk
pencapaiannya hampir seluruh Pulau Jawa berhasil dikuasai
olehnya. Hingga pada saat Sultan Agung wafat wilayah
kekuasaannya adalah seluruh Pulau Jawa terkecuali wilayah
Batavia, Panarukan dan Blambangan.

C. Masa Kejayaan Kesultanan Mataram Islam

Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593 - 1645) adalah raja Kesultanan


Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Nama aslinya
adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden
Mas Rangsang. Sultan Agung merupakan putra dari pasangan Prabu
Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Sultan Agung naik
takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun.
Sultan Agung dikenal sebagai salah satu raja yang berhasil membawa
kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaan pada 1627,
tepatnya setelah empat belas tahun Sultan Agung memimpin kerajaan
Mataram Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Agung daerah pesisir
seperi Surabaya dan Madura berhasil ditaklukan. Pada kurun waktu
1613 sampai 1645 wilayah kekuasaan Mataram Islam meliputi Jawa
Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat. Kehadiran Sultan Agung
sebagai penguasa tertinggi, membawa Kerajaan Mataram Islam
kepada peradaban kebudayaan pada tingkat yeng lebih tinggi. Sultan
Agung memiliki berbagai keahlian baik dalam bidang militer, politik,
ekonomi, sosial dan budaya,yang menjadikan peradaban kerajaan
Mataram pada tingkat yang lebih tinggi.

Sultan Agung  merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-


besaran melakukan perlawanan dengan Belanda yang kala itu hadir
lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Ooos Indische Compagnie).
Perlawanan Sultan Agung terhadap VOC di Batavia dilakukan pada
tahun 1628 dan 1629. Perlawanan tersebut disebabkan karena Sulan
Agung menyadari bahwa kehadiran VOC di Batavia dapat
membahayakan hegemoni kekuasaan Mataram Islam di Pulau Jawa.
Kekuasaan Mataram Islam pada waktu itu meliputi hampir seluruh
Jawa dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah
menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia. Selain itu, kehadiran
VOC akan menghambat penyebaran agama Islam di Jawa yang
dilakukan Sultan Agung. Sultan Agung memiliki prinsip untuk tidak
penah bersedia berkompromi dengan VOC maupun penjajah lainnya.
Namun serangan Mataram Islam terhadap VOC yang berkedudukan di
Batavia mengalami kegagalan disebabkan tentara VOC membakar
lumbung persediaan makanan pasukan kerajaan Mataram Islam pada
saat itu.

Di samping dalam bidang politik dan militer, Sulan Agung juga


mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan.
Upaya yang dilakukan Sultan Agung antara lain memindahkan
penduduk Jawa Tengah ke Karawang, Jawa Barat, di mana terdapat
sawah dan ladang yang luas dan subur. Sultan Agung juga meneruskan
pendahulunya untuk meletakan dasar perkembangan Mataram Islam
dengan memberikan pengajaran dan pendidikan kepada rakyat
Mataram Islam sehingga pada masa pemerintahannya, menempatkan
ulama dengan kedudukan terhormat, yaitu sebagai pejabat anggota
Dewan Parampara (Penasihat tinggi kerajaan). Disampning itu dalam
struktur pemerintahan kerajaan didirikan Lembaga Mahkamah Agama
Islam, dan gela raja-raja di Mataram Islam meliputi raja Pandita,
artinya disamping sebagai penguasa, raja juga sebagai kepala
pemerintahan dan kepala agama (Islam)

Selain itu Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur


kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya grebeg
disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan kelahiran Nabi Muhammad
SAW, yang saat ini dikenal sebagai garebeg Puasa dan Grebeg Maulud.
Selain itu Sultan Agung juga mengenalkan penanggalan tahun saka
dan kitab filsafat Sastra Gendhing. Adapun keberhasilan Sultan Agung
dalam bdang kebudayaan yaitu dapat mengubah perhitungan
peredaran Matahari ke perhitungan peredaran bulan, sehingga
dianggap telah menuliskan tinta emas pada masa pemerintahannya.
Berkat usaha yang dilakukan oleh Sultan Agung dalam memajukan
agama dan kebudayaan Islam, ia memperoleh gelar Susuhunan
(Sunan) yang selama ini diberikan kepada Wali.

Di lingkungan keraton Mataram Islam, Sultan Agung menetapkan


pemakaian bahasa Bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan
dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain.
Kebijakan ini diharapkan dapat terciptanya rasa persatuan di antara
penghuni istana. Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya
sudah dekat. Dia membangun Astana Imogiri sebagai pusat
pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari
dirinya. Sultan juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan
hidup trah Mataram. Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang
meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama
Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram.

D.Kemajuan dan Prestasi Kesultanan Mataram

Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan


Agung. Wilayah Mataram bertambah luas meliputi Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan sebagian Jawa Barat. Sultan Agung di samping dikenal
sebagai raaja juga pemimpin agama .Pengaruh Mataram saampai ke
Palembang, Jambi, Banjarmasin, dan ke timur sampai Gowa Makasar.
Pengaruh ini ditandai adanya hubungan kerja sama dan saling
mengirim utusan antara daerah-daerah tersebut dengan Mataram.
Kemajuan yang dicapai pada masa pemerintahan Sultan Agung
meliputi kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

 Bidang Politik
Kemajuan politik yang dicapai Sultan Agung adalah menyatukan kerajaan-
kerajaan Islam di Jawa dan menyerang Belanda di Batavia.
 Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam
Sultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Usaha ini dimulai dengan menguasai Gresik, Jaratan, Pamekasan,
Sumenep, Sampang, Pasuruhan, kemudian Surabaya. Salah satu usahanya
mempersatukan kerajaan Islam di Pulau Jawa ini ada yang dilakukan
dengan ikatan perkawinan. Sultan Agung mengambil menantu Bupati
Surabaya Pangeran Pekik dijodohkan dengan putrinya yaitu Ratu
Wandansari.
 Anti penjajah Belanda
Sultan Agung adalah raja yang sangat benci terhadap penjajah Belanda.
Hal ini terbukti dengan dua kali menyerang Belanda ke Batavia, yaitu yang
pertama tahun 1628 dan yang kedua tahun 1629. Kedua penyerangan ini
mengalami kegagalan. Adapun penyebab kegagalannya, antara lain:
1. Jarak yang terlalu jauh berakibat mengurangi ketahanan prajurit
mataram. Mereka harus menempuh jalan kaki selama satu bulan
dengan medan yang sangat sulit.
2. Kekurangan dukungan logistik menyebabkan pertahanan prajurit
Mataram di Batavia menjadi lemah.
3. Kalah dalam sistem persenjataan dengan senjataa yang dimiliki
kompeni Belanda yang serba modern.
4. Banyak prajurit Mataram yang terjangkit penyakit dan meninggal,
sehingga semakin memperlemah kekuatan.
5. Portugis bersedia membantu Mataram dengan menyerang Batavia
lewat laut, sedangkan Mataram lewat darat. Ternyata Portugis
mengingkari. Akhirnya Mataram dalam menghadapai Belanda tanpa
bantuan Portugis.
6. Kesalahan politik Sultan Agung yang tidak menadakan kerja sama
dengan Banten dalam menyerang Belanda. Waktu itu mereka saling
bersaing.
7. Sistem koordinasi yang kurang kompak antara angkatan laut
dengan angkatan darat. Ternyata angkatan laut mengadakan
penyerangan lebih awalm sehingga rencana penyerangan Mataram
ini diketahui Belanda.
8. Akibat penghianatan oleh salah seorang pribumi, sehingga rencana
penyerangan ini diketahui Belanda sebelumnya.
 Bidang Ekonomi
Kemajuan dalam bidang ekonomi meliputi hal-hal berikut ini:
1. Sebagai negara agraris, Mataram mampu meningkatkan produksi
beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai
irigasi. Mataram juga mengadakan pemindahan penduduk
(transmigrasi) dari daerah yang kering ke daerah yang subur dengan
irigasi yang baik. Dengan usaha tersebut, Mataram banyak
mengekspor beras ke Malaka.
2. Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa tidak hanya
menambah kekuatan politik, tetapi juga kekuatan ekonomi. Dengan
demikian ekonomi Mataram tidak semata-mata tergantung
ekonomi agraris, tetapi juga karena pelayaran dan perdagangan.
 Bidang Sosial dan Budaya
Kemajuan dalam bidang sosial budaya meliputi hal-hal berikut:
1. Timbulnya kebudayaan kejawen
Unsur ini merupakan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan asli Jawa
dengan Islam. Misalnya upacara Grebeg yang semula merupakan
pemujaan roh nenek moyang. Kemudian, dilakukan dengan doa-doa
agama Islam. Saampai kini, di jawa kita kenal sebagai Grebeg Syawal,
Grebeg Maulud dan sebagainya.

2. Perhitungan Tarikh Jawa


Sultan Agung berhasil menyusun tarikh Jawa. Sebelum tahun 1633 M,
Mataram menggunakan tarikh Hindu yang didasarkan peredaran
matahari (tarikh syamsiyah). Sejak tahun 1633 M (1555 Hindu), tarikh
Hindu diubah ke tarikh Islam berdasarkan peredaran bulan (tarikh
komariah). Caranya, tahun 1555 diteruskan tetapi dengan perhitungan
baru berdasarkan tarikh komariah. Tahun perhitungan Sultan Agung ini
kemudian dikenal sebagai “tahun Jawa”.
3. Berkembangnya Kesusastraan Jawa
Pada zaman kejayaan Sultan Agung, ilmu pengetahuan dan seni
berkembang pesat, termasuk di dalamnya kesusastraan Jawa. Sultan
Agung sendiri mengarang kitab yang berjudul Sastra Gending yang
merupakan kitab filsafat kehidupan dan kenegaraan. Kitab-kitab yang lain
adalah Nitisruti, Nitisastra, dan Astrabata. Kitab-kitab ini berisi tentang
ajaran-ajaran budi pekerti yang baik.

E. Keruntuhan Kesultanan Mataram Islam

Setelah Panembahan Senopati meninggal kekuasaannya digantikan


oleh anaknya yang bernama Mas Jolang atau Panembahan Seda
Krapyak. Jolang hanya memerintah selama 12 tahun (1601-1613),
tercatat bahwa pada pemerintahannya beliau membangun sebuah
taman Danalaya di sebelah barat kraton. Pemerintahannya berakhir
ketika beliau meninggal di hutan Krapyak ketika beliau sedang
berburu. Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar
Sultan Agung Hanyakrakusuma. ia juga memindahkan pusat
kerajaan di Pered . Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645)
Mataram mengalami masa kejayaan. Ia diganti oleh putranya yang
bergelar Amangkurat I . Beliau memindahkan ibukota kerajaan
Mataram ke Kerta. Pemerintahannya berlangsung pada tahun
1645-1676. Sunan Amangkurat I yang menggantikan sang sultan
ternyata memimpin kerajaan dengan zalim. Pada masa
pemerintahannya, Amangkurat I banyak melakukan pembunuhan.
Kezaliman sang Sunan memicu permusuhan Putra Mahkota
(Amangkurat II) dengan ayahnya sendiri. Sayangnya, Amangkurat II
ternyata juga memiliki perangai yang buruk. Dalam masa
kepemimpinannya, Amangkurat II kerap dibenci oleh pemuka
Kerajaan Mataram dan rakyat. Puncak dari konflik dalam internal
kerajaan ini menyebabkan pecahnya Perang Trunajaya pada tahun
1674. Pecahnya Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan
bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. ibukota Kerta
jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya
berbalik memihak ayahnya) kemudian ia mencari bantuan VOC
sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Namun, VOC
ternyata menuntut ganti rugi dan imbalan atas pertolongan
tersebut. Karena tuntutan ganti rugi tersebut, Kerajaan Mataram
mengalami kemunduran ekonomi. Saat itu juga Amangkurat I jatuh
sakit dan akhirnya wafat.

Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau


dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II
bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi
mempertahankan tahtanya. Setelah Sunan Amangkuat II meninggal
pada tahun 1703, Ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sunan
Mas (Sunan Amangkurat III). Dia sangat menentang VOC. Karena
pertentangan tersebut VOC tidak setuju atas pengangkatan Sunan
Amangkurat III sehingga VOC mengangkat Paku Buwono I (Pangeran
Puger). Pecahlah perang saudara (perang perebutan mahkota I)
antara Amangkurat III dan Paku Buwana I, namun Amangkurt III
menyerah dan dibuang ke Sailan oleh VOC. Paku Buwana I
meninggal tahun 1719 dan diganti oleh Amangkurat IV (1719-1727).
Setelah meninggalnya Paku Buwono, Kerajaan Mataram semakin
terguncang karena berbagai aksi pemberontakan. Dibuktikan
Kembali dengan pecahnya perang Perebutan Mahkota II (1719-
1723. Sunan Prabu atau Sunan Amangkurat IV meninggal tahun
1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa
pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC.

Paku Buwana II memihak China dan turut membantu


menghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat
bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil
menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana II
merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC. Hal ini
menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang
bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku
Buwana II melarikan diri ke Panaraga.

Ia memindahkan kraton ke Surakarta tahun 1744. Setelah itu terjadi


pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said. Paku Buwana
menugaskan Mangkubumi untuk menumpas kaum pemerontak
dengan janji akan memberikan tanah di Sukowati (Sragen
sekarang). Walaupun Mangkubumi berhasil tetapi Paku Buwono II
mengingkari janjinya sehingga akhirnya dia berdamai dengan Mas
Said. Mereka berdua pun melakukan pemberontakan bersama-
sama hingga pecah Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755).

Paku Buwana II tidak dapat menghadapi kekuatan mereka berdua


dan akhirnya jatuh sakit dan meninggal pada tahun 1749. Setelah
kematian Paku Buwana II VOC mengangkat Paku Buwana III.
Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan,
bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya,
Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan
antara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC
berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia
(utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak
Mangkubumi berdamai.

Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering


disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti 1755. Mulai
saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta
dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan
Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III.

*Isi Perjanjian Gyanti


Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram
dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran
Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I
dan mendirikan Kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur
diberikan kepada Paku Buwana III. Mulai saat itulah Mataram dibagi
dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku
Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku
Buwana III.

*Penyebab dan isi Perjanjian Salatiga


Yaitu perjanjian yang membagi Surakarta menjadi 2 bagian yaitu
Kasunanan dan Mangkunegaran, Peranjian salatiga diadakan pada
tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga. Penyebab perjanjian adalah
sebagai solusi dari keadaan perebutan kekuasaan untuk mengakhiri
peperangan di Jawa antara Raden Mas Said (pangera sumber
nyawa) dengan pangeran Mangkubumi, VOC, Sunan Pakubuwono
III. dan perjanjian ini di tandatangani di gedung VOC yang sekarang
digunakan sebagai kantor Walikota Salatiga

ISI PERJANJIAN
pangeran Sumbernyawa mendapat separuh wilayah Surakarta
(4000 karya, mencakup beberapa daerah yang sekarang termasuk
dalam kabupaten Karangayar, eksklave di wilayah Yogyakarta i
ngawen dan menjadi penguasa kadipaten Mangkunegaran
menggunakan gelar Mangkunegara 1. Dn penguasa dari wilayah
Mangkunegaran tidak berhak mendapat gelar Sunan atau Sultan
dan hanya berhak atas gelar Pangeran Adipati .

E. Peninggalan – peninggalan Kerajaan Mataram Islam

1.Gerbang Makam Kotagede


Inilah gerbang masuk makam Kotagede, di sini nampak perpaduan
unsur bangunan Hindu dan Islam.

2.Masjid Makam Kotagede


Sebagai kerajaan Islam, Mataram memiliki banyak peninggalan
masjid kuno, inilah masjid di komplek makam Kotagede yang
bangunannya bercorak Jawa. Berjalan 100 meter ke arah selatan
dari Pasar Kotagede, kita dapat menemukan kompleks makam para
pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi
dan kokoh. Gapura ke kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur
Hindu. Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi
ukiran yang indah. Beberapa abdi dalem berbusana adat Jawa
menjaga kompleks ini 24 jam sehari.

3.Bangsal duda
Di sinilah tempat peziarah mendapatkan informasi dari jurukunci
makam yang berasal dari Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta.
Di tempat ini jugalah peziarah menanggalkan pakaiannya untuk
berganti pakaian peranakan jika hendak memasuki komplek
makam.

4.Kalang Obong
Upacara tradisional kematian orang Kalang, upacara ini seperti
Ngaben di Bali, tetapi kalau upacara Kalang Obong ini bukan
mayatnya yang dibakar melainkan pakaian dan barang-barang
peninggalannya.

5. Pasar Kotagede
Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton, alun-alun
dan pasar dalam poros selatan - utara. Kitab Nagarakertagama yang
ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14) menyebutkan
bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional
yang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif
hingga kini. Setiap pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli,
dan barang dagangan tumpah ruah di pasar ini.

6. Masjid Agung Negara


Masjid ini dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun
1768.

Anda mungkin juga menyukai