Anda di halaman 1dari 2

KESULTANAN MATARAM

Kesultanan Mataram (Jawa: ꧋ꦤꦒꦫꦶꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤꦩꦠꦫꦩ꧀, Pegon: ‫نڮاري كسولتانن‬

‫ متارام‬, translit. Nagari Kasultanan Mataram) adalah negara berbentuk kesultanan di Jawa pada
abad ke-16. Kesultanan ini didirikan sejak pertengahan abad ke-16, tetapi baru menjadi negara
berdaulat di akhir abad ke-16 yang dipimpin oleh dinasti yang bernama wangsa Mataram.[3][4]
Sepanjang abad ke-16, tepatnya pada puncak kejayaannya di bawah
pemerintahan Anyakrakusuma, Mataram adalah salah satu negara terkuat di Jawa, kesultanan
yang menyatukan sebagian besar pulau Jawa, yakni sebagian besar wilayah Jawa Barat, Jawa
Timur dan Jawa Tengah kecuali Banten, selain itu juga menguasai daerah Madura,
dan Sukadana (Kalimantan Barat), Makasar, serta Pulau Sumatra (Palembang dan Jambi).
Kesultanan ini terdiri dari beberapa wilayah inti mulai
dari: kutagara, nagaragung, mancanagara, pasisiran dan sejumlah kerajaan vasal, beberapa di
antaranya dianeksasi ke dalam teritori kesultanan, sedangkan sisanya diberikan beragam
tingkat otonomi.[5]
Kesultanan ini secara kenyataannya adalah negara merdeka yang menjalin
hubungan perdagangan dengan Kerajaan Belanda ditandai dengan kedua pihak saling
mengirim duta besar. Menjelang keruntuhannya, Kesultanan Mataram menjadi
negara protektorat Kerajaan Belanda, dengan status swapraja.
Perjanjian Giyanti membuahkan kesepakatan bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua
kekuasaan, yaitu Nagari Kasunanan Surakarta dan Nagari Kasultanan Ngayogyakarta.
Perjanjian yang ditandatangani dan diratifikasi pada tanggal 13 Februari 1755 di Giyanti ini
secara hukum menandai berakhirnya Mataram.[6][7]

Nama Mataram secara historis adalah nama kerajaan pra-Islam yang mengacu pada Kerajaan
Mataram abad ke-8. Praktik umum di Jawa adalah menyebut kerajaan mereka
dengan metonimia dan bervariasi dalam berbagai bahasa. Ada keragaman bahkan dalam
bahasa. Dalam bahasa Sanskerta, Mataram berarti ibu, sedangkan istilah "Matawis" digunakan
sebagai bentuk demonim dan kata sifat.
Berdasarkan sejarahnya, ada dua kerajaan yang pernah ada di periode yang berbeda dan
keduanya disebut Mataram. Kerajaan selanjutnya, sering disebut sebagai Mataram
Islam atau Matawis untuk membedakannya dari Kerajaan Mataram abad ke-8.[8]
Pada seperempat abad ke-16 Masehi, wilayah Kesultanan Mataram merupakan bagian dari
wilayah Kesultanan Pajang. Statusnya sebagai kadipaten dengan penguasanya yaitu Ki Ageng
Pamanahan. Setelah Panembahan Senapati berkuasa di Kadipaten Mataram, ia memisahkan
wilayahnya dari Kesultanan Pajang dan mendirikan Kesultanan Mataram.[9] Kesultanan Mataram
didirikan olehnya pada tahun 1586. Selanjutnya pada tahun 1586 wilayah Pajang sudah menjadi
bagian dari kedaulatan Kesultanan Mataram diikuti penyerahan tahkta Pajang oleh Pangeran
Benawa kepada Panembahan Senapati. Perkembangan Mataram begitu besar dan kuat
sehingga sebagian besar sejarawan setuju bahwa itu telah didirikan selama beberapa generasi
perintis Mataram.
Menurut catatan Jawa, raja-raja Mataram adalah keturunan dari Ki Ageng Sela (Sela adalah
sebuah desa dekat Demak sekarang). Pada tahun 1570-an, salah satu keturunan Ki Ageng
Sela, Kyai Gede Pamanahan dianugerahi kekuasaan atas tanah Mataram oleh
raja Pajang, Sultan Adiwijaya, sebagai imbalan atas jasanya mengalahkan Arya Panangsang,
musuh Adiwijaya.[10] Pajang terletak di kota Surakarta saat ini, dan Mataram awalnya
adalah vasal dari Pajang.[4] Pamanahan sering disebut sebagai Kyai Gede Mataram. Seorang
kyai adalah seorang ulama muslim yang berpendidikan tinggi dan cenderung disegani.
Sedangkan di Pajang, terjadi perebutan kekuasaan besar-besaran yang terjadi setelah Sultan
Adiwijaya wafat pada tahun 1582. Pewaris Adiwijaya adalah Pangeran Benawa, digulingkan
takhtanya oleh Arya Pangiri dari Demak, dan disingkirkan ke Jipang.
Putra Pamanahan, Sutawijaya atau Panembahan Senapati, menggantikan ayahnya sekitar
tahun 1584, dan dia mulai melepaskan Mataram dari kekuasaan Pajang. Di bawah Sutawijaya,
Mataram tumbuh secara substansial melalui kampanye militer melawan penguasaan Mataram
atas Pajang oleh Arya Pangiri, dan Pangeran Benawa dengan cepat menggalang dukungan
untuk merebut kembali takhtanya dan merekrut dukungan Panembahan
Senapati melawan Pajang. Selanjutnya, Pajang diserang dari dua arah: oleh Pangeran
Benawa dan oleh Panembahan Senapati. Perang antara Pajang melawan Mataram berakhir
dengan kekalahan Arya Pangiri. Pangeran Benawa kemudian naik takhta di Pajang.[10] Selama
periode itu tidak ada putra mahkota Pajang yang menggantikan Pangeran Benawa sehingga
takhta Pajang diserahkan ke Panembahan Senapati. Kemudian yang menjadi bupati di sana
ialah Pangeran Gagak Baning atau adik Panembahan Senapati. Peristiwa pada tahun 1586 ini
menandai berakhirnya kerajaan Pajang dan berdirinya Nagari Kasultanan Mataram.
Kebangkitan Mataram

Pasarean Mataram, makam dari Panembahan Senapati dan


Panembahan Seda ing Krapyak.
Sutawijaya menjadi pemimpin monarki dengan menyandang gelar "Panembahan" (secara
harfiah berarti "orang yang dijunjung"). Dia mengungkapkan sifat pemerintahannya yang
ekspansif dan mulai memproyeksasi manuver politiknya sesuai ketentuan, layanan, dan
fungsi administrasi ke timur di sepanjang Bengawan Solo.[10] Pada 1590 menaklukkan Madiun,
dan berbelok ke timur dari Madiun untuk menaklukkan Kediri pada
tahun 1591 dan Ponorogo.[11] Pada saat yang sama ia juga menaklukkan Jipang dan Jagaraga
(utara Magetan sekarang). Dia berhasil mencapai timur sejauh Pasuruan. Setelah berhasil
menyatukan bekas wilayah Pajang, Panembahan Senapati mengalihkan perhatiannya ke Jawa
bagian barat, dengan menjalin hubungan baik dengan Cirebon[12] dan menaklukkan Galuh pada
tahun 1595.[11] Usahanya untuk menaklukkan Banten pada tahun 1597 gagal, dikarenakan
kurangnya transportasi air.[11] Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan
di Kota Gede, sebagai raja Jawa ia berhasil membangun fondasi negara baru yang kokoh.
Penggantinya, Raden Mas Jolang atau yang kemudian bergelar
sebagai Susuhunan Anyakrawati.[11]
Kontak pertama antara Mataram dan Belanda (VOC) terjadi pada era Susuhunan Anyakrawati.
Kegiatan Belanda pada saat itu hanya sebatas perdagangan dari pemukiman pesisir utara Jawa,
sehingga interaksi mereka dengan wilayah pedalaman Jawa dibatasi, meskipun dibelakang
mereka membentuk siasat untuk melawan Mataram. Susuhunan Anyakrawati wafat karena
kecelakaan sewaktu berburu rusa di hutan Krapyak. Dari peristiwa itu ia dikenal dengan gelar
anumerta Panembahan Seda ing Krapyak (Panembahan

Anda mungkin juga menyukai