PendahuluaN
Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan raja ketiga Kerajaan Mataram Islam. Disebut
Mataram Islam untuk membedakan dengan Mataram Hindu di Jawa Tengah. la adalah cucu
dari Panembahan Senapati (Sutawijaya) dan putra Panembahan Seda Krapyak.
Penembahan Senapati yang dilahirkan pada tahun 1591 merupakan pendiri Dinasti Mataram.
Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa.
Daerah pesisir seperti Surabaya kelak tidak membahayakan kedudukan Kerajaan
Mataram.ditaklukkannya supaya
Sultan Agung merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur
mengadakan peperangan dengan Belanda yang semula berupa Kongsi Dagang Hindia Timur
Jauh yaitu, VOC ( Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada masa itu
meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu, VOC telah
menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur. Selain VOC
masih ada Kerajaan Banten yang tidak tunduk kepada Mataram. Sultan Agung Adi Prabu
Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa : Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir
di Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang
memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang
menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan
menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. PresidenNo. 106/TK/1975 tanggal 3
November 1975
B. Silsilah keluarga
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas
Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah
Banawati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran
Benawa raja Pajang.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri
utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas
Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu Wetan adalah
putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak
menjadi Amangkurat I).
D. Awal pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan
adiknya(beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari.
Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram,
namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna
grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada
istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian,
patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan
oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun
istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai
ditempati pada tahun 1618.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung
mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai
Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga
Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang
dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit
(sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga
berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu
Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram
pada Januari 1616 di desa Siwalan.
E. Menaklukkan Surabaya
Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran Kompeni Belanda di Batavia dapat
membahayakan kesatuan negara yang dalam hal ini terutama meliputi Pulau Jawa.
Di samping VOC, masih ada kerajaan Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak
berada di bawah kekuasaan Mataram. Langkah pertama untuk menyatukan seluruh Jawa
adalah mengadakan sejumlah penaklukan di daerah Jawa Timur. Oleh karena itu, Lasem
ditundukkan (tahun 1616), disusul Pasuruan (1617) Tuban (1919), Madura (1624), dan
Surabaya (1625). Dengan penguasaan kerajaan-kerajaan pesisir Jawa Timur untuk sementara
dapat dicegah intervensi kekuasaan asing. Untuk menjaga agar para raja pesisir tidak
memberontak dilakukan pohtik doniestifikasi. Contoh yang dapat dikemukakan adalah ketika
Madura dapat ditaklukkan, Pangeran Prasena yang dikhawatirkan akan memperkuat diri, oleh
Sultan Agung diharuskan tinggal di Kraton Mataram.
Untuk menghancurkan kedua musuhnya di Jawa Barat, Sultan Agung pernah menawarkan
kerjasama dengan VOC untuk menghancurkan Banten. Setelah Banten hancur, barulah VOC
mendapatkan gilirannya. Tawaran kerjasama itu ditolak oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur
Jendral VOC pada masa itu. Gubernur Jenderal itu rupanya mengetahui bila sesudah
Kerajaan Banten dapat dihancurkan maka kongsi dagang itu akan menjadi sasaran
berikutnya. VOC tetap memelihara pertentangan antara dua kerajaan itu dan memainkan
pengaruhnya di setiap pergantian raja. Raja yang pro VOC akan didukungnya dengan
membayar imbalan berupa penyerahan sebagian tanah kerajaan kepadanya.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai
pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625,
bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun
menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng. Beberapa waktu
kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang
bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan
Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
G. JALANNYA PERLAWANAN
Sultan Agung (memerintah 1613-1646), raja terbesar dari Mataram, menggantikan
ayahandanya, Panembahan Seda (ing) Krapyak, setelah ayahandanya ini wafat pada tahun
1613. Dalam kenyataannya dia tidak memakai gelar sultan sampai tahun 1641; mula-mula dia
bergelar pangeran atau panembahan dan sesudah tahun 1624 dia bergelar susuhunan (yang
sering disingkat sunan, gelar yang juga diberikan kepada kesembilan wali). Namun demikian,
disebut Sultan Agung sepanjang masa pemerintahannya dalam kronik-kronik Jawa, dan gelar
ini biasanya dapat diterima oleh para sejarawan.
Bagian yang paling bersejarah dalam masa Mataram islam ini adalah perlawanannya terhadap
kebijakan monopoli VOC di Batavia (Sunda Kelapa). Sebelumnya kota ini bernama
Fatahillah, kemudian berganti menjadi Jayakarta, pada masa VOC diganti menjadi Batavia
dan setelah merdeka dirubah lagi menjadi Jakarta sampai sekarang ini.
Merebut Batavia dari tangan VOC tidaklah mudah, mengingat jauhnya jarak dari Mataram
(Yogyakarta) ke Batavia (Jakarta). Jarak yang harus ditempuh pasukan Mataram selama 90
hari perjalanan. Membutuhkan persiapan yang harus matang. Persediaan logistic pangan dan
air minum harus mencukupi. Untuk itu harus membentuk daerah-daerah lumbung pangan
bagi tentara Mataram sebelum pertempuran sebenarnya terjadi.
Karawang yang merupakan daerah yang masih hutan belantara dan berawa-rawa rencananya
akan dibentuk menjadi lumbung pangan tersebut. Daerah ini pada Abad XV adalah tempat
ulama besar Syeikh Hasanudin bin Yusup Idofi dari Champa yang terkenal dengan sebutan
Syeikh Quro yang mendukung terhadap perjuangan melawan VOC. Sebagian besar
masyarakat Karawang pada masa itu adalah seorang santri yang menjadi petani. Kondisi
masyarakat dan geografis Karawang sangat cocok untuk mendukung serangan ke benteng-
benteng VOC di Batavia.
Keberadaan daerah Karawang juga telah dikenal sejak Kerajaan Pajajaran yang berpusat di
Daerah Bogor, karena Karawang pada masa itu merupakan jalur lalu lintas yang sangat
penting untuk menghubungkan Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan Galuh Pakuan yang
berpusat di Daerah Ciamis.
Luas Wilayah Kabupaten Karawang pada saat itu, tidak sama dengan luas Wilayah
Kabupaten Karawang pada masa sekarang. Pada waktu itu luas Wilayah Kabupaten
Karawang meliputi Bekasi, Purwakarta, Subang dan Karawang sendiri .
Setelah Kerajaan PaJajaran runtuh pada tahun 1579 Masehi, pada tahun 1580 Masehi berdiri
Kerajaan Sumedanglarang sebagai penerus Kerajaan Pajajaran dengan Rajanya Prabu Geusan
Ulun. Kerajaan Islam Sumedanglarang, pusat pemerintahannya di Dayeuhluhur dengan
membawahi Sumedang, Galuh, Limbangan,Sukakerta dan Karawang. Pada tahun 1608 Prabu
Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Ranggagempol Kusumahdinata.
Ranggagempol Kusumahdinata sebagai Raja Sumendanglarang masih mempunyai hubungan
keluarga dengan Sultan Agung dan mengakui kekuasaan Mataram. Maka pada Tahun 1620,
Ranggagempol Kusumahdinata menghadap ke Mataram dan menyerahkan kerajaan
Sumedanglarang di bawah naungan Kerajaan Mataram.
Ranggagempol Kusumahdinata oleh Sultan Agung diangkat menjadi Bupati (Wadana) untuk
tanah Sunda dengan batas-batas wilayah disebelah Timur Kali Cipamali, disebelah Barat Kali
Cisadane, disebelah Utara Laut Jawa, dan disebelah Selatan Laut Kidul.
Pada Tahun 1624 Ranggagempol Kusumahdinata wafat, dan sebagai penggantinya Sultan
Agung mengangkat Ranggagede, Putra Prabu Geusan Ulun.
Pada Tahun 1624, Sultan Agung mengutus Surengrono (Aria Wirasaba) dari Mojo Agung,
Jawa Timur untuk berangkat ke Karawang dengan membawa 1000 Prajurit dengan
keluarganya, dari Mataram melalui Banyumas dengan tujuan untuk membentuk Karawang
sebagai pusat logistic pangan sebagai persiapan melawan VOC di Batavia dengan
membangun gudang-gudang beras dan meneliti rute penyerangan Mataram ke Batavia.
Langkah awal yang dilakukan Aria Surengrono adalah dengan mendirikan 3 (tiga) Desa yaitu
Waringinpitu (Telukjambe), Desa Parakansapi (di Kecamatan Pangkalan yang sekarang telah
terendam Waduk Jatiluhur) dan Desa Adiarsa (Sekarang ternlasuk di Kecamatan Karawang
Barat), dengan pusat kekuatan di ditempatkan di Desa Waringinpitu.
Karena jauh dan sulitnya hubungan antara Karawang dengan Mataram, Aria Wirasaba belum
sempat melaporkan tugas yang sedang dilaksanakan kepada Sultan Agung. Keadaan ini
menjadikan Sultan Agung mempunyai angqapan bahwa tuqas yang diberikan kepada Aria
Wirasaba gagal dilaksanakan.
Demi menjaga keselamatan Wilayah Kerajaan Mataram sebelah barat, pada tahun 1628 dan
1629, bala tentara Kerajaan Mataram diperintahkan Sultan Agung untuk melakukan
penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia. Namun serangan ini gagal disebabkan
keadaan medan yang sangat berat. Sultan Agung kemudian menetapkan Daerah Karawang
sebagai pusat logistik yang harus mempunyai pemerintahan sendiri dan langsung berada
dibawah pengawasan Mataram serta harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang cakap dan
ahli perang sehingga mampu menggerakkan masyarakat untuk membangun pesawahan guna
mendukung pengadaan logistik dalam rencana penyerangan kembali terhadap VOC (belanda)
di Batavia.
Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa Sari Galuh dengan
membawa 1.000 prajurit dengan keluarganya menuju Karawang. Tujuan pasukan yang
dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten,
mempersiapkan logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan terhadap VOC
(Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba yang
dianggap gagal.
Tugas yang diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya
langsung dilaporkan kepada Sultan Agung. Atas keberhasilannya Wiraperbangsa oleh Sultan
Agung dianugrahi jabatan Wedana (Setingkat Bupati) di Karawang dan diberi gelar Adipati
Kertabumi III serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama "Karosinjang".
Setelah penganugrahan gelar tersebut yang dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa bermaksud
akan segera kembali ke Karawang, namun sebelumnya beliau singgah dahulu ke Galuh untuk
menjenguk keluarganya.Atas takdir IIlahi Beliau kemudian wafat saat berada di Galuh.
Setelah Wiraperbangsa Wafat, Jabatan Bupati di Karawang dilanjutkan oleh putranya yang
bernama Raden Singaperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi IV yang memerintah pada
tahun 1633-1677.
Pada abad XVII kerajaan terbesar di Pulau Jawa adalah Mataram, dengan raja yang terkenal
yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo. la tidak menginginkan wilayah Nusantara diduduki
atau dijajah oleh bangsa lain dan ingin mempersatukan Nusantara.
Dalam upaya mengusir VOC yang telah menanamkan kekuasaan di Batavia, Sultan Agung
mempersiapkan diri dengan terlebih dahulu menguasai daerah Karawang, untuk dijadikan
sebagai basis atau pangkal perjuangan dalam menyerang VOC.
Ranggagede diperintahnya untuk mempersiapkan bala tentara/prajurit dan logistik dengan
membuka lahan-Iahan pertanian, yang kemudian berkembang menjadi lumbung padi.
Tanggal 14 September 1633 Masehi, bertepatan dengan tanggal 10 Maulud 1043 Hijriah,
Sultan Agung melantik Singaperbangsa sebagai Bupati Karawang yang pertama, sehingga
secara tradisi setiap tanggal 10 Maulud diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Karawang.
Berawal dari sejarah tersebut dan perjuangan persiapan proklamasi kemerdekaan RI,
Karawang lebih dikenal dengan julukan sebagai kota pangkal perjuangan dan daerah
lumbung padi Jawa Barat.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian
wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakartadan Kasunanan
Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian
Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa
Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun
demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram
J. Akhir Kekuasaan
Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung,
putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk
menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali,
negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan
Mataram, kecuali Bataviayang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan
desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang
berhasil ditundukkan
adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantantahun 1622. Sultan
Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat
itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya
dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang
adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian.
Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga
kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.
Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender
Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di
pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan
rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik,
berjudul Sastra Gending.
K. Peristiwa Penting
Tahun 1558 : Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang
Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
Tahun 1577 : Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
Tahun 1584 : Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkatSutawijaya,
putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring
Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
Tahun 1613 : Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo
Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknyaRaden Mas Rangsang.
Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita
Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan
Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan
Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
Tahun 1677 : Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I
mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan.
Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan
gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
Tahun 1703 : Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi
Susuhunan Amangkurat III.
Tahun 1704 : Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku
Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk
pemerintahan pengasingan.
Tahun 1708 : Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai
wafatnya pada 1734.
Tahun 1719 : Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan
gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-
1723).
Tahun 1726 : Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang
bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
Tahun 1742 : Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada
dalam pengasingan.
Tahun 1743 : Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan
pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan
kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi
Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
Tahun 1745 : Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian
Bengawan Beton.
Tahun 1746 : Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang
dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi,
meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-
1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
Tahun 1757 : Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai
penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaranyang terlepas dari Kesunanan
Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati
Ing Ayudha".
Tahun 1813 : Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai
penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alamanyang terlepas dari Kesultanan
Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
Tahun 1830 : Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan
Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap
antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram
ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem
Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.