Anda di halaman 1dari 4

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

HUKUM TATA NEGARA


DOSEN PENGAMPU: DR. NURIYANTO, SH, M

NAMA : NIKO IMAM P.


NIM : 17041131

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA
2021
SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA
MATA KULIAH : HUKUM TATA NEGARA (HTN)
PENGAMPU : DR. NURIYANTO, SH, MH
WAKTU : 60 MENIT
==================================================================
PETUNJUK: PILIH 4 (EMPAT) NOMOR SOAL SAJA UNTUK DIKERJAKAN!

1. Jelaskan peran Presiden (eksekutif) dalam bidang pembuatan perundang-undangan


(legislasi):
a. Pada era sebelum amandemen UUD 1945
b. Setelah amandemen UUD 1945
2. Jelaskan perbedaan antara praktek penyelenggaraan pemerintahan dalam Negara
hukum rechstaat (Civil Law) dan The Rule of Law (Common Law)! Dan sistem
hukum mana yang saat ini dianut oleh Indonesia?
3. Bagaimana seharusnya praktek control and balance dalam 2 (dua) kamar lembaga
perwakilan saat ini?
4. Jelaskan prosedur pemberhentian Presiden menurut ketentuan UUD 1945 yang
berlaku saat ini!
5. Jelaskan maksud dan tujuan diberikannya otonomi daerah!

Jawaban :
1. a) Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, kekuasaan Presiden sesuai dengan pasal 5 ayat (1) yang berbunyi ”Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat”. Ini merupakan suatu penyimpangan yang sangat mendasar
dalam prinsip penyelenggaran ketatanegaraan dimana lembaga yang mempunyai
kewenangan untuk membentuk undang-undang yaitu berada pada kekuasaan
legislatif bukan pada eksekutif.
b) Amandemen UUD 1945 telah membalikkan kekuasaan membentuk undang-
undang, yang semula berada di tangan Presiden,”eksekutif heavy” menjadi
kekuasaan DPR ”legislatif heavy”. Namun setiap rancangan undang-undang, baik
yang datang dari DPR maupun dari Presiden, wajib untuk dibahas bersama untuk
mendapatkan persetujuan bersama. Tanpa persetujuan kedua pihak, rancangan
undang-undang itu tidak dapat disahkan menjadi undang-undang.

2. Civil Law yaitu sistem hukum yang dianut oleh negara-negara Erop Kontinental yang
didasarkan atas hukum Romawi dimana bentuk-bentuk sumber hukum berupa
peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan dan yurispudensi. Common law
yaitu sistem hukum yang didasarkan pada yurispudensi, sumber hukum ini alah
putusan hakim/pengadilan. Perbedaannya terletak pada sistem peradilannya dimana
civil law. Kedua sistem hukum dimaksud pada prinsipnya mengarah pada satu
pemahaman dan pemaknaan utama, yaitu negara hukum. kedua sistem dimaksud
sama-sama memandang hukum sebagai sarana efektif dalam menata kehidupan
berbangsa dan bernegara. Namun demikian, terdapat perbedaan yang sangat nyata di
antara keduanya. Dilihat dari sejumlah ciri khas dimaksud, tampak dengan jelas
adanya perbedaan di antara kedua sistem hukum dimaksud. Dalam negara hukum
yang menganut rechtsstaat, terlihat dengan jelas bagaimana pentingnya peradilan
administrasi sebagai salah satu alat pembeda dengan sistem hukum lainnya.
Sementara dalam negara hukum yang menganut the rule of law, menempatkan
pentingnya persamaan di hadapan hukum. namun demikian, kendati misalnya
rechtsstaat tidak menegaskan adanya prinsip persamaan di hadapan hukum, bukan
berarti bahwa hal tersebut dapat dimaknai bahwa negara hukum rechtsstaat tidak
mengakui konsep persamaan di hadapan hukum. Sistem hukum di Indonesia
menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau Civil Law. Hal ini dapat dilihar dari
sejarah dan politik hukum, sumber hukum maupun sistem penegakan hukumnya. Di
mana sistem tersebut banyak berkembang di negara-negara Eropa, seperti Belanda,
Prancis, Italia, Jerman.
4. Mekanisme pemberhentian presiden menurut ketentuan UUD 1945 yaitu :
 Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh  DPR
kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada
Mahkamah Konstitusi (“MK”) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum.
 Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
 MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK. [
 Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR,
 MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling
lama 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut
 Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus
diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari
jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang
hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan
penjelasan dalam rapat paripurna MPR

5. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang


diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam
rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Tujuan dari otonomi daerah menurut undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 ayat 3
menyebutkan bahwa tujuan otonomi daerah ialah menjalankan otonomi yang seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang memang menjadi urusan pemerintah,
dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan
daya saing daerah.

Anda mungkin juga menyukai