Anda di halaman 1dari 12

TRENDING TAG #IZIN VAKSIN NUSANTARA#VIDEO VIRAL#PENYANYI DITANGKAP POLISI#GUNUNG DEMPO  

 Sabtu, 15 Januari 2022 | 17:51     

OPINI

Penerus Wangsa Mataram Islam Pasca Sultan Agung


Hanyokrokusumo
Menurunkan Wangsa Mataram Kerajaan Surakarta Hadiningrat
 Senin, 07 Juni 2021 | 10:05

32
Shares

Kanjeng Senopati

WANGSA atau Dinasti berarti kelanjutan kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh satu garis keturunan (keluarga atau
dinasti yang sama).

Wangsa Mataram atau Dinasti Mataram Islam disini adalah pemerintahan Mataram yang berasal dari satu garis keturunan
keluarga yaitu berasal dari keluarga Panembahan Senopati yaitu dari garis lurus keturunan Bondan Kejawan.

Dimana Bondan Kejawan adalah putra pertama Prabu Brawijaya V atau KERTABUMI raja Majapahit dari istrinya yang cantik
yang bernama Ratu Campa Anarawati seorang wanita muslimah (berasal dari kerajaan Islam di daerah Campa Kamboja).

Kemudian Bondan Kejawan menikahi Dewi Nawangsih. Dewi Nawangsih adalah putri cantik dari pasangan Dewi Nawangwulan
dan Jaka Tarub (Raden Lembu Peteng) 1506.

Dari hasil antara Bondan Kejawan dengan Dewi Nawangsih menurunkan putra bernama Kyai Getas Pendawa (1523).

Kemudian dari Kyai Getas Pendawa menurunkan seorang putra bernama Kyai Ageng Selo (1528). Kemudian dari Kyai Ageng
Selo memiliki putra bernama Kyai Ageng Anis.

Kemudian Kyai Ageng Anis menurunkan putra bernama Kyai Ageng Pamanahan. Menurut naskah Babad Tanah Jawi dan Serat
Kandha. Kyai Ageng Pamanahan adalah keturunan orang-orang Sela yang hijrah ke Pajang dan pada tahun 1556 mendapat 
mandat oleh Sultan Adiwijaya (Joko Tingkir) untuk memimpin bumi Mataram.
Kyai Ageng Pamanahan adalah tokoh yang menurunkan raja-raja Mataram. Karena Kyai Ageng Pamanahan menikah dengan
seorang putri sholehah bernama Nyai Sabinah.

Siapakah Nyai Sabinah ?

Nyai Sabinah adalah adalah seorang wanita sholehah ibunya Nyai Saba adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga.
Sedangkan ayahnya masih keturunan Prabu Brawijaya V raja terakhir Majapahit.

Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan
Mataram Islam. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.

Nyai Sabinah adalah putri Ki Ageng Saba dengan Nyi Ageng Saba. Kedua orang tua Nyai Sabinah adalah keturunan ulama besar
dan keturunan raja besar jawa. Dimana Ki Ageng Saba adalah putra Ki Ageng Pandanaran dengan Nyai Made Pandan,
sedangkan Ki Pandanaran putra Ki Ageng Wonosobo putra sulung Raden Bondan Kejawan putra Raja Majapahit Prabu
Brawijaya V dari istri Ratu Campa.

Karena itu, ada isu yang beredar dan tidak benar bahwa Nyai Sabinah sebagai putra Pamantingan adalah anaknya tukang belah
kayu dan terjadi pacaran dan hubungan gelap dengan Sultan Hadiwijaya (JokoTingkir) sehingga Nyai Sabinah hamil diluar nikah
dan lahirlah anaknya bernama Panembahan Senopati, ini adalah fitnah.

Karena riwayatnya sangat dhoif (lemah) dan tidak kuat tidak tsiqoh tidak dipercaya mendasarkan pada catatan jejak rekam
sejarah yang tidak ada manuskripnya dan terputus.

Nyai Sabinah adalah sosok seorang wanita yang sholehah adalah keturunan dari seorang wali besar Sunan Giri yang telah
terdidik kehidupannya secara santri Islami terjaga dari laki-laki asing sangat mustahil melakukan perbuatan aib.

Dan beliau menyatakan sendiri bahwa bayi yang dikandungnya adalah benar benih dari suaminya Kyai Ageng Pamanahan
bukan Ki Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang), karena Ki Joko Tingkirpun (Hadiwijaya) tidak mengakuinya.

Maka sejarah yang benar dan shahih adalah hasil pernikahan antara Kyai Ageng Pamanahan dengan Nyai Sabinah akhirnya
menurunkan putranya yang terkenal menjadi raja besar di tanah jawa yaitu Panembahan Senopati.

Masa Panembahan Senopati Sebagai Senopati Ing Ngalaga Sayidin Pantagama

Awal peradaban Mataram Islam adalah pada masa Panembahan Senopati 1587-1601. Beliau yang memiliki gelar Panembahan
Senopati ing Alaga Syidina Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi adalah eyang kakeknya Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Panembahan Senopati yang merupakan keturunan Pajang, Demak, Majapahit, Daha, dan Jenggala.

Adalah seorang raja yang gemar tamasya spiritual. Memiliki penasehat yang utama yaitu Kyai Ageng Juru Mertani (penasehat).
Dan penasehat kedua adalah Syekh Bela Belu, seorang penasihat spiritual dan murid Sunan Kalijaga.

Suatu hari ada kisah Panembahan Senopati dan rakyatnya merasa berat untuk menebang hutan guna membangun keraton di
kota Gede karena saat itu hutannya sangat lebat.

Lalu Panembahan Senopati istikharah meminta petunjuk kepada Allah. Saat itu Panembahan Senopati di datangi oleh seorang
Bunda Ratu Kidul (ratu gaib samudera lautan selatan). Ini adalah pertemuan yang sangat mengagumkan antara Panembahan
Senopati dengan bunda kanjeng Ratu kidul.

Bunda ratu kidul menawarkan akan mengerahkan pasukan jinnya membantu membabat hutan lebat (kota gede) untuk
mendirikan keraton mataram.

Dan Panembahan Senopati mendapat pesan dari bunda ratu kidul, bahwa aku akan selalu mendampingi keturunanmu yang
bakal kelak menjadi raja-raja mataram atau pemimpin nusantara ini selama seorang raja / pemimpin  itu adalah seorang yang
dekat denganku dan dekat kepada perintah Allaah Subhanahu wa ta\\\'ala.

Jadi penulis menyimpulkan artinya bahwa bila selama kekuasaan di nusantara ini di pimpin oleh seorang raja atau pemimpin
yang amanah dan bertakwa maka penguasa gaib dari kerajaan Islam samudera selatan yang dipimpin oleh bunda ratu kidul
(seorang ratu muslimah dari golongan gaib) akan selalu menyertai perjalanan kepemimpinan tersebut.

Pamor Kerajaan Mataram Islam di darat memang tidak bisa terlepas dari hubungan diplomatik gaib kerajaan Islam di lautan
samudera.

Legitimasi dan peranan dari pemimpin / penguasa samudera laut selatan dari kerajaan gaib atau kerajaan Islam yang dikuasai
oleh bunda ratu itu tidak bisa pisahkan. Karena ini merupakan salah satu hubungan silaturahmi antara kerajaan / pemerintahan
didarat dan kerajaan di lautan, ini merupakan hubungan sesama pemimpin di nusantara sebagai hamba Allaah sama-sama
sebagai khalifatulloh wakil Allaah dibumi dalam menjaga keseimbangan alam di nusantara ini dan sebagai pamor kerajaan
Islam Mataram atau para pemimpin nusantara yang amanah.

Berdiri kesultanan Islam yang pertama kali setelah konflik panjang para pejabat dan sebagian kerabat yang bermental
feodalisme yang rata-rata mereka ingin meninggalkan ajaran luhur syariah Islam.

Lalu masa Panembahan Senopati merupakan pemerintahan awal Kesultanan Mataram Islam terletak di Mentaok lalu setelah itu
Kotagede, Yogyakarta.

Kemudian Panembahan Senopati menikah dengan Ratu Mas Putri (putri asal Adipati Pati) menurunkan putranya yang bernama
Sultan Hanyakrawati (Sunan Sedo Krapyak).

Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601 digantikan oleh putra mahkotanya Sultan Hanyakrawati atau Sunan Sedo
Krapyak.

Sultan Hanyakrawati menurunkan putra mahkotanya yang bernama Sultan Agung Hanyokrokusumo

Sultan Agung Satu - Satunya Raja Mataram Pertama Yang Menciptakan Semangat Jihad Melawan Penjajah

Sultan Agung Hanyokrokusumo 1613 - 1645 adalah raja jawa Mataram yang pemberani dan kharismatik menegakkan ajaran
luhur Islam yaitu syariat Islam.

Dalam dirinya tertanam rasa cinta kepada agama dan bangsanya sehingga beliau menanamkan semangat jihad kepada seluruh
rakyat Mataram untuk bangkit membela negara melawan penjajahan kolonialisme. Agar menjadi prajurit keraton untuk
bertempur melawan penjajah Belanda VOC.

Walaupun perjalanan jihad peperangan melawan Belanda tidak sampai selesai tapi setidaknya SULTAN AGUNG telah
memberiikan warning keras peringatan tegas kepada penjajah Belanda dan berhasil membunuh para tentara VOC, telah
membuat jinjo (ketakutan) kaum kafir penjajah yang ingin menguasai bumi nusantara.

Sultan Agung Hanyokrokusumo sang legendaris raja Mataram Islam semangat perjuangannya akan menurunkan kepada
keturunannya kelak yang memiliki sifat dan karakter pejuang sebagai kesatria Mataram. Beliau wafat tahun 1645. Kemudian
digantikan oleh putranya bernama Sultan Tegal Arum atau diberi gelar Amangkurat I.

Peristiwa Pembantaian Berdarah Pada Masa Amangkurat I

Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau Amangkurat I adalah Raja Mataram yang memerintah pada 1646-1677. Beliau adalah
putra pertama laki-laki Sultan Agung Hanyokrokusumo, yang dikenal sangat gila dalam menyebarkan kekuasaan.

Pada waktu itu pusat pemerintahan tersebut pindah ke Plered yang sekarang ada di Kabupaten Bantul.

Karakter Amangkurat I sangat jauh berbeda dengan bapaknya yang sangat berkharismatik yaitu Sultan Agung yang ahli strategi
teritorial.

Amangkurat I bisa dibilang tidak paham mengenai teritorial. Amangkurat lebih mengunggulkan intrik-intrik dalam istana yang
justru menimbulkan konflik dengan adik kandungnya sendiri, yaitu Pangeran Alit.

Pangeran Alit meregang nyawa akibat pembantaian yang secara tidak langsung dilakukan oleh kakaknya Amangkurat I.

Amangkurat I juga membantai ribuan ulama yang dipercaya mendukung adiknya.

Amangkurat I mengumpulkan ribuan para ulama sunnah dan keluarganya untuk diundang dan berkumpul dilapangan alun-alun
Plered. Setelah berkumpul sekitar 6.000 ulama dan kelurganya lalu dibantai dalam waktu kurang dari setengah jam
pembantaian itu berlangsung.

Setelah peristiwa berdarah tersebut, ia tampil di istana dan memperlihatkan wajah marah dan terkejut. Amangkurat I
memerintahkan orang-orang untuk menyeret ulama yang belum terbunuh dan memaksa mereka untuk mengaku sebagai dalang
pembantaian tersebut.

Orang-orang tersebut tidak memiliki pilihan lain, mereka akhirnya mengaku. Namun Amangkurat I pun memerintahkan
tentaranya untuk membunuh mereka yang tidak bersalah tersebut.

Kekejaman Amangkurat I tidak hanya mereka yang dituduh. Diketahui juga bahwa keluarga dalem kerajaan dan pejabat istana
juga ikut dibunuh oleh Amangkurat I karena  berburuk sangka ingin menggulingkannya.
Tidak hanya itu kearoganisme dan kekejaman Amangkurat I yang merebut istri orang. Yaitu Amangkurat I menyukai Ratu Wetan
yang cantik jelita putri Ki Wayah, seorang dalang wayang gedog. Tapi putri itu telah menikah dengan Kiai Dalem (Ki Dalang
Panjang Mas) yang juga dalang dan sedang mengandung dua bulan dari pernikahannya.

Amangkurat I merebut perempuan itu dari tangan suaminya. Maka raja mengeluarkan perintah untuk membunuh Kiai Dalem.

Begitu tahu Kiai Dalem sang suami tewas dibunuh pengawal Amangkurat I, kemudian Ratu Malang diperistri paksa. Namun
Ratu Malang menangis meratapi kematian mantan suaminya yang dicintainya itu. Ia pun jatuh sakit dan meninggal.

Kemudian Amangkurat mengurung 60 orang dayang-dayang istri selirnya di dalam sebuah kamar gelap dan tidak diberi makan
sampai berbulan-bulan akhirnya para selir itu mati semua.

Masalahnya Amangkurat I prasangka buruk kepada istri-istrinya bahwa mereka yang membunuh Ratu Malang.

Amangkurat I digambarkan sejarawan Merle C. Ricklefs dalam War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 sebagai penguasa
brutal tanpa sedikit pun keberhasilan atau kreativitasnya sebagai seorang raja yang gila.

Jika Sultan Agung seorang yang berkarakter pejuang, raja yang pemberani dan kharismatik pandai menaklukkan dan
bermanuver. Tapi Amangkurat I raja yang berambisi, pemarah, pendendam, pembohong, pemfitnah, penuntut dan pembantai.

Seorang pangeran dari Madura yang sudah muak dengan kekejaman Amangkurat I, Pangeran Trunojoyo melancarkan serbuan
ke keraton Mataram pada awal 1677. Keraton berhasil diduduki Pangeran Trunojoyo. Amangkurat I berhasil melarikan diri.
Mereka menuju Batavia untuk meminta perlindungan VOC.

Saat dalam perjalanan itulah Amangkurat I mati dalam keadaan sangat tersiksa sakaratul maut. Ia lalu dikuburkan di Tegal.

Kemudian Amangkurat I menurunkan putra pertamanya sebagai Amangkurat II di Kartosuro 1677 - 1703.

Dan putra keduanya yang bernama Pangeran Puger sebagai Paku Buwono I 1645 - 1677 di Kartosuro.

Dimasa Amangkurat II Keratonnya di Plered dikuasai pemberontak dan dianggap tidak layak sebagai tempat pemerintahan,
Amangkurat II mendirikan kerajaan baru di Wonokarto dan berganti nama menjadi Kartasura.

Keraton baru ini dibangun mulai tahun 1679 dan kemudian dikenal dengan nama Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Kasunanan
ini terus melahirkan penerus tahta hingga Pakubuwono II (1726-1749).

Kemudian sang adiknya Amangkurat II bernama Pangeran Puger sebagai Paku Buwono I menikah dengan Ratu Pakubuwono
yang akhirnya menurunkan sebagai Amangkurat IV (Amangkurat Jawi) 1719 - 1727. 

Kemudian kakaknya Paku Buwono I yaitu Amangkurat II tadi menurunkan putranya bernama Sunan Mas sebagai Amangkurat III
1703 - 1704.

Masa Amangkurat III Kejadian Berdarah Terulang Kembaali

Dimasa Amangkurat III 1703-1708, beliau menurunkan Pangeran Teposono (Mbah Slamet), kemudian Pangeran Teposono
menurunkan Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) di Kartosuro 1742.

Ada peristiwa berdarah terulang kembali di masa Amangkurat III. memberi gambaran peristiwa mengerikan di istana Mataram
Kartasura di awal abad 18 Masehi.

Yaitu Amangkurat III memerintahkan untuk mengeksekusi permaisurinya sendiri. Sekaligus menyaksikan eksekusi mati
permaisurinya yaitu Raden Ayu Lembah (Kanjeng Ratu Lembah).

Sang ratu Lembah adalah putri Pangeran Puger yang kelak menjadi raja Mataram bergelar Sunan Pakubuwono I, dibunuh
bersama Raden Sukro, putra Adipati Sindurejo yang dituduh sebagai kekasih gelapnya.

Sang Ratu dieksekusi dengan seutas jarik mencengkeram lehernya. Ia mati terbunuh di kaputren yang dilemparkan dalam
keadaan telanjang ke kandang macam untuk jadi santapan harimau-harimau Jawa. Prilaku Mangkurat III sama persis seperti
kakeknya yaitu Amangkurat I yang kejam dan bengis.

Kemudian kita kembali kepada Paku Buwono I. Paku Buwono I menikah dengan Ratu Pakubuwono asal Blitar menurunkan
Amangkurat IV (Amangkurat Jawi) 1719 - 1727.

Amangkurat IV 1719 - 1727 menurunkan tiga putranya, putra pertama sebagai Paku Buwono II di Surakarta 1727 - 1749,
kemudian putra kedua adalah Pangeran Haryo Mangkunegoro sebagai Adipati Mangkunegaran Surakarta yang menurunkan
para kanjeng adipati mangkunegaran dstnya..
Dan putra ketiga adalah KPH Mangkubumi (Sinuhun Suwargo) sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono I. Kemudian HB I
menurunkan putranya bernama GRM. Sundoro (Sinuwun Sepuh) sebagai Hamengkubowono II dan menurunkan para sultan raja-
raja Jogja dstnya..

Masa Pakubuwono Ii Peristiwa Geger Pecinan

Di masa pemerintahan Paku buwono II, yaitu sekitar tahun 1741-1742, terjadi peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Geger
Pecinan.

Geger Pacinan diawali dengan pembantaian 10 ribu orang Tionghoa oleh VOC di Batavia (sekarang Jakarta).

Peristiwa pembantaian orang-orang TIonghoa oleh Belanda ini berdampak pada hancur dan porak porandanya istana
Kasunanan Kartasura Hadiningrat.

Penyerbuan ke keraton Kasunanan Surakarta yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa dipimpin oleh Radenmas Garendi
(Sunan Kuning). Seorang pangeran yang sudah dianggap keluar dari dinasti mataram.

Siapakah Radenmas Garendi Yang Memimpin Pemberontakan Bersama China

Radenmas Garendi adalah putra bungsu dari Pangeran Teposono, atau cucu dari Amangkurat III. Masa kecilnya sudah diwarnai
politik berdarah. Ayahnya, Pangeran Teposono, terbunuh karena konflik internal kerajaan.

Setelah ayahnya tewas, Garendi dibawa lari menyelamatkan diri meninggalkan Keraton Kartasura oleh pamannya bernama
Wiramenggala. Mereka melintasi Gunung Kemukus hingga sampai Grobogan.

Di lokasi itu, rombongan pelarian Kartasura berjumpa dengan keluarga Tionghoa, He Tik. Garendi lantas dipungut anak oleh He
Tik. Hal itu dijelaskan oleh Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Daradjadi Gondodiprodjo dalam bukunya, \\\\\\\'Geger Pacinan
1740-1743.

Dia yang memimpin koalisi Jawa-Tionghoa untuk memberontak dan menyerang kekuasaan Susuhunan Paku Buwono II.

Alasan Radenmas Gerendi menyerang Keraton Kasunanan Paku Buwono II, pertama karena dendam lama, kedua karena
hasutan dari seorang Tionghoa He Tik mengusulkan agar Garendi yang menjadi raja pengganti Pakubuwana II.

Pada 30 Juni 1742, pasukan Sunan Kuning (Radenmas Garendi) berhasil menjebol Keraton Kartasura.

Suasana Keraton Kartasura mendadak kacau dan luluh lantak karena digeruduk pasukan Tionghoa. Pakubuwana II dan
keluarganya melarikan diri dari keraton lewat pintu belakang.

Oleh sebab itu, karena situasi yang tidak kondusif, Pakubuwono II memindahkan pusat pemerintahan ke Solo pada tahun 1744
yang dikenal juga dengan nama Surakarta. Dari sinilah sejarah Surakarta Hadiningrat dimulai.

Akhirnya 1 Juli 1742, Radenmas Garendi (Sunan Kuning) yang bergelar Sunan Amangkurat V alias bertakhta di Kartasura.

Raden Mas Said Suryokusumo alias Pangeran Prangwadana di kemudian hari dijuluki sebagai Pangeran Samber Nyawa
diangkat sebagai Panglima Perang. Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa adalah yang mendirikan keraton baru di
Surakarta. Ia menyandang gelar Mangkunegara I.

Pemerintahan Sunan Kuning (Radenmas Garendi) ini merupakan pemerintahan kerajaan koalisi antara jawa - tionghoa.

Namun kekuasaan Sunan Kuning sebagai Raja Mataram tak berlangsung lama. 26 November 1742, Sunan Kuning harus
beranjak dari kursi Raja karena digempur oleh tiga pihak sekaligus: pasukan Pakubuwana II, pasukan VOC, dan pasukan
Cakraningrat IV dari Madura.

Pada penghujung tahun 1749, Pakubuwono II terserang penyakit sehingga kedaulatan Kasunanan Surakarta Hadiningrat harus
dialihkan ke VOC di bawah pimpinan Belanda. Sejak itu, Belanda memegang peran sebagai pemberi izin penobatan raja-raja
keturunan Mataram.

Terpecahnya Kerajaan Mataram Menjadi Dua, Surakarta Dan Jogjakarta

Konflik dengan Mataram

Sebelumnya, Pangeran Mangkubumi yang merupakan saudara tiri Pakubuwono II menuntut tahta Kasunanan Surakarta
Hadiningrat. Akan tetapi, karena tidak ingin mengalihkan kekuasaan, Pakubuwono II justru menunjuk Raden Mas Suryadi,
putranya, sebagai putra mahkota sebagai Paku Buwono III. 
Pada tanggal 15 Desember 1749, sang putra mahkota dilantik oleh VOC yang diwakili oleh Baron von Hohendorff dengan gelar
Sri Susuhunan Pakubuwono III sebelum sang ayah meninggal pada 20 Desember 1749 meneruskan sejarah Surakarta.

Tidak terima akan keputusan diangkatnya Raden Mas Suryadi sebagai Paku Buwono III, Pangeran Mangkubumi meninggalkan
istana dan mendirikan pemerintahan sendiri di Yogyakarta untuk menandingi Kasunanan Surakarta. Kerajaannya terus
berkembang apalagi setelah ia bergabung dengan Raden Mas Said (Pangeran Samber Nyawa).

Di sisi lain, Belanda mulai khawatir akibat meluasnya kekuasaan Pangeran Mangkubumi. Maka dari itu, Belanda mengajukan
Perjanjian Giyanti yang dilakukan pada 13 Februari 1755.

Perjanjian ini berisi kesepakatan untuk membagi wilayah Mataram menjadi dua. Menurut sejarah yaitu Surakarta dan
Jogjakarta.

Surakarta Hadiningrat akan berada di bawah pimpinan Sri Susuhunan Pakubuwono III dan Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat berada di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi atau Hamengkubuwono I.

Pangeran Mangkubumi yang kemudian digelari Sri Sultan Hamengkubuwono I berselisih dengan Raden Mas Said. Raden Mas
Said tidak menerima keputusan pembagian wilayah oleh Belanda ini dan melawan Sri Sultan Hamengku Buwono I sambil terus
beroposisi dengan Pakubuwono III.

Resah dengan keadaan ini, Belanda kembali ikut campur. Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, meminta dengan
segera supaya Pakubuwono III mengambil jalan damai. Kemudian lahirlah Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757. Perjanjian ini
tidak menguntungkan sejarah Surakarta secara Geografis.

Sejarah Penting Disingkirkannya Para Ulama Sunnah "Santri Pitu" Pada Masa Paku Buwono Iv

Pergantian kekuasaan

Sejarah Surakarta mengalami babak baru saat penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat berikutnya, Sri Susuhunan
Pakubuwono IV menjabat  (1788-1820).

Ia adalah pemimpin yang sangat membenci penjajah. Karena ia berpaham teguh pada syariah Islam, seperti leluhurnya Sultan
Agung Hanyokrokusumo yang juga berpegang teguh kepada syariah Islam.

Intinya dalam catatan sejarah raja-raja Mataram yang berani melawan penjajah Belanda adalah pada masa raja-raja yang
berpegang teguh kepada syariah Islam.

Namun ada beberapa pejabat istana yang tidak sepaham dengan ajaran luhur syariat Islam yang mereka lebih condong kepada
ajaran paganisme  yang karakter mereka lebih condong kepada penjajah Belanda yang kemudian disingkirkan oleh Paku
Buwono IV.

Para pejabat istana yang tidak terima akan perlakuan Pakubuwono IV meminta bantuan VOC untuk melawan Pakubuwono IV.

Selama sebelumnya Keraton Kasunanan selama 32 (Tiga Puluh Dua) Tahun keraton Solo Berhukum kepada Syariat Islam
setelah sebelumnya pada masa Panembahan Senopati dan Sultan Agung. Puncaknya adalah pada masa Paku Buwono IV.

Di Ceritakan dalam sejarah Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat pernah menerapkan Hukum Syariat Islam di Seluruh
Wilayah kekuasaan Kerajaan Surakarta.

Pada masa PB IV ada  Tujuh ulama Pinilih sebagai Pengageng dan penasehat raja  yang terkenal dengan dinamakan "Santri
Pitu"

Santri Pitu adalah Tujuh orang para Tokoh Ulama Keraton Mataram yang ditugaskan membimbing dan mengajarkan ajaran
luhur Syari\\\'at Islam di Kasunanan Surakarta.

Beliau Tujuh Ulama ini Adalah  Abdi Dalem Kinasih (terkasih) dari Paku Buwono. IV

Para Ulama ini terdiri dari : 1. Raden Santri, 2. Pangeran panengah, 3. Raden Wiradigda, 4. Raden Kandhuruhan, 5. Kyai Bahman,
6. Kyai Nursoleh dan  7. Bagus Murtoyo atau (Kyai Muhammad qorib).  Ditambah Tokoh kehormatan Kyai Jamsari (cikal bakal
trah pesantren Jamsaren).

Peran Santri Pitu ini sangat Dominan dalam menentukan arah strategi politik dan keamanan Kasunanan Surakarta sehingga
Keraton Surakarta saat itu mencapai kegemilangan luar biasa  pemerintahannya.


Tapi ini membuat keresahan penguasa penjajah Belanda dan Santri Pitu begitu sangat disegani Kaum Ningrat di dalam Keraton.
Beberapa kebijakan dari Sinuhun Paku Buwono IV yang sangat menyolok antara lain: "mewajibkan semua  Keluarga Keraton dan
Abdi Dalem Untuk Wajib menjalankan syariat luhur Islam yaitu kewajiban Sholat 5 waktu dan Sholat Jumat Di masjid Agung
Keraton.

Para kerabat keraton dan kawulo keraton dilarang mengKonsumsi tuak atau minuman Keras dan Opium, karena pada saat
syariat Islam belum diterapkan banyak kawulo keraton dan kerabat keraton yang mengkomsumsi opium (ganja)

Kemudian Sinuhun Raja Menerapkan dan Menjalankan eksekusi hukum gantung kepada para pelaku kejahatan pembunuhan
dengan vonis hukuman mati qishos di pengadilan. Pelaksanaan sidangnya dilaksanakan di Serambi Masjid Agung.

Kemudian PB IV membentuk prajurit Nirbaya (prajurit mujahidin) yang disebut dengan "Prajurit Marto lulut Singo Nagoro".
Barisan Prajurit ini juga yang ditugaskan sebagai Eksekutor Hukuman.

Kebijakan dan Perintah Raja Paku Buwono IV ini membuat penguasa penjajah Belanda tidak senang. Mereka menyusun
rencana untuk menghentikan kebijakan Raja tersebut.

Pada Pelaksanaan Rencana itulah yang populer dengan terjadilah peristiwa "Pakepung", Yaitu pengepungan Keraton Kasunanan
Surakarta dari semua penjuru yang dilakukan oleh pasukan koalisi dari militer penjajah Belanda, Prajurit Kasultanan
Ngayogyakarta, Prajurit Mangkunegaran.

"Pakepungan" ini terjadi pada tahun 1790. Adalah peran besar atas masukan saran dari Radèn Ngabèhi Yosodipuro I (Kakèk
Buyut Radèn Ngabèhi Ronggowarsito).

Entah kenapa saat itu tiba-tiba beliau Sinuhun Paku Buwono IV berubah sikap terpengaruh saran tersebut dan bersedia
menyerahkan para Santri Pitu atau Penasehat utama Kerajaan (Ulama Santri Pitu) kepada Pengeroyok.

Pengepungan ini dikenal dalam sejarah Surakarta sebagai Peristiwa \\\'Pakepung\\\'. Pada 26 November 1790, Pakubuwono IV
kalah dan menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC.

Maka para Ulama "Santri Pitu" yang telah lama berjasa kepada kejayaan dan marwah keraton Surakarya itu semua di penjara
oleh penjajah.

Namun atas permintaan Sinuhun Paku Buwono IV agar Kanjeng Bagus Murtoyo atau saudara angkat sinuhun dibebaskan dari
penahanan meski dengan syarat hanya boleh mengajar dipondok pesantren Kyai Abdul Jalil saja di Kaliyoso.

Sedangkan : 1. Raden Santri, 2. Pangeran Panengah, 3. Raden Wirodigdo, 4. Raden Kandhuruhan, 5. Kyai Bahman dan 6. Kyai
Nur Shaleh. Mereka berenam dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia untuk menjalani hukum buang keluar Negeri.

Sejak Peristiwa "Pakepungan" tahun 1790 itu seluruh ilmu pengetahuan Islam, kajian-kajian keislaman di keluarga keraton dan
kawulo keraton dihilangkan, kitab - kitab hadist para ulama diberangus dibakar oleh Belanda. Dan penerapan Hukum Syariat
Islam. Di Kasunanan Surakarta DIHAPUS diganti dengan ajaran feodalisme Belanda dan Kejawen.

Mereka yang melakukan perlawanan terhadap Paku Buwono IV adalah dari Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I meminta
tolong kepada VOC untuk mengepung istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Setelah Santri Pitu dihilangkan dan ajaran syariah Islam di hapus oleh Belanda Paku Buwono IV mengalami degradasi
(penurunan dan kemerosotan) mutu kepemimpinan dan hilangnya marwah keraton Kasunanan Surakarta.

Setelah Paku Buwono ditinggal oleh para ulama atau setelah peristiwa Pakepung pihak pengeroyok menyatakan bahwa tidak
boleh ada aksi saling serang yang dinyatakan oleh Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I.

Tapi pihak Pakubuwono IV diam-diam masih berambisi untuk menyatukan wilayah Yogyakarta dan Surakarta dalam satu dinast
kerajaan Mataram, membuat sejarah Surakarta Hadiningrat baru.

Pada tahun 1814, Pakubuwono IV bekerjasama dengan tentara Sepoy yang dibawa Inggris untuk melawan Inggris sekaligus
menduduki Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Aksi ini gagal namun Pakubuwono bisa lolos dari serangan Inggris menurut sejarah Surakarta.

Pakubuwono IV akhirnya meninggal pada Oktober 1820 dan digantikan oleh putranya Raden Mas Sugandi. Akan tetapi, usia
pemerintahan Raden Mas Sugandi, yaitu Pakubuwono V di sejarah Surakarta hanya berlangsung selama 3 tahun. Ia wafat pada
September 1823.

Paku Buwono VI Sang Arsitek Perang Pasukan Mujahidin Pangeran Diponegoro
Kepemimpinan Keraton Surakarta dilanjutkan kembali oleh putra mahkota, yaitu Raden Mas Sapardan yang naik dengan gelar
Sri Susuhunan Paku Buwono VI 1823 sebagai penerus sejarah Surakarta beliau termasuk tokoh pahlawan nasional di masa
Pangeran Diponegoro.

Beliau Paku Buwono VI adalah seorang raja Surakarta yang diam-diam mengikuti jejak leluhurnya memerangi Belanda yaitu
Sultan Agung.

Karena beliau mempelajari ajaran luhur syariah Islam kembali sebab saat itu keraton Surakarta masih dalam monitor Belanda
melarang keras ajaran dan hukum Islam masuk kedalam keluarga keraton Surakarta.

Tapi Paku Buwono VI secara sembunyi-sembunyi belajar syariat Islam kepada gurunya Pangeran Diponegoro sehingga beliau
menjadi pribadi seorang raja Surakarta yang spiritual dan sangat religius dan sampai dijuluki dengan nama "Raja Bangun Tapa",
karena punya hoby bertapa padahal bukan bertapa tapi beliau sebagai seorang muslim yang taat berkhalwat(bertaqarub)
menyendiri untuk berdzikir berlama-lama kepada Allaah Subhanahu wa ta\\\\\\\'ala orang lain menyebutnya bertapa (semedi).

Dan Paku Buwono VI terkenal sebagai arsitek perangnya pasukan mujahidin keraton pasukan Pangeran Diponegoro karena
beliau PB VI selalu bergabung ikut terjun langsung bergerilya dan memerangi Belanda secara sembunyi-sembunyi bersama
Pangeran Diponegoro.

Pakubuwono VI sangat mendukung perjuangan jihad Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajahan Belanda. Namun,
karena terikat kontrak politik dengan Belanda, Pakubuwono VI tidak bisa begitu saja menunjukkan dukungannya.

Ternyata Belanda mencium gerakan Pakubuwono VI bekerjasama dengan Pangeran Diponegoro karena ada seorang
penghianat yang melaporkan ke Belanda.

Paku Buwono VI  ditangkap Belanda dan dibuang ke Ambon, diberitakan beliau menghumbuskan nafasnya terakhir di Ambon.

Jasad Paku Buwono VI ditemukan lubang bersarang di dahinya. Lubang tersebut diduga akibat tembakan eksekusi senapan
Baker Riffle. Pakubuwono VI wafat bukan karena kecelakaan, melainkan ditembak.

Kemudian karena Paku Buwono VI saat itu memiliki sang putra mahkota masih kecil belum balig. Maka Belanda menunjuk
paman beliau sebagai Paku Buwono VII pengganti Pakubuwono VI. Tentu saja Belanda sebagai oligarki sangat berperan
penunjukan raja disini.

Paman Pakubuwono VI lah yang akhirnya menurut sejarah Surakarta meneruskan tahta. Tapi Paku Buwono VII tidak sampai
lama memimpin wafat pada Juli 1858. Dan saat itu seharusnya yang berhak menjadi raja Paku Buwono VIII adalah putra Paku
Buwono VI sebagai putra mahkota seorang raja sebagai pewaris tahta. Namun usia putra mahkota masih belum cukup dan
layak untuk menjadi seorang raja.

Maka menurut sejarah Surakarta, yang dinobatkan sebagai raja Paku Buwono VIII adalah sang kakak Paku Buwono VII, yaitu
Raden Mas Kusen dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono VIII. Tapi masa pemerintahannya Pangeran Kusen sangat singkat
berlangsung selama 3 tahun saja.

Ada isu yang berkembang di tengah masyarakat bahwa Pangeran Kusen memiliki dan menguasai aset tanah dan lahan keraton
Surakarta. Bagaimana mungkin bisa memiliki  aset-aset lahan keraton karena urusan interen pemerintahan keraton saja saat itu
belum terbenahi \'kecekel\', belum teratasi dan terkendali secara sempurna karena tidak lebih dari tiga tahun pada bulan
Desember 1861 Pangeran Kusen Paku Buwono VIII sakit dan meninggal dunia.

Pada saat itu putra mahkota raja Paku Buwono VI sudah menginjak dewasa maka penerus tahta sejarah Surakarta Hadiningrat
selanjutnya diteruskan kepafa Raden Mas Duksino, putra Pakubuwono VI dinobatkan sebagai Paku Buwono IX.

Pemerintahan Pakubuwono IX ini disebut sebagai zaman yang penuh keadilan dan kebijaksanaan. Kemudian setelah
meninggal, Paku Buwono IX digantikan oleh putra mahkotanya bernama Raden Mas Malikul Kusno, sang putra mahkota yang
akhirnya dinobatkan sebagai Paku Buwono X.

Masa Paku Buwono X Adalah Masa Emas Peradaban Wangsa Mataram Islam

Pada masa Paku Buwono X mengisi keraton Surakarta adalah masa peradaban baru (reformis) bagi dimensi keraton Mataram
Islam dengan kekuasaannya dari seorang raja yang berkarakter spiritual tinggi, religius, cerdas, tajam instingnya, cakap, pandai
berlego dengan Belanda, bijasana, sangat mencintai rakyatnya dan berkharisma di mata seluruh rakyat Solo dan Jogja pada
masanya hingga legendaris sampai saat ini.

Masa Paku Buwono X adalah masa emasnya kebesaran wangsa Mataram Islam dengan tradisi agama dan budaya sekaligus

yang dapat menyatu memulai babak baru bagi sejarah Surakarta Hadiningrat yang memasuki era modern di abad ke-20.
Pada masanya PB X dikembangkan lagi ajaran keluhuran syariat Islam masuk ke keraton Surakarta maka muncul istilah para
"Kyai dalem keraton".

Beliau sejak dini usia 3 tahun yang berhelar Pangeran Malikul Kusno (Paku Buwono X) sudah memiliki kekayaan yang luar biasa
berupa aset dan lahan tanah-tanah yang menyebar di seluruh nusantara dan  mendapatkan hadiah kekayaan dari negeri
Belanda.

Kebijakan beliau mengikuti jejak para leluhurnya yaitu PB IV dan PB VI. Karena sinuwun berpendapat marwah keraton Mataram
akan kembali bercahaya bila seorang rajanya mendekat ke para ulama dan menyuburkan ajaran luhur Islam sebagai cahaya
pamor dan identitas kerajaan keraton Mataram Islam.

Sehingga setiap sholat jum\\\\\\\'at berjama\\\\\\\'ah di masjid Agung keraton bersama rakyat beliau selalu mengenakan baju
jubah putih kesayangannya menunjukkan beliau adalah seorang raja jawa yang beridentitas sebagai seorang muslim.

Pada masa trah Paku Buwono X memang menjadi raja paling istimewa dalam dinasti Mataram Islam khususnya kerajaan
keraton Kasunanan Surakarta. Karena PB X juga telah menyuburkan ajaran dakwah Islam subur menyebar ke kawulo mataram
dan sekitarnya dengan perlindungan penuh sinuwun PB X.

Paku Buwono X juga berjasa memberikan ruang yang bebas pada gerakan nasional seperti Syariat Islam di Solo dan Boedi
Oetomo dapat berkembang dan berkibar dengan perlindungan penuh seorang raja.

Paku Buwono X wafat di Surakarta, 22 Februari 1939 pada umur 72 tahun. Saat itu rakyat negari Surakarta dan sekitarnya
serentak hening bagaikan kota mati karena seluruh rakyat sangat berkabung atas kepergian raja yang paling dicintai oleh
rakyat.

Saat itu hampir seluruh rakyat Surakarta mataram mengira dan mengharapkan yang menjadi pengganti beliau PB X adalah
putranya yang juga dekat dab simpatik terhadap rakyat karena putra ini yang selalu mendampingi ayahandanya PB X saat itu
sebagai ajudan sinuwun PB X yaitu Pangeran Soerio Hamidjoyo (eyang kalek penulis).

Tapi karena Pangeran Soerio Hamidjoyo bukan anak dari istri permaisuri. Maka yang dijadikan adalah Pangeran Antasena.

Penerus tahta kerajaan keraton Kasunanan Surakarta selanjitnya adalah Raden Mas Antasena adalah penerus sejarah
Surakarta selanjutnya sebagai Paku Buwono XI 1886 - 1945.

Beliau dinobatkan dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono XI 1939. Pada saat itu, tentara Jepang mulai masuk menggantikan
Belanda. Pakubuwono XI wafat sesaat sebelum Indonesia merdeka. Ia digantikan oleh putranya, Raden Mas Suryaguritna
sebagai Pakubuwono XII.

Masa Paku Buwono Xii Masa Raja Kondisi Paling Sulit Dalam Sejarah Raja Mataram

Pakubuwono XII 1925 - 2004, adalah raja terakhir dalam sejarah Surakarta. Berbarengan dengan merdekanya Indonesia,
Surakarta Hadiningrat bergabung dengan Indonesia dan secara otomatis tunduk terhadap peraturan republik.

Beliau terkenal dengan julukan sinuhun Hamardika. Karena Beliau termasuk raja Mataram terakhir yang berkuasa setelah
berdirinya kemerdekaan RI, artinya sudah tidak memiliki kekuasaan penuh sebagai penguasa raja.

Paku Buwono XII lah yang memberikan restu, ijin dan mandat kepada presiden Soekarno yang meminta ijin mendirikan Republik
Indonesia. Maka hampir seluruh aset kakayaan lahan dan sumber dana kerajaan telah disumbangkan kepada pemerintah Bung
Karno saat itu dan kemudian sikap raja Mataram ini diikuti oleh seluruh raja dan sultan kerajaan keraton nusantara.

Semenjak kemerdekaan RI tahun 1945 keraton Surakarta kekuasaannya berkurang drastis karena ternyata setelah itu presiden
Soekarno mencabut hak otonom DIS (Daerah Istimewa Surakarta) dibekukan oleh pemerintah Soekarno menjadi daerah
Karesidenan dengan alasan instabilitas politik yaitu protesnya dan permintaannya kaum proletar kiri (komunis) di Solo yang anti
kerajaan pada waktu itu.

Padahal dahulu Soekarno meminta-minta restu kepada PB XII lalu diberikan mandat dan diserahkan hampir seluruh harta, dana
dan aset-aset lahan keraton Surakarta kepada pemerintah Soekarno.

Kepasrahan PB XII dirasakan oleh para kerabat dan keluarga besar keraton. Diakhir kekuasaannya sudah kehabisan jalan untuk
menghidupi keraton dan keluarga beliau mencari sumber dana lain untuk membangun dan menghidupi keraton Surakarta saat
itu, adalah masa-masa prihatinnya seorang raja Paku Buwono XII.

Masa Paku Buwono Xiii Masa Ontran-Ontran Kerajaan Surakarta
Sepeninggal Paku Buwono XII digantikan oleh putra laki-laki tertua dari para istrinya (garwo ampil) bernama Raden Mas
Hangabehi sebagai Paku Buwono XIII (1948) karena PB XII tidak mengangkat permaisuri.

Saat itu kondisi keraton Surakarta semakin tidak menentu ditambah adanya gerakan \\\\\\\'kudeta\\\\\\\' dari salah satu
adiknya (lain ibu) yaitu Gusti Tedjowulan untuk merebut tahta raja PB XIII dengan alasan karena Hangabehi sudah tidak layak
menjadi seorang ratu (raja). Tapi kudeta itu berhasil di gagalkan oleh Gusti Moeng (adik kandung) PB XIII.

Namun saat ini perselisihan antara kakak adik lain ibu keturunan PB XII sudah meredam dan malah saat ini antara Gusti Moeng
dengan Gusti Tedjowulan sudah Islah (berdamai).

Bahkan sekarang mereka putra-putra PB XII dalam satu barisan kembali, karena sama-sama mendapatkan nasib yang sama
mendapat perlakuan buruk yang tidak baik dari istri Paku Buwono XIII.

Paku Buwono XIII sebenarnya telah dinyatakan cacat (tetap / permanen) yaitu lumpuh yang akibatnya tidak dapat menjalankan
tupoksi seorang raja umumnya.

Peluang ini dimamfaatkan oleh istrinya akhirnya sampai hari ini kebijakan keraton Surakarta dikuasai oleh sang istri. Ini lah yang
menyebabkan ketimpangan (keruwetan)  baru yang telah merusak kepaugeran keraton dan nilai luhur keraton Surakarta.

Tentunya LDA (Lembaga Dewan Adat) keraton sebagai lembaga para sentono dalem putra trah pimpinan Gusti Moeng 
menentang istri PB XIII yang tidak bisa di dibiarkan karena akan merusak kepaugeran keraton Surakarta.

Keraton Surakarta saat ini dalam kondisi \\\\\\\'warning\\\\\\\' (terancam). Warning pertama adalah ancaman intervensi dari
orang luar keraton yang ingin masuk menguasi keraton yang di promotori oleh istri PB XIII, kemudian dengan meng
\\\\\\\'kick\\\\\\\' mengusir putra-putra asli trah sentono dalem dari dalem keraton, termasuk ingin membubarkan LDA
(Lembaga Dewan Adat) Keraton sebagai lembaga check and balance raja.

Warning kedua adalah kondisi keuangan keraton yang semakin minus karena selama ini dana dari pemerintah dikuasai
seluruhnya oleh istri PB XIII sampai hari ini.

Pada masa pemerintah Jokowi yang berkuasa sebagai walikota Solo, Jokowi selalu saja berjanji memperhatikan keraton
Surakarta dan akan mensuport keraton Surakarta, namun hingga detik ini menjadi presiden tidak pernah terwujudkan.

Sekian sejarah singkat raja-raja wangsa Mataram dan kondisi khususnya trah Keraton Surakarta Hadiningrat.

Semoga sejarah singkat wangsa Mataram Islam dapat memberikan referensi dan pelajaran yang sangat berharga untuk kita
semua dan para sedulur sekalian. Diambil sisi positifnya dan tinggalkan (jangan ditiru) sisi negatifnya.Rahayu.

Kanjeng Senopati (KRMH. Tommy Agung Wibowo Hamidjoyo, SE)

Buyut Dalem PB X, Cucu / Wayah Dalem Gusti Pangeran Soerio Hamidjoyo / putro Dalem PB X, Pemerhati Spiritual Geostrategi
Geopolitik Indonesia & Pemerhati Kerajaan Keraton Nusantara

Editor: Husnie

TAGS: PENERUS WANGSA MATARAM ISLAM PASCA SULTAN AGUNG HANYOKROKUSUMO

 Facebook  Twitter  Pinterest

 Previous Post Next Post 

Masyarakat Tionghoa Yang Percaya Zainudin Amali: "Bicara Politik, Malam Aja!"
Ramalan

Komentar

FOLLOW US

   

TERPOPULER

NEWS

Penny Lukito: Pemerintah Akan Jadikan Vaksin Nusantara Sebagai Booster, Tak Perlu Izin BPOM

Senin, 10 Januari 2022 | 14:37

NEWS Pria Tendang Sesaji di Gunung Semeru Viral, Polisi Langsung Bergerak Buru Pelaku

Senin, 10 Januari 2022 | 11:43

NEWS Penyanyi Dangdut Berinisial VU Ditangkap Polisi Gunakan Narkoba

Senin, 10 Januari 2022 | 12:00

NEWS Status Gunung Dempo Naik Jadi Waspada, Pengunjung dan Pendaki Dilarang Mendekat
Sabtu, 08 Januari 2022 | 11:45

TAGS
IZIN VAKSIN NUSANTARA VIDEO VIRAL PENYANYI DITANGKAP POLISI GUNUNG DEMPO

BERITA HOT OPINI LAINNYA

Masyarakat Tionghoa Yang Percaya Ramalan

Zainudin Amali: "Bicara Politik, Malam Aja!"

Asal Muasal Kata Owe, Amoi & Akew

Mengenal Puasa Weton Kelahiran

Sejarah Orang Tionghoa Di Indonesia

Copyright © Askara.co All Rights Reserved


Tentang Kami Redaksi Iklan Disclaimer

Pedoman Pemberitaan Media Siber RSS

Anda mungkin juga menyukai