Anda di halaman 1dari 42

Sejarah Madura Abad ke-16 Madura Timur, Sumenep dan Pamekasan

XIV-1.
Berita-berita kuno tentang Madura Timur
Tentang Sumenep terdapat sebuah riwayat penting, yang berasal dari zaman sebelum
Islam, yaitu zaman Majapahit. Sumenep merupakan daerah kekuasaan Wiraraja, yang
juga bernama Banyak Wide, seorang raja bawahan raja Singasari yang terakhir pad
a dasawarsa terakhir abad ke-13. Ia memegang peranan yang menentukan dalam sejar
ah politik; bantuannyalah yang memungkinkan berdirinya kota kerajaan baru Majapa
hit, sesudah terjadi serangan penghancuran yang dilakukan oleh gerombolan-geromb
olan laskar kaisar Cina-Mongolia, Kublai Khan. Untuk keperluan itu ia konon meny
ediakan tenaga kerja dari Madura. Raja Majapahit pertama
yang berkat bantuan dar
i Sumenep dapat naik tahta kerajaan
telah menghadiahkan daerah Lumajang di daera
h ujung timur Jawa kepada Banyak Wide.[1] Memang dapat diperkirakan bahwa sudah
sejak abad ke-14 terdapat hubungan antara Madura Timur dari daerah-daerah di dar
atan seberangnya.
XIV-2.
Madura Timur pada paruh pertama abad ke-16, lagenda dan sejarah
Dalam buku Tome Pires Suma 0riental, Sumenep sama sekali tidak diberitakan; sebe
narnya seluruh Madura hanya ditempatkan pada lampiran buku itu. Mengingat hal it
u, boleh diambil kesimpulan bahwa kerajaan-kerajaan Madura tidak berarti sama se
kali bagi perdagangan internasional yang menjadi pokok perhatian penulis Portugi
s itu.
Sebaliknya, dalam cerita-cerita legenda Jawa dan Jawa Madura, Sumenep, di sampin
g Madura Barat, mempunyai kedudukan yang cukup penting.
Dalam tambo Jawa dari abad ke-17 dan ke-18 mengenai Sumenep berkali-kali disebut
seorang penguasa yang bernama Jaran Panolih atau Kuda Panolih. Seperti halnya L
embu Peteng dari Madura Barat, Jaran Panolih dari Sumenep juga mempunyai hubunga
n keluarga dengan keluarga raja Majapahit.[2] Itu sesuai dengan nama-nama lambang
mereka (lembu dan kuda).
Sadjarah Dalem memuat cerita panjang lebar yang agak kacau tentang raja-raja Sum
enep, mungkin dikutip dari silsilah Jawa-Madura yang lebih tua. Di situ tertera
nama-nama Aria Bribin dari Pamekasan, Kuda Panolih dari Sumenep dan patihnya Ban
yak Wide. Yang aneh ialah bahwa dalam cerita Jawa Timur itu muncul Adipati Kandu
ruwan yang konon anak raja Demak yang pertama (jadi orang Islam) dan pegawai Rat
u Kumambang, ratu putri (Prabu Kenya) di Japan (Majapahit?). Sedikit banyak atas
perintah tuan putrinya, Adipati Kanduruwan itu telah membunuh cucu Banyak Wide,
yang karena perkawinannya telah menjadi raja Sumenep. Raja yang malang ini bern
ama Aria Wanabaya, dan sesudah meninggal bernama Pangeran Seda Puri.
Sampai jauh mana cerita tutur Jawa ini mempunyai dasar kebenaran tidak dapat dit
eliti lagi. Dapat diambil kesimpulan bahwa keturunan raja-raja Sumenep pada abad
ke-15 dan ke-16 mempunyai hubungan dengan keluarga-keluarga bangsawan tinggi di
Jawa Tengah.
Menurut cerita Sumenep, di kota itu di Kampung Masegit Barat, dekat masjid, di b
agian barat, terdapat tempat tinggal Adipati Kanduruwan yang menggantikan Panger
an Seda Puri.[3] Menurut Sadjarah Dalem, kelak karena perkawinan, ia termasuk ke
turunan Jaran Panolih. Belum ada kepastian apakah Kanduruwan ini penguasa Islam
yang pertama di Sumenep.[4]
Tidak ada berita-berita jelas yang dapat menerangkan apakah Panembahan Lemah Du
wur dari Aros Baya (Madura Barat), yang mempunyai hubungan kerabat dengan Sultan
Pajang, juga berkuasa atau mencoba untuk berkuasa
atas Sumenep. Sepanjang sejar
ah dapat ditinjau secara menyeluruh, tampaknya raja-raja Madura Barat dan raja-r
aja Madura Timur itu, kalaupun tidak bermusuhan, setidak-tidaknya memperlihatkan
sikap yang tidak bersahabat.
XIV-3.
Madura Timur pada paruh kedua abad ke-16 dan paruh pertama abad ke-17,
legenda dan sejarah
Menurut cerita setempat di Sumenep, makam tua yang bertarikh tahun Jawa 1504 (15
82 M.) di Kampung Pasar Pajhingghaan di ibu kota itu adalah makam Adipati Kandur
uwan. Andai kata diakui bahwa pangeran Jawa Tengah dari keluarga raja Demak ini
memang telah berperan di Sumenep pada perempat kedua dan ketiga abad ke-16, tida
k mustahil kalau ia meninggal pada tahun 1582, dalam usia yang lanjut. Menurut c
erita tutur Jawa, ia adalah
sebagai saudara tidak seibu dengan Sultan Tranggana

dari Demak
paman Sultan Pajang (menantu Tranggana). Mengingat hubungan keluarga
yang demikian itu, dapat dipahami tidak diberitakan sikap bermusuhan raja-raja S
umenep dengan raja-raja Demak dan Pajang.
Menurut tradisi Sumenep setempat, Adipati Kanduruwan meninggal dalam pertempuran
atau akibat pertempuran melawan orang Bali. Panarukan, di ujung timur Jawa di s
eberang Sumenep, sampai pada dasawarsa terakhir abad ke-16 tetap kafir seperti hal
nya Blambangan. Raja-raja setempat selalu berada di bawah lindungan raja-raja Ba
li di Gelgel, yang dalam hal tertentu merupakan pengganti-pengganti yang sah mah
araja Majapahit yang telah hilang itu. Pada paruh kedua abad ke-16 berkali-kali
terjadi pertempuran antara para penguasa Islam di Pasuruan dan raja-raja kafir di
kerajaan-kerajaan yang letaknya lebih ke timur di ujung timur Jawa. Mereka itu d
ibantu oleh orang-orang Bali. Jadi, tambo Sumenep yang mengatakan bahwa Kanduruw
an adipati Islam dari Demak itu
telah berperang melawan orang-orang Bali mungkin
benar. Saudaranya lain ibu, yaitu Sultan Tranggana dari Demak yang terkenal itu
, dianggap telah mangkat dalam pertempuran atau akibat pertempuran melawan raja k
afir di ujung timur Jawa (di Panarukan). Dalam paruh kedua abad ke-16, konon Kera
jaan Sumenep dipandang sebagai pertahanan terdepan oleh kerajaan-kerajaan Islam
di Jawa Tengah, Demak dan Pajang, dalam peperangan melawan kerajaan kafir di Bali.
Kerajaan itu selalu merupakan ancaman yang berbahaya, demikian pula kerajaan-ke
rajaan sekitarnya, Panarukan dan Blambangan di ujung timur Jawa.
Tidak ada cerita mengenai pengganti Adipati Kanduruwan. Seperti halnya Madura Ba
rat, Sumenep tidak menghadapi serangan Senapati dari Mataram, yang pada tahun 15
89 berusaha memulihkan kembali kerajaan Jawa Tengah sesudah wafatnya Sultan Paja
ng. Raja Mataram pertama belum dapat meluaskan kekuasaannya sampai jauh ke timur
.
Ekspedisi merebut daerah yang dilakukan kemudian oleh cucunya, Sultan Agung, pad
a tahun 1624 yang telah menundukkan kerajaan-kerajaan Madura Barat
telah mencapa
i Sumenep juga.
Menurut berita-berita Madura Timur, dan juga berita-berita Belanda, raja Sumenep
telah memberikan perlawanan yang gagah berani terhadap Jawa Tengah. Setelah ter
tangkap, ia dibunuh dengan keris atas perintah Sultan Agung. Menurut cerita tutu
r Banten, seorang raja Sumenep telah datang ke sana beserta keluarga dan segenap
abdi pelayan keraton untuk minta tolong, karena harus melarikan diri menghindar
i kepungan tentara Mataram. Dengan anggapan bahwa raja Madura Timur ini seorang
keturunan dari keluarga raja Demak, dapat dimengerti mengapa ia mengungsi ke Ban
ten. Bukankah raja-raja Banten mempunyai hubungan keluarga dengan Sultan Trangga
na? Tetapi karena takut pada Sultan Agung, raja Banten itu telah menyerahkan par
a pengungsi itu kepada musuh. Sesampainya di Mataram mereka itu semua dibunuh de
ngan tikaman keris. Kejadian ini dikuatkan oleh berita-berita Belanda.
Yang dikuatkan juga oleh berita-berita Belanda ialah bahwa, sesudah Sumenep didu
duki, daerahnya diperintah atas nama raja Mataram oleh seorang Wali Negara, yang
bernama Angga Dipa. Ia keturunan Jepara. Menurut cerita setempat, penguasa baru
Sumenep yang datang dari Jawa Tengah itu ternyata bupati yang membangun Maseghi
t Hajjhi di sebelah utara kabupaten. Di situ dapat ditunjukkan adanya batu denga
n inskripsi tahun Jawa 1570 (1648 M.)[5]
Menurut buku-buku sejarah Jawa Tengah, sesudah direbutnya Madura, baik Barat mau
pun Timur, banyak sekali tawanan perang pria, wanita, dan anak-anak yang diangkut
dari Pulau Madura ke Gresik dan ke Jawa Tengah untuk dipekerjakan oleh para peme
nang. Raja-raja Mataram telah memerintahkan dan melaksanakan pemindahan paksa se
cara besar-besaran kelompok-kelompok petani dan buruh dari daerah-daerah pendudu
kan ke daerah inti kerajaan mereka. Kemungkinan, sebelum mereka, juga ada raja-r
aja Jawa pada zaman pra-Islam yang merebut dan menduduki tanah-tanah tetangga be
rdasarkan pertimbangan keuntungan ekonomis, karena dengan jalan demikian mereka
dapat menggunakan tenaga kerja paksa yang murah. Mereka diserahi pekerjaan berat
, sedangkan penduduk tanah-tanah raja dan sanak saudara raja dapat mencurahkan p
erhatian penuh pada tugas pemerintahan sebagai prajurit atau pegawai negeri. Pem
indahan penduduk dalam negeri, yang berabad-abad telah dilakukan oleh raja-raja
terhadap kelompok-kelompok suku di Jawa dan Madura itu, berakibat leburnya tradi
si-tradisi lama suku-suku setempat maupun hubungan perkawinan penduduk desa. Yan
g benar-benar asli sekarang hampir tidak terdapat lagi di Jawa. Pengaruh agama I

slam yang serba menghilangkan perbedaan-perbedaan setempat itu memperkuat kecend


erungan demikian.
e-books a.mudjahid chudari
Balikmaning
Daftar Isi
Terusaken
[1]
Sejarah Banyak Wide dari Sumenep diuraikan panjang lebar dalam Pararat
on (Brandes, Pararaton, pada indeks nama, di bawah Wiraraja , dan dalam indeks pada
catatan-cetatan, di bawah Sumenep dan Sungeneb ). Sungeneb ialah bentuk nama yang se
benarnya, menurut cara Madura.
[2]
Sadjarah Dalem memuat cerita-cerita tentang anggota-anggota keturunan
raja-raja Sumenep (hlm. 238-248), padahal dinasti Mataram sebenarnya tidak mempu
nyai hubungan keluarga dengan keturunan Madura Timur ini, setidak-tidaknya kuran
g akrab dibandingkan dengan raja-raja Madura Barat, dari Aros Baya, dan dari Sam
pang. Dapat diperkirakan, penyusun Sadjarah Dalem yakin bahwa raja-raja Sumenep
pada zaman dahulu telah memegang peranan penting dalam sejarah, karena itulah me
reka ditampilkan dalam buku tersebut.
[3]
Cerita tutur Sumenep setempat yang bersifat sejarah telah disadur dala
m Karta Soedirdia, Tiareta .
[4]
Nama Kanduruwan atau Kanduruhan pada abad ke-16 dan ke-17 agaknya berk
ali-kali telah diberikan kepada para pangeran yang agak rendah derajatnya, tidak
lahir dari permaisuri (Jawa: prameswari, garwa padmi). Dalam buku-buku cerita (
serat kandha) memang disebutkan seorang saudara yang tidak seibu dengan Sultan T
ranggana dari Demak, yang bernama demikian. Kelak ia mendapat sebutan Pangeran P
anggung dari Randu Sanga (tempat asal ibunya); lihat Brandes, Pararaton, hlm. 22
8 dan 229. Dalam Padmasoesastra, Sadjarah Dalem (hlm. 230) diberitakan bahwa Rad
en Wangkawa, anak selir raja Demak yang pertama, oleh saudaranya yang tidak seibu,
Sultan Tranggana, dianugerahi nama Raden Kanduruwan, dan telah dijadikan adipat
i di Sumenep. Jadi, cerita tutur yang menyatakan bahwa pada permulaan abad ke-16
di Sumenep telah ada raja Kanduruwan, yang mempunyai hubungan keluarga dekat de
ngan dinasti Demak, agaknya dapat dipercaya juga. Gelar Kanduruwan dapat dihubun
gkan dengan Kanuruhan, gelar keraton dizaman Jawa Kuno, yang berarti bendahara r
aja (lihat Pigeaud, Java, jil. V, hlm. 175 dan 176).
[5]
Sejarah perebutan Madura oleh Sultan Agung dari Mataram telah dibicara
kao dalam Graaf, Sultan Agung, hlm. 83-93. Cerita-cerita Sumenep setempat telah
disadur dalam Werdisastra, Bhabhad.
Posted in Uncategorized | Leave a comment
Sejarah Madura pada Abad ke-16: Madura Barat
Posted on January 2, 2012 by abdrrouf
Sejarah Madura pada Abad ke-16: Madura Barat
XIII-1.
Berita-berita kuno tentang Madura Barat, legenda dan sejarah
Sejak dahulu kala terdapat perbedaan antara Madura Barat, daerah-daerah Aros Bay
a (yang kelak bernama Bangkalan) dan Sampang, dan Madura Timur, terutama Sumenep
dan Pamekasan. Setiap kali nama Madura disinggung dalam sastra Jawa, hampir sel
alu yang dimaksud adalah Madura Barat. Madura Timur disebut Sumenep. Madura Bara
t, yang letaknya berhadapan dengan Surabaya dan Gresik, dapat lebih banyak menga
mbil keuntungan dari perkembangan ekonomi, kebudayaan, dan politik Jawa Timur da
n kerajaan-kerajaan Pesisir, jika dibanding dengan Madura Timur. Dalam idiom-idi
om bahasa di Madura Barat dan Madura Timur sampai pada abad ke-20 masih kita lih
at adanya perbedaan.[1]
Penyebaran penduduk ke Jawa yang jauh lebih luas dan makmur sejak zaman kuno mer
upakan faktor penting di bidang ekonomi maupun dalam sejarah politik Madura, leb
ih-lebih dari orang Madura Barat. Penyebaran ini telah menyebabkan perpindahan k
e negeri lain dan pembentukan perkampungan-perkampungan Madura di banyak daerah
di Jawa Timur dan ujung timur Jawa. Sejak paruh kedua abad ke-18 perpindahan pen
duduk Madura khususnya ke ujung timur Jawa demikian deras sehingga penduduk asli
Jawa terdesak karenanya.
Berbeda dengan suku-suku bangsa utama lainnya yang bertetangga dengan orang Jawa

, yaitu orang Sunda dan Bali, orang Madura tidak mempunyai sastra cerita tutur d
alam bahasa sendiri mengenai raja-raja pribumi pada zaman pra-Islam. Menurut cer
ita-cerita Madura yang dikenal, agaknya sejak dahulu yang menjadi penguasa atas
daerah-daerah Madura terpenting berasal dari Jawa. Memang keturunan penguasa-pen
guasa itu berusaha dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan Madura. Seja
k abad ke-16 raja-raja Madura mengadakan ikatan perkawinan dengan para penguasa
di sepanjang pantai utara Jawa. Pada abad ke-17 dan ke-18 ada anggota-anggota ke
turunan raja Madura yang memegang peranan menentukan dalam kehidupan politik din
asti Kerajaan Mataram. Jawa selalu mempunyai kedudukan penting dalam alam pikira
n dan cita-cita orang-orang Madura terkemuka.
Dalam ekonomi Nusantara sebelah selatan, Madura telah memberikan sumbangan, teru
tama tenaga kerja, kepada Jawa Timur. Pulau yang gersang dan gundul, tanpa kota
pelabuhan besar, tidak memiliki sesuatu yang penting yang dapat diekspor. Diduga
, penguasa-penguasa Jawa, yang telah berhasil mengangkat dirinya menjadi raja di
daerah-daerah di sepanjang pantai selatan Madura, menarik keuntungan dari melim
pahnya tenaga manusia, pria dan wanita, yang hanya bekerja di rumah dan di tanah
-tanah persawahan milik raja dan pembesar di Jawa.
Sejarah Madura Barat, yang berbentuk legenda, dimulai dengan seorang raja di Gil
i Mandangin atau Sampang, yang bernama Lembu Peteng, putra Raja Brawijaya dari M
ajapahit dengan putri Islam dari Cempa.[2] Nama yang melambangkan keturunan itu,
Lembu Peteng Lembu Gelap , dapat menjadi petunjuk adanya hubungan dengan keluarga
kerajaan. Gili Mandangin, pulau kecil di Selat Madura, merupakan pentas bagi sua
tu balada Madura, yang pokok ceritanya berkisar pada sejarah legendaris Sang Ban
gsacara (atau mungkin Bang Sacara). Mungkin cerita tentang dua insan asyik masyu
k yang dipersatukan dalam kematian ini berdasarkan suatu mitos.[3]
Menurut Sadjarah Dalem, Putri Lembu Peteng dari Sampang itu diperistri oleh Putr
a Maolana Iskak.[4] Menurut legenda Islam tentang orang-orang suci di Blambangan
, ahli ilmu ketuhanan bangsa Arab itu, Maolana Iskak, adalah ayah Sunan Giri. Da
pat diperkirakan bahwa pada paruh kedua abad ke-15 di Madura Barat para penguasa
Jawa dari golongan ningrat dan orang-orang Islam dari seberang lautan mengadaka
n hubungan persahabatan.
XIII-2.
Madura Barat pada paruh pertama abad ke-16, legenda dan sejarah
Menurut Tome Pires, pada permulaan dasawarsa abad ke-16 raja Madura belum memelu
k agama Islam. Ia termasuk golongan bangsawan tinggi, yang memperistri putri Gust
e Pate Majapahit yang perkasa itu. Tetapi ia masih dapat hidup damai dengan tetan
gga dekatnya, para penguasa di Gresik (yang beragama Islam).[5]
Pada daftar tahun peristiwa Demak yang menyebutkan daerah-daerah yang ditaklukka
n (lihat Bab II-12), nama Madura tidak dicantumkan. Menurut cerita Madura, putra
mahkota di Madura Barat pada tahun 1450 J. (1528 M.) telah masuk Islam.[6] Angk
a 1450 (tahun Jawa) yang demikian bulat sebenarnya agak mencurigakan. Tetapi apabi
la diakui bahwa kota kerajaan yang lama, Majapahit, pada tahun 1527 M. telah did
uduki oleh orang-orang Islam, tidak mustahil apabila penguasa di Madura Barat
ya
ng sebenarnya seorang raja bawahan yang patuh terhadap maharaja kafir
pada tahun 1
528 memutuskan untuk mengakui raja Islam baru di Jawa sebagai atasannya. Pada ta
hun 1527 raja Tuban juga tunduk pada kekuasaan Demak. Menurut cerita tutur, ketu
runan raja Tuban, seperti juga keturunan raja Madura Barat, mempunyai hubungan k
erabat dengan keluarga raja Majapahit. Mungkin sikap Tuban pada tahun 1527 itu m
empengaruhi sikap Madura Barat.
Adanya hubungan dengan jatuhnya kerajaan kafir Majapahit lalu menjadi lebih masuk
akal, apabila cerita tutur Madura Barat tentang masuk Islamnya raja Islam pertam
a mengandung pokok kebenaran. Karena mimpi putra mahkota, seorang patih Madura,
yang bernama Empu Bagna, diutus ke Jawa Tengah untuk mengetahui seluk-beluk kead
aan di sana. la menyerah kepada Sunan Kudus untuk diislamkan, dan sekembalinya d
i Madura Barat ia dapat menggerakkan hati tuannya, sang putra mahkota, untuk ber
buat demikian pula. Munculnya pahlawan yang menaklukkan Majapahit, yang kelak ak
an diberi gelar Sunan Kudus dalam legenda ini, memungkinkan adanya kebenaran bah
wa keluarga raja Madura Barat sebagian besar karena terdorong oleh pertimbanganpertimbangan politik tanpa kekerasan senjata -telah mengambil keputusan mengakui
penguasa Islam di Demak sebagai maharaja. (Dapat diterima bahwa karena hubungan
dengan Gresik dan Surabaya, asas-asas keagamaan dan kemasyarakatan Islam dalam

perempat pertama abad ke-16 sudah cukup dikenal di Madura; untuk mendapatkan ket
erangan tentang hal tersebut, putra mahkota tidak perlu lagi mengutus patihnya k
e Jawa Tengah).
Menurut cerita tutur Madura Barat, putra mahkota yang telah masuk Islam itu bern
ama Pratanu; kelak ia terkenal sebagai Panembahan Lemah Duwur di Aros Baya. Ayah
nya, raja tua, kiranya baru pada saat menjelang wafatnya menyatakan persetujuan
untuk menerima agama baru, Islam, dengan menganggukkan kepala (bahasa Madura, an
gguq). Oleh karena itu, dalam cerita tutur ia mendapat julukan Pangeran Ongguq.
Sebelum itu ia bernama Pragalba, dan nama istananya Palakaran atau Plakaran. Itu
lah nama raja tua tersebut dalam silsilah-silsilah. Dapat diperkirakan bahwa Pan
geran Pakalaran, meskipun mengakui kekuasaan tertinggi raja Islam di Demak, masi
h beberapa tahun sesudah tahun 1528 memerintah Madura Barat sebagai raja kafir seb
elum ia meninggal. Menurut cerita tutur, yang mungkin tidak sepenuhnya dapat dip
ercaya, konon tempat peristirahatannya yang terakhir ialah salah satu makam tua
di tempat permakaman raja-raja Aeng Mata dekat Bangkalan. Di sini terdapat pula is
tri cicitnya, Cakraningrat I di Sampang, yang dianggap paling penting. (Cakranin
grat sendiri dimakamkan di Imogiri, Mataram).
XIII-3.
Penembahan Lemah Duwur dari Aros Baya. Madura Barat pada paruh kedua
abad ke-16
Cerita tutur tidak memuat pemberitaan yang dapat memberi petunjuk tentang bantua
n raja Madura Barat kepada sultan Demak dalam perangnya melawan para penguasa Ja
wa yang sebelumnya menjadi raja bawahan maharaja kafir Majapahit yang belum mau me
ngakui kekuasaan Islam. Tidak terbukti dengan jelas apakah dalam penyerangan ter
hadap Panarukan (oleh penulis Portugis disebut Pasuruan) orang-orang Madura tela
h berjuang di pihak orang-orang Jawa Tengah dan Jawa Timur melawan orang-orang ka
fir , seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang Surabaya.
Boleh jadi Pratanu dari Lemah Duwur tersebut, sepanjang hidupnya yang lama itu,
terutama menyibukkan diri mengukuhkan dan memperluas kekuasaan atas kerajaan-ke
rajaan kecil dan daerah-daerah pedesaan yang pada waktu itu agaknya banyak anggo
ta pria keluarga raja secara merdeka menetap dalam perkampungannya sendiri-sendi
ri. Mungkin penghasilan kepala kerabat tidak cukup untuk membiayai kehidupan sem
ua putra serta anggota kerabat yang lain. Perkampungan-perkampungan tempat tingg
al sanak saudara raja itu
yang tersebar di seluruh wilayah dengan mudah sekali d
apat menjadi daerah yang merdeka, apabila kekuasaan pusat menjadi lemah. Daftar
keturunan raja-raja Madura yang pertama, yang terdapat dalam Sadjarah Dalem meny
ebutkan banyak perkampungan atau tanah merdeka tempat tinggal anggota keluarga r
aja. Beberapa di antaranya kemudian memang berkembang menjadi ibu kota kerajaankerajaan kecil yang bebas. Menurut cerita tutur Madura, Pratanu dari Lemah Duwur
telah meluaskan kekuasaannya sampai Balega dan Sampang. Ibunya, istri Pangeran
Palakaran (Pangeran Ongguq), berasal dari Pamandegan, dekat Sampang; dan cicitny
a, Cakraningrat I, menjadikan Sampang pusat Kerajaan Madura Barat sebagai ganti
Aros Baya.
Menurut cerita tutur Madura dan Sadjarah Dalem, Panembahan Lemah Duwur dari Aros
Baya telah mengawini putri raja Pajang sebagai anugerah (bahasa Jawa, triman). Ka
rena perkawinan ini (dan karena kunjungan patih Madura pada sunan Kudus), terwuj
udlah untuk pertama kalinya hubungan antara keluarga raja Madura Barat dan Jawa
Tengah. Kelak hubungan perkawinan ini diperkuat oleh raja-raja dinasti Mataram.
Dapat diperkirakan, setelah menjadi menantu Sultan Pajang, untuk beberapa waktu
di Keraton Pajang, Panembahan dari Aros Baya dianggap sebagai orang yang terpent
ing di antara raja-raja Jawa Timur. Cerita tutur yang diberitakan oleh Raffles m
engenai pembebasan diri raja-raja Jawa Timur dari kekuasaan Madura, dan bertindakn
ya raja Surabaya sebagai juru bicara di Keraton Pajang, mungkin dapat dimengerti d
alam rangka hubungan keluarga antara raja-raja Madura dan Pajang itu.[7] Tidak p
erlu diragukan bahwa pada paruh kedua abad ke-16 di bidang politik ekonomi, raja
Madura Barat belum semaju penguasa di Surabaya.
Menurut tutur Madura yang bersifat sejarah, Panembahan Lemah Duwur dari Aros Bay
a meninggal sekitar tahun 1590, setelah lama memerintah Madura Barat. Juga menur
ut Sadjarah Dalem, ia telah diganti oleh anaknya dari perkawinannya dengan putri
Pajang yang disebut Panembahan Tengah. Raja itu terpaksa melakukan perjuangan l
ama untuk menundukkan adiknya Sakatah, yang tinggal di Balega, yang akhirnya dap

at ditaklukkan juga. Senapati Mataram, yang sesudah meninggalnya Sultan Pajang p


ada tahun 1589 berusaha supaya kekuasaannya sebagai raja diakui di Jawa Tengah d
an di sebagian dari Jawa Timur, tidak berusaha supaya raja Madura Barat mengakui
kekuasaannya. Menurut satu cerita tutur Jawa, para penguasa Madura dan Sumenep
juga telah menggabungkan diri dengan raja-raja Jawa Timur dan Pesisir. Sekitar t
ahun 1590, di dekat Japan (sekarang Mojokerto) raja-raja ini telah menahan tenta
ra Mataram yang bergerak ke arah timur (lihat Bab XII-5 dan cat. 219). Yang menj
adi soal ialah sampai berapa jauh cerita itu dapat dipercaya.
XIII-4.
Sejarah Madura Barat selanjutnya sampai ditundukkan oleh Mataram pada
tahun 1624
Menurut cerita tutur Madura, Panembahan Tengah dari Aros Baya meninggal sekitar
tahun 1620; ia diganti oleh seorang adiknya, karena pewaris yang berhak masih mu
da. Anak Panembahan Lemah Duwur yang kedua ini hanya empat tahun memerintah di A
ros Baya. Kemenakannya, pewaris yang berhak, Raden Prasena, yang tinggal di Samp
ang, pada tahun 1624 menyerah kepada panglima Mataram sesudah terjadi pertempura
n sengit dekat Sampang. Salah seorang dari pemimpin pasukan Mataram yang terkena
l, Sujana Pura, gugur dalam pertempuran itu. Laskar Mataram menyeberang ke Sampa
ng dari Pasuruan, yang telah diduduki pada tahun 1617; Surabaya pada tahun 1624
belum direbut. Pangeran dari Aros Baya, yang merasa diri seperti diserang dari b
elakang oleh Mataram, melarikan diri ke Giri; di situ ia meninggal. Raja-raja Pa
mekasan dan Sumenep telah gugur dalam serangan mendadak Mataram itu. Prasena yan
g masih muda itu dibiarkan tinggal di Keraton Mataram dan mendapat perlakuan yan
g sangat terhormat. la dianggap sebagai raja (tituler) di Madura, dan secara anu
merta diberi nama Cakraningrat.[8]
e-books a.mudjahid chudari
Balikmaning
Daftar Isi
Terusaken
[1]
Ikhtisar singkat mengenai hasil-hasil penyelidikan ilmiah tentang baha
sa dan kesusastraan Madura telah dimuat dalam Uhlenbeck, Survey. Lihat Pigeaud,
Literature, jil. III, di bawah Madura .
[2]
Buku cerita Jawa Tengah sedikit mencentakan selarah Madura yang bersif
at legenda; lihat Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah Darawati .
[3]
Lihat Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 135 dst.
[4]
Dalam Padmasoesastra, Sadjarah Dalem, terdapat daftar para penguasa Ma
dura pada hlm. 214 dst. Urutan generasi, terutama mengenai zaman dahuiu, tidak s
elalu dapat dipercaya. Tetapi nama tempat-tempat yang rupanya menjadi tempat ked
udukan para penguasa daerah ini, dan yang rupanya menjadi tempat mereka dimakamk
an, merupakan bahan menarik untuk dipelajari.
[5]
Dalam Pires, Suma Oriental, Madura baru disebutkan pada bagian akhimya
(hlm. 227).
[6]
Cerita-cerita tutur Madura Barat yang bersifat sejarah telah diuraikan
dalam Pal mer, Madoera dan dalam Pa Kamar, Madoera .
[7]
Cerita tutor yang diberitakan oleh Raffles telah dibicarakan dalam Bab
XII-5.
[8]
Direbutnya Madura oleh laskar dari Jawa Tengah telah dilukiskan dalam
Graaf, Sultan Agung (hlm. 83-94). Nama Cakraningrat diberitakan pada tahun 1678
sebagai hadiah Mangkurat II kepada anak Prasena dari Sampang, waktu ia diangkat
menjadi patih. Mengikuti nama anaknya ini, ayahnya pun sesudah meninggal juga di
sebut dengan nama Cakraningrat (lihat Graaf, Hurdt, hlm. 256).
Posted in Uncategorized | Leave a comment
Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara Jawa Timur pada Abad ke16: Surabaya
Posted on January 2, 2012 by abdrrouf
Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara Jawa Timur pada Abad ke16: Surabaya
XII-1.
Berita-berita kuno tentang Surabaya, legenda dan sejarah
Sudah sejak abad ke-11, kawasan delta Sungai Brantas merupakan daerah pokok pelb

agai dinasti penting. Kahuripan, yang kemudian disebut Koripan, ialah daerah yan
g diperintah Raja Erlangga. Ia seorang raja Jawa kuno yang pemerintahannya banya
k dikenal dari sumber-sumber yang dapat dipercaya. Juga dongeng-dongeng Jawa-Bal
i banyak mengisahkannya. Dapat dipastikan, Erlangga dari Kahuripan mempunyai hub
ungan erat dengan Bali, melalui jalur pelayaran pantai lewat Selat Madura.[1]
Dalam dongeng dan sastra historis-romantis di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang mu
ncul kemudian, Janggala merupakan kerajaan yang diperintah oleh dinasti yang men
urunkan Panji, seorang tokoh dongengan. Janggala dan Kahuripan dapat dihubungkan
. Di Delta Brantas sebelah selatan, tempat kedudukan kerajaan-kerajaan itu, belu
m dapat ditunjukkan dengan pasti tempat sebuah kota kerajaan tua.[2]
Dalam buku-buku cerita Jawa Timur dan Jawa Tengah yang lebih tua Janggala dan Ko
ripan dianggap sebagai kerajaan Raja Dandang Gendis, yang konon adalah anak sulu
ng dan pengganti Raja Genthayu dari Prambanan (di Jawa Tengah). Raja Dandang Gen
dis ini mendapatkan putri dari Blora sebagai istri; ia menjadi raja para wong tapa
pertapa dari zaman sebelum Islam. Dengan bantuan tiga orang raja pedalaman, konon
, ia memerangi dan mengalahkan raja pedagang di Jepara, Sandang Garba. Kelima peng
uasa tadi masih bersaudara. Cerita tentang Genthayu dengan lima anaknya ini miri
p mitos. Tidak dapat diteliti lagi sampai berapa jauh dalam cerita itu masih ter
jalin ingatan tentang perbedaan-perbedaan lama antara berbagai daerah di tanah J
awa.[3]
Nama Kota Surabaya disebut dalam naskah-naskah Jawa dari abad ke-14. Menurut pen
ulis Nagara Kertagama, raja Majapahit (Hayam Wuruk) telah mengadakan kunjungan k
e Surabaya, yang pada waktu itu dianggap sebagai ibu kota daerah Janggala. Tempa
t penyeberangan di Surabaya adalah salah satu tempat tambangan yang disebut dala
m Piagam Tambangan tahun 1358 M. Hal-hal itu menunjukkan bahwa Surabaya pada perte
ngahan abad ke-14 sudah menjadi ibu kota dan pusat perekonomian yang berarti.[4]
Akhirnya masih perlu disebutkan silsilah Aria Teja dari Tuban, yang terdapat dal
am Sadjarah Dalem (hal. 41, paragraf ke-69). Raja Islam Aria Teja dari Tuban (ke
turunan Arab) adalah mertua Raja Pandita dari Gresik dan Sunan Katib dari Ngampe
l Denta, kakak beradik yang telah mendirikan umat Islam pertama di Gresik dan Su
rabaya, mungkin di sekitar pertengahan abad ke-15. Aria Teja dari Tuban yang hid
up pada abad ke-15 itu konon mempunyai kakek (atau uwak) yang bernama Aria Lembu
Sura dari Surabaya yang hidup pada abad ke-14. Namanya, dipautkan dengan kata L
embu, menunjukkan turunan ningrat, bahkan keturunan raja. Sebab itu, raja Suraba
ya dari abad ke-14 ini tidak dapat disamakan orangnya dengan kakek Pate Bobat , yan
g sudah dikenal Tome Pires; kakek ini bukan keturunan bangsawan atau seorang asi
ng dari Barat.[5] Tidak mustahil bahwa baru pada abad ke-14, baik di Tuban maupu
n di Surabaya, kekuasaan dipegang oleh keturunan asing yang beragama Islam. Tida
k mustahil pula telah terjadi hubungan perkawinan para cendekiawan Islam keturun
an asing dengan keluarga-keluarga bangsawan Jawa atau bahkan dengan keluarga raj
araja Majapahit.
XII-2.
Surabaya sekitar tahun 1500 M
Suma Oriental memuat suatu pemberitaan yang panjang lebar tentang kota dan daera
h Surabaya pada permulaan abad ke-16. Menurut Tome Pires, pada waktu itu arti Su
rabaya sebagai kota pelabuhan dan kota dagang tidak sepenting Gresik. Para pelau
t Surabaya lebih mengerahkan tenaganya untuk membajak dengan perahu-perahunya ya
ng relatif kecil. Rajanya seorang prajurit tangguh, orang yang mempertahankan da
erah Islam terhadap serangan raja-raja kafir yang merupakan tetangganya, terutama
raja Blambangan yang menguasai ujung timur Jawa. Antara Surabaya dan kepala daer
ah Majapahit, Gusti Pate , yang mewakili kekuasaan kerajaan kafir , terjadi ketegangan
hubungan, tetapi ada juga masa-masa damai antara mereka. Di samping keberaniann
ya, juga oleh orang Portugis yang sezaman dengannya, diberitakan tanah miliknya
yang luas, yang terletak di delta Sungai Brantas, yang merupakan sumber pendapat
annya.[6]
Yang aneh sekali ialah nama-nama yang dipakai oleh raja Surabaya, yang dikenal T
ome Pires. Raja tersebut oleh penulis Portugis itu diberi nama Pate Bobat , Yang Di
pertuan di Bobat. Pada abad ke-14 Kota Bubat di tepi Sungai Brantas menjadi pela
buhan sungai bagi kota Kerajaan Majapahit. Tempat tersebut letaknya cukup jauh d
ari Surabaya, lebih masuk ke pedalaman dan lebih ke arah udik. Kiranya dapat dib
ayangkan bahwa, pada abad ke-15, Yang Dipertuan di Bubat telah menjadi gelar yang

diberikan oleh maharaja kafir itu kepada yang menguasai tempat-tempat di tepi sung
ai di sebelah hilir pelabuhan sungai Majapahit tersebut. Besar sekaii kemungkina
n bahwa baru pada zaman Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, di Bubat dan di t
empat-tempat pelabuhan pedalaman lain, perkampungan-perkampungan pedagang asing
sebagian Cina Islam mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan ekonomi negara.[
7]
Nama kedua, yang menurut Tome Pires diperuntukkan bagi raja Surabaya, telah dian
ugerahkan sebagai nama kehormatan kepadanya oleh Guste Pate . Hal itu menandakan ba
hwa hubungan antara mereka tidak selalu bersifat permusuhan, dan bahwa patih Ker
ajaan Majapahit yang sangat berkuasa itu, dengan menggunakan keramahan diplomati
k, selalu berusaha agar para penguasa Islam di daerah-daerah perbatasan kafir teta
p bersikap bersahabat. Nama itu, jika ditulis menurut ejaan Portugis adalah Juru
pa Galacam Jmteram yang artinya avamtejado capitao (panglima ulung). Oleh karena
nama atau kata Jawa ditulis dengan ejaan Portugis menjadi tidak keruan wujudnya
, maka diperkirakan namanya ialah: Surapati Ngalaga ing Terung. Panglima ulung dap
at kita anggap sebagai penafsiran yang benar dari Surapati Ngalaga .[8]
Apabila pada kata yang ketiga di atas tersembunyi nama Kota Terung, maka nama ra
ja Surabaya ini pada permulaan abad ke-16 dapat menguatkan apa yang diberitakan
cerita Jawa mengenai peranan penting pecat tanda penguasa raja di bidang perdaga
ngan di Terung, di tepi Sungai Brantas, dalam pertempuran Islam Jawa Tengah mela
wan kota kerajaan lama Majapahit. Menurut cerita Jawa itu, penguasa di Terung in
i masih saudara lain ayah dengan raja pertama di Demak, Raden Patah. Ibu mereka
seorang wanita Cina dan mereka lahir di Palembang. Penguasa di Terung, meskipun
Islam, telah bertempur untuk mempertahankan Majapahit terhadap serangan-serangan
orang-orang alim Islam. Konon, ia yang telah membunuh Sunan Ngudung, ayah Sunan
Kudus yang terkenal itu, dalam perkelahian satu lawan satu.[9]
Perkiraan bahwa raja Surabaya, yang sudah dikenal oleh Tome Pires pada tahun 151
5, boleh dipandang sama orangnya dengan penguasa di Terung, sahabat Majapahit, y
ang pada tahun 1525 berusaha menggagalkan serangan kelompok-kelompok orang alim Is
lam Jawa Tengah terhadap Majapahit, bertambah nyata berkat adanya cerita-cerita
yang diberitakan dalam Suma Oriental mengenai asal usul Pate Bubat yang dikatakan
berasal dari budak belian kafir (yang bekerja pada kakek Guste Pate ) atau seorang Su
nda. Cerita-cerita yang sezaman itu, dan cerita-cerita Jawa tentang penguasa di
Terung yang timbul kemudian, mengandung unsur yang sama, yaitu pandangan bahwa i
a tidak berasal dari keturunan raja yang mulia, tetapi dari kalangan rendah, ata
u dari seorang asing yang datang dari Barat.
XII-3.
Sunan Ngampel Denta dari Surabaya, legenda dan sejarah
Menurut legenda Islam tentang Sunan Ngampel Denta, orang suci ini telah diangkat
sebagai imam di Masjid Surabaya oleh seorang pecat tanda di Terung, yang disebu
t Aria Sena. Nama Sena ini mungkin dihubungkan dengan gelar Senapati (Surapati)
Ngalaga di Terung, yang menurut Tome Pires telah dipakai oleh raja Surabaya pada
permulaan abad ke-16. Oleh karena Raden Rahmat, yang kemudian bergelar Sunan Ng
ampel Denta, tinggal di Surabaya mulai pada perempat ketiga abad ke-15, maka Sen
apati di Terung, yang telah bertindak sebagai pelindungnya, termasuk generasi ya
ng lebih tua dari Pate Bobat yang dikenal Tome Pires itu. Bagaimanapun, legenda te
ntang orang-orang suci menguatkan perkiraan
disebabkan oleh kata-kata yang kelir
u dalam Suma Oriental bahwa sekitar tahun 1500 M. kekuasaan duniawi di Surabaya,
Terung, dan Bubat dipegang oleh satu orang pejabat yang beragama Islam, yang me
nganggap dirinya abdi maharaja Majapahit.
Pada zaman Tome Pires, kekuasaan rohani kiranya dipegang oleh Sunan Ngampel Dent
a, orang suci di Surabaya, yang telah tua sekali. Menurut cerita tutur, ia menin
ggal tidak lama sebelum runtuhnya kerajaan kafir Majapahit (menurut cerita pada ta
hun 1478, sesungguhnya tahun 1527). Tidak mengherankan bahwa penulis Portugis it
u tidak bercerita tentang dia; agama Islam jarang diberitakan dalam Suma Orienta
l. Menurut buku-buku cerita (serat kandha) dan Sadjarah Dalem yang terbit kemudi
an, Sunan Ngampel Denta banyak sekali anaknya. la masih mempunyai hubungan kelua
rga dengan banyak pemimpin duniawi dan rohani di Jawa Timur, dan Jawa Tengah, me
lalui perkawinan-perkawinan, baik dia sendiri maupun anak-anak perempuannya. Sun
an pertama di Giri dan raja pertama di Demak, Raden Patah, adalah menantunya. Su
nan Bonang dari Tuban ialah anak sulungnya. Sunan Bonang, yang hidup membujang,

beberapa waktu menggantikan beliau di Ngampel Denta.


Dapat atau tidaknya dipercaya lagenda-lagenda tentang orang-orang suci ini tidak
dapat dikaji dari berita sumber lain. Satu kenyataan ialah bahwa makam Sunan Ng
ampel Denta, yang disanjung-sanjung sebagai wali yang tertua di Jawa, tidak menj
adi tempat ziarah yang ramai dikunjungi orang pada abad-abad kemudian. Lagi pula
makam tersebut tidak diberi cungkup seperti yang biasa ada pada makam-makam ora
ng-orang penting. Dalam cerita Jawa dinyatakan bahwa hal itu memang menjadi kehe
ndak Sunan sendiri. Tetapi hal itu juga dapat dianggap sebagai akibat kenyataan
bahwa Sunan Ngampel tidak membentuk dinasti pemimpin agama; jadi berbeda dengan
Sunan Giri dan Sunan Gunungjati. Dicantumkannya namanya dalam Sadjarah Dalem itu
karena menurut garis keturunan ibu, ia adalah moyang Sunan Kudus, yang keturuna
nnya
juga menurut garis ibu
masih mempunyai pertalian keluarga dengan keluarga r
aja Mataram. (Sunan Kudus adalah menantu seorang penguasa di Terung).
Raja-raja Surabaya, yang pada abad ke-16 dan ke-17 telah memegang peranan pentin
g dalam sejarah Jawa Timur, mungkin bukan keturunan langsung Sunan Ngampel Denta
, tetapi hanya mempunyai hubungan keluarga lewat garis keturunan ibu.[10]
XII-4.
Surabaya pada paruh pertama abad ke-16, legenda dan sejarah
Apabila kita beranggapan bahwa Pate Bubat yang dimaksud Tome Pires itu dapat disam
akan dengan penguasa di Terung, maka pada paruh pertama abad ke-16 para penguasa
Islam kota-kota Tuban dan Surabaya sebagai raja bawahan yang bersahabat dengan
maharaja Majapahit kafir
seharusnya memperlihatkan sikap yang hampir sama. Menurut
suatu kisah Jawa Tengah (lihat Bab II-10), mereka melakukan serangan terhadap k
ota kerajaan kuno itu bersama-sama dengan raja-raja Islam lainnya, tetapi dalam
kronik lama mengenai penaklukan daerah yang dilakukan Demak pada zaman pemerinta
han Sultan Tranggana, tahun 1527 tercatat sebagai tahun didudukinya Tuban, dan 1
531 tercatat sebagai tahun ketika raja Surabaya mengakui kekuasaan maharaja baru
di Jawa Tengah yang sudah beragama Islam. Tidak dapat diteliti lagi apakah Yang
Dipertuan di Terung (raja Surabaya?) oleh Raja memang telah dipindahkan ke Sema
rang, seperti yang dikatakan dalam cerita tutur Jawa itu (lihat cat. 212).
Ada kemungkinan, pada paruh pertama abad ke-16 pun (seperti pada paruh kedua aba
d itu dan pada abad ke-17) raja-raja daerah inti kerajaan kuno Majapahit, di Jaw
a Timur dan di daerah ujung timur Jawa, berusaha membangkang terhadap dinasti-di
nasti baru di Jawa Tengah, yaitu dinasti Demak, dinasti Pajang, dan kemudian din
asti Mataram. Dalam uraiannya yang diromantisir mengenai pengepungan Kota Panaru
kan (yang disebutnya Pasuruan), Mendez Pinto, penulis yang berkebangsaan Portugi
s itu, menampilkan seorang pangeran dari Surabaya sebagai tokoh penting yang ter
libat dalam pembunuhan terhadap Sultan Tranggana dari Demak. Mendez Pinto mengak
hiri ceritanya tentang kericuhan di Demak sesudah meninggalnya Sultan Tranggana
dengan pemberitahuan bahwa Pate Sudayo dari Surabaya telah dipilih sebagai raja ol
eh sidang raja-raja. Walaupun cerita tutur Jawa tidak memberitakan peristiwa ini
, bukan hal yang tidak masuk akal apabila ada raja Jawa Timur yang mencoba untuk
mencari keuntungan politik dari kekacauan yang timbul di ibu kota kerajaan Isla
m di Jawa Tengah yang baru saja dibenahi itu. Dalam Sadjarah Surabaya terdapat d
aftar pendek para penguasa Surabaya, yang mencantumkan nama Sunjaya. Mungkin kit
a boleh menghubung-hubungkan satu dengan yang lain.[11]
Sesudah mengalahkan Aria Panangsang dari Jipang pada tahun 1549, raja Pajang di
pedalaman (yaitu tokoh cerita Jawa, Jaka Tingkir), masih kerabat keluarga raja D
emak, mencoba memulihkan kembali kerajaan Jawa Tengah. Tampaknya ini sudah sebag
ian dicapainya melalui ekspedisi militer dan dengan diplomasi damai. Daftar tahu
n peristiwa Jawa memberitakan tahun-tahun 1548 sampai 1577 sebagai masa perjuang
an untuk menundukkan Kediri. Hal ini tercantum dengan penggunaan kata-kata yang
menimbulkan dugaan bahwa penguasa kota penting tersebut masih atau kembali menja
di kafir . Berita ini untuk sebagian dikuatkan oleh kronik Jawa lain, yang mengabar
kan adanya pertempuran (yang dilakukan laskar Pajang) pada tahun-tahun 1577 dan
1578 untuk menundukkan Menang (yaitu, Memenang, Kediri) dan Wirasaba (Maja-Agung
).[12] Daerah Wirasaba terletak di daerah aliran Sungai Brantas seperti Kediri,
semula termasuk wilayah pengaruh para penguasa Surabaya. Rupanya, raja Pajang it
u sedang berusaha menanam kekuasaan di tanah pedalaman Jawa Timur, sepanjang Sun
gai Brantas. (Perluasan wilayah Kerajaan Demak, kira-kira setengah abad sebelumn
ya, sebagian besar telah terlaksana lewat ekspedisi laut).

XII-5.
Surabaya pada paruh kedua abad ke-16, legenda dan sejarah
Kemajuan-kemajuan ekspansi Jawa Tengah ke arah timur, yang dipimpin oleh Sultan
Pajang, mungkin juga masih dapat dikait-kaitkan dengan dua cerita lain, sehubung
an dengan peristiwa-peristiwa tahun-tahun 1570-1580. Menurut kisah yang pertama
(hanya diberitakan dalam Raffles, History, jil. II, hal. 143) konon para penguas
a di Surabaya, Gresik, Sidayu, Tuban, dan Pasuruan (di pantai utara) dan para pe
nguasa di Wirasaba, Ponorogo, Kediri, Madiun, Blora, dan Jipang (di pedalaman) t
elah menyatakan diri bebas dari raja Madura; dengan demikian mereka dapat mengakui
Panji Wiryakrama, adipati di Surabaya, sebagai atasan mereka bersama. Adipati S
urabaya ini telah bertindak sebagai wahana juru bicara mereka terhadap raja Pajang
. Menurut orang yang merupakan sumber berita Raffles, hal itu terjadi pada waktu
Santa Guna, raja kafir di Blambangan, di ujung timur Jawa, menduduki Panarukan.[1
3]
Tentang sejarah ujung timur Jawa ini dalam paruh kedua abad ke-16 ada beberapa h
al yang sudah kita ketahui; hal itu akan dibicarakan pada Bab-bab XV-XVII. Ada k
emungkinan, raja-raja Islam di Jawa Timur telah merasa dirinya terancam oleh mak
in meningkatnya kekuasaan kekafiran di ujung timur Jawa (dibantu oleh raja Bali);
oleh karena itu, mereka bersatu di bawah pimpinan raja Surabaya yang daerahnya m
ungkin berada paling dekat dengan ancaman bahaya. (Menurut Tome Pires, pada perm
ulaan abad ke-16 Pate Bubat dari Surabaya sudah sering terlibat dalam pertempuran
melawan raja kafir Blambangan yang sangat berkuasa itu). Juga dapat dimengerti bah
wa raja-raja Islam di Jawa Timur dan di daerah-daerah Pesisir lalu mengadakan hu
bungan dengan raja Pajang yang dianggap sebagai pengganti Sultan Demak yang sah.
Di Madura, yaitu di bagian barat pulau, di Sampang dan Aros Baya, yang memerinta
h dalam perempat ketiga abad ke-16 ialah seorang raja yang bernama Kiai Pratana
atau Panembahan Lemah Duwur. Konon, ia anak penguasa Islam pertama di Gili Manda
ngin/Sampang. Menurut Sadjarah Dalem, Panembahan Lemah Duwur telah memperistri p
utri Pajang; jadi tidak ada sikap permusuhan dengan Pajang.[14] Tidak ada satu p
un cerita Jawa atau Madura yang menunjukkan bahwa raja Madura pernah berkuasa di
Jawa Timur dan daerah-daerah Pesisir. Jadi pindahnya kekuasaan ini pada Panji W
iryakrama dari Surabaya seperl yang dikesankan oleh sumber berita Raffles, tidak
lah pasti. Tentang sejarah Madura dalam abad ke-16, bab berikut akan memberi pen
jelasan.
Cerita Jawa yang kedua menyangkut pertemuan para raja Jawa Timur di Giri pada ta
hun 1581. Pada waktu itu Sunan Prapen yang berusia lanjut telah meresmikan penga
ngkatan raja Pajang yang juga tidak muda lagi agar diakui raja-raja lain. Hal it
u harus ditafsirkan dengai latar belakang yang sama, yaitu pembenahan kekuasaan
raja-raja Islam yang disebabkan adanya bahaya serangan yang mengancam lewat dara
t atau laut, dari pihak raja-raja kafir di kawasan timur.[15]
Keturunan-keturunan terakhir dari dinasti Demak dan Pajang tidak dapat bertahan
menghadapi semangat ekspansi yang berkobar dalam Kerajaan Mataram di pedalaman y
ang masih muda itu. Waktu Sultan Pajang meninggal dunia pada tahun 1589, Senapat
i di Mataram cepat-cepat mulai bertindak agar kekuasaannya diakui oleh raja-raja
di Jawa Timur, yang sebelumnya sudah mengakui sultan-sultan di Demak dan Pajang
sebagai penguasa tertinggi. Usaha-usaha perluasan kekuasaan yang dilakukan oleh
raja baru di pedalaman Jawa Tengah ini terbentur pada perlawanan para penguasa
Jawa Timur dan daerah-daerah Pesisir. Perlawanan ini lebih dari yang dihadapi ra
ja Pajang kira-kira seperempat abad sebelumnya. Boleh diduga pada perempat terak
hir abad ke-16 peradaban Islam Pesisir, yang selama hampir seratus tahun berkemb
ang atas dasar pola peradaban Majapahit, telah membentuk ikatan kesatuan antara
daerah-daerah yang sebelum itu telah mengakui kekuasaan maharaja kafir . Meskipun l
etaknya di pedalaman, karena adanya perhubungan baik lewat Bengawan Solo dan jal
an-jalan darat sudah sejak abad ke-15. Pengging dan Pajang ikut serta dalam gera
ka sosial politik baik di Jawa Timur maupun di daerah-daerah Pesisi sebelah timu
r laut. Karena Mataram hanya dapat menggunakan perhubungan darat dengan Pajang d
an dengan Jawa Barat, pada abad ke-15 dan masih juga dalam paruh pertama abad ke
-16, oleh raja-raja Jawa Timur, Mataram dianggap sebagai daerah terbelakang yang
berperadaban kasar. Sebagian raja-raja Jawa Timur itu keturunan pedagang Islam
yang sudah maju peradabannya dan berasal dari negeri asing.
Menurut tambo Jawa Tengah, boleh dikatakan tidak lama sesudah meninggalnya Sulta

n Pajang, Senapati dari Mataram berusaha agar kekuasaannya diakui di Jawa Timur.
Pasukan Panembahan Senapati di dekat Japan (Mojokerto yang sekarang) telah dibe
ndung oleh tenaga gabungan sejumlah besar raja-raja Jawa Timur. Gabungan itu ter
diri dari: daerah-daerah Pesisir, yaitu Tuban, Sidayu, Lamongan, dan Gresik; dae
rah-daerah pedalaman yaitu Lumajang, Kertosono, Malang, Pasuruan, Kediri, Wirasa
ba, dan Blitar; di samping itu masih ada lagi Pringgabaya, Pragunan, Lasem, Madu
ra, Sumenep, dan Pakacangan. Mereka telah dikerahkan oleh panggede, pemimpin merek
a, yaitu pangeran Surabaya, untuk melawan kehendak Senapati. Pada kesempatan itu
lah Sunan Giri mendamaikan Mataram dan Surabaya, dengan menyuruh kedua raja itu
memilih antara bungkus dan isi . Kemudian kedua penguasa itu berpisah dengan damai.[1
6] Tanpa mempersoalkan sampai berapa jauh Sunan Giri itu betul-betul bertindak s
ebagai penengah pada saat-saat gentingnya ancaman perang, dapat diperkirakan bah
wa percobaan pertama raja Mataram untuk mendapat pengakuan di Jawa Timur sebagai
maharaja itu ternyata telah gagal. la ditolak serentak oleh sejumlah besar peng
uasa setempat yang dipimpin pangeran Surabaya.
Nama raja Surabaya, yang konon kekuasaannya pada perempat terakhir abad ke-16 di
Jawa Timur dan Madura cukup besar untuk menggerakkan sejumlah besar penguasa se
tempat supaya bekerja sama melawan Mataram, tidak disebutkan dalam buku-buku sej
arah Jawa Tengah abad ke-18. Dalam Sadjarah Dalem terdapat nama Panembahan Ratu
Jayalengkara dari Surabaya sebagai nama ayah Pangeran Pekik (yang sesudah tahun
1625 menjadi ipar Sultan Agung). Jadi, mungkin Panembahan Jayalengkara itulah ya
ng pada tahun 1589 menjadi lawan Senapati Mataram. Pada tahun 1625
pada akhir ha
yatnya ia dikalahkan dan diturunkan dari tahta oleh cucu Senapati, Sultan Agung.
Tidak ada keterangan yang membuat percaya bahwa Pangeran Pekik dari Surabaya da
n ayahnya Jayalengkara (mungkin juga Panji Wiryakrama) termasuk keturunan langsu
ng Adipati Terung ( Pate Bubat ) dari zaman permulaan abad ke-16. Menurut suatu sumb
er Jawa, agaknya ia dipindahkan ke Semarang. Juga tidak dapat dipastikan apakah
keturunan Jayalengkara benar-benar menurut garis langsun merupakan keturunan Sun
an Ngampel, orang suci abad ke-15 itu.[17]
XII-6.
Keraton Surabaya, pengaruh peradabannya yang meluas ke daerah pedalam
an Jawa Timur dan Jawa Tengah pada abad ke-16 dan permulaan abad ke-17
Panembahan Jayalengkara (kalau ini memang benar-benar namanya), sebagai raja mer
deka Surabaya yang terakhir, terus gigih berjuang seumur hidupnya melawan perlua
san-perluasan daerah ke arah timur yang dilakukan oleh raja-raja Mataram. Menuru
t Sadjarah Dalem, permaisurinya ialah seorang putri dari Kediri (dari perkawinan
itu lahirlah Pangeran Pekik), dan ia masih kerabat keluarga raja di Madiun yang
asal usulnya adalah Sultan Demak. Berdasarkan hubungan keturunan, tidak ada ala
san yang mendorongnya untuk bersikap baik terhadap para penyerbu dari Mataram it
u. Di bidang ekonomi dan sosial terdapat jurang yang dalam antara Mataram di ped
alaman yang masih rendah peradabannya dan daerah-daerah Jawa Timur yang telah ma
ju. Jawa Timur telah mempunyai kota-kota pelabuhan yang makmur. Peradabannya ber
kembang dengan adanya perdagangan laut dan pergaulan dengan orang-orang asing.
Nama Jayalengkara beberapa kali disebut dalam sastra Jawa.[18] Menurut buku-buku
cerita abad ke-17 atau ke-18, moyang yang menurunkan raja-raja di Jenggala (di
delta Sungai Brantas) adalah Inu Kertapati yang sangat tersohor itu, yang juga b
ernama Jayalengkara. Konon, ia mula-mula memerintah di tanah asalnya di alam may
a, Mendang Kamulan.
Salah satu dari buku-buku hukum abad ke-16 atau ke-17, yang dapat dibandingkan
dengan kitab Salokantara yang dianggap karangan Senapati Jimbun dari Demak, meny
ebut Raja Jayalengkara dari Mendang Kamulan sebagai pengarangnya.
Akhirnya ada sajak romantis-didaktis yang panjang, Jaya Lengkara, yang dikenal d
alam berbagai versi. Yang dianggap sebagai pengarangnya ialah Pangeran Pekik dar
i Surabaya, dan nama Surabaya sering disebut di dalamnya.
Pemberitaan tentang nama Jayalengkara dalam sastra Jawa ini mudah menimbulkan pe
rkiraan bahwa keraton Surabaya pada paruh kedua abad ke-16 dan juga pada abad ke
-17 yang berkali-kali disebut dalam cerita-cerita Jawa Tengah dari abad ke-19
me
rupakan pusat peradaban Pesisir. Nama Pangeran Pekik sering disebut dalam cerita
-cerita tutur Jawa Tenjah yang dihubungkan dengan perkembangan sastra pada abad
ke-19.[19] Dapat diperkirakan bahwa kitab hukum Jaya Lengkara boleh dianggap has
il karya raja Surabaya yang hidup pada abad ke-16. Begitu pula halnya dengan Sal

okantara yang dianggap hasil karya raja Demak, Senapati Jimbun.


Dalam hikayat dari Surakarta yang ditulis pada abad ke-19, Pangeran Pekik dari S
urabaya dianggap sebagai penulis atau pemberi ilham berbagai sastra romantis, an
tara lain Damarwulan.[20] Buku itu terkenal di seluruh Jawa dalam banyak versi d
engan pelbagai perluasan dan penambahan yang terjadi kemudian. Cerita itu, sebag
ian khayalan, adalah tentang keluarga raja Majapahit yang sudah runtuh satu abad
sebelum penulisnya lahir. Sebagian besar cerita itu meliputi peperangan antara
raja-raja Majapahit dan raja-raja Blambangan. Perang yang pada abad ke-16 terpak
sa dilakukan oleh raja-raja Surabaya melawan para penguasa kafir di Blambangan (te
lah diberitakan Tome Pires), dicerminkan dalam kisah sejarah Damarwulan ini. (Ki
sah itu sebenarnya memuat unsur-unsur mitos dan dongeng).
Seandainya dapat kita terima bahwa Jayalengkara memang nama seorang raja penting
di Surabaya, ayah Pangeran Pekik pada permulaan abad ke-17, maka hubungan antar
a nama itu dan tokoh Panji dalam mitos perlu mendapat perhatian.[21] Menurut Sad
jarah Dalem, raja-raja Jayalengkara dari Surabaya beristrikan seorang putri Kedi
ri, sama halnya dengan tokoh legenda Panji Inu Kertapati dari Janggala. Menurut
buku cerita Jawa (serat kandha), seorang moyang Panji Inu bernama Jayalengkara j
uga. Akhirnya, penguasa Surabaya, yang pada pertengahan abad ke-16 bertindak seb
agai juru bicara raja-raja Jawa Timur dalam menghadapi raja Pajang, memakai nama P
anji Wiryakrama
menurut cerita yang didengar Raffles (memang benar bahwa panji a
tau apanji, sebagai gelar keningratan kuno yang sudah dikenal sejak sebelum zama
n Islam itu, masih tetap dipakai antara lain di daerah-daerah pedalaman Jawa Tim
ur seperti Malang). Hubungan antara nama-nama Jayalengkara dan Panji itu menguat
kan keyakinan bahwa
seperti halnya Damarwulan
apa yang biasa disebut cerita-ceri
ta Panji yang romantis itu pun sebagian besar berkembang di Jawa Timur. Hal itu
karena pengaruh Keraton Surabaya. Latar belakangnya yang bersifat mitos itu tent
u berasal dari zaman yang jauh lebih tua.
Cerita-cerita Panji telah dikenal baik di daerah-daerah pantai Bali, Jawa, dan S
urnatera, tempat peradaban Pesisir mendapat sambutan baik pada abad ke-16 dan ke
-17. Cerita-cerita itu lebih dikenal daripada Damarwulan. Palembang adalah salah
satu tempat di seberang yang amat banyak mendapat pengaruh peradaban Pesisir Ja
wa Timur. Sejarah Palembang pada abad ke-16 akan dibicarakan dalam Bab XVIII. Me
nurut cerita setempat, seseorang dari Surabaya, bernama Ki Gedeng Sura, dalam pe
rempat terakhir abad ke-16 memegang pemerintahan di Palembang. Masa pemerintahan
dalam sejarah Palembang ini dengan tepat bersambung dengan masa-masa pemerintah
an raja-raja sebelumnya, yang semuanya sedikit banyak mempunyai hubungan baik de
ngan raja-raja di Jawa Timur sebelum zaman Islam.
XII-7.
Sejarah Surabaya yang kemudian, sampai ditundukkannya oleh Mataram pa
da tahun 1625
Konon, pada masa tuanya, Senapati Mataram (yang meninggal pada tahun 1601) tidak
lagi berusaha menguasai Surabaya. Raja Surabaya pada dasawarsa terakhir abad ke
-16 sempat memadukan daerah yang diperintahnya. Dari berita orang-orang Belanda
dapat disimpulkan bahwa pada tahun 1599 syahbandar di Gresik dan wakil syahbanda
r di Jaratan telah diangkat oleh raja Surabaya. Sekitar tahun 1600 perdagangan d
an pelayaran di Gresik/Jaratan lebih penting daripada di Surabaya.[22] Sebalikny
a, tidak ada kabar atau cerita mengenai sikap permusuhan antara raja Surabaya da
n pemimpin agama di Giri, yang selama sebagian terbesar abad ke-16 memegang keku
asaan di Kota Gresik. Jadi, dapat diperkirakan bahwa Sunan Prapen yang sudah san
gat lanjut usianya itu membiarkan dirinya dilindungi oleh raja Surabaya dalam bi
dang pemerintahan.
Kisah perjalanan orang-orang Belanda pada tahun 1607 menyatakan bahwa raja yang
memerintah Surabaya buta.[23] Tetapi dapat diperkirakan bahwa
seperti yang dikat
akan oleh cerita Jawa ia masih mengalami pendudukan kotanya oleh pasukan Mataram
pada tahun 1625. Menurut cerita tutur, raja Surabaya yang telah dikalahkan itu,
yaitu ayah Pangeran Pekik, meninggal pada tahun 1630, dan dimakamkan di Ngampel
Denta, yang menjadi tempat tinggalnya karena istananya sudah dihancurkan.
Tidak ada cerita-cerita tutur, yang dengan jelas memberi petunjuk bahwa raja Sur
abaya dari paruh kedua abad ke-16 itu menurut garis langsung termasuk keturunan
Wali di Ngampel Denta yang hidup pada permulaan abad itu. (Apabila silsilah itu
pada abad ke-17 sudah dikenal, tentu hal tersebut sudah dicantumkan dalam daftar

keturunan raja-raja dinasti Mataram, karena Pangeran Pekik mempunyai hubungan k


erabat dengan keluarga raja tersebut). Tetapi kemungkinannya besar sekali bahwa
raja Surabaya menganggap dirinya masih bertalian keluarga dengan Sunan Ngampel D
enta, karena perkawinan.
Sesudah pada tahun-tahun sebelumnya Surabaya berkali-kali diserang, pada tahun 1
625 Kota Surabaya menyerah kalah kepada panglima-panglima tentara Mataram tanpa
menunggu serangan terakhir lagi, dan setelah menjadi amat lemah oleh kelaparan d
an penyakit. Mengingat hal itu, keturunan raja mendapat pengampunan sepenuhnya d
ari pihak pemenang, Sultan Agung. Tetapi Pangeran Pekik, yang kemudian menjadi i
par Sultan Agung, terpaksa merelakan dirinya untuk ikut serta dalam serangan mer
ebut Giri, tempat tinggal orang suci di Gunung, yang mengadakan perlawanan denga
n mengerahkan segala tenaga yang ada padanya.[24]
e-books a.mudjahid chudari
Balikmaning
Daftar Isi
Terusaken
[1]
Sejarah Raja Erlangga dari Kahuripan telah dibicarakan dalam Krom, Hin
doe.
[2]
Dalam Pigeaud, Literature (jil. I, hlm. 206 dst. dan 233 dst.) terdapa
t tinjauan- tinjauan tentang kedudukan kisah-kisah Panji dalam kesusastraan Jawa.
[3]
Cerita-cerita legenda tentang raja-raja lama Genthayu dan Dandang Gend
is, yang terdapat dalam Codex LOr no. 6379 (Serat Kandha), secara singkat telah
diberitakan dalam Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 359b dan 360. Lihat juga ca
t. 80 (tentang Juwana) dan cat. 108 (tentang Jepara).
[4]
Nagara Kertagama dan Oorkonde der Veerlieden Piagam para Tukang Tambang
t
elah dibicarakan dalam Pigeaud, Java (jil. V, hlm. 253, di bawah Surabaya ).
[5]
Aria Teja dari Tuban berkali-kali disebutkan dalam buku-buku cerita (S
erat Kandha); lihat Brandes, Register, hlm. 286. Lihat juga cat. 163 sebelum ini
.
[6]
Lihat Pires, Suma Oriental, hlm. 196 dst., dan keterangan-keterangan y
ang banyak sekali terdapat dalam Meilink-Roelofsz, Asian Trade.
[7]
Bubat telah disebut dalam Nagara Kertagama (abad ke-14); lihat Pigeaud
, Java, jil. V, hlm. 427.
[8]
Senapati Ngalaga ialah nama gelar yang terkenal bagi raja merdeka yang
pertama di Mataram pada perempat terakhir abad ke-16 (lihat Bab XX-14, dan cat.
349). Senapati itu juga gelar raja Islam di Pasir (di Lembah Serayu atas), yang
mungkin pada pertengahan abad ke-16 pernah tinggal di Keraton Demak (lihat Bab
II-11). Senapati itu ternyata gelar yang terkenal pada abad ke-16 (lihat juga Sen
apati pada indeks Pigeaud, Volksvertoningen, hlm. 540; dan Pigeaud, Literature, j
il. III, hlm. 382b). Apabila yang ingin digambarkan oleh Tome Pires itu bukan Su
rapati, melainkan Senapati, agaknya ini hampir tidak ada bedanya; kedua kata itu
kira-kira merupakan sinonim. Surapati ialah nama seorang petualang pada perempa
t terakhir abad ke-17; ia berasal dari Bali. la telah berhasil mendirikan suatu
kerajaan di pedalaman Jawa Timur dan di Pasuruan untuk dirinya sendiri dan ketur
unannya, dan yang cukup lama dapat bertahan sebagai kerajaan yang merdeka. Keter
angan lain daripada yang dikemukakan ini dapat didasarkan pada perkiraan bahwa g
elar yang disebut Tome Pires itu adalah pengejaan Portugis dari gelar Jawa yang
sudah dikenal, ialah juru pangalasan pemimpin pasukan penjagaan. (Bandingkan den
gan Pigeaud, Java, jil. 111, hlm. 121 dan 729, dan Noorduyn, Concerning , hlm. 467471).
[9]
Pecat Tanda di Terung telah disebutkan dalam Bab I-1. Pigeaud, Literat
ure (jil.III, hlm. 286a, di bawah Kusen ), menyajikan ringkasan cerita dalam Serat
Kandha (Codex L0r, no. 6379) tentang penguasa di Terung yang bersikap bersahabat
itu. Di situ pun terdapat berita bahwa ia, sesudah jatuhnya Majapahit, telah di
pindahkan oleh Sultan Demak ke Semarang, ternyata ayah seorang tokoh, yang kemud
ian menjadi Sunan Tembayat. Bagian akhir pemberitaan ini tidak sepenuhnya dapat
dipercaya. Pada abad ke-14 Terung sudah terkenal; lihat Pigeaud, lava (jil. V, d
i bawah Terung ) dan Stein-Callenfels, Soerabaja .
[10]
Cerita-cerita legenda tentang pemimpin-pemimpin pertama jemaah-jemaah I

slam di Gresik dan Surabaya, yaitu Raja Pandita dan Rahmat, dua bersaudara dari
Cempa, telah diberitakan dalam Bab I-1. Yang agak janggal ialah bahwa baik ketur
unan para wali dari Giri, maupun keturunan raja-raja yang kemudian memerintah di
Surabaya, tidak dianggap sebagai keturunan para perintis Islam yang pertama-tam
a itu. juga tidak disebutkan bahwa Sunan Gunungjati dari Cirebon seorang keturun
an Jenal Kabir, yaitu saudara sepupu dua orang bersaudara dari Cempa itu, yang b
ersama mereka datang ke Jawa dan menetap di Grage. Menurut lagenda-lagenda orang
suci Jawa Barat, yang disebutkan dalam Djajadiningrat, Banten (hlm. 106) yang b
ernama Zeinul-Kabir atau Zeinul-Kubra, cucu Husein, cucunya Muhammad, adalah moy
ang jauh Sunan Gunungjati. Silsilah ini
dan lainnya yang serupa
tentu saja tidak
dapat dipercaya. Cerita-cerita tentang tokoh-tokoh legendaris yang mendahului p
ara wali Jawa yang paling dihormati telah dicantumkan dalam Brandes, Pararaton (
hlm. 224) dan secara lebih ringkas -dalam Pigeaud, Literature (jil. II, hlm. 362
). Makam-makam Islam tua (yang bertanda tahun) di Jawa Timur (lihat Bab I-1) mem
berikan kepastian bahwa mulai sekitar tahun 1400 M., dan mungkin bahkan sudah se
jak abad ke-12, telah ada orang-orang Islam kaya yang hidup dan meninggal di Jaw
a. Dalam Djajadiningrat, Banten (hlm. 30 dan hlm. 247-251) telah dimuat suatu pe
mbicaraan tentang sejarah legendaris Malik Ibrahim, yaitu orang yang pada tahun
1419 M. dimakamkan di Gresik.
[11]
Untuk Sajarah Surabaya lihatlah koleksi Brandes no. 474 di Museum Nasiona
l, Jakarta. Dalam Pigeaud, Literature (jil. III, di bawah Surabaya dan Ngampel Dent
a ), telah dicantumkan naskah-naskah Jawa, yang memuat cerita-cerita tutur yang mu
ngkin berisi keterangan penting tentang sejarah kota tersebut. Bahan ini hampir
belum pernah dipelajari. Para penulis sejarah di Jawa Tengah pada abad ke-18 dan
ke-19 tidak memperhatikan sejarah daerah-daerah di luar wilayah inti Kerajaan M
ataram.
[12]
Cerita tutur tentang perang merebut Kediri, yang kiranya berakhir pada
tahun 1577 dengan didudukinya kota itu oleh orang-orang Islam, telah diberitakan
dalam Bab XI-5, karena dikatakan bahwa Sunan Prapen dari Giri pada mulanya suda
h datang di Kediri juga. Berita-berita tentang ekspedisi-ekspedisi Pajang di Jaw
a Timur akan dibicarakan dalam Bab XIX.
[13]
Pemberitaan dalam Raffles, History, tentang Panji Wiryakrama dari Surab
aya tidak memperoleh pembenaran dalam daftar-daftar tahun-tahun peristiwa dalam
tulisan Raffles itu sendiri. Mungkin keterangan tersebut berasal dari naskah Jaw
a Timur atau Madura.
[14]
Buku Sadjarah Dalem dari Jawa Tengah berisi cerita panjang lebar tentan
g keturunan-keturunan raja Madura Barat (Sampang dan Aros Baya kemudian bernama
Bangkalan) dan Sumenep, karena mereka mempunyai hubungan keluarga dengan keluarg
a-raja Mataram; masih pada tahun 1834 seorang putri Bangkalan diperistri oleh Su
suhunan Paku Buwana VII dari Surakarta. Karena perkawinan ini, maka di keraton d
an juga pada para penulis di Surakarta timbul atau bertambah perhatian terhadap
Madura.
[15]
Cerita tutur tentang pelantikan raja Pajang sebagai sultan pada tahun 1
581 dikemukakan dalam Bab XI-5. Boleh jadi upacara ini merupakan puncak kejayaan
kehidupan mereka memegang kekuasaan pemerintahan, baik bagi Sunan Prapen dari G
iri maupun bagi Sultan Pajang. Dengan jalan diplomasi itu maka di bagian timur K
erajaan Demak, yang sudah kembali di bawah kekuasaan sultan baru, status quo dap
at dimantapkan. Bahwa dalam cerita tutur ini Panji Wiryakrama dari Surabaya tida
k disebut, telah kita kemukakan lebih dahulu.
[16]
Bagian cerita dalam Meinsma, Babad (hlm. 182 dst.), mengenai kemampuan
Sunan Giri untuk meramal, telah diberitakan dalam Bab XI-5 dan cat. 19. Penggolo
ngan daerah-daerah secara urut, dalam tiga kelompok yang terpisah-pisah, perlu m
endapat perhatian. Beda antara kelompok pertama dan ketiga (keduanya dari Pesisi
r) tidak terlalu jelas. Dalam Graaf, Senapati (hlm. 106) telah diajukan perkiraa
n bahwa permusuhan pertama antara raja Mataram dan raja Surabaya ini kiranya tel
ah terjadi pada tahun 1589.
[17]
Dalam Graaf, Sultan Agung (hlm. 12 dst.), telah dicantumkan ikhtisar te
ntang berita-berita yang kira-kira dapat dipercaya mengenai raja-raja Surabaya p
ada abad ke-16. Sadjarah Dalem juga disebut-sebut di situ.
[18]
Lihat Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah Jaya Lengkara .

[19]
Dalam kesusastraan Jawa banyak terdapat orang yang memakai nama Pekik;
lihat Pigeaud, Literature jil. III, di bawah Pekik . Oleh karena itu, penjelasan et
imologis bahwa Pekik, asal dari pekih, ucapan ltulisan Jawa untuk kata Arab faqi
h, yang berarti ahli hukum, tidaklah dapat diterima sepenuhnya.
[20]
Tinjauan pendek tentang kitab Damarwulan dimuat dalam Pigeaud, Literatu
re, jil. I, hlm. 231 dst.
[21]
Tersebarnya cerita-cerita Panji Jawa Timur pada zaman peradaban-Pesisir
telah dengan singkat dibicarakan dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 233 ds
t.
[22]
Meilink-Roelofsz, Asian Trade (hlm. 269 dst.) berisi pemberitaan tentan
g perdagangan di Gresik dan Surabaya pada akhir abad ke-16 dan pada permulaan ab
ad ke-17, waktu pelaut-pelaut Belanda mulai menyinggahi pelabuhan-pelabuhan Jawa
.
[23]
Dalam Graaf, Sultan Agung (hlm. 12-16) telah terkumpul banyak berita te
ntang Surabaya pada abad ke-17 dan ke-18. Berita pada tahun 1607 terdapat dalam
Begin ende Voortgangh, jil. II, hlm. 77.
[24]
Sejarah Surabaya dan Gresik pada paruh pertama abad ke-17 telah dibicar
akan dalam Graaf, Sultan Agung, hlm. 77-97.
Posted in Uncategorized | Leave a comment
Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara Jawa Timur pada Abad ke16: Gresik-Giri
Posted on January 2, 2012 by abdrrouf
Sejarah Kera jaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara Jawa Timur pada Abad ke
-16: Gresik-Giri
XI-1.
Berita-berita kuno tentang Gresik, legenda dan sejarah
Dahulu kala Gresik merupakan kota pelabuhan yang terkenal karena letaknya terlin
dung di Selat Madura, dan membelakangi tanah yang subur: delta Bengawan Solo. Su
ngai besar itu pernah merupakan jalan penghubung yang penting antara tanah pedal
aman Jawa Tengah dan Jawa Timur (Pajang, kemudian Kartasura dan Surakarta) denga
n tanah-tanah pesisir di timur laut.
Menurut berita-berita Cina, Gresik didirikan sebagai kota pelabuhan pada paruh k
edua abad ke-14 di sebidang tanah pantai yang telantar. Penduduk pertama ialah p
elaut dan pedagang Cina. Pada abad ke-15 perkampungan baru itu mungkin telah men
jadi makmur; pada tahun 1411 seorang penguasa Cina di situ telah mengirim utusan
yang membawa surat-surat dan upeti ke keraton Kaisar di Cina.[1]
Pada tahun 1387 M. Gresik sudah dikenal sebagai wilayah kekuasaan maharaja Maja
pahit. Ini terbukti dari Piagam Karang Bogem, yang berisi ketetapan tentang kawu
la, budak, atau orang tebusan di keraton yang berasal dari Gresik.[2]
Mungkin maharaja Majapahit yang bersemayam di pedalaman Jawa Timur beranggapan
bahwa daerah-daerah pantai juga termasuk wilayahnya dan di situ kekuasaannya seb
agai penguasa wilayah juga diakui. Hubungan antara raja pribumi dan pedagang asi
ng yang menetap di negara mereka yang ingin mempertahankan hubungan mereka denga
n tanah leluhurnya, lebih-lebih dari sudut kepentingan perdagangan, dapat diduga
dengan adanya berita-berita tentang perutusan dari seberang lautan ke Cina. Sep
erti yang diberitakan pada permulaan abad ke-15 sehubungan dengan Gresik, perutu
san yang menghadap kaisar Tiongkok (biasanya orang Cina peranakan), mengambil pe
ranan yang penting.
Yang masih perlu disebut di sini ialah sebuah cerita Jawa, yang dicantumkan dala
m Serat Kandha tentang serangan terhadap Gresik yang dilakukan oleh musuh-musuh
dari seberang lautan atau bajak-bajak laut dari Wandhan Inggris. Serangan itu di
gagalkan oleh seorang prajurit Probolinggo, yang bernama Sapu Jagad atau Sapu La
ga. Buku cerita Jawa yang dimaksud itu (Codex LOr, No. 6379 dan KBG, No. 7) beri
si lebih banyak kisah serangan oleh orang-orang asing dari seberang lautan terha
dap kota-kota pelabuhan Jawa.[3] Cerita-cerita itu tidak dapat diteliti kebenara
nnya; dan nama-nama musuh-musuh dari seberang laut itu hanya sedikit yang dapat
dikenali dengan pasti. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah hubungan, yang diseb
ut dalam cerita tersebut, antara Gresik dan Probolinggo. Nama Probolinggo belum
tua, namun nama lama tempat itu, Banger, telah dicantumkan dalam Nagara Kertagam

a dari abad ke-14. Sekarang pun nama itu masih dikenal. Dalam legenda-legenda di
ujung timur Jawa tentang peperangan antara Majapahit dan Blambangan, daerah Pro
bolinggo termasuk daerah Menakjingga dari Blambangan. Beberapa hal menunjukkan b
ahwa mungkin sudah sejak abad ke-14 ada hubungan lewat laut, sepanjang pantai Se
lat Madura, antara Gresik dan Blambangan di ujung timur Jawa, dan kota-kota pela
buhan di antara kedua tempat itu (lihat Bab-bab XV, XVI, dan XVII).
Pada Bab I-1 dibicarakan cerita-cerita Jawa mengenai permulaan penyebaran agama
Islam di Jawa Timur. Di sana dikemukakan adanya makam-makam Islam yang sudah tua
sekali, yang ditemukan di dekat Gresik, maupun tentang kedua saudara kakak bera
dik yang legendaris itu, keduanya putra seorang Arab yang kawin dengan putri Cem
pa. Yang sulung adalah perintis kelompok Islam di Gresik. Adiknya, yang bernama
Raden Saleh, kelak terkenal sebagai Sunan Ngampel Denta dari Surabaya. Sukar unt
uk menemukan hubungan cerita tutur itu dengan dongeng-dongeng tentang asal usul
para Sunan Giri, raja-raja Surabaya, maupun kedua ratu di Gresik pada sekitar ta
hun 1500 M. (menurut Torpe Pires).
Xl-2.
Gresik sekitar tahun 1500 M
Mengenai keadaan ekonomi dan politik di Gresik pada permulaan abad ke-16 terdapa
t keterangan-keterangan penting dalam buku Tome Pires, Surna Oriental. Musafir P
ortugis itu menganggap Gresik sebagai kota perdagangan laut yang paling kaya dan
paling penting di seluruh Jawa. la memberitakan adanya transaksi yang diadakan
oleh kapal-kapal dari Gujarat, Calicut, Bengalen, Siam, Cina, dan Liu-Kiu dengan
Gresik, dan perdagangan antara Gresik dan Maluku serta Banda.
Menurut Torne Pires, waktu ia di Gresik ada dua penguasa yang saling memerangi.
Daerah mereka di kota itu dipisahkan oleh sungai kecil yang dangkal. Penulis Por
tugis itu menyebut nama Pate Cucuf dan Pate Zeinall. Pate Cucuf memerintah bagia
n kota yang paling besar dan paling penting, tempat perdagangan laut. Konon, ia
masih kerabat keluarga raja di Malaka (yang kehilangan negerinya karena Kota Mal
aka telah direbut oleh orang-orang Portugis), dan ia dianggap keturunan Melayu.
Penguasa yang lain, Pate Zeinall, menurut Tome Pires, memerintah di bagian pedal
aman yang agraris; ia tidak berdagang dan tidak kaya. la adalah penguasa Islam y
ang tertua di kota-kota pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan bersahabat denga
n Pate Rodim, yang tua dan Pate Rodim yang muda dari Demak.[4] Pada kesempatan l
ain, dalam membicarakan asal usul keturunan pemimpin-pemimpin Islam di Demak, To
me Pires menyebut bahwa ayah Pate Rodim yang tua adalah budak belian dari Gresik.
Cerita-cerita lain menunjukkan asal usulnya dari keturunan Cina dan Gresik sebag
ai tempat persinggahan raja-raja Islam di Demak.[5]
Dalam Suma Oriental tidak disebut asal usul Pate Zeinall. Karena Tome Pires pad
a tahun 1515 sudah meninggalkan Jawa, maka ia tidak dapat memberitakan sejarah k
edua penguasa Gresik itu lebih lanjut. Sukar untuk menyesuaikan pemberitaan Port
ugis itu (yang untuk kurun waktunya sendiri pantas dipercaya) dengan cerita tutu
r Jawa tentang lahir dan berkembangnya keturunan para pemimpin agama di Giri. Pa
da paruh kedua abad ke-16 dan pada abad ke-17 mereka mempunyai kedudukan penting
dalam sejarah Jawa.
XI-3.
Gresik dan permulaan kekuasaan pemimpin-pemimpin Agama; Prabu Satmata
dari Giri, legenda dan sejarah
Dalam Suma Oriental Torne Pires tidak memberitakan apa-apa tentang ulama-ulama b
esar Islam (di kota-kota lain pun tidak), walaupun mereka itu sekitar tahun 1500
M. telah mulai memperlihatkan kegiatan. Sebaliknya, cerita tambo Jawa tentang a
sal keturunan para sunan di Giri ternyata panjang lebar. Cerita-cerita tersebut
termasuk kesusastraan Pesisir Timur, yang pada abad ke-17 dan ke-18 pusat keroha
nian dan kemasyarakatannya terdapat di Giri-Gresik dan Surabaya. Cerita-cerita J
awa tersebut bermuatan unsur legenda dan dongeng. Tetapi hubungan yang disebutka
nnya antara Gresik-Giri dengan Blambangan dan dengan tempat-tempat lain, mempuny
ai nilai sejarah yang penting. Tahun-tahun kejadian yang disebutkan di dalamnya
tampaknya dapat dipercaya.[6]
Menurut cerita tutur Jawa, seorang ahli agama berkebangsaan Arab berasal dari Je
ddah, bernama Wali Lanang, telah memperistri seorang putri raja kafir Blambangan (
yang telah disembuhkannya dari suatu penyakit); ia mendapat seorang anak laki-la
ki dari perkawinan itu. Wali Lanang meninggalkan Blambangan karena ia tidak berh
asil mengislamkan rajanya. Bayi itu dimasukkan ke dalam peti dan dilemparkan ke

laut dan kemudian diselamatkan oleh seorang nakoda perahu milik Nyai Gede Pinati
h dari Gresik, janda Patih Samboja. Anak itu diambil sebagai anak angkat, dan ke
mudian disuruh berguru kepada Sunan Ngampel Denta dari Surabaya, yang memberi an
ak pungut itu nama Raden Paku. Raden Paku dari Gresik itu diasuh bersama anak Su
nan Ngampel Denta, Santri Bonang. Mereka berdua pergi ke Malaka dan menjadi muri
d Wali Lanang (ayah Raden Paku). Wali Lanang memberi mereka tugas hidup untuk me
nyebarkan agama Islam di Jawa Timur. Sekembalinya di Gresik, beberapa waktu kemu
dian Raden Paku menetap di Gunung (= Giri) sebagai kiai besar. la memilih nama P
rabu Satmata.
Tutur Jawa menyebutkan tahun-tahun kejadian sebagai berikut: 1477 M., meninggaln
ya Nyai Gede Pinatih, ibu pengasuh Prabu Satmata; 1485 M. pembangunan kedaton, is
tana , dan tiga tahun kemudian pembuatan kolam ; tahun 1506 M. meninggalnya Prabu Sat
mata.
Berkenaan dengan cerita tutur ini dapat dikemukakan hal sebagai befikut. Tampak
jelas hubungan moyang dinasti Giri dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-p
edagang luar negeri, dengan pelayaran serta perdagangan di laut, dan dengan Blam
bangan, Surabaya, dan Malaka. Menurut cerita tutur ini, Nyai Gede Pinatih adalah
seorang wanita Islam; jika tidak, tidak akan ia menyuruh anak angkatnya berguru
pada orang suci di Surabaya.[7] Menetapnya di Giri (sesudah bertempat tinggal d
i Gresik) dapat dihubungkan dengan pembangunan kedaton, pada tahun 1485.[8] Kolam
yang dibuat pada tahun 1488 M. itu mungkin suatu taman indah dengan danau tiruan (
yang dihuni kura-kura), beserta pulau kecil di tengahnya, lengkap dengan balai k
ecil, yang biasanya disebut bale kambang. Bangunan taman air (taman sari) demikian
itu sejak dahulu kala merupakan bagian dari kompleks istana raja di Jawa. Memil
iki taman semacam itu tentu menambah wibawa dan kekuasaan pemimpin agama pertama
di Giri.[9]
Penanggalan yang agak tua dalam cerita Jawa, yaitu pada perempat terakhir abad k
e-15, kehidupan Prabu Satmata dari Giri, dan ibu angkatnya yang sudah beragama I
slam, Nyai Gede Pinatih dari Gresik,[10] menguatkan pendapat bahwa Gresik dan Su
rabaya adalah kota-kota pelabuhan Jawa Timur yang pertama tempat terbentuknya um
at Islam. Tindakan Prabu Satmata dari Giri itu (seperti juga yang dilakukan para
wali Islam di Jawa pada zaman yang sama) dapat dianggap sebagai suatu usaha mem
antapkan dan menguatkan pusat keagamaan dan kemasyarakatan ini bagi kepentingan
para pedagang Islam yang sering kurang semangat agamanya; biasanya mereka keturu
nan asing dan berasal dari golongan menengah yang berada atau kurang berada, dan
mungkin sudah sejak abad ke-14 bertempat tinggal di kota-kota atau kota-kota ke
cil di Jawa. Dibangunnya kedaton dan dipakainya nama gelar raja (Prabu Satmata)
boleh dianggap sebagai gejala telah meningkatnya kesadaran harga diri pada wali
dan pemimpin kelompok keagamaan Islam yang masih muda; lebih dari kelompok-kelom
pok yang lebih tua, merasa dirinya anggota masyarakat Islam internasional.
Apabila Prabu Satmata pada tahun 1485 M. memang telah membangun tempat kediaman
nya di Giri (sekalipun ia sebagian tahun tinggal di Kota Gresik), maka dialah or
ang pertama di antara ulama yang membangun tempat berkhalwat dan tempat berkubur
di atas sebuah bukit dalam uraian yang lebih dahulu, Tembayat, Prawata dekat De
mak dan Gunungjati dekat Cirebon telah diberitakan, tetapi berbeda dengan Demak
dan Cirebon, sejak zaman kerajaan kafir Majapahit Gresik merupakan kota yang cukup
berarti.
Tempat keramat di atas gunung tentu sudah dianggap penting dalam kehidupan keagama
an sebelum zaman Islam di Jawa Timur.[11] Menurut cerita tutur Jawa, gunung keram
at Penanggungan pada tahun 1543 telah diduduki oleh laskar Islam sultan Demak (li
hat Bab II-12). Dapat diduga bahwa kelompok-kelompok kafir yang memiliki satu atau
beberapa bukit keramat sebagai pusat keagamaannya (dapat dibandingkan dengan masy
arakat Tengger yang sekarang masih ada, dan tempat-tempat keramat Besakih dan Gu
nung Batur di Bali), telah memberikan perlawanan bersenjata waktu orang-orang al
im Islam datang untuk menjadikan gunung keramat mereka menjadi daerah Islam. Apa
kah Giri dekat Gresik sebagai pusat kehidupan Islam dan sebagai tempat penghayat
an agama bagi orang-orang Islam beriman telah didirikan sekadar mencontoh gunung
keramat di Jawa Timur? Ataukah didirikan di tempat bekas gunung keramat ? Menurut ce
rita, Wali Lanang di Malaka memberikan tugas-tugas berbeda tetapi senada kepada
kedua muridnya: Santri Bonang pada umumnya harus menyebarkan agama Islam di Jawa

Timur (dan memang, kenyataannya kelak Sunan Bonang banyak menjelajahi daerah-da
erah), tetapi Raden Paku harus menetap di Giri (dan tentang dia tidak diberitaka
n perjalanan-perjalanan jauh). Betapa besar arti Giri sebagai pusat keagamaan ba
gi umat Islam di Jawa Timur, dan selanjutnya juga di bagian timur Nusantara pada
abad ke-16 dan ke-17, masih akan dibicarakan kemudian.
Dalam pada itu, bungkamnya Tome Pires tentang Giri dan Prabu Satmata menimbulkan
perkiraan bahwa
yang jelas sampai tahun 1515, waktu musafir Portugis itu pergi
pusat kehidupan Islam di bukit dekat Gresik belum menjadi pusat kekuasaan pemeri
ntahan atau pusat ekonomi yang berarti. Pada permulaan abad ke-16 kekuasaan kera
ton Kerajaan Majapahit di pedalaman Jawa Timur (atau kekuasaan pemimpin pemerint
ahan Gusti Pate, seperti yang diberitakan oleh Tome Pires), masih cukup besar. B
oleh diduga bahwa sampai pada saat didudukinya kota kerajaan tua (Majapahit) itu
oleh orang-orang alim Islam pada tahun 1527, para penguasa duniawi Islam di Gre
sik masih mengakui raja kafir di Majapahit sebagai penguasa tertinggi. Seperti tel
ah diuraikan sebelumnya, pada waktu itu raja-raja Islam di Demak, Jepara, dan Tu
ban juga masih berbuat serupa.
Perkiraan bahwa Pate Zeinall yang diberitakan oleh Tome Pires sekitar tahun 1515
dapat dikatakan sama orangnya dengan ulama di Giri (Prabu Satmata atau penggant
inya), dapat disanggah. Penulis Portugis itu menggambarkan Pate Zeinall, yang mu
ngkin pernah dilihatnya juga, sebagai penguasa yang gagah berani atas daerah per
tanian di pedalaman. la masih kerabat yang lebih tua dan sahabat para penguasa I
slam pertama di Sidayu, Jepara (Pate Unus), dan Demak (Pate Rodim). la tidak ber
kepentingan dalam perdagangan laut. Penggambaran Pate Zeinall demikian itu berla
wanan dengan pribadi pemimpin agama di Giri, yang sebenarnya berasal dari kalang
an pelaut dan pedagang asing, yang tinggal di kota pelabuhan Gresik. Cerita Jawa
tentang awal mula keturunan Giri tidak memberitakan apa-apa tentang pemilikan t
anah atau wilayah pertanian.
Tidak benar jika ulama yang pertama di Giri disamakan dengan Pate Cucuf yang dib
eritakan oleh Tome Pires sekitar tahun 1515. Musafir Portugis itu mengetahui sun
gguh-sungguh riwayat hidup Pate Cucuf dan ayahnya Pate Adam. Mereka orang-orang
Melayu, dan masih kerabat keluarga raja Malaka yang diusir oleh bangsa Portugis;
mereka itu pedagang-pedagang di laut. Memang keluarga Melayu ini mempunyai kepe
ntingan yang sama dengan keturunan Giri dalam hal perdagangan di laut dan hubung
annya dengan Malaka, tetapi dalam Suma Oriental sama sekali tidak dinyatakan ada
nya suatu hubungan Pate Cucuf dengan Blambangan, Surabaya, dan agama Islam. Sean
dainya ulama pertama di Giri termasuk keturunan Melayu terkemuka, seperti Pate C
ucuf, maka boleh diharapkan bahwa cerita tutur Jawa memberitakan atau mengingatk
an akan asal usul keturunan raja ini. Kenyataannya, yang dituturkan adalah asal
usul yang sangat rendah dan menyerupai dongeng: anak pungut yang diasuh hanya ka
rena rasa belas kasihan.[12] Sebaliknya, seandainya Pate Cucuf telah mempunyai h
ubungan dengan Blambangan, Tome Pires tentunya mendengar tentang hal itu dan aka
n memberitakannya, karena ia memang bercerita agak panjang lebar tentang raja kaf
ir di ujung timur Jawa.
Suatu keberatan penting terhadap pandangan seolah-olah Patty Cucuf yang diberita
kan Tome Pires atau Pate Zeinall dari Gresik itu sama orangnya dengan pemuka aga
ma pertama (atau yang kedua) di Giri ialah kenyataan bahwa nama Kota Giri tidak
pernah muncul dalam Suma Oriental, meskipun musafir Portugis itu pasti pernah da
tang juga di Sidayu dan Gresik. Dapatlah diperkirakan bahwa orang Portugis kafir i
tu tidak mendapat keterangan tentang urusan agama (a.l. karena memang tidak memi
ntanya) dan pada permulaan abad ke-16 pusat keagamaan di Giri dan para ulamanya
belum menduduki tempat penting dalam pikiran pedagang di Jawa Timur, yang berhub
ungan dengan Tome Pires.
Jadi, pada zaman Tome Pires, para penguasa duniawi di Kota Gresik dan para ulama
di Giri hidup berdampingan raja. Kekuasaan pemerintahan di kota agaknya pada ab
ad ke-16 jatuh ke tangan para ulama, tetapi sekali-sekali keturunan raja Surabay
a juga berkuasa di sana. Meskipun letaknya sangat berdekatan dan dalam beberapa
hal berhubungan, Kota Gresik dan Giri ini dalam sejarah dan dalam cerita-cerita
Jawa tidak dapat disamakan sepenuhnya.
XI-4.
Pemimpin agama yang kedua di Giri, Sunan Dalem; legenda dan sejarah
Menurut daftar-daftar tarikh Jawa, penguasa (ulama) yang kedua di Giri mulai mem

egang peranan pada tahun 1506. Rupanya, ia hidup sezaman dengan Sultan Tranggana
dari Demak dan ia telah mengalami pula pendudukan kota Kerajaan Majapahit oleh
pasukan Islam pada tahun 1527.
Di antara mukjizat-mukjizat yang dilakukan oleh Sunan Satmata disebutkan juga ba
hwa ia telah memindahkan pertapaan
tempat ayahnya dulu membiasakan diri ber-khalwa
t beserta masjid dan perigi tempat mengambil air wudu dari sebuah gunung di Blam
bangan ke Giri. Hal itu dilakukannya hanya dengan kekuatan daya pikir belaka.
Dalam legenda mengenai Giri terdapat cerita tentang serangan-serangan yang dilak
ukan, atau percobaan-percobaan pembunuhan yang direncanakan, oleh raja kafir Majap
ahit atau pegawai-pegawainya, yang ditujukan kepada ulama Giri itu. Seperti bias
anya, legenda-legenda itu samar-samar dalam hal penentuan waktu. Pemerintahan Su
nan Satmata dan Sunan Dalem dalam legenda dicampur aduk saja. Dapat diperkirakan
bahwa sikap permusuhan antara Majapahit dan Giri baru berkembang dan terwujud p
ada permulaan abad ke-16, waktu pihak raja mulai memandang pengislaman berbagai
kota pelabuhan sebagai bahaya bagi kekuasaannya. Bukan tanpa alasan bahwa pernim
pin umat beragama di Giri didakwa melakukan usaha merebut kekuasaan duniawi di k
ota pelabuhan tua Gresik. la memperlihatkan ketidaksenangannya untuk memberi pen
ghormatan kepada maharaja kafir di Majapahit sebagai penguasa tertinggi. Penghorma
tan itu selalu dilakukan oleh para penguasa di Tuban, kota yang paling sedikit s
ama tuanya dengan Giri/Gresik itu, walaupun mereka sudah Islam. Keyakinan beraga
ma yang teguh pada keturunan Giri ini mungkin disebabkan ia keturunan seorang ce
ndekiawan agama.
Menurut cerita tutur Jawa, raja Majapahit telah memberi perintah untuk membunuh
Sunan Giri. Namun, algojo yang dikirim rupanya bersedia memeluk agama Islam. Mal
ahan kemudian ia menjadi pengikut ulama itu. Sejak itulah ia memakai nama Mutali
m Jagapati, Dalam dongeng-dongeng lain juga terdapat pelaku yang bernama Jagapat
i, teman seperjuangan Sunan Giri melawan kekuasaan kafir .
Menurut cerita lain, raja Majapahit bahkan telah mengirim Patih Gajah Mada denga
n kekuatan militer untuk melawan Giri. Serangan ini digagalkan tidak lain dan ti
dak bukan hanya karena daya ajaib keris Kala Munyeng (atau Kalam Munyeng) yang,
menurut cerita, berasal dari alat tulis (kalam) orang suci itu. Dalam legenda in
i kiranya kalam (tenaga batin) disejajarkan dengan Kala Munyeng, suatu kekuasaan a
dikodrati atau setan, yang sudah disebut-rebut dalam naskah-naskah dari zaman pr
a-Islam. Yang menarik perhatian dalam cerita ini ialah hubungan antara orang suc
i Islam itu dan sebilah keris, yang telah ikut bertempur melawan alam kafir .[13]
Cerita tentang tindakan bersenjata yang dilakukan oleh kekuasaan Kerajaan Majap
ahit terhadap penguasa di pantai utara agak dikuatkan oleh pemberitaan Todie Pir
es. Menurut Suma Oriental (Pires, Suma Oriental, hal. 189), kiranya Guste Pate,
penguasa Majapahit mungkin pada permulaan abad ke-16
telah menghancurkan daerah
Cajongam. Cajongam mungkin dapat disamakan dengan Juwana. Dalam pembicaraan tent
ang hubungan antara raja-raja Demak-Japara dan raja-raja Pati-Juwana (pada Bab I
V-2) telah diajukan dugaan bahwa kepala pasukan Majapahit berusaha mengembalikan
kekuasaan raja di sebelah barat laut Kerajaan (Majapahit) dengan melakukan sera
ngan terhadap Cajongam. Apabila legenda Jawa tentang keris Sunan Giri itu mempun
yai inti kenyataan, maka usaha serupa itu di sebelah timur laut
lebih dekat pada
ibu kota telah mengalami kegagalan.
Menurut cerita Jawa Tengah dari abad ke-17 atau ke-18, sunan di Giri (Sunan Dale
m) juga ikut serta secara aktif dalam pendudukan kota Kerajaan Majapahit (pada t
ahun 1527). Alas tunjukan Sunan Ngampel Denta
yang tertua di antara orang-orang
suci bahkan ia memegang kekuasaan tertinggi di kerajaan lama itu selama 40 hari
sesudah hilangnya Brawijaya. Maksudnya ialah untuk menghilangkan segala bekas ya
ng ditinggalkan oleh alam kafir , sebelum raja Demak dilantik menjadi maharaja (lih
at Bab II-10).
Cerita ini tidak ada dalam tambo-tambo lama di Giri dan Gresik. Tempat terhormat
Sunan Giri dalam cerita itu mungkin bukanlah suatu kenyataan historis, tetapi m
erupakan usaha selanjutnya untuk lebih menonjolkan posisi Giri.
Sebaliknya, yang justru pantas dipercaya ialah beberapa cerita Jawa Timur tentan
g adanya hubungan antara Giri dan Sengguruh, daerah Malang sekarang. Menurut cer
ita tutur setempat, penguasa di Gribik (atau Ngibik) di daerah Sengguruh telah b
eralih ke agama Islam berkat jasa seorang syekh di Manganti, paman Sunan Giri. S

eperti biasa cerita demikian tidak menyebutkan waktu-waktunya. Tetapi dari pembe
ritaan ini dapat diambil kesimpulan bahwa di pedalaman Jawa Timur pun sekitar ta
hun 1500 M. sudah terbentuk kelompok-kelompok Islam, berkat pengaruh orang-orang
alim yang berasal dari daerah pantai utara. Dalam hal ini kiranya Gribik dapat
dibandingkan dengan Singkal di daerah Kediri (yang pernah ditempati Sunan Bonang
), dengan Tembayat di daerah Klaten (didirikan oleh orang terkemuka/ bangsawan d
ari Semarang), dan dengan Pasir di tanah Jawa bagian barat daya (tempat raja Dem
ak menanamkan pengaruhnya).[14]
Sengguruh untuk beberapa lama masih berlaku kekuasaan anggota-anggota keturunan
patih kafir Majapahit, yang (menurut Tome Pires sebagai Guste Pate) pada hari-hari
terakhir kerajaan itu masih berkuasa.[15] Kerajaan Jawa Timur Gamda , yang menurut
penulis Portugis itu sekitar tahun 1515 M. diperintah oleh anak laki-laki Guste
Pate, mungkin meliputi daerah Sengguruh juga. Kerajaan itu masih akan disinggun
g lagi dalam pembicaraan tentang sejarah ujung timur Jawa pada abad ke-16 (Bab X
V, XVI, dan XVII).
Menurut cerita yang panjang lebar dan cukup teliti, dengan disertai tahun terjad
inya peristiwa, pada tahun 1535 M. penguasa kafir dari Sengguruh menduduki pusat I
slam, Giri. Sesudah sekelompok kecil orang Cina Islam, di bawah pimpinan Panji L
aras dan Panji Liris, dekat Lamongan dikalahkan oleh orang-orang dari pedalaman,
Sunan Dalem memerintahkan kepala pasukannya Jaga Pati (sama dengan yang diberit
akan dalam cerita lain?; lihat di muka) untuk menghentikan pertempuran. Sunan Da
lem telah meninggalkan Giri untuk menyingkir ke Gumena, yang diperintah oleh Ki
Dang Palih. Syekh Koja, paman Sunan (sama dengan Syekh Manganti, yang telah meng
islamkan Gribik), telah menyetujuinya.[16] Orang-orang kafir dari selatan tadi mem
buka dan merusakkan makam Sunan Satmata yang saleh itu, tetapi suatu kawanan leb
ah yang keluar dari dalam makam itu telah memaksa orang-orang kafir itu meninggalk
an Giri lagi, dan kembali ke Sengguruh. Sunan Dalem dapat kembali ke tempat kedu
dukannya. Di sebelah timur makam suci sunan pendahulunya, ia menyuruh buat makam
untuk Syekh Grigis, juru kunci yang telah dibunuh oleh para penyerang kafir . Di G
umena beliau memerintahkan untuk mendirikan masjid dengan atap tingkat tiga. Hal
itu tentu untuk menyatakan rasa terima kasih atas bantuan yang telah diterimany
a di tempat itu.
Terlepas dari cerita legenda tentang kawanan lebah tadi, cerita tutur setempat y
ang disertai tahun-tahun kejadian ini layak dipercaya. Dari cerita itu dapat dia
mbil kesimpulan bahwa 8 tahun sesudah runtuhnya kota kerajaan tua Majapahit (pad
a tahun 1527) orang-orang kafir masih juga berusaha membendung meluasnya agama Isl
am ke timur dengan mengadakan serangan terhadap Giri. Memang demikianlah, menuru
t kronik Demak (lihat Bab II-12), pada tahun 1531 Surabaya telah dimasukkan ke d
alam wilayah kekuasaan maharaja Islam di Demak, dan pada tahun 1535, sama tahunn
ya dengan pertempuran di Giri, laskar Demak diceritakan telah merebut Pasuruan.
Pasuruan ini boleh jadi merupakan kota penting dalam kerajaan Gamda (menurut Tome
Pires), yang meliputi daerah Sengguruh juga. Dapatlah diduga bahwa kekalahan Pas
uruan (musibah yang lebih hebat daripada kawanan lebah) telah memaksa laskar Sen
gguruh melepaskan kembali Giri yang baru saja diduduki itu. Mereka merasa teranc
am hubungannya dengan markas besarnya di pedalaman akan terputus.
Lamongan, yang menurut cerita Giri pada tahun 1535 masih di bawah kekuasaan orang
-orang kafir (yang pernah mendatangi Giri), menurut kronik Demak, pada tahun 1541
dan 1542 telah diduduki pasukan Demak. Sekaligus Kota Wirasaba yang letaknya se
dikit lebih ke selatan. Sejak itu Giri merasa aman dari serangan lewat darat dar
i sebelah selatan.
Anehnya, cerita setempat tentang pendudukan sementara atas Giri tidak memberitak
an apa-apa tentang Kota Gresik; mungkin karena Gumena dan Gresik mempunyai hubun
gan yang erat. Juga tidak ada berita lain tentang bantuan langsung dari maharaja
Islam dan Demak. Ada kemungkinan besar bahwa para ulama besar di Giri, sesudah
runtuhnya kerajaan kafir Majapahit pada tahun 1527, merasa dirinya merdeka dan beb
as, juga dari raja Islam baru di Demak. Dengan didudukinya Tuban pada tahun 1527
dan Surabaya pada tahun 1531 (mungkin dari laut), Sultan Tranggana telah mengam
bil langkah pertama ke arah penegakan kekuasaannya di daerah-daerah pantai utara
kerajaan kafir dahulu. (Baru waktu diadakan ekspedisi-ekspedisi militer dari tahu
n 1535 hingga 1545, ia, menurut daftar tahun peristiwa, telah menundukkan daerah

-daerah pedalaman, dan terakhir Sengguruh). Penundukan atau pendudukan atas Giri
/Gresik tidak diberitakan sama sekali, baik dalam cerita Demak maupun dalam ceri
ta Giri.
Apabila dugaan dapat dibenarkan bahwa Gumena
di bawah pemerintahan Ki Dang Palih
dan Gresik yang mempunyai dua penguasa itu (menurut Tome Pires) boleh dihubungk
an satu dengan yang lain, Sunan Dalem di Giri itu pada tahun 1535 telah mengambi
l keuntungan politik dari rasa takut yang ditimbulkan oleh kedatangan laskar kafi
r dari Sengguruh untuk memperkuat kekuasaannya sendiri di kota pelabuhan itu. Dap
at diperkirakan bahwa kedua penguasa di Gresik yang (menurut Tome Pires) saling
memerangi itu tidak akan mampu mengatur pertahanan kota terhadap penyerang dari
luar. Pembangunan masjid di Gumena pada tahun 1539 (menurut cerita tutur setempa
t) adalah suatu tanda pengukuhan kekuasaan para ulama Giri di Gresik. Tentang ke
dua penguasa (di Gresik) ini selanjutnya tidak ada berita lagi.
XI-5.
Pemimpin Agama ketiga dan keempat dari Giri yang paling terkemuka pad
a abad ke-16, Sunan Prapen
Menurut kisah setempat, Sunan Dalem, yang pada tahun 1506 mulai memerintah, wafa
t pada tahun 1545 atau 1546. Konon, ia digantikan anaknya yang dua tahun kemudia
n meninggal. Sunan ketiga dari Giri ini sesudah meninggal diberi nama anumerta S
unan Seda-ing-Margi, yang artinya sunan yang menemui ajal dalam perjalanan. Sela
njutnya tidak ada yang diketahui lagi tentang dia.[17]
Menurut cerita setempat, pada tahun 1548 M. ia digantikan oleh kakaknya yang ter
kenal dengan nama anumerta Sunan Prapen (menurut tempat bangunan makamnya). Kisa
h setempat yang berkenaan dengan tahun 1570 M. (Wiselius, Historiseh ) menceritakan
bahwa pada waktu masih hidup ia memakai nama Sunan Mas Ratu Pratikal .
Sunan Prapen ialah pemimpin agama di Giri. Selama pemerintahannya yang panjang
sekali (dari tahun 1548 sampai kira-kira tahun 1605) ia banyak berjasa membentuk
dan memperluas kekuasaan kerajaan Imam Islam, baik di Jawa Timur dan Jawa Tengah
maupun di sepanjang pantai pulau-pulau Nusantara Timur. Paruh kedua abad ke-16 m
erupakan masa kemakmuran Giri/Gresik sebagai pusat peradaban Pesisir Islam dan p
usat ekspansi Jawa di bidang ekonomi dan politik di Indonesia Timur.
Menurut kisah setempat, pada tahun 1549 M., satu tahun sesudah ia mulai berkuasa
, Sunan Prapen membangun keraton. Konon kedaton yang didirikan oleh kakeknya, Pr
abu Satmata, pada tahun 1488, dipandang tidak sesuai lagi dengan kejayaan dan ke
kuasaan yang telah dicapai oleh keturunan pemimpin-pemimpin agama. Jatuhnya keku
asaan Kerajaan Demak sesudah meninggalnya Sultan Tranggana pada tahun 1546 mungk
in telah mempengaruhi Sunan Prapen. la ingin mendirikan suatu bangunan besar seb
agai tanda sudah merdeka. Masjid di Kudus, kota suci tidak jauh dari Demak, menuru
t prasasti pada tahun 1549 juga selesai dibangun (lihat Bab V-2). Ada alasan unt
uk menduga bahwa pemimpin-pemimpin agama di Kudus pada pertengahan abad ke-I6 ju
ga ingin berbuat seperti raja-raja merdeka.
Cerita Jawa setempat tidak memuat berita-berita yang menunjukkan bahwa Giri/Gres
ik menderita karena jatuhnya Kerajaan Demak dan kericuhan di Jawa Tengah, sebelu
m raja Pajang
sebagai anggota keluarga terakhir dinasti lama memegang pimpinan.
Berbeda dengan raja-raja di daerah yang letaknya lebih ke barat, seperti Tuban d
an Jipang, yang mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga raja Demak, Sunan Pra
pen dari Giri tidak mau mencampuri urusan politik penguasa-penguasa di pedalaman
Jawa Tengah. Sebagai wakil dinasti Demak, Ratu Kalinyamat dari Jepara yang hidu
p sezaman dengan Sunan Prapen masih tetap mempertahankan kekuasaannya atas daera
h-daerah di sepanjang pantai barat Laut Jawa sampai Banten. la juga melakukan us
aha mengusir orang-orang Portugis dari Malaka, tetapi gagal. Pada paruh kedua ab
ad ke-16, Sunan Prapen hanya memusatkan usahanya memperluas kekuasaan rohani dan
duniawinya serta hubungan-hubungan dagangnya lewat laut ke arah timur. Ekspansi
ini akan dibicarakan dalam bagian berikut.
Besar kemungkinan, bahkan di tanah pedalaman Jawa Timur, Sunan Prapen tidak bany
ak berusaha untuk berkuasa. Pada daftar tahun-tahun peristiwa Jawa (juga yang di
pakai Raffles dan Hageman) tahun 1548-1552, diberitakan adanya perjalanan raja G
iri ke Kediri (menurut Hageman bahkan merupakan suatu pendudukan Kediri). Bertur
ut-turut terjadi tahun 1551 M., Kediri dibakar; tahun 1579 M.: kemenangan terakh
ir kaum Islam; rajanya menghilang (lihat Graaf, Senapati, cat. pada hal. 61). Be
rdasarkan catatan-catatan tahun peristiwa itu orang akan menduga bahwa Kerajaan

Kediri dari tahun 1548 (waktu jatuhnya Kesultanan Demak) sampai pada akhir perem
pat ketiga abad ke-16 (1575) masih kafir . Sunan Giri pada pertengahan abad itu (wa
ktu terjadinya kericuhan di Jawa Tengah sesudah jatuhnya Kerajaan Demak) berusah
a memasukkan agama Islam ke daerah itu (atau mencegah timbulnya kembali kekafiran ?
). Karena tidak ada berita dari sumber lain, maka untuk sementara tidak mungkin
menentukan apa yang sebenarnya terjadi di Kediri (lihat juga Bab XIX-5. Pajang,
dan cat. 370). Raja-raja di wilayah lama yang dahulu termasuk daerah inti keraja
an kafir Majapahit, pada waktu jatuhnya kekuasaan maharaja Demak, tampaknya masing
-masing tetap mempertahankan kekuasaan yang sudah ada. Menurut cerita Jawa Tenga
h, pada perempat ketiga abad ke-16, raja Surabaya, yang terkemuka di antara sesa
ma raja (primus inter pares), mewakili raja-raja Jawa Timur. Dalam kedudukan itu
ia mengakui raja Pajang sebagai maharaja. Penguasa Giri/Gresik dianggap pelopor
para raja yang ikut serta mengambil keputusan politik ini.[18]
Kekuasaan di bidang rohani Sunan Prapen dari Giri, lebih-lebih waktu ia sudah la
njut usia, juga diakui oleh raja-raja di pedalaman Jawa Timur. Cerita Jawa Tenga
h tentang tahun 1581, ketika raja Pajang dilantik sebagai raja Islam utama dan s
ebagai sultan, dapat dipercaya. Upacara ini kiranya dilakukan di keraton Sunan P
rapen dari Giri yang pada waktu itu sudah tua; raja Pajang, JakaTingkir yang pad
a tahun 1549 mengalahkan Aria Jipang, rupanya juga sudah lanjut usianya. Pada pe
lantikan yang diberitakan dalam banyak naskah Jawa dan daftar tahun peristiwa it
u, hadir raja-raja dari Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madura, dan
bahkan raja-raja daerah pantai Sidayu, Lasem, Tuban, dan Pati. Boleh dianggap u
pacara ini merupakan suatu kemenangan bagi Sunan Prapen sebasai negarawan.[19] l
a boleh berharap bahwa, di bawah pimpinan rohaninya, ketertiban pemerintahan di
Jawa Timur akan tertanam teguh.
Tetapi, menurut cerita tutur Jawa Tengah, Senapati Mataram yang masih muda, yang
baru pada tahun 1584 mulai memerintah, selagi Sultan Pajang masih hidup sudah m
ulai berusaha memperbesar kekuasaannya di Jawa Tengah. Hal ini merugikan pihak y
ang berhak mewarisi. Pada tahun 1588 ia berhasil menduduki kota Kerajaan Pajang,
yang letaknya dekat dengan daerahnya. Sejak itu para panglima Mataram sering me
ngadakan ekspedisi militer dan memaksa hampir semua penguasa daerah di Jawa Teng
ah mengakui kekuasaan tertinggi Senapati Mataram. Tetapi Surabaya masih bertahun
-tahun lamanya menjadi pusat perlawanan raja-raja Jawa Timur.
Ada berita dalam babad dan buku cerita Jawa Tengah bahwa pada tahun 1589 sudah t
erjadi pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Surabaya. Pada waktu itu S
unan Giri bertindak sebagai penengah dan pendamai. Menurut cerita, pada waktu it
u (dan juga pada kesempatan-kesempatan lain) pemimpin agama itu telah memperliha
tkan kurnia Ilahinya dengan meramalkan bahwa selanjutnya keluarga raja Mataram a
kan menguasai seluruh Jawa.[20] Tetapi cerita tentang ramalan mengenai kejayaan
di masa datang Mataram berasal dari angan-angan dan khayalan para pejabat (abdi
dalem) raja Mataram pada abad ke-17 dan ke-18. Sukar dipercaya bahwa Sunan Prape
n yang sudah tua itu pada tahun 1589 sengaja mengucapkan pernyataan yang mengunt
ungkan seorang penguasa setempat yang masih muda, jauh di tanah pedalaman Jawa T
engah dan merugikan sanak saudara Sultan Pajang yang bersahabat dengan dia.
Yang sudah pasti ialah bahwa Keraton Giri sesudah tahun 1589 menjadi tempat berl
indung bagi raja-raja Jawa Tengah dan Jawa TImur, yang tanahnya diduduki oleh la
skar Mataram. Menurut sumber-sumber yang boleh dipercaya, anggota-anggota keluar
ga raja Pajang dan Tuban, dan Pangeran Mas dari Aros-Baya di Madura diizinkan be
berapa waktu tinggal di Giri.[21] Hal itu membuktikan adanya suatu sikap Giri ya
ng memihak Mataram.
Menjelang akhir hidupnya yang panjang itu, Sunan Prapen menyatakan keinginan men
ghormati kakeknya, Prabu Satmata, pendiri dinasti pemimpin-pemimpin rohani di Gi
ri. Menurut cerita setempat, ia telah memberi perintah untuk membuat cungkup di
atas makam kakeknya, konon pada tahun 1590 M. Rupanya, ia menyadari bahwa kekuas
aannya di Jawa Timur terletak di atas dasar rohani yang kukuh, yang telah dileta
kkan oleh seorang ulama, yakni kakeknya itu.
Pemimpin agama keempat di Giri ini pasti telah lanjut sekali usianya. Pada tahun
1601, pelaut Belanda, Olivier van Noort, waktu singgah di Gresik (Noort, Reis,
jil.I, hal. 141-142) mendengar bahwa raja tua itu berumur 120 tahun; istri-istri
nya yang banyak itu mempertahankan hidupnya dengan menyusuinya seperti seorang b

ayi. Berita-berita dari Cina juga mengabarkan bahwa raja tua itu lebih dari sera
tus tahun umurnya.[22] Menurut cerita Jawa setempat, ia wafat pada tahun 1605 M.
Tidak ada alasan untuk meragukan tahun kejadian ini.
XI-6.
Campur tangan pemimpin-pemimpin agama dari Giri/Gresik di daerah-daer
ah seberang lautan pada abad ke-16
Para pelaut dan para pedagang Gresik telah memperkenalkan nama Giri dalam abad k
e-16 dan ke-17 di pantai-pantai banyak pulau di bagian timur Nusantara. Sejak za
man Sunan Prapen kekuasaan para pemimpin agama dari Giri ternyata mendominasi Gr
esik. Tidak ada berita-berita dari paruh kedua abad ke-16 yang mengabarkan adany
a kekuasaan duniawi yang merdeka di kota pelabuhan itu.
Dalam kisah-kisah di Lombok, Giri mempunyai kedudukan penting. Pangeran Prapen,
anak Susuhunan Ratu di Giri, disebut dengan nama jelas. Dengan armadanya ia sing
gah lebih dulu di Pulau Sulat dan Sungian. la telah memaksa raja kafir di Teluk Lo
mbok mengakui kekuasaan Islam. Kemudian ia telah memasuki Tanah Sasak di barat d
aya. Kemudian ia berlayar ke Sumbawa dan Bima. Dalam ekspedisi yang kedua, orang
-orang Jawa Islam menduduki kota Kerajaan Lombok, Selaparang. Rencana mereka mer
ebut Bali Selatan dari sebelah timur, demi penyebaran kebudayaan dan ekonomi Jaw
a dan untuk agama Islam, rupanya terpaksa dibatalkan karena mendapat perlawanan
berat dari Dewa Agung, raja Gelgel.[23]
Mungkin raja itu adalah Dewa Agung Batu Renggong yang konon pada pertengahan aba
d ke-16 melawan usaha-usaha mengislamkan dirinya. Menurut cerita tutur Bali, ia
tidak mempunyai hubungan baik dengan penguasa-penguasa Islam di Jawa. Namun dala
m hal ini Giril Gresik tidak disebut.[24]
Menurut cerita setempat, usaha pengislaman di Makassar dilaksanakan oleh kegiata
n seseorang dari Minangkabau, yang bernama Dato ri Bandang. Dahulu ia murid pemi
mpin agama di Giri, dan menurut Babad Lombok bahkan ia masih mempunyai hubungan
kerabat dengan keluarga Giri (mungkin karena perkawinan). Jadi, pengaruh Giri ju
ga sampai di Sulawesi Selatan.[25]
Menurut cerita sejarah di Kutai, Dato ri Bandang disebut juga Tuan di Bandang da
n sama orangnya dengan yang telah giat bekerja di Makassar
berjuang juga di Kali
mantan Timur untuk penyebaran agama Islam.[26]
Di Kalimantan Selatan keluarga raja Banjarmasin telah beralih ke agama Islam ber
kat pengaruh Demak. Hal itu mungkin sudah terjadi pada paruh pertama abad ke-16
(lihat Bab II-13), pada masa sebelum kekuasaan Giri berkembang.[27]
Tetapi cerita setempat di Pasir, di Kalimantan Selatan memberitakan juga adanya
perkawinan antara pangeran-pangeran Giri dengan putri-putri setempat.[28] Karena R
aja Matan dari Sukadana, yang mulai memerintah pada tahun 1590, memakai nama Gir
i Kusuma, diduga ada pula pengaruh Giri di sana.[29]
Berita-berita yang panjang lebar dan besar jumlahnya mengenai hubungan antara Gi
ri/Gresik dan Indonesia bagian timur terdapat dalam cerita-cerita dari pulau-pul
au itu sendiri. Sebagian besar cerita itu telah dihimpun oleh Pendeta Valentijn
dalam bukunya mirip suatu ensiklopedi berjudul Oud en Nieuw Oost-Indien. Perlu d
icatat di sini orang suci Islam dan pendiri negeri (negorij) Tengah-tengah, yang m
akamnya di Kailolo sekarang masih dihormati, dipanggil Usman. Anehnya, seorang U
sman atau Ngusman juga disebut-sebut dalam Sadjarah Dalem dalam bab tentang ketu
runan orang suci di Surabaya, Sunan Ngampel Denta. Ngusman ini, anak seorang cen
dekiawan agama dari Gresik, kawin dengan anak perempuan Sunan Katib di Ngampel D
enta. la diberitakan telah menetap di Maluku (Pulo Moloko). Istrinya (mungkin ja
ndanya), sekembalinya di Jawa, diberi sebutan Nyai Gede Moloko. Memang benar bah
wa yang dimaksud dahulu dengan nama Maluku (Pulo Moloko) bukan Tengah-tengah dan
Kailolo yang lebih selatan letaknya. Ketidaktelitian ini tidak terlalu penting;
Usman dari Kailolo dan Ngusman Jawa boleh dianggap sama orangnya. Mungkin Nyai
Gede Moloko di Jawa dalam Sadjarah Dalem juga sama orangnya dengan Mahadum Ibu K
ali Tuwa, seorang wanita terkemuka yang bersama dengan Perdana Pati Tuban telah be
rlayar dari Hitu ke Jawa.[30]
Menurut cerita yang dicatat oleh Valentijn, orang-orang Hitu baru pada tahun 156
5 mengadakan perjanjian dengan Raja Giri atau Raja Bukit untuk mendapat perlindungan
terhadap orang-orang Portugis. Prajurit-prajurit Jawa selama kurang lebih 3 tah
un telah tinggal di suatu tempat yang bertahun-tahun sesudah itu masih disebut Ko
ta Jawa .[31]

Raja Ternate, Zainu I-Abidin, yang memerintah mulai tahun 1486 sampai 1500, pernah
menjadi seorang penguasa di Giri (Satmata?) ketika masih putra mahkota. Tentang
pemuda Ternate ini diceritakan bahwa ia dengan satu tetakan pedangnya membelah
kepala seorang Jawa yang mengamuk dan mau menyerang Sri Sunan Giri. Pedangnya it
u membelah sebuah batu karang, yang bertahun-tahun sesudah itu masih kelihatan b
ekasnya.
Pada abad ke-17, hubungan Giri dengan Hitu dan tempat-tempat lain di Indonesia b
agian timur sering diadakan. Pada permulaan abad itu tidak jarang orang Belanda
bercerita tentang seorang pemimpin agama yang mereka namakan Pans Islam . Dalam kar
ya raksasanya (Valentijn, Oud en Nieuw), Valentijn sering menyampaikan berita te
ntang Raja-Imam . la dapat menyebutkan nama semua desa di sekitarnya yang termasuk
daerah Giri. Tetapi dalam tinjauan ini tentang sejarah abad ke-16 tidak terungka
p sejarah kelanjutan kerajaan imam ini. Kemerdekaannya hilang disebabkan oleh sias
at politik raja-raja Mataram yang dengan kekerasan ingin memaksa semua daerah di
tanah Jawa mengakui kekuasaannya.[32]
XI-7.
Ketiga pemimpin agama dari Cirebon, Kudus, dan Giri pada abad ke-16,
diperbandingkan satu sama lain
Ketiga kerajaan terpenting yang diperintah oleh pemimpin-pemimpin agama, yang di
Jawa berdiri berdampingan dalam paruh kedua abad ke-16, yaitu Cirebon, Kudus, d
an Giri/Gresik, masing-masing mempunyai ciri khas. Dari legenda-legenda Jawa ten
tang orang-orang suci dan cerita sejarah boleh diambil kesimpulan bahwa di Cireb
on/Gunung Jati keimanan dan mistik Islam mempunyai kedudukan penting dalam masya
rakat dan juga di dalam keraton orang suci dan anak cucunya. Kekayaan dan kekuas
aan politik raja-raja Cirebon tidak pernah sangat besar.
Berbeda dengan kedua keturunan lainnya, dinasti Kudus tidak dapat memiliki daera
hnya lebih dari satu abad tanpa mengalami campur tangan maharaja-maharaja Matara
m; Kudus letaknya terlalu dekat dengan ibu kota Jawa Tengah bagian selatan. Dala
m pada itu, di kota suci tersebut umat Islam, yang taat masih menunjukkan semangat j
uangnya untuk bertempur demi agama Islam dan tekadnya untuk tetap bebas merdeka,
masih juga sesudah keturunan pahlawan perkasa yang merebut Majapahit sudah lama
tidak mempunyai kekuasaan lagi. Unsur-unsur teologi Islam, yang pada umumnya me
rupakan pokok penelitian ilmiah, tetap mendapat perhatian orang di Kudus.
Di bidang ekonomi dan politik, para sunan Giri mempunyai kedudukan yang jauh leb
ih penting dari sunan-sunan di Cirebon atau Kudus. Dengan kebijaksanaan politikn
ya, dan bila perlu dengan keberanian pejuang, ternyata selama kira-kira dua abad
, para sunan di Giri mampu mempertahankan kemerdekaan terhadap serangan raja-raj
a pedalaman Majapahit dan Mataram. Keraton di Giri sungguh besar sumbangannya un
tuk kemajuan peradaban Islam di Pesisir, yang masih tetap melanjutkan tradisi ke
budayaan kafir pra-Islam. Para pedagang dan pelaut dari Gresik telah memperkenalka
n nama pemimpin-pemimpin agama dari Giri sampai jauh di luar Jawa. Golongan elit
e di kota pelabuhan ini agaknya lebih banyak berdarah campuran dibanding dengan
golongan elite di kota-kota pelabuhan lain di Jawa; keturunan Cina mempunyai ked
udukan penting dalam sejarah Gresik. Perdagangan antarpulau, kekayaan, dan penga
ruh politik rupanya lebih diperhatikan oleh para sunan di Giri daripada hidup sa
leh secara Islam dan mempelajari ilmu agama.
Sunan Prapen dari Giri dan Sunan Gunungjati dari Cirebon hidup sezaman. Keduany
a meninggal dalam usia yang sangat lanjut. Sungguh menarik perhatian bahwa baik
legenda Jawa tentang orang-orang suci maupun cerita-cerita sejarah tidak memberi
takan adanya hubungan antara kedua Pemimpin Gunung di pantai utara Jawa itu. Perbe
daan dalam sifat kedua sunan itu yang seorang terbuka yang lain tertutup
mungkin
memang menyebabkan kurang adanya komunikasi antara mereka. Kisah-kisah pun tida
k menyebut-nyebut soal itu. (Pada tahun 1636, waktu Panembahan Kawis Guwa dari G
iri dibawa ke Mataram sebagai tawanan, di keraton Sultan Agung ia bertemu muka d
engan Panembahan Ratu dari Cirebon). Dalam hubungan ini pantas sekali diperhatik
an bahwa tempat permakaman Gunungjati dekat Cirebon berabad-abad lamanya diangga
p sebagai daerah suci, yang hanya dalam situasi tertentu boleh diinjak oleh seor
ang kafir, sekalipun pejabat tertinggi. Sebaliknya, makam sunan-sunan di Giri, m
eskipun dihias dengan kayu berukir yang mahal dan berlapis emas, tidak dianggap
terlalu suci untuk dilindungi dari kehadiran orang kafir.
Balikmaning

Daftar Isi
Terusaken
[1]
Meilink-Roelofsz, Asian Trade, berisi banyak pemberitaan tentang Gresi
k dan orang-orang Cina di sana (hlm.107-110, dan selanjutnya lihat indeksnya, di
bawah Grise ).
[2]
Piagam Jawa kuno dari Karang Bogem bertahun 1387 telah diterbitkan den
gan penjelasan dalam Pigeaud, Java (jil. I, hlm. 122; jil. II, hlm. 149; jil. II
I, hlm. 173; jil. IV, hlm. 449).
[3]
Ikhtisar singkat dari buku cerita Codex 1-Or, no. 6379 telah dimuat da
lam Pigeaud, Literature, (jil. II, hlm. 362a). Pada hlm. 3616 disebutkan adanya
serangan orang-orang dari Siyem, Kamboja, dan Sukadana, yang dapat dipatahkan o
leh seorang ajar kafir
di bidang ilmu gaib, Ajar Guntur Geni dari Tengger. Kirany
a orang ini telah diberi hadiah oleh raja Majapahit, berwujud tanah di Blambanga
n, dan juga nama Pamengger. Cerita tutur ini meletakkan hubungan antara Blambang
an, dan tanah-tanah tinggi Tengger (di atas Probolinggo), dan pertahanan terhada
p seranganserangan dari seberang laut.
[4]
Pemberitaan-pemberitaan Tome Pires mengenai Gresik dan dua penguasanya
yang perang-memerangi di kota itu terdapat dalam Pires, Suma Oriental (jil. II,
hlm. 192-195), dan telah dibicarakan dalam Meilink-Roelofsz, Asian Trade (hlm.
107-110). Nama Cucuf dapat dihubungkan dengan Yusuf, dan Zeinall dengan Zainu I Ab
iddin. Tetapi nama-nama Arab ini tidak terdapat dalam cerita-cerita tutur Jawa t
entang Gresik.
[5]
Pada akhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 musafir-musafir Belanda
pertama berkali-kali memakai nama Jaratan (atau teloran dari nama itu) sehubung
an dengan kota pelabuhan Gresik. Jaratan ini agaknya nama lama yang sudah terken
al di kalangan orang-orang Cina.
Dalam Meilink-Roelofsz, Asian Trade (hlm. 283) disebutkan nama-nama syahbandai Gr
esik dan wakil sahbandar Jaratan berdasarkan berita Belanda dari tahun 1626. Wakil
ini keturunan Cina, dan melalui perkawinan ia mempunyai hubungan keluarga denga
n pedagang Cina terkenal, Beng Kong, di Betawi. Dapat diperkirakan bahwa pembagi
an dua yang diberitakan oleh Tome Pires boleh kita hubungkan dengan pasangan Gre
sik-Jaratan dari berita-berita selanjutnya. Mungkin nama Jaratan ini berarti tem
pat permakaman. Penyelidikan setempat mengenai letak tempat itu (topografis) kir
anya akan membuat jelas persoalan ini.
Nama Tandes yang dalam kesusastraan Jawa
memang dipakai untuk menyebut Gresik, dapat dianggap sebagai istilah pengganti . Ka
ta tandes berarti: telah diakhiri dan habis sama sekali, dan pada nama Gresik te
rdapat kata resik: bersih, suci. Begitulah nama Tandes dapat dipakai untuk mengg
antikan Gresik. Pada berita-berita Belanda dari abad ke-16 dan ke-17 nama Tandes
ini, sepanjang diketahui orang, tidak disebut
[6]
Cerita tutur tentang Gresik dari Giri pada awal pada ke-19 dikumpulkan
oleh penulis-penulis bangsa Eropa. Ringkasan-ringkasan telah dibuat dalam Raffl
es, History, dan dalam Wiselius Historisch . Karangan Cornets de Groot, Grissee juga
berisi banyak hal yang perlu diketahui. Buku-buku sejarah Jawa yang membicarakan
Gresik dan Giri telah disebutkan dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 134 ds
t. dan jil. III, di bawah : Gresik , Giri dan Iskak (nama Raden Paku menurut buku cerit
a Codex LOr, no. 6379). Tahun-tahunnya telah diambil dari Codex LOr, no. 6780, s
uatu karangan Jawa dalam bentuk prosa tentang sejarah Gresik dan Giri; disusun p
ada pertengahan abad ke-19 atas perintah bupati Madura di Bangkalan.
[7]
Pinatih, asalnya dari patih, dahulu antara lain dipakai sebagai gelar
wanita berderajat tinggi yang sudah kawin; lihat Tuuk, Woordenboek, dengan judul
: patih. Apabila Samboja boleh disamakan dengan Kaboja, Cambodia, maka suami Nya
i Gede Pinatih mungkin juga seorang asing dari seberang taut, seperti juga ayah
kandung Raden Paku.
[8]
Dalam cerita tutur Jawa, Sunan Giri Gajah Kadaton adalah nama orang su
ci yang sangat menonjol karena ketakwaannya kepada Tuhan, dan karena karya-karya
tulisannya dalam bidang keagamaan (Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 242). Be
lum pasti apakah sebutan kedaton pada namanya itu membuktikan bahwa Prabu Satmata
dan ahli agama ini sama orangnya. Seperti yang sudah berkali-kali terjadi, timbu
llah kekacauan di kemudian hari dalam susunan urutan dalam keturunan orang-orang

suci ini.
[9]
Bale kambang, rumah terapung , dibicarakan dalam Pigeaud, lava, jil. IV,
hlm. 483 dan 79.
[10]
Dahulu Prabu Satmata itu nama kehormatan; menurut cerita tutur, banyak
orang penting memakai nama itu (Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 3786).
[11]
Dalam Pigeaud, Java (jil. IV, hlm. 484 dst.), dikemukakan tentang jemaa
h-jemaah keagamaan sebelum zaman Islam, yang umumnya disebut mandala, mungkin ad
a juga hubungannya dengan kelompok-kelompok dan jemaah-jemaah Islam, yang (mulai
) terbentuk pada abad ke-15 dan ke-16.
[12]
Bagaimanapun aneh kedengarannya cerita ini, sebagai inti kebenaran di d
alamnya boleh kita anggap adanya hubungan antara moyang keturunan Giri dan Blamb
angan yang kafir di ujung timur Pulau Jawa. Dalam hal Nyai Gede Pinatih dan Raden
Paku atau Iskak, maka penjelasan tentang cerita Jawa ini ada benarnya, karena me
mang ada hubungan lama dalam perdagangan antara Gresik dan kota-kota pelabuhan d
i ujung timur Pulau Jawa. Sekalipun tidak langsung ada kaitannya dengan Gresik,
cerita legenda mengenai adanya hubungan antara Blambangan dan Pesisir Timur Lau
t berikut ini perlu kita sebutkan. Dikisahkan bahwa raja Blambangan telah mencur
i keris pusaka, yang bernama Sumelang Gandring, milik raja Majapahit; barang yan
g sangat berharga ini kemudian dikembalikan lagi ke Majapahit oleh pandai besi E
mpu Supa. Pandai besi ini oleh raja (Majapahit) diberi hadiah atas jasanya yang
penting ini, yang berwujud daerah Sidayu (antara Tuban dan Gresik). Legenda-lege
nda tentang pandai besi dan keris disebut dalam Pigeaud, Literature (jil. III di
bawah Empu ).
[13]
Cerita tentang keris Giri antara lain terdapat dalam Meinsma, Babad (hl
m. 43). Hubungan antara keris, besalen pandai besi dan para orang suci dalam aga
ma Islam telah diperhatikan dalam Pigeaud, Literature, jil.I, hlm. 278. Nama Kal
a Munyeng terdapat dalam mantra Jawa Bali dalam Codex L0r, no. 3189; lihat juga
Pigeaud, Literature, III, hlm. 276a.
[14]
Cerita tutur setempat tentang Gribik kita dapati dalam Codex LOr no.203
5 (7); lihat juga Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 245a.
[15]
Lihat Bab II-12 dan cat. 45, dan juga Pigeaud, Literature, jil. III, hl
m. 382 (Sengguruh).
[16]
Nama Ki Dang Palih (artinya separuh ) bagi Kiai di Gumena mengingatkan kit
a pada pemberitaan Tome Pires mengenai kedua penguasa, yang membagi dua kekuasaa
n di Gresik. Mungkin nama Ki Dang Palih juga dapat dianggap sebagai nama yang me
ncakup kedua kiai bersama, yaitu dwiraja. Dengan demikian, maka bertambah besar
kemungkinan bahwa Gumena dan Gresik dapat dihubungkan yang satu dengan yang lain
. Dalam Verzameling van Mohammedaansche Oudeden, die gevonden worden in en om Gr
issee ( Kumpulan benda-benda kuno Islam yang ditemukan di Gresik dan sekitarnya ), s
uatu koleksi lukisan yang berasal dari L. Pfaff (Maronier, Pictures, hlm. 58, K
16 no. 1 s.d. 22), terdapat gambar-gambar masjid dan bangunan-bangunan makam, ya
ng disalin dari gambar-gambar asli Jawa dari awal abad ke-19, yang menarik untuk
dipelajari. De tempel in het dorp Goemenol ( Rumah ibadat di Desa Goemenol ) yang t
ermasuk dalam kumpulan ini (K.16, no. 18) boleh diidentifikasikan sebagai masjid
di Gumena.
[17]
Rouffaer mengira-ngirakan bahwa Sunan Giri yang ketiga gugur pada tahun
1548, pada waktu Sultan Tranggana melakukan serangan terhadap Panarukan (dengan
tidak tepat disebut Pasuruhan, dalam Pinto, Peregrinacao; lihat Rouffaer, Encycl
opaedie , hlm. 208). Tidak mustahil bahwa pemimpin rohani tersebut telah ikut sert
a dalam melakukan ekspedisi terhadap kerajaan kafir di ujung timur Pulau Jawa itu,
yang sejak dahulu kala telah mempunyai hubungan dengan pedagang-pedagang Gresik
, tetapi cerita tutur setempat tidak membenarkan perkiraan ini.
[18]
Berita tentang raja Surabaya sebagai raja yang terkemuka di antara seju
mlah besar raja-raja Jawa Timur tercantum dalam Raffles, History, jil. II hlm. 1
43. Yang disebutkan ialah: Surabaya, Gresik, Sidayu, Tuban, Pasuruan, Wirasaba,
Ponorogo, Kediri, Madiun, Blora, dan Jipang. Yang terutama mengherankan ialah pe
mberitaan bahwa raja-raja ini kiranya telah menyatakan dirinya merdeka dari raja M
adura dan mengakui penggantinya Panji Wiryakrama dari Surabaya sebagai yang terk
emuka di antara mereka. Wiryakrama ini kiranya telah bertindak sebagai wedana mere
ka, sebagai juru bicara mereka waktu menghadap raja Pajang. Seorang Panembahan Jay

alengkara dalam Sadjarah Dalem disebut sebagai raja pertama dari sederetan raja
Surabaya; ialah konon ayah Pangeran Pekik dari Surabaya, yaitu ipar Sultan Agung
dari Mataram. Terlalu sedikit keterangan yang ada pada kita untuk menetapkan ba
hwa Wiryakrama itu pendahulu (mungkin ayah?) Jayalengkara. Lihat juga Bab XII-5.
[19]
Upacara pada tahun 1581 di Giri dilukiskan dalam Serat Kandha (hlm. 512
-516) dan dalam Meinsma, Babad, hlm. 122. Dalam babad ini upacara tersebut dihu
bungkan dengan penggalian telaga, yang oleh Sunan disebut Telaga Patut. Para ab
di dari semua raja yang hadir membantu melakukan pekerjaan itu. Kerja sama ini
dan nama Patut ( rukun ) untuk telaga itu (suatu pusat) kiranya mempunyai arti simbo
lis
[20]
Cerita tentang ramalan Sunan Giri sehubungan dengan kejayaan Mataram di
masa datang muncul dalam Meinsma; Babad (hlm. 184), dan dalam Serat Kandha (hi
m. 597). Waktu pada tahun 1589 raja-raja Jawa Timur di bawah pimpinan Pangeran
Surabaya, dan Senapati Mataram berhadapan muka di medan pertempuran dekat Japan
, Sunan Giri telah menggerakkan hati mereka untuk membuka sendiri tabir rahasia
hari depan mereka dengan melakukan pilihan. Pangeran Surabaya, yang paling muda,
memilih isi di antara isi dan pembungkus , dan senapati meneri ma pembungkus . Sesudah
reka melakukan pilihan, para raja lalu mengurungkan niatnya menyelesaikan persoa
lan dengan kekuatan senjata, karena mereka masing-masing yakin, bahwa masa depan
itu ada di tangan mereka. Perdamaian tidak terganggu. Kemudian Sunan Giri menya
takan kepada seorang abdinya bahwa bungkus yang menjadi bagian Senapati Mataram
itu berarti penduduknya (wonge). Menurut Sunan Giri, maka penduduk yang tidak la
gi menghormati perintah tuan pemilik negeri (ora anurur marang kang duwe bumi) a
kan diusir (ditundung). Oleh karena itu, tindakan Senapati Mataram sungguh bijak
sana dengan mau menerima pembungkus itu. Istilah pembungkus dan isi ini boleh saja dik
aitkan dengan buah nyiur. Dalam renungan-renungan mistik Jawa pembungkus dan isi dap
at berarti lahiriah, jazadi dan batiniah, rohani . Pangeran Surabaya, yang berasal da
ri keturunan pemimpin-pemimpin rohani, dalam legenda Jawa ini secara tepat dihub
ungkan dengan isi itu, dalam arti keagamaan. Persoalan apkahperlawanan antara pemi
mpin-pemimpin rohani dan rakyat (wonge) pada satu pihak, dan kekuasaan kerajaan ra
ja-raja Mataram pada pihak lain sudah terjadi pada perempat terakhir abad ke-16,
tidak dibicarakan di sini (ingat sajalah pada kericuhan-kericuhan Kajoran di Ja
wa Tengah pada perempat abad ke-17). Bagaimanapun, penerapan klasifikasi lahiriah
-batiniah pada hubungan politik antara Mataram dan Jawa Timur merupakan hal yang
perlu diperhatikan.
[21]
Pada permulaan abad ke-17 J.P. Coen mendengar bahwa lawan-lawan raja Ma
taram, seperti raja Pajang dan raja Tuban, telah melarikan diri ke Giri (Coolhaa
s, Coen, jil. VII, hlm. 461). Dalam Graaf, Sultan Agung (hlm. 86) nama Pangeran
Mas dari Aros Baya disebutkan. Raja-raja dari Madura Barat (Aros Baya atau Aris
Baya, kemudian Bangkalan) pada abad ke-17 telah mempunyai hubungan keluarga deng
an para sunan dari Giri, menurut Sadjarah Dalem.
[22]
Raja Gresik yang sudah sangat tua dan dapat mengadakan ramalan-ramalan
itu telah disebutkan dalam Groeneveldt, Notes.
[23]
Karangan Roo de la Faille, Lombok , berisi pemberitaan-pemberitaan, yang b
ersumber pada Babad Lombok setempat. Dalam Pigeaud, Literature (jil. III, di baw
ah Lombok ), terdapat petunjuk akan naskah-naskah Jawa-Sasak, yang membicarakan per
mulaan zaman Islam di Pulau Lombok. Cerita-cerita dengan latar belakang alam mit
os, dari masa sebelum zaman Islam, mempunyai kedudukan penting dalam kesusastraa
n ini.
[24]
Bagian besar dari cerita tutur Bali yang menyangkut kejadian-kejadian p
ada abad ke-16 dan ke-17 telah diuraikan oleh Berg, Traditie; Batu Renggong seca
ra tegas dan kasar telah menolak utusan raja Mekkah yang dengan bingkisan simbol
is, berwujud gunting dan alat pencukur, ingin membuat Batu Renggong bertobat (hl
m. 140). Tidak mungkin kiranya orang Mekkah telah muncul di Bali pada pertengaha
n abad ke-16. Tetapi mungkin cerita ini ada sangkut pautnya dengan usaha Sunan G
iri untuk mendekati raja kafir itu. Ini kiranya terdapat dalam sajak Jawa-Bali, ya
ng ditulis oleh seorang pegawai Keraton Bali, dan Takmung namanya, sebagai jawab
an atas ejekan dan hinaan yang dilancarkan oleh raja-raja Pasuruan dan Mataram , ya
ng telah menyamakan Raja Baru Renggong dengan jangkrik sabungan (hlm. 141). Dise
butkannya Mataram dalam cerita tutur Bali ini mungkin menjadi jelas apabila diketa

hui bahwa cerita ini baru ditulis pada abad ke-17, waktu raja-raja Mataram di Ja
wa Tengah mencapai kejayaannya.
[25]
Dalam Graaf, Senapati, diberitakan peranan Sunan Giri dalam pengislaman
Makassar.
[26]
Cerita-cerita tutur dari Kutai yang bersifat sejarah telah dibicarakan
dalam Mees, Koetai dan Kern, Mees .
[27]
Ras, Bandjar berisi banyak keterangan mengenai hubungan antara Kalimant
an Selatan dan daerah-daerah pantai Jawa.
[28]
Cerita-cerita legenda tentang Pasir telah diberitakan dalam Veld, Ontsta
an .
[29]
Lihat Muller, Proeve .
[30]
Kramer, Mededeelingen berisi banyak hal yang menarik. Visser, Katholieke
Missie mengutip surat Franciscus Xaverius yang ditulisnya pada bulan Mei 1546, y
ang isinya menyatakan pendapat misionaris besar ini bahwa agama Islam telah dipe
rkenalkan 60 tahun sebelumnya kepada penduduk kepulauan itu oleh dua atau tiga o
rang Cacizes (boleh jadi: haji), yang datang dari Mekkah. Baik Giri maupun Gresi
k tidak disebutkannya. Istilah Cacizes untuk para ulama (clergymen) juga dipakai
dalam karangan Jacob, Treatise.
[31]
Rijali, Tanah Hitu telah dipakai oleb Valentijn, Oud en Nieuw.
[32]
Pemerintahan ekspansif, yang dijalankan oleh raja-raja Mataram pertama,
telah diuraikan dalam Grad, Senapati, dan Graaf, Sultan Agung.
Posted in Uncategorized | Leave a comment
Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai utara Jawa Timur pada Abad ke16: Tuban
Posted on January 2, 2012 by abdrrouf
Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai utara Jawa Timur pada Abad ke16: Tuban
X-1.
Berita-berita kuno tentang Tuban, sejarah dan legenda
Mengingat keadaan geografisnya, Kota Tuban ini tidak ditakdirkan menjadi kota pe
labuhan yang penting. Pada abad ke-15 dan ke-16 saja kapal-kapal dagang yang sed
ikit besar sudah terpaksa membuang sauh di laut yang cukup jauh dari kota. Tidak
diketahui apakah dahulu keadaannya lebih baik. Dapat diduga bahwa Tuban sejak z
aman dahulu menjadi kedudukan penguasa-penguasa setempat yang kuat. Berita-berit
a Portugis dan Belanda dari abad ke-16 memberi kesan bahwa mata pencaharian oran
g Tuban adalah bertani, beternak, dan menangkap ikan di laut.[1] Hasil-hasilnya
adalah beras, ternak, dendeng, ikan kering, dan ikan asin yang dapat dijual, bai
k ke daerah pedalaman maupun kepada kapal-kapal dagang yang berlabuh untuk menam
bah persediaan bahan makanannya. Lagi pula orang-orang Tuban, yang asal mulanya
mungkin nelayan, juga melakukan pembajakan dengan perahu-perahu kecil. Kapal-kap
al dagang yang berharga muatannya (rempah-rempah), yang sejak dahulu mengarungi
Laut Jawa menuju ke dan dari kota-kota dagang besar, seperti Gresik dan Surabaya
, dijadikan sasaran mereka.[2]
Sudah sejak abad ke-11 dalam berita-berita para penulis Cina Kota Tuban disebut
sebagai kota pelabuhan. Gerombolan-gerombolan Cina-Mongolia, yang pada tahun 129
2 datang menyerang Jawa Timur (suatu kejadian yang kemudian menyebabkan berdirin
ya Majapahit), konon mendarat di Tuban. Lalu dari sana pulalah mereka meninggalk
an daratan.[3] Tidak dapat diteliti lagi apakah tujuh abad yang lalu tempat ters
ebut dapat lebih mudah disinggahi kapal daripada sekarang. Sejak itu pantai Tuba
n menjadi dangkal oleh endapan lumpur. Jalan yang mudah ditempuh dengan kendaraa
n menuju ke selatan, lewat pegunungan pantai terus ke Babad di tepi Bengawan Sol
o, zaman dulu telah menjadikan Tuban pintu gerbang bagi daerah hulu sungai-sunga
i besar di Jawa Timur, seperti Bengawan Solo dan Brantas. Yang pasti ialah bahwa
kedua sungai besar ini, yang menghubungkan timur, barat, dan selatan, benar-ben
ar merupakan faktor yang sangat penting dalam sejarah politik dan peradaban di J
awa Timur dan Jawa Tengah.
Tuban juga mempunyai kedudukan penting dalam legenda sejarah Jawa Timur. Kebenar
an peristiwa-peristiwa dalam cerita boleh dikatakan meragukan, begitu pula penan
ggalannya, namun kenyataan bahwa Tuban sering disebut menunjukkan namanya sudah

lama terkenal sebagai kota penting di daerah pantai utara Jawa Timur.
Sebelumnya telah dijelaskan adanya hubungan yang, menurut legenda, telah terjali
n antara Tuban dan Jepara (cerita tentang Sandang Garba, cat. 107); juga antara
Tuban dan Jawa Barat bagian Sunda. Menurut buku cerita Jawa Tengah, Majapahit di
dirikan oleh seorang pangeran dari Sunda, yang bernama Jaka Susuruh atau Raden T
anduran. Ibu Jaka Susuruh konon kelahiran Tuban, dan kakak laki-lakinya yang ber
nama Aria Bangah (ibunya seorang wanita Islam dari Grage, yaitu Cirebon) kelak m
enjadi penguasa di Tuban. Hubungan antara Tuban dan kota kerajaan di pedalaman J
awa Timur, Majapahit (atau kota-kota kerajaan sebelumnya), memang ada dalam lege
nda ini. Hubungan itu pada abad ke-15 dan ke-16, dan bahkan sebelum itu, benar-b
enar ada; hal itu tidak perlu diragukan.[4]
Memang ada beberapa alasan untuk percaya akan adanya hubungan antara Sunda di Ja
wa Barat dan Jawa Timur, lewat laut melalui pantai utara. Pada zaman dahulu, wak
tu kerajaan-kerajaan kafir Jawa Tengah dan Jawa Timur baru saja mulai berkembang,
kebebasan bergerak golongan-golongan rakyat
baik di pedalaman, maupun di laut se
panjang Pantai Utara lebih besar daripada kemudian. Ketika itu tuan-tuan tanah t
idak mau lagi melepaskan petani-petaninya; supaya terjamin masuknya hasil panen
tahunan secara teratur.
Dalam dongeng-dongeng tentang Tuban kedudukan keturunan raja Ranggalawe penting.
Menurut buku-buku cerita, ayah Ranggalawe, Dandang Wacana, pergi ke Bali untuk
mengambil putri Bali bagi raja Majapahit, Ardi Wijaya. Putri Bali ini kelak menj
adi nenek ratu Majapahit yang kemudian terkenal dengan nama Ratu Kenya itu. Rang
galawe sendiri dan putranya, merupakan pahlawan-pahlawan kerajaan Ratu Kenya dal
am pertempuran-pertempuran melawan raja Blambangan, Menakjingga yang meminang di
a. Ranggalawe telah menjadi pahlawan dalam balada-balada yang bersifat sejarah g
adungan di Jawa Timur, yang dikarang pada abad ke-15 atau sesudahnya. Kenyataann
ya, Ranggalawe mungkin hidup sekitar tahun 1300 M., sezaman dengan dan teman sep
erjuangan sang pangeran pendiri Majapahit.[5]
X-2.
Tuban sekitar tahun 1500; sejarah dan legenda
Mengenai Kota Tuban pada permulaan abad ke-16, musafir Portugis Tome Pires menda
pat kesan bahwa kota itu tempat kedudukan raja; perdagangan dan pelayaran tidak
berperan seperti di Gresik. Keratonnya mewah, dan kotanya, meskipun tidak besar
sekali, mempunyai pertahanan yang tangguh. Keluarga rajanya, sekalipun beragama
Islam, sejak pertengahan abad ke-15 tetap mengadakan hubungan baik dengan mahara
ja Majapahit di pedalaman. Sebagian penduduk Kota Tuban pada zaman Tome Pires ma
sih kafir . Menurut musafir Portugis itu, raja Tuban pada waktu itu disebut Pate Vi
ra. la bukan seorang Islam yang taat, meskipun kakeknya sudah masuk Islam. Dari
kata Vira dikenal kata Wira, yang sering menjadi bagian dari nama Jawa. Tetapi d
apat juga Vira dihubungkan dengan Wila-Tikta. Menurut tambo-tambo Jawa Tengah da
n Jawa Timur, raja Tuban yang memerintah sekitar tahun 1500 M. itu memakai gelar
Aria Wila-Tikta.
Cerita sejarah lokal Tuban dibukukan menjadi Babad Tuban, suatu naskah yang teru
tama hanya memuat urutan nama para penguasa kota tersebut, tetapi sayang tanpa t
ahun-tahun kejadian.[6] Menurut Babad Tuban, Aria Wila-Tikta itu anak dan pengga
nti Aria Teja, yaitu seorang ulama keturunan Arab yang berhasil meyakinkan raja
Tuban, Aria Dikara, untuk masuk Islam. Kemudian ia mendapat putri Aria Dikara se
bagai istri. Nama Aria Teja dalam bahasa Arab adalah Abdurrahman. Kisah ini sesu
ai sekali dengan cerita Tome Pires yang mengatakan bahwa penguasa Tuban sekitar
tahun 1500 M. itu adalah cucu raja Islam yang pertama di tempat itu. Keduanya bo
leh dipercaya.[7] (lihat juga Bab I-1, dan cat. 4).
Nama-nama yang disebutkan dalam Babad Tuban itu ternyata gelar Adikara (Sanskert
a: adhikara) adalah gelar yang dicantumkan pada bagian akhir nama jabatan gubern
ur di daerah-daerah penting, atau pejabat-pejabat tinggi keraton. Mereka juga be
rhak memakai gelar Aria. Pada kata wilatikta darat dikenal kata Wilwatikla, terj
emahan Sanskerta untuk Majapahit.[8] Jadi, nama-nama yang dituturkan itu memperk
uat berita-berita tentang hubungan yang sudah lama ada antara Keraton Majapahit
dan keturunan para penguasa Tuban.
X-3.
Tuban dan penyebaran agama Islam di Jawa Timur; legenda dan sejarah
Dapat dimengerti bahwa kota tua di pantai utara, yang penguasanya pada pertengah
an abad ke-15 (atau sebelumnya) sudah masuk Islam, tetapi yang tetap berhubungan

baik dengan keraton kafir Majapahit, merupakan pusat penting untuk memulai usaha
penyebaran Islam di Jawa Timur. Sukar untuk dibayangkan bahwa Aria dari Tuban ya
ng beragama Islam itu, sebagai pejabat terkemuka di Keraton kafir ., di tempat ia h
arus tinggal tiap tahun untuk beberapa waktu, dapat membebaskan diri dari upacar
a-upacara non-Islam. Padahal, upacara-upacara itu merupakan bagian politik Keraj
aan Majapahit. Tetapi sanak saudara dan para pegawai Islam, pengikut Adipati Tub
an yang kaya dan berpengaruh itu, mestinya menimbulkan keheranan karena sikap me
reka terhadap kebaktian kafir . Beberapa cerita Jawa mengisahkan bahwa pada waktu M
ajapahit diserang oleh orang-orang Islam (tahun 1527, menurut dugaan orang), beb
erapa pangeran di Keraton telah masuk Islam dan tidak ikut serta dalam pertempur
an itu.[9] Berita-berita tentang anggota keluarga raja Majapahit yang sudah masu
k Islam dapat pula dihubungkan dengan hadirnya para pejabat penting yang beragam
a Islam. Selain itu, sebelumnya telah dikatakan bahwa di Majapahit sudah lama ad
a orang Islam.[10]
Menurut lagenda-lagenda tentang orang suci Islam di Jawa, anggota dinasti raja T
uban sungguh banyak sumbangannya dalam penyebaran agama Islam di Jawa Timur. Seo
rang adipati, yaitu Adipati Wilatikta (mungkin yang mendahului Pate Vira, yang d
isebut Tome Pires), telah memberikan seorang putrinya sebagai istri kedua kepada
Raden Rahmat dari Surabaya, yang kelak terkenal sebagai Sunan Katib Ngampel Den
ta. Dari perkawinan ini lahirlah orang suci yang sungguh luar biasa, yang dengan
nama Sunan Wadat (yang hidup membujang) dari Bonang, telah bermukim dan giat di
banyak tempat di daerah-daerah pesisir sebelah timur. Antara lain ia dikabarkan
lama menjadi penghulu di Masjid Suci Demak. Makamnya di Tuban menjadi tempat zi
arah.[11]
Orang suci lain, yang menurut asalnya dari keluarga raja Tuban, ialah Raden Sahi
d yang kelak akan terkenal dengan nama Sunan Kalijaga. Menurut cerita, ia anak T
umenggung Wilatikta dari Tuban. Waktu mudanya ia seorang berandal; berkat asuhan
Sunan Bonang (mungkin masih kerabat yang lebih tua, dari pihak ibunya) ia dapat
kembali ke jalan yang benar. Beberapa lama ia tinggal di Cirebon dan menjadi me
nantu Sunan Gunungjati. Kemudian ia muncul di keraton Sultan Tranggana di Demak,
dan di situ ia bertemu dengan Sunan Kudus, penghulu Masjid Keramat. Menurut cer
ita, Sunan Kalijaga itu seorang bangsawan Jawa, berasal dari kaum atasan, yang a
khirnya menjadi ketua Musyawarah Alim Ulama yang mengadakan pertemuannya di Masj
id Demak. la dimakamkan di Kadilangu, tidak jauh dari Demak.[12]
Pada abad ke-17 dan ke-18, meskipun tidak berarti lagi di bidang politik dan eko
nomi, Tuban tetap masih terkenal sebagai tempat tinggal para ulama terkemuka. Da
lam hubungan ini perlu disebut nama Haji Amad Mustakim dari Cabolek (daerah Tuba
n). Perdebatannya dengan Ketib Anom dari Kudus tentang mistik Islam menjadi poko
k pembicaraan dalam suatu tulisan Jawa yang terkenal, disebut Serat Cabolek.[13]
X-4.
Sejarah politik Kerajaan Tuban pada abad ke-16, lagenda dan sejarah
Raja bawahan Islam di Tuban, yang tetap setia kepada maharaja kafir dari Majapahit
, adalah salah seorang yang tetap bersikap netral pada waktu orang-orang alim di
bawah pimpinan tokoh yang kelak bernama Sunan Kudus menyerang kota kerajaan tua
itu. Menurut satu cerita Jawa, yang diberitakan oleh Raffles, pertempuran perta
ma terjadi dekat Tuban dan umat Islam menderita kekalahan (waktu penghulu Demak
gugur). Orang bertanya apakah orang-orang alim mungkin bermaksud menundukkan Tub
an dahulu sebelum menyerang ibu kotanya. Menurut tarikh Jawa (babad sangkala) se
perti diuraikan terdahulu (Bab II-12), pada tahun yang sama, yaitu 1527, waktu M
ajapahit direbut oleh orang-orang Islam, konon Tuban sudah diduduki pula oleh su
ltan Demak. Cerita yang dibukukan, Babad Tuban oleh laskar Demak dan runtuhnya M
ajapahit.
Babad Tuban menyebutkan bahwa sesudah Aria Wilatikta masih beberapa nama raja-r
aja lagi, yang konon keturunan Aria Dikara. Telah banyak terjadi kekacauan dan p
erkelahian di antara keluarga raja. Akhirnya seorang raja Tuban menjadi menantu
Sultan Pajang.
Adipati Tuban itu (yang dalam Babad Tuban disebut Pangeran Aria Pamalad), menuru
t cerita Jawa Tengah (Serat Kandha, hal. 528, 554, 573), telah menduduki tempat
yang penting di Pajang pada akhir pemerintahan Sultan. Bersama adipati Demak, ju
ga menantu Sultan Pajang, ia ingin mempertahankan hak atas tahta bagi putra Sult
an yang masih muda, Pangeran Benawa, terhadap serangan Senapati dari Mataram. Se

telah sultan tua meninggal, Sunan Kudus


atas ajakan raja Tuban -ingin menyelesai
kan perselisihan itu dengan memutuskan bahwa adipati Demak menggantikannya di Pa
jang, sedang Pangeran Benawa dari Pajang yang masih muda itu akan berkedudukan d
i Kerajaan Jipang yang tua itu. Akan tetapi Senapati Mataram menganggap sepi hak
-hak adipati Demak itu; dengan cepat ia dapat menguasai semua wilayah kesultanan
.
Apa pun kebenaran dalam cerita Jawa, yang dapat dipertimbangkan adalah kemungkin
an raja Tuban, karena ikatan lama dengan keluarga raja Demak, Jipang, dan Pajang
, telah berusaha untuk menentang perluasan pengaruh raja Mataram yang tidak memp
unyai hubungan sama sekali dengannya. Tetapi perlawanannya pada tahun 1587 tidak
mampu menahan tekanan Mataram yang masih muda itu.
Menurut Babad Tuban, Pangeran Aria Pamalad dari Tuban, sesudah ada pemerintahan
selingan, diganti oleh putranya, yang disebut Pangeran Dalem. Raja inilah yang m
enjadi tokoh pembangun masjid besar di Tuban dan bangunan pertahanan Guwa Babar.
[14] Mungkin bangunan pertahanan ini telah banyak berjasa dalam mematahkan seran
gan satuan-satuan tentara Mataram, yang dikirim oleh Senapati pada tahun 1598 da
n 1599. Antara dua kali serangan dari pedalaman, pada bulan Januari 1599 Tuban d
isinggahi oleh kapal-kapal Belanda di bawah komando Laksamana Muda Van Warwijek
(Tweede Schipvaert). Orang-orang Belanda terkesan sekali oleh kemegahan Keraton.
Penguasanya menamakan diri raja terbesar di Jawa.
Pada tahun 1617 raja Tuban masih berkeinginan untuk mengadakan ikatan keluarga d
engan raja terakhir dari Pajang, yaitu Pangeran Benawa II, melalui perkawinan; P
angeran Benawa II ini memberontak terhadap Sultan Agung dari Mataram (lihat Bab
XIX-8).
Akhirnya keluarga raja Tuban yang tua itu terpaksa tunduk juga pada nafsu seraka
h Sultan Agung yang terus memperluas daerahnya. Pada tahun 1619 Kota Tuban ditun
dukkan oleh orang-orang Jawa dari pedalaman. Menurat Babad Tuban, Pangeran Dalem
telah lebih dulu melarikan diri lewat laut ke Pulau Bawean di Laut Jawa. Kemudi
an ia mungkin menetap di Rajeg Wesi, di daerah Jipang (jadi tidak jauh dari temp
at asalnya, Tuban).[15] Konon ia dimakamkan di Bojonegoro, di kampung Kadipaten,
di sebelah timur kabupaten, di pusara yang bernama Buyut Dalem .
Pada abad ke-17 dan sesudahnya, yang memerintah di Tuban ialah bupati-bupati yan
g diangkat oleh raja-raja dinasti Mataram.
e-books a.mudjahid chudari
Balikmaning
Daftar Isi
Terusaken
[1]
Piagam Jawa Timur dari Karang Bogem tahun 1387 (Pigeaud, Java, jil. I,
hlm. 122; jil. III, hlm. 173, dan jil. IV, hlm. 449-454) menguraikan adanya per
kampungan di pantai utara, tempat orang memelihara ikan dalam tambak-tambak deng
an air laut, untuk pembuatan terasi. Tidak ada petunjuk-petunjuk jelas bahwa Kar
ang Bogem boleh secara langsung dihubungkan dengan Tuban. Tetapi dapat diperkira
kan bahwa Tuban dahulu terjadi dari kampung, seperti Karang Bogem itu (sekarang
agaknya tidak diketahui lagi lokasinya). Mengherankan bahwa dalam Nagara Kertaga
ma, yaitu lukisan Kerajaan Majapahit dari tahun 1365 yang penting itu, Kota Cuban
tidak disebutkan. Pada abad ke-11 Tuban pasti sudah ada.
[2]
Mengenai keadaan ekonomi dan politik di Tuban pada abad ke-15 dan ke-1
6, lihat Meilink-Roelofsz, Asian Trade (hlm. 105-107, 284-286, dan indeksnya).
[3]
Beberapa pemberitaan mengenai sejarah Tuban sebelum zaman Islam terdap
at dalam Graaf, Geschiedenis (hlm. 59 dan 63). Berita-berita kuno dari orang-ora
ng Cina tentang Tuban disebutkan dalam Krom, Hindoe.
[4]
Pigeaud, Literature (jil. II, hlm. 361), berisi ikhtisar dari buku cer
ita Codex LOr no. 6379, yang berkali-kali menyebutkan nama Tuban; lihat juga jil
. III, di bawah Tuban .
[5]
Cerita-cerita legenda dan balada-balada tentang Ranggalawe Tuban dican
tumkan dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 123 dan 125. Banyak di antara saj
ak-sajak itu telah diterbitkan dan diberi penjelasan oleh Professor Berg. Dalam
karya Brandes, Pararaton, telah tercantum dan dibicarakan ikhtisar-ikhtisar kisa
h Damarwulan dari zaman Islam muda, yang berkali-kali menyebutkan nama Tuban dan

Ranggalawe.
[6]
Lihat Tan Koen Swie, Babad. Mungkin penyusun babad tersebut menganggap
dirinya sendiri berasal dari keturunan raja-raja Tuban yang tua, yang kehilanga
n kekuasaannya waktu pasukan-pasukan Jawa Tengah pimpinan Sultan Agung -sesudah
pertempuran-pertempuran hebat
berhasil merebut kota yang sudah diperkuat itu pad
a tahun 1619. Selanjutnya Babad Tuban itu akan dipergunakan lagi sebagai sumber
sejarah. Karena berita-beritanya tentang zaman lama (sekitar tahun 1500 M.) dapa
t dipercaya, maka pemberitaannya tentang masa selanjutnya kiranya juga dapat dip
ercaya, setidak-tidaknya perlu disebutkan.
[7]
Padmasoesastra (Sadjarah Dalem) menyebutkan Aria Teja dari Tuban sebag
ai anak Abdurrahman, seorang ulama dari tanah Arab. Menurut dia, Aria Teja I ini
moyang (turunan ke-4) Aria Teja, yang menjadi ayah mertua Sunan Katib dari Ngam
pel Denta (Surabaya). Padmasoesastra menempatkan pemberitaan-pemberitaan ini pad
a paragraf yang menyangkut Nyai Gede Manila, istri kedua Sunan Ngampel yang bera
sal dari Tuban (Sadjarah Dalem, hlm. 41). Pengarang yang berasal dari Surakarta
ini menyebutkan silsilah Abdurrahman/Aria Teja I, yang diurut kembali sampai den
gan Abbas, anak Abdul Muntalip, raja Mekkah, jadi tidak sampai pada Nabi sendiri
, seperti yang diperkirakan orang. Abdurrahman, ulama keturunan Arab ini, kirany
a orang yang paling berkenan ( kawiji ) pada raja Majapahit pertama, Jaka Susuruh (y
ang menurut asalnya, seorang pangeran Sunda dari Jawa Barat). Sesudah Jaka Susur
uh menjadi raja Majapahit, rupanya ia telah merebut kembali tanah asalnya Pajaja
ran, yang terpaksa ditinggalkannya untuk mengungsi. Sesudah mendapat kemenangan,
raja itu telah memberi anak emasnya yang berketurunan Arab itu (yang agaknya te
lah berjasa kepadanya) nama Aria Teja, dan mengangkatnya sebagai penguasa di Tub
an. Cerita legenda ini ternyata sesuai dengan pemberitaan yang terdapat dalam bu
ku cerita Codex LOr, no. 6379 (Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 361b) tentang
Raja Kumara dari Majapahit (kiranya anak Susuruh). Raja Kumara telah mengusir p
amannya, Siung Wanara, dari Pajajaran ke Banten. Maka, pada waktu itu para panda
i besi Pajajaran pindah ke Majapahit.
Dalam hubungan ini baiklah disebutkan juga
suatu pemberitaan (dalam Codex NBS, no. 25-2; Pigeaud, Literature, jil. III, hl
m. 719a), tentang Empu Domas, suatu jemaah para pandai besi yang dipimpin oleh M
odin Tuban, pemimpin Islam di Tuban, dan Ki Keleng. Cerita-cerita legenda ini (d
an masih ada lagi cerita-cerita lain semacam itu dalam kesusastraan Jawa) di sin
i hanya sambil lalu saja kita sebutkan, untuk memperlihatkan betapa pentingnya k
edudukan Tuban dalam hubungannya dengan Majapahit dan Jawa Barat, menurut cerita
-cerita tutur di daerah-daerah Pesisir Timur Laut mengenai permulaan zaman Islam
. Lihat juga Bab XII-1, akhir, dan cat. 208.
[8]
Adikara dan adikarana (Sanskerta: penguasa/pemerintah) telah disebutka
n dalam Pigeaud, Java, jil. V, hlm. 107b), dan Wilwalikta, di bawah judul Wilwa , A
egle marmelos = Maja (jil. V, hlm. 306b). Jadi, nama gelar Aria Wilwatikta dapat
diartikan sebagai gelar Aria dalam Keraton Majapahit.
[9]
Jalannya peristiwa, menurut sangkaan kita, waktu kota kerajaan lama Ma
japahit diduduki oleh orang-orang alim dan raja-raja Islam, telah dibicarakan pada
Bab II-10 dan V-1.
[10]
Pada Bab I-1 telah diberitakan adanya petunjuk-petunjuk mengenai terdap
atnya orang-orang Islam dalam Kerajaan Majapahit pada zaman dahulu.
[11]
Dalam Pigeaud, Literature (jil. III di bawah Bonang dan Tuban ) telah dimuat
petunjuk-petunjuk pendek tentang lagenda-lagenda Jawa yang menonjol dan naskahnaskah Jawa yang memuatnya. Tinjauan Drewes, Struggle , dan Drewes, Admonitions ber
isi tinjauan-tinjauan menarik mengenai Sunan Bonang. Buku yang disebut terakhir
ini berisi perbaikan dan penambahan buku Schrieke, Bonang; anggapan Schrieke bah
wa Sunan Bonang adalah penulis sendiri naskah tersebut memang tidak benar.
[12]
Lagenda-Iegenda Jawa mengenai Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunun
gjati dan orang-orang suci lainnya dalam agama Islam telah dibicarakan dalam Dja
jadiningrat. Banten.
[13]
Cabolek dengan singkat sudah dibicarakan dalam Pigeaud, Literature, jil
.I, hlm. 88 dst. Nama tempat Cabolek yang mengingatkan kita akan bahasa Sunda (b
ahasa Sunda Ci-) agak berhubungan dengan lagenda-lagenda yang disebutkan pada ca
t. 163 tentang hubungan-hubungan lama antara Tuban dan Jawa Barat, dan antara Ce
rbon dan Pajajaran, lewat laut (lihat juga cat. 106). Dalam rangka ini perlu dip

erhatikan Soebardi, Cabotek.


[14]
Dalam Babad Tuban (Tan Koen Swie, Babad) masih diberitakan suatu hal ya
ng khas, yaitu mengenai kubu pertahanan yang dinamakan kumbakarna , dengan ridha Tu
han dibangun oleh Orang Suci Mohammad Asngari, dari Majagung. Sejak itu orang in
i sangat dimuliakan di Tuban.
[15]
Rajeg Wesi ialah kota tua yang disebutkan dalam Noorduyn, Solo Ferries . K
isah sejarah Jawa, karangan Padmasoesastra, Rangsang Toeban,sukar diketahui kedu
dukannya dalam sejarah Tuban.
Posted in Uncategorized | Leave a comment
Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara di Sebelah Timur Demak p
ada Abad ke-16: Jipang-Panolan
Posted on January 2, 2012 by abdrrouf
Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara di Sebelah Timur Demak p
ada Abad ke-16: Jipang-Panolan
IX-1.
Berita-berita kuno tentang daerah Rembang, legenda dan sejarah
Nama Jipang diberikan kepada daerah antara Gunung Kendeng dan pegunungan pesisir
utara, yaitu daerah hulu Sungai Lusi atau Serang, yang sekarang bermuara di Lau
t Jawa di sebelah selatan Jepara. Mungkin dahulu kala sungai ini bermuara di seb
uah selat yang dangkal, tempat Demak, Pati, dan Juwana, yang memisahkan Pulau Mu
ria dan daratan Jawa. Daerah ini sekarang terletak di kabupaten-kabupaten Blora
dan Bojonegoro, yang termasuk Karesidenan Rembang. Panolan konon nama sebagian d
ari daerah itu.
Daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan ini berperan penting dalam legenda sejarah J
awa Barat dan Jawa Timur. Dalam riwayat-riwayat diberitakan bahwa Blora ialah te
mpat tinggal seorang pandai dari zaman bahari, Arung Bondan namanya. Rupanya, ia
seorang ahli bangunan, nenek moyang patih-patih dan pejabat-pejabat raja-raja d
i zaman kuno. Menurut beberapa pembawa cerita, Mendang Kamulan, sebuah negeri as
al dalam dunia dongeng, terletak di daerah Blora ini. Bojonegoro konon tempat ti
nggal seorang putra raja, bernama Angling Darma, yang mengerti bahasa hewan. Mat
ahun ialah nama salah satu tanah mahkota (langsung dikuasai raja) Kerajaan Majapah
it pada abad ke-14, yang terletak di pedalaman Karesidenan Rembang yang sekarang
. Tetapi, menurut Dr. Noorduyn, daerah itu tidak dapat seluruhnya disamakan dan
an Kerajaan Jipang dahulu; nama kota Matahun belum dijumpai.[1]
Ibu kota daerah yang sekarang, Rembang, terletak di pantai utara, antara Juwana
dan Lasem. Lasem ialah nama salah satu tanah mahkota kerajaan kafir Majapahit pada a
bad ke-14. Ada kemungkinan bahwa Gunung Lasem, yang sekarang terletak di garis p
antai, lima abad yang lalu merupakan sebuah tanjung yang agak besar.[2] Dalam Ba
b IV-2, Juwana sudah digambarkan sebagai kota pelabuhan yang, menurut Tome Pires
, pada permulaan abad ke-16 diperebutkan oleh Gusti Pate , panglima terakhir keraja
an kafir Majapahit. Tome Pires memberitakan juga bahwa di Pati dan Juwana dibuat g
aram dalam empang-empang sepanjang pantai; garam ini merupakan barang ekspor.[3]
Diberitakan oleh musafir Portugis itu bahwa pada waktu kunjungannya, Rembang me
mpunyai galangan kapal, tempat pembuatan kapal-kapal dagang Demak.[4]
Daerah Rembang yang sekarang, yang membentang ke timur melewati Tuban, terkenal
karena mehghasilkan kayu jati. Berita Tome Pires tentang pembangunan kapal-kapal
di kota pelabuhan Rembang menguatkan dugaan bahwa sudah sejak dahulu hutan-huta
n di pedalaman mendatangkan hasil. Bahkan menurut perkiraan, sebelum zaman Islam
di sana-sini sudah ditanam kayu jati untuk menjamin persediaan kayu yang berman
faat ini.[5] Pada zaman Kompeni (VOC) dan pemerintahan Hindia Belanda, hutan-hut
an jati di Rembang mendapat perhatian sepenuhnya.
Dalam hubungan ini baiklah kita ingat akan kaum Kalang , kelompok orang-orang Jawa
, yang sekalipun beragama Islam
masih menaati kebiasaan-kebiasaan yang aneh dan
giat dalam perhutanan, khususnya di daerah Rembang. Pada abad ke-17 sudah diberi
takan bahwa kaum Kalang di daerah-daerah yang banyak hutannya di Jawa Tengah dan
Jawa Timur mempunyai pemimpin-pemimpin sendiri. Mungkin mereka sudah sejak zama
n pra-Islam mendiami hutan-hutan dan mengusahakannya. Dan mungkin juga bahwa beb
erapa dongeng, yang terdapat dalam buku-buku cerita Jawa, berdasarkan cerita mit
os mereka. Dalam kesusastraan pra-Islam hingga kini baru sedikit saja ditemukan

penggambaran yang jelas tentang kaum Kalang ini.[6]


IX-2.
Aria Panangsang dari Jipang
Mehurut tambo Jawa, seperti diuraikan sebelum ini (Bab III-2), raja Demak yang k
eempat, Susuhunan Prawata, dibunuh oleh kemenakannya, Aria Panangsang, kira-kira
pada tahun 1549. Aria Panangsang memerintah di Jipang sebagai raja bawahan. Tuj
uannya ialah membalas dendam kematian ayahnya, yang sebelumnya telah dibunuh ata
s perintah Susuhunan Prawata. Mungkin juga Aria Panangsang menganggap dirinya be
rwenang menduduki tahta Demak. Tetapi rupanya ia kemudian dikalahkan dan dibunuh
dalam pertempuran melawan laskar Jawa dari pedalaman, yaitu laskar Jaka Tingkir
, penguasa Pajang. Jaka Tingkir bertindak sebagai pembalas dendam, antara lain a
tas kematian Kiai Kalinyamat dari Jepara, ipar Susuhunan Prawata, yang telah men
emui ajalnya juga karena ulah Aria Panangsang. Akhirnya Jaka Tingkir, sebagai su
ltan Pajang, mewarisi raja-raja Demak.
Episode sejarah Jipang ini telah mendapat perhatian secukupnya dari Dr. Noorduyn
.[7] Dengan tepat dinyatakannya bahwa tidak ada alasan untuk meragukan kebenaran
tindakan kekerasan dan berakhirnya riwayat Aria Panangsang menurut cerita tutur
Jawa, seperti dilakukan Prof. Berg sebelumnya. Suatu berita dalam sebuah surat
berbahasa Belanda mungkin menyangkut pendekar Jipang yang semangat tempurnya men
yala-nyala.[8] Anehnya, masih lama juga ia hidup dalam cerita-cerita rakyat sete
mpat. Orang masih percaya bahwa ia akan hidup kembali jika potongan-potongan tub
uhnya, yang telah dipencarkan ke mana-mana pada waktu ia meninggal, dikumpulkan
dan disatukan lagi. Cerita rakyat ini mungkin semula beredar di kalangan umat Is
lam yang masih menganggap bahwa cucu raja besar Sultan Tranggana itu adalah peng
ganti tahta kerajaan di Demak yang sah.[9]
IX-3.
Penguasa-penguasa dipang dan Blora yang selanjutnya
Kekalahan dan kematian Aria Panangsang ternyata telah memaksa sanak saudaranya y
ang, tidak ikut menjadi korban, menyingkir ke Surabaya. Dalam bagian berikut ini
akan dibicarakan suatu pemberitaan yang berasal dari Palembang mengenai keturun
an Jipang.
Sesudah Jipang direbut, raja Pajang menyerahkan wilayah itu kepada salah seorang
anggota keluarganya untuk diperintah sebagai tanah/ daerah gaduhan, pinjaman . Ses
udah raja mangkat dalam usia lanjut pada tahun 1587, Jipang dijadikan tempat tin
ggal putranya, Pangeran Benawa, karena kota Kerajaan Pajang telah diduduki oleh
Senapati Mataram (lihat Bab XIX-7).
Pada dasawarsa terakhir abad ke-16 daerah Jipang juga jatuh ke bawah kekuasaan r
aja Mataram (1591). Pada tahun 1598, raja bahkan memerintahkan orang-orang dari
Pajang membangun kembali ibu kota Jipang dengan kerja rodi. Pada waktu itu Jipan
g merupakan daerah perbatasan antara daerah raja Mataram dan Surabaya.[10]
Pada abad ke-17 dan ke-18, Jipang dijadikan tempat kedudukan bupati yang mewakil
i raja-raja Kartasura dan Surakarta. Mereka menganggap dirinya keturunan Matahun
. Dari sinilah berasal para patih Surakarta yang terkenal dalam abad ke-19, yang
memakai nama Sasranagara dan Sasradiningrat.[11]
Yang masih perlu dijelaskan ialah bahwa menurut daftar tahun kejadian yang diseb
ut babad sangkala, pada tahun 1554 atau 1556 raja Pajang telah mengirim ekspedis
i bersenjata ke Blora (yang disebut pamblora). Jika diperkirakan kemenangan atas
Aria Panangsang dari Jipang terjadi pada tahun 1549, maka lima tahun kemudian d
i Blora, tidak jauh dari Jipang, masih juga terjadi pemberontakan melawan kekuas
aan maharaja baru di Pajang. Tidak ada keterangan yang dapat menunjukkan apakah
yang berkuasa di Blora adalah anggota-anggota jalur Jipang dari keturunan Demak
pula; hal ini tidak mustahil.[12]
IX-4.
Hubungan keturunan penguasa di Jipang dengan Palembang
Nama Jipang tampak dicantumkan pada plakat yang diumumkan pada tanggal 1 Septemb
er 1818 oleh komisaris Belanda Muntinghe, yang isinya menjamin bahwa bagi Palemb
ang pemerintah Hindia Belanda akan mempertahankan undang-undang, terkenal dengan
nama Piagam Pangeran Jipang (de wet, bekend onder de naam van Pejagem van dan Pan
gerang van Djiepan).[13] Dalam riwayat Palembang yang bersifat sejarah, berkalikali terdapat kata-kata yang menunjuk pada hubungan dengan Jawa, khususnya denga
n Jawa Timur. Hal itu akan diuraikan dalam Bab XVIII-3.
Suatu undang-undang yang terkenal sebagai piyagem Pangeran ing Jipang tidak dike
nal dalam kesusastraan Jawa. Yang pasti ialah bahwa di berbagai daerah Sumatera

Selatan telah dipakai buku-buku hukum Jawa yang disusun di keraton raja-raja Dem
ak.[14] Salah satu di antaranya, yang paling terkenal, dikarang oleh Senapati Ji
mbun; ini mungkin salah satu dari nama Sultan Tranggana. Besar sekali kemungkina
n kitab hukum Senapati Jimbun, atau yang lain, seperti buku Jugul Mudha, juga te
lah dipakai di keraton Aria Panangsang (masih kerabat Sultan Tranggana). Konon,
sesudah jatuhnya Kerajaan Jipang pada pertengahan abad ke-16, keturunan atau pen
gikut pangeran yang terakhir dalam pengungsian juga membawa naskah tulisan buku
hukum itu bersama dengan pusaka-pusaka lain. Mereka mengungsi ke timur, ke Surab
aya. Dengan memiliki buku yang penting itu, mereka akan dapat membuktikan hubung
an keluarga mereka dengan keturunan maharaja Demak.
e-books a.mudjahid chudari
Balikmaning
Daftar Isi
Terusaken
[1]
Dalam Pigeaud, Literature (jil. III, di bawah Blora , Boja Nagara , dan pada
narna lain yang tersebut dalam teks), telah dicantumkan keterangan-keterangan s
ingkat tentang cerita-cerita yang bersifat legenda ini, dan petunjuk tentang nas
kah-naskah Jawa yang menampilkan cerita-cerita tersebut. (Mengenai Matahun lihat
juga Pigeaud, Java, jil. V, di bawah Matahun , dan juga Noorduyn, Ferry , hlm. 480).
[2]
Dalam Pigeaud, Java, (jil. V, di bawah Lasem ), telah ditunjuk tempat-tem
pat dalam Nagara Kertagarna, tempat daerah ini disebutkan sebagai tanah raja milik
anggota keluarga raja Majapahit.
[3]
Mengenai pengusahaan garam dan perdagangan garam di Jawa pada masa seb
elum zaman Islam, terdapat pemberitaan-pemberitaan pada beberapa piagam Biluluk Ja
wa kuno, yang telah diterjemahkan dan dibicarakan dalam Pigeaud, Java (jil. V, d
i bawah Biluluk , dan dalam Indeks, hlm. 42: salt ).
[4]
Dr. Meilink Roelofsz berkali-kali menceritakan Rembang, Pati, dan Juwa
na dalam karangannya (Meilink-Roelofzs, Asian Trade) sementara ia menunjuk pada
Pires, Suma Oriental.
[5]
Mengenai pengelolaan hutan dan tentang hutan-hutan jati di Jawa pada m
asa sebelum zaman Islam, diuraikan dalam piagam Jawa Kuno Katiden (Pigeaud, Java
, jil. V, di bawah Jati dan dalam Indeks, hlm. 44: tree ).
[6]
Pigeaud, Literature (jil.III di bawah Kalang ), memuat petunjuk-petunjuk
singkat tentang naskah-naskah Jawa, tempat golongan orang-orang ini dibicarakan.
Dalam Pigeaud, Volksvertoningen (lihat indeksnya: Kalang ) dicantumkan pandangan-p
andangan sementara tentang arti mitos asal orang Kalang (asal usulnya dari anjin
g).
[7]
Mengenai Jipang, Rajeg Wesi, dan Bojonegoro telah dikumpulkan keterang
an-keterangan penting oleh Dr. Noorduyn (Noorduyn, Ferry , dan Noorduyn, Solo Ferrie
s ). Panangsang ini mungkin nama tempat, yang belum dapat dipastikan lokasinya.
[8]
Lihat Berg, Pandji-verhalen (hlm. 42). Dalam Graaf, Senapati (hlm. 42) d
ikemukakan adanya berita Belanda yang mungkin dapat dihubungkan dengan Aria Pana
ngsang dari Jipang.
[9]
Cerita tentang Aria Panangsang ini disebutkan dalam kumpulan legenda M
elayu tentang para wali di Jawa dan tempat tinggalnya (Wardi, Kumpulan).
[10]
Tahun-tahun peristiwa ini, yang disebut dalam Babad Momana dari Yogya,
telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati, hlm. 114. Lihat juga Bab XX-5 mengenai
perluasan Kerajaan Mataram pada perempat terakhir abad ke-16.
[11]
Buku Sadjarah Dalem (Padmasoesastra, Sadjarah Dalem) dalam bahasa Jawa,
yang berwujud daftar keturunan nenek moyang dan sanak saudara para raja Surakar
ta dan Yogyakarta dari abad ke-19 (baik yang bersifat legenda maupun sejarah) be
risi banyak cerita yang amat menarik, yang tentu telah dikumpulkan oleh Padmasoe
sastra dari catatan-catatan keluarga milik orang-orang terkemuka. Karena ia seor
ang pegawai, lagi pula anak emas Patih Surakarta, dia banyak menaruh perhatian p
ada keturunan Matahun. Keturunan itu dilukiskan dalam bukunya sebagai Carangan M
atahunan (Cabang Matahun, hlm. 250-261). Moyang keturunan para patih ternyata se
seorang yang bernama Bagus Sangka, cucu seorang Aria dari Dadap Tulis, yang menj
abat tumenggung carik di Keraton Kartasura. Paku Buwana I (Sunan Puger, 1703-171
9) mula-mula telah menugasi Bagus Sangka sebagai wali pengasuh (ngemong) Aria Ma

tahun, alias Tumenggung Surawijaya dari Jipang. Sesudah ia meninggal, Bagus Sang
ka diangkat sebagai penggantinya di Jipang, dengan gelar Adipati Aria Matahun. S
iapa Tumenggung Surawijaya (yang tua?) dari Jipang itu dahulu, tidak diberitakan
. Pada tahun 1678 Aria Panangsang dari Jipang, seseorang yang baru keinudian mem
akai nama yang dahulu tersohor itu, bersama pengikut-pengikutnya, dalam pengabdi
annya terhadap Sunan Mangkurat II, ikut serta dalam mengejar Trunajaya, waktu pa
ngeran Madura ini (Trunajaya), sesudah jatuhnya ibu kota Kediri, mengundurkan di
ri ke arah timur, lewat Sungai Brantas sampai ke hulu sungai. Tidak diketahui Ar
ia Panangsang termasuk keturunan mana, sebab baru muncul menjelang akhir abad ke
-17 ini (lihat Graaf, Hurdr, hlm. 250).
[12]
Raffles (Raffles, History) menyebutkan pada Chronological Table sebagai k
ejadian untuk tahun 1556 suatu Conquest of Blora Penaklukan Blora . Pemberitaan Raf
fles ini dan pemberitaan-pemberitaan lainnya yang seperti itu berdasarkan daftar
-daftar tahun Jawa. Daftar yang berbeda dari yang dipakai Raffles menyebutkan te
rjadinya pamblora itu pada tahun 1554. Yang dimaksudkan kedua pemberitaan ini past
i kejadian yang sama; dan tahun mana yang paling tepat tidak menjadi soal.
[13]
Teks plakkaat Muntinghe terdapat dalam kumpulan Hollandse Handschriften d
i KITLV (lihat Graaf, Catalogus, hlm. 6).
[14]
Naskah-naskah buku-buku hukum Jawa yang ditemukan di Lampung, disebutka
n dalam Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 207 (LOr, no. 4280) dan jil. III, hlm
. 139 b (AdKIT 1273/1a). Naskah yang disebutkan terakhir ini ditulis dengan huru
f Lampung.
Posted in Uncategorized | Leave a comment
Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Jawa Barat pada Abad ke-16: Banten
Posted on January 2, 2012 by abdrrouf
Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Jawa Barat pada Abad ke-16: Banten
VIII-1
Berita-berita kuno tentang kerajaan Sunda, Pajajaran, legenda dan sej
arah
Berdasarkan pemberitaan orang-orang Portugis yang pertama-tama datang di Jawa, d
apat diduga bahwa pada permulaan abad ke-16 orang-orang asing menganggap raja Ma
japahit dan raja Pajajaran sebagai dua penguasa atas Pulau Jawa. Ini sesuai deng
an legenda Jawa mengenai hubungan lama antara Jawa Barat dan Jawa Timur (lihat B
ab VII-1).
Menurut Tome Pires, pelabuhan kafir Sunda Kelapa, dekat muara Sungai Ciliwung itu,
tempat Jakarta sekarang, pada zamannya merupakan kota pelabuhan yang terpenting
di Jawa Barat, lebih penting dari Banten dan Cirebon. Sunda Kelapa terletak di
sebelah hilir Pakuwan, kota kerajaan raja-raja Pajajaran. Pires menamakan tempat
itu Dayo , nama yang juga diberikannya kepada ibu kota Kerajaan Majapahit (lihat B
ab II-9 dan cat. 40). Mungkin Dayo itu hanya pengucapan yang kurang sempurna bagi
kata Sunda dayeuh yang artinya ibu kota.[1]
Dengan memberikan penjelasan arti tahun kejadian yang tertera pada prasasti Sund
a kuno di Bogor, yaitu yang disebut Batu Tulis, Hoesein Djajadiningrat telah men
unjukkan adanya kemungkinan bahwa Pakuwan, kota Kerajaan Pajajaran, telah didiri
kan pada tahun 1433-1434 M. (1355 Saka). Raja Sunda, yang kekalahannya di Bubat
dilukiskan dalam balada Jawa Timur Kidung Sunda (lihat Bab VII-1), mungkin seora
ng raja Pajajaran atau setidak-tidaknya ia hidup pada zaman Kerajaan Pajajaran.
Panglima Portugis Henrique Leme pada tahun 1522 telah mengadakan perjanjian pers
ahabatan dengan raja kafir Pajajaran, yang memakai gelar Samiam (yaitu Sang Hyang, S
ang Dewa). Boleh jadi raja Sunda itu menganggap orang Portugis dapat membantunya
dalam perang melawan orang Islam, yang di Jawa Tengah telah mengambil alih keku
asaan dari tangan raja-raja kafir taklukan maharaja Majapahit. Tetapi orang-orang
Portugis tidak dapat mengambil manfaat dari perjanjiannya yang menguntungkan mer
eka itu. Baru beberapa tahun sesudah tahun 1522, kota pelabuhan Sunda Kelapa, te
mpat mereka sebenarnya dapat mendirikan pos perdagangan yang kuat untuk perdagan
gan dengan izin Sang Hyang dari Pajajaran, sudah diduduki oleh penguasa Islam da
ri Banten.[2]
VIII-2
Didirikannya landasan Islam di Banten oleh tokoh yang kemudian menjad
i Sunan Gunungjati sekitar tahun 1525
Sejak sebelum zaman Islam, di bawah kekuasaan raja-raja Sunda (dari Pajajaran, a

tau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang agak berarti. Dalam tuli
san Sunda kuno, yaitu Carita Parahyangan, disebut-sebut nama Wahanten Girang; na
ma ini dapat dihubungkan dengan Banten.[3] Pada tahun 1524 atau 1525 Nurullah da
ri Pasei, yang kelak menjadi Sunan Gunungjati, telah berlayar dari Demak ke Bant
en, untuk meletakkan dasar bagi pengembangan agama Islam dan bagi perdagangan or
ang-orang Islam. Nurullah sudah menunaikan rukun ke-5, naik haji ke Mekkah; sebe
lum ia datang di keraton raja Demak. Sebagai haji yang saleh dan sebagai musafir
yang mengenal percaturan dunia ia mendapat sambutan hangat di keraton itu. la m
endapat salah seorang saudara perempuan raja Demak sebagai istri. Dapat diduga b
ahwa ia telah berpengaruh terhadap iparnya, seorang keturunan Cina yang baru beb
erapa puluh tahun masuk Islam. Pasei, kota pelabuhan Sumatera Utara tempat asal
Nurullah, sudah lebih dari dua abad beragama Islam. Ada alasan untuk menduga bah
wa gelar sultan yang dipakai Tranggana dari Demak, dan sepak terjangnya sebagai
pelindung agama, banyak berkaitan dengan ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan a
gama Islam yang harus meliputi segala aspek hidup. Tentu hal itu sudah dipahami
benar oleh Nurullah sepulang dari Mekkah.
Menurut cerita Jawa-Banten, sesudah sampai di Banten, ia segera berhasil menying
kirkan bupati Sunda di situ untuk mengambil alih pemerintahan atas kota pelabuha
n tersebut. Dalam hal itu ia mendapat bantuan militer dari Demak. Langkah beriku
t yang dilakukan untuk mengislamkan Jawa Barat ialah menduduki kota pelabuhan Su
nda yang sudah tua, Sunda Kelapa, kira-kira tahun! 1527. Perebutan kota yang san
gat penting bagi perdagangan Kerajaan Pajajaran ini, berlangsung cukup sengit, k
arena letaknya yang tidak jauh dari kota Kerajaan Pakuwan (Bogor). Sebagai tanda
bahwa perebutan ini sungguh penting bagi agama Islam, kota itu diberi nama baru
Jayakarta atau Surakarta; jaya berarti kemenangan dan sura pahlawan. Pada abad
ke-16 dan ke-17, dan kemudian pada abad ke-20 ini, kota itu dikenal dengan nama
Jakarta, singkatan dari Jayakarta. Orang Portugis, karena tidak tahu kota itu te
lah diduduki oleh orang-orang Islam pada tahun 1527, datang untuk mendirikan per
kantoran berdasarkan perjanjian yang diadakannya pada tahun 1522 dengan Sang Hya
ng dari Pajajaran. Mereka ditolak dengan kekerasan senjata.[4]
Pada tahun 1528-1529 M, (1450 Jawa) Sultan Tranggana menghadiahkan sepucuk meria
m besar buatan Demak yang dibubuhi tahun tersebut kepada penguasa baru di Banten
sebagai tanda penghargaan atas hasil yang telah dicapai. Meriam itu mula-mula m
ungkin bernama Rara Banya; kemudian selalu disebut Ki Jimat (seolah-olah itu jim
at kerajaan). Menurut Dr. Crucq (Crucq, Kanon , hal. 359) diperkirakan meriam itu d
ibuat oleh seorang murtad bangsa Portugis, yang berasal dari Algarvia (Portugis
Selatan). la bernama Khoja Zainul-Abidin. Meriam tersebut pada paruh pertama aba
d ke-20 masih dapat dilihat di Banten, di Kampung Karang Antu.[5]
Penguasa Islam baru atas Banten dan Jakarta rupanya tidak berusaha menyerang kot
a Kerajaan Pakuwan, yang terpotong hubungannya dengan pantai oleh perluasan daer
ah yang dilakukan oleh penguasa Islam baru di Banten itu. la memperluas kekuasaa
nnya atas kota-kota pelabuhan Jawa Barat lain yang semula termasuk Kerajaan Paja
jaran. Cirebon yang mungkin sudah pada permulaan abad ke-16 menjadi kota dagang
Cina-Islam, dan termasuk daerah raja Demak (lihat Bab VII-2), kemudian diserahka
n juga ke bawah kekuasaannya. la selalu bersikap sebagai raja taklukan terhadap
raja Demak selama Sultan Tranggana masih hidup. Mungkin sekali-sekali ia tinggal
di Banten dan sekalisekali di Cirebon.
Dari uraian-uraian Portugis ternyata bahwa pada abad ke-16 perdagangan merica pe
nting di kota-kota pelabuhan Jawa Barat, mula-mula di Sunda Kelapa dan kemudian
di Banten. Walaupun orang Portugis tidak berhasil menetap di Sunda Kelapa, seper
ti yang diharapkan semula, mereka masih tetap singgah di Banten sebagai pedagang
, demi kepentingan perdagangan merica mereka. Orang-orang Cina juga mengambil ba
gian dalam perdagangan merica itu. Yang aneh ialah bahwa menurut Tome Pires pera
hu-perahu Jawa Barat kadang-kadang berlayar ke Kepulauan Maladewa (di sebelah ba
rat Pulau Sri Lanka) untuk mengambil budak belian dan perempuan yang kemudian di
jual di Jawa.[6]
Menurut beberapa cerita babad Jawa, Sunan Gunungjati itu telah menyuruh seorang
putranya tinggal di Cirebon, sebagai wakilnya. Putra ini kawin dengan seorang pu
tri Demak, anak perempuan Sultan Tranggana. la meninggal dalam usia muda, mungki
n pada tahun 1552. Kematiannya merupakan alasan bagi ayahnya untuk pindah dari B

anten ke Cirebon selama-lamanya. Pangeran Cirebon ini hanya dikenal dengan nama
anumerta Pangeran Pasareyan, sesuai dengan nama kota/desa tempat ia dimakamkan (
lihat Bab VII-3).
Putra yang kedua, Hasanuddin, telah lebih dahulu menggantikan ayahnya di Banten.
Waktu Sunan Gunungjati secara pasti menetap di Cirebon, Hasanuddin menjadi peng
uasa atas Banten dan Jakarta. Dalam riwayat Banten, sudah sejak abad ke-17 (ini
tidak benar!) ia dianggap sebagai raja pertama di Banten dan sebagai pendiri ket
urunan sultan-sultan Banten. Dia pun kawin dengan putri Demak, anak Sultan Trang
gana, pada tahun 1552.
VIII-3
Hasanuddin, penguasa Islam yang kedua atas Banten
Dapat dimengerti bahwa Hasanuddin bersikap taat terhadap ayahnya sebagai kepala
keluarga, selama ayahnya, orang suci dari Cirebon itu masih hidup. Sunan Gunungj
ati telah meninggal dunia sekitar tahun 1570. Di Cirebon ia digantikan oleh cici
t laki-lakinya, yang pada saat itu masih di bawah umur. Sesudah orang suci itu m
eninggal dalam usia yang sangat lanjut, hubungan antara kedua cabang keluarga ke
rajaan di Jawa Barat itu menjadi agak renggang.
Hasanuddin dari Banten dan istrinya dari Demak mendapat dua anak laki-laki. Yang
sulung Yusup direncanakan untuk menggantikan ayahnya di Banten, bila saatnya ti
ba. Anak yang kedua dijadikan anak angkat dan diasuh oleh bibi dari pihak ibunya
. Bibi ini, yaitu Ratu Kalinyamat dari Jepara, tidak mempunyai anak. Menurut asa
l usulnya, ia juga seorang putri Demak (lihat Bab VI-2). Sesudah Ratu Kalinyamat
meninggal, anak angkatnya (anak Hasanuddin yang kedua) menggantikan bibinya seb
agai penguasa Jepara. Dalam cerita tutur ia disebut Pangeran Jepara.
Penguasa Islam yang kedua di Banten meneruskan usaha ayahnya: meluaskan daerah a
gama Islam. Ia memulai kekuasaan raja-raja Jawa Islam dari Banten di Lampung dan
daerah-daerah sekitarnya di Sumatera Selatan, tempat bahasa Melayu Selatan meru
pakan bahasa pergaulan. Daerah-daerah taklukan raja-raja Banten ini ternyata tel
ah menjadi penghasil merica yang besar. Perdagangan merica itu membuat Banten me
njadi kota pelabuhan penting, yang disinggahi oleh kapal-kapal dagang Cina, Indi
a, dan Eropa. Zaman berpengaruhnya Banten-Jawa dalam bidang pemerintahan dan keb
udayaan di Lampung berlangsung dari pertengahan abad ke-16 sampai akhir abad ke1
8.[7]
Mungkin nama Sura-Saji diberikan kepada kota pelabuhan Banten setelah diperbesar
dan diperindah pada zaman Hasanuddin. Kota itu menjadi tempat kedudukan seorang
penguasa penting, berbeda dengan Banten Girang yang lama, yang letaknya lebih k
e arah hulu sungai. Mungkin perkawinan raja muda yang ambisius dengan seorang pu
tri Demak itu merupakan alasan untuk mengadakan pembangunan dan pemberian nama b
aru.
Menurut perkiraan, Hasanuddin meninggal pada tahun 1570, pada tahun yang sama de
ngan ayahnya. Tidak mungkin ia mencapai usia lanjut sekali waktu ia meninggal, j
menurut perkiraan
sekitar ta
ika ibunya adalah putri yang telah dinikahi ayahnya
hun 1525 atau 1526 di Keraton Demak. Penguasa Islam yang kedua di Banten ini men
galami zaman sesudah jatuhnya Kerajaan Demak, waktu iparnya Sultan Pajang, Jaka
Tingkir, berkuasa di pedalaman Jawa Tengah. Dalam cerita tutur Jawa tidak ada be
rita yang memberi petunjuk bahwa ada sengketa antara raja-raja Banten dan Pajang
. Dalam perempat ketiga abad ke-16 Kerajaan Pajajaran kafir masih menguasai sebagi
an besar daerah pedalaman Sunda di Jawa Barat, sehingga daerah-daerah raja Bante
n dan raja Pajang tidak langsung saling berbatasan.
Dalam cerita Banten, Hasanuddin terkenal dengan nama anumertanya, Pangeran Saba
Kingking (atau: Seba Kingking), sesuai dengan nama kota/desa tempat ia dimakamka
n, tidak jauh dari Banten. Makamnya telah dijadikan tempat ziarah oleh anak cucu
nya. Namun, ia tidak pernah mendapat penghormatan keagamaan seperti ayahnya, Sun
an Gunungjati.
VIII-4 Yusup, Raja Islam ketiga di Banten; direbutnya Pakuwan Pajajaran
Di Jawa Barat, runtuhnya secara pasti kerajaan kafir tua Pajajaran dan direbutnya
kota Kerajaan Pakuwan oleh pejuang-pejuang Islam demi agamanya, tidak menyebabka
n timbulnya legenda yang sangat banyak, seperti di Jawa Timur sehubungan dengan
jatuhnya Majapahit dan lenyapnya Brawijaya yang terakhir. Dari perbedaan ini ter
nyatalah bahwa bagi generasi kemudian makna Majapahit sebagai utusan peradaban z
aman pra-Islam jauh besar daripada Pajajaran. Memang begitulah kenyataannya.

Meskipun demikian, konon pada abad ke-15 kekuasaan politik Kerajaan Pajajaran di
Jawa Barat bukannya tidak penting. Raja Islam di Banten dan Jakarta
berdasarkan
pertimbangan keamanan sudah tidak senang melihat adanya Kerajaan Sunda kafir di t
anah pedalaman. Mungkin mereka merasa penyaluran hasil bumi ke kota pelabuhan, g
una usaha perdagangannya, terancam. Mungkin juga harapan untuk mendapat banyak r
ampasan perang merangsang semangat tempur mereka.
Cerita Jawa-Banten menetapkan Hasanuddin, (yang menurut cerita itu) raja Islam
yang pertama di Banten, sebagai pahlawan yang merebut. Pakuwan Pajajaran. Akan t
etapi cukup alasan pula untuk menyangkal hal tersebut. Mungkin sekali Pakuwan di
taklukkan pada tahun 1579, waktu Yusup sudah 9 tahun memegang kekuasaan di Bante
n. Dari uraian yang cukup panjang dalam Sadjarah Banten mengenai bentrokan berse
njata ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kemenangan tentara Banten telah diperm
udah oleh pengkhianatan seorang pegawai raja Pajajaran. Pengkhianat ini telah me
mbuka pintu bagi saudaranya yang memegang komando atas sebagian laskar Banten. W
aktu istana raja direbut, dinyatakan bahwa raja dengan keluarganya telah hilang.
Tambo Jawa Barat tidak memberitakan apa-apa lagi tentang mereka. Karena sederha
na, cerita ini lebih dapat dipercaya. Dari cerita itu pun ternyata bahwa di piha
k raja Banten sudah ada orang Sunda Islam yang ikut bertempur. Sesudah kota kera
jaan jatuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda mas
uk Islam; karenanya mereka diperbolehkan tetap menyandang pangkat dan gelarnya.
Menurut Sadjarah Banten, banyak penguasa, juga alim ulama, ikut dalam gerakan me
lawan Pakuwan. Pimpinan agama dipegang oleh Molana Judah (dari Jeddah, di Tanah
Arab); tentang Molana ini, tidak ada lagi yang diketahui lebih lanjut. Tetapi ny
ata bahwa raja Banten-lah yang paling berkepentingan. Sesudah kemenangan tercapa
i, ia lebih giat melakukan pembangunan di ibu kota yang baru, Banten-Surasowan (
Sura-Saji).
Molana Yusup (begitulah nama raja itu dalam cerita Banten) meninggal hanya satu
tahun setelah kemenangan tercapai, jadi dalam usia yang masih agak muda. Sesudah
meninggal, namanya tetap dikenal orang di Banten, yaitu Pangeran Pasareyan, men
gingat tempat makamnya. Pemerintahannya hanya berlangsung 10 tahun.[8]
VIII-5
Muhammad, raja Islam keempat di Banten, berdiri sendiri dan merdeka.
Perang melawan Palembang
Sesudah Molana Yusup meninggal pada tahun 1580, adiknya, Pangeran Aria Jepara (d
i Jepara ia menggantikan bibinya dan ibu angkatnya, Ratu Kalinyamat), berusaha s
upaya diakui sebagai penguasa atas Banten, karena putra Yusup almarhum masih kan
ak-kanak (lihat Bab VI-3). Pangeran Jepara sendiri bersama pasukan bersenjata pe
rgi ke Banten lewat laut. Dalam peperangan yang terjadi antara pembesar-pembesar
Jepara dan Banten, Demang Laksamana Jepara tewas. Laksamana ini mungkin sama or
angnya dengan panglima yang memimpin pertempuran melawan Malaka pada tahun 1574
yang dikirim Kalinyamat. Karena kehilangan abdinya yang terpenting, Pangeran Jep
ara memutuskan untuk mengurungkan niatnya; ia kembali ke Jepara.
Menurut Sadjarah Banten, Molana Muhammad yang masih muda itu, berkat tindakan te
gas kali (kadi, jaksa agung Islam di Banten), diakui sebagai raja oleh para pemb
esar kerajaan. Selama ia masih di bawah umur, kekuasaan pemerintahan dipegang ol
eh kadi bersama empat pembesar lain. Ditolaknya campur tangan raja Jepara (yang
dianggap sebagai orang luar), dan pengangkatan Molana Muhammad yang masih di baw
ah umur itu sebagai raja oleh para pembesar di bawah pimpinan jaksa agung Islam
pada tahun 1580, sangat besar pengaruhnya di Jawa Barat. Para penguasa setempat
di Banten dan Jakarta pada waktu itu sebagian telah berasal dari Sunda, atau mem
punyai hubungan kerabat dengan keluarga-keluarga Sunda yang mempunyai kedudukan
penting dalam Kerajaan Pajajaran. Kejadian-kejadian pada tahun 1580 di Banten di
anggap (mungkin lebih lagi pada masa berikutnya) sebagai pembebasan Jawa Barat y
ang (sebagian) bersifat Sunda dan yang belum lama berselang menganut agama Islam
dari kekuasaan raja-raja di Jawa Tengah. Sejak itu Cirebon merupakan daerah per
batasan, baik di bidang kebudayaan maupun di bidang politik.
Di Jawa Barat, Banten dan Jakarta telah menjadi pengganti kerajaan Sunda Pajajar
an. Tetapi raja-raja Banten tidak pernah merasa berhubungan erat dengan para pen
dahulu kafir mereka di Pakuwan, seperti halnya raja-raja Islam Jawa Tengah terhada
p raja-raja Brawijaya di Majapahit. Pajajaran memang tidak pernah menjadi pusat
kebudayaan seperti Majapahit (mungkin Pajajaran sendiri telah mendapat pengaruh

kuat dari kebudayaan Jawa pada abad ke-15). Di samping itu, boleh kami duga, tin
dakan keras para penyebar agama Islam di Jawa Barat (peperangan di Banten, Sunda
Kelapa, dan Pakuwan) mengakibatkan agama dan pemangkunya (para penghulu) di Ban
ten dan Sunda lebih banyak mempengaruhi jalan pemerintahan; perluasan daerah raj
a-raja Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur berjalan secara berangsur-angsur. Jak
sa tertinggi Islam di Banten ternyata sampai abad ke-19 mempunyai kedudukan pent
ing di keraton, lebih penting dari kedudukan para penghulu-kepala di keraton dae
rah-daerah kerajaan Yogya-Solo.[9]
Molana Muhammad, raja Islam keempat di Banten, mungkin karena pengaruh ajaran ka
li yang telah membantu dia naik tahta, menjadi pejuang untuk perluasan daerah Is
lam. Lagi pula, ia terpengaruh oleh raja Demak yang terakhir. Raja ini, yang tel
ah melarikan diri karena terus terdesak oleh kekuasaan Mataram, mula-mula mencar
i perlindungan pada orang-orang Portugis di Malaka dan kemudian di keraton kelua
rganya, di Banten (lihat Bab III-3). Bukankah sultan Pajang, Jaka Tingkir, yang
mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga kerajaan di Demak, waktu hidupnya ber
baik hati terhadap para kemanakannya di Demak, Jepara, Cirebon, dan Banten? Teta
pi kematiannya pada tahun 1587 telah membuka kesempatan bagi Senapati dari Matar
am untuk menyerang kota-kota pelabuhan lama yang kaya dan makmur di daerah panta
i Jawa dengan kekuatan angkatan bersenjatanya. Saat itu raja Demak yang terakhir
terpaksa melarikan diri. Dalam tambo Banten, raja Demak, yang mengungsi ini, di
panggil Pangeran Mas. la yang sedikit lebih tua dari Molana Muhammad, telah memb
ujuk saudara sepupunya yang saleh itu untuk melakukan ekspedisi bersenjata ke Pa
lembang guna memperluas daerah Islam. Pangeran Mas dari Demak berpendirian bahwa
ia masih akan dapat menuntut hak atas Kerajaan Palembang. Waktu kota dikepung,
Molana Muhammad yang masih muda itu gugur.[10] Ini terjadi pada tahun 1596. Peri
stiwa ini tercatat dalam kisah perjalanan pelayaran Belanda yang pertama ke Hind
ia Belanda.
VIII-6.
Raja-raja Banten yang kemudian; hilangnya Jakarta
Raja Islam keempat di Banten yang meninggal pada umur 25 tahun itu digantikan ol
eh seorang anak laki-laki yang baru berumur beberapa bulan, Abdul Kadir namanya.
Selama tahun-tahun terakhir abad ke-16 dan dasawarsa pertama abad ke-17, Banten
diperintah oleh anggota-anggota kerajaan yang lebih tua. Mereka bertindak sebag
ai wali untuk raja yang masih kecil itu. Pergantian-pergantian wali dan sengketa
antar pangeran tidak menguntungkan Kerajaan Banten.
Tentang zaman sejarah Jawa Barat ini, terdapat cukup banyak berita Belanda dan I
nggris. Pada waktu itu kapal-kapal Belanda dan Inggris mulai secara teratur sing
gah di Banten. Pada tahun 1619 Jakarta direbut Belanda. Kelak Batavia (Betawi) a
kan menjadi yang paling berkuasa di Jawa Barat. Keraton Banten terpaksa merelaka
n hilangnya Jakarta ini. Pada abad ke-17 orang Banten mengkhawatirkan pengaruh r
aja-raja Mataram ke arah barat, dan serangan dari Palembang. Kekuasaan Belanda d
i Jakarta /Betawi ternyata membawa keamanan dan ketertiban bagi raja-raja Banten
dan juga bagi raja-raja Cirebon pada abad ke-17 dan ke-18.
e-books a.mudjahid chudari
Balikmaning
Daftar Isi
Terusaken
[1]
Dalam Meilink-Roelofsz, Asian Trade (hlm. 113 dst.) diuraikan berita-b
erita Portugis tentang kota-kota pelabuhan Sunda pada permulaan abad ke-16.
[2]
Berita-berita Portugis dan Jawa mengenai Pajajaran telah dibicarakan d
alam Djajadiningrat, Banten, hlm. 73 dst.
[3]
Djajadiningrat, Banten (hlm. 113 dst.) berisi tinjauan panjang lebar m
engenai letak dan sejarah tertua kota-kota Banten Girang dan Banten, yang di sin
i tidak perlu diulangi.
[4]
Djajadiningrat dengan cerdik sekali berusaha menetapkan bahwa perebuta
n Kota Sunda Kelapa telah terjadi pada hari Maulud tahun 933 H. yaitu 17 Desembe
r 1526 M. (Djajadiningrat, Hari lahimja ).
[5]
Bahwa meriam-meriam mempunyai kedudukan penting dalam cerita-cerita ra
kyat tentang sejarah lama kerajaan-kerajaan Pasisir Barat telah dikemukakan di a
tas (cat. 75). Cerita-cerita yang menyerupai dongeng itu menghubung-hubungkan pe

gawai raja yang setia, seorang patih, serta istrinya, yang telah berhasil mengha
lau musuh, dengan meriam-meriam tua. Dalam cerita yang bersifat legenda mengenai
Banten dikabarkan tentang adanya serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh orang-o
rang dari Manila (Pigesud, Literature, jil. II. hlm. 361a). Tentu saja penghadia
han sebuah meriam besar oleh Sultan Tranggana kepada menantunya di Banten itu da
pat kita anggap sebagai usaha pengamanan yang lebih praktis untuk melindungi Te
luk Banten terhadap ancaman serangan Portugis. Sebelum mencapai maupun waktu men
dekati Malaka orang-orang Indonesia telah mengalami sendiri bagaimana unggulnya
senjata artileri Portugis. Kekuatan meriam-meriam Portugis ini dalam Sajarah Mel
ayu, dalam cerita tentang direbutnya Malaka oleh d Albuquerque, diceritakan panjan
g lebar. Mungkin karena itu juga maka Pati Unus dari Jepara, menurut caranya sen
diri, telah memperkuat kapalnya, yang bobot matinya diperkirakan 500 ton (berita
dari De Barros yang dikutip oleh Veth, Java jil. I, hlm. 269). Jelaslah kiranya
bahwa kapal Jawa tidak dapat menandingi kapal-kapal Portugis. Jadi, bukanlah ha
l yang mustahil kalau sebuah serangan Portugis terhadap salahsatu pelabuhan di J
awa dapat dilakukan dengan sukses. Meriam-meriam di darat mungkin akan dapat men
ggagalkan serangan dari laut walaupun orang Jawa belum dapat mengenal kata-kata
Napoleon: Un canon sur terre en vaut cent sur mei (satu meriam di darat mengimbang
i seratus di laut). Meriam Banten, Ki Amuk, yang dipasang pada bangunan pertahan
an pelabuhan di sayap kanan, diharapkan dapat dengan satu tembakan yang terarah
tepat mengirimkan kapal atau jung Portugis ke dasar laut. Rupanya, raja Demak ju
ga tidak menelantarkan pelabuhan lautnya Jepara, dengan cara melengkapi Gunung J
epara, dalam cerita babad dikenal dengan nama Danaraja, dengan meriam kaliber be
rat. Crucq dalam karangannya (Crucq, Keraton , hlm. 100) beranggapan bahwa kedua me
riam yang berasal dari Jepara, yang sekarang berada di Solo, adalah hadiah dari
Gubernemen Portugis di Malaka pada tahun 1640; meriam-meriam itu dianggapnya ide
ntik dengan meriam Kumbarawa dan Kumbarawi. Tetapi dua tahun kemudian (dalam maj
alah T.B.G. LXXX, tahun 1940, hlm. 38) ia menyinggung kembali hal tersebut dan m
engatakan bahwa kedua meriam besar tadi merupakan bagian yang terdiri atas lima
buah columbrijnen (meriam-meriam panjang) yang pada abad ke-17 terletak di bente
ng Jepara. Ia menulis kiranya mungkin, dan menurut saya kemungkinan ini sangat be
sar, bahwa barang-barang itu dibuat dengan bantuan ahli-ahli Portugis, namun mer
eka berasal dari Jawa sendiri dan bukan barang impor . Jadi, mungkin meriam itu be
rasal dari tempat pengecoran Zainu I Abidin, seorang pembelot Portugis.
Mungkin di Surabaya ada pula tempat pengecoran meriam kaliber besar; sekurang-k
urangnya pada permulaan abad ke-17 ditemukan di sana sejumlah meriam yang agak b
anyak, satu di antaranya ukuran sangat besar. Pada kunjungannya ke Surabaya peda
gang VOC Artus Gijsels melihat adanya tembok ganda (sekitar keraton dan sekitar
kota) tetapi ada pula sekitar dua puluh laras meriam ditempatkan di pasar dekat
alun-alun. Ada yang dibuat dari besi, tetapi ada juga dari perunggu dan sebuah d
i antaranya sungguh besar: noch eens sop laugh als onse hele cartouwen, dat sij s
elver gegoten hebben (dua kali sepanjang meriam kita, dan telah mereka buat sendi
ri). la juga melihat cetakan-cetakan yang tersedia untuk mengecor beberapa buah
meriam lagi (lihat juga: Graaf, Sultan Agung, hlm. 13, 14).
[6]
Meilink-Roelofsz, Asian Trade (hlm. 113 dst.) memberitakan hubungan da
gang pelabuhan-pelabuhan Jawa Barat dengan luar negeri pada abad ke-16. Maladewa
, Keling (yaitu Koromandel), Surat (yaitu Surate), Mocha dan Judah (yaitu Jeddah
) disebutkan sebagai peristirahatan dalam pelayaran dari Banten ke Mekkah, yang
dilakukan oleh utusan-utusan raja, mungkin sekitar tahun 1635, untuk mendapatkan
gelar Sultan bagi raja mereka dari Maha Syarief di kota suci (lihat Djajadining
rat, Banten, hlm. 50 dan 175).
[7]
Djajadiningrat (Djajadiningrat, Banten, hlm. 118-130) telah menyajikan
tinjauan panjang lebar tentang pemberitaan-pemberitaan lama mengenai hubungan a
ntara Banten dan Sumatera Selatan. Lihat juga Pigeaud, Literature, jil. III, di
bawah Lampung ; di situ dicantumkan naskah-naskah Jawa, yang ada hubungannya dengan
Lampung.
[8]
Djajadiningrat, Banten (hlm. 131 dst.) mencantumkan tinjauan-tinjauan
panjang lebar mengenai kronologi pemerintahan Molana Yusuf dan mengenai jatuhnya
Pakuwan Pajajaran.
[9]
Dalam Pigeaud, Literature (jil. I, hlm. 322 dst.), terdapat pemberitaa

n tentang arsip-arsip hakim tertinggi di Banten, yang masih tersimpan. Nama jaba
tan pejabat-pejabat tinggi kerohanian di Keraton Banten ini ialah Fakih Najmu d-Di
n. Pada abad ke-17 nama ini sudah dikenal (Djajadiningrat, Banten, hlm. 66 dan 1
98).
[10]
Djajadiningrat, Banten, berisi tinjauan-tinjauan panjang lebar tentang
sejarah Molana Muhammad dan gugurnya dalam penyerbuan terhadap Palembang (hlm. 3
7 dst. dan 148 dst.). Sejarah Palembang pada abad ke-16 akan dibicarakan dalam B
ab XVIII buku ini.
Posted in Uncategorized | Leave a comment

Anda mungkin juga menyukai