Anda di halaman 1dari 74

Wawancara Benedict Anderson : Tentang “Lengser  

Keprabon”
Posted: 16/08/2011 in Sejarah, Tulisan Tokoh
0
Tentang “Lengser Keprabon”

Ben Anderson

(INDONESIA-L)

(Date: Tue, 25 Nov 1997)

Ben Anderson adalah guru ilmu politik di Cornell. Kami mulai wawancara panjang ini dengan membahas keadaan
sekarang, lalu coba melihat pidato “Lengser Keprabon” itu dalam konteksnya. Menurut Pak Ben, “Kalau Suharto ngomong
secara spontan selalu yang nampak adalah kejawennya. Dari mulut dan benaknya keluar konsep-konsep yang sama sekali
tidak berhubungan dengan jaman modern. Kalau mau pakai bahasa kasar, dia itu lagi kebadaran.”

JAMAN GELISAH

T: Sejak bulan Agustus 97 lalu ada

tiga krisis di Indonesia: krisis

ekonomi, kebakaran hutan dan

kekeringan. Bagaimana Pak Ben

memahami keadaan sekarang ini?

J: Keadaan sekarang ini

menunjukkan banyak hal. Tapi buat

saya yang penting itu, ternyata

banyak orang merasa bahwa

pembangunan yang selama ini

digembar-gemborkan kepada

masyarakat itu sedang goncang. Lalu

pendapat umum — pokoknya asal

ikut pemerintah, asal tunduk atau

baik-baik saja, maka kemajuan dan

kemakmuran akan datang dengan

sendirinya — itu jadi goyah.

Malahan ternyata goncangnya bukan

hanya di Indonesia saja, tetapi juga


di banyak negara lain. Lalu

masyarakat ini semuanya

shock. Shocknya itu karena merasa

sudah enak, sudah bisa beli ini-itu,

bisa melancong kesana-kemari, eh

tahu-tahu kok semuanya macet?

Orang Indonesia, orang Thai, orang

Pilipina — khususnya orang-orang

yang berada — seperti sedang enak-

enak mimpi, eh tahu-tahu dibangunin

mimpi buruk.

Sebenarnya sudah lama ada frustrasi

dalam masyarakat Indonesia, yang

terus meningkat selama 6-7 tahun

belakangan ini. Dibuktikan dari

banyaknya pemogokan, dari

munculnya huru-hara di sana-sini.

Tapi selama ini angin seolah-olah

terus di belakang pemerintah. Maka

kejadian-kejadian itu tidak menjadi

ombak. Tapi setelah ngliat bahwa

pemerintah sekarang sudah kena

musibah — akibat kolusi, korupsi,

jatuhnya rupiah, dan macem-macem

hal lain — maka orang merasa

bahwa percik-percik yang

munculnya sendiri-sendiri itu ada

kemungkinan bisa berkembang

menjadi suatu api. Semua gejala ini

sudah nongol di media massa dan

saban hari ada berita baru tentang


peristiwa ini, tentang peristiwa itu.

Akibatnya timbul suasana seolah-

olah orang lagi menunggu gong.

T: Pak Ben membuat penelitian

tentang Jaman Revolusi 1944-46.

Pada akhir Jaman Jepang dan selama

Jaman Revolusi itu keadaan ekonomi

juga sulit luar biasa. Menurut orang

tua kami banyak orang pakai karung

goni karena nggak punya pakaian.

Jaman Jepang itu makan nasi sudah

termasuk mewah karena mayoritas

rakyat sudah makan bubur, makan

tiwul, makan gaplek, makan bekicot,

daun singkong, dsb. Ratusan

ribu romusha mati atau hilang begitu

saja. Kalau mengingat penelitian

tentang Jaman Jepang dan Jaman

Revolusi itu lalu membandingkannya

dengan keadaan sekarang, apa

catatan Pak Ben? Apa yang sama,

apa yang berbeda?

J: Jauh berbeda. Jaman Jepang itu

adalah jaman yang penuh

penderitaan yang nyata, bukan penuh

impian buruk doang. Dan

penderitaan tidak dengan sendirinya

menimbulkan kegelisahan. Kalau

orang diculik menjadi romusha, atau

sedang setengah mati karena


kelaparan, dia tak sempat menjadi

gelisah.

Kegelisahan itu timbul justru dari

suasana yang penuh ketidak-tentuan.

Yaitu ketika orang merasa bahwa

sesuatu sedang terjadi dengan cepat

sekali dengan hasil akhir yang sama

sekali tidak jelas. Jadi orang merasa

terpaksa coba-coba untuk berbuat

sesuatu supaya tidak kelewatan arus,

atau tenggelam di dalamnya.

Kegelisahan di Jaman Jepang baru

timbul pada titik terakhirnya ketika

orang-orang mulai mengerti bahwa

Jepang sedang mau kalah. Lalu apa

yang akan terjadi? Situasi seperti itu

yang mendorong para pemuda untuk

bergerak supaya ‘Indonesia

Merdeka’ cepat-cepat terjadi dari

puing-puingnya rejim Jepang. Dan

sebelum Belanda, Inggris, dan

Amerika masuk.

T: Bagaimana kalau dibandingkan

dengan kegelisahan menjelang

Peristiwa 65?

J: Saya kira agak berbeda. Karena

Peristiwa 65 itu timbul dalam

suasana ekonomi yang sudah

merosot bertahun-tahun dan


khususnya ketika uang rupiah sudah

tak ada harga lagi akibat inflasi yang

dahsyat. Pada tahun 65 itu cari orang

kaya di Indonesia itu sudah sulit.

Lagipula, konflik-konflik politik

makin lama makin tajam. Peristiwa l

Oktober 65 memang suatu shock

ketika itu terjadi. Tetapi setelah

terjadi orang siap melihatnya hanya

sebagai kulminasi dari suatu krisis

yang sudah berlangsung bertahun-

tahun. Orang kiri bisa menilai

peristiwa itu sebagai lanjutan dari

konspirasi lama yang disiapkan para

jendral dan CIA. Orang kanan bisa

menilainya sebagai bukti terakhir

dan terserem dari konspirasi lama

yang digodok PKI dan para cokin.

Bukannya impian buruk. Tidak

banyak orang ketika itu yang

perasaannya shock seperti sekarang.

Eh, sudah biasa mewah kok nggak

bisa mewah lagi? Dulu sering dapat

proyek, wah sekarang sudah nggak

gampang lagi.

KEPERCAYAAN RAKYAT

T: Rapim Golkar mencalonkan

kembali Suharto sebagai presiden.

Menyambut pencalonan kembali ini

pada tanggal 19 Oktober 97 Suharto


pidato dengan banyak kata-kata

dalam bahasa Jawa. Pidato tanpa teks

ini cukup panjang, banyak topik

yang dia bahas. Kami akan tanyakan

empat topik saja: kepercayaan

rakyat, lengser keprabon, madeg

pandito dan ‘ojo-ojo’ itu.

Di bagian pertama Suharto bilang,

“Memanjatkan puji syukur kehadirat

Tuhan Yang Maha Esa, harus mawas

diri atau ngulad sariro hangroso

wani,” dst. Lalu dia bertanya,

“Apakah benar-benar rakyat masih

mempercayai saya?” Bagaimana Pak

Ben menafsirkan bagian pertama ini?

Apa yang Suharto maksud dengan

“mengucapkan puji-syukur, mawas

diri dan kepercayaan rakyat” itu?

J: Ini semacam sopan-santun atau

basa-basi politik saja. Karena

semuanya itu cuman omongan klise

yang bisa diucapkan setiap waktu.

Kalau ingin tahu maksud Suharto

yang sebenarnya, lihat saja apa yang

terjadi dalam Peristiwa 27 Juli.

Bagaimana dia menggulingkan

Megawati dan merusak

solidaritasnya PDI. Dari peristiwa itu

jelas bahwa dia berusaha keras

supaya Mega dan massanya


dihancurkan sebelum pemilu. Jadi

mawas diri itu sama sekali ‘ora ono.’

Mengapa Suharto omong seperti ini

sekarang? Sedangkan tahun lalu,

waktu Peristiwa 27 Juli, tidak. Itu

karena dia tahu bahwa sekarang

Indonesia sedang dilanda kebakaran

hutan, kelaparan dan krisis ekonomi

yang sangat nyata. Jadi dia cukup

mengerti bahwa dia tidak bisa

omong seolah-olah semuanya

berjalan lancar. Artinya dia harus

omong seolah-olah emangnya rendah

hati, mau mawas diri, dsb.

Jadi ini cuman omongan yang

biasanya muncul dari seorang boss

yang sebenernya galak. Tapi karena

ternyata ada skandal besar di

keluarganya dan di kantornya maka

paling sedikit dia harus pura-pura

rendah hati. Walaupun maksud yang

sebenarnya adalah siapa yang berani

melawan bakal saya gebugin. Ini

cuma sandiwara. Tapi sandiwara

yang dicocokkan dengan keadaan

yang menakutkan.

T: Beberapa orang menafsirkan

“kepercayaan rakyat” yang

diomongin Suharto itu dengan cara


berpikir modern. Seperti bikin

referendum, bikin polling, dsb.

Apakah dalam alam pemikiran raja-

raja Jawa kepercayaan rakyat itu

memang penting? Apa yang

dimaksud raja dengan kepercayaan

rakyat itu?

J: Raja jaman dulu jelas tidak banyak

mikirin pendapat rakyat yang hampir

semuanya buta huruf, hidup di desa-

desa yang terisolir, dan umurnya

rata-rata tidak lebih dari 30 tahun.

Secara sadar raja Jawa tidak

memikirkan kepentingan rakyat.

Tapi kalau kita lihat kejadian-

kejadian dalam sejarah Dinasti

Mataram, jelas kepercayaan rakyat

itu penting pada saat tertentu. Bukan

kepercayaan bahwa si raja itu baik,

karena itu sangat jarang. Yang

penting itu apakah rakyat percaya

bahwa si raja itu masih punya

wahyu. Kalau rakyat merasa

wahyunya si raja sudah pindah, ya

sulit untuk ditarik kembali. Dan

kalau begitu kesetiaan rakyat bisa

lenyap dalam waktu yang singkat.

Dari keadaan demikian si calon raja

yang baru bisa mendapat sokongan

dalam banyak bentuk. Jadi


masalahnya adalah psikologi

masyarakat. Itu penting jaman dulu

dan saya kira tetap masih ada

efeknya sampai sekarang. Tapi

sampai kemana ini bakal

berpengaruh dalam bulan-bulan

mendatang, saya nggak bisa

pastikan.

LENGSER KEPRABON

T: Di bagian lanjut pidatonya

Suharto mengatakan seandainya

rakyat tidak percaya lagi maka dia,

“Akan menempatkan diri dalam

falsafah suksesi pewayangan.”

Katanya, falsafah itu adalah,

“Lengser keprabon, madeg pandito.”

Kalau raja tidak lagi memimpin

kerajaan, dia bisa menjadi pendeta.

Bagaimana memahami ‘falsafah

suksesi’ versi Suharto itu?

J: Apa memang ada satu falsafah

pewayangan? Apalagi falsafah

tentang suksesi. Jangan lupa bahwa

suksesi itu kata Barat. Saya nggak

tahu apakah ada padanannya dalam

bahasa Jawa. Tetapi kalau kita lihat

di pewayangan dan di babad-babad,

konsep suksesi sebagai suatu proses

konstitusional yang diatur oleh


hukum, itu sama sekali tidak ada.

Kalau ada raja baru nongol, itu atas

dasar hubungan darah atau dengan

kekerasan.

Menarik bahwa Suharto omong

tentang falsafah pewayangan dan

tidak bicara tentang falsafah babad-

babad. Padahal babad-babad itu

adalah sejarah yang sebenarnya dari

dinasti-dinasti Jawa sepanjang

jaman. Sebenarnya, suasana dan

moralitas yang nampak di wayang

dan di babad itu berbeda jauh. Di

dunia wayang, sampai batas tertentu,

norma-norma moralitas satria sejati

lumayan terbukti. Tetapi babad-

babad itu penuh dengan

pengkhianatan, dengan kudeta,

dengan tipu muslihat, dengan guna-

guna, dan segala macam kebusukan

dan kekejaman yang mengerikan.

Dalam babad-babad sulit dicari

tokoh seperti Arjuna atawa

Yudistira. Sedangkan dalam dunia

wayang kita tidak akan ketemu tokoh

bangsanya Ken Arok, Pakubuwono

X, dsb. Dan sepengetahuan saya,

dalam Babad Tanah Jawi tidak

pernah ada raja yang lengser


keprabon. Kalau di-lengser-

keprabon-kan itu ada, dan sering.

Lengser keprabon di dunia wayang,

misalnya Mahabharata, yang saya

ingat cuma sekali terjadi. Paling-

paling Abiyoso. Dan Eyang Abiyoso

gagal sama sekali dalam madeg

panditonya. Sebagai akibat pilih

kasih antara putra-putranya — yang

nota bene semuanya ada cacat —

pada akhirnya cucu dan cicitnya

saling membunuh secara mengerikan

dalam perang Brotoyudo. Jadi, repot

kalau Mbah Byoso yang dijadikan

tauladan.

Dan itu satu-satunya kasus. Jadi

kalau dikatakan lengser keprabon itu

adalah falsafah suksesi wayang, itu

sama sekali tidak benar! Saya juga

nggak pasti apakah klise ‘lengser

keprabon madeg pandito’ adalah

sesuatu yang betul-betul kuno atau

sesuatu yang dibikin-bikin pada

akhir jaman kolonial.

T: Apakah pemikiran Suharto ini

cocok dengan pikiran Pak Ben

tentang, “The idea of power

in Javanese culture.” Misalnya

tentang wahyu, sepi ing pamrih,

halus, dsb?

J: Pidato itu bisa diartikan sebagai


usaha seorang raja yang menghadapi

kesulitan yang berat. Lalu dia cari

jalan supaya masih tetap berkuasa.

Jaman dulu orang merasa kalau ada

gempa bumi, kalau ada letusan

gunung api, ada penyakit menular,

semuanya itu pratanda bahwa wahyu

sedang pindah. Dan pasti cukup

banyak orang masih punya perasaan

seperti itu. Karena mereka lihat

banyak peristiwa yang tidak baik

selama dua tahun belakangan ini bisa

timbul gagasan bahwa masa-jayanya

Suharto sedang berakhir. Dan

memang, banyak orang menilai

bahwa mataharinya Orde Baru

sedang terbenam. Jadi dalam hal itu

bisa cocok juga dengan the Idea

of Power in Javanese Culture.

T: Bayangan Suharto tentang

pemerintahan itu sederhana sekali.

Katanya, “Kerajaan yang dipimpin

oleh Sang Nata Batara, Sang Prabu.

Kemudian dibantu oleh Patih yang

bertindak sebagai Perdana Menteri.

Disampingnya itu ada Pandita yang

mendampingi Sang Nata dalam

rangka perjuangan spiritual.” Udah,

cuma segitu!

J: Dari ucapan Suharto kami juga


bisa lihat betapa dia tidak punya

konsep yang jelas tentang

kepresidenan. Seolah-olah

“presiden” itu suatu konsep yang

kosong atau semu. Sedangkan “raja”

bagi dia itu konsep yang cocok

dengan ide-idenya tentang

kebudayaan dan tradisi Jawa.

Kalau Suharto berpidato resmi

semua ucapannya penuh istilah dan

bahasa yang kebarat-baratan:

pembangunan yang

berkesinambungan, konstitusi,

pertumbuhan ekonomi, dsb. Itu

memang pidato-pidato yang ditulis

oleh stafnya di Sekneg. Tapi kalau

dia ngomong secara spontan cara

bicaranya berobah 100%. Ingatlah

ledakan marahnya di Pekan Baru,

wejangannya yang aneh-aneh

didepan KNPI, dimana dia

melepaskan diri dari bahasa resmi.

Kalau dia ngomong secara spontan

selalu yang nampak adalah

kejawennya. Dari mulut dan

benaknya keluar konsep-konsep

yang sama sekali tidak berhubungan

dengan jaman modern —

umpamanya pentingnya Hanacaraka.


Kalau mau pakai bahasa kasar, dia

itu lagi ‘kebadaran.’

Suharto ini orang yang complicated.

Dia seorang yang dilahirkan dan

dibesarkan dalam masa peralihan

dari dunia lama ke dunia modern itu.

Selain itu jangan lupa bahwa pada

jaman raja-raja dulu tidak ada

pemilu, tidak ada parpol, tidak ada

LSM, tidak ada pers. Jadi sikon

sekarang ini sulit dibandingkan

dengan jaman baheula.

Bagaimana memahami pidato

Suharto itu dalam konteksnya, ketika

Indonesia dilanda krisis ekonomi,

kebakaran, kekeringan dan

kelaparan? “Mau tidak mau Suharto

mengerti bahwa banyak bencana

dibawah kediktatorannya yang

sangat panjang itu. Bencana-bencana

itu dus menyangkut

kepemimpinannya baik dari sudut

kejawen maupun dari sudut

modern.”

MADEG PANDITO

T: Setelah menjelaskan falsafah

suksesi itu, Suharto menjelaskan apa

tugas seorang pandito, “Pertama,


mendekatkan diri pada Tuhan Yang

Maha Kuasa. Yang kedua, mengasuh

anak cucu dan cicit supaya menjadi

orang yang berguna bagi negara dan

bangsa. Kepada masyarakat akan

memberi saran-saran, atau ‘wur-wur

sumbur.’ Kepada penguasa, tut wuri

handayani.” Bagaimana Pak Ben

memahami tugas pandito versi

Suharto ini?

J: Ini sebenarnya agak lucu. Karena

dalam dunia wayang pandito itu kan

orang yang dihormati karena

pengalamannya dan

kewicaksanaannya. Nah, kalau

setelah lengser keprabon, si pandito

baru merasa harus mendekatkan diri

pada Tuhan Yang Maha Kuasa, yah

seolah-olah selama hidupnya dia

justeru lumayan jauh dari Tuhan.

Jadi ini seperti bau-baunya orang

menjelang mati, coba tobat dikit

dong! Apakah ini contoh yang

bagus? Lagipula, perhatikan kata-

katanya secara terperinci. Si pandito

itu ingin lebih dekat dengan sifat

Tuhan yang mana? Ee, kok Tuhan

Yang Maha Kuasa. Bukankah

sebaiknya dan malahan perlu selalu

didekatin itu Yang Maha Pengasih


dan Yang Maha Pemaaf?

Kalau yang kedua, mengasuh anak-

cucu dan cicit. Ya, itu jelas sudah

lama Suharto kerjakan dengan rajin.

Tapi kalau diasuh sampai menjadi

orang yang berguna bagi negara dan

bangsa, wah itu masih jauh. Perlu

dicatat juga pada jaman dulu konsep

‘berguna bagi bangsa’ itu nggak ada.

Ketidak-adaan ini bisa dilihat dari

memoarnya Pangeran Diponegoro

yang menulis bahwa targetnya

adalah “menaklukkan seluruh tanah

Jawa.” Bukannya berguna bagi

bangsa Jawa. Jadi pikiran

“tradisional” Suharto tentang madeg

pandito sama sekali tidak ada

hubungan dengan tradisi yang

sebenarnya. Kalau soal tut wuri

handayani, itu ajaran Ki Hajar yang

muncul pada akhir jaman kolonial.

Asalnya, filsafat birokrat priyayi

jaman Belanda, yaitu “perintah

halus.” Sama sekali tidak

berhubungan dengan dunia wayang,

apalagi dengan Babad Tanah Jawi.

Dari pikirannya tentang madeg

pandito ini bisa dilihat bahwa

Suharto punya mentalitas yang

beraneka-warna. Ada unsur mental


priyayi kecil jaman kolonial, ada

unsur dari wayang, ada unsur

Makiavelistis dari Babad Tanah

Jawi, ada sedikit ajaran Ki Hajar

Dewantoro, ada sisa nasionalisme

jaman revolusi, ada pengaruh sistim

militer yang semula diciptakan oleh

tentara Prusia, dsb. Jadi ini semacam

gado-gado. Justru karena itu,

orangnya menarik.

T: Dalam cerita wayang banyak

tokoh raja atau prabu. Misalnya ada

Sri Rama, Arjuna Sasrabahu,

Dasamuka, Subali, Yudistira,

Kresna, Baladewa, Suyudana,

Parikesit, dll. Masing-masing punya

ciri khasnya sendiri. Pak Ben pernah

bikin buku tentang tokoh-tokoh

wayang ini. Kira-kira siapa tokoh

cerita wayang yang sifatnya agak

mirip dengan Suharto?

J: Saya kira tidak ada. Karena dalam

cerita wayang saya tidak ingat ada

tokoh yang berjiwa dingin. Tapi

kalau di Babad Tanah Jawi itu

mungkin ada. Ya, bangsanya

Senopati itulah. Kalau ingin mencari

Suharto, bagusnya dicek dalam

Babad Tanah Jawi. Jangan dicari-


cari dalam dunia pewayangan.

Kita juga harus ingat juga bahwa

dunia wayang itu diselimuti dengan

suasana tertentu. Yang penting, dan

ini berulang-ulang diucapkan oleh Ki

Dalang, semua yang terjadi itu

terjadi karena pada akhirnya sudah

ditakdirkan oleh para dewa. Kalau

Kresna tidak jujur atau membohongi

Kurawa, itu tidak salah dan tidak

perlu dimaafkan atau dijelaskan

secara politik. Karena bagaimanapun

Bratayuda ditakdirkan harus terjadi.

Dan tokoh ini atau tokoh itu harus

mampus di lapangan waktu

perangnya terjadi. Suasana

kosmologis seperti itu sedikit sekali

dalam babad-babad.

T: Selama 30 tahun Suharto berkuasa

ini, keadaannya mendekati keadaan

dalam Babad Tanah Jawi atau mirip

ideal wayang?

J: Orang Jawa pada umumnya

mengira bahwa dunia wayang adalah

dunia yang realistis tentang

masyarakat Jawa di jaman “sangat

dulu.” Ada semacam kepercayaan

bahwa Pendowo itu emangnya orang


Jawa priyayi, bangsawan Jawa yang

sempurna. Orang biasa tidak sadar

bahwa Mahabharata sebenarnya

diciptakan oleh seorang penyair

Keling. Dan Arjuna versi aslinya

bermukim ditepi Kali Gangga,

bukannya di pinggir Bengawan Solo.

Selain itu “sangat dulu” berarti

Orang Jawa jelas membedakan

antara dunia wayang dan dunia

babad, yang terakhir ini malahan

“agak dekat.” Cerita wayang bukan

cerita yang diciptakan oleh si penyair

ini itu, dan bukan sesuatu yang perlu

dicek kebenarannya. Tapi Orang

Jawa mengerti bahwa babad adalah

ciptaan manusia, dan ditulis oleh si

Anu di keraton Anu. Mereka sadar

juga bahwa babad-babad itu adalah

semacam sejarah, yang nota bene

ditulis oleh Orang-orang Jawa

sendiri, bukan oleh Belanda. Justru

karena asalnya babad demikian, si

penulis tidak segan-segan

menggambarkan segala macam

kejelekan yang dilakukan oleh raja-

raja. Kecuali raja seorang itu yang

kebetulan menjadi Gustinya — tentu

saja!
OJO-OJO

T: Bagaimana memahami pemikiran

Suharto dibagian akhir pidato ini.

Dari soal suksesi mendadak dia

pindah topik, kasih petuah tentang

“ojo dumeh, ojo gumunan, ojo

kagetan” itu.

J: Mengapa dia pakai bahasa klise

itu? Saya kira pertama, karena dia

memang percaya bahwa klise itu

punya makna. Kedua, Suharto ini

orang yang biasanya tertutup. Untuk

manusia macam ini klise-klise

berguna untuk menyembunyikan

perasaannya.

Kalau Suharto omong betul-betul

spontan, seolah-olah dia nongol di

depan umum cuma pakai celana

kolor saja. Seolah-olah topeng

kepresidennya bisa tercopot. Lalu

kliatan aslinya. Dugaan saya, di balik

topeng itu dia ini mungkin orang

Jawa yang paling dingin. Dinginnya

bukan main.

T: Dingin dalam arti bagaimana?

J: Dingin dalam arti semuanya

diperhitungkan. Kalau kejam, tidak


karena marah tetapi karena pasang

strategi. Dia orang yang hati-hati,

curiga, jarang bertindak secara

spontan. Kalau dia mencoba ramah,

kita tidak merasa ada kehangatan,

malahan ngliat kiri-kanan dimana itu

batu? Jangan-jangan ada udang

dibaliknya?

T: Bagaimana Pak Ben memahami

pidato Suharto itu dalam konteksnya.

Dalam keadaan kekeringan,

kebakaran, kelaparan ini?

J: Mau tidak mau Suharto mengerti

bahwa banyak bencana dibawah

kediktatorannya yang sangat panjang

itu. Bencana-bencana itu dus

menyangkut kepemimpinannya baik

dari sudut kejawen maupun dari

sudut modern. Saya ingat pada waktu

asap kebakaran menghilangkan

matari bukan hanya di Kalimantan

dan Sumatra tapi juga sudah

menyebar di Malaysia, Muang Thai

dan Filipina, untuk pertama kali

Suharto merasa terpaksa minta maaf.

Bukan pada bangsa dewek, tetapi

hanya kepada bangsa-bangsa

tetangga.
Toh minta maaf macam ini

sebelumnya tidak pernah terjadi.

Tapi minta maaf ini artinya rada

semu. Karena dia tidak langsung

mikul tanggungjawab secara pribadi.

Kan pengrusakan di Kalimantan

akibat kerakusan Bob Hasan dkk

yang dikasih hutan begitu luas justru

karena teman main golfnya sang

presiden, dan ‘Oom’nya anak-anak.

Kita harus ingat Suharto bisa

bertahta selama 30 tahun justru

karena dia memang lihai dan pinter

main politik. Saya kira pidato ini

sekali lagi menunjukkan sifat itu. Dia

mengerti kapan dia harus seolah-olah

rendah hati dan mawas diri. Tapi itu

tidak berarti bahwa dia tidak ingin

terus pegang kekuasaan sampai

dipanggil Yang Maha Kuasanya.

REAKSI-REAKSI

T: Bagaimana memahami reaksi para

pendukungnya yang mengatakan,

“Pak Harto demokrat sejati,

negarawan, sangat konstitusional,

sangat bijaksana,” dsb?

J: Memang pendukungnya harus


omong begitu. Itu tiada berarti apa-

apa. Mereka akan bilang apa saja.

Dan tidak perlu digubris.

T: Kenapa orang-orang yang bukan

pendukungnya masih berusaha untuk

menganggap ucapan-ucapan Suharto

ini sesuatu yang serius, atau

berhubungan dengan politik modern.

Kenapa mereka nggak bilang itu

omong kosong, titik!

J: Saya kira ada dua penjelasan.

Pertama, mental kelas menengah di

Indonesia yang bagaimanapun dalam

hati kecilnya masih merasa bahwa

Suharto itu “Pak Harto.” Kalau

secara angan-angan mereka

“melawan” suatu rejim yang

dianggapnya kelewat korup dan

kejam, tapi pemimpin dari rejim itu

masih disebut “Pak Harto,” itu

menunjukkan bahwa dalam hati kecil

mereka masih merasa dekat dengan

penguasa. Siapa tahu nanti bisa

dipanggil menjadi menteri.

Saya sudah lama mengatakan kepada

anak muda kalau mau betul-betul

menjadi oposisi harus merubah

beberapa sikap mental dan kebiasaan


sehari-hari. Pertama, masalah

penyebutan terhadap Suharto. Bisa

disebut presiden Suharto karena dia

memang presiden. Bisa dikatakan

Suharto saja, karena memang itu

namanya. Bisa dikatakan mantan

Jenderal Suharto karena memang dia

mantan jenderal. Bisa juga disebut

Haji Mohammad Suharto, karena

memang pernah naik haji dengan

pesawat terbang bersama

keluarganya dan masuk TV. Tapi

kalau sebutan “Pak Harto, Mbak

Tutut, Mas Bambang,” yaitu bahasa

akrab yang semu, dan itu keluar dari

mulut seorang oposan, yah itu

menjengkelkan! Juga menunjukkan

bagaimana orang-orang ini, yang

ngaku dirinya oposan, sebenarnya

dalam banyak hal cuma seperti anak

kecil yang awe-awe dari jauh. Minta

supaya diperhatikan oleh orang

tuanya. Itu penjelasan pertama.

Kedua, karena hal yang lebih praktis.

Kalau seorang profesor atau politikus

diserbu wartawan lalu ditanya,

“Bagaimana komentar tentang apa

yang dikatakan Pak Harto?” Mereka

tidak akan berani bilang bahwa

omongan itu nonsense, atau basa-


basi kosong. Jadi yang keluar dari

bibirnya cuma yah, ‘musti

konstitutional,’ dsb itu. Jadi ini

sebagian juga akibat keadaan pers.

Selama beberapa tahun kita lihat

bahwa pers itu isinya bukan

informasi penting, tapi banyak

wawancara dan pidato. Maka itu

membosankan banget.

T: Dalam wawancara

dengan TEMPO Online (34/02, 25

Okt 97) Emha Ainun Nadjib

mengajukan interprestasi begini, “Ia

minta ijin, karena dia merasa sudah

waktunya lengser keprabon. Jadi

bukan salahnya sendiri kalau ada

orang mencalonkannya. Dia ingin

menciptakan lakon dimana seolah-

olah dia diminta oleh rakyat lewat

MPR.” Apa pendapat Pak Ben

tentang interprestasi ini?

J: Saya kira itu benar. Ingat bahwa

rakyat tidak pernah bisa bersuara

lewat MPR. Dari 1000 anggotanya

nggak ada yang tidak diangkat oleh

presiden dan bisa dicopot oleh

presiden. MPR itu bikinan Suharto.

Jadi ini MPR sandiwara. Emha

cukup mengerti itu.

Selain itu Suharto merasa bahwa


mulai tahun lalu, dengan nongolnya

Megawati, seolah-olah arwah Bung

Karno sudah kembali lagi untuk

menghadapinya. Lalu nampak

bagaimana Suharto dipukul dalam

pemilu yang belakangan ini.

Hasilnya diluar rencana dan tidak

memuaskan. Karena itu baik Hartono

maupun Harmoko dilengserken.

Boleh dikatakan hancurnya PDI

resmi di pemilu itu berarti

kebangkitan semacam golput yang

berhasil.

Jadi untuk pertama kali selama Orde

Baru skenario yang diciptakan oleh

penguasa untuk pemilu berantakan.

Di DPR sekarang cuman tinggal dua

partai saja yang berarti. Padahal itu

justru sesuatu yang mau dicegah

selama Orde Baru. DPR makin

nampak sebagai wayang-wayangan

saja. Justru karena itu, status dan

gengsinya MPR harus lebih

ditingkatkan lagi, maka itu mesti

sering-sering ditonjolkan.

PERAN GANDA

T: Pidato “lengser keprabon” ini

disiarkan seluruh jaringan TV di


Indonesia, dan bikin banyak orang

jadi bengong. Terutama anak

mudanya. Mereka kaget. Katanya

presiden, kok ngomongnya seperti

ini? Kok melihat dirinya sebagai

raja? Bagaimana Suharto bisa

menjalankan peran ganda ini?

Sebagai raja dan juga sebagai

presiden?

J: Ini bisa dibandingkan dengan

sepak terjangnya sebagian anak-anak

muda dari Indonesia, Muang Thai

atau Pilipina yang ditaroh menjadi

pelajar atau mahasiswa di Amerika.

Tipenya anak konglomerat atau

pejabat yang bodo kemudian

disekolahkan di sekolah “lunak” di

Boston dan LA. Yang paling rajin

mereka pelajari adalah harga segala

macam barang di mall, dan gosip

paling anget tentang bintang-bintang

film, bintang-bintang musik,

bintang-bintang basket ball, dsb.

Mereka rajin juga mengikuti

pertandingan football lalu bisa teriak

keras-keras, “Touchdown!” Maksud

kerajinan ini ialah supaya di mata

temen-temennya mereka bisa kliatan

paling maju, paling tahu, paling

ngetren.
Menyolok bahwa anak-anak ini

nggak ada hasrat untuk berhubungan

akrab dengan orang Amerika atau

untuk betul-betul mengerti

masyarakat Amerika yang sangat

beranekawarna. Kemodernan mereka

itu nggak dalam. Tetapi bisa dipakai

sebagai senjata terhadap orang

Indonesia lain. Mereka tidak bener-

benar masuk dunia modern di

Amerika. Mereka cuma ngambil

kulit-plastiknya untuk bisa pamer

kepada bangsa dewek. Kamu kan

belum punya ini? Kamu belum tahu

itu kan? Aduuuuh kasihaaaan. Jadi

untuk nongol di panggung saja. Nah

mentalnya presiden mungkin sedikit

mirip dengan mentalnya anak-anak

penggede yang konyol itu.

Buat Suharto dunia yang nyata

adalah dunianya di Indonesia. Ya,

dia memang bikin perjalanan jangka

10 hari ke luar negeri. Tapi saya

tidak percaya dia punya orang asing

yang betul-betul jadi temannya.

Karena seluruh mentalnya itu terarah

kedalam negeri. Dan dia tahu bahwa

untuk menguasai Indonesia dia juga

harus kliatan modern. Kalau mesti

pidato di TV, atau ketemu direktur


IMF, bossnya Caltex atau duta besar,

dia harus bisa bicara lancar soal

anggaran berimbang, defisit

anggaran berjalan, pendapatan

perkapita, pemilihan umum,

globalisasi. Mobnas termasuk. Tapi

apakah dia betul-betul yakin atas

lembaga kepresidenan diantara

sekian banyak kepresidenan di dunia

ini? Apa dia yakin betul pada UUD-

45? Saya tidak percaya itu. Mungkin

hanya sebagai senjata.

Satu contoh saja. UUD-45 dianggap

sakral, tak boleh dirobah atau

diganggu-gugat. Tapi UUD-45 ini

secara eksplisit mengatakan bahwa

daerah Indonesia adalah daerah

bekas Hindia Belanda. Kalau gitu,

pencaplokan Tim Tim jelas

melanggar UUD-45. Tapi penguasa

senyum-senyum saja, nggak peduli.

Jangan lupa bahwa Suharto adalah

seorang yang dibesarkan di desa, lalu

ikut KNIL. Tingkat pendidikannya

cuma MULO dan Muhammadiyah di

Jaman Belanda. Lalu pada tahun

1967 bisa jadi presiden. Jadi, ya

mungkin dia sendiri heran. Kok saya

bisa jadi presiden? Terus mungkin


kaget. Emangnya aneh. Berbeda

dengan sejarahnya Ken Arok. Dia itu

seorang bajingan desa yang tahu-

tahu jadi raja Singosari, suatu desa

dikaki Gunung Kawi. Lumrah, kan?

Tapi kalau si Ken Arok jadi

presiden, ya itu luar biasa.

T: Apakah pidato Suharto ini bakal

dipercaya oleh pemuda jaman

sekarang. Apa mereka bisa mengerti

maksud Suharto dan kemudian

menuruti kemauan Prabu Suharto?

J: Wah, saya nggak bisa jawab.

Karena sudah begitu lama nggak ke

Indonesia. Tapi saya kurang percaya

kalau kebanyakan anak muda bisa

dikelabuhin oleh pidato yang

beginian. Apalagi banyak anak muda

melihat sendiri apa yang terjadi

tahun lalu, dalam Peristiwa 27 Juli.

Setidaknya mereka juga ingat bahwa

selama ini Suharto tidak merasa

bertanggung-jawab secara pribadi

atas bencana-bencana besar yang

sudah terjadi.

Kalau rupiah jatuh, itu bukan salah

dia. Kalau ada kebakaran di

Kalimantan dan Sumatra, lalu jutaan


orang menderita, itu juga bukan

salah dia. Seolah-olah dia sama

sekali tidak punya salah. Saya kira

cari orang muda yang betul-betul

percaya pidato ini mungkin sulit.

Tapi saya tidak bisa buktikan itu. Ini

perlu ditanyakan kepada orang-orang

di lapangan.

Salah satu gejala menyolok dalam

berbagai krisis sekarang ini adalah

karena jenderal-jenderal itu dieem

saja. Mengapa? “Mereka nggak bisa

menemukan dalangnya, karena

dalangnya itu punya bintang lima.

Kalau mau “tembak di tempat,” ya

ayo cepat-cepat ke istana, kan? Jadi

mereka agak kesulitan.”

BIKIN DINASTI

T: Banyak orang mengamati

nepotisme dalam MPR yang baru

diangkat. Bukan hanya karena tokoh-

tokohnya itu orang-orang yang dekat

dengan Suharto. Karena selain adik-

adiknya, anak-anak dan menantu,

ada juga pengawal, ajudan, dsb.

Tetapi banyak tokoh yang juga

memakai kesempatan dekat dengan

presiden ini untuk mengangkat


istrinya atau anak-anak mereka

sendiri untuk duduk di MPR.

Misalnya Ginanjar membawa 3 adik

dan satu anaknya. Wiranto

membawa istri dan anaknya yang

baru berumur 21 tahun. Beberapa

gubernur (Sumbar, Kaltim, Sumsel,

Jambi) datang dengan istrinya.

Beberapa menteri juga datang

dengan istri mereka. Seperti Hartono,

Harmoko, Feisal Tanjung, Yogie,

Sjarifuddin Baharsyah. Menurut

Ketua Golkar, “Nggak ada

nepotisme. Mereka punya prestasi.”

Menurut Pak Ben gimana?

J: Kita harus ingat bahwa enggak ada

orang yang duduk di MPR kalau

tidak disetujui oleh Suharto. Jadi

kalau bininya Sjarifuddin Baharsyah

dicalonkan tapi Suharto bilang “no,”

ya tidak bisa naik. Begitu juga

anaknya Wiranto yang umurnya 21

tahun itu. Ini semacam sifat dari

sistim patronagenya Suharto. Karena

kamu baik, maka saya kasih tempat

untuk kamu sama anakmu dan

binimu. Dus punya anak-bini di

MPR cuman salah satu atribut bagi

orang-orang yang untuk sementara

disenangi oleh penguasa. Tapi


jangan lupa kalau mulai bikin

jengkel si penguasa, maka setiap saat

siapa saja bisa direcall. Ingat kasus

Sri Bintang, Marzuki Darusman,

Bambang WK, Aberson, dsb.

Kita bisa mengerti semuanya dari

sudut patronage. Presiden sendiri

tahu bahwa di mata banyak orang,

termasuk juga orang luar negeri,

rejimnya dianggap nepotis. Karena

Keluarga Besarnya — yang

emangnya lumayan besar — ikut-

ikutan berkuasa dan ambil untung.

Nah, mungkin dia ingin kasih lihat

seolah-olah itu hal yang normal di

Indonesia. Bukan hanya dia saja, tapi

semua orang Indonesia juga begitu.

Anak orang lain juga “punya

prestasi.” Tidak hanya Tommy yang

gede prestasinya kan.

Sebenarnya gejala ini sudah lama

dan banyak terjadi di Asia Tenggara

pada umumnya. Di Kongres Pilipina

juga banyak muncul dinasti. Kalau

suami jadi gubernur lalu istrinya

menjadi wakil di DPR, itu dianggap

lumrah. Dalam politik di Muangthai

itu bini dan anak juga masuk

DPRnya atas dasar kekuasaan lokal,

duit, senapan, dsb. Kalau gejala ini

makin meluas di Indonesia itu


mungkin berarti semacam proses

Pilipinisasi atau Thailanisasi dari

politik Indonesia dalam rangka

semangat ASEAN. Bisa saza

masuk ‘Asian Values,’ lho.

TOKOH-TOKOH

T: Beberapa tokoh dalam masyarakat

menjadi lebih keras suaranya.

Misalnya Amien Rais. Dalam diskusi

di LBH, ketika didesak Permadi

apakah dia berani mencalonkan diri

sebagai presiden, Amien bilang,

“Insya Allah saya berani karena kita

mempunyai cita-cita sama” (D&R 4

Okt). Kemudian dalam wawancara

dengan D&R Amien mengajukan

beberapa isu penting. Misalnya soal

demokrasi, kejujuran seorang

pemimpin, keberagaman masyarakat,

visi ke depan, mampu bekerjasama,

dsb. Ada tiga soal yang dianggap

paling penting oleh Amien. Soal

pengelolaan kekayaan alam, soal

pemerintahan yang bersih dan soal

kualitas sumber daya manusia.

Bagaimana Pak Ben memahami

pemikiran Amien Rais ini?

J: Saya kurang mengerti pertanyaan

ini. Karena yang Amien Rais


omongin itu boleh dikatakan klise.

Ribuan orang sudah membicarakan

itu selama puluhan tahun. Saya tidak

melihat ada apa-apa yang istimewa

atau yang baru. Omongan seperti itu

sangat umum, sangat moralistis. Ya,

baik juga. Tapi saya tidak melihat

ada apa-apa yang luarbiasa.

Kita harus bisa membedakan antara

omongan dan tindakannya. Kalau dia

bilang presiden harus dipilih, ini

omongan yang saya anggap klise.

Kalau dia bilang saya bersedia untuk

dicalonkan sebagai presiden karena

saya jelas bersih, baik, demokratis,

jujur, dsb. Itu bagus. Tetapi itu masih

omongan. Yang penting kan

tindakan? Lihat saja nanti apakah dia

akan meneruskan omongan dengan

tindakan? Insyallah.

T: Tapi pendapat Amien Rais ini

menjadi berita besar. Mengapa?

J: Kalau dengan omongan begitu saja

lalu jadi heboh di koran, itu cuman

karena pers di Indonesia begitu

dikekang. Pers haus berita tapi

banyak berita tak boleh diterbitkan.

Omongan seperti ini sama sekali


tidak akan menjadi berita di negara

yang persnya agak terbuka. Akan

dianggap, ya biasa-biasa saja.

T: Apa Pak Ben mengamati kata-

kata atau ucapan menarik dari tokoh

lain dalam lakon “Lengser

Keprabon” ini? Apa ada ide atau

ucapan yang sudah Pak Ben catat

dari Habibie, Gus Dur, Megawati,

Sarwono, Siswono, Mar’ie, Wiranto,

Agum Gumelar, Prabowo, atau yang

lainnya?

J: Sama sekali tidak ada.

JENDERAL-JENDERAL

T: Salah satu hal yang kami amati

selama berbagai krisis terjadi adalah

hampir tidak terdengar suara jenderal

yang biasanya galak. Tidak ada

jenderal yang ngomong keras atau

membuat analisa tajam tentang

kebakaran hutan, kekeringan atau

krisis ekonomi. Biasanya kalau ada

apa-apa jenderal-jenderal lalu

mencari, “Siapa di belakangnya?!”

Atau mereka ngumpulin wartawan

lalu membanggakan analisanya yang

sudah berhasil, “Menemukan


dalangnya.” Atau ada jenderal yang

akan mengeluarkan perintah yang

lebih buas lagi, “Tembak ditempat!”

Sekarang mereka dieeem saja.

Mengapa?

J: Mereka nggak bisa menemukan

dalangnya, karena dalangnya itu

punya bintang lima. Kalau mau

“tembak di tempat,” ya ayo cepat-

cepat ke istana, kan? Jadi mereka

agak kesulitan. Apalagi ini masalah

yang luar biasa besarnya. Kebakaran

hutan, krisis ekonomi, dan

kekeringan ini bukan masalah 30

anak muda bikin demonstrasi di

Surabaya. Bukan beberapa orang

Dayak ngamuk di Pontianak. Ini

masalah yang para jenderal sendiri

tidak bisa bereskan. Mereka tidak

bisa mengatasi kebakaran hutan.

Mereka tidak mengerti seluk

beluknya krisis ekonomi. Jadi yang

paling aman mereka tutup mulut

saja. Apalagi mereka pasti sedang

nunggu-nunggu, apa yang akan

terjadi dalam situasi krisis ini? Kalau

sekarang salah langkah bisa-bisa

mencilakakan karir selanjutnya.

T: Diemnya itu karena memang


nggak ngerti masalah atau untuk

menyelamatkan diri?

J: Ya mereka mau cari aman. Karena

keadaan sekarang ini sama sekali

tidak bisa disalahkan kepada PRD,

“es-krim” kiri-kanan, dsb. Masak

PRD bisa bikin kebakaran di

Kalimantan? Yang bener aja. Atau

masa ‘bahaya laten’ bisa borong

bermilyar-milyar dolar, bikin krisis

ekonomi? Tidak masuk akal kan?

T: Dalam wawancara

dengan D&R (27 Sept) Arief

Budiman mengatakan, “Kalau bicara

tentang ABRI, kita bicara ABRI

sebagai siapa dulu. Kalau orang-

orang yang menduduki posisi

strategis, saya kira mereka setuju

(dengan naiknya Pak Harto) karena

mereka tergantung pada Pak Harto.

Tapi ABRI kan ada macam-macam:

ada bawahannya dan ada orang-

orang sempalan yang nggak puas di

ABRI.” Selanjutnya kata Arief,

“ABRI sempalan ini menunggu

momentum atau saat yang baik.”

Setuju nggak?

J: Itu sulit diterka. Saya dapat kesan

sekarang ada semacam tawar-


tawaran antara Suharto dengan

“Kaum Serdadu.” Karena kita lihat

kelompok Wiranto seolah-olah

“boleh” menggeser Prabowo dkk.

Lalu ada kemungkinan Wiranto

bakal jadi Pangab. Mungkin juga ada

semacam tawar-tawaran tentang

siapa yang akan menjadi wapres.

Kalau ada kelompok-kelompok

sempalan, itu saya percaya. Tapi kita

nggak tahu mereka itu nggak

puasnya sejauh mana. Dan pasti

ketidak-puasan tahun lalu berbeda

dengan ketidak-puasan tahun ini.

Karena krisis ekonomi sekarang ini

sudah memukul setiap warganegara.

Setiap tentara, termasuk jenderalnya,

juga kena.

T: Apa ada dasar atau alasan kuat

yang membuat elite tentara itu

pecah?

J: Saya lihat faktor yang mungkin

bisa membuat mereka pecah adalah

kalau Prabowo dan ‘geng’nya

dikasih kesempatan yang luar biasa.

Tentara bakal lihat ada faktor

nepotisme di pimpinan angkatan

bersenjata. Itu bisa jadi sumber


perpecahan di militer. Kalau

seandainya pemerintah ingin

mempertajam lagi masalah abangan

lawan santri, itu juga bisa menjadi

sumber perpecahan. Tapi saya lihat

belakangan ini seolah-olah ICMI

sudah masuk tempat sampah politik.

Dalam pemilu umpamanya —

seolah-olah 100% absen. Jadi

mereka sudah tidak lagi bikin

jengkel tentara.

Kalau tentang masalah kaya dan

miskin dikalangan tentara? Yang

menarik selama 10 tahun belakangan

ini kita jarang sekali mendengar

tentang jenderal yang bilyuner.

Jaman jenderal yang super kaya

seperti Ibnu Sutowo dkk itu sudah

jauh lewat. Kalau pada tahun 70-an

orang Indonesia ditanya siapa orang

yang paling kaya, semuanya tahu

jawabannya. Kalau bukan Suharto,

ya tentu Ibnu Sutowo. Belakangan

ini keadaannya sama sekali lain.

Pasti bukan baju-ijo.

ISU SARA

T: Dalam salah satu seminar Rudini

(LPSI) dan Adi Sasono (CIDES)


mengajukan ide untuk, “membuat

undang-undang khusus untuk

membatasi aset yang dikuasai

pengusaha non-pri.” Pernyataan ini

mengejutkan banyak pihak.

Kemudian dalam “Dialog Nasional”

tentang pri-nonpri yang diadakan

oleh CIDES dan Republika tgl 28

Oktober 97 lalu banyak tokoh

diundang untuk bicara. Misalnya

Sayidiman, Sofyan Wanandi, Jusuf

Kalla, ZA. Maulani, Onghokham, A.

Dahana, dll. Mengapa soal SARA ini

muncul kembali pada saat ini?

J: Pertama, yang menarik itu, Rudini

dan Adi Sasono kok tidak ditangkep

karena menimbulkan isu SARA.

Padahal ini jelas suatu usul yang

berbau rasialis. Syukur alhamdulillah

mereka aman-aman saja. Kedua,

saya kira isu ini timbul dalam

suasana dimana ketegangan antara

pri dan non-pri makin terasa. Dan

dalam suasana dimana semua orang

yang sadar politik mengerti bahwa

biang keladi dari kebakaran yang

menimpa Indonesia dan negara-

negara tetangga itu di antara tokoh

utamanya justru orang-orang non-pri

bangsanya Bob Hasan, Prayogo


Pangestu, dkk.

Sikap Bob Hasan selama kebakaran

juga kliatan sombong sekali. Dan itu

menjengkelkan banyak orang. Dia

sama sekali tidak mau ambil

tanggung-jawab, malahan secara

gendheng menyalahkan orang-orang

Dayak atau petani dan transmigran

miskin. Padahal foto satelit dan

malahan Menteri Perhutanan sudah

membuktikan bahwa dia sendirilah

salah seorang biangkeladinya.

Kesombongan dari kelompok kecil

konglomerat non-pri itu memang

tidak kalah dengan kesombongan

keluarga istana. Jadi ini suatu isu

yang setiap waktu bisa meletus dan

bisa dipakai oleh kelompok tertentu

untuk kepentingan politiknya.

Tapi kalau Rudini dan Adi Sasono

mengajukan ide ini saya kira mereka

sedang cari angin untuk masa

depannya sendiri. Boleh dikatakan

dalam setiap krisis bakal ada orang

yang kerjanya mencari kambing

hitam sambil memancing di air

keruh. Dan mengkambing- hitamkan

non-pri itu gampang. Tapi bukan

hanya non-pri yang bisa dijadikan


kambing hitam. Banyak!

T: Mungkin juga ada keinginan jadi

pahlawan dalam suasana kacau ini?

J: Iya, pasti. Rudini mungkin hendak

menempatkan diri sebagai orang

yang secara tidak langsung berani

ngritik Suharto. Seolah-olah Rudini

bilang kalau jadi presiden saya akan

lebih baik dari yang sekarang. Tidak

akan tergantung pada konglomerat

non-pri. Kalau Adi Sasono harapan

jadi presiden itu kecil. Jadi ini

mungkin bisa diartikan sebagai usaha

mencari pengaruh dalam kelompok-

kelompok Islam yang saling

bersaing.

T: Dalam majalah D&R 18 Okt dan

25 Okt ada debat antara Hikam dari

LIPI dengan Achmad Sumargono,

Ketua Pelaksana Komite Indonesia

untuk Solidaritas Dunia Islam atau

KISDI. Yang diperdebatkan adalah

kasus somasi (panggilan ke

pengadilan) KOMPAS yang diajukan

oleh KISDI. Setelah disomasi oleh

KISDI itu KOMPAS bagi-bagi duit,

pasang iklan dimana-mana, bayar ke

si ini, bayar ke si itu. Bagaimana Pak


Ben memahami perdebatan Hikam

itu? Dan bagaimana tentang kasus

somasinya?

J: Hikam bilang ada sekelompok

elite yang mengangkat diri mewakili

umat Islam sekaligus jadi polisi

kebenaran dengan dalih membela

kepentingan umat. Di mata Hikam

tindakan macem ini jelas tidak benar.

Sedangkan Sumargono jawab

mustahil ada orang yang benar-benar

mewakili umat Islam Indonesia. Ini

bukan jawaban terhadap apa yang

dikatakan Hikam. Seharusnya

Margono bilang KISDI itu tidak

mewakili umat dan bukan lembaga

yang pakai dalih membela

kepentingan umat. Tapi apa bisa dia?

Kesan saya, yang lebih penting,

kasus somasi ini menunjukkan ada

semacam — ya, istilahnya mungkin

agak keras — ‘premanisasi’ di

kalangan Islam. Seolah-olah KISDI

mengancam KOMPAS seperti

seorang ‘debt collector’ mengancam

cukong. KOMPAS ada dalam posisi

seorang konglomerat atau

businessman. Dari pada susah-susah,

kasih aja duitnya! Terus preman-

preman itu ambil duitnya. Dan, ya


sudah, masalahnya selesai. Tapi

sekali waktu preman macam begini

akan datang lagi karena mereka

pernah sukses besar dengan begitu

gampang.

Saya kira pendapat Hikam betul.

Kedua belah pihak —

baik KOMPAS maupun KISDI —

tidak benar. Jakob memang betul-

betul mainkan peranan konglomerat

non-pri. Sedangkan kelompok KISDI

ini mainkan peranan ‘tukang tagih’

macem Yapto atau Yoris. Kasus ini

tidak bagus untuk kepentingan

umum. Apalagi untuk kepentingan

umat dalam jangka panjang.

T: Ketika krisis ekonomi melanda

Asia Tenggara Mahathir menuduh

Soros dan konglomerat Yahudi

sebagai biang keladinya. Walaupun

dia satu-satunya tokoh Asia

Tenggara yang mengatakan ini tetapi

banyak orang yang percaya. Tokoh

yang lain — Chavalit, Ramos, Goh

Chok Tong dan Suharto — tidak

punya pikiran seperti ini. Mengapa

ide seperti ini muncul? Dan mengapa

banyak pendukungnya?

J: Kalau Mahathir punya pikiran

demikian, itu tidak mengherankan.


Kalau baca buku “The

Malay Dilemma” yang dia terbitkan

pada tahun 50-an di Malaysia, kita

bisa lihat bahwa mentalnya dari dulu

penuh dengan prasangka-prasangka

rasialis. Kerangka berpikir dia dalam

menghadapi masalah adalah “ras ini

begini, ras itu begitu.” Bukunya

penuh kecurigaan dan konspirasi

khayalan. Ini buku ditulis 40 tahun

yang lalu dalam situasi yang jauh

berbeda dengan jaman sekarang.

Tapi saya lihat memang Mahathir

orangnya begitu. Jadi nggak aneh

juga kalau dia omongin makar

Yahudi se-Dunia. Tapi sebenarnya

itu tidak penting, karena

bagaimanapun dia itu cuman seorang

perdana menteri dari suatu negara

kecil yang dalam konteks global

sebenarnya nggak banyak artinya.

Apa dia punya banyak pendukung?

Itu saya masih belum lihat. Mungkin

saya kurang mengikuti koran-koran

dan majalah-majalah. Tapi saya tidak

melihat banyak orang langsung

membela Mahathir. Malah ada

beberapa pejabat Malaysia yang

secara tidak langsung

memperlihatkan rasa malu atas


gegabahnya mereka punya boss.

T: Sejauh mana peranan konglomerat

Yahudi dan Tionghoa dalam krisis

ekonomi Asia Tenggara? Karena

mereka ini memang orang-orang

yang betul-betul punya duit banyak

dan juga punya jaringan

internasional.

J: Ini bukan masalah suku atau ras.

Masalahnya orang-orang

spekulator! They come from all

over the world. Tidak hanya Yahudi

atau Tionghoa. Everybody has been

speculating. Yang mula-mula

menimbulkan krisis — mereka yang

bikin begitu banyak hutang — ada

konglomerat Tionghoanya, tapi

banyak juga yang pribumi. Dan

bukan orang-orang gede saja.

Di Muangthai, umpamanya, selama

10 tahun belakangan ini saya lihat

siapa saja yang punya duit sudah ikut

spekulasi di sektor properti. Banyak

orang yang bangun gedung-gedung

tinggi, kemudian gedung-gedung itu

kosong karena nggak ada

penyewanya. Atau beli kondo

dengan harapan dua bulan lagi bisa

dijual dengan harga dua kali lipat.


Yang “bikin gara-gara” adalah

seluruh kelas menengahnya. Di

Indonesia juga mirip kan? Bupati itu,

bini pejabat ini, seluruh kelas

menengah itu mau cepet kaya

dengan spekulasi, bukan dengan

produksi. Malaysia juga begitu. Jadi

siapa biangkeladi yang sebenarnya?

Yah, bangsa dewek.

NASIONALISME SUHARTO

T: Kami sering mendengar Suharto

memperjuangkan kepentingan

nasional. Misalnya dengan

munculnya proyek mobil nasional,

motor nasional, pesawat terbang

nasional. Tapi disisi lain kami lihat

nasionalisme itu tipis. Misalnya

dengan hutang nasional yang sudah

mencapai rekord nasional. Menurut

Econit, setelah pinjaman IMF yang

baru ini maka total hutang sudah

sampai US$145 milyar. Untuk bayar

bunga dan cicilannya saja sudah

bakal bikin repot seluruh rakyat.

Kami lihat juga boss-boss itu tidak

banyak peduli dengan jutaan

penduduk yang terkena bencana

“asap nasional” itu. Suharto sendiri

cepat sekali “minta petunjuk IMF”


ketika ekonomi nasional kacau.

Bagaimana memahami nasionalisme

Suharto ini?

J: Saya nggak begitu jelas dengan

pertanyaan ini. Prinsip mobil

nasional itu saya tidak anti. Tapi

kalau mobil nasional dibikin oleh

orang Korea, itu kan dagelan saja.

Tapi ini bukan di Indonesia saja. Di

Malaysia juga yang dianggap mobil

nasional itu nggak mungkin jadi

kalau bukan Jepang yang urus. Kalau

pinjam duit di luar negeri, ya nggak

apa-apa asal bisa bayar pada

waktunya. Masalahnya karena

mereka sudah minjem lalu tidak mau

bertanggung jawab. Mau seenaknya

pinjam tanpa memikirkan

kemungkinan krisis ekonomi di

kemudian hari.

Kalau perkara bencana asap nasional

saya merasa sukar membayangkan

kalau boss-boss itu memang perduli.

Bagaimana kalau besok pagi Bob

Hasan nongol di TVRI dan nangis

mikirin nasib anak-anak suku Dayak

yang ‘diasep’ itu. Siapa akan

percaya? Apa ini tidak lebih konyol

lagi? Mungkin lebih baik mereka


pura-pura tidak peduli.

Nasionalisme Suharto saya kira ada.

Bagaimanapun juga dia produk dari

revolusi. Cuma itu suatu

nasionalisme yang sangat

konservatif. Dan dia tidak

membedakan antara kepentingan

bangsa dan kepentingan dirinya

sendiri.

ARUS TUNGGAL

T: Pak Ben pernah menulis makalah

untuk seminar tentang “Demokrasi di

Indonesia” di Universitas Monash

tahun 92. Waktu menutup makalah

itu Pak Ben bilang, “We do not

exactly feel today that we are in an

Age in Motion, but we are in an era

where there is a stronger sense of a

single ‘arus’ than at any time in the

last half century.” Apa yang Pak Ben

maksud dengan ‘arus’ itu? Apakah

sekarang arus itu semakin jelas?

J: Pada waktu menulis itu maksud

saya bukan kata ‘arus’ yang harus

digaris-bawahi. Tapi kata ‘single.’

Sampai tahun 60-an masih banyak

orang di dunia percaya bahwa

kapitalisme akan hancur. Bahwa


sosialisme adalah masa depan

manusia. Tapi sejak 10 tahun

belakangan ini banyak orang merasa

sebaliknya. Karena amblesnya Uni

Soviet, selesainya perang dingin, dan

suksesnya Tiongkok Komunis

menjadi juara No. 2 di dunia dalam

rangkaian korupsi besar setelah

Indonesia yang terkenal anti-

Komunis. Dengan selesainya Perang

Dingin orang semakin merasa bahwa

kapitalisme itu adalah satu-satunya

masa depan.

Kalau sekarang ditanyakan gimana

maunya negara-negara Dunia Ketiga

ini? Rasanya tidak bakal banyak

menimbulkan perdebatan. Saya

tertarik pada apa yang diucapkan

oleh si Jiang, anak emasnya Deng

Xiao Ping, waktu barusan

mengunjungi Amerika. Dia cepet-

cepet ke Wall Street, ke Harvard dan

bilang, “Kami juga mau demokrasi,

lho. Kami juga menghormati ini-itu,

kok.” Yang menyolok dalam kalimat

ini adalah kata ‘juga.’

Kita lihat perbedaan besar dengan

yang diucapkan oleh tokoh-tokoh

politik dunia pada tahun 50-an.


Misalnya di PBB Bung Karno

pernah bilang, ayo kita rame-rame

“Membangun Dunia Kembali.” Ada

juga yang ngomongin, “Ayo kita

hapuskan itu penghisapan manusia

oleh manusia,” dsb. Sekarang ini

jarang sekali kita denger omongan

begitu. Memang ada satu usaha

untuk bikin arus baru yang sedikit

menyimpang dari kemonotonan

global, yaitu dicetuskannya konsep

“Asian Values.” Tapi nggak laku.

T: Nggak laku di Asia atau nggak

laku untuk dunia pada umumnya?

J: Saya kira semua tahu, “nilai-nilai

Asia” ini cuma omongan penguasa-

penguasa otoriter untuk

memperkokoh rejimnya dan

omongan kawan se’geng’ di

lapangan internasional. Orang di

Asia pada umumnya tidak merasa

dirinya ‘Orang Asia.’ Mereka baru

menjadi Orang Asia kalau ada di

Amerika atau di Eropa. Dan itu

biasanya hanya atas dasar warna

kulit, bentuk mata, dan potongan

badan saza di tengah orang-orang

bule yang belum tahu Indonesia atau

Laos itu dimana letaknya. Kalau

orang Indonesia mangkalnya di


Blitar, dia tidak merasa diri sebagai

“Orang Asia.”

“Asian Value” itu cuman fantasi dari

segelintir pejabat, dan hanya

dipamerkan di luar negeri. Nilai-nilai

yang sebenarnya hidup dalam

masyarakat Asia, ya nilai-nilai

beriman, nilai-nilai Budha, Islam,

Kristen, Katolik, dsb. Dan itu bukan

nilai-nilai Asia.

KEBADARAN

T: Dalam wawancara tahun lalu

(Apakabar, 11 Juli 96), Pak Ben

memakai istilah ‘malihan’ untuk

menggambarkan raksasa jahat yang

bisa merubah dirinya menjadi satria

yang halus dan baik budi. Tapi pada

titik terakhir lakon raksasa malihan

ini topengnya jatuh. Itu disebut

‘kebadaran.’ Apakah keadaan

sekarang ini masih cocok dengan

lakon “satria malihan yang

kebadaran” itu?

J: Masih. Cuma belum sampai goro-

goro. Tapi Togog dan Bilung1)

sudah masuk di ‘kelir,’ sudah nongol

di layar.

Kalau Suharto bicara spontan terlihat

sebenarnya raja ini tidak paham


sejarah, tidak paham tradisi etniknya

sendiri, tidak paham agamanya

sendiri, dsb. Mengapa begitu banyak

orang bisa ketipu, begitu banyak

orang pinter yang sempet dibodo-

bodoin? Dan mengapa bisa ditipu

begitu lama? Dimana rahasia

‘kesaktian’nya Prabu Suharto ini?

Menurut Pak Ben, “Saya kira orang

Indonesia pada umumnya ndak

tertipu, mereka tahu siapa Suharto.

Buat mereka yang penting adalah

ekonomi yang diciptakannya, bedil

yang dipergunakannya, dan

ketiduran-pasca-trauma besar yang

diaturnya.” Dan apa rahasia Dinasti

Mataram yang bisa berumur panjang

(400 tahun)?

KELUARGA RAJA

T: Untuk mempertahankan

kekuasaan raja jaman dulu mau

mengorbankan orang tuanya sendiri,

anaknya, menantunya, sahabatnya,

dsb. Apakah gejala itu juga terlihat

dalam sejarah raja Suharto ini?

J: Yah, lakonnya Suharto belum

selesai. Selama 30 tahun belakangan

ini justru dia selalu berusaha untuk


menjaga kepentingan Keluarga

Besarnya. Baru sekarang timbul

gejala pencekalan terhadap Probo,

Bambang cs dalam situasi yang

kepepet. Tapi nasibnya si Sigit

memperlihatkan bagaimana

akibatnya kalau ‘putra mahkota’

bikin jengkel si sinuhun.

Yang lebih penting adalah fakta

bahwa Presiden adalah jabatan yang

sangat berlainan dengan jabatan

Raja. Presiden adalah jabatan

modern, yang berdasarkan UUD dan

hukum yang sedang berlaku, plus

‘mewakili’ bangsa. Raja-raja dulu

tak pernah merasa menjadi wakil

bangsanya.

Jaman dulu di Eropa seorang raja

bisa menambah luasnya kerajaan

dengan kawin dengan putri raja lain

yang membawa sebagian dari

kerajaan babenya sebagai, yah

semacam ‘mahar.’ Pada jaman

nasionalisme modern itu tidak

mungkin lagi. Sehingga perkawinan

pembesar menjadi hal pribadi, tanpa

efek politik. Jaman dulu dianggap

lumrah kalau putra-putra si raja

dikasih jabatan penting, dan putri-


putrinya didagangkan ke raja lain

atawa bangsawan yang tinggi. Itu

semua bagian dari ‘seni’nya menjadi

raja yang sukses. Itu lumrah.

Makanya pada jaman dulu konsep

nepotisme yang negatip itu tidak ada

dalam kamus Jawa, Sunda, Batak

dan lainnya. Tetapi jaman sekarang

praktek-praktek tadi dicap sebagai

nepotisme dan dianggap irrasional

dan anti-demokrasi.

Selain itu, Asia diluar cengkeraman

agama Kristen dengan tabiat

resminya yang monogami. Raja-raja

Asia biasa berbini banyak, sehingga

anak-anaknya bisa jadi ratusan.

Padahal ‘warisan’ si Babe itu

terbatas dan harus dibagi-bagi.

Bagaimana caranya supaya anak-

anak tidak jadi tengkar mati-matian?

Nggak ada! Makin berbiak, makin

seru persaingan diantara

keturunannya. Apalagi ketika

Belanda masuk dan berangsur-

angsur menarik bagian-bagian dari

pulau Jawa menjadi bawahan

Batavia. Dengan demikian ‘warisan’

tadi makin lama makin ciut. Jadi

tambah serulah kompetisi.

Diponegoro semula berontak karena


tak kebagian yang semestinya. Dan

pada akhirnya raja-raja Jawa

terpaksa hidup dari subsidi-subsidi

dari pusat, dari Kumpeni. Mirip

gubernur-gubernur sekarang harus

hidup dari subsidi yang dibagi-bagi

Pusat, biar mereka jinak.

T: Kalau tentang sabahat-

sahabatnya?

J: Hubungan pertemanan itu kan

hubungan yang setara, tidak ada

yang lebih atas atau lebih bawah.

Karena raja — orang yang berkuasa

mutlak — merasa dirinya wakil atau

utusan atau titisan dewa, maka dia

anggap tidak ada orang yang setara

atau sama dengan dia. Selain itu,

karena tidak ada hukum, konstitusi,

dsb, maka raja merasa setiap saat dia

bisa saja dilengserkan. Karena itu dia

selalu penuh kecurigaan. Dalam

babad-babad kata ‘teman’ itu juga

tidak pernah nongol. Raja-raja di

Eropa juga tidak punya teman. Apa

Suharto punya sahabat? Saya belum

pernah dengar.

BONEKA ‘ARUS TUNGGAL’


T: Begitu ekonomi mau ambruk,

cepat sekali IMF datang dan

memberi utang baru U$23 milyar.

Kalau ditambah dengan bantuan

negara-negara donor, utang barunya

mendekati U$40 milyar. Mengapa

IMF begitu murah hati? Dan apakah

gejala ini juga terlihat dalam

hubungan antara Dinasti Mataram

dengan Kumpeni dan pemerintah

Hindia Belanda?

J: Yah jelas. IMF dan World Bank

sama sekali nggak punya maksud

untuk menggulingkan Suharto atau

menggoyangkan stabilitas negara-

negara di Asia Tenggara. Mereka

cuman ingin supaya Jakarta taat pada

peraturannya, menjadi “anak baek-

baek.” Mereka sendiri tidak tahu

bagaimana jadinya Indonesia nanti

kalau mereka terlalu keras.

Jaman Kumpeni lain. Belanda juga

berniat memakai raja-raja kecil

bawahannya demi Rust en Orde,

kalau dipribumikan sekarang

menjadi ‘kamtib,’ keamanan dan

ketertiban itu. Raja-raja itu baru

digulingkan kalow ‘mbalelo.’ Dan

sikap mbalelo jarang nongol. Tapi


pada jaman itu Kumpeni punya

banyak kartu yang baik. Dan

Kumpeni tahu, kalau raja ini-itu

ditumbangkan, masyarakat yang

95% petani buta huruf itu tak akan

banyak tahu-menahu atawa peduli.

‘Masa depan’ Jawa pada masa itu

jauh lebih terang di mata si bule,

daripada masa depan Indonesia

sekarang ini.

T: Dinasti Mataram umurnya 400

tahun. Sejak didirikan oleh Senopati

sekitar 1584 sampai Hamengku

Buwono-10, Paku Buwono-12, dsb

sekarang ini. Mengapa dinasti ini

bisa bertahan begitu lama? Misalnya

kalau dibandingkan dengan Dinasti

Majapahit yang cuma 200 tahun.

Majapahit mulai sejak didirikan

Raden Wijaya 1293 s/d Brawijaya-5

yang dikabarkan ‘mukso’ atau

‘menghilang’ di puncak G. Lawu

tahun 1520.

J: Mataram bisa panjang umur

karena bersedia menjadi hamba

Kumpeni. Seharusnya dinasti ini

habis dengan larinya Amangkurat-I

ke Tegalarum mencari bantuan dari

Kumpeni. Atau habis ketika kraton

Kartasura diporak-porandakan oleh

Geng Cokin yang berani anti-


Belanda. Tapi Belanda melihat

bahwa dinasti ini tak punya watak

yang jantan. Mereka gampang

diperalat asal dikasih subsidi,

dibangunin kraton-kraton baru, asal

ada basa-basi dikit. Lama-lama raja

ini menjadi boneka doang. Dan

boneka emangnya bisa hidup lama.

KESAKTIAN SANG PRABU

T: Kalau dia bicara spontan terlihat

sebenarnya Suharto tidak paham

sejarah, tidak paham tradisi etniknya

sendiri, tidak paham agamanya

sendiri, dsb. Mengapa begitu banyak

orang bisa ketipu? Mengapa begitu

banyak orang pinter yang sempet

dibodo-bodoin? Dan mengapa bisa

ditipu begitu lama? Dimana rahasia

‘kesaktian’nya Prabu Suharto ini?

J: Kita harus ingat bahwa saat

‘kebadaran’ ini hanya sekali-sekali

terjadi. Biasanya Suharto bicara

dengan suara seorang Presiden,

bukannya dengan suara sinuhun.

Bahwa Suharto dan isterinya punya

mental pingin-menjadi-sinuhun

sebenarnya sudah lama ketahuan.

Lihat saja bakal kuburannya di


Mangadeg yang seolah-olah bersaing

dan mau mengatasi bangsanya

Imogiri dan kuburan-kuburan

Mangkunegaran. Bandingkan dengan

Bung Karno, yang tak pernah bikin

gituan. Tapi orang diem-diem

ketawa saja, tak dianggap serioes.

Pernah kedengaran saudagar kecil di

Solo kasih komentar tentang

Mangadeg dengan nada sinis, “Kok

koyo kuburan Cino?” Emangnya

megah, tapi pada suatu hari bisa saja

digusur. Saya kira orang Indonesia

pada umumnya ndak tertipu, mereka

tahu siapa Suharto. Buat mereka

yang penting adalah ekonomi yang

diciptakannya, bedil yang

dipergunakannya, dan ketiduran-

pasca-trauma besar yang diaturnya.

Kalau diem-diem dia merasa diri

seperti raja, yah biarlah.

T: Rakyat Indonesia yang ‘non-

Jawa’ itu lebih banyak. Selain yang

di luar Jawa, di P. Jawa sendiri ada

suku Sunda dan Madura. Apakah

mereka juga terpengaruh oleh konsep

“raja yang punya wahyu” itu?

J: Apakah ada dalam budaya


tetangga – Sunda, Bali, Madura?

Saya kurang tahu. Tapi diluar Jawa

belum pernah saya dengar tentang

konsep wahyu. Di daerah sana,

teknik menjadi raja besar agak lain.

Silahkan baca umpamanya Hikayat

Hang Tuah dari Melayu. Tapi

dimana-mana raja berusaha untuk

meyakinkan masyarakat bahwa dia

mewakili, diutus, inkarnasi, titisan,

atawa punya ‘bekking’ dari Dewa.

Dan Dewa ini bisa macam-macam,

tergantung jaman, agama, dan

situasi.

Jadi pada dasarnya sama dengan

Jawa. Begitu juga dengan raja-raja

Eropa jaman dulu. Ingatlah “The

Divine Right of Kings.” Di Eropa

agama Kristen cukup dinodai oleh

kongkalikong pemimpinnya dengan

nonsens macem ini. Mau saja para

uskup menobatkan raja-raja di

gereja. Memalukan! Di Timur

Tengah, jabatan Kalifah — artinya

penerus dari Nabi Muhammad SAW

— plus Sultan diperkokoh oleh apa

yang diajarkan oleh sebagian ulama.

Padahal Nabi Muhammad SAW

tidak pernah mau dijadikan seorang

sultan alias prabu. Sehingga masalah


lengser keprabon dereng wonten

pada Jaman Mas itu.

BAHASA DAN KEKUASAAN

T: Bung Karno juga suka memakai

istilah-istilah dalam Bahasa Jawa.

Misalnya gotong

royong, ganyang, gontok-gontokkan, 

holopis kuntul baris, sontoloyo, dsb.

Apa ada bedanya istilah-istilah yang

dipakai BK dengan yang dipakai

Suharto?

J: Bung Karno suka memakai kata-

kata Jawa — dengan bentuk potong-

potongan, bukan kalimat — karena

dia menikmati lezatnya, ‘hidup’nya

kata-kata itu sebagai semacam

bumbu untuk masakan bahasa

Indonesianya. Jarang beliau pakai

klise-klise yang membosankan. Dan

orang non-Jawa merasa ikut nikmat

sehingga kata-kata Jawa seperti

ganyang, gotong-royong, dsb bisa

cepat masuk kamus sehari-harinya.

Tapi Jawanya Suharto

kebanyakannya berupa kalimat,

seolah-olah pepatah. Tak masuk

diakal bahwa ‘lengser keprabon

madeg pandito’ akan dipakai sehari-

hari oleh orang non-Jawa kecuali

sebagai lelucon politik. Satu-satunya


kata Jawa yang diperkenalkan oleh

Suharto dan menjadi populer adalah:

gebug!

JIWA BIROKRAT

T: Dalam sejarah Indonesia modern

banyak tokoh hebat yang juga dari

suku Jawa. Misalnya Bung Karno

yang satu generasi diatas Suharto.

Pramoedya yang hampir seumur

dengan Suharto, Pram lahir 1925,

Suharto lahir 1921. Dan Gus Dur,

satu generasi dibawah Suharto.

Mereka nggak punya ide bahwa

presiden itu mirip raja. Mereka

nggak kedengeran memakai klise-

klise kuno seperti Ojo Dumeh, dsb.

Mereka juga nggak tergila-gila

dengan konsep Tut Wuri Handayani,

dsb. Mereka beda dengan Suharto!

Mengapa?

J: Kita ingat tokoh Sastro Kassir di

novel-novelnya Pram yang

dinamakannya karya Buru. Dia

bersedia berbuat apa saja ‘demi

jabatan.’ Menarik bahwa orang-

orang yang disebut tadi sebagai

tokoh Jawa yang hebat tak ada

diantaranya seorang pegawai negeri,

baik sipil maupun militer. Mereka

orang merdeka, dan dua diantaranya


memang orang pergerakan.

Sedangkan Suharto sepanjang hidup

menjadi birokrat. Semula sebagai

bintara di KNIL, terus masuk polisi

dan kemudian PETA bikinan Jepang

selama pendudukan Jepang, dan

setelah itu masuk ABRI. Selama

jaman kolonial dan pendudukan

Jepang sama sekali tak ada bukti

bahwa dia menjadi oposan atau

aktivis. Malah sebaliknya, dia

berhamba kepada KNIL dan

Gunseikanbu. Tentu saja tidak

sendirian. Ratusan ribu orang Jawa

lain demikian.

Seumur hidup saya belum ketemu

dengan birokrat di negara manapun

juga yang punya jiwa yang merdeka

dan kreatip. Mereka dilatih untuk

melaksanakan perintah atasannya

dan tidak mbalelo. Waktu masih

muda harus membiasakan diri untuk

sering kena semprot atasannya

dengan harapan ‘mulia’ bahwa

setelah 20 tahun naik pangkat terus

akhirnya berkesempatan nyemprotin

bawahannya. Oya, ojo dumeh bukan

klise. Itu bahasa sehari-hari dan

maksudnya hanya sebagai teguran:

jangan, asal mumpung, jadi angkuh.


Kata itu juga banyak disebut dalam

pembelaannya Disman di depan

Mahmilub.

KEKEJAMAN DAN KEKUASAAN

T: Kekejaman raja-raja jaman dulu

itu terjadi bukan hanya di Jawa.

Kami sudah nonton film Braveheart,

tentang pemberontakan rakyat

Skotland terhadap kesewenang-

wenangan raja Inggris, Edward-1,

pada tahun 1297. Waktunya kira-kira

sama dengan jamannya Raden

Wijaya, cicitnya Ken Arok,

mendirikan Majapahit pada tahun

1293. Pemimpin pemberontakan itu,

William Wallace (dimainkan oleh

Mel Gibson) tertangkap. Dia disiksa

dengan kejam sekali. Badannya

diiris-iris, lalu dipotong jadi empat

dan dikirim ke empat penjuru negeri.

Kepalanya ditanam di London

Bridge. Kekejaman itu dilakukan

untuk membuat takut rakyat. Budaya

Jawa dan Inggris itu beda sekali. Toh

kebuasan raja terjadi juga. Apakah

ini terjadi karena budaya atau karena

tidak ada kontrol dalam ‘sistim

politik’nya?

J: Itu kebiasan di mana-mana di


jaman pra-industri. Raja-raja merasa

perlu ditakutin dan disegani. Tetapi

mereka nggak punya polisi yang

besar dan teratur, apalagi tentara

tetap dan profesional. Tidak punya

badan inteljen strategis. Tak punya

alat penyadap tilpon karena tilpon

belum ada. Penjara modern tidak

ada, malahan yang primitif juga

relatif jarang. Jadi hampir semua

peralatan negara modern yang bisa

dikerahkan untuk nakutin orang itu

belum ada. Maka, satu-satunya alat

yang ampuh adalah siksaan

spektakuler dan eksekusi yang

mengerikan yang justru

dipertontonkan kepada masyarakat.

Jaman sekarang siksaan dan eksekusi

tetap banyak tetapi dijalankan diem-

diem di belakang pintu tebal, dan

masyarakat tak boleh

menyaksikannya. Horornya Hitler

hanya mungkin atas dasar

modernitas dan jaman

industri. Gulagnya Stalin begitu

juga. Jadi ini bukan perkara

kebudayaan, tapi perkara jaman dan

dasar ekonomi.

Orang-orang buas ada di sepanjang

jaman dan dalam setiap kultur. Tapi


dasar ekonomi-teknologi berubah

sehingga sekarang ada

perbedaannya. Dalam Perang

Vietnam, Amerika sempat

membunuh kira-kira 3 juta manusia

di Vietnam, Kamboja dan Laos,

sebagian besar dengan bom dan alat

supermodern, sedangkan orang

Amerika yang mati ‘cuman’ 48 ribu

manusia. Toh kalah. Sebaliknya,

pada tahun 65-66 di Indonesia ketika

lebih dari setengah juta orang

Indonesia mati, alat sembelehnya

jauh lebih sederhana, karena tingkat

ekonomi Indonesia emangnya

sederhana: golok, tombak, klewang,

clurit, bedil, bukannya gas racun

atawa bom.

T: Dalam negara modern seperti di

AS ini, ‘raja’nya juga bisa kejam

luar biasa. Misalnya Nixon (film

sejarah “Nixon” sudah dibuat oleh

Oliver Stone, Nixon dimainkan oleh

Anthony Hopkins). Ini orang yang

membom Kamboja, Vietnam dan

Laos. Korbannya jutaan orang, dan

penderitaan rakyat di sana — karena

bom-bom beracun, ranjau darat, dsb

— masih terjadi sampai sekarang.

Nixon membohongi rakyatnya


sendiri. Dia baru apes gara-gara

bandit swasta yang dia sewa untuk

ngobrak-abrik sarang partai

lawannya di hotel Watergate itu

ketangkep. Supaya bisa terus kuasa,

dia tega mengorbankan teman-teman

dekatnya sendiri seperti Bob

Haldeman (White House Chief of

Staff), John Ehrlichman (Counsel to

the President), John Mitchell

(Attorney General). Mengapa Nixon

— orang yang sangat terdidik lalu

menjadi presiden suatu negara

modern, dengan penduduk yang

terdidik, dengan lembaga-lembaga

negara yang modern — toh

tindakannya tidak lebih beradab

dibandingkan raja-raja jaman dulu?

J: Nixon memang bejat. Tapi ada

perbedaan yang menyolok dengan

raja-raja dulu baik di Eropa maupun

di Jawa: dia tidak akan terlalu berani

bunuh bangsa dewek. Ingatlah krisis

besar ketika empat mahasiswa di

Universitas Kent State dibunuh polisi

ketika lagi protes perang Vietnam.

Di Indonesia selama Orde Baru

ngabisin nyawa mahasiswa —

seperti di Ujung Pandang tahun lalu

— yah, itu dianggep perkara kecil

dan tak pernah menggoncangkan


pemerintah. Emangnya mbalelo,

lantas semestinya digebugin, kan?

Sedangkan yang banyak dibunuh

Nixon itu, yah orang asing yang

kampungnya jauh dari Amerika. Dan

ini semua dengan dalih ‘perang.’

Sepanjang sejarah manusia, perang

menyucikan segalanya. Asal tentara

lagi perang, tidak dianggap kriminal

kalau membunuh manusia lain.

Sedangkan raja-raja dulu biasanya

minta korban bangsanya sendiri.

Pertama, karena mereka dianggap

‘hamba’nya, atau ‘kawula’nya,

bukan warganegara. Kedua, karena

ketika itu nggak ada pers dan TV.

Dan ketiga, alat pembunuh jarak-

jauh — pembom dahsyat B-52,

peluru kendali ICBM, dllnya —

belum ada. Seandainya si raja dulu

ingin menyaingi Hitler dalam

perlombaan menjadi juara “Orang

paling kejam sedunia,” mana bisa

menang! Alatnya masih kurang

canggih.

Sepanjang sejarah raja-raja kuno di

Jawa, maupun sejarah Kumpeni, tak

pernah ada penguasa yang sempat

ngabisin setengah juta pribumi dalam

beberapa bulan saja seperti yang


terjadi tahun 65-66. Bukan karena

mereka itu lebih manusiawi,

bukan.2) Tapi karena birokrasi-maut

dan alat-alat teror lain waktu itu

belum terbayangkan apalagi

diciptakan. Kata Walter Benjamin,

“Every document of civilization is at

the same time a document of

barbarism.” (Habis, wawancara tgl 3

dan tgl 20 Nop 1997).***

Catatan:

1. Catatan

editor: Togog dan Bilung (adiknya,

kadang-kadang disebut

juga Sarawita) adalah punakawan

satria yang jahat. Sifat mereka itu

tidak setia dan suka pindah-pindah

majikan.

2. Ini sebagai contoh :

Kumpeni pernah membantai

hampir semua penduduk pulau

Banda di 1621 [red.:lih. buku

Willard A. Hanna & thesis H.G.

Aveling “Bandanese Culture and

society, about 1600” hal.16 ttg Jan

Coen] – Untuk raja Jawa ambil

saja sejarah Genghiz Khan tanah

Java, Sultan Agung. Dalam 1620-

1625 saban usai musim panen


Surabaya dan sekitarnya itu

menjadi kubangan serdadu

Mataram yang merampok dan

membunuhi orang. Di 1936

Balambangan ditaklukkan dan

hampir seluruh penduduknya

dibuang. [red.:lih. Sembah-

Sumpah … hal.21, khususnya

catatan kaki 23-24]

PUSTAKA UNTUK

WAWANCARA

1. Kompas, 20/10/97,

“Renungkan Kembali,” (Memuat

pidato presiden Suharto tentang

“lengser keprabon” di depan

Rapim Golkar tgl 19/10/97)

2. Coedes, G., 1968, “The

Indianized States of Southeast

Asia.” The East-West Center Press,

Honolulu (Buku ini banyak

mengutip Negarakertagama

karangan Prapancha, (th. 1365),

Pararaton (akhir abad-15). Kisah

singkat Ken Angrok juga dari sini).

3. Hefner, Robert W., 1990,

“The Political Economy of

Mountain Java. An Interpretive

History,” University of California

Press, Los Angeles (Informasi

tentang akhir Majapahit sekitar


tahun 1520, kemudian jatuh ke

bawah kepemimpinan politik dan

spiritual Demak)

4. Soetarno AK, Drs. R.,

1987 “Ensiklopedia Wayang,”

Dahara Prize, Semarang, h 261,

290 (Tentang Togog dan

Sarawita).

5. Halliday, F.E., 1995,

“England, a concise history,”

Thames and Hudson, New York, h

58 (Tentang Edward-1 dan

William Wallace).

6. Maclean, Fitzroy, 1996,

“Scotland, a concise history,”

Thames and Hudson, New York, h

37, 38 (Tentang Edward-1 dan

William Wallace).

7. Aitken, Jonathan, 1993,

“Nixon, a life,” Regnery

Publishing, Inc., Washington D.C.,

Chapter 17, 18 dan 19 (Tentang

Nixon, pemboman Vietnam dan

skandal Watergate).

8. Indonesian Banda :

colonialism and its aftermath in

the Nutmeg Islands / by Willard A.

Hanna.

9. Sembah-sumpah (Courtesy
and Curses): The politics of

Language and Javanese Culture /

by Benedict R. Anderson, dalam

“Change and Continuity in

Southeast Asia” ed. by Roger A.

Long & Damaris A. Kirchhofer.

10. Mythology and the

tolerance of the Javanese / by

Benedict R. O’G. Anderson – edisi

terbaru terbitan Cornell Modern

Indonesia Project, Southeast Asia

Program, Cornell University, 1996.

11. Film “Bravehart”

12. Film “Nixon”

Anda mungkin juga menyukai