Anda di halaman 1dari 4

Panggil Aku Kartini Saja

Karya Pramoedya Ananta Toer


Oleh : Tisya Nurhaliza

Pada buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer
latar belakang terjadinya cerita ini yaitu pada saat Indonesia belum merdeka.
Berawal pada tahun 1830 Indonesia sedang dalam masa kritisnya. Banyak
terjadi perang dimana-mana terutama di pulau Jawa dan sekitarnya. Banyak
pribumi yang melakukan pemberontakan akan penjajahan yang dilakukan
oleh bangsa Belanda namun banyak dari mereka yang malah berakhir gugur
karena dapat dipatahkan oleh kompeni. Saat itu Belanda berhasil
menjatuhkan Diponegoro, dan untuk mendamaikan pemberontakan ini
membutuhkan jutaan gulden hingga menyebabkan nilai uang jatuh. Hal ini
membuat Javasche Bank yang baru didirikan seketika mengalami
kebangkrutan. Hingga muncullah van den Bosch, seorang yang memberikan
rencana-rencana agar dapat mengembalikan keadaan keuangan Hindia-
Belanda pada saat itu. Awalnya Bosch memberikan omongan-omongan
beserta janji-janji manis yang seolah menunjukkan bahwa ia turut prihatin
dengan ekonomi Indonesia dan membuat ia ingin membantu, hingga pada
saat ia terpilih menjadi Gubernur Jenderal karena kebanyakan orang yang
percaya akan omongannya ia mulai mengambil alih kekuasaan dan
memanfaatkannya. Tetapi bukan memanfaatkannya sesuai dengan apa yang
dia omongkan kepada orang-orang, ia malah mulai melaksanakan rencana-
rencana jahatnya. Rencana tersebut bahkan lebih keras menghisap kekayaan
sumber daya alam dan tenaga manusia pribumi.
Awalnya ia mencetuskan ide tanam paksa yang akan menguntungkan
rakyat Indonesia tetapi nyatanya ide tanam paksa tersebut begitu menyiksa
warga pribumi. Dimana pribumi dipaksa untuk bekerja tanpa diberikan
imbalan bahkan kesempatan untuk hidup dengan layak.

Setelah sekian lama sistem ini berlangsung, keuangan Belanda kembali


terisi dan stabil, namun disisi lain sedang terjadi gejolak oleh golongan
liberal ialah Dowes Dekker. Secara diam-diam, ia mulai mengancam
negerinya sendiri yang saat itu sedang mengekploitasi Hindia-Belanda tanpa
belas kasihan. Tetapi perjuangannya yang ia buat melalui tulisan penanya itu
justru malah membuat dirinya dibuang dari pulau Jawa. Saat itu kondisi
pribumi juga masih tetap sama. Kemiskinan dan kelaparan terjadi dimana-
mana, khususnya daerah Demak, Kudus, Grobogan dan juga Jepara yang
terkena dampak dari kerja rodi.

Hal tersebut membuat para Bupati yang bertindak sebagai pemimpin


pribumi seolah tidak mampu bertindak secara jelas, mereka bagaikan terikat
di sangkar penyamun.

Ayah Kartini, R.M.A. Sosroningrat seorang Bupati Jepara mulai


memberanikan dirinya untuk menulis nota protes akan kekejaman dan
deskriminasi pendidikan kepada rakyat pribumi. Saat itu, sosok Kartini yang
lahir pada 21 April 1879 merupakan harapan yang besar bagi masyarakat
Jepara. Kartini adalah sosok yang hormat terhadap leluhurnya bisa dikatakan
sifatnya itu berasal dari kakeknya terdahulu. Pada saat itu masa kecil Kartini
dipenuhi persoalan-persoalan sulit yang terjadi di lingkungannya. Persoalan-
persoalan itu seharusnya menjadi pemikiran orang yang sudah lebih dewasa
dibanding dirinya yang saat itu masih terhitung belia.
Hingga pada suatu saat ia ingin merasakan sekolah rendahan atau
sekolah dasar yang tidak semua anak seusianya dapat merasakan, terkhusus
bagi seorang wanita. Disekolahnya ia sering mendapat diskriminasi dari
gurunya, seorang berdarah Belanda. Ia sering menanyakan hal tersebut
kepada sang ayah. Tetapi ayahnya hanya dapat menjawab bahwa seorang
wanita tidak seharusnya berada dibangku sekolah apalagi bila ia adalah
seorang wanita pribumi. Pada awalnya Bupati Ario Sosroningrat tidak
pernah menduga bahwa pndidikan Eropa yang sedikit ia berikan kepada
Kartini, tidak membuat ia lebih maju, dari hanya bisa bicara Belanda dan
meniru tata cara Belanda sedikit-sedikit. Ia kira pendidikan secuil itu sudah
cukup untuk diberikan kepada seorang anak perempuan. Tapi nyatanya
Kartini ingin lebih jauh dari itu. Ia mendesak, menuntut, memperotes bahkan
membentak ayahnya. Tapi sikap ayahnya terhadap gadis-gadisnya tetap
tidak dapat terbantahkan lagi.

Saat Kartini menginjak masa remajanya, kebebasan mulai hilang dari


kehidupannya. Feodalisme kembali berkuasa di rumahnya. Saat itu ia
dipingit, keseharian didalam tempat yang ia katakan sebuah tembok empat
sisi yang kokoh menjulang tinggi keatas menjauhkannya dari dunia luar.

Ia sungguh tersiksa pada masa pingitan itu. Ia tetap melaksanakan masa


pingitannya itu sebagai seorang Jawa yang taat pada adat istiadat. Dimana
pingitan itu ia tidak berdiam diri. Ia selalu melakukan komunikasi melalui
surat dengan beberapa sahabatnya.

Tak jarang juga ia suka menulis catatan soal nasib orang-orang


sebangsanya. Rakyat Jepara pada saat itu nasibnya masih dirundung
kelaparan, ditindas para kompeni yang berasal dari Belanda dan nasibnya
dibawah tekanan feodalisme.
Pada saat usianya menginjak delapan belas tahun, ia dapat kembali lagi
menghirup udara diluar kamar pingitannya. Itu semua berkat sepupunya
yang mengajak Kartini untuk mengunjungi Mataram.

Di Mataram, Kartini mulai hidup dengan bebas berekspresi. Ia mulai


mengembangkan kemampuan menulisnya hingga tulisan-tulisannya tersebut
sering dimuat dalam surat kabar Belanda.

Melalui tulisan, ia mulai belajar kembali tentang dunia Barat lebih


dalam dari sebelum-sebelumnya. Ia suka berpetualang dan senang bertemu
teman baru yang juga ahli berbahasa Belanda. Bersama teman-temannya dari
Jawa Barat itu ia terus menulis sebuah catatan dan diterbitkan disurat-surat
kabar Belanda. Kartini terus berkampanye atau mensosialisasikan tentang
kesamaan derajat bagi perempuan dengan laki-laki. Ia juga berkampanye
tentang pentingnya suatu pendidikan.

Selain itu, ia juga mengungkapkan mengenai perasaannya yang tidak


nyaman dengan adanya feodalisme yang selama ini berkeliaran dihidupnya
bahkan ia juga ikut merasakannya. Hal inilah yang membuat Kartini lebih
suka dipanggil Kartini saja, ia ingin menghilangkan segala titipan gelar
leluhurnya pada saat itu, bukan karena ia tidak menghargainya, tetapi karena
ia tidak nyaman dengan ikatan seperti itu. Kartini lebih memilih hidup bebas
bersama rakyatnya menjadi satu dibandingkan ia yang disegani karena
gelarnya tetapi ia hanya dapat berada didalam kediamannya yang bak
kerajaan pada saat itu.

Anda mungkin juga menyukai