Anda di halaman 1dari 15

Asep Salahudin pada 28 Agustus 2010 jam 13:17

NALAR "BABALIK PIKIR"

Oleh ASEP SALAHUDIN

Barang bray aing kumaki

Haneut moyan jeung peryoga

Tengah poe sur ser hatĕ

Lohor geusaneun dongdonan

Asar geus rumasaan T

unggang gunung ngalanglayung

Sup surup kari carita

Babalik pikir adalah salah satu judul guguritan yang ditulis filsuf besar Sunda sepanjang masa, Haji Hasan Mustapa. Teks di
atas sebagian dari guguritan itu. Babalik pikir tentu maknanya bukan nalar yang terbalik, namun satu ikhtiar keinsafan
seseorang untuk selekasnya kembali ke jalan lurus. Semacam taubat dalam bahasa religius.

Hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada orang (bangsa) yang tidak pernah melakukan kesalahan. Manusia selalu bergerak
di antara pendulum: kenca kaiblisan dan katuhu kamalaikatan. Persoalan yang mendesak untuk direnungkan adalah
sejauhmana seseorang itu tidak terus kembali melakukan kesalahan yang sama. Inilah pesan terpenting dari babalik pikir
yang ditulis Haji Hasan Mustapa itu yang kemudian dipertegas dalam guguritan kelanjutannya:

Geus kitu rey senag-senig B

oga rasa palangsiang

Aing kaperong kalao

Nu mahal jiga nu murah

Harga kumaha rupa

Luput tangtuna kapalsu

Boga rasa kasalahan

Kesalahan silam bukanlah sesuatu yang musti terus diratapi namun sesungguhnya tanda agar kita tidak menggali lubang
yang sama untuk kemudian jatuh dalam bilangan kesekian kali.  Lupa dan atau pura-pura lupa: inilah sesungguhnya inti
persoalan akar problem yang menimpa kita baik sebagai individu atau sebagai bangsa. Di titik ini maka menjadi dapat
dipahami seandainya sastrawan terkemuka Milan Kundera meletakkan perjuangan terbesar dalam haluan sikap yang tidak
pernah berhenti untuk melawan lupa.
 

Penyakit bangsa

Diakui atau tidak, lupa inilah penyakit sosial yang kerap menerpa kita sehingga kesalahan selalu kita ulangi. Amsal
sederhana, sudah tahu bahwa penyebab terperosoknya kita  dalam kubangan krisis adalah tindakan negatif korupsi kolusi
dan nepotisme, namun sayang tindakan ini masih tetap dipertahanakan bahkan konon mengalami pencanggihan
menumpang risalah otonomi daerah yang ditafsirkan secara salah kaprah seperti yang dengan primitif memalukan dilakukan
propinsi Jawa Barat sehingga dinobatkan sebagai propinsi kedua terkorup di Indonesia belum lama ini.

Kita seakan lupa bahwa terjungkalnya orde lama dan negara orde baru yang harus berakhir dengan caci maki tidak lain
karena birokrasi korup, tapi aneh bin ajaib orde itu belum beranjak ratusan tahun kita telah mempraktekkan hal tidak terpuji
bahkan dengan gampang memori kolektif kita melupakan tokoh-tokoh kelam: pigur yang dahulu menjadi sasaran kritik
karena  bersekongkol dengan penguasa lalim, hari ini mereka kita agungkan malah diarak sebagai pahlawan.  Partai masa
silam yang pada masa awal reformasi diteriaki supaya bubar karena menjadi mesin kehancuran negara bangsa, sekarang
malah dengan jumawanya memainkan peran vital dalam dramaturgi panggung kekuasaan dan semua partai berebut ingin
menjadikannya sebagai kawan koalisi.

Merayakan ingatan

Melawan lupa: inilah sesungguhnya hal pertama dan utama yang harus dirayakan oleh kita sebagai bangsa yang baru saja
terbebas dari kolonialisai penjajahan yang menghunjam ratusan tahun. Perayaan ini sebenarnya inti dari kemerdakaan.
Perayaan ini sesungguhnya  satu hal yang hendak diinjeksikan pesan moral di balik ritus puasa.

Kenapa lupa harus dilawan? Jawabannya sangat sederhana: agar kita senantiasa ingat. Ingat terhadap tujuan berbangsa
dan bernegara, ingat terhadap sumpah  jabatan, ingat terhadap kepemimpinan sebagai amanah yang harus
dipertanggungjawabkan, ingat bahwa tugas guru dan dosen adalah mentransper kecerdasan, memberikan keteladanan 
kejujuran dan budi luhur, ingat bahwa tugas birokrasi adalah melayani, ingat bahwa peran wartawan adalah menyampaikan
informasi yang benar. Ingatan ini pada gilirannya yang akan membuat tujuan berbangsa ini lekas tercapai: keadilan
terdistribusikan, birokrasi memberikan kemudahan, rakyat tersejahterakan.

Ingat ini padanannya dalam bahsa Sunda adalah eling. Dan bukankah eling sangkan paraning dumadi dalam spiritualisme
Jawa atau eling kana temah wadi dalam kearifan Sunda merupakan pintu masuk untuk mewujudkan keadaban hidup. Ingat
sebagai hakikat dari keberimanan seseorang.

Tentu saja ingatan sebagai substansi dari babalik pikir harus dijangkarkan pada inti dari kenaikan martabat yaitu ingatan
terhadap diri yang kemudian akan menjadi sarana ampuh bagi tumbuhnya ingatan sosial, ingatan ekologis dan ingatan
ketuhanan. Ingat  terhadap diri ini adalah ajaran yang bersifat universal. Dalam literasi Tao Te Ching misalnya,
“Barangsiapa mengenal orang lain, maka dia adalah bijaksana; barangsiapa mengenal dirinya sendiri maka dia memperoleh
terang”. Dalam ungkapan penuh hikmah Richards St Victor, “Jika akal pikiran ingin menggapai ketinggian ilmu, hendaklah
studinya yang pertama dan terpenting: mengenal diri sendiri.”

Puasa dan merdeka


 

Absennya kesadaran seperti ini sejatinya adalah merupakan awal dari kehancuran yang lebih luas. Krisis ekologi,
ketimpangan, hancurnya tata nilai, basa basi atas nama aspirasi,  pornografi yang menjadi-jadi, korupsi tanpa kendali, dan
keadaan akhirnya serba terbalik:  

Nyebut kalangkang ka raga

Nyebut raga ka rohani

Nu matak teu nelah-nelah

Nu matak teu ngarti-ngarti

Babalik pikir, inilah esensi pesan dari ibadah puasa. Babalik pikir juga menjadi amanat paling berharga dari perayaan
kemerdakaan ketika kehidupan berbangsa dan bernegara semakin terpelanting bahkan jauh tanah ka langit dari tujuan
semula yang diikrarkan dan diperjuangkan leluhur kita dengan darah dan airmata.

Penulis, pengamat kebudayaan Sunda/Wakil Rektor IAILM Suryalaya

FORUM BUDAYA/KOMPAS JABAR/SABTU, 28 AGUSTUS 2010

Anomali Kemerdekaan RI

Oleh ASEPSALAHUDIN

Kolomnis

Teu honcewang sumoreang

Tekadna pahlawan bangsa

Cadu mundur pantang mulang

Mun maksud tacan laksana

Berjuang keur lemah caiLali rabi tur tegang pati

Taya basa menta pamulang tarima

Iklas rido keur korban merdeka (Mang Koko).

Enam puluh lima tahun usia kemerdekaan Bangsa. 65 tahun yang lalu Seokarno Hatta memproklamirkan Indonesia di Gang
Pegangsaan Timurdengan tekad yang dipancangkan hendak membangun negara baru dengan nilai-nilaiideal sebagaimana
termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Negara moderen yang terbebasdari cengkraman kolonial sekaligus terlepas dari
fanatisme geneologi kesukuan.
 

Dalam perjalanan waktu apa hendak di kata, bagai punggukmerindukan bulan nilai-nilai itu semakin menjauh dari realitas.
Jauh tanahka langit. Sejarah pengalaman keseharian justru menampilkan rautberseberangan. Mungkin mirip dengan novel
Mochtar Lubis berjudul Jalan TakAda Ujung.

Mengisikemerdekaan dalam faktanya tidak semudah yang dibayangkan. Atau boleh jadisemuanya hanya menyisakan
impian. Indonesia yang diharapkan, hanya ada dalamimajinasi. Indonesian's dreams.

Setelah tumbang orde otoritarian negara ordebaru, reformasi yang seharusnya menjadi pintu masuk menyambut pajar
peradabanyang lebih menjanjikan  ternyata setelahsebelas tahun dengan empat kali pergantian kepemimpinan nasional
lagi-lagi kitamenjadi bangsa yang dihinggapi penyakit lupa. Lupa bahwa yang menyebabkanterpelantingnya kekuasaan
Soeharto dan Soekarno adalah tindakan korup, namunanehnya justru tindakan ini yang diulang kembali bahkan mengalami
desentralisasidengan menumpang risalah otonomi daerah yang dipahami secara salah kaprah. Masuk akal seandainya Milan
Kunderamencatat bahwa perjuangan itu sejatinya adalah gelora ketika kita merayakandiri untuk terus berperang melawan
lupa.

Kemerdekaanyang dahulu diperjuangkan dengan mempertaruhkan nyawa seperti nampak dalam Pahlawan
(KarataganPahlawan) di atas yang dulu dijadikan sebagai 'lagu wajib'anak-anak SD di tatar Pasundan karya Mang Koko
(Indihiang, 10 April 1917 - Bandung, 4 Oktober 1985) tidak pernah kita syukuri dengan cara sikap diri yang kokoh bersama-
samamembentuk masyarakat berkeadaban. Syukuran kemerdekaan itu kerap berhentisebatas artifisial formalistik yang
ujung-ujungnya hanya kemeriahan fisik,manampilkan gemuruh kenduri  material,sementara substansinya nyaris absen.

Substansiitu minimal diaksentuasikan dalam enam pilar utama: 1) penyelenggaraanpemerintahan yang bersih, jujur; 2)
birokrasi yang melayani masyarakat; 3)penegakan hukum; 4) peresapan rasa keadilan merata kepada semua pihak;
5)pemuliaan hak asasi manusia; dan 6) pengelolaan ekonomi serta  pendidikan yang murah dan bermutu.

Ketikaenam hal itu menguap, maka menjadi tidak aneh kalau bangsa kita hari ini berada di halaman belakang dari
lembaranbangsa-bangsa yang ada di Asia. Sedikit lebih unggul dari Laos. IndeksPembangunan Manusia Dunia, Indonesia
berada di peringkat ke-110. Di aras global pasar bebas, Indonesia menjadibangsa yang tak siap berkompetisi. Survei World
Competitiveness Report 2001oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) menempatkan Indonesia di urutan ke-64 dari 75negara
dalam Growth Competitiveness Index/GCI), urutan ke-55 dalam CurrentCompetitiveness Index/CCI).

Selamasepuluh tahun terakhir, masyarakat kita betul-betu berada di bawah gariskemiskinan kalau kita mengacu kepada
Upah Minimum Regional (UMR). Di sisi lainsekelompok orang yang mendapatkan amanah mengelola pemerintahan baik
sebagaieksekutif, legislatif atau yudikatif malah mempertontonkan gaya hidup yangtidak tahu diri.

Kitaadalah bangsa dengan kekayaan alam tidak terhingga, namun penghuninya menjadimasyarakat kere. Hal ihwal selalu
dituntaskan lewat kekerasan. Para politisnyamenjadi --istilah Nietszhe-- kerumunan manusia yang lebih mengerikan
darimonster sekalipun sebab mereka lebih berminat untuk menyalurkan hasratperkaumannya ketimbang berhidmat kepeda
kepentingan halayak. Aksioma ketamakanyang berbunyi "the more is the better" atau "semakin banyak semakin
bagus"dengan mentah-mentah diterapkan yang kemudian berujung pada mentalmenyesatkan-nya Hobbes, "Kelangsungan
hidup dari mereka yang tersiap"(the survival of the fittes).

 
Pagelaranpemilihan kepala daerah langsung baik di tingkat propinsi atau kabupaten/kotadengan pemenang golput, begitu
juga pemilihan umum, harus kita baca sebagaiekspresi kekecewaan anak bangsa terhadap cara kerja para pengelola negara
yangamatir, tidak pernah mampu menghadirkan Indonesia yang senyatanya.

Melampaui Simbol

Perayaanhari kemerdekaan hakikatnya tidaklah begitu penting seandainya yang dirujukhanya sebatas aspek permukaan
kemeriahan simbolik, sementara substansi di baliksimbol itu tidak pernah kita hiraukan.

Simbolmenjadi cukup berarti ketika memiliki 'kaki tangan' berupa kesigapan  untuk -- penafsiran Clifford Geetrz:
1)penciptaan perasaan dan motivasi kuat; 2) membentuk konsepsi tentang sebuahtatanan umum eksistensi; 3)meletakan
konsepsi itu kepada pancaran-pancaranfaktual; 4) pada akhirnya perasaan dan motivasi itu nampak sebagai suaturealitas
yang mengagumkan.

TanahAirmata

Jika simbolitu tidak pernah menjadi fakta, khawatir bangsa yang telah mampu mengikat 250etnis dan bahasa, yang tersebar
di sekitar 17.500 pulau di sepanjang 81.000kilometer garis pantai dengan suatu lingua franca yang bisa meredamfanatisme
kesukuan dalam  balutan nasionalismeyang memukau pada gilirannya hanya menghadirkan bukan "Tanah Air Ibu
Pertiwi"namun "Tanah Airmata" sebagaimana dengan getir direfleksikan Sutardji CalzoumBachri yang patut kita renungkan
di hari Kemerdekaan RI ke-65 ini:

Tanah air mata tanah tumpahdarahku//mata air airmata kami//air mata tanah air kami//di sinilah kamiberdiri//menyanyikan
airmata kami//di balik gembur subur tanahmu//kami simpanperih kami//di balik etalase megah gedung-gedungmu//kami
coba sembunyian deritakami//kami coba simpan nestapa//kami coba kuburkan dukalara//tapi perih takbisa sembunyi//ia
merebak ke mana mana//bumi memang tak sebatas pandang//danudara luas menunggu/namun kalian tak bisa
menyingkir//kemanapunmelangkah/kalian pijak airmata kami//kemanapun terbang//kalian kan hinggap diairmata
kami//kemanapun berlayar//kalian arungi airmata kami.

Mudah-mudahan serangkaian anomali kemerdekaan ini dapat kita putus. Setelah tahun 1945 kita "bangun" tidak kemudian
kita tidur lagi seperti diingatkan almarhum mbah Surip: banguntidur/tidur lagi/bangun lagi/tidur lagi/bangun.../tidur lagi!
Kemedekaan dalammakna hakiki: we love you full!***

PUASA DAN DIALOG ANTARAGAMA/KOMPAS


oleh Asep Salahudin pada 14 Agustus 2010 jam 23:44

Puasa dan Dialog Antar Agama

Oleh ASEP SALAHUDIN

Kolomnis

 
Membicarakan puasa adalah membicarakan sebuah ritual yang bersifat universal. Puasa merupakan contoh nyata
bagaimana Muhammad saw berdialog dengan ajaran utusan Tuhan yang mendahuluinya. Kebaikan puasa bukan hanya
bersifat lokal Islam saja namun melintasi batas-batas agama.

Puasa diyakini oleh setiap pemeluk agama sebagai satu sarana untuk menajamkan kepekaan nurani. Dari kepekaan ini
terandaikan terwujudnya kemanusiaan yang berkeadilan. Satu samalain saling berempatik.

Sejarah mencatat bagaimana misalnya Siti Maryam berpuasa menjelang kelahiran anaknya (Isa). Musa selama empat puluh
hari menahan   lapardi gunung Thurisin .   Nabi Daud dengan tubuh   kekar mengambil keputusan sepanjang hayatnya
berpuasa satu hari dan berbuka satu hari.

Shidarta Gautamaadalah contoh lain, bagaimana dia, di puncak karir politiknya yang cemerlang memutuskan meninggalkan
hiruk pikuk dunia politik yang penuh trik danintrik,  tepekur di bawah pohon kearifan. Berpuasa demi menyongsong
pencerahan budi untuk kemudian membasuh kembali maknapolitik yang sudah kotor itu. Hindu mengajarkan hal yang tidak
berbeda: selamajiwa dipenjara materi maka selama itu pula diri tidak akan sampai terang.

Konon kepala suku masyarakat Indian di Amerika untuk meredam mewabahnya beragampenyakit  memaklumatkan kepada
semua sukumelakukan puasa.  Dalam peradaban Yunani, seperti ditunjukkan Muhammad Rusli Malik (2003), Socrates dan
muridnya Platobiasa berpuasa guna merengkuh kesehatan fisik dan jiwanya. Hipokrates, seorangdokter terkemuka di
Yunani ternyata seringkali, di saat industri farmasi tidaksepesat sekarang, memberikan resep kepada pasiennya agar sering
berpuasa. Pythagoras, pemikir Yunani yang teramat dikenal oleh anak sekolah karena rumusmatematika yang
menggunakan namanya (Rumus Pytagoras), ternyata rumus itu diperoleh dengan melalui puasa terlebih dahulu selama
empat puluh hari.

Fakata fakta seperti ini seharusnya mendesakkan kesadaran kepada setiap kaum beragama akan makna penting melakukan
dialog dan puasa menjadi tonggak yang mengabarkan halitu.

Dialog menjadi satu kearifan puasa yang mendesak untuk dimunculkan di tengah suasana kehidupankita yang kerapkali
menjadikan keragaman sebagai pemicu munculnya konflik  Keragaman seringkali menjadi awal bagi munculnya perselisihan
yang berujung pada kekerasan.

Teladan sang Nabi

Tentang dialog antar agama Nabi sebenarnya telah memberikan contoh mengagumkan. Bagaimana beliau   mengelola
keragaman agar tidak liar tapi menjadi kekuatan positif untukbersama-sama membangun Madinah yang baik ketika beliau
menjadi pemimpin diMadinah.

Piagam Madinah adalah dokumen penting yang merekam jejak-jejak sikap inklusif sang  Nabi. Dalam piagam yang disebut
Haikal sebagai 'watsiqah siyasiyyah' atau dokumen politik itu diteguhkan, diantaranya: (1) menjamin kebebasan beragama,
(2) larangan saling mengganggu satusama lain, (3) harus membantu satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari;
4)larangan orang melakukan kejahatan. Sebuah piagam yang hakikatnya, sebagamanadikatakan  A. Syafi'i Maa'rif
(1986),merupakan cermin utuh dari upaya penerjemahan secara fungsional nilai-nilaiuniversal dengan tujuan utama
membangun bumi ideal yang berkeadilan di atas nilai moral dan multikulturalisme.

Robert N. Bellah  menyebutkan bahwa contoh pertama nasionalismemodern ialah sistem masyarakat Madinah masa nabi.
Komunitas itu disebut "modern" karena adanya keterbukaan bagi partisifasi seluruh anggota masyarakat,dan karena adanya
kesediaan para pemimpin untuk menerima penilaian berdasarkankemampuan. Hal ini ditandai oleh pencopotan nilai
kesucian atau kesakralandalam memandang suku atau kabilah, sehingga dengan pencopotan itu tidakdibenarkan untuk
menjadikan suku atau kabilah sebagai tujuan pengkudusan dan ekslusivisme. Lebih jauh  Bellah, seperti dikutip Yudi Latif, 
juga menyebut sistem Madinah sebagai bentuk  sikap egaliterpartisifatif. Hal ini berbeda dengan sistem republik negara-
kota Yunani Kuno,yang membuka partisifasi hanya kepada kaum lelaki merdeka, yang hanya meliputi5 % dari penduduk.

Tapabratasosial

Sebulan penuhperut dilatih menahan hasrat material. Jiwa diruwat agar terpatrikan kepekaanrasa untuk selalu
menempatkan 'orang lain' sebagai mitra dalam bersama-samamewujudkan kemanusiaan yang benar-benar bertopang pada
semangat kekitaandalam maknanya yang universal (ummah), persuadaraan yang betul-betulberjangkar pada, istilah filsuf
neosocratisme Gabriel Marcel: Engkau Absolut. .ToiAbsolu: Tuhan menjadi dasar metafisis terdalam  bagi setiap hubungan
antarmanusia.

Di sinilah, sekai lagi letak pentingmenghidupkan kembali dialog agama sebagaimana yang diajarkan puasa. Sebabternyata
keragaman pada akhirnya bersifat hokum alam yang tidak mungkindihindari. Sesuatu yang bersifat alamiyah yang
mengandikan kita menjadikannyasebagai jembatan untuk membangun solidaritas .

Presiden  SBY saat memberi sambutan di acaraPesta Parolopolopon 67 Tahun Kemandirian dan Hari Ulang Tahun ke 146
HuriaKristen Batak Protestan (HKBP) di Glora Bung Karno Senayan Jakarta  mengingatkan bahwa Indonesia merupakan
bangsayang majemuk dan pluralisme. "Perbedaan identitas jangan menjadi sumberperpecahan. Mari perbedaan itu kita
jadikan kekuatan. Sedih jika kita mengenangpengalaman beberapa tahun lalu saat kita berbeda agama dan suku serta ras.
Itukejadian dan pengalaman yang tak boleh terulang. Karena itu, mari kita cegahperselisihan dan kekerasan, tetapi kita
kedepankan kerukunan," tegas SBY.

Tentu saja dialog agama sepertiini mensyaratkan setiap umat beragama untuk dapat mengendalikan egoisme
danegosentrismenya. Dan bukankah puasa adalah satu siasat untuk mengendalikanego-ego seperti ini sebagaimana dengan
bagus diilustrasikan oleh pujanggaSunda, Haji Hassan Mustappa, dalam syairnya:

Kuring ngawula ka kurung

Kurungana sim kuring

Kuring darma dipiwarang

Dipiwarangna ku kuring

Kuringna rumingkang kurang

Kurangna puguh ge kuring


Kuring ngawula ka kurung

Kurungna pengeusi kuring

Kuring sagalana kurang

Kurang da puguh ge kuring

Kuring sagala teu kurang

Sakur nu aya di kuring

Kuring ngalantung di kurung

Kurung kuring eusi kuring

Kuring kurang batur kurang

Rasaning pakuring-kuring

Teu kurang pada teu kurang

Batur-batur cara kuring

DINAMIKA KULTURAL FATWA/Senen, Pikiran Rakyat 09 Agustus 2010


oleh Asep Salahudin pada 13 Agustus 2010 jam 9:28

DINAMIKA KULTURAL FATWA

Oleh ASEP SALAHUDIN

Akhir-akhir ini fatwa MUI kerap menimbulkan reaksi masyarakat baik yang pro atau pun kontro. Kelompok ‘Islam liberal’
dengan giat selalu meng-counter beberapa fatwa MUI yang diindikasikan bertentangan dengan kebebasan yang notabene
merupakan hak dasar manusia dan di jamin UUD 1945.

Di seberang itu, kelompok yang dengan gigih ‘menyelamatkan’ fatwa MUI. Di antara dua kelompok itu, tentu yang menjadi
arus utama adalah masyarakat yang tidak tahu menahu tentang produk-produk fatwa MUI. Bagi kelompok ini ulama di
tingkat lokal yang langsung bersentuhan dengan mereka dijadikan pigur otoritatif untuk menjawab hal ihwal mulai dari
persoalan agama sampai urusan politik.

Tentu saja fatwa hakikatnya bukanlah hukum positif, dan MUI bukan pula lembaga formal penegak hukum. Fatwa adalah
intrupsi moral yang dikeluarkan lembaga keagamaan laiknya NU, Muhamadiyah dan Persis.

Tingkat keterikatan umat terhadap fatwa itu tergantung kepada kredibilitas institusi itu di satu sisi, dan di sisi lain
berhubungan dengan hal teknis bagaimana fatwa keagamaan itu dikomunikasikan secara simpatik kepada massa yang
heterogen.Hal teknis terakhir ini nampaknya relatif terabaikan MUI sehingga ketika fatwa itu dikeluarkan alih-alih
mendapatkan dukungan publik justru seringkali kontra produktif.

 
Nampak jelas MUI tidak cukup paham terhadap pentingnya humas kaitannya dengan komunikasi massa untuk
menyampaikan pesan keagamaan. Seperti dikatakan Prof. Rachmat Syafii kepada penulis, bahwa konteks historis turunnya
fatwa acapkali tidak tergambarkan ke publik padahal ini justru sangat penting, bukan sekadar kesimpulan fatwanya itu
sendiri, sehingga akhirnya nafas kulturalnya menjadi terkesampingkan.

Dinamika Fatwa

M.B. Hooker (2002) dalam penelitian cemerlangnya membongkar alasan filosofis-sosiologis fatwa, “Fatwa ini selalu sangat
penting bagi Islam. Bahkan pada abad ke-15/21 sekarang, ia mengemban hal penting yang jarang ditemukan pada awal-
awal Islam. Dua ratus tahun yang lalu bangsa-bangsa Muslim tunduk terhadap imperialisme Barat. Periode ini
memperlihatkan formulasi hukum syariat ke dalam model Barat yang efektif memutuskan hubungan dengan masa lampau.
Syariat, ekspresi fundamental dari wahyu, tetap dijajah oleh pemikiran Eropa. Hanya fatwalah yang mempertahankan
hubungan antara tantangan modernitas dengan warisan masa lalu karena argumen-argumen selalu merujuk kepada al-
Quran, Sunnah, dan teks-teks klasik tanpa intervensi pengaruh pemikiran Eropa”.

Dalam penelitian Hooker juga dikemukakan tiga faktor yang menentukan corak fatwa tersebut: pertama, corak antrpologis
terhadap doktrin Islam di mana ajaran Islam disikapi sangat akomodatif terhadap tradisi lokal; kedua, corak fatwa pada
masa kolonialisme hingga kemerdekaan. Artinya saat di mana Belanda melakuan kontrol yang kekat terhadap munculnya
ajaran Islam; ketiga, fatwa dalam konstalasi agama dan peran negara dalam kehidupan khususnya masa Orde Baru sampai
sekarang.Penjelasan ini meneguhkan tentang adanya titik singgung yang erat antara fatwa (dan ijtihad) dengan kebijakan
penguasa.

Dalam tradisi Islam tarik menarik antara agama dan negara selalu kental. Hidup dan matinya sebuah mazhab seringkali
ditentukan justru oleh penguasa yang boleh jadi tidak faham terhadap agama. Sebuah faham keagamaan dapat diterima
masyarakat biasanya ketika “umara” ikut andil di dalamnya. Ketika umara tidak berkenan maka jangan harapkan sebuah
aturan agama dapat berjalan mulus. Dalam ungkapan sosiolog Ibn Khaldun, “Agama rakyat itu tergantung kepada agama
penguasa.”

Bagaimana misalnya, sebagaimana diceritakan K.H. Hafidz Utsman, di Syria ulama sekaliber Prof. Dr. Wahbah Zuhaili saja
untuk penetapan 1 Syawwal (dan 1 Ramadhan) cukup bertanya kepada santrinya, “Anda sudah mendengar berita di radio
tentang pengumuman hari lebaran dari pemerintah?”Di negara kita ceritanya lain lagi.

Prosedur fatwa

Dalam tradisi hukum Islam, fatwa (ifta’) bukanlah hal asing. Ushul Fikih (epsitemologi hukum Islam) dengan cukup utuh
telah memberikan kode etik serta persyaratan ketat berkaitan dengan fatwa sebagaiman dalam yurisprudensi klasik dibuat
al-Bagdadi (w. 429/1037). Ketatnya persyaratan seperti ini diasumsikan agar sampai tidak keluar sebuah fatwa yang liar
(walaupun sebenarnya sebuah fatwa bisa berubah di kemudian hari) yang dalam tradisi pembentukan hukum Islam disebut
dengan tahakkum (membuat-buat hukum yang sangat di kecam al-Quran), “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa
yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta. ‘Ini halal dan ini haram’ untuk mengadakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengadakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” (QS. al-Nahl: 116). Sabda
Muhammad saw, “Orang yang paling berani di antara kamu untuk berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka”
(HR Darami).

 
Kerangka ini yang menjadi latar MUI mengeluarkan pedoman yang mengatur prosedur dan sistem pemberian jawaban
keagamaan. Disebutkan empat dasar umum penetapan hukum: (1) setiap keputusan harus memiliki dasar dalam al-Quran
dan sunnah Nabi; (2) Jika tidak ditemukan dalam Quran dan hadis maka fatwa itu tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas
yang mu’tabar, dan metode hukum lain (istihsan, masalihul mursalah, dsb); 3) sebelum pengambilan keputusan fatwa
hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam mazhab terdahulu; 4) pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang
akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangan.

Tiga hal lainnya yang berkaitan dengan prosedur penetapan fatwa: (1) setiap masalah dipelajari dengan seksama; (2)
masalah yang talah jelas hukumnya disampaikan sebagaimana adanya; (3) dalam masalah khilafiyah, maka yang
difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fikih muqaran (fikih perbandingan) dengan menggunakan kaidah-
kaidah ushul fikih yang berlaku. Tentu paradigma sebagai sumber acuannya adalah prinsip universal kemaslahatan manusia
yang menjadi modus utama syariah (maqashid asy-syariah) yang meliputi: agama (al-din), jiwa (al-nafs), keluarga (al-nasl),
nalar (al-‘aql), dan harta benda (al-mal). Yusuf al-Qardlawi dalam Ri’ayatu al-Bi’ah fi al-Syarî’ati al-Islamiyyah menambahkan
bahwa memelihara lingkungan derajatnya sama dengan prinsip universal itu.

Khilafiyah

Laiknya sebuah pemikiran apalagi yang berkaitan dengan masalah furu’iyah (bukan persoalan ushuluiyah/fundamental
agama) selalu menyisakan satu kemungkinan: khilafiyah (diperdebatkan). Fatwa yang dikeluarkan Nahdatul Ulama,
Muhamadiyah, Persis dan MUI dalam merespon perkembangan modernitas dan kompleksitas perkembangan kebudayaan
manusia satu sama lain ada perbedaan. Di samping juga tidak sedikit persamaan.

Tradisi ijtihad adalah tradisi dengan heterogenitas (keragaman) pendapat (aqwal) termasuk tampilnya pendapat arus kecil
(qil). Perbedaan yang akarnya sangat beragam. Minimal ada tiga. Pertama, faktor eksternal sumber utamanya al-Quran
yang banyak di kemas dalam bentuk ayat-ayat simbolik. Resiko dari teks simbolik adalah perbedaan interpretasi dalam
memaknainya; Kedua, faktor eksternal yang berhubungan dengan sosio-kultural sang penafsir; Ketiga, pilihan metodologi
penetapan hukum yang berbeda.

Bahkan dalam pribadi seorang mujtahid sekali pun terbuka untuk berbeda ketika terjadi perubahan ruang dan waktu. Kasus
revisi hukum yang dilakukan Imam Syafi’i dari qaul qadim (pendapat klasik ketika beliau berdomisili di Irak) menjadi qaul
jadid (pendapat baru tatkala bertempat di Mesir) merupakan bukti utama adanya pergeseran hukum sebagaimana terlacak
dalam al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i (Abu Ishaq Ibarahim asy-Syirazi) dan kitab al-Imam asy-Syafi’i fi Madzahib al-
Qadim wa al-Jadid (Ahmad Nahrawi Abdu Salam). Al-Qurannya sendiri memberikan contoh tentang teori amandemen: ayat
yang satu diamandemen (mansukh) oleh ayat yang lainnya (nasikh).

Alhasil, fatwa adalah sesuatu yang bersifat ijtihadi. Termasuk penafsiran kelompok yang tidak sepakat dengan fatwa itu.
Justru menjadi tidak proporsional ketika disikapi sebagai sesuatu yang mutlak. Seandainya yang terakhir yang terjadi, maka
inilah tragedi yang disebut Muhammad Arkoun sebagai madaniyawat al-makna (mitologisasi makna). Pemahaman seperti ini
pada gilirannya akan melahirkan pemberhalaan terhadap nalar Islam (taqdis al-afkar al-Islamiy). Anehnya, ini yang justru
kerap kali muncul dalam pengalaman keberagamaan kita. Dialogpun tertutup, dan andaipun ada maka sama sekali tidak
produktif sebagai “rumah aspirasi” umat.***

Penulis, wakil rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. DINAMIKA KULTURAL FATWA/HU Pikiran Rakyat, Senen, 09
Agustus 2010

ISLAM SUNDA DAN SUNDA ISLAM/HU. Pikiran Rakyat, 07 Agustus 2010


oleh Asep Salahudin pada 18 Agustus 2010 jam 21:09

Islam Sunda dan Sunda Islam

Oleh ASEP SALAHUDIN

Pengamat Kebudayaan Sunda

Islam Sunda dan Sunda Islam yang pertama kali dilontarkan Haji Endang Saefudin Anshari nyaris sudah menjadi jargon.
Walaupun sesungguhnya kita belum membuktikan secara ilmiah relasi Islam-Sunda dan Sunda-Islam. Klaim dua
nomenklatur yang sesungguhnya memiliki sejarah yang berbeda kita terima sebagai fakta keseharian masyarakat Sunda,
tanpa merasa perlu mengecek aspek epistemologisnya.

Benarkah Sunda itu identik dengan Islam dan Islam itu identik dengan Sunda? Jawabannya, kalau merujuk kepada tesis
Jakob Sumardjo, kita jangan cepat mengambil kesimpulan seperti itu. Intrupsi prof. Jakob dalam konteks ini benar-benar
ditancapkan di atas pijakan argumen yang ajeg.

Terlepas dari itu, sesungguhnya kalau kita mau mengkaji pemikiran pujangga, filsuf dan ulama terkemuka Sunda, Haji
Hasan Mustapa, akan kita dapati sebuah upaya untuk mengawinkan Islam dan Sunda tanpa harus satu sama lain saling
menegasikan. Upaya kreatif ini minimal menjadi pintu masuk untuk meneguhkan bagaimana Islam musti ditafsirkan dalam
nafas penghayatan manusia Sunda, kalau agama itu memiliki hasrat untuk ‘menyatu’ (adumanis) dengan budaya lokal.
Tidak secara langsung sesungguhnya Haji Hasan Mustapa tengah berupaya mengislamkan Sunda dan menyundakan Islam.

Haluan penafsiran

Tidak tanggung-tanggung, ijtihad budayanya ini dijangkarkan kepada pijakan pokok pedoman hidup umat Islam: al-Quran.
Bagi haji Hasan Mustapa al-Quran itu tidak musti dipahami dalam konteks ideologi dan geneologi pengetahuan Arab, namun
justru harus dijangkarkan dalam tradisi lokal dalam hal ini semangat kebudayaan Sunda: ieu ditulis ku kaula Kuranna, jeung
ukuran jiwa Kaula.

Maka menjadi sangat tidak aneh, bagi Haji Hasan Mustapa, lebih membumi mengangkat tema Sangkuriang, Dayang Sumbi,
Mundinglaya di Kusumah, Sunan Ambu, Ratu Galuh, aripada berpanjang lebar membahas manusia yang dalam domain
kesundaan a historie seperti hikayat Ashabul Kahfi, Firaun, kisah Nasrani, dan seterusnya.

Kita simak nalar yang menjadi alasan pujangga itu sebagaimana dikutip Ajip Rosidi (1983), ”Ari ayat-ayat anu loba mah
samar kapake eusina ku jalma-jalma sambarangan, sabab tangtu kurang parabotna, basa-basa sindir, kirata, sasmita-
perwira perbawana pikeun jiwa rasa sorangan rawuh kamaslahatan dunya, contona hikayat sohibul kahfi, hikayat firaon
jeung Musa, hikayat Ibrohim jeung Namrud, Musa jeung Hidir, Yunus jeung umatna, Musa jeung umatna, Nuh jeung
umatna, Isa jeung yahudina, Dulkornaen jeung lalakon Rosululloh di Mekah, Abu Jahalna jeung sajaba ti eta. Eta mah ku
kaula henteu dipetik, sabab jauh pisan katepina ku prawira sasmitana bangsa kaula, elmuna, amalna, tedakna, pakakas
basa Arab. Hikmahna surtina kana dunya, kirata basa, bangsa kaula ngan tepi kana sisindiran, kirata, wawangsalan…”

 
Maka menjadi sangat dipahami pula ketika dia menginterpretasikan al-Quran, sang pembaca tidak dibawa ke alam Timur
Tengah namun justru yang mengendap dalam layar bawah sadarnya adalah ingatan tentang alam dan kebudayaan Sunda.
Yang tergambarkan bukan pedang, namun kujang. Yang teringat tidak fantasi padang pasir yang tandus dan kering, tetapi
alam pasundan (dahulu) dengan gunung menjulang dan sawah yang hijau, sungai dengan air jernih mengalir. Yang muncul
bukan manusia yang kepalanya ‘dibulen’ surban, tapi sosok-sosok yang kepalanya diikat iket baik iket perengkos nangka,
barangbang semplak atau, julang ngapak , porteng, talingkup, borongsong keong, udeng, kuda ngencar, bungkus
peuyeum, babalian. Yang menjadi objek korespondensinya bukan jubah namun baju kampret atau pangsi. Tidak juga
terbayangkan suara gembus dan rebana dengan tari perutnya tatapi kecapi, suling atau Cianjuran, Bandungan dan
Cigawiran dengan tarian jaipong, ngibing dan ketuk tilunya.

Di sinilah terpilih susunan kata yang berbentuk dangding, guguritan, kinanti, asmarandana dan atau gaya bahasa yang
mendekati jangjawokan dan pantun yang memang hal ini sudah menjadi ruh dalam bahasa Sunda sebagaimana nampak
dalam pantun tua Lutung Kasarung.

Bagi Haji Hasan Mustapa, al-Quran bukan sekadar berisi akrobat logika memuaskan hasrat ilmiah intelektual namun lebih
penting dari itu adalah bagaimana firman Tuhan itu menyejarah menjadi bagian dari tindakan keseharian. Dalam
ungkapannya, bahwa al-Quran itu adalah kecap terusing nyata.

Iman bukan hanya persoalan percaya, namun yang mendesak untuk direnungkan adalah bagaimana iman itu menjadi
afektif dan efektif menggerakkan laku manusia sehingga seluruh perbuatannya sebanding lurus dengan nilai-nilai
kebenaran. Iman menjadi identik dengan pendistribusian rasa aman kepada sesama, menjadi energi untuk selalu bersikap
amanah, menjunjung tinggi toleransi, kejujuran dan terbuka termasuk kesediaan untuk berdialog dengan keyakinan yang
tidak sama seperti dapat kita simak ketika beliau menafsirkan ayat ke dua surat kedua: “sabab iman taya iman, karana
ngaran iman teh wawanen; aman salamet amanat puraga jiwa ragana, tacan nelah lamun tacan kapilampah.”

Al-Quran menjadi kitab suci dengan kehendak utama diturunkannya untuk: membangun semesta yang berkeadaban,
menciptakan keadilan dan cinta kasih seperti dengan menarik dapat kita tangkap ketika ditafsirkan surat al-Balad ayat
empat:

Mipir bukit palasari, tanjakan maraga cinta. Sundana: apik ka ati nyaah ka tanaga, udar cangreud tina beuheung, tina
cangred loba biheung. Jeung sasama silih papatahan silih pikaheman. Nu matak sok pedor jodo panjang duriat, jodo
menang jodo, jadi opat modalna kasukaan, jadi kalimana.

Ijtihad budaya

Tentu saja ijtihad budaya relasinya dengan agama yang telah diretas pujangga sirna di rasa ini, jangan sampai berhenti
sebatas ini, namun harus ada upaya lebih jauh dari generasi di kemudian hari untuk mengembangkan tafsir keberagamaan
yang mencerahkan (iluminasi), membawa perubahan ke arah kehidupan yang santun (transformasi) dan membebaskan dari
setiap belenggu yang dapat mendangkalkan martabat kemanusiaan (liberasi) dengan tetap berpijak kepada gugusan tradisi
kesundaan yang kokoh.

Tafsir seperti ini justru menjadi sangat penting ketika saat ini yang dominan dalam pemahaman keberagamaan masyarakat
Sunda adalah interpretasi yang serba harfiah, hitam putih dan cenderung mengabaikan budaya lokal. Tafsir serampangan
yang pada gilirannya telah menciptakan ketegangan antara agama dan Sunda. Pihak agamawan mencurigai para penganut
Sunda sebagai sesuatu yang harus ’dimurnikan’ karena sedari awal sudah dianggap jauh menyimpang dari otentisitas
agamanya, sementara para penggerak kelestarian budaya Sunda menebarkan asumsi yang tidak jauh berbeda:
berpandangan agama sebagai ’orang luar’ yang tengah merusak tatanan dan pertahanan budaya leluhur.

Paradigma yang dibangun Haji Hasan Mutapa minimal telah memberikan jembatan emas bagaimana Islam dan Sunda dapat
dipadukan dengan harmomnis sehingga tafsir yang ditulisnya bukan hanya melampaui zamannya namun juga memberikan
wawasan baru yang kaya akan makna dengan tetap berpijak dalam jantung kebudayaan Sunda.

ISLAM SUNDA DAN SUNDA ISLAM/HU. Pikiran Rakyat, 07 Agustus 2010

Unpad, Seleksi CPNS dan “Kabuyutan”/HU KOMPAS, Kamis, 22 Juli 2010


oleh Asep Salahudin pada 11 Agustus 2010 jam 17:49

Unpad, Seleksi CPNS dan “Kabuyutan”

Oleh ASEP SALAHUDIN

Menarik mencermati tulisan Dede Mariana, “Unpad dan Rekrutmen PNS” (Kompas Jabar, 15/7) yang menyoroti lemahnya
Standard Operating Procedure (SOP) di setiap departemen yang ada di Negara kita. Akibatnya cukup patal, birokrasi
menjadi sangat gemuk dan jauh dari sifat efisien-epektif. Alih-alih berkiblat pada birokrasi kontemporer yang berorientasi
pada masyarakat dan pemerintah (society and governance perspective), justru semakin meneguhkan paradigma yang
nyamuni, “kalau bisa dipersulit untuk apa dipermudah”.

Maka menjadi sangat wajar kalau salah satu hal yang dianggap paling tidak berkesan dalam benak masyarakat adalah
berurusan dengan birokrasi. Mulai dari membuat KTP, STNK, Surat Kelakuan Baik, Akte Kelahiran, Sertifikat Tanah, dan lain
sebagainya. Dalam pengumuman terpampang kata gratis, faktanya jauh panggang dari api. Contoh paling sederhana dan
sekarang tengah menjadi sorotan publik adalah pungutan di SD-SD terutama di Kota Bandung . Modusnya sangat beragam.

Tragisnya ini justru dilakukan di lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi contoh ajegnya etika, menjadi teladan
tentang satunya perkataan dan perbuatan, menjadi benteng terakhir moralitas bangsa termasuk dalam kesalehan
administrasi. Ini bukan isapan jempol belaka namun saya sebagai orang tua dari anak yang tengah sekolah di SD
mengalaminya sendiri.Rekrutmen PNSNampaknya salah satu pintu masuk untuk membenahi birokrasi kita adalah
keniscayaan seleksi rekrutmen PNS yang notabene akan menjadi calon birokrat harus akuntabel, transparan, profesional,
terbebas dari pungutan-pungutan yang tidak semestinya, dan membuang jauh-jauh seleksi karena alasan KKN.

Seandainya hal ini tidak dilakukan maka jangan harap akan terwujud birokrasi yang society and governance perspective,
yang terciptanya justru gemuk dan tidak bermutu.Inilah nampaknya yang menjadi alasan utama pemerintah menggandeng
Perguruan Tinggi termasuk dalam hal ini universtitas kebanggan Jawa Barat, Unpad dalam melakukan seleksi rekrutmen
calon PNS. Perguruan Tinggi sebagai gudangnya akademisi, tempatanya berkumpul manusia kritis, memiliki lembaga
penelitian yang kredibel, dianggap memenuhi kompetensi tinggi dalam menyelenggarakan seleksi itu.

Tentu semua mengharap kasus aib yang menimpa KPU tempo hari ketika diserahkan kepada kaum akademisi dengan
tujuan agar lebih bagus justru berujung pada pemenjaraan ketua dan sebagian besar anggotanya tidak terjadi. Perguruan
tinggi dalam konteks ini Unpad dapat menyelenggarakan seleksi dengan lebih bermartabat .Kita tidak lagi mendengar cerita
tragis dahulu ketika sistem seleksi dilakukan Pemda dan departemen di mana para sarjana menjual sawah dan kerbau
orang tuanya hanya untuk membeli kursi PNS. 40 – 70 juta disetorkan demi mencicipi uang bulanan dari pemerintah
dengan cara menggusur hak orang lain yang lebih mampu namun tidak memiliki uang sogokan.

Ketika Unpad mampu melakukannya dengan profesional maka ini bukan hanya nilai plus bagi citra perguruan tinggi ini,
namun juga akan menebarkan aroma harum bagi masyarakat Padjadjaran. Dan hal ini tentu adalah investasi jangka
panjang sekaligus konstribusi yang sangat berharga bagi kemajuan birokrasi bangsa demi mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang bersih.

Padjajaran “kabuyutan”

Dalam konteks budaya Sunda hal mana Unpad dengan fasih banyak berbicara tentang ini, saya melihat bahwa ini adalah
salah satu kesempatan untuk menjadikan Unpad sebagai lembaga “Mandala” dan “Kabuyutan”. “Mandala” dan “Kabuyutan”
dalam konteks moderen adalah simpul tempat tersemainya moralitas, terasahnya nalar dan terbangunnya kehangatan
spiritual.

Dalam “Amanat Galunggung” dengan telak disebutkan bahwa bangsa (lembaga atau masyarakat) yang tidak bisa menjaga
kabuyutan sehingga kabuyutan itu jatuh ke tangan orang lain maka harkatnya tidak lebih mulya dari lasun di jariyan
(musang di tempat sampah). Ketika kabuyutan ini punah tentu kehancuran birokrasi hanya tinggal menunggu waktu.Tentu
saja dalam falsafah Sunda sakralitas Mandala ini dihubungkan dengan asal usul riwayat yang mentahbiskan ihwal “tanda
tangan” Tuhan di tempat itu.

Dalam pemahaman masyarakat Baduy misalnya seperti dalam penelitian Saleh Danasasmita dan Atis Djatisunda (1986)
bagaimana mandala Parahiyangan yang berlokasi di “Hutan Larangan” pada hulu Ciparahiyang bertemali erat dengan
mitologi. Konon di Kanekes Batara Cikal, salah seorang dari tujuh batara diturunkan. Batara Cikal ini kemudian meneteskan
para dalem yaitu Sanghyang Dalem Janggala, Sanghyang Dalem Patanjala, Sanghyang Dalem Lagoni, dan Sanghyang
Dalem Putih Sida Hurip.

Panitia seleksi tidak tergoda sedikitpun oleh pesona uang yang mungkin ditawarkan calon PNS seperti ajaran leluhur Sunda,
“Ini pelengkap perbuatan agar tidak gagal dalam hidup, untuk kelengkapan di rumah sendiri. Hendaknya: teliti, cerma,
rajin, tekun, tangkas, berbadan kuat, cekatan, gesit. Ingatlah, kita tidak membuat sawah agar hidup tidak sengsara.
Ingatlah, kita membuat kebun agar tidak memetik lalap di ladang kecil kepunyaan orang lain atau di ladang besar milik
orang lain. Mubazirlah hasil upaya kita bercocok tanam. Memiliki ternak agar tidak usah membeli atau menukar, memiliki
perkakas agar tidak pelu meminjam”.Seleksi PNS bukanlah berjangkar pada garis keturunan seperti dalam hikmah perennial
Sunda yang sangat egalitarian sehingga mereka (orang Baduy) tidak mengenal stratifikasi sosial.

Seandainya ada pelapisan sosial maka yang menjadi haluannya bukan garis keturunan namun hanya ’sekadar pembagian
status wilayah’ yang mereka bagi menjadi tiga yakni Tangtu, Penamping dan Dangka.

Menarik menyimak kearifan orang Sunda tentang keharusan sikap basajan (tidak pernah tergiur dengan segala bentuk
suap) dan selalu kokoh menjaga moralitas (ngamandala) yang menyatu dengan nagara (nganagara) dan ritual seperti
pernah diteliti Saleh Danasasmita dan Anis Jatisunda (1986) yakni:Pertama, ngareksakeun sasaka pusaka bumi (memelihara
tempat pemujaan di Pada Ageung); kedua, ngareksakeun sasaka domas (memelihara tempat pemujaan di Parahiyang);
ketiga, ngasuh ratu ngajayak menak (mengasuh penguasa dan mengemong para pembesar); keempat, ngabaratapakeun
nusa telungpuluh telu, bangsawan sawidak lima pancer salawe nagara (mempertapakan nusa 33, sungai 65, pusat 25
negara atau mempertapakan mandala Kanekes); kelima, kalanjakan kapundayan (berburu dan menangkap ikan untuk
keperluan upacara Kawalu); dan keenam, ngukus ngawalu muja ngalaksa (membakar dupa waktu memuja, melaksanakan
upacara kawalu dan upacara membuat laksa atau upacara tutup tahun).

Tulisan yang berangkat dari referensi kultural lokal ini, semoga menjadi tambahan tulisan Dede Mariana. Sistem rekrutmen
PNS yang dipercayakan kepada perguruan tinggi ini di satu sisi dapat membangun citra universitas dan kepercayaan
masyarakat, di sisi lain memberikan konstribusi positif bagi pangwangunan bangsa di tengah bobroknya birokrasi kita.
Semoga.***

ASEP SALAHUDIN, pengamat kebudayaan Sunda, wakil rektor IAILM

Di Muat di HU KOMPAS, Kamis, 22 Juli 2010

Anda mungkin juga menyukai