Anda di halaman 1dari 6

Achmad Fazlurrahman Alrazie 08/270429/FI/03459

Nasionalisme dan kebingungan masyarakat Indonesia.


Nasionalisme, kosa kata yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Namun kepopuleran kata nasionalisme itu sendiri tidak berjalan lurus dengan kayanya pemahaman kita terhadap makna yang dimaksudkannya. Di saat kolektivitas negara beserta rasa kebangsaan memudar dengan munculnya pertentangan-pertentangan terhadap birokrasi pemerintah. Kata ini tiba-tiba muncul sebagai pengobat kekecewaan rakyat. Nasionalisme digembar-gemborkan sebagai sikap kepedulian yang utopi. Rakyat diberikan wejangan-wejangan politik yang tak ubahnya syair-syair lagu yang teramat merdu. Tujuannya, tentu agar masyarakat kita kembali solid dan mahfum terhadap persoalan bangsa tanpa sedikit pun memikirkan untuk meninggalkan bangsa ini. Masyarakat dihibur dengan fantasi-fantasi kemenangan dan keagungan bangsanya. Pengalihan isu-isu politik terhadap kejayaan masa lalu ataupun aksi-aksi heroik pahlawan kita dengan semboyan satu bangsa Indonesia, satu bahasa Indonesia, satu tanah air Indonesia kembali diputar sebagai tontonan yang menusuk setiap relung hati kita. Bisa ditebak, sebagai dampaknya masyarakat kita kembali sibuk membenahi rasa kecintaannya terhadap negara. Sebagian orang bahkan percaya, ketika mereka mendukung Indonesia dalam berbagai ajang internasional. Maka mereka telah memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Lagu-lagu bertemakan nasiolisme pun ramai dipasaran, salah satunya lagu garuda di dadaku. Sepakbola dan badminton hanyalah contoh kecil bagaimana kita bisa menyaksikan langsung masyarakat kita begitu sangat mencintai tanah airnya. Masyarakat berbondng-bondong untuk bernyanyi bersama melupakan carut marut bangsa. Menumpahkan kebanggaannya pada pertandingan melawan tim negara lain dengan antusiasme yang tak ternilai besarnya. Pertanyaannya, apakah ini nasionalisme?

Dilain sisi, nasionalisme Indonesia tak ubahnya semboyan-semboyan legalitas politik dengan daya jual tinggi. Contohnya saja, dengan membayar pajak secara tepat waktu maka bisa dikatakan tingkat nasionalismenya tinggi. Slogan-slogan seperti hari gini ga bayar pajak, apa kata dunia? atau pun slogan-slogan yang lebih menampar kepedulian kita sebagai warga negara seperti warga negara yang baik, taat membayar pajak menggema disetiap pelosok negeri ini. Bahkan dalam bentuk lainnya, sloganslogan aku cinta produk Indonesia yang memahami nasionalisme sebagai penghargaan atas barang-barang buatan dalam negeri juga turut meramaikan persepsi kita mengenai nasionalisme. Tentu saja, ketika kita membeli, maka dapat dipastikan nasionalisme yang dimaksudkan dalam slogan tersebut tercapai. Cukup jelas, dari gambaran saya sebelumnya. Dapat ditarik suatu benang merah bahwa kita memang masih memaknai nasionalisme itu sebagai tindakan yang terlalu mengagung-agungkan identitas. Bagi sebagian masyarakat kita, nasionalisme itu masih seumpama barang yang teramat mulia, yang mampu menyihir kita untuk pasrah ketika ditanyai mana nasionalisme kita? Bisa jadi, berangkat dari argumentasi tersebut. Kita mungkin masih menganggap bahwa tanpa nasionalisme kita hanyalah mahluk yang teramat menjijikan. Lebih parah lagi, banyak kalangan pemuda kita memahami nasionalisme hanya sebatas lifestyle saja. Batik dipakai disana-sini sebagai identitas, dipermak dengan model model yang tidak ketinggalan jaman. Tas, dompet, topi, jacket bahkan perlatan ibadah pun tak lepas dari nuansa batik. Mereka percaya bahwa batik itulah Indonesia. Mengapa begitu? Apakah Kalimantan, Papua atau daerah lain diluar jawa memakai batik?. Argumentasi batik sebagai identitas nasional pun perlu diragukan. Karena menurut saya, batik lebih sebagai identitas kebudayaan suatu daerah dan bukan Indonesia secara menyeluruh. Kalaupun itu sebagai bagian dari Indonesia, maka batik lebih pantas dikategorikan kedalam warisan budaya yang perlu bahkan wajib dilestarikan. Lagi-lagi terkait hal diatas, kita masih bingung terhadap apa makna nasionalisme itu?

Model-model nasionalisme yang mengusung tema kedaerahan bahkan kini telah memasuki ruang yang begitu luas. Nasionalisme kini seolah-olah menjadi identitas yang memisahkan, yang pada tataran tertentu memungkinkan setiap individu untuk bebas mencari pandangan nasionalismenya masing-masing. Hal ini tak lain, karena tidak adanya konsep yang jelas mengenai nasionalisme itu sendiri. Kemudian percekcokan itu malah membawa kita pada suatu argumentasi yang belum tentu sepenuhnya benar yang menyalahkan negara. Negara dianggap tidak mampu mencerdaskan bangsa, sehingga rakyatnya tetap bodoh dengan kebingungan-kebingungannya yang konyol. Nasionalisme memang dapat sangat berbahaya jika dipahami secara sempit. Pemikir Inggris Richard Aldington (1931: bag. 1 Bab. 6, dlm Baskara Wardaya, 2002: 1516) pernah mengingatkan bahwa memahami nasionalisme secara sempit itu seperti a silly coke crowing on its own dunghill and calling for larger spur and brighter beak, alias ayam jago tolol yang berkokok di atas tumpukan kotorannya sendiri sambil menyerukan tuntutan agar tajinya lebih besar dan paruhnya menjadi lebih mengkilat. Dengan kata lain, analogi tersebut hendak mengartikan bahwa nasionalisme itu pada dasarnya hanyalah sebuah impian belaka. Apalagi ketika kita hanya mampu memaknai nasionalisme secara sempit, mungkin memang cukup pantas jika kita disebut sebagai ayam jago tolol.

Masa Depan Nasionalisme Indonesia.


Kemudian dipenghujung tulisan ini, mau tak mau penulis pun pada akhirnya harus membayangkan bagaimana nasionalisme Indonesia di masa depan. Mengapa harus Indonesia? Simpel saja. Di Indonesia inilah gambaran gambaran mengenai nasionalisme masih amat sangat beragam. Penulis sepakat dengan pernyataan Benedict Anderson dalam bukunya Nasionalisme Indonesia Kini dan Di Masa Depan yang menyatakan Indonesia adalah contoh yang paling bagus dalam berbagai hal mengenai nasionalisme masa kini. (Benedict Anderson, 2010 : 3). Di Indonesia, kita dapat melihat betapa nasionalisme begitu lekat dengan harapan untuk masa depan, jika kita perhatikan nama-nama dari organisasi awal yang bergabung

dengan gerakan kemerdekaan pada awal abad-20: Jong Java, Indonesia Muda, Jong Islamietenbond (Liga Muslim Muda), Jong Minahasa, dan sebagainya. Tak ada satupun organisasi yang menamai diri mereka Jawa Tua, Bali Abadi, atau sejenisnya. Orientasi mereka adalah menuju masa depan dan basis sosialnya adalah para pemuda (Bahkan hingga saat ini, kekuatan politik istimewa yang dimiliki mahasiswa terletak pada posisi sosial mereka sebagai simbol masa depan bangsa). (Benedict Anderson, 2010 : 6). Lebih jauh lagi, para pemuda pada masa itu menggunakan identitas kedaerahan mereka bukan atas nama nasionalisme lokal yang separatis, namun sebagai penanda akan komitmen kedaerahan mereka terhadap kebersamaan sesama koloni dan proyek bersama untuk pembebasan. Mereka tak terlalu lagi mempedulikan bahwa dulu raja Aceh pernah menjajah wilayah pesisir Minangkabau, bahwa raja orang Bugis pernah memperbudak orang-orang di perbukitan Toraja, bahwa bangsawan-bangsawan Jawa pernah mencoba untuk menaklukan dataran tinggi Sunda, atau maharaja Bali yang pernah dengan sukses menundukan Pulau Sasak. (Benedict Anderson, 2010 : 6) . Pada masa itu, Nasionalisme memang sangat jelas peranannya. Nasionalisme telah memerdekakan Indonesia dengan persatuannya. Namun, siapa sangka justru ketika kita sudah sedikit leluasa menentukan nasib bangsanya sendiri. Kita terjebak kedalam pertengkaran dengan bangsa sendiri?, dengan orang-orang yang dulunya berjuang bersama demi kemerdekaan dan kedaulatan tanah air Indonesia. Masih teringat jelas pada ingatan kita, bagaimana militer kita dan kaum-kaum fanatik keagamaan lainnya membantai ribuan jiwa masyarakat Indonesia yang dicurigai sebagai PKI di tahun 1965. Sekitar 500.000 warga negara Indonesia yang terdiri dari petani, buruh, pemuda, dan para guru meregang nyawa. Kira-kira 250.000 orang lainnya ditahan, bahkan 100.000 orang diantaranya disiksa dalam kamp-kamp konsentrasi. Hingga saat ini, keberadaan mereka pun masih belum jelas. (Malcolm Caldwell dan Ernst Utrecht, 2011 : 263). Contoh yang teramat baru mengenai bagaimana kita acapkali sibuk mengawinkan

kedaulatan negara dengan jalan kekerasan adalah bagaimana kita masih sering terpancing dalam peperangan dengan bangsa sendiri. Seperti, konflik militer dengan gerakan Aceh merdeka ataupun dengan separatis Papua. Apakah ini kedaulatan negara yang kita inginkan? Sekali lagi, jika meruntut pada definisi Hans Kohn (1971: 9) yang menggarisbawahi bahwa esensi nasionalisme adalah sama, yaitu a state of mind, in which the supreme loyality of the individual is felt to be due the nation state (sikap mental, dimana kesetiaan tertinggi dirasakan sudah selayaknya diserahkan kepada negara bangsa). Apakah kesetiaan itu memperbolehkan kita mengkesampingkan dan merampas hak hidup orang lain? Entahlah Itulah sejarah, tanpa disadari memang kerap menyakitkan. Bahkan rasa sakit itu dapat terus terulang dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang kurang lebih sama. Begitupun juga nasionalisme sebagai bagian dari perjalanan manusia, bukan tidak mungkin akan mengalami fase pengulangan dalam sejarah. Atau bahkan, bentuknya bisa saja lebih kejam dari pada kejahatan fanatisme masa lalu, seperti saat fasisme menggemparkan dunia. Sebagai penutup, penulis meminjam kata-kata Benedict Anderson untuk kita agar selalu berhati-hati dalam menyerap segala bentuk fanatisme sempit. Waspadalah kepada siapapun yang membuat negara menjadi sesuatu yang sakral dan senantiasa dipuja, dan waspadalah kepada siapa saja yang selalu membanggakan kejayaan nenek moyang yang begitu agung. Milikmu akan segera dicurinya. (Benedict Anderson, 2010 : 5). Daftar Pustaka Anderson, Benedict. 2010. Nasionalisme Indonesia Kini dan Di Masa Depan (terjemahan Bramantya Basuki). Penerbit Anjing Galak. (e-book dapat di unduh di www.anjinggalak.tk). Baskara, Wardaya. 2002. Nasionalisme Universal: Menjawab Ajakan PascaNasionalismenya Romo Mangun, dalam Jurnal Iman, Ilmu Budaya. vol. 3. Sept. 2002. Jakarta: Yayasan Bhumiksara

Caldwell, Malcolm dan Ernest Utrecht. 2011. Sejarah Alternatif Indonesia. Yogyakarta : Djaman Baroe. Kohn, H. 1971. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terjemahan Sumantri Mertodipura). Jakarta: Pustaka Sardjana

Anda mungkin juga menyukai