Anda di halaman 1dari 3

MATERI DISKUSI PANEL

BUKU “MEMBACA ETIKA POLITIK


DALAM UNTAIAN SASTRA ROMO MANGUN”
KARYA: ANSELMUS D. ATASOGE

OLEH: VINSENSIUS CRISPINUS LEMBA

Membaca seluruh isi buku ini, saya tentu menyampaikan proficiat dan apresiasi kepada Bapak
Anselmus Atasoge atas karya luar biasa melalui penulisan dan penerbitan Buku “Membaca Etika
Politik Dalam Untaian Sastra Romo Mangun”. Saya sangat setuju dengan Bapak Bupati Flores
Timur – sebagaimana terbaca dalam Kata Pengantar buku tersebut – yang berpendapat bahwa
buku ini cocok dibaca oleh semua kalangan, bukan hanya para politisi, tetapi juga semua warga
masyarakat. Alasannya sangat sederhana, karna buku ini mengupas tentang hidup berbangsa dan
bernegara ditilik dari sisi etika politik – suatu soal hidup yang digeluti oleh semua warga
masyarakat. Lagi pula disajikan dengan bahasa yang ringan dan luwes, yang memudahkan setiap
kita memahaminya.
Saya menangkap cukup banyak hal yang diulas secara detail dalam buku ini. Namun pada
kesempatan ini, saya mengajak kita untuk memberikan perhatian pada perpaduan beberapa
pikiran yang tersaji dalam 2 novel dan 2 cerpen Mangunwijaya, yaitu Burung-Burung Manyar,
Durga Umayi, Pohon Durian Kek Kopral, dan Impian Si Mul, sebagaimana dikemukakan dalam
buku ini.
1. Mangunwijaya mempunyai mimpi tentang sebuah Negara yang berjatidiri seperti Burung
Manyar, yang sanggup memerdekakan warganya, yang mengutamakan kesejahteraan
umum para warganya. Namun, siapa atau apa yang dimaksudkan Mangunwijaya ketika
menyebut Negara yang memerdekakan warganya? Di sinilah Pa Ansel membaca pikiran
Mangunwijaya yang terarah pada manusia-manusia yang dipercayakan untuk memimpin
bangsa dan Negara. Manusia-manusia itu adalah pribadi yang berkualitas yang mampu
hidup atas dasar jati dirinya sendiri, yang mampu bersama warganya membebaskan diri
dari serpihan mentalitas lama. Di sinilah dibutuhkan peran pemimpin bangsa dan negeri
ini.
2. Pemimpin yang diidealkan oleh Mangunwijaya adalah seperti Pertiwi dalam Durga
Umayi, yang mengorientasikan pengabdian dan perjuangannya Negara yang mampu
memerdekaan manusia. Di sini, sekali lagi peran seorang pemimpin ditonjolkan, yang
secara eksplisit dibahasakan Pa Ansel dalam dua kata kunci, yaitu pemimpin yang
berjuang bersama rakyat untuk mencapai liberasi dan emansipasi. Liberasi tidak sebatas
lepas dari kungkungan penjajah, tetapi lebih dari itu, liberasi lebih berkaitan dengan
upaya bersama untuk sama-sama boleh mengalami kebebasan dan kemerdekaan secara
mutlak tanpa syarat. Liberasi ini menjadi prasyarat mutlak untuk mencapai emansipasi –
kesetaraan dalam martabat kemanusiaan. Romo Mangun dalam karyanya: Burung-
Burung Manyar mengeksplitikan liberasi ini sebagai situasi warga Negara yang bebas
dari kemiskinan, kecemasan, perasaan takut, penindasan, dan ketidakadilan. Di dalam
Durga Umayi, Pa Ansel mengutip dua karakter tokoh yang saling kontradiktif ketika
berbicara tentang liberasi dan emansipasi dalam kaitan dengan martabat manusia. Pertiwi
adalah gambaran manusia yang sengaja “disisihkan” oleh kekuasaan “para pahlawan dan
calon pahlawan”. Menjadi yang tersisih biasanya selalu menjadi korban penguasa dalam
arti yang seluas-luasnya. Penguasa itu – yang dalam tulisan ini diibaratkan sebagai
pahlawan – kehilangan jatidiri yang mestinya melekat sebagai satu kesatuan entitas
pahlawan. Pahlawan-penguasa adalah penjuang yang tidak bisa melepaskan diri dari
keterikatan pada syarat-syarat tertentu. Pahlawan-penguasa dalam novel ini berjuang
setengah hati bahkan tidak punya hati ketika padanya disematkan perhitungan untung
rugi, pertimbangan kepentingan pribadi dan golongan dan karenanya tujuan dapat
menghalalkan cara. Sebaliknya pertiwi yang tersisih justru selalu berada di pusaran
kebenaran karena dia memiliki komitmen yang kuat untuk mempertahankan jati diri. Pak
Ansel mensarikan intensi perjuangan Pertiwi yakni meletakkan martabat manusia di atas
segala-galanya.
Bagi bangsa kita dewasa ini, tidak sulit kita menemukan “pahlawan-penguasa” atau
dalam bahasa kita yang boleh saya katakan: pemimpin yang mendapatkan mandat untuk
memimpin entah secara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. yang berkarakter demikian.
Kita tidak bisa mengharapkan pemimpin yang instan dan pragmatis, karena saya
berkeyakinan ada “sesuatu” yang kuat melilit hati batinnya. Memimpin bukan sebagai
lahan untuk mengabdi tetapi sebaliknya sebagai tujuan untuk meraup keuntungan. Maka
tidak heran kalau setelah mendapat mandat untuk berkuasa, harta, jabatan, nama besar,
dan prestasi untuk dipuja itulah yang dikejar. Kalau merujuk pada cita-cita bernegara,
seperti yang terbaca dalam pikiran Romo Mangun lewat Burung-Burung Manyar, yaitu
Negara ada untuk menciptakan kesejahteraan umum para warganya saya selalu yakin
bahwa tipe pemimpin “pahlawan-penguasa” seperti dalam Durga Umayi akan
memburamkan bahkan melenyapkan cita-cita tersebut. Meski tidak boleh digeneralisasi,
realitas memampangkan ke hadapan kita bahwa ada pemahaman yang keliru ataukah
memang sengaja tidak mau tahu di kalangan elit dan pemimpin kita. Orang berpikir
bahwa memimpin itu berarti berada di atas segala-galanya. Karena itu tidak heran kalau
ada keinginan dan nafsu atau dalam buku ini menggunakan kata libido dominandi tidak
tercapai maka siapa saja bisa menjadi korban. Pertiwi dapat menjadi korban para
pahlawan hanya karena jatah lauk pauk para pahlawan telah habis – tidak tersedia lagi.
Pemimpin masa kini dapat menjelmakan nafsu tersebut dalam kebiasaan untuk mendikte
masyarakat dengan “doktrin-doktrin” yang menakutkan, menguasai warga masyarakat
agar menjadi objek kepuasan kepentingannya, membabathabis siapa saja yang
berseberangan dengannya (nonjob, diskriminasi, pengasingan), memuluskan keputusan
dan kebijakan yang tidak pro rakyat melalui cara yang tidak halal, seperti menyuap dan
berkolusi.
3. Pemimpin yang dikuasai oleh libido dominandi akan mengangkangi etika dan nilai
kemanusiaan. Dia akan mengobrak-abrik tatanan yang telah disepakati secara komunal.
Dia akan menjadikan dirinya sebagai pusat kebenaran. Refleksi dan evaluasi apalagi
otokritik tentunya tak tersentuhnya lagi. Dia akan “membunuh” sejarah yang
dipandangnya berseberangan dengan ideologinya. Hal ini tentunya sangat kontradiktif
denganidealisme Mangunwijaya dalam Cerpen Pohon Durian Kek Kopral. Sejarah
harusnya menjadi ruang evaluasi dan otokritik. Sejarah terbangun atas campur tangan
pelbagai pihak, yang karenanya harus dihargai. Keputusan dan kesepakatan yang
terbangun dalam sejarah harus menjadi dasar untuk kita menghidupkannya. Apa yang
dihidupkan hari ini harus berbanding lurus dengan ikrar, janji dan sumpah para pembuat
sejarah pada masanya. Identitas keindonesiaan itulah sebenarnya menjadi ikrar abadi para
pencipta sejarah.
Bila dihadapkan dengan realitas kekinian kita, khususnya para pemimpin kita, banyak
kali pemimpin karena otoritasnya selalu menjadikan dirinya sebagai sumber referensi.
Banyak kali pula jejak-jejak baik para pendahulu disangkal dan tidak dihargai, bahkan
dalam banyak kasus jejak itu diabaikan dan dihilangkan. Pikiran, cita-cita, perjuangan
membangun bangsa kelihatannya terputus antarpemimpin karena tidak adanya
kerendahan hati dan pengakuan jujur akan prestasi dan kebaikan para pendahulu. Banyak
pemimpin mengubah haluan membangun masyarakat semata-mata karena egoisme dan
keangkuhan, sehingga mengorbankan yang lain.
4. Kita membutuhkan pemimpin ideal, yang menurut Pa Ansel sebagaimana kajiannya
tentang Cerpen Impian Si Mul, diabstraksikan dalam diri si Inyong. Pemimpin ideal
adalah pemimpin masa kini yang penuh idealisme, vitalitas, dan kebebasan. Idealisme
artinya memiliki visi, mimpi besar untuk membawa masyarakat menuju kesejahteraan.
Vitalitas artinya memiliki jiwa, spirit, semangat pelayanan, progresif, inovatif, dan kreatif
untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Sedangkan kebebasan adalah ciri
pemimpin yang tidak mengekang atau mengungkung dirinya dalam penjara-penjara
kepentingan pribadi dan golongan. Pemimpin yang bebas adalah pemimpin yang berpikir,
berbicara, dan berbuat untuk kepentingan masyarakat tanpa syarat.
Namun, yang menjadi soal kita sekarang, adalah bagaimana kita dapat memiliki
pemimpin seperti itu? Realitas menunjukkan bahwa banyak pemimpin yang setelah
memimpin, lebih mengutamakan harta, keluarga, golongan, dan kuasa. Ada pula
pemimpin yang sebelum berkuasa, kelihatan begitu dekat dengan rakyat, tetapi setelah
berkuasa, menjadi semakin jauh dari rakyat. Banyak pemimpin yang menutup mata dan
telinga terhadap realitas masyarakatnya. Kalau demikian, bagaimana kita dapat memilih
pemimpin yang seperti diidealkan Rm. Mangun, Bapak Anselmus, dan kita semua?

Anda mungkin juga menyukai