Oleh
Mashadi Said
pada posisi yang mulia. Tomanurung inilah yang merupakan cikal bakal pemerintahan
periode Lontara.
Dalam periode Lontara, babakan baru telah terbuka dalam kehidupan politik
masyarakat Bugis, terutama dalam memandang pemimpinnya dalam mengendalikan negeri.
Pada periode ini, terdapat kecenderungan bahwa orang Bugis amat menjunjung tinggi
kedudukan manusia sebagai tau. Oleh karena itu, tampak dalam Lontara Latoa dan
Lontara lainnya bahwa pembinaan watak manusia dalam membangun Panggadrng (tata
aturan dan hukum) mendapat tempat yang amat penting. Manusia menjadi pusat penentu atas
kehidupan kebudayaannya. Manusia menempati tempat tertinggi dalam menentukan
nasibnya.
Untuk memahami konsep kepemimpinan Lontara, perlu diperhatikan hal yang
menyangkut syarat pemimpin, kewajiban pemimpin, kedudukan rakyat dalam negara,
struktur politik kepemimpinan Lontara, dan hubungan antara pemimpin dan rakyat.
Syarat Pemimpin
Bagi masyarakat Bugis, seorang dapat diangkat menjadi pemimpin negeri bila
memenuhi syarat pribadi yang menurut mereka pribadi adiluhung. Pribadi adiluhung adalah
pribadi yang dijiwai oleh prinsip siri-psse. Pribadi siri-psse seorang pemimpin meliputi
sifat jujur, takwa, solider, gigih memperjuangkan kesejahteraan dan kedamaian rakyat,
berani, teguh dalam pendirian, mampu mempersatukan rakyatnya, berwibawa, adil, terbuka
pada nasihat dan keritikan. Sifat adiluhung pemimpin Bugis tergambar dalam masa
pemerintahan Arung Matoa Wajo La Palewo Tu Palippu (1474-1482). Syarat seorang yang
menjadi pemimpin (raja) bagi masyarakat Bugis adalah sebagai berikut.
5. Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendapat berita buruk (kritikan) dan berita
baik (tidak mudah terbuai oleh sanjungan).
6. Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat kerajaan.
7. Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya.
8. Jujur dalam segala keputusannya. (Abidin, 1983: 163)
... Adapun orang yang patut memimpin agar tanaman padi tak hampa, menyelimuti
agar tak dingin (mengayomi) ialah orang yang mendapat pertolongan dari Dewata,
yang memiliki empat macam kemampuan dalam kehidupannya. Pertama, kemampuan
harta benda. Kedua, cakap dan terampil dan perkataannya pantas. Ketiga, kemampuan
jasmani untuk memerintah. Keempat, hemat cermat; bermurah hati pada rakyatnya
dan suka menolong sesamanya manusia. (Abidin, 1983: 164)
Dari kutipan Lontara di atas, terlihat bahwa tradisi Lontara menyangkut masalah
peran atau fungsi raja sebagai pemimpin puncak dalam negeri, menekankan masalah moral
para pemimpin dan tanggung jawabnya terhadap rakyat yang dipimpin dan bukanlah berdasar
atas kekuasaan belaka. Nasib rakyat yang sewaktu-waktu terancam oleh perlakuan tidak adil
dari pihak penguasa, telah menjadi sasaran utama untuk diperhatikan. Rakyat mendapat
perlindungan yang tegas untuk dilindungi haknya, diperbaiki kehidupannya dan diberi
kebebasan untuk menikmati hidupnya dalam negeri. Kesetiaan atau dukungan rakyat kepada
raja bukan berarti bahwa raja sebagai penguasa yang tertinggi dapat menjadikan rakyatnya
sebagai objek semata, tanpa berusaha untuk memberi imbalan kebahagiaan hidup bagi
mereka. Kesetiaan rakyat yang diberikan kepada raja dimaksudkan agar mereka disayangi
oleh raja dan memimpin mereka menuju jalan kebahagiaan dan kedamaian hidup.
Dalam falsafah sulapa ppa, dikemukakan oleh seorang raja yang bernama Arung
Matoa Matinrowa Rikannana (memerintah pada akhir abad XVI atau permulaan abad XVII)
bahwa individu yang cocok menjadi pemimpin haruslah memiliki empat sifat, karena hanya
pemimpin yang memiliki sifat inilah yang akan memperbaiki negeri, yaitu sebagai berikut.
2. Berpengetahuan, yaitu mampu melihat kemungkinan akibat yang akan terjadi dari
suatu kebijakan dan menjadikan kejadian yang telah lampau sebagai soko guru
yang baik.
3. Memiliki keberanian moral, yaitu tidak terkejut apabila mendengar berita buruk
atau baik, dan mampu menyatakan ya atau tidak.
4. Pemurah, yaitu memberikan minuman siang dan malam. Artinya, mampu
menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyanya. Pemimpin demikian
disebut Mattuppu batu (pemimpin yang mampu memakmurkan rakyatnya).
Hanya apabila tidak tertidur matanya, siang dan malam memikirkan rakyatnya,
barulah ia disebut pemimpin. (Abidin, 1969: 25)
Dalam kepemimpinan Lontara, dipesankan pula untuk mempelajari sifat negatif dan
positif yaitu unsur api, air, angin, dan tanah. Adapun sifat api adalah besar tindakannya, tidak
memikirkan akibat perbuatannya, tidak mau mengalah, hanya dirinyalah sendiri yang
dianggap benar, tetapi memiliki sifat berani. Air memiliki kegigihan tetapi tidak jujur. Sifat
angin, selalu berlaku kasar dan tidak memiliki ketulusan atau kejujuran. Tanah memiliki
kejujuran, pemurah dan berpengetahuan. Singkatnya, seorang pemimpin dalam era Lontara
harus memiliki sifat jujur, cendikia, berani, mengayomi, dan terbuka.
Kemaslahatan negeri merupakan sentral perhatian kepemimpinan Lontara. Sejak
dulu telah menjadi peringatan bahwa rusaknya suatu negeri karena adanya sifat buruk yang
dimiliki seorang pemimpin. Sifat buruk yang menyebabkan suatu negeri menjadi rusak
adalah Sang Pemimpin tidak mau mendengar nasihat, para cendekiawan tidak berpungsi lagi
sebagai cerdik pandai, para pejabat dan hakim makan sogok3, keadaan negeri tidak dapat
dikendalikan dengan baik oleh pemimpin, dan bila pemimpin tidak peduli pada kebutuhan
rakyatnya. Hal inilah yang ditegaskan I Mangadacina Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang
sebagai berikut.
Ada lima sebab yang menyebabkan negeri itu rusak, yaitu:
1. Kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati.
2. Kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu negara besar.
3. Kalau para hakim dan para pejabat kerajaan makan sogok.
4. Kalau terlampau banyak malapetaka besar dalam suatu negeri.
Makan sogok bisa juga berarti korupsi dalam arti luas (pada saat itu istilah korupsi belum dikenal)
Dari uraian tersebut, Mattulada menyimpulkan bahwa bagi masyarakat Bugis, pemimpin
yang baik adalah pemimpin yang memiliki EMPAT sifat yang tak terpisahkan, yaitu:
Maccai na malmpu
Waraniwi na magttng
(Cendekia lagi Jujur, Berani lagi Teguh dalam Pendirian)
Kewajiban Pemimpin
Ketika La Palewo Topalippu diangkat menjadi Arung Matoa Wajo (Raja), terjadi
dialog antara dia dan rakyat yang dipimpinnya. Dalam dialog itu, Arung Matoa menyatakan
kewajibannya dengan tegas sebagai berikut.
Kewajiban pemimpin Bugis terhadap rakyatnya juga dapat dilihat pada lambang
Kabupaten Soppeng saat ini yang memuat ungkapan:
Dongirikng tmmatippa,
salipurikng tmmadinging,
wessekng tmmakapa
6
yang berarti:
1.
Pemimpin
pemimpin menjamin agar harta benda rakyat tidak dicuri atau dirampas oleh
orang jahat.
2.
3.
Ikatan padi yang tidak hampa. Artinya, pemimpin mengusahakan agar rakyatnya
tidak kehabisan makanan dan selalu dapat memperoleh panen yang cukup.
Artinya:
Batal ketetapan Raja, tidak batal ketetapan ad
Batal ketetapan Adat, tidak batal ketetapan Kaum
Batal ketetapan Kaum, tidak batal ketetapan Rakyat
Dalam ungkapan itu, jelas tergambar bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berarti segalanya bagi negara itu. Raja atau
penguasa hanyalah merupakan segelintir manusia yang diberi kepercayaan untuk mengurus
administrasi, keamanaan, dan pelaksanaan pemerintahan negara. Inilah yang disebut dengan
pemerintahan dari bawah (buttom-up) yang dalam ungkapan Lontara disebut:
Mangngll pasang massolompawo
(Bagaikan air pasang yang tak terbendung).
Dari kutipan tersebut, tampak bahwa ada tiga hal penting yang dapat dicermati, yaitu:
(1) kelompok pejabat dan pemerintah mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap
rakyatnya, (2) negara bukanlah berarti penguasa, tetapi negara adalah rakyat, dan (3) raja atau
pemimpin adalah pengayom bagi rakyatnya.
9
Struktur Politik
Dalam struktur politik di Wajo, raja didampingi oleh tiga pejabat tinggi negara yang
dikenal dengan nama Paddanrng (pendamping). Ketiga pejabat tinggi itu adalah
Paddanrng Bettng Pola, Paddanrng Tllu Tnrng, dan Paddanrng Tua. Selain ketiga
pejabat itu, terdapat lagi tiga pejabat negara yang disebut Bate Loppo yang merupakan wakil
tiga kaum, dan masing-masing mempunyai kekuasaan di kawasannya. Masing-masing
disebut Bate Loppo Pola, Bate Loppo Tllu Tnrng dan Bate Loppo Tua. Ketiga
Paddanrng dan ketiga Bate Loppo merupakan sebuah Dewan yang disebut Arung
Ennngng (Dewan Pertuanan yang Enam).
Selain itu, terdapat lagi sebuah lembaga yang disebut Arung Mabbicara
beranggotakan 30 orang, masing-masing sepuluh orang dari mereka itu berasal dari anang
(kelompok masyarakat). Mereka menjadi pendamping Paddanrng. Lembaga Arung
Mabbicara ini dapat disebut Dewan Perwakilan (Parlemen) Kerajaan. Tugas utama Dewan
Perwakilan kerajaan memiliki tugas: (1) Maddtt bicara: menetapkan Hukum dan UndangUndang, dan (2) Mappano pate bicara: mengesahkan, mengusulkan dan menyampaikan hal
ihwal tentang penyelenggaraan peraturan, undang-undang untuk dilaksanakan oleh raja.
Di samping itu, masih ada lagi sebuah lembaga yang disebut Suro terdiri atas tiga
orang yang bertugas menyampaikan hasil permufakatan dan perintah kepada rakyat, dan
masih terdapat lagi sebuah kelompok yang disebut Arung Patappuloe (pertuanan empat
puluh) yang termasuk di dalamnya Arung Matoa (Patunru, 1983: 13-21).
Jalinan hubungan antara pemimpin dan rakyat digambarkan dalam LSW sebagai
berikut.
Janganlah engkau hai para Arung beritikad jahat terhadap rakyatmu. Akan padam api
tungkumu (padam kemuliaanmu), dan kalian penduduk janganlah beritikad buruk
terhadap rajamu, akan padam api di perapianmu (engkau akan ditimpa bencana).
(Lontara Sukkuna Wajo: 337)
10
Dalam Lontara Latoa ditegaskan bahwa apabila suatu ketika ada manusia, keluarga,
kelompok sosial dalam masyarakat yang diperlakukan dengan tidak adil oleh raja, manusia
itu dapat melakukan tindakan protes terhadap penguasa yang telah merugikannya. Kalau
usaha masyarakat tidak berhasil, biasanya ditandai dengan panen padi yang gagal. Semua
orang di negeri itu mulai dari penguasa atau raja sampai masyarakat biasa harus
mengintrospeksi dirinya, karena di antara mereka pasti ada yang telah berbuat kesalahan.
Tersebut dalam sejarah bahwa pada waktu La Manussa Toakkarangng menjadi Datu
Soppeng di Tanah Soppeng (Kabupaten Soppeng saat ini) terjadi kegagalan panen dan orang
Soppeng hampir kelaparan karena kemarau panjang. Diselidikinya sebab bencana itu, tetapi
tak ada juga pejabat kerajaan yang melakukan perbuatan sewenang-wenang. Setelah lama
berpikir, diingatnya bahwa raja sendiri pernah memungut barang di sawah orang lain dan
menyimpannya sendiri. Itulah sebab kemarau panjang itu, pikirnya. Lalu, raja mengadili
dirinya sendiri, karena tidak ada orang yang berani melakukannya, serta menjatuhkan denda
pada dirinya. Dia menyembelih kerbau kemudian dagingnya dibagikannya kepada orang
banyak. Di hadapan orang banyak, dia menyatakan dirinya telah bersalah karena memungut
barang orang lain (Abidin, 1983: 164).
Di Sidenreng Rappang, La Pagala Nene Mallomo pada abad XVI sebagai murid La
Taddampar yang baik, menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri, yang terbukti
menggunakan luku orang lain tanpa seizin pemiliknya. Ketika ditanya, apa sebab memidana
mati putranya, dan apakah ia menilai sama jiwa putranya dengan hanya sebuah luku, beliau
menjawab: Ad e tmmakiana tmmakippo (Abidin, 1983: 124). Artinya, Hukum tidak
mengenal anak dan tidak mengenal cucu.
Adat menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut.
menyampaikan
keberatan
atau
protes
atas
perintah
yang
Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar
masalahnya segera ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum bisa mengamuk yang
bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara.
5. Mallkk dapurng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal
ini dilakukan karena rakyat telah bosan melihat kesewenang-wenangan raja di
dalam negerinya dan protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: Kamilah yang
memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari
kekuasaannya. (Mattulada, 1985: 417-419)
Penutup
Teori kontrak sosial yang diproklamasikan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
dalam bukunya Du Contract Social, sesungguhnya telah ada cikal bakalnya dalam sistem
12
kepemimpinan Bugis kira-kira 300 tahun sebelum teori itu diperkenalkan oleh cendekiawan
Eropa, yang sedang berusaha menemukan suatu sistem yang paling tepat untuk
masyarakatnya
Rousseau di dalam
teorinya itu, seperti unsur kebebasan, batas kekuasaan pemimpin, hak rakyat, peran wakil
rakyat, serta sanksi terhadap pemerintah yang melanggar, menginjak-injak, atau mengingkari
peraturan yang telah disepakati bersama, telah tercipta dalam dunia realitas masyarakat Bugis
dan menjadi prinsip hidup masyarakat bugis sejak abad XV (Abdullah, 1985: 86).
Daftar Pustaka
Abdullah, H. 1985. Manusia Bugis-Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press.
Abdullah, M. S. 1985. Birokrasi dan Pembangunan Nasional. Studi tentang Peran Birokrasi
Lokal dalam Implementasi Program-Program Pembangunan di Sulawesi Selatan.
Disertasi Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang: tidak dipublikasikan.
Abidin, A. Z. 1969. Filsafat Hidup Sulapa ppa Orang-Orang Bugis-Makassar. Bingkisan
No. 12. Th. III Agustus 1969.
Abidin, A. Z. 1983. Benih-Benih Pancasila yang Terpendam di Dalam Lontara Bugis: Suatu
Percobaan Menggali Unsur-Unsur Pancasila dari Teks-Teks Kuno. Jurnal Lontara.
Universitas Hasanuddin, Nomor 19 Tahun ke XXIII: 69--82.
Abidin, A. Z. 1985. Wajo Pada Abad XV--XVI; Suatu Penggalian Sejarah Terpendam
Sulawesi Selatan dari Lontara. Bandung: Penerbit Alumni.
Patunru, D. A.R. 1983. Sejarah Wajo. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi
Selatan.
13