Anda di halaman 1dari 5

Titik Terendah

Ketika sang fajar menunjukan batang hidungnya, lelaki tua sedang

menghangatkan rongsokan besi berwarna merah yang selalu digunakan oleh

putrinya untuk mencari seberkas cahaya kehidupan. Wajah lusuh, garis keriput

dan tubuh renta itu menegaskan jika ia tak muda lagi. Seperti biasanya, aku pergi

ke sekolah yang memiliki pandangan baik di masyarakat, sebuah tempat

bermartabat yang telah lahir sejak abad ke-19. Diawali dengan status swasta dan

kini berstatus negeri, berharap kepada kepedulian dan kebijakan sang penguasa di

pusat negeri.

Pagi ini terasa berbeda, kesunyian menjalar di setiap sudut bangunan kelas

di pagi hari membuatku terhanyut dalam lamunan. Embun pagi masih menempel

pada dedaunan, udara masih segar jauh dari hiruk pikuk keramaian sekolah di

siang hari. Termenung di atas kursi merah, tempat mereka para pahlawan tanpa

tanda jasa itu mewariskan ilmunya. Ilmu yang tidak pernah aku ketahui akan

bermanfaat atau tidak kelak di kehidupan yang terkenal keras. Lima semester

telah terlewati di bangunan ini. Banyak orang berbahagia di tempat ini, namun

tidak sedikit pula orang tersiksa di sini, tentu saja orang-orang yang terbuang di

sini. Mereka merasa terbuang sepertiku, terus menyia-nyiakan kesempatan dari

sang waktu dan terus menyalahkan sang waktu.

Dulu seorang anak berseragam putih biru begitu mendambakan dapat

mewarisi ilmu di bangunan ini. Dia merasa beruntung dengan hasil belajar selama
tiga tahun di sekolah menengah pertamanya dapat membawa ia masuk di sekolah

yang ia impikan. Namun keburuntungannya tidak berlangsung lama. Tidak hanya

itu, fisiknya, labelnya, serta kebiasaannya membuat dia semakin terbuang.

Pemikiran, batin, ucap, serta tindakannya yang selaras membuatnya terbuang.

Membuatnya kehilangan gairah terhadap warisan yang dulu begitu ia impikan.

Keinginannya yang tidak tercapai membuatnya berlari melampiaskan

kekecewaannya pada dunia beladiri. Namun di semester pertengahan dia harus

menerima teguran Tuhan. Kaki yang selalu menemaninya berlatih harus di

istirahatkan selama satu tahun. Semua keterpurukan itu semakin membuatnya

menjauhi dunia sosial. Dia tidak ingin dikasihani dan terlihat begitu menyedihkan

dengan kondisinya saat ini. Selama hampir tujuh bulan dia hidup dalam

keterbatasannya. Dia mulai hilang arah, emosinya mulai memadam seolah dia

terkena sindrom senyuman topeng. Sensitifitasnya mulai tinggi, ia semakin

menyadari jika dia tidak diinginkan di lingkungan sekitarnya, dia hanya hidup

dengan sepasang headset yang selalu setia memutarkan alunan lagu di dalam

telinganya, hal yang justru membuat keadaannya semakin parah. Dia benar benar

kehilangan dirinya, yang mengharuskannya konseling dengan psikiater. Anak

berbaju putih biru yang dulu merasa beruntung itu kini tengah kehilangan semua

impiannya yang membuatnya berakhir di psikiater. Tanpa ada satu orang pun

yang tahu jika dia mengalami permasalahn dengan jiwanya karena lingkungan

yang belum siap ia terima. Lingkungan yang mengubur dalam dalam semua

impian-impian indahnya, menghempasnya ke titik terendah di hidupnya.


Satu tahun telah berlalu. Penekanan terus diterimanya dari lelaki tua yang

wajahnya kini telah tercoreng. Dia ribut dengan seorang guru yang telah

merenggut ibu dan kakanya, ia kesal karena tidak adanya pertanggung jawaban.

Seolah kehormatannya begitu mahal hingga ia merasa kebal akan hukum. Emosi

yang telah lama mati kini tak dapat terkendalikan. Tidak usai hingga disitu, nilai

rapotnya turun secara signifikan akibat dua perkara yang menjerat namanya.

Dalam perkara kakinya ia di salahkan. Dan saat ini pada perkara ibunya ia terjerat

kembali. Semua orang hanya menganggapnya sampah. Tanpa mereka menyadari

segala perilaku mereka.

Konseling telah usai, kakinya yang kini tidak dapat kembali seperti semula

tersebut telah usai dalam masa pengobatannya. Kehidupannya mulai kembali

normal walaupun dengan emosi yang tetap mati dan sindrom senyum topeng yang

tetap melekat di wajahnya. Tapi kini dia mulai bisa menerima keadaannya, ia

tidak tega jika harus melihat pula lelaki tua itu harus menderita di hari tuanya

dengan tubuh renta seorang diri hanya karena putri yang ia harapkan

kehidupannya hancur. Tentu saja tidak akan dia biarkan hal yang lebih pedih

menimpa ayah tercintanya. Semua masalah yang menerpanya kini benar benar

membuatnya semakin dewasa. Semua masalah yang menerpanya membuatnya

mengerti untuk dapat memilah dan memilih apa yang baik dan buruk baginya.

Lingkungan yang menghancurkan impiannya kini membuatnya dapat berfikir

lebih jauh dan lebih menghargai hubungan timbal balik.

Orang bilang sekolah itu untuk menuntut ilmu eksak, jembatan menuju

impian yang dituju. Namun tidak denganku, sekolah menghancurkan impian yang
pernah kumiliki. Namun sekolah sungguh menyadarkanku akan realita hidup,

sekolah menumbuhkan kedewasaanku walau dengan luka dan perih yang luar

biasa membuatku terjerat dalam berbagai masalah. Dan sekolah menyadarkanku

jika aku tidak pernah kehilangan keberuntunganku serta Tuhan yang selalu

mengawasi dan menyayangi aku. Aku bahagia pernah mengenyam bangku SMA

di sekolah ini, di daerah puser budaya sunda. Wahai dunia aku telah siap

menempuh langkah awal untuk dunia baruku, untuk kehidupanku yang

selanjutnya. Dan terimakasih kepada masa SMA yang merupakan titik terendah,

yang telah membuatku lebih matang sejak aku mengganti putih biruku menjadi

putih abu, yang kini hanya bersisa beberapa bulan lagi siap kulepaskan.

“Assalammualaikum”, suara salam tiba-tiba saja terdengar

membangunkanku dari renungan di pagi hari yang cukup cerah ini. Dia berjalan

ke arahku namun dia seperti tak menyadari keberadaanku. Tiba-tiba ia menoleh ke

luar karena adanya sebuah keributan. Berita kematian akibat kecelakaan motor

yang menewaskan murid SMA itu mewarnai pagi yang tenang ini dengan suara

isak tangis. Kedua mataku terbelalak ingin meloncat keluar. kudapati dua sosok

yang tak asing lagi rupanya. Ibu dan kakaku menghampiri, memaksaku untuk ikut

pulang dengan mereka. Ternyata berita kematian itu adalah berita kematianku.

Mungkin ini cara terbaik menurut sang pencipta untuk mengakhiri penderitaanku,

dengan pulang kembali kepadanya. Terimakasih Tuhan, aku harap kau akan

menjaga lelaki tua yang begitu kusayangi itu, jangan biarkan ia menderita

sendirian dihari tuanya, berikanlah ia pengganti keluarga yang kini telah berada di

sampingMu.

Anda mungkin juga menyukai