Anda di halaman 1dari 15

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

STIMULASI SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah Keperawatan Jiwa


Dosen Koordinator : Khirsna Wisnusakti, S.Kep., M.Kep

Dosen Pembimbing : Fifi Siti Fauziah, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun Oleh :
Tita Hartati

NPM 214121027

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2021
PROPOSAL
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
STIMULASI SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI

A. Latar Belakang
Manusia sebagai mahluk sosial yang hidup berkelompok dimana satu
sama lainnya saling berhubungan satu sama lainnya saling berhubungan untuk
kebutuhan sosial, meningkatnya penggunaan anggota kelompok terapeutik
modalitas merupakan bagian-bagian memberikan hasil yang positif terhadap
perubahan perilaku klien.
Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan
sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang
dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa
yang telah terlatih (Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit Jiwa di
Indonesia dalam Yosep, 2007). Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang
dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien dengan
gangguan interpersonal (Yosep, 2008).
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sensori merupakan terapi
modalitas yang dapat digunakan sebagai upaya untuk menstimulasi semua
panca indra (sensori) agar memberi respon yang adekuat. TAK Stimulasi
Sensori yang akan dilakukan ditujukan pada kelompok klien dengan masalah
yang sama, yang dalam hal ini adalah gangguan komunikasi verbal. Terapi
modalitas ini merupakan terapi yang dikembangkan pada kelompok klien
untuk meningkatkan kemampuan verbal klien sehingga diharapkan dengan
TAK asuhan keperawatan jiwa adalah asuhan keperawatan spesialistik namun
tetap holistik. Sehingga pada proposal ini kelompok berkeinginan
mengajukan TAK Stimulasi Sensori untuk penderita Retardasi Mental sebagai
terapi modalitas untuk meningkatkan kemampuan komunikasi verbal
penderita Retardasi Mental dan konsumen jiwa sehat yang mengalami isolasi
sosial.

B. Landasan Teori
1. Definisi
Halusinasi sebagai “hallucinations are defined as false sensory
impressions or experiences” yaitu halusinasi sebagai bayangan palsu atau
pengalaman indera. (Sundeen's, 2004).
Menurut Sunaryo (2004) halusinasi merupakan bentuk kesalahan
pengamatan tanpa pengamatan objektivitas penginderaan dan tidak disertai
stimulus fisik yang adekuat.
Halusinasi ialah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada
panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam kehidupan sadar atau
bangun, dasarnya mungkin organik, fungsional, psikopatik ataupun
histerik (Maramis, 2005).
2. Klasifikasi
Menurut Maramis, terdapat beberapa jenis halusinasi antara lain, yaitu:
a. Halusinasi penglihatan (visual, optic)
Tak berbentuk ( sinar, kalipan atau pola cahaya ) atau berbentuk
( orang, binatang  atau barang lain yang dikenalnya), berwarna atau
tidak.
b. Halusinasi pendengaran (auditif, akustik)
Suara manusia, hewan atau mesin, barang, kejadian alamiah dan
music.
c. Halusinasi pencium (olfaktorik)
Mencium sesuatu bau.
d. Halusinasi pengecap (gustatorik)
Merasa atau mengecap sesuatu.
e. Halusinasi peraba (taktil)
Merasa diraba, disentuh, ditiup, disinari atau seperti ada ulat
bergerak dibawah kulitnya.
f. Halusinasi kinestetik
Merasa badannya bergerak dalam sebuah ruang, atau anggota
badannya bergerak (umpamanya anggota badan bayangan atau
“phantom limb”).
g. Halusinasi visceral
Perasaan tertentu timbul didalam tubuhnya.
h. Halusinasi hipnagogik
Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum
tertidur persepsi sensorik bekerja salah.
i. Halusinasi hipnopompik
Seperti halusinasi hipnagogik, tetapi terjadi tepat sebelum
terbangun samasekali dari tidurnya. Disamping itu ada pula
pengalaman halusinatorik dalam impian yang normal.
j. Halusinasi histerik
Timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional.

3. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Menurut Yosep (2009) faktor predisposisi yang menyebabkan
halusinasi antara lain ialah :
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya
stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat
stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata
menuju alam hayal.
5)  Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang
tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini

b. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2007) yang dikutip oleh Jallo (2008), faktor
presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah :
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang
mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu
masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk
diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap
stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.
4. Fase halusinasi
Fase halusinasi ada 4 yaitu (Stuart dan Laraia, 2001):
a. Fase I, Comforting
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang,
kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada
pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien
tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara,
pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik.
b. Fase II, Condemning
Pada ansietas berat pengalaman sensori menjijikkan dan
menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk
mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi
peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti
peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan
darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
untuk membedakan halusinasi dengan realita.
c. Fase III, Controling
Pada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan
terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien
sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu
mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat
menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
d. Fase IV, Consquering
Terjadi pada panic. Pengalaman sensori menjadi mengancam jika
klien mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang
kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien
sangat membahayakan.
5. Manifestasi klinis
Menurut Hamid (2000) yang dikutip oleh Jallo (2008), dikutip oleh
Syahbana (2009) perilaku klien yang berkaitan  dengan halusinasi adalah
sebagai berikut :
a. Bicara, senyum, dan ketawa sendiri.

b. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, dan


respon verbal yang lambat.

c. Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindari diri dari
orang lain.

d. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang


tidak nyata.

e. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.

f. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik


dan

g. Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan


lingkungannya), dan takut.

h. Sulit berhubungan dengan orang lain.

i. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung, jengkel dan marah.

j. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.

k. Tampak tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton.

6. Pohon Masalah
Resiko mencederai diri sendiri

Perubahan persepsi sensori: Perilaku kekerasan


halusinasi
Isolasi social menarik
7. Penatalaksanaan
a. Menciptakan lingkungan yang terapeutik untuk mengurangi tingkat
kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi,
sebaiknya pada permulaan pendekatan dilakukan secara individual dan
usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di
pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap
perawat yang masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan
pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien
diberitahu. Pasien diberitahu tindakan yang akan di lakukan.
b. Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang
perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas,
misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan
permainan.
c. Melaksanakan program terapi dokter.
d. Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan
rangsangan halusinasi yang diterimanya. Pendekatan sebaiknya secara
persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di
berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
e. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang
ada. Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat
menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya
halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan
data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain
yang dekat dengan pasien.
f. Memberi aktivitas pada pasien misalnya, pasien diajak mengaktifkan
diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain
atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan
pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain.
Pasien diajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang
sesuai.
g. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan.
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya diberitahu tentang data
pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses
keperawatan, misalnya dari percakapan dengan pasien diketahui bila
sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi
bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas.
h. Sebaiknya perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan
menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan
ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugas lain
agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak
bertentangan.

C. Topik
Stimulasi persepsi sensori

D. Tujuan
Tujuan umum :
Tujuan umum TAK stimulasi persepsi adalah klien mampu mengekspresikan
perasaan dengan kegiatan menggambar.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat mengekspreikan perasaan melalui gambar.
2. Klien dapat memberikan tanggapan terhadap gambar yang telah dibuat

E. Kriteria Klien TAK


1. Klien dengan ganguan sensori persepsi : halusinasi
2. Klien dengan riwayat perilaku kekerasan yang sudah kooperatif
3. Klien dengan halusinasi yang sudah dapat mengontrol halusinasinya

F. Pembagian tugas
1. Tugas Leader
- Memimpin acara: menjelaskan tujuan dan hasil yang diharapkan.
- Menjelaskan peraturan dan membuat kontrak dengan klien
- Memberikan motivasi kepada klien
- Mengarahkan acara dalam pencapaian tujuan
- Memberikan reinforcemen positif terhadap klien
2. Co-leader
 Membantu leader dalam mengorganisir anggota kelompok
3. Tugas Fasilitator
- Ikut serta dalam kegiatan kelompok
- Memastikan lingkungan dan situasi aman dan kondusif bagi klien
- Menghindarkan klien dari distraksi selama kegiatan berlangsung
- Memberikan stimulus/motivasi pada klien lain untuk berpartisipasi
aktif
- Memberikan reinforcemen terhadap keberhasilan klien lainnya
- Membantu melakukan evaluasi hasil
4. Tugas Observer
- Mengamati dan mencatat respon klien
- Mencatat jalannya aktivitas terapi
- Melakukan evaluasi hasil
- Melakukan evaluasi pada organisasi yang telah dibentuk (leader, co
leader, dan fasilitator)
5. Tugas Klien
- Mengikuti seluruh kegiatan
- Berperan aktif dalam kegiatan
- Mengikuti proses evaluasi

G. Setting
Keterangan :
: Anggota

: Observer

: Co Leader

: Leader

: Fasilitator

F. Media atau alat-alat digunakan


1. Kertas HVS
2. Spidol
3. Karton dan dobeltif
4. Kertas Bola
5. Hand Phone

H. Metode yang Digunakan


1. Dinamika Kelompok
2. Diskusi dan tanya jawab

I. Uraian Struktur Kelompok


1. Tempat pertemuan : Ruang makan Dewi Amba
2. Deskripsi Lingkungan : Dibuat mengelilingi meja, fasilitator berdiri
diantara klien dan kegiatan dipimpinoleh Leader dan Co-Leader

J. Waktu Pelaksanaan
Tempat : Ruang Makan Dewi Amba
Hari/tanggal : Sabtu, 09 April 2011
Waktu : 09.30 -10.15 WIB
K. Strategi Kegiatan
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah mengikuti TAK SESI I
b. Mempersiapkan alat dan temapat pertemuan
2. Orientasi
a. Salam terapeutik :
- Salam dari terapis kepada klien
- Terapis dan klien memkai papan nama
b. Evaluasi validasi :
Menanyakan perasaan klien saat ini
c. Kontrak :
ii. Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yaitu mengambar dan
menceritakannya pada orang lain
iii. Menjelaskan aturan permainan seperti berikut :
 Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok harus
minta izin pada terapis
 Lama kegaiatan 30 menit
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
3. Tahap Kerja
a. Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan yaitu menggambar
dan menceritakan hasil gambar kepada klien lain.
b. Terapis membagikan kertas dan spidol pada setiap klien
c. Terapis meminta klien untuk menggambar apa saja yang diinginkannya
saat ini.
d. Sementara klien mulai mengambar, terapis berkeliling, dan memberi
penguatan pada klien untuk terus menggambar. Jangan mencela klien
e. Setelah semua klien selesai menggambar, terapis meminta pada semua
klien untuk memperlihatkan gambar dan menceritakan gambar yang telah
dibuatnya kepada klien lain. Yang harus diceritakan adalah gambar apa
dan makna gambar tersebut menurut klien.
f. Ulangi Poin 5 dilakukan sampai semua klien mendapat giliran.
g. Setiap kali klien selesai menceritakan gambarnya, terapis mengajak klien
lain bertepuk tangan.
4. Tahap Terminasi ( 5 menit)
1) Evaluasi
i. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
ii. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan
2) Rencana Tindak Lanjut
iii. Terapis menganjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan melalui
gamabar
3) Kontrak yang akan datang
iv. Menyepakati TAK yang akan datang yaitu menonton TV
v. Menyepakati waktu dan tempat.

L. Evaluasi dan Dokumentasi


1. Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada
tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan
tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi Sensori umum sesi 1, kemampuan yang
diharapkan adalah memberi pendapat tentang Halusinasi, memberi
tanggapan terhadap pendapat klien lain dan mengikuti kegiatan sampai
selesai. Formulir evaluasi sebagai berikut:

Sesi 1: TAK
Stimulasi Sensori Umum
No Aspek yang Dinilai Nama Klien
.
1. Kemampuan Klien memberikan
tanggapan tentang halusinasi yang
di rasakan
2. Memberikan alasan penyebab dari
halusinasi
3. Memberikan respon terhadap
pertanyaan yang di ajukan Leader
seputar Halusinasi
4. Mengikuti kegiatan sampai selesai
Petunjuk:
1. Di bawah judul nama klien, tulis nama panggilan klien yang ikut TAK.
2. Untuk tiap klien, semua aspek dinilai dengan memberi tanda (+) jika
ditemukan pada klien atau (-) jika tidak ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA

Hamid, A.Y.S. 1999. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa Pada Anak
dan Remaja, Widya Medika, Jakarta.
Hyun Sung Lim and Jae Won Lee. Parenting Stress and Depression among
Mothers of Children with Mental Retardation in South Korea: An
Examination of Moderating and Mediating Effects of Social Support.
Pacific Science Review, 2007; 9 (2): 150-159.
Rasmun. 2004. Stress, Koping, dan Adaptasi Teori dan Pohon Masalah
Keperawatan, Sagung Seto, Jakarta.
Stuart, Gail and Laraia, M. 2005. Principles and Practice of Psychiatric Nursing,
8th edition, Mosby, St. Louis.
Stuart & Sundeen. 1995. Principles an Practice of Psychiatric Nursing, fifth
edition, Mosby, St.Louis.
Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta: Salemba Medika.
Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses
Interaksi (API). Jakarta : fajar Interpratama.

Anda mungkin juga menyukai