Anda di halaman 1dari 23

SISTEM KEPEMIMPINAN DALAM ADAT MELAYU RIAU

1. Pendahuluan

Pemimpin adalah seseorang yang menggunakan kemampuannya, sikapnya, nalurinya, dan ciri-ciri
kepribadiannya yang mampu menciptakan suatu keadaan, sehingga orang lain yang dipimpinnya dapat
terpengaruh dan saling bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pemimpin dapat juga
diartikan sebagai pencetus, pembentuk, penggerak segala sesuatu yang dapat memengaruhi anggota
dengan segala tujuan yang ingin dicapai.

Dalam kepemimpinan Melayu, pemimpin adalah orang yang biasa disebut “orang yang dituakan,
didahulukan selangkah, ditinggikan seranting”. Memiliki ungkapan yang mengandung pengertian, bahwa
seorang pemimpin yang baik dan benar adalah orang yang dituakan oleh masyarakatnya. Namun, di
antara pemimpin dan masyarakat tidak ada pembatas yang menjadi pemisah dan haruslah saling bekerja
sama. Dalam ungkapan lain kembali ditegaskan “didahulukan dapat diraih, tinggikan dapat dijangkau,
dekatnya tidak beranjak, jauhnya tidak berantara”. Maksud dari ungkapan tersebut, sebagai seorang
pemimpin tidak boleh memiliki sifat dan sikap yang angkuh. Ditandai dengan kata “tinggikan dapat
dijangkau, dekatnya tidak beranjak”.

Di dalam budaya Melayu, kejayaan seseorang pemimpin diukur sekaligus diuji yang dapat dipertanggung
jawabkannya di dunia dan di akhirat. Raja Ali Haji di dalam karyanya “Tsamarat al-Muhimmah” (1858)
menjelaskan, kepemimpinan merupakan konsep tritunggal Melayu-Islam: khalifah-sultan-imam. Makna
simbolik ‘khalifah’ adalah kewajiban mendirikan agama berdasarkan al-Qur’an, sunnah nabi, dan ijmak.
Pemimpin sebagai ‘sultan’ bermakna kewajiban menegakkan hukum secara adil berdasarkan pedoman
Allah dan rasul-Nya. Dalam kandungan makna ‘imam’, pemimpin harus berada paling depan di dalam
situasi apa pun, sehingga menjadi ikutan semua orang di bawah kepemimpinannya. Dengan demikian,
siapa pun yang mengindahkan dan menerapkan ketiga syarat kepemimpinan, maka akan mendapat
hidayah dan inayah Allah dalam kepemimpinannya.

Sifat kepemimpinan di dalam ungkapan disebutkan:

Tuah ayam pada sisiknya

Tuah manusia pada baiknya

Tuah kain pada tenunnya

Tuah kayu pada elok buahnya

Tuah Melayu elok marwahnya

Elok kain elok raginya

Elok pemimpin elok negerinya

Elok corak sedap dipakai


Elok pemimpin elok akhlaknya

Elok akhlak memimpin sesuai

Karakter yang terdapat dalam buku “Pemimpin dalam Ungkapan


Melayu” karya Tenas Effendy (2014), menyebutkan 55 karakter
kepemipimpinan Melayu yang mesti dimiliki seorang pempimpin.
Kelimapuluh lima karakter tersebut dapat dikelompokkan pada empat
karakter yaitu amanah, fathanah, tabligh, dan shiddiq.

2 Kepemimpinan bangsa Melayu

Seorang pemimpin dalam tradisi Melayu adalah sosok manusia yang


lebih daripada lainnya, sakti, kuat, gigih, dan tahu banyak hal. Para
pemimpin juga merupakan manusia-manusia yag jumlahnya sedikit,
namun perannya dalam suatu komunitas (suku, bangsa, negara)
merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak
dicapai. Karena itu, sebelum abad Masehi etnis Melayu, khususnya di
Jambi telah mengembangkan suatu corak kebudayaan Melayu pra
sejarah di wilayah pegunungan dan dataran tinggi. Masyarakat
pendukung kebudayaan ini antara lain adalah Suku Kerinci. Orang
Kerinci diperkirakan sudah menempati kaldera Danau Kerinci sekitar
10.000 SM. Mereka telah mengembangkan kebudayaan batu seperti
yang ada pada kebudayaan Neolitikum. Pada zaman dahulu yang
dimaksudkan dengan wilayah Kerinci adalah mencakup daerah yang
disebut dengan Kerinci Tinggi/Atas dan Kerinci Rendah/Bawah.
Sementara istilah Kerinci itu sendiri berawal dari kata Korintji yang
berarti negeri di atas bukit.

Lalu, dalam khazanah politik Melayu, pemimpin didefinisikan sebagai


orang yang diberi kelebihan untuk mengurusi kepentingan orang
banyak. Arti raja atau penguasa bagi orang Melayu dimaknai lewat
pepatah lama berikut ini:

Yang didahulukan selangkah

Yang ditinggikan seranting

Yang dilebihkan serambut

Yang dimuliakan sekuku

Pepatah tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa seorang raja


haruslah sosok manusia yang dapat dijangkau oleh rakyat biasa.
Penguasa harus berada di tengah-tengah rakyatnya, mengerti kondisi
warganya, dan tahu apa yang diinginkan oleh mereka. Raja bukanlah
dewa yang tak tersentuh oleh manusia, melainkan sosok yang hanya
diberi beberapa kelebihan seperti di atas.

Jadi, eksistensi suatu negara ditentukan oleh tiga hal penting yaitu
pemimpin, rakyat dan wilayah. Pada masa lampau kerajaan-kerajaan
juga mensyaratkan adanya pemimpin atau raja. Oleh sebab itu
keberadaan raja adalah sebuah keniscayaan. “Raja itu umpama akar,
dan rakyat adalah pohon. Jikalau tidak ada akar, maka pohon tidak
dapat berdiri”. Sebuah ungkapan mengenai pentingnya seorang
pemimpin. Dan pada masa kerajaan Melayu terdapat raja-raja yang
berjaya dan mampu membawa kerajaannya pada masa keemasan.

Ya. Dalam tradisi orang Melayu, para pemimpin itu adalah manusia-
manusia yang lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu tentang
banyak hal. Bahkan di masa lalu, seorang pemimpin bangsa Melayu
juga haruslah sosok yang sakti mandraguna demi melindungi wilayah
dan rakyatnya dari ganguan binatang buas, penjahat, penjajah dan
makhluk halus (jin, siluman, setan, dll). Karena itulah, para pemimpin
yang sejati juga merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit,
namun perannya dalam suatu komunitas orang Melayu menjadi
penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai
bersama.

Untuk itu, salah satu sumbangan terbesar dari kebudayaan Melayu


adalah turut mewujudkan dan membentuk jati diri dan identitas bangsa
Indonesia. Dan tak berlebihan apabila akhirnya kebudayaan Melayu
disebut sebagai akar dari jati diri bangsa ini. Pengaruh Melayu bagi
bangsa Indonesia pada umumnya meliputi banyak hal, di antaranya
adalah khazanah dalam budaya politiknya.

Kepemimpinan Melayu, baik Melayu Tua (pra-Hindu-Buddha-Islam)


maupun Melayu Muda (era Hindu-Buddha-Islam) terdiri dari pemangku
adat (sebagai pemimpin formal) disamping tokoh tradisi seperti dukun
atau orang pintar sebagai pemimpin informal. Untuk Melayu Tua (Pra
Hindu-Buddha-Islam), maka lebih jelasnya kami berikan contoh struktur
kepemimpinan formal yang ada pada masyarakat Kerinci kuno, yaitu:

Sigindo

(pemimpin beberapa Luhak/Lurah/Depati)

Luhak
(pemimpin para Kelebu yang kini lazim disebut sebagai Lurah atau
Depati)

Kelebu

(pemimpin para Tengganai yang kini lazim disebut sebagai Ninik


Mamak)

Tengganai

(pemimpin Perut/keluarga seketurunan)

Perut

(kepala keluarga seketurunan)

Tumbi

(kepala rumah tangga)

Setiap masing-masing strata di atas mempunyai tugas dan


kewajibannya sendiri-sendiri, yang pada intinya menuntun dan
membimbing masyarakat untuk dapat mentaati norma dan ketentuan
adat negeri demi kebaikan mereka sendiri. Melalui strata
kemasyarakatan di atas, maka segala bentuk kebijakan pemerintahan
negeri disampaikan secara beranting ke bawah. Tetapi setelah Melayu
Muda (era agama) membentuk beberapa kerajaannya dengan dasar
agama (Hindu, Buddha, Islam), maka muncullah pemegang kendali
kerajaan yang disebut dengan Datu, Raja, Sultan atau Pertuah.
Kehadiran agama itu juga telah menampilkan cendikiawan yang disebut
dengan Buya atau Ulama. Dengan demikian kehidupan Melayu Muda
ini dipandu oleh Raja, buya/ulama, pemangku adat dan tokoh tradisi.

Untuk lebih memahami tentang konsep dan prinsip kepemimpinan


dalam tradisi dan budaya Melayu, kita dapat membacanya dalam kitab
mahakarya budaya-politik-peradaban Melayu yang berjudul Taj al-
Salatin (Mahkota Raja-raja) karya Bukhari Al-Jauhari pada tahun 1630.
Buku ini merupakan panduan untuk memerintah bagi raja-raja Melayu
(khususnya di era Islam) seperti Kedah dan Johor. Kitab Taj al-Salatin
memberi sumbangan penting bagi pembentukan tradisi dan kultur
politik Melayu dengan memberi rincian tentang syarat-syarat menjadi
seorang raja (mencakup syarat yang bersifat jasmaniyah dan rohaniah).
Kitab ini bahkan juga digunakan oleh beberapa penguasa di pulau Jawa
pada abad ke 17-18. Dan kitab Taj al-Salatin ini begitu berpengaruh
hingga abad ke-19 ketika Munsyi Abdullah mencoba mengenal atau
mengetahui watak Raffles dari air mukanya berdasarkan ilmu firasat di
dalam buku tersebut. Dalam bukunya Kisah Pelayaran Abdullah ke
Negeri Kelantan, Abdullah telah menasihatkan raja-raja di negeri itu
supaya membaca Taj al-Salatin untuk mengetahui tanggung jawab
sebagai seorang raja.

Dalam kitabnya itu, Bukhari Al-Jauhari menggariskan ada 10 sifat raja


atau pemerintah yang baik dan harus diterapkan, yaitu:

1. Tahu membedakan baik dengan yang buruk.

2. Berilmu (ilmiah dan batiniah).


3. Mampu memilih menteri dan pembantunya dengan benar.

4. Baik rupa dan budi pekertinya supaya dikasihi dan dihormati


rakyatnya.

5. Pemurah (dermawan, ringan tangan).

6. Mengenang jasa orang atau tahu balas budi.

7. Berani; jika berani maka pengikutnya juga akan berani.

8. Cukup dalam makan tidur supaya tidak lalai.

9. Mengurangi atau tidak berfoya-foya atau tidak “bermain” dengan


perempuan.

10. Laki-laki (raja perempuan boleh dilantik jika tidak memiliki ahli waris
laki-laki untuk menghindari huru-hara).

Selain itu, tradisi politik Melayu juga mengenal pola hubungan raja
dengan rakyat. Dalam beberapa hal pola ini bisa disebut sebagai satu
“mekanisme kontrak” antara dua pihak yang berkepentingan. Kendati
memang sangat simbolik, teks sejarah Melayu dalam beberapa bagian
menekankan adanya kewajiban raja dan rakyat untuk tidak saling
merusak posisi masing-masing. Teks tersebut memperkenalkan konsep
musyawarah, yang memang sudah ada di negeri ini sejak ribuan tahun
lalu, sebagai aturan dalam sistem perilaku politik raja dan penguasa
Melayu.

3. Falsafah kepemimpinan bangsa Melayu

Wahai saudaraku. Para pemimpin itu harus menjadi penentu arah


perjalanan sebuah bangsa. Walaupun bukan satu-satunya ukuran
keberhasilan, akan tetapi kenyataan membuktikan bila tanpa kehadiran
pemimpin – disini artinya pemimpin sejati, bukan sekedar ketua – suatu
bangsa akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah alias
kacau balau.

Melihat itu semua, maka tampak jelas bahwa bangsa ini semakin
terpuruk tatkala para pemimpinnya berlomba-lomba memainkan peran
buruk dalam dunia politik. Definisi politik sebagai pengambilan
keputusan kolektif atau pembuat kebijakan masyarakat umum secara
menyeluruh dan memihak rakyat, tampak sekali tak mendapat tempat
di negeri ini. Para elite politik bahkan tak lagi berusaha
memperjuangkan kehidupan rakyat atau membimbing rakyat kepada
kebenaran dan kejayaan, melainkan berlomba-lomba menggunakan
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Etika politik hanya menjadi
barang langka yang sulit ditemukan dalam wajah para politikus
Indonesia. Keadaan ini tentu sangat memprihatinkan.

Untuk itu, khazanah Melayu sangat kaya dengan kandungan pesan


moral dan etika, termasuk etika politik. Sifat-sifat kepemimpinan yang
ideal telah banyak dijabarkan dalam karya-karya sastra Melayu. Maka
dari itu, sangatlah tepat apabila kita mencoba untuk menggali,
mempelajari, dan berusaha mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Sebab Indonesia kini membutuhkan sosok
pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada
kepentingan partai politik, kelompok tertentu, investor dan pihak asing
(negara lain).

Ya. Khazanah politik dan kepemimpinan Melayu banyak menawarkan


konsep kepemimpinan yang ideal tersebut. Banyak pepatah lama dan
karya-karya sastra yang berisi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
pemaparan-pemaparan mengenai konsep kepemimpinan yang baik dan
relevan. Prinsip bagi raja-raja Melayu pun banyak mencerminkan
kriteria-kriteria yang baik, seperti dibawah ini:

1. Sebagai pemimpin banyak tahunya

Tahu duduk pada tempatnya

Tahu tegak pada layaknya

Tahu kata yang berpangkal

Tahu kata yang berpokok

Artinya: Seorang pemimpin yang baik haruslah mempunyai banyak


pengetahuan. Penguasa harus mengetahui bagaimana ia harus
bersikap, bagaimana ia harus berfikir, bagaimana kondisi rakyatnya,
dan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk
mempermudah penguasa dalam menyelesaikan setiap permasalahan
yang ada sekaligus mencegah munculnya permasalahan yang baru.
Tanpa pengetahuan yang memadai, sang penguasa akan kesulitan
untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada.

Pengetahuan mutlak diperlukan seorang pemimpin untuk menunjang


pelaksanaan tugas-tugasnya. Pemerintahan hampir dapat dipastikan
berjalan lancar apabila seorang raja mengetahui apa yang baik untuk
rakyatnya dan apa yang harus dihindari karena tidak baik untuk
rakyatnya. Penguasa akan mudah dalam memimpin apabila ia tahu apa
yang harus dikerjakan dan apa yang tak boleh dilakukan. Tanpa
pengetahuan, seorang pemimpin tak akan memiliki visi yang besar.
Kalaupun ia memiliki visi besar, pastilah ia akan kesulitan
merealisasikannya.

2. Sebagai pemimpin banyak arifnya


Di dalam tinggi ia rendah

Di dalam rendah ia tinggi

Pada jauh ianya dekat

Pada yang dekat ianya jauh

Artinya: Dalam tradisi Melayu terdapat pengertian yang berbeda antara


arif dan bijaksana. Arif lebih merujuk kepada kemampuan pembawaan
diri dalam proses sosialisasi, sedangkan bijaksana lebih mengarah
kepada pengolahan pengetahuan dengan sebaik-baiknya. Karena itu,
dalam tradisi Melayu seorang raja atau pemimpin baru akan lebih
dihormati apabila ia memiki kearifan dalam bertindak. Kearifan yang
dimiliki pemimpin akan menambah rasa kepercayaan rakyat bahwa ia
memang benar-benar figur yang cocok untuk memimpin.

3. Sebagai pemimpin banyak bijaknya

Bijak menyukat sama papat

Bijak mengukur sama panjang

Bijak menimbang sama berat

Bijak memberi kata putus

Artinya: Kebijaksanaan adalah sifat yang mutlak harus dimiliki oleh


setiap pemimpin. Oleh karena itu, tradisi Melayu selalu memposisikan
sifat bijak sebagai salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh
seorang raja atau penguasa. Kebijaksanaan sangat erat kaitannya
dengan ketepatan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian,
akhirnya kebijaksanaan tersebut akan bermuara pada baik atau
buruknya pemerintahan yang sedang berlangsung. Tanpa
kebijaksanaan, pemimpin akan mudah sekali terjerumus dalam
tindakan dan keputusan yang sewenang-wenang.

4. Sebagai pemimpin banyak cerdiknya

Cerdiknya mengurung dengan lidah

Cerdik mengikat dengan adat

Cerdik menyimak dengan syarak

Cerdik berunding sama sebanding

Cerdik mufakat sama setingkat

Cerdik mengalah tidak kalah

Cerdik berlapang dalam sempit

Cerdik berlayar dalam perahu bocor

Cerdik duduk tidak suntuk

Cerdik tegak tidak bersundak

Artinya: Selain memiliki pengetahuan yang cukup, seorang pemimpin


harus mencerminkan diri sebagai orang yang cerdik. Kecerdikan disini
dapat diartikan sebagai proses pengolahan pengetahuan yang dimiliki
untuk mencapai keputusan yang paling tepat dalam menangani
masalah. Sebagai seorang pemimpin, ia pasti berkutat dengan
permasalahan-permasalahan yang kompleks. Maka dari itu, dibutuhkan
sebuah kecerdikan untuk menghasilkan solusi yang tepat. Tanpa
kecerdikan, seorang pemimpin akan rentan menghasilkan kebijakan
yang tidak efekif. Kebijakan yang salah atau tidak efektif tentu akan
berpengaruh pada berhasil atau tidaknya suatu pemerintahan. Inilah
yang menjadi alasan mengapa kecerdikan diperlukan dalam proses
memimpin.

5. Sebagai pemimpin banyak pandainya

Pandai membaca tanda alamat

Pandai mengunut mengikuti jejak

Pandai menyimpan tidak berbau

Pandai mengunci dengan budi

Artinya: Pengetahuan dan kecerdikan tidaklah lengkap apabila tidak


dilengkapi dengan sifat pandai. Kepandaian dalam konteks ini dapat
dimaknai sebagai kemampuan analisis yang baik terhadap masalah-
masalah yang ada. Dengan ditunjang adanya pengetahuan yang cukup,
ditambah dengan kepandaian dalam analisis, maka pemimpin harus
cerdik dalam mengambil setiap keputusan. Analisis adalah bagian
terpenting dalam usaha penyelesaian masalah. Oleh karena itu,
kemampuan analisis yang baik sangat dibutuhkan untuk menjadi
pemimpin yang baik. Pepatah lama mengatakan: “Bagi yang pandai,
mana yang kusut akan selesai; orang yang pandai pantang memandai-
mandai”. Tampak sekali bahwa kepandaian sangat berperan besar
dalam mengurai “benang kusut”. Tanpa kepandaian, benang kusut
tersebut takkan pernah selesai untuk diurai, kalaupun dapat di lakukan
pastinya akan memakan waktu yang lama.

6. Sebagai pemimpin mulia budinya


Berkuasa tidak memaksa

Berpengetahuan tidak membodohkan

Berpangkat tidak menghambat

Artinya: Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak


menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan perbuatan yang licik
dan sewenang-wenang. Pemimpin adalah seseorang yang ditunjuk
untuk melayani kepentingan masyarakat, bukan seseorang yang minta
dilayani atau hanya diberi kekuasaan untuk memuaskan ambisi
pribadinya. Oleh karena itu, bagi orang Melayu, sifat sewenang-wenang
dalam memerintah pantang untuk dilakukan.

7. Sebagai pemimpin banyak relanya

Rela berkorban membela kawan

Rela dipapak membela yang hak

Rela mati membalas budi

Rela melangas karena tugas

Rela berbagi untung rugi

Rela beralah dalam menang

Rela berpenat menegakkan adat

Rela terkebat membela adat

Rela binasa membela bangsa


Artinya: Pemimpin adalah seorang yang harus membela kepentingan
rakyatnya. Ia harus rela dalam banyak hal demi terpenuhinya
kepentingan warganya. Pepatan di atas menunjukkan bahwa seorang
pemimpin harus rela sengsara demi membela hak, ia harus rela
membela kawan meski harus berkorban. Ia juga harus rela dalam
kesulitan ketika rakyatnya kesulitan, mengusahakan kebahagiaan untuk
rakyatnya saat ia bahagia. Jiwa patriotisme juga ditanamkan di sini,
karena bela negara memang sangat dianjurkan alias wajib. Bahkan,
seorang pemimpin harus rela mati demi membela bangsanya, serta rela
berpenat dan terkebat dalam membela adatnya. Bagaimanapun
seorang pemimpin memang difungsikan sebagai orang yang bersedia
berkorban demi orang banyak.

8. Sebagai pemimpin banyak ikhlasnya

Ikhlas menolong tak harap sanjung

Ikhlas berbudi tak harap puji

Ikhlas berkorban tak harap imbalan

Ikhlas bekerja tak harap upah

Ikhlas memberi tak harap ganti

Ikhlas mengajar tak harap ganjar

Ikhlas memerintah tak harap sembah

Artinya: Terminologi rela memiliki pengertian yang berbeda dengan


ikhlas. Bila rela adalah sebuah bentuk siap untuk berkorban, maka
ikhlas lebih mengarah kepada pengelolaan niat. Hal ini sangat jelas
disuarakan dalam pepatah lama: “Kalau pemimpin tidak ikhlas,
banyaklah niat yang akan terkandas”. Artinya, keikhlasan seorang
pemimpin dalam bertindak akan sangat mempengaruhi output dari
proses pelaksanaan niat tersebut. Apabila seorang pemimpin tidak
ikhlas, maka niat-niat baik yang ada tentunya akan hilang. Ini bahkan
bisa menimbulkan musibah dan bencana bagi rakyat yang sedang ia
pimpin.

9. Sebagai pemimpin banyak tahannya

Tahan berhujan mau berpanas

Tahan bersusah berpenat lelah

Tahan berlenjin tak kering kain

Tahan berteruk sepepak teluk

Artinya: Penggalan syair di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin


haruslah memiliki mental “bertahan” yang baik. Ketabahan dan
kesabaran menjadi salah satu sifat dari pemimpin ideal untuk menjamin
tetap terjaganya komitmen dari sang pemimpin. Selain itu, sikap
tawakkal (berserah diri) juga dianjurkan di sini. Tawakkal berarti pasrah,
namun bukan berarti menyerah pada masalah. Kepasrahan tersebut
dilakukan setelah melakukan usaha yang maksimal. Dengan kata lain,
orang Melayu memaknai terminologi tawakkal sebagai penyerahan
hasil kepada Tuhan dari usaha yang dilakukan manusia.

Kritik-kritik tajam dan keluhan-keluhan akan banyak ditemui oleh


seorang pemimpin. Terlebih apabila kekuasaannya memiliki oposan
yang cukup kuat. Kritik tajam akan sangat tidak tepat apabila direspon
dengan sikap arogan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah ketahanan
untuk menerima semua itu dan memikirkannya secara mendalam.
Pemimpin yang buruk biasanya akan marah apabila dikritik. Ia akan
mencari seribu dalih untuk mengelak dari kritik tersebut. Bahkan,
terkadang kritik-kritik tersebut ditanggapi dengan emosi. Lebih buruk
lagi apabila kritik itu justru dianggap sebagai fitnah untuk
menjatuhkannya. Pemimpin yang baik tidak melakukan semua itu. Ia
akan menerima kritik dengan lapang dada dan menghargainya sebagai
sebuah nasihat dan bahan intropeksi diri.

10. Sebagai pemimpin banyak taatnya

Taat dan takwa kepada Allah

Taat kepada janji dan sumpah

Taat memegang petua amanah

Taat memegang suruh dan teguh

Taat kepada putusan musyawarah

Taat memelihara tuah dan meruah

Taat membela negeri dan rakyatnya

Artinya: Ketaatan bukan hanya sebagai kewajiban yang dimiliki oleh


rakyat terhadap pemimpinnya, melainkan juga dimiliki oleh seorang
pemimpin itu sendiri. Budaya politik Melayu menekankan pentingnya
hubungan timbal balik yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin.
Rakyat wajib menaati pemimpin, begitu pula sebaliknya. Raja harus
menaati suara rakyat. Ia tak boleh mengabaikan aspirasi warganya,
terlebih apabila suara itu adalah keputusan musyawarah. Ia harus taat
pada kewajibannya untuk membela negara dan rakyatnya. Selain itu,
yang paling penting juga adalah bahwa ia harus taat pada Tuhan,
karena bagaimanapun ia adalah hamba Tuhan di muka bumi.

11. Sebagai pemimpin mulia duduknya

Duduk mufakat menjunjung adat

Duduk bersama berlapang dada

Duduk berkawan tak tenggang rasa

Artinya: Sikap dan sifat yang baik harus menjadi identitas seorang
pemimpin. Kelakuan sehari-hari sang pemimpin mampu mencerminkan
kepribadian yang baik. Inilah yang dimaksud dengan syair di atas,
bahwa seorang raja harus memiliki tingkah laku yang baik sehingga
tidak kehilangan kewibawaannya. Ia harus bersama-sama rakyat untuk
menjunjung adat tanpa adanya perbedaan kewajiban. Kedudukannya
sebagai pemimpin tak mengurangi sedikit pun untuk selalu menjunjung
adatnya. Ia juga harus sering duduk bersama rakyatnya, dengan segala
kebesaran hatinya mau menghilangkan kesombongan dan bersedia
mendengarkan keluh kesah dari rakyatnya, sehingga akhirnya mampu
bertenggang rasa. Kewibawaan akhirnya menjadi penilaian apakah ia
seorang pemimpin yang baik atau buruk.

12. Sebagai pemimpin banyak sadarnya

Memimpin sedar yang ia pimpin

Mengajar sedar yang ia ajar


Memerintah sedar yang ia perintah

Menyuruh sedar yang ia suruh

Artinya: Berdasarkan fenomena di banyak negara dan kerajaan, seorang


pemimpin kerap menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-
wenang. Kesewenang-wenangan disini tak hanya merujuk pada
perbuatan yang menjurus pada pelampiasan ambisi pribadi, melainkan
kesalahan dalam mengambil keputusan yang akhirnya menyusahkan
rakyatnya. Banyak pemimpin yang tak mampu membaca situasi dan tak
mengerti keadaan yang pasti, akhirnya terjerumus dalam persoalan
yang lebih parah. Maka dari itu, seorang pemimpin harus benar-benar
sadar apa yang ia lakukan, sadar tentang alasan dalam melakukannya,
dan yang paling penting adalah sadar akan akibatnya.

Mungkin metode Socrates perlu diterapkan dalam hal ini. Ia pernah


mengemukakan tiga kriteria untuk menguji perlu tidaknya sebuah
tindakan. Pertanyaan pertama: apakah sebuah tindakan adalah benar
dan dapat dibenarkan? Kalau tindakan itu terbukti benar, maka
menyusul pertanyaan kedua: apakah tindakan yang benar tersebut
perlu dilakukan atau tidak perlu dilakukan? Kalau tindakan itu ternyata
benar dan perlu, maka pertanyaan ketiga adalah: apakah hal tersebut
baik atau tidak untuk dilaksanakan? Metode tersebut sangatlah cocok
untuk digunakan dalam melatih kesadaran seorang pemimpin dalam
bertindak.

13. Sebagai pemimpin banyak tidaknya

Merendah tidak membuang meruah

Meninggi tidak membuang budi


Sayang tidak akan membinasakan

Kasih tidak merusakkan

Baik tidak mencelakakan

Elok tidak membutakan

Buruk tidak memuakkan

Jauh tidak melupakan

Dekat tidak bersinggungan

Petua tidak menyesatkan

Amanah tidak mengelirukan

Artinya: Berbagai pantangan harus dihindari demi sempurnanya


pelaksanaan suatu kewajiban. Seorang pemimpin haruslah selalu
memegang teguh kebaikan dan menghindari keburukan yang dapat
merugikan rakyatnya. Pepatah lama mengatakan: “Sifat elok sama
dipegang, sifat buruk sama dipantang. Elok dipegang, buruk dibuang.”
Itu artinya seorang pemimpin haruslah hanya berpegang pada sifat-sifat
yang baik dan benar saja dan harus membuang jauh-jauh sifat-sifat
yang buruk. Raja sebagai “bayang-bayang” Tuhan di muka bumi ini
haruslah mencerminkan sifat-sifat ketuhanan itu sendiri. Dalam konteks
Melayu Muda, maka yang kental dengan nuansa Islam, Asmaul Husna
harus menjadi pegangan dalam bertindak.
Wahai saudaraku. Uraian di atas adalah kriteria seseorang untuk bisa
dikatakan sebagai pemimpin ideal dalam tradisi dan budaya Melayu.
Dan raja-raja Melayu di masa lalu banyak mencerminkan sifat-sifat
tersebut. Namun, apabila melihat kondisi kekinian, para pemimpin
negeri ini justru memperlihatkan sifat-sifat yang sebaliknya. Pantas saja
bila akhirnya bangsa ini makin terpuruk. Kondisi Indonesia kini sungguh
tak mencerminkan kebesarannya dimasa lalu sebagai sebuah bangsa
yang besar dan sangat disegani oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia.

Selain beberapa hal di atas, maka ada pula pantangan bagi seorang
yang sedang memimpin. Semua itu juga tertuang dalam petatah petitih
Melayu, yang bisa menyebabkan dia diturunkan atau digantikan dengan
yang lain. Adapun di antaranya sebagai berikut:

1. Tólicak bonang arang, itam tapak (terpijak di benang arang, hitam


tapak atau terpijak di parit arang hitam tapak). Artinya, kedapatan
mencuri di rumah (kantor), di tanah (dalam bisnis dan usaha), atau
dengan cara sembunyi-sembunyi (korupsi).

2. Tójuak di galah panjang, nampak tóugah-ugahnyo. Artinya,


mengunjungi perempuan lain yang bukan istrinya untuk berbuat
maksiat, dengan istri orang, gadis, janda, atau janda talak tiganya.

3. Tólosang di lansek masak, olun sampai tóambiek buah olah


bóguguran. Artinya, karena memperturutkan hawa nafsu sehingga
kambuh selera mudanya, sehingga kenampakan mengikuti trend dan
budaya populer kontemporer yang tidak jelas asal usul dan ujung
pangkalnya, sebab sudah meluap-luap sehingga kerja yang tidak
sononoh mulai dilakukan. Akibatnya nama jadi rusak dan malulah orang
yang dipimpinnya (arang habis besi binasa).
4. Tómandi di póncuran gadiang, nampak kosan di aluo jalan, tódonga
di tólingu kócibuk ayie. Artinya, karena terlalu mengharapkan nama dan
sanjungan maka dilakukanlah segala cara untuk mendapatkannya.
Sehingga terkena oleh ungkapan lama; indó aluo nón dituruik (bukan
aturan yang diikuti), tóturuik jalan pinteh (terikut jalan
pintas/pragmatis), pótamu sosek (pertama sekali tersesat), nón kan
kóduó indó duduk di bokehnyo (kedua dia tidak duduk di tempat yang
layak baginya).

5. Tócoreng arang di koniang, nampak tótempap itam. Artinya, aib diri


dibongkar orang setelah mendapat nama dan jabatan, sehingga malu
bertemu dengan orang banyak.

6. Mómpótókuluk sórewa. Artinya, punya anak gampang (anak diluar


nikah).

7. Tópanjik sigai larangan. Artinya, ini masalah hubungan intim sedarah


(incest).

8. Tókurong di biliek dalam, mómaja utang kósalahan kó rumah


tutupan, dapek malu dalam tórungku. Artinya, kedapatan berbuat salah
sehinga menjadi malu dan dihukum.

Selain ke 8 hal di atas, pemimpin orang Melayu itu dapat saja diganti
karena disebabkan:

1. Idok mónahun, sakik nón indó mungkin kan sihat lai, disobuik urang
juó idok bókatanaan. Artinya, sakit menahun sehingga tidak dapat
beraktifitas.
2. Hilang indó tontu rimbónyo (hilang yang tak tahu rimbanya), indó
bócakap sópatah (pergi tak menyebut arah tujuannya), pindah nón indó
bósobutan (pindah tak memberi kabar), koba tidó bóritó tidó (kabar
berita tak terdengar lagi), surekpun tidó (sepucuk suratpun tak ada),
bak batu jatuh kó lubuk dalam (bagaikan batu jatuh ke lubuk yang
dalam alias hilang).

3. Ukuo sudah, janjian sampai. Artinya, selesai jabatan alias meninggal


dunia.

4. Penutup

Wahai saudaraku. Budi pekerti dan moralitas harus dijunjung tinggi


oleh penguasa yang sedang memimpin. Banyaknya kebobrokan politik
dan ekonomi di dunia khususnya Indonesia disebabkan karena
rendahnya moralitas yang dimiliki oleh para pemimpinnya. Bahkan
dalam kancah perpolitikannya, etika dan kejujuran dalam berperilaku
sehari-hari sudah tidak penting, bahkan tidak ada. Alhasil, banyak
kerugian yang dialami oleh berbagai pihak; sedangkan keuntungan yang
sifatnya sementara hanya dialami oleh sebagian kecilnya saja. Banyak
pemimpin yang berkuasa tetapi sesungguhnya tidak memimpin. Sebab,
memimpin berarti memberikan arah politik, ekonomi, pendidikan,
sosial, dan keamanan yang jelas secara mandiri.

Sehingga, tidak berlebihan jika apa yang sudah ada di dalam tradisi
Melayu, khususnya tentang kepemimpinan menjadi layak untuk diikuti
lagi. Itu adalah bukti kejayaan peradaban leluhur kita, sudah terbukti
ribuan tahun dan seharusnya tetap kita pegang dan jadikan pedoman
hidup. Karena apa yang sudah ada itu takkan lekang oleh waktu dan
sangat sesuai dengan karakter bangsa kita. Dan ketika memang bangsa
ini mau kembali menerapkannya secara sadar dan keteguhan hati,
maka bangsa ini akan segera bangkit, keluar dari keterpurukannya dan
bisa memimpin dunia sekali lagi.

Semoga banyak yang sadar dan mau kembali ke jati dirinya sendiri
sebagai bangsa Nusantara. Terutama para pemimpinnya, di pusat dan
daerah, harus mau bercermin diri pada kesejatian bangsa ini, salah
satunya dengan mengikuti tradisi kepemimpinan orang Melayu. Jika
tidak, maka tunggulah masa kehancuran itu pasti akan datang dengan
segala bencana dan musibah yang besar. Siapapun yang tidak
menghargai dan mengikuti warisan para leluhur akan tersapu bersih,
binasa saat pergantian zaman ini terjadi nanti.

Anda mungkin juga menyukai