1. Pendahuluan
Pemimpin adalah seseorang yang menggunakan kemampuannya, sikapnya, nalurinya, dan ciri-ciri
kepribadiannya yang mampu menciptakan suatu keadaan, sehingga orang lain yang dipimpinnya dapat
terpengaruh dan saling bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pemimpin dapat juga
diartikan sebagai pencetus, pembentuk, penggerak segala sesuatu yang dapat memengaruhi anggota
dengan segala tujuan yang ingin dicapai.
Dalam kepemimpinan Melayu, pemimpin adalah orang yang biasa disebut “orang yang dituakan,
didahulukan selangkah, ditinggikan seranting”. Memiliki ungkapan yang mengandung pengertian, bahwa
seorang pemimpin yang baik dan benar adalah orang yang dituakan oleh masyarakatnya. Namun, di
antara pemimpin dan masyarakat tidak ada pembatas yang menjadi pemisah dan haruslah saling bekerja
sama. Dalam ungkapan lain kembali ditegaskan “didahulukan dapat diraih, tinggikan dapat dijangkau,
dekatnya tidak beranjak, jauhnya tidak berantara”. Maksud dari ungkapan tersebut, sebagai seorang
pemimpin tidak boleh memiliki sifat dan sikap yang angkuh. Ditandai dengan kata “tinggikan dapat
dijangkau, dekatnya tidak beranjak”.
Di dalam budaya Melayu, kejayaan seseorang pemimpin diukur sekaligus diuji yang dapat dipertanggung
jawabkannya di dunia dan di akhirat. Raja Ali Haji di dalam karyanya “Tsamarat al-Muhimmah” (1858)
menjelaskan, kepemimpinan merupakan konsep tritunggal Melayu-Islam: khalifah-sultan-imam. Makna
simbolik ‘khalifah’ adalah kewajiban mendirikan agama berdasarkan al-Qur’an, sunnah nabi, dan ijmak.
Pemimpin sebagai ‘sultan’ bermakna kewajiban menegakkan hukum secara adil berdasarkan pedoman
Allah dan rasul-Nya. Dalam kandungan makna ‘imam’, pemimpin harus berada paling depan di dalam
situasi apa pun, sehingga menjadi ikutan semua orang di bawah kepemimpinannya. Dengan demikian,
siapa pun yang mengindahkan dan menerapkan ketiga syarat kepemimpinan, maka akan mendapat
hidayah dan inayah Allah dalam kepemimpinannya.
Jadi, eksistensi suatu negara ditentukan oleh tiga hal penting yaitu
pemimpin, rakyat dan wilayah. Pada masa lampau kerajaan-kerajaan
juga mensyaratkan adanya pemimpin atau raja. Oleh sebab itu
keberadaan raja adalah sebuah keniscayaan. “Raja itu umpama akar,
dan rakyat adalah pohon. Jikalau tidak ada akar, maka pohon tidak
dapat berdiri”. Sebuah ungkapan mengenai pentingnya seorang
pemimpin. Dan pada masa kerajaan Melayu terdapat raja-raja yang
berjaya dan mampu membawa kerajaannya pada masa keemasan.
Ya. Dalam tradisi orang Melayu, para pemimpin itu adalah manusia-
manusia yang lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu tentang
banyak hal. Bahkan di masa lalu, seorang pemimpin bangsa Melayu
juga haruslah sosok yang sakti mandraguna demi melindungi wilayah
dan rakyatnya dari ganguan binatang buas, penjahat, penjajah dan
makhluk halus (jin, siluman, setan, dll). Karena itulah, para pemimpin
yang sejati juga merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit,
namun perannya dalam suatu komunitas orang Melayu menjadi
penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai
bersama.
Sigindo
Luhak
(pemimpin para Kelebu yang kini lazim disebut sebagai Lurah atau
Depati)
Kelebu
Tengganai
Perut
Tumbi
10. Laki-laki (raja perempuan boleh dilantik jika tidak memiliki ahli waris
laki-laki untuk menghindari huru-hara).
Selain itu, tradisi politik Melayu juga mengenal pola hubungan raja
dengan rakyat. Dalam beberapa hal pola ini bisa disebut sebagai satu
“mekanisme kontrak” antara dua pihak yang berkepentingan. Kendati
memang sangat simbolik, teks sejarah Melayu dalam beberapa bagian
menekankan adanya kewajiban raja dan rakyat untuk tidak saling
merusak posisi masing-masing. Teks tersebut memperkenalkan konsep
musyawarah, yang memang sudah ada di negeri ini sejak ribuan tahun
lalu, sebagai aturan dalam sistem perilaku politik raja dan penguasa
Melayu.
Melihat itu semua, maka tampak jelas bahwa bangsa ini semakin
terpuruk tatkala para pemimpinnya berlomba-lomba memainkan peran
buruk dalam dunia politik. Definisi politik sebagai pengambilan
keputusan kolektif atau pembuat kebijakan masyarakat umum secara
menyeluruh dan memihak rakyat, tampak sekali tak mendapat tempat
di negeri ini. Para elite politik bahkan tak lagi berusaha
memperjuangkan kehidupan rakyat atau membimbing rakyat kepada
kebenaran dan kejayaan, melainkan berlomba-lomba menggunakan
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Etika politik hanya menjadi
barang langka yang sulit ditemukan dalam wajah para politikus
Indonesia. Keadaan ini tentu sangat memprihatinkan.
Artinya: Sikap dan sifat yang baik harus menjadi identitas seorang
pemimpin. Kelakuan sehari-hari sang pemimpin mampu mencerminkan
kepribadian yang baik. Inilah yang dimaksud dengan syair di atas,
bahwa seorang raja harus memiliki tingkah laku yang baik sehingga
tidak kehilangan kewibawaannya. Ia harus bersama-sama rakyat untuk
menjunjung adat tanpa adanya perbedaan kewajiban. Kedudukannya
sebagai pemimpin tak mengurangi sedikit pun untuk selalu menjunjung
adatnya. Ia juga harus sering duduk bersama rakyatnya, dengan segala
kebesaran hatinya mau menghilangkan kesombongan dan bersedia
mendengarkan keluh kesah dari rakyatnya, sehingga akhirnya mampu
bertenggang rasa. Kewibawaan akhirnya menjadi penilaian apakah ia
seorang pemimpin yang baik atau buruk.
Selain beberapa hal di atas, maka ada pula pantangan bagi seorang
yang sedang memimpin. Semua itu juga tertuang dalam petatah petitih
Melayu, yang bisa menyebabkan dia diturunkan atau digantikan dengan
yang lain. Adapun di antaranya sebagai berikut:
Selain ke 8 hal di atas, pemimpin orang Melayu itu dapat saja diganti
karena disebabkan:
1. Idok mónahun, sakik nón indó mungkin kan sihat lai, disobuik urang
juó idok bókatanaan. Artinya, sakit menahun sehingga tidak dapat
beraktifitas.
2. Hilang indó tontu rimbónyo (hilang yang tak tahu rimbanya), indó
bócakap sópatah (pergi tak menyebut arah tujuannya), pindah nón indó
bósobutan (pindah tak memberi kabar), koba tidó bóritó tidó (kabar
berita tak terdengar lagi), surekpun tidó (sepucuk suratpun tak ada),
bak batu jatuh kó lubuk dalam (bagaikan batu jatuh ke lubuk yang
dalam alias hilang).
4. Penutup
Sehingga, tidak berlebihan jika apa yang sudah ada di dalam tradisi
Melayu, khususnya tentang kepemimpinan menjadi layak untuk diikuti
lagi. Itu adalah bukti kejayaan peradaban leluhur kita, sudah terbukti
ribuan tahun dan seharusnya tetap kita pegang dan jadikan pedoman
hidup. Karena apa yang sudah ada itu takkan lekang oleh waktu dan
sangat sesuai dengan karakter bangsa kita. Dan ketika memang bangsa
ini mau kembali menerapkannya secara sadar dan keteguhan hati,
maka bangsa ini akan segera bangkit, keluar dari keterpurukannya dan
bisa memimpin dunia sekali lagi.
Semoga banyak yang sadar dan mau kembali ke jati dirinya sendiri
sebagai bangsa Nusantara. Terutama para pemimpinnya, di pusat dan
daerah, harus mau bercermin diri pada kesejatian bangsa ini, salah
satunya dengan mengikuti tradisi kepemimpinan orang Melayu. Jika
tidak, maka tunggulah masa kehancuran itu pasti akan datang dengan
segala bencana dan musibah yang besar. Siapapun yang tidak
menghargai dan mengikuti warisan para leluhur akan tersapu bersih,
binasa saat pergantian zaman ini terjadi nanti.