Anda di halaman 1dari 8

Belajar dan Belajar

Kamis, 07 November 2013

PEMBELAJARAN MENURUT PAULO FREIRE

PEMBELAJARAN MENURUT PAULO FREIRE

A.      Sejarah Paulo Freire

Paulo Freire adalah seorang pendidik di negara Brazilia yang terkenal


mengenai kritikannya terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pendidikan
sekolah terhadap masyarakat luas. Freire dilahirkan dalam keluarga kelas
menengah di Recife, Brasil, pada tanggal 19 Septerber 1921. Namun ia mengalami
langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, suatu
pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut
membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas dan menjadikannya
seorang tokoh pendidikan Brasil dan teoretikus pendidikan yang berpengaruh di
dunia. Dan beliau meninggal di Sao Paulo, Brasil 2 Mei 1997 karena serangan
jantung.

Freire mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang


mahasiswa hukum, yang juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia
lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang
tersebut. Namun, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah,
mengajar bahasa Portugis. Pada 1944, ia menikah dengan Elza Maia Costa de
Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka berdua bekerja bersama selama
hidupnya sementara istrinya juga membesarkan kelima anak mereka.

Penghargaan yang pernah didapatkan oleh Freire adalah: penghargaan


Raja Baudouin (Belgia) untuk Pembangunan Internasional; penghargaan bagi
Pendidik Kristen Terkemuka bersama Elza, istrinya; dan penghargaan UNESCO
1986 bagi Pendidikan untuk Perdamaian.

B.       Pemikiran Paulo Freire

Menurut Freire, pendidikan dapat dirancang untuk percaya pada


kemampuan diri pribadi (self affirmation) yang pada akhirnya menghasilkan
kemerdekaan diri. Ia terkenal dengan gagasannya tentang pendidikan
penyadaran dan pendidikan dengan pengajuan masalah, sebuah gagasan yang
berasal dari kritikannya terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pendidikan
sekolah terhadap masyarakat luas.

Menurut Freire, sebagian besar warga masyarakat masih bersikap masa


bodoh terhadap perkembangan lingkungannya. Kehidupan mereka masih dalam
keadaan tertekan oleh tingkat sosial-ekonomi yang rendah. Kehadiran para
peserta didik dan lulusan pendidikan sekolah di masyarakat menjadi faktor yang
menyebabkan makin timbulnya masyarakat yang tertekan ini. Dimana, seolah-
olah terjadi pola interaksi antara dua kelompok manusia di masyarakat, yaitu
kelompok penekan dan kelompok yang merasa tertekan.

Freire berasumsi, sepanjang dua kelompok tersebut masih tetap ada, maka
mereka tidak mungkin dapat berkembang secara demokratis, kreatif, dan
dinamis. Karena, kelompok penekan mungkin tidak akan mampu untuk
meningkatkan kehidupan masyarakat apabila sebagian besar warganya masih
merasa tertekan. Pihak penekan juga akan mengalami kesulitan dalam
menyadarkan masyarakat yang merasa tertekan untuk dapat mengenali masalah
yang dihadapi, berpikir kritis, dan memecahkan masalah yang timbul dalam
realitas kehidupan mereka. Sebaliknya, pada kelompok yang merasa tertekan,
seakan-akan telah terbiasa berada dalam  “penjara” kehidupan yang statis dan
masa bodoh. Mereka tidak mampu untuk mengenali dan memecahkan masalah
yang dihadapinya. Suasana kehidupan masyarakat yang merasa tertekan, yang
pada umumnya menderita kemiskinan dan keterlantaran pendidikan, serta
berada dalam “kebudayaan bisu”.

Dalam Sudjana (1991) konsep mengenai penyadaran atau conscientization


digunakan untuk membangkitkan kesadaran diri warga masyarakat terhadap
lingkungannya. Kesadaran ini ditumbuhkan melalui gerakan pendidikan
pembebasan. Dimana dalam gerakan pendidikan ini, warga masyarakat sebagai
peserta didik dipandang sebagai subjek yang aktif dan berpotensi, bukan sebuah
objek yang hanya sebagai  penerima sesuatu secara pasif. Pendidikan
pembebasan dilakukan dengan menghindarkan semua faktor yang dapat
menimbulkan adanya perbedaan antara pihak penekan dengan pihak yang
merasa tertekan.

Sedangkan untuk gagasan pendidikan dengan pengajuan masalah atau


problem possing education, adalah sebuah gagasan yang dianjurkan dalam
rangka mengatasi gaya belajar yang Freire anggap sebagai pendidikan “gaya
bank”.
C.      Kritikan Paulo Freire Terhadap Pendidikan “Gaya Bank”

Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brazilia pada masa Freire,


anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat
sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil
pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam
“wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah
itu semakin baiklah ia. Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang
diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti. Nara didik adalah obyek dan bukan
subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai
pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses
belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi
memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang
kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Nara didik
adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya
nara didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta.

Dalam karyanya “Pedagogia do oprimido” (1970); serta buku yang


membuatnya termashur, “Pedagogy of the Oppressed”, yang terbit tahun 1972,
Freire membongkar watak pasif dari praktek pendidikan tradisional yang
melanda dunia pendidikan. Dia menganggap bahwa pendidikan pasif
sebagaimana dipraktekan pada umumnya pada dasarnya adalah melanggengkan
sistim relasi “penindasan”. Freire mengejek sistem dan praktek pendidikan yang
menindas tersebut, yang disebutnya sebagai pendidikan “gaya bank” dimana
guru bertindak sebagai penabung yang menabung informasi sementara murid
dijejali informasi untuk disimpan. Freire menyusun daftar antagonisme
pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut: (1) guru mengajar, murid belajar; (2)
guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa; (3) guru berpikir, murid
dipikirkan; (4) guru bicara, murid mendengarkan; (5) guru mengatur, murid
diatur; (6) guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti; (7) guru
bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan
gurunya; (8) guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri;
(9) guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang
profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-
murid; (10) guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.

Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam


melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia. Pendidikan “gaya bank”
itu ditolak dengan tegas oleh Paulo Freire. Penolakannya itu lahir dari
pemahamannya tentang manusia. Ia menolak pandangan yang melihat manusia
sebagai mahluk pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas tanggung
jawab pribadi mengenai pendidikannya sendiri. Bagi Freire manusia adalah
mahluk yang berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam relasi dengan
alam, manusia tidak hanya berada di dunia tetapi juga bersama dengan dunia.
Kesadaran akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan manusia
berhubungan secara kritis dengan dunia. Manusia tidak hanya bereaksi secara
refleks seperti binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya lagi
sebelum melakukan tindakan. Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia
untuk memilih secara reflektif dan bebas. Dalam relasi seperti itu, manusia
berkembang menjadi suatu pribadi yang lahir dari dirinya sendiri. Bertolak dari
pemahaman yang demikian itu, maka ia menawarkan sistem pendidikan
alternatif sebagai pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya. Sistem
pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire disebut pendidikan “hadap-
masalah”.

D.      Pendidikan Hadap Masalah

Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang


ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia
sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah.
Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia
berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah
yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas
itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa
manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk
membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik. Kesadaran
tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan
menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik.

Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia. Yang pertama adalah


kesadaran intransitif , dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani,
tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas.

Tingkat kesadaran kedua yakni kesadaran semi intransitif atau kesadaran


magis. Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana
masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup
di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.

Tingkat ketiga adalah kesadaran naif. Pada tingkatan ini sudah ada
kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih
ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri
dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah
jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.
Sedangkan tingkat kesadaran yang terakhir yakni kesadaran kritis
transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan
masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan
menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi
dan melihat hubungan sebab akibat.

Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang


menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa
seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar
adalah proses bergerak dari kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan
kesadaran yang di atasnya.

Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru murid (perbedaan


guru sebagai yang menjadi sumber segala pengetahuan dengan murid yang
menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Nara didik tidak dilihat dan
ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula
sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-
sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama
sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan
berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia
adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, nara didik
adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi dalam proses pendidikan
yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku
paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik
dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh
nara didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta
huruf.

Pertama-tama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan


dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) nara
didik. Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan dengan memperhatikan
berbagai kaitan dan dampaknya. Dengan proses demikian nara didik mendalami
situasinya dan mengucapkannya dalam bahasanya sendiri. Inilah yang disebut
oleh Freire menamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata sebagai hasil
penamaan sendiri itu kemudian dieja dan ditulis. Proses demikian semakin
diperbanyak sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari hasil
penamaannya sendiri.

E.       Pendidikan Pembebasan

Beberapa konsep Freire mengenai pendidikan yang membebaskan dan


memanusiakan adalah, pendidikan ditujukan pada kaum tertindas dengan tidak
berupaya menempatkan kaum tertindas dan penindas pada dua kutub
berseberangan dimana, pendidikan bukan dilaksanakan atas kemurah-hatian
 palsu kaum penindas untuk mempertahankan status quo melalui penciptaan
dan legitimasi kesenjangan. Pendidikan kaum tertindas lebih diarahkan pada
pembebasan perasaan/idealisme melalui persinggungannya dengan keadaan
nyata dan praksis. Penyadaran atas kemanusiaan secara utuh bukan diperoleh
dari kaum penindas, melainkan dari diri sendiri. Dari sini sang subjek-didik
membebaskan  dirinya, bukan untuk kemudian menjelma sebagai kaum
penindas baru, melainkan ikut membebaskan kaum penindas itu sendiri.
Pendidikan ini bukan bertujuan untuk menjadikan kaum tertindas menjadi lebih
terpelajar, tetapi untuk membebaskan dan mencapai kesejajaran pembagian
pengetahuan.

Dalam Sudjana (1991), Freire menegaskan bahawa pendidikan yang tidak


mampu membangkitkan diri pada peserta didik dan masyarakat adalah tidak
manusiawi dan karena itu, tidak usah diberi hak hidup. Lebih lanjut ia
menjelaskan bahwa pembangunan tidak akan terwujud melalui pendidikan yang
tidak membangkitkan kesadaran peserta didik dan masyarakat terhadap dunia
dan lingkungannya.

Melalui pendidikan pembebasan, penduduk yang tuna aksara telah dapat


diserahkan pada kesadaran baru tentang dirinya. Mereka dirangsang mampu
menenali keadaan lingkungannya secara kritis dan kemudian mampu
menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mengubah
lingkungannya.

Bila pembebasan sudah tercapai, pendidikan Freire adalah suatu


kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terus-menerus.
Pendidikan bukan menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling
mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua orang tanpa
kecuali. Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan
yang membebaskan dan kemudian memanusiakan.

F.       Daftar Rujukan

Fakih, Mansour. 2011. Paulo Freire Tanpa Mitos: Sebuah Pengantar, (Online),
(http://Paulo-Freire-Tanpa-Mitos-Sebuah-Pengantar_iBlog.mht, diakses 26
Februari 2012).

Malik, Halim. 2011. Teori Belajar Andragogi dan Penerapannya, (Online),


(http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/23/teori-belajar-andragogi-dan-
penerapannya, diakses 2 Februari 2012).

Sudjana, H.D. 1991. Pendidikan Luar Sekolah – Wawasan Sejarah Perkembangan Falsafah
dan Teori Pendukung Asas. Bandung: Penerbit Nusantara Press.
Syafi’I, Agus. 2006. Freire: Pendidikan yang Membebaskan, (Online), (http://www.mail-
archive.com/majelismuda@yahoogroups.com/msg01014.html, diakses 2
Februari 2012).

Wikipedia Berbahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas “Paulo Freire”.

Umu Da'watul Choiro di 08.32

Berbagi

2 komentar:

Fauzul Gufron 17 April 2015 06.25

Assalamkum , Ijin Shere, Syukur-syukur Berguna Kami Produsen & Supplier


Furniture Mungkin Bisa Di Add PIN saya Buat Silatuhrahmi, Atau Nambah-
nambah Relasi Dengan Kami.
Pin: 29B6FE54
Call Us : 082-220-960-468.
Email: fauzulghufron@gmail.com
web:www.galeryfurniturejepara.com
web: www.indomebeljati.com,
Addres: JL. Jepara -Kudus, Desa Tahunan, Kec Tahunan, Kab Jepara, Jawa
Tengah, Indonesia , Pos:59451, Dengan Senag Hati Menjalin Silatuhrahmi
dengan anda Amin , Semoga Bermanfaat
Balas

Artikel Bermutu 10 Mei 2017 06.22

terima kasih
Learniseasy.com
Balas

Masukkan komentar Anda...

Beri komentar sebagai: vikilemba@gmail.com (Google)

Logout

Publikasikan Pratinjau Beri tahu saya


‹ Beranda

Lihat versi web

Mengenai Saya

Umu Da'watul Choiro


Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai