Anda di halaman 1dari 2

DISKUSI BUKU

WAJAR ADANYA KATA


KARYA RM. STEFAN KELEN, PR

OLEH: VINSENSIUS CRISPINUS LEMBA

Membaca seluruh isi buku ini, saya menyampaikan proficiat dan apresiasi kepada Romo
Stefan Kelen, Pr atas karya luar biasa melalui penulisan dan penerbitan Buku “Wajar Adanya
Kata”. Saya sangat setuju dengan Linda Christanty, yang dalam prolog buku ini menegaskan
bahwa esai-esai buku ini dikemas secara cemerlang, yang memperlihatkan keluasan dan
kedalam berpikir dari penulis. Benar bahwa karya ini memperlihatkan posisi penulis sebagai
seorang gembala yang memiliki kepedulian dan keberpihakan yang tidak pernah terceraikan
dari keimanan.
Buku ini mengupas tentang pelbagai sisi kehidupan manusia, yang bertolak dari pengalaman
hidup harian, yang direfleksikan secara mendalam, dan dianalisis secara tajam, dan
disintesiskan dari pelbagai cara pandang. Lagi pula disajikan dengan bahasa yang lugas,
meskipun pada bagian tertentu harus lebih “memaksa otak” untuk menyimak agar dapat
memahaminya.
Saya menangkap cukup banyak hal yang diulas secara detail dalam buku ini. Namun pada
kesempatan ini, sesuai bagian yang sudah ditentukan untuk saya dari penyelenggara kegiatan
ini, saya menyoroti satu-dua pikiran yang berkenaan dengan pendidikan.

1. Salah satu kata kunci dalam buku ini adalah tentang rumah yang dikontradiksikan
dengan istana. Rumah adalah ruang hidup di mana ada ekspresi kemerdekaan untuk
kawanan insani. Kalau istana adalah ruang ekspresi kekuasaan. Menerjemahkan
pikiran ini dalam konteks kita, sekolah-sekolah kita semestinya juga adalah rumah.
Bukan sekadar sekolah sebagai tempat fisis, tetapi ruang hidup yang memerdekakan
bagi guru dan murid untuk mengekspresikan jiwa-jiwa yang merdeka. Gagasan ini
sejalan dengan harapan Paulo Freire tentang pendidikan yang memerdekaan. Sekolah
sebagai ruang terselenggaranya pendidikan harus menghasilkan pribadi-pribadi yang
merdeka. Tetapi yang menjadi pertanyaan pokok adalah bagaimana sekolah dapat
menjadi ruang ekspresi kemerdekaan?
2. Berkaitan dengan rumah yang memerdekakan, dalam buku ini juga digagaskan
tentang tokoh pembebasan universal. Kalau di sekolah siapakah tokoh itu? Dalam
beberapa esai, Romo Stefan “gemar” mendeklarasikan relasi personal antarmanusia
sebagai “subjek-subjek”. Secara internal sekolah juga harus menempatkan semua
pribadi dalam frame yang sama. Jelasnya pendidik (guru) dan peserta didik adalah
pribadi subjek. Kalau subjek, itu berarti keduanya adalah pelaku utama pendidikan.
Gagasan ini lahir dari pemahaman dasar, antara lain digagaskan oleh Socrates tentang
maieutika tekhne, tugas guru adalah membidani agar peserta didik dapat melahirkan
gagasan, minat, bakat, dan kemampuan. Harusnya ini menjadi praktik-baik di sekolah.
Bukan sebaliknya, pendidik memformat peserta didik dengan jejalan-jejalan
pengetahuan sebagaimana yang dilawan habis-habisan oleh Paulo Freire ketika
berbicara tentang pendidikan gaya bank.
3. Peserta didik tidak dapat mengaktualisasikan dirinya secara penuh kalau tidak
“ditolong” oleh guru. Sebaliknya, guru juga tidak berguna apa-apa kalau tidak dapat
“menolong” peserta didik. Hemat saya, di sinilah dibutuhkan kualitas-kualitas guru
agar “tidak salah menolong” peserta didik. Saya mencoba untuk mengaitkan
kebutuhan akan kualitas guru masa kini dengan beberapa gagasan Romo Stefan dalam
kumpulan esai ini. Hal yang paling pokok adalah moralitas guru, yang diterjemahkan
dalam beberapa ungkapan: “solidaritas ((rela mencebur terkena lumpur itu sendiri
agar bisa mengangkat anak ke tempat baru yang hidup/duduk di tengah dan mengenal
muridnya), beriman, mengabdi tanpa pamrih, demokratis, menjadi lilin damai yang
kerlap-kerlip bagi sesama, mengasihi tanpa sekat. Tapi ada hal lain juga yang harus
menyertakan hal pertama tadi, yakni kualitas intelektual. Romo Stefan menunjukkan
hal ini ketika berbicara tentang manusia yang berwawasan luas, kritis-analitis, objektif
(menilai dan membela secara benar), “tidak hanya mengandalkan otot dan peluh,
tetapi lebih berpegang pada pengatahuan faktual akan kondisi paling kumal di lapisan
bawah, kebusukan di tengah, dan pengekeroposan bahkan pengrusakan dari dalam”.
4. Dalam aras pemikiran yang sama, bagaimana dengan peserta didik? Nasihat yang
bijak dari buku, yang bisa saya petik adalah “Saat anda berjalan menuju kesucian
(cita-cita hidup), anda perlu jatuh bangun, bisa melewati jalan lumpur, mendaki pula”.
Sejak dini, anak harus perlahan-lahan (diarahkan dan) mengarahkan diri pada cita-cita
hidup. Yang perjalanannya harus ditopang dengan jiwa petarung (combat spirit),
untuk mencari tanpa henti, yang setiap saat harus mengaktualisasikan diri sebagai
pribadi berjatidiri kuat, yang mampu mengekspresikan pengetahuan, keterampilan dan
perilaku secara progresif dan tepat sasar.
5. Menghubungkan dua subjek (pendidik-peserta didik), saya mau mengingatkan
kembali untuk para guru tentang petuah bijak ini: jati diri guru adalah suci! Kesucian
guru karena hakikat guru itu sendiri. Tugas guru adalah menularkan kesucian itu
lewat teladan hidup yang dibiasakan setiap saat. Murid melihat dan mencontohi.
Karena itu, buatlah apa yang dikatakan, dan katakan apa yang harus dibuat. Asalkan
yang dibuat dan yang dikatakan mengantar peserta didik pada jalan kebenaran,
pencapaian kualitas diri yang sesungguhnya, yang radikal dalam berwawasan,
profesional dalam ber-skill, dan “suci” dalam berperilaku.

Larantuka, 5 Juli 2019

Vinsensius C. Lemba

Anda mungkin juga menyukai