Bunyi sila ke-2 Pancasila adalah: “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.”
Apa sesungguhnya makna dari sila tersebut? Saya tertarik mengawali pembahasan dengan
mengupas pandangan Sukarno tentang Pancasila seperti yang diuraikan Siswoyo dalam
jurnal Cakrawala Pendidikan.Uraian yang disampaikan mengacu pada pidato dan tulisan-
tulisan Sukarno tentang Pancasila.
Dalam pidato Sukarno, rumusan Pancasila masih belum disempurnakan. Rumusannya masih
berupa dasar-dasar filosofis kemerdekaan Indonesia. Dasar atau prinsip filosofis pertama
adalah Kebangsaan Indonesia. Prinsip kedua adalah Internasionalisme atau Peri
Kemanusiaan. Prinsip ketiga adalah Dasar Mufakat, Dasar Perwakilan, dan Dasar
Permusyawaratan. Prinsip keempat adalah Kesejahteraaan Sosial. Prinsip kelima adalah
Taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Sukarno, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan itu adalah sebuah bentuk
nasionalisme asli Indonesia. Kata “internasionalisme’ di sini bukanlah bentuk
kosmopolitanisme yang menganggap semua bangsa sama, yang mengatakan tidak ada
Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, dan sebagainya. Sebaliknya,
internasionalisme di sini dimaknai sebagai pernyataan nasionalisme sejati.
Nasionalisme sejati bukan hanya sekedar rasa cinta dan bangga karena kesatuan bangsa dan
tanah air. Nasionalisme ini bukan semata-mata tiruan dari nasionalisme Barat yang cenderung
mengarah pada chauvinisme, akan tetapi nasionalisme ini timbul dari rasa cinta akan manusia
dan kemanusiaan.
Saya tertarik dengan poin ini: nasionalisme timbul dari rasa cinta akan kemanusiaan.
Kemanusiaan menjadi warna dominan dalam sila ini. Sebab, warna kemanusiaan dalam sila
kedua ini juga dikuatkan dalam butir-butir Pancasila. Poin ini dapat menjadi titik tolak
aktualisasi sila ini dalam Pendidikan.
Keseimbangan sisi kognitif, afektif, dan psikomotor ini amat vital. Terlebih, bila kita
membicarakan kurikulum, kita harus memastikan bahwa materi pembelajaran yang harus
dipelajari benar-benar diserap dan dikuasai oleh peserta didik. Namun, bagaimana
denganpotensi lain yang telah dimiliki atau ingin dipelajari oleh peserta didik?
Di sinilah kadang kesenjangan terjadi. Seringkali sistem pendidikan kita belum dapat
mengakomodasi keragaman potensi peserta didik. Sebagai contoh, apabila kita menganalisis
potensi peserta didik bedasarkan teori kecerdasan majemuk Gardner, akan ada 9 jenis bakat
atau potensi bawaan yang menunggu untuk diaktualisasi. Bila potensi ini tidak disadari sejak
dini, peserta didik “terpaksa” harus berkembang di bidang yang mungkin tidak diminati dan
tidak menjadi bakatnya. Kesenjangan ini mendorong para praktisi pendidikan dan kita
bersama untuk mencari cara-cara baru agar anak dapat berkembang sesuai bakat dan
minatnya.
Sebagai makhluk sosial, manusia mutlak memerlukan orang lain. Manusia berkembang
seutuhnya menjadi makhluk sosial bila ia mampu bekerja dan hidup bersama dengan orang
lain. Di sinilah pendidikan karakter mengambil peran. Orang-orang terdekat dan
lingkunganlah yang akan berpengaruh dalam pembentukan karakter peserta didik.
Komponen pendidikan karakter itu adalah teladan, hadiah, dan hukuman. Keberhasilan
pendidikan karakter ditentukan oleh keseimbangan tiga komponen tersebut. Pendidikan yang
terlalu menekankan hukuman, justru akan membuat citra diri peserta didik menjadi negatif.
Pendidikan yang terlalu menekankan hadiah, kurang dapat menumbuhkan daya juang.
Pendidikan yang terlalu menekankan teladan, akan menjadi terlalu longgar.
Sebagai makhluk susila, manusia menyadari adanya nilai dan norma. Ia mampu berkembang
menjadi makhluk susila yang utuh bila ia mampu menyesuaikan diri dengan nilai dan norma
di tempat ia berada. Di sini, pendidikan nilai mendapat peran vital.
Komponen pendidikan nilai sama dengan komponen pendidikan karakter yaitu teladan,
hadiah, dan hukuman. Keseimbangan tiga komponen inilah yang juga menentukan
keberhasilan pendidikan nilai pada peserta didik.
Sebenarnya, pengembangan hakikat manusia sebagai makhluk religius dapat juga turut diurai
di sini. Namun akan lebih tepat lagi yang menjadi dasar pengemabngan manusia sebagai
makhluk religius adalah sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari uraian di atas kita dapat merefleksikan bahwa sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
memperoleh aktualisasi dalam dunia pendidikan. Sila ini menjadi landansan yang kokoh dan
tepat bagi pengembangan sumber daya manusia Indonesia. Dengan melaksanakan pendidikan
yang mengembangkan hakikat kemanusiaan, secara langsung kita juga mewujudkan sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Menyitir ungkapan Driyarkara, dengan menjadikan sila
kedua sebagai landasan filosofis pendidikan, kita telah memanusiakan manusia.
Sekarang, tinggal sejauh mana kita mampu terus mengekplorasi dan mengaktualisasikan
gagasan filosofis ini ke dalam dunia nyata pendidikan. Anda tertantang?
1.Siswoyo, Dwi. 2013. Pandangan Bung Karno tentang Pancasila dan Pendidikan Cakrawala
Pendidikan, Februari 2013, Th. XXXII, No. 1. (Online),
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=102537&val=445), diakses 20
November 2014.
2.A. Sudiarja dkk. 2006. Karya Lengkap Driyarkara : Esai-esai Filsafat Pemikir yang
Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
o Pengakuan terhadap adanya martabat manusia dengan segala hak asasinya yang harus
dihormati oleh siapapun.
o Perlakuan yang adil terhadap sesama manusia.
o Pengertian manusia beradab yang memiliki daya cipta, rasa, karsa dan iman, sehingga
nyatalah bedanya dengan makhluk lain.
Sumber: http://www.mail-archive.com/proletar@yahoogroups.com/msg28476.html
1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan yang Maha Esa.
2. mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa
menbeda-bedakan suku,keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin,kedudukan sosial,
warna kulit dan sebagainya.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4. Mengembangkan sikap tenggang Rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa
lain.
Penjelasan dari sila ke 2 menjadi 10 butir di atas sungguh membuat sedih, karena di
dalam praktek kehidupan berbangsa dan bertanah air banyak di coreng oleh
masyarakatnya sendiri. ( terutama dikota besar )
Bisa dibilang ke 10 butir tersebut hanya butir ke 7 yang masih eksis itu pun
dikarenakan adanya kepentingan sesaat ( mau pemilu, ada bencana, perayaan
ketatanegaraan maupun agama ), sedang butir lainnya ?
Dan yang patut diingat, ke sepuluh butir ini masih bisa dirasakan prakteknya justru
di kota-kota/dusun yang jauh dengan pusat kota/kekuasaan, dimana masyarakat
‘pinggiran’ yang ‘memiliki’ pemikiran sederhana dan apa adanya tanpa mempelajari
apa itu Pancasila bisa jadi malah tidak tahu dan tidak hafal isi Pancasila, apalagi P4.
Sedang di dalam susunan dari Pancasila, sebagai urutan ke dua bukan semata asal
ditaruh pada posisi ke dua, karena sekali sila ke Dua ini tidak berjalan dengan baik
dan benar maka bisa dibilang sila lain nya pun menjadi tidak bermanfaat baik
sebagai dasar negara maupun sebagai ideologi apa lagi untuk kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Kembali masyarakat kecil nun jauh dari perkotaan dan pusat kekuasaan hanya bisa
heran dan malah ‘kagum’ NKRI bisa berubah menjadi besar dalam hal banyak
propinsi dan menjadi kecil dalam hal luas dan wilayahnya. ( bisa jadi malah tidak
tahu bahwa NKRI itu sebenarnya memiliki luas, bhineka dan kuasa )
Sumber: http://kuliahade.wordpress.com/2010/07/30/pancasila-penjelasan-sila-sila/
Inti sila kemanusiaan yang adil dan beradab adalah landasan manusia. Maka
konsekuensinya dalam setiap aspek penyelengaraan Negara antara lain hakikat
Negara, bentuk Negara, tujuan Negara , kekuasaan Negara, moral Negara dan para
penyelenggara Negara dan lain-lainnya harus sesuai dengan sifat-sifat dan hakikat
manusia. Hal ini dapat dipahami karena Negara adalah lembaga masyarakat yang
terdiri atas manusia-manusia, dibentuk oleh anusia untuk memanusia dan
mempunyai suatu tujuan bersama untuk manusia pula. Maka segala aspek
penyelenggaraan Negara harus sesuai dengan hakikat dan sifat-sifat manusia
Indonesia yang monopluralis , terutama dalam pengertian yang lebih sentral
pendukung pokok Negara berdasarkan sifat kodrat manusia monodualis yaitu
manusia sebagai individu dan makhluk social.
Oleh karena itu dalam kaitannya dengan hakikat Negara harus sesuai dengan hakikat
sifat kodrat manusia yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk social. Maka
bentuk dan sifat Negara Indonesia bukanlah Negara individualis yang hanya
menekankan sifat makhluk individu, namun juga bukan Negara klas yang hanya
menekankan sifat mahluk social , yang berarti manusia hanya berarti bila ia dalam
masyarakat secara keseluruhan . maka sifat dan hakikat Negara Indonesia adalah
monodualis yaitu baik sifat kodrat individu maupun makhluk social secara serasi,
harmonis dan seimbang. Selain itu hakikat dan sifat Negara Indonesia bukan hanya
menekan kan segi kerja jasmani belaka, atau juga bukan hanya menekankan segi
rohani nya saja, namun sifat Negara harus sesuai dengan kedua sifat tersebut yaitu
baik kerja jasmani maupun kejiwaan secara serasi dan seimbang, karena dalam
praktek pelaksanaannya hakikat dan sifat Negara harus sesuai dengan hakikat
kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk berdiri seniri dan makhluk tuhan.