AHMAD TAFSIR
OLEH :
1. Aida Bakar
2. Anwar Azmi Hidayatullah
3. Kusumawati Sallo
4. Rio Aprianzha A Haji
5. Rofana Lamai
6. Siti Hapsa S Bapang
7. Wahyu Panji Asmoro
8. Wahyuni Goga
9. Wilda M Lamadaung
Tahun 2018/2019
Kata Pengantar
Puji serta syukur kami haturkan kepada tuhan yang maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah resensi ini tentang “MAKALAH
RESENSI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM AHMAD TAFSIR” dengan tepat waktu dan
sebaik-baiknya.
Dalam pembuatan makalah ini kami sebagai penulis mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak, maka dari itu pada kesempatan kali ini kami sebagai penulis mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung kami, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan tepat waktu. Kami menyadari bahwa makalah ini pasti mempunyai kesalahan
dalam penulisan, penyusunan dan materinya untuk itu mohon dimaklumi. Oleh karena itu
kami sebagai penulis dengan senang hati menerima saran dan kritik dari para pembaca atas
kesalahan dan kekurangan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan dengan semestnya dan dapat berguna dengan
semestinya juga.
Ttd
Penulis
Buku ini merupakan sebuah sumbangsih yang sangat besar bagi kaum pelajar
khususnya setingkat mahasiswa dan mahasiswa pasca sarjana yang mungkin masih awam
dalam memahami tentang filsafat pendidikan islam. Permasalahan mengenai filsafat yang
dikaji di setiap kampus pendidikan ternyata hampir sama, yaitu sulitnya membedakan antara
filsafat pendidikan dan teori pendidikan. Dengan semua daya dan upaya penulis optimalkan
dalam menyusun buku ini, penulis adalah seorang yang ahli di dalamnya yaitu seorang
pengajar tentang Filsafat Pendidikan dan Ilmu Pendidikan di beberapa perguruan tinggi, yang
mahasiswanya adalah mahasiswa program S1 dan S2.
Penulis dalam menyusun buku ini diawali dengan mejelaskan terlebih dahulu mengenai
perbedaan filsafat dengan ilmu. Dari penjelasan yang ada di BAB I ini mencerminkan
pemahaman penulis yang dalam tentang filsafat. Namun, dari BAB ini juga pembahasannya
tidak hanya menceritakan perbedaan filsafat dan ilmu. Akan tetapi, menjelaskan pula latar
belakang penulisan judul buku yang sedang kita kaji sekarang judulnya.
Buku ini juga tidak ditulis secara sistematik menurut struktur Filsafat Pendidikan.
Tetapi, penulis hanya membicarakan beberapa topik atau tema saja yang dianggapnya
penting. Bahkan sebagian besar bahan-bahan materinya diangkat dari makalah-makalah yang
pernah penulis dibahas di forum-forum diskusi atau formal lainnya. Pembahasan yang di
angkat penulis adalah sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
Yaitu menjelaskan perbedaan filsafat dan ilmu. Sekaligus juga menceritakan latar
belakang penulisan buku ini dan sistematika yang dipakainya dalam pembahasan tiap BAB.
Socrates
Manuisa adalah sentral segalanya. Dia akan mengatur dirinya dan alam dengan
peraturan yang dia buat sendiri.
Plato (murid Socrates)
Manusia perlu mengetahui siapa dirinya sebelum mengetahui yang ada di luar dirinya.
Dan untuk mengetahui sesuatu itu, manusia perlu bertanya. Untuk itu dia perlu bantuan orang
lain untuk menjawab pelbagai pertanyaannya. Manusia terdiri dari jiwa (ada sebelum
kelahiran) dan tubuh (fisik). Jiwa akan abadi sedangkan tubuh akan musnah. Jiwa manusia
terdiri dari 3 elemen; kuda putih (roh), kuda hitam (nafsu), dan kusir (rasio). Kuda hitam dan
putih secara bersama menarik kereta. Rasio bertugas mengendalikan
kereta. Pendidikan bertugas membantu rasio dalam mengendalikan kereta tersebut.
Rene Descartes (1596-1650)
Ciri rasional pada manusia adalah adanya kebebasan memilih dalam bertingkah laku.
Pada binatang kebebasan itu tidak ada. Maka berfikir itu sangat sentral pada manusia.
Immanuel Kant (1724-1804)
Manusia itu adalah makhluk rasional yang bertindak berdasarkan alasan moral yang
bukan hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Jadi ciri manusia adalah berfikir baru
bertindak. Pada binatang itu tidak terjadi.
Manusia Menurut Tuhan
Penjelasan terbaik tentang siapa manusia itu berasal dari pencipta manusia. Dan karena
Al-Quran adalah kitab yang masih asli dari Tuhan, maka dari sanalah kita mengetahui apa
yang Tuhan katakan tentang manusia.
Menurut Tuhan manusia adalah diciptakan oleh Tuhan. Al-Quran menyebutkan bahwa
manusia memiliki unsur jasman, maka perlu makan dan minum (QS 7: 31). Juga memiliki
unsur akal, dan ruh. Menurut Al Syaibani, jasmani, akal, dan ruhani membangun manusia
laksana segitiga sama sisi. Ketiganya sama pentingnya untuk dikembangkan.
Kapanpun dan di Negara manapun baik negara berkembang maupun negara yang sudah
maju sekalipun, pendidikan selalu menjadi topik pembicaraan yang tak pernah selesai. Selalu
ada usaha untuk memperbaikinya. Ada yang berhasil tetapi tidak sedikit yang gagal. Hal ini
sesuai dengan sifat manusia yang tidak pernah puas dan cenderung menyukai hal baru (J.P.
Sartri).
Pendidikan selalu diwarnai oleh pandangan hidup (way of life.) Rasionalismelah salah
satu pandangan hidup. Paham ini yang kebenaran itu diperoleh melalui akal atau dengan kata
lain akal itulah alat pencari dan pengukur kebenaran, orang-orang sophis dalam penggunaan
akal amatlah radikal. Sekalipun akal yang berperan tetapi bukan merupakan satu-satunya
jalan. Bagi setiap muslim tentunya tidak hanya akal yang mereka gunakan saja melainkan
potensi hati dan jasad yang dapat mendesign pendidikan menjadi lebih baik. Tatkala kita
membicarakan mengenai design pendidikan tidak akan terlepas dari nilai atau norma yang
akan diterapkan. Biasanya nilai baik dan buruk digunakan untuk menetapkan nilai, adapun
nilai indah dan tidak indah biasanya dikaitkan dengan seni.
Rasionalisme
Rasionalisme berpegang pada prinsip bahwa akal adalah pencari kebenaran. Dan
kebenaran diukur dengan akal. Kebenaran harus dimiliki agar derajat kemanusiaan semakin
tinggi. Manusia yang sebenarnya adalah yang derajat kemanusiaannya tinggi.
Seiap orang meninginkan nilai yang diyakininya dapat lestari. Munculnya budaya yang
beragam di masyarakat merupakan bukti keinginan itu. Jadi budaya tidak lain adalah bukti
nyata adanya nilai. Nilai atau budaya mana yang ingin dikembangkan oleh pendidikan kita?
Setidaknya ada dua aliran budaya yang tengah berebut pengaruh di dunia pendidikan
kita. Pertama budaya yang berdasar pada nilai falsafah bangsa Pancasila yang core nilainya
Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua budaya Barat. Budaya Barat yang falsafahnya dibangun
dari Humanisme dan Realisme yang melahirkan Positivisme yang menghasilkan metode
ilmiah dan metode riset. Seluruh produk metode riset digunakan untuk mengatur kehidupan
manusia maupun mengatur alam. Inti dari budaya Barat adalah budaya mendewakan akal.
Apakah budaya barat memang pilihan, ataukan Pancasila? Tidak jarang sebagian para
pendidik secara tidak sadar talah memuja Barat. Padahal sesungguhnya Barat sendiri
mengakui bahwa budaya mereka adalah budaya yang tidak memanusiakan manusia karena
manusia yang unik telah demikian disederhanakan. Manusia dianggap (diperlakukan) seperti
barang-barang produksi mesin.
Di negara indonesia terdapat kecacatan dari tujuan pendidikan, sebab yang mereka
harapkan dari tujuan itu menjadi manusia yang berjiwa pancasila. Memang bukan pekerjan
yang sangat mudah, mungkin saja seseorang tidak mampu mengungkapkan kriteria manusia
yang terbaik itu, ada saja pandangan yang berbeda seperti apabila pandangannya berupa
agama, maka yang dikatakan tujuan pendidikan yang terbaik itu merupakan pandangan
agama, begitupun sebaliknya dengan pandangannya filsafat maka yang dikatakan pendidikan
yang terbaik adalah yang berorientasi kepada filsafat. Perbedaan itu dapat dipesempit tatkala
negara sendiri yang menetapkan tujuan tersebut.
– Cerdas, sehingga dapat menyelesaikan persoalan dengan cepat dan tepat
– Beriman kuat, karena tidak semua masalah bersifat rasional (dapat diselesaikan
dengan kecerdasan)
– Jujur
– Kreatif
– Ulet
– Demokratis
Secara umum tujuan pendidikan adalah manusia yang baik yang akan mebentuk
masyarakat yang baik. Normatif memang. Lalu apa ciri normarifnya? Masyarakat yang baik
sering disebut sebagai masyarakat madani dengan tiga ciri utama:
– adanya masyarakat yang taat hokum dan kesamaan dimuka hukum, dan
Terjadinya globalisasi dan pasar bebas menuntut tambahan kemampuan lulusan sebuah
lembaga pendidikan. Dunia yang tanpa batas (borderless word), pasar bebas (WTO-word
trade organization) telah diciptakan, dan tatanan dunia baru telah lahir.
Namun demikian, dunia pendidikan kita masih menghadapi tiga masalah besar; sistem
yang terlalu kaku, budaya korup (peringkat 2 dunia), dan belum berorientasi pada
pemberdayaan dan mengantisipasi abad 21 (daya saing no 40, 1998).
Satu hal yang penting untuk diperhatikan yang menjadi topik dalam pembahasan ranah
filsafat adalah bahwasanya sebuah proses pendidikan mestilah mambangun sebuah
internalisasi content pendidikan. Baik itu terkait dengan internalisasi pengetahuan terlebih
lagi internalisasi nilai. Ada rambu-rambu penting yang perlu diperhatikan agar sebuah proses
sukses melakukan internalisasi.
Tahu (knowing).
Mampu melaksanakan apa yang diketahui (doing).
Menjadi apa yang telah dilaksanakan itu (being).
Tiga hal di atas berlaku untuk semua disiplin ilmu baik ilmu yang tidak bersifat nilai,
apalagi yang bersifat nilai. Untuk itu ada dua langkah penting yang perlu dipersiapkan dan
didesain oleh sebuah proses pendidikan:
Keteladanan dan
Pembiasaan.
Pada pendidikan nilai, khususnya agama (Islam) – juga agama lain (mungkin, pent) –
dalam pelaksanaan keteladanan dan pembiasaan, mestilah ada action nyata. Untuk itu perlu
juga diketahui dan diperhatikan tahap-tahap berikut khususnya ketika menginternalisasi
praktik ibadah.
Tahap Ilmu
Beribadah harus dengan ilmu sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Tahap Taubat
Dengan taubat maka dosa akan diampuni, akan mendapat pertolongan, dan ibadah akan
diterima.
Tahap Godaan
Godaan dapat berupa dunia, makhluk, syetan, hawa nafsu.
Tahap Penghalang
Penghalang dapat berupa rezeki dan tuntutan hawa nafsu, kurang ridho, dan musibah.
Tahap Pendorong
Khauf dan raja’.
Tahap Perusak
Riya’ dan ujub.
Satu lagi hal penting yang perlu dicamkan dan dipraktikkan dalam proses pendidikan
yaitu doa. Doa adalah kekuatan yang efektif. Doa yang paling efektif adalah yang dilakukan
oleh orang lain untuk saudaranya.
Sumber daya terbesar yang harus dikeluarkan dalam pendidikan sesungguhnya adalah
pada proses. Di Indonesia, pendidikan Islam khususnya, seringkali menjadikan biaya yang
besar sebagai alibi keterbalakangan. Tetapi penulis kurang sependapat jika dikatakan kita ini
miskin. Yang benar adalah kita tidak mampu mengelola harta, kurang bisa membuat skala
prioritas dalam beribadah. Ambil contoh, misalnya ibadah haji. 200.000 orang setiap
tahunnya menunaikan haji ke Baitullah. 4% diantaranya adalah orang yang sudah pernah
berhaji. Jika 4 persen (8.000 orang) ini mau menyisihkan uangnya untuk invertasi
pendidikan, maka akan ada 8.000 orang x Rp30.000.000 = 240 milyar. Bagaimana jika 10
tahun uang itu dideposito, maka akan bertambah 200%. Belum lagi deposito tahun ke-2, ke-3,
dst. Dan masih ada lagi potensi lain; zakat, infaq, dll. Sayangnya, ummat Islam – meminjam
istilah Sutan Takdir Alisyahbana – masih sangat menganut budaya ekspresif (rasa) dari pada
progresif.
UU Sisdiknas kita haruslah menjadi salah satu wujud dari empat ide tersebut. UU
Sisdiknas yang baru no. 20 tahun 2003, setidaknya telah mencoba menerjemahkan ide
tersbut. Pada UU tersebut tertuang tujuan pendidikan yaitu untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, … (BAB II pasal 3). Persoalanya adalah kalimat “beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa” belum amat jelas maksudnya. Ini menjadi pangkal persoalan untuk
kemudian terjadi inkonsistensi. Jikapun ini dianggap telah konsisten, tetapi pada tataran
teknis inkonsistensi terulang lagi. Tidak adanya spirit “beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa” begitu terasa dalam permen-permen, maupun PP tentang pendidikan kita.
KESIMPULAN
Untuk memperbaiki pendidikan kita ada dua langkah penting yang harus segera
diambil:
Pertama, mengubah paradigma dengan mengutamakan pendidikan ahlak. Ini berarti
pendidikan agama. Jadikan agama sebagai core sistem pendidikan.