Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH RESENSI

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

AHMAD TAFSIR

OLEH :

1. Aida Bakar
2. Anwar Azmi Hidayatullah
3. Kusumawati Sallo
4. Rio Aprianzha A Haji
5. Rofana Lamai
6. Siti Hapsa S Bapang
7. Wahyu Panji Asmoro
8. Wahyuni Goga
9. Wilda M Lamadaung

STIE IEUpaweda Yogyakarta

Tahun 2018/2019
Kata Pengantar

Puji serta syukur kami haturkan kepada tuhan yang maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah resensi ini tentang “MAKALAH
RESENSI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM AHMAD TAFSIR” dengan tepat waktu dan
sebaik-baiknya.

Dalam pembuatan makalah ini kami sebagai penulis mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak, maka dari itu pada kesempatan kali ini kami sebagai penulis mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung kami, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan tepat waktu. Kami menyadari bahwa makalah ini pasti mempunyai kesalahan
dalam penulisan, penyusunan dan materinya untuk itu mohon dimaklumi. Oleh karena itu
kami sebagai penulis dengan senang hati menerima saran dan kritik dari para pembaca atas
kesalahan dan kekurangan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan dengan semestnya dan dapat berguna dengan
semestinya juga.

Yogyakarta, Sabtu 12 januari 2019

Ttd

Penulis
Buku ini merupakan sebuah sumbangsih yang sangat besar bagi kaum pelajar
khususnya setingkat mahasiswa dan mahasiswa pasca sarjana yang mungkin masih awam
dalam memahami tentang filsafat pendidikan islam. Permasalahan mengenai filsafat yang
dikaji di setiap kampus pendidikan ternyata hampir sama, yaitu sulitnya membedakan antara
filsafat pendidikan dan teori pendidikan. Dengan semua daya dan upaya penulis optimalkan
dalam menyusun buku ini, penulis adalah seorang yang ahli di dalamnya yaitu seorang
pengajar tentang Filsafat Pendidikan dan Ilmu Pendidikan di beberapa perguruan tinggi, yang
mahasiswanya adalah mahasiswa program S1 dan S2.
Penulis dalam menyusun buku ini diawali dengan mejelaskan terlebih dahulu mengenai
perbedaan filsafat dengan ilmu. Dari penjelasan yang ada di BAB I ini mencerminkan
pemahaman penulis yang dalam tentang filsafat. Namun, dari BAB ini juga pembahasannya
tidak hanya menceritakan perbedaan filsafat dan ilmu. Akan tetapi, menjelaskan pula latar
belakang penulisan judul buku yang sedang kita kaji sekarang judulnya.
Buku ini juga tidak ditulis secara sistematik menurut struktur Filsafat Pendidikan.
Tetapi, penulis hanya membicarakan beberapa topik atau tema saja yang dianggapnya
penting. Bahkan sebagian besar bahan-bahan materinya diangkat dari makalah-makalah yang
pernah penulis dibahas di forum-forum diskusi atau formal lainnya. Pembahasan yang di
angkat penulis adalah sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan
Yaitu menjelaskan perbedaan filsafat dan ilmu. Sekaligus juga menceritakan latar
belakang penulisan buku ini dan sistematika yang dipakainya dalam pembahasan tiap BAB.

BAB II Hakikat Manusia


Manusia merupakan suatu kata yang sangat menarik untuk dibahas. Sangat banyak
sekali definisi manusia menurut beberapa tokoh, terutama para filusuf. Secara garis besar dari
pendapat mereka bahwa manusia menurut manusia itu memiliki tiga elemen, yaitu roh, akal,
hati. Ketiga elemen ini yang menjadi sarana penunjang bagi mereka untuk mengenal siapa
mereka, darimana mereka, dan hendak kemana mereka? Setelah mereka menemukan jawaban
dari pertanyaan ini, maka kesimpulannya manusia akan tahu bahwa dia milik Tuhan dan akan
kembali kepada-Nya.
Manusia juga merupakan Homo Endocandum yang dapat dididik dan menddik,
tentunya perlu keterlibatan pihak lain agar dapat melangsungkan pendidikan ini menuju
keterarahan yang jelas. Manusia pun telah diberikan potensi yang begitu luar biasa. Salah
satunya akal tadi, yang dapat digunakan untuk memahami dan memikirkan segala fenomena.
Salah satu yang amat menarik juga untuk dibicarakan adalah apa sebenarnya inti manusia itu?
Ketiga unsur tadi yang menjadi jawaban yang amat relevan ditelinga kita. Berdasarkan
pendapat ini pendidikan manusia harus terarah secara proporsional.

Karena pendidikan adalah usaha untuk membantu manusia untuk memanusiakan


dirinya, maka bab dua  ini membahas tentang hakekat manusia. Ada tiga sudut pandang yang
digunakan; (1) manusia menurut manusia, (2) manusia menurut Tuhan.

Manusia Menurut Manusia

Socrates

Manuisa adalah sentral segalanya. Dia akan mengatur dirinya dan alam dengan
peraturan yang dia buat sendiri.

Plato (murid Socrates)

Manusia perlu mengetahui siapa dirinya sebelum mengetahui yang ada di luar dirinya.
Dan untuk mengetahui sesuatu itu, manusia perlu bertanya. Untuk itu dia perlu bantuan orang
lain untuk menjawab pelbagai pertanyaannya. Manusia terdiri dari jiwa (ada sebelum
kelahiran) dan tubuh (fisik). Jiwa akan abadi sedangkan tubuh akan musnah. Jiwa manusia
terdiri dari 3 elemen; kuda putih (roh), kuda hitam (nafsu), dan kusir (rasio). Kuda hitam dan
putih secara bersama menarik kereta. Rasio bertugas mengendalikan
kereta. Pendidikan bertugas membantu rasio dalam mengendalikan kereta tersebut.

Rene Descartes (1596-1650)

Ciri rasional pada manusia adalah adanya kebebasan memilih dalam bertingkah laku.
Pada binatang kebebasan itu tidak ada. Maka berfikir itu sangat sentral pada manusia.

Immanuel Kant (1724-1804)

Manusia itu adalah makhluk rasional yang bertindak berdasarkan alasan moral yang
bukan hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Jadi ciri manusia adalah berfikir baru
bertindak. Pada binatang itu tidak terjadi.
Manusia Menurut Tuhan

Penjelasan terbaik tentang siapa manusia itu berasal dari pencipta manusia. Dan karena
Al-Quran adalah kitab yang masih asli dari Tuhan, maka dari sanalah kita mengetahui apa
yang Tuhan katakan tentang manusia.

Menurut Tuhan manusia adalah diciptakan oleh Tuhan. Al-Quran menyebutkan bahwa
manusia memiliki unsur jasman, maka perlu makan dan minum (QS 7: 31). Juga memiliki
unsur akal, dan ruh.  Menurut Al Syaibani, jasmani, akal, dan ruhani membangun manusia
laksana segitiga sama sisi. Ketiganya sama pentingnya untuk dikembangkan.

BAB III Hakikat Pendidikan


Pendidikan suatu pembicaraan yang tak akan pernah selesai untuk dibicarakan, Ada dua
kata yang perlu digarisbawahi mengenai hakikat pendidikan yaitu “membantu” dan
“manusia” dan ini yang menjadi tujuan pendidikan itu sendiri untuk memanusiakan manusia.
Untuk merealisasikan tujuan ini manusia haruslah bisa memiliki kemampuan dalam
mengendalikan diri, memiliki pengetahuan. Karena itulah manusia itu menjadi tujuan
pendidikan yang harus memiliki pengetahuan yang tinggi. Intinya manusia harus mampu
berpikir benar.

Pendidikan: Masalah yang Tidak Pernah Selesai

Kapanpun dan di Negara manapun baik negara berkembang maupun negara yang sudah
maju sekalipun, pendidikan selalu menjadi topik pembicaraan yang tak pernah selesai. Selalu
ada usaha untuk memperbaikinya. Ada yang berhasil tetapi tidak sedikit yang gagal. Hal ini
sesuai dengan sifat manusia yang tidak pernah puas dan cenderung menyukai hal baru (J.P.
Sartri).

BAB IV Dasar Pendidikan

Pendidikan selalu diwarnai oleh pandangan hidup (way of life.) Rasionalismelah salah
satu pandangan hidup. Paham ini yang kebenaran itu diperoleh melalui akal atau dengan kata
lain akal itulah alat pencari dan pengukur kebenaran, orang-orang sophis dalam penggunaan
akal amatlah radikal. Sekalipun akal yang berperan tetapi bukan merupakan satu-satunya
jalan. Bagi setiap muslim tentunya tidak hanya akal yang mereka gunakan saja melainkan
potensi hati dan jasad yang dapat mendesign pendidikan menjadi lebih baik. Tatkala kita
membicarakan mengenai design pendidikan tidak akan terlepas dari nilai atau norma yang
akan diterapkan. Biasanya nilai baik dan buruk digunakan untuk menetapkan nilai, adapun
nilai indah dan tidak indah biasanya dikaitkan dengan seni.
Rasionalisme

Rasionalisme berpegang pada prinsip bahwa akal adalah pencari kebenaran. Dan
kebenaran diukur dengan akal. Kebenaran harus dimiliki agar derajat kemanusiaan semakin
tinggi. Manusia yang sebenarnya adalah yang derajat kemanusiaannya tinggi.

Memperkuat dasar bagi nilai-nilai

Terdapat 3 nilai dasar dalam hidup: benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah.

Seiap orang meninginkan nilai yang diyakininya dapat lestari. Munculnya budaya yang
beragam di masyarakat merupakan bukti keinginan itu. Jadi budaya tidak lain adalah bukti
nyata adanya nilai. Nilai atau budaya mana yang ingin dikembangkan oleh pendidikan kita?
Setidaknya ada dua aliran budaya yang tengah berebut pengaruh di dunia pendidikan
kita. Pertama budaya yang berdasar pada nilai falsafah bangsa Pancasila yang core nilainya
Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua budaya Barat. Budaya Barat yang falsafahnya dibangun
dari Humanisme dan Realisme yang melahirkan Positivisme yang menghasilkan metode
ilmiah dan metode riset. Seluruh produk metode riset digunakan untuk mengatur kehidupan
manusia maupun mengatur alam. Inti dari budaya Barat adalah budaya mendewakan akal.
Apakah budaya barat memang pilihan, ataukan Pancasila? Tidak jarang sebagian para
pendidik secara tidak sadar talah memuja Barat. Padahal sesungguhnya Barat sendiri
mengakui bahwa budaya mereka adalah budaya yang tidak memanusiakan manusia karena
manusia yang unik telah demikian disederhanakan. Manusia dianggap (diperlakukan) seperti
barang-barang produksi mesin.

BAB V Tujuan Pendidikan

Di negara indonesia terdapat kecacatan dari tujuan pendidikan, sebab yang mereka
harapkan dari tujuan itu menjadi manusia yang berjiwa pancasila. Memang bukan pekerjan
yang sangat mudah, mungkin saja seseorang tidak mampu mengungkapkan kriteria manusia
yang terbaik itu, ada saja pandangan yang berbeda seperti apabila pandangannya berupa
agama, maka yang dikatakan tujuan pendidikan yang terbaik itu merupakan pandangan
agama, begitupun sebaliknya dengan pandangannya filsafat maka yang dikatakan pendidikan
yang terbaik adalah yang berorientasi kepada filsafat. Perbedaan itu dapat dipesempit tatkala
negara sendiri yang menetapkan tujuan tersebut.

Pendidikan Berorientasi Kompetensi


Perlu dipahami bersama ada beberapa konsep. Pertama, kompetensi yang akan dicapai
ialah kompetensi lembaga bukan kompetensi mata pelajaran. Kedua, ada tidaknya pendidikan
maka yang perlu adalah melakukan segenap potensi pengajar dngan baik. Ketiga, inti
kompetensi adalah kemampuan, pengajar harus punya life skill. Pada tahun 2003 di dunia
pendidikan kita Konsep yang diluncurkan yaitu KBK. KBK ini sebetulnya yang berorientasi
pada kompetensi, dalam kurikulum ini seolah-olah kompetensilah yang menjadi prioritas
utama. Padahal kalau kita meihat slogan UNESCO tujuan pendidikan itu ada empat, learning
to know, learning to do, learning to be, learning to live together. Jadi, esensi yang terdapat
dalam pendidikan itu sendiri agar lulusan terampil menjalani kehidupan.

Lulusan yang diharapkan seharusnya:

–          Badan sehat, sehinga menjadi manusia produktif

–          Cerdas, sehingga dapat menyelesaikan persoalan dengan cepat dan tepat

–          Beriman kuat, karena tidak semua masalah bersifat rasional (dapat diselesaikan
dengan kecerdasan)

Ketiga karakter tersebut dapat diuraikan lagi menjadi:

–          Lulusan harus disiplin

–          Jujur

–          Kreatif

–          Ulet

–          Berdaya saing

–          Dapat hidup berdampingan (living together)

–          Demokratis

–          Menghargai waktu

–          Mampu mengendalikan diri


Masyarakat hasil pendidikan

Secara umum tujuan pendidikan adalah manusia yang baik yang akan mebentuk
masyarakat yang baik. Normatif memang. Lalu apa ciri normarifnya? Masyarakat yang baik
sering disebut sebagai masyarakat madani dengan tiga ciri utama:

–          adanya hukum yang manusiawi,

–          adanya masyarakat yang taat hokum dan kesamaan dimuka hukum, dan

–          adanya penegak hukum yang berwibawa.

BAB VI Kurikulum Pendidikan


Kurikulum ialah program dalam mencapai tujuan pendidikan. Hal penting pertama
yang harus diperhaikan ialah kurikulum itu ditentukan oleh tujuan pendidikan yang hendak
dicapai. Sementara tujuan pendidikan itu mesti ditetapkan berdasarkan kehendak manusia
yang membuat kurikuum itu. Tatkala, kita ingin merancang kurikulum pendidikan, yang
terbayang pada kita ialah apa indikator manusia yang baik itu.
1. Akhlaknya baik .
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Menghargai keindahan.
Tiga pilar ini yang menjadi isi semua kurikulum.

BAB VII Peserta Didik.


Murid
Ada tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan peserta didik yakni murid,
anak didik, dan peserta didik. Penulis menanalisa alasan masing-masing penggunaan istilah
dan merekomendasikan untuk (tetap) menggunakan istilah ‘murid’. (p. 164)
Murid Mengandung makna kesungguhan belajar, keprihatinan guru, pembelajaran
lebih barokah dan manusiawi. Seorang murid mestilah mendahulukan kesucian jiwa,
mengurangi keterkaitan dengan kesibukan duniawiyah, dan tidak sombong terhadap orang-
orang berilmu.
Anak didik Diharapkan guru mencintainya seperti mencintai anak sendiri. Peserta didik
Istilah paling mutakhir yang sangat mementingkan ‘proses’ belajar. Peran guru semakin
dikurangi hingga menjadi 25% saja atau jika mungkin 0%
Pendidik
Siapakah pendidik sebenarnya? Orang tua adalah pendidik paling utama (meskipun
mereka sering kecewa dengan pendidikan, aneh: pent). Kepolisian, LSM, parpol, termasuk
(juga) guru adalah sebagai pendidik pada batas-batas wewenangannya masing-masing.
Bagaimana peran mereka selama ini di masyarakat? Silakan Anda nilai sendiri.

BAB VIII LEMBAGA PENDIDIKAN


Secara konseptual lembaga pendidikan (sekolah) dibentuk untuk melakukan proses
pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. Tiga tujuan setidaknya ingin dicapai melalui
sekolah yakni moralitas (akhlak), civic (cinta tanah air), dan berpengatahuan.

Pendidikan Untuk Masa Depan dan Kecenderungan Abd ke-21

Terjadinya globalisasi dan pasar bebas menuntut tambahan kemampuan lulusan sebuah
lembaga pendidikan. Dunia yang tanpa batas (borderless word), pasar bebas (WTO-word
trade organization) telah diciptakan, dan tatanan dunia baru telah lahir.

Namun demikian, dunia pendidikan kita masih menghadapi tiga masalah besar; sistem
yang terlalu kaku, budaya korup (peringkat 2 dunia), dan belum berorientasi pada
pemberdayaan dan mengantisipasi abad 21 (daya saing no 40, 1998).

Model Sekolah abad 21 haruslah menekankan pada kompetensi berikut:

Pendidikan agama sebagai landasan terbentuknya karakter dan kepribadian.


Bahasa Inggris aktif.
Pendidikan sains.
Pendidikan keterampilan.

BAB IX PROSES PENDIDIKAN

Satu hal yang penting untuk diperhatikan yang menjadi topik dalam pembahasan ranah
filsafat adalah bahwasanya sebuah proses pendidikan mestilah mambangun sebuah
internalisasi content pendidikan. Baik itu terkait dengan internalisasi pengetahuan terlebih
lagi internalisasi nilai. Ada rambu-rambu penting yang perlu diperhatikan agar sebuah proses
sukses melakukan internalisasi.

Ada tiga tujuan pembelajaran:

Tahu (knowing).
Mampu melaksanakan apa yang diketahui (doing).
Menjadi apa yang telah dilaksanakan itu (being).
Tiga hal di atas berlaku untuk semua disiplin ilmu baik ilmu yang tidak bersifat nilai,
apalagi yang bersifat nilai. Untuk itu ada dua langkah penting yang perlu dipersiapkan dan
didesain oleh sebuah proses pendidikan:

Keteladanan dan
Pembiasaan.
Pada pendidikan nilai, khususnya agama (Islam) – juga agama lain (mungkin, pent) –
dalam pelaksanaan keteladanan dan pembiasaan, mestilah ada action nyata. Untuk itu perlu
juga diketahui dan diperhatikan tahap-tahap berikut khususnya ketika menginternalisasi
praktik ibadah.

Menurut Al-Ghazali,ibadah itu melalui tahapan sebagai berikut:

Tahap Ilmu
Beribadah harus dengan ilmu sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Tahap Taubat
Dengan taubat maka dosa akan diampuni, akan mendapat pertolongan, dan ibadah akan
diterima.

Tahap Godaan
Godaan dapat berupa dunia, makhluk, syetan, hawa nafsu.

Tahap Penghalang
Penghalang dapat berupa rezeki dan tuntutan hawa nafsu, kurang ridho, dan musibah.
Tahap Pendorong
Khauf dan raja’.

Tahap Perusak
Riya’ dan ujub.

Tahap Puji dan Syukur


Jika semua tahap 1 – 6 dapat dilalui dengan baik, maka seorang akan dapat merasakan
nimatnya beribadah. Maka pantaslah ia bersyukur dengan memuji kebesaran Allah.

Satu lagi hal penting yang perlu dicamkan dan dipraktikkan dalam proses pendidikan
yaitu doa. Doa adalah kekuatan yang efektif. Doa yang paling efektif adalah yang dilakukan
oleh orang lain untuk saudaranya.

Biaya proses pendidikan

Sumber daya terbesar yang harus dikeluarkan dalam pendidikan sesungguhnya adalah
pada proses. Di Indonesia, pendidikan Islam khususnya, seringkali menjadikan biaya yang
besar sebagai alibi keterbalakangan. Tetapi penulis kurang sependapat jika dikatakan kita ini
miskin. Yang benar adalah kita tidak mampu mengelola harta, kurang bisa membuat skala
prioritas dalam beribadah. Ambil contoh, misalnya ibadah haji. 200.000 orang setiap
tahunnya menunaikan haji ke Baitullah. 4% diantaranya adalah orang yang sudah pernah
berhaji. Jika 4 persen (8.000 orang) ini mau menyisihkan uangnya untuk invertasi
pendidikan, maka akan ada 8.000 orang x Rp30.000.000 = 240 milyar. Bagaimana jika 10
tahun uang itu dideposito, maka akan bertambah 200%. Belum lagi deposito tahun ke-2, ke-3,
dst. Dan masih ada lagi potensi lain; zakat, infaq, dll. Sayangnya, ummat Islam – meminjam
istilah Sutan Takdir Alisyahbana – masih sangat menganut budaya ekspresif (rasa) dari pada
progresif.

BAB X PENGEMBANGAN PENDIDIKAN


Sistem Pendidikan Nasional: paradigm dan model kurikulum
Pancasila adalah dasar Negara dan harus mampu diturunkan ke dalam UUD.
Selanjutnya harus diturunkan secara konsisten ke dalam semua UU, termasuk UU Sisdiknas.
Jika dilihat dari sisi filsafat, sesungguhnya Pancasila memiliki 4 ide (bukan 5 ide), yaitu; (1)
Kemanusiaan yang berdasarkan keimanan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) Persatuan yang
berdasarkan keimanan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, (3) Kerakyatan yang berdasarkan
keimanan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan (4) Keadilan sosial yang berdasarkan
keimanan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.

UU Sisdiknas kita haruslah menjadi salah satu wujud dari empat ide tersebut. UU
Sisdiknas yang baru no. 20 tahun 2003, setidaknya telah mencoba menerjemahkan ide
tersbut. Pada UU tersebut tertuang tujuan pendidikan yaitu untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, … (BAB II pasal 3). Persoalanya adalah kalimat “beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa” belum amat jelas maksudnya. Ini menjadi pangkal persoalan untuk
kemudian terjadi inkonsistensi. Jikapun ini dianggap telah konsisten, tetapi pada tataran
teknis inkonsistensi terulang lagi. Tidak adanya spirit “beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa” begitu terasa dalam permen-permen, maupun PP tentang pendidikan kita.

Untuk menyempurnakan kurikulum pendidikan kita, diusulkan agar ditegaskan bahwa


“keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah core (inti) sistem
pendidikan kita” dan sekaligus dijadikan sebagai paradigma pendidikan kita. Model
kurikulum yang dimaksud kira-kira dapat digambarkan sebagai berikut.

KESIMPULAN
Untuk memperbaiki pendidikan kita ada dua langkah penting yang harus segera
diambil:
Pertama, mengubah paradigma dengan mengutamakan pendidikan ahlak. Ini berarti
pendidikan agama. Jadikan agama sebagai core sistem pendidikan.

Kedua, mendesain model kurikulum. Model kurikulum harus didesain berdasakan


paradigm, dan harus memperhatikan fitrah manusia dan perkembangan dunia modern. Ini
berarti harus mengandung muatan lokal, nasional, dan global.

Anda mungkin juga menyukai