Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

Teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita temukan dewasa ini. Media cetak tidak terbatas
bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan
bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar, putera bangsa
perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat
visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire yang
notabene bukan orang pribumi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup
mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan
yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara
dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan luar negeri dalam dunia
pendidikan kita. Tetapi sebaiknya karena kita orang Indonesia akan lebih sesuai dengan pemikiran
bangsa sendiri. Kalaupun mengambil dari pemikiran bangsa lain perlu untuk disesuaikan dengan
karakter manusia Indonesia agar tidak berbenturan dengan norma yang ada.

Bangsa Indonesia bangsa yang kaya budaya dengan setiap daerah memiliki corak khas yang
beragam. Setiap suku bangsa memiliki norma yang menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-
hari. Kita yang tinggal di lingkungan Jawa pasti pernah bersentuhan dengan tata aturan khas
orang Jawa dimana banyak ungkapan, petuah, peribahasa yang syarat makna. Nilai pesan yang
terkandung dalam pribahasa, ungkapan, atau “unen-unen” menjadi semacam norma yang melekat
jika dimaknai dengan mendalam. Terbukti kekuatan nilai falsafah hidup orang Jawa juga akan
sesuai jika dipakai dalam landasan bersikap dan berperilaku.

Menjadi permasalahan ketika mencoba bertanya kembali “apakah kita masih mengetahui
peribahasanya orang Jawa?” Dalam dunia pendidikan saja teori lokal dikesampingkan dan lebih
memilih teori yang kebarat-baratan. Apalagi peribahasa jawa yang kedudukannya dianggap tidak
setara dengan teori pendidikan dan hanya terlintas ketika sekolah dasar membuka buku kawruh
basa jawa. Padahal nilai falsafah hidup orang jawa itu penting untuk menyesuaikan tata
pendidikan di lingkungan kita. Mungkin paradigma harus diubah bahwa tidak semua yang dari
barat atau luar negeri itu bagus, pemahaman local wisdom-lah yang memberi kita identitas di
dunia Internasional. Perlu kita sedikit memahami peribahasa dan petuah-petuah yang sebenarnya
ada tetapi sedikit terlupakan. Dalam artikel ini penulis berusaha mengulas kembali ringkasan
peribahasa dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan yang pernah dismpaikan oleh
budayawan Imam Budhi Santosa dalam buku “Kitab Nasihat Hidup Orang Jawa”.

FILSAFAT JAWA TENTANG PENDIDIKAN

1. Blilu Tau Pinter Durung Nglakoni

Artinya, blilu tau (bodoh pernah), pinter durung


nglakoni (pandai belum mengalami). Terjemahan
bebasnya pernah menjadi si bodoh, tetapi belum pernah
menjadi si pandai. Ungkapan tersebut gambaran orang
yang tidak pandai dalam teori tetapi terampil
mengerjakan sesuatu karena pengalamannya.
Contohnya petani di desa, mereka tidak perlu sekolah
pertanian untuk jadi petani tetapi karena melihat dan
meniru dari orangtua menjadi ahli bercocokl tanam.
Selain itu peribahasa ini juga mengisyaratkan orang berilmu tinggi belum tentu memiliki budi
pekerti yang baik. Banyak bukti pejabat yang berpendidikan tinggi akhirnya masuk bui juga entah
korupsi atau perbuatan kriminal. Jadi, ilmu tinggi saja tidak cukup untuk membangun budi pekerti.
Budi pekerti harus kita bangun dari hati nurani yang mewakilkan sifat ketuhanan.

2. Durung Punjul Keselak Jujul, Durung Pecus Keselak Becus

Artinya, durung punjul (belum lebih), keselak jujul


(keburu ingin panjang), durung pecus (belum bisa),
keselak besus (keburu bersolek). Peribahasa ini
ditujukan kepada orang muda yang terlampau tinggi
mendapatkan sanjung, meski kemampuan yang dia
miliki masih sangat rendah. Puji sanjung itu memang
bisa menjadi motivasi tetapi jika berlebihan ditakutkan
bagi yang tidak mampu mengelola diri menjadi
kesombongan.

Contohnya seorang mahasiswa yang sedang senang


membaca teori pendidikan Langeveld, dimana-mana ia
ceritakan dengan teman, saudara, tetangga. Padahal
sebenarnya ia baru mengetahui sedikit dan buku
aslinya pun belum pernah ia baca sampai tamat.
Sehingga kehati-hatian dan mawas diri itu perlu
karena jika sudah kesombongan yang ikut campur
dalam diri, hal yang sebenarnya kecil terus dibangga-
banggakan.

3. Kebo Bule Mati Setra

Artinya, kebo bule (Kerbau putih), mati setra (mati di


kebun). Di masyarakat Jawa, kebo bule itu perlambang
orang yang berilmu. Kita semua tahu karena
istimewanya kebo bule sampai menadi hewan
peliharaan raja. Jadi, peribahasa ini menggambarkan
orang yang berilmu tetapi tidak pernah memanfaatkan
ilmunya sampai akhir hayat. Sangat sia-sia memang
jika kita memiliki sesuatu tidak bermanfaat bagi orang
lain, hanya menjadi konsumsi pribadi termasuk ilmu.
Dalam islam ada disebutkan salah satu amal jariyah
yaitu ilmu yang bermanfaat. Pemikiran sederhananya
kalau orang berilmu mati dan belum pernah
menyampaikan ilmunya tersebut berarti ilmunya ikut
mati dan tidak bermanfaat bagi banyak kalangan.
Padahal untuk berbagi ilmu sangat mudah salah
satunya melalui tulisan.

4. Kocak Tandha Lokak

Artinya, kocak (suara air berguncang dalam wadah),


tandha lokak (tanda tidak penuh atau dangkal).
Gambaran orang yang ilmu dan kepribadiannya belum
mantap, namun banyak omong kosong untuk menutupi
kekurangannya. Makna peribahasa ini sama dengan
peribahasa indonesia tong kosong nyaring bunyinya.
Contohnya seorang mahasiswa ingin mendapat
pengakuan yang tinggi diantara rekan-rekannya yang
lain ideologinya yang ia pahamai atas dasar apapun ia
sampaikan kemana-mana. Penampilan pun rela ia
ubah tetapi malah menimbulkan kesan yang aneh.
Semuanya serba dibuat-buat agar mendapat
pengakuan dan pencitraan padahal sejatinya ia belum
paham betul yang ia sampaikan. Pemahamannya
masih dangkal tetapi ia berani berbicara banyak demi
kepentingannya pribadi.

5. Murid Gurune Pribadi, Guru Muride Pribadi, Pamulangane Sengsarane Sesami, Ganjarane ayu
lan Arume Sesami

Artinya, murid gurune pribadi (murid gurunya


pribadi), guru muride pribadi(guru muridnya pribadi),
pamulangane sengsarane sesami (tempat belajarnya
penderitaan sesama), ganjarane ayu lan arume sesami
(hadiahnya kebaikan dan keharuman sesama).
Ungkapan “murid gurune pribadi, guru muride pribadi
“ mengandung makna bahwadalam diri sesorang
terdapat potensi guru dan murid. Pengertiannya di
dalam diri manusia terdapat jiwa guru sejati, sekaligus
jiwa murid dari sang guru sejati.

Adapun yang dimaksud “tempat belajarnya


penderitaan sesama”  adalah realitas kehidupan itu
sendiri. Orang menjadi cerdas dan bijaksana manakala
benar-benar mempelajari laku kehidupan dengan
cermat, jujur, dan terbuka. Apabila orang telah
mendapatkan ilmu dan hikmah dari pelajaran
mengenai kehidupan, dia akan mendapat ganjaran
(hadiah), yaitu kearifan, pribadi yang baik, tenggang
rasa tinggi, serta kemampuan hidup berguna di
lingkungannya. Dia otomatis mendapatkan keharuman
nama karena kebaikan yang dimilikinya diamalkan
kepada orang di sekitarnya.

6. Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku

Artinya, ngelmu iku (mencari ilmu itu), kelakone


(tercapainya), kanthi laku(lewat proses perjalanan
lahir batin). Menurut orang jawa ngelmu berbeda
dengan ilmu. Ngelmu adalah ajaran batin untuk bekal
hidup di dunia dan akhirat. Ajaran tersebut akhirnya
menjadi penuntun seseorang dalam berprilaku.
Sedangkan ilmu, adalah pengetahuan yang sistematis
berdasarkan metodologi tertentu yang berlandaskan
fakta, nalar, dan logika.

Menurut orang jawa, untuk mendapatkan ngelmu


sesorang menggunakan rasa, batin, laku pribadi.
Berbeda dengan ilmu yang bisa dicari dengan duduk di
bangku sekolah hingga perguruan tinggi. Ngelmu
hanya bisa dikuasai dengan dilakoni, seperti halnya
iman ditanamkan dalam hati, diungkapkan dalam
perkataan, dan dilaksanakan dalam bentuk perbuatan.
Dalam menjalani lelaku diperlukan eneng (fisiknya
diam), ening (batin, rasa, pikiranya bening), eling
(sadar), dan awas (waspada). Ada bentuk tahapan
ketika harus menghayati dengan berdiam
(konsentrasi), mengungkapkan dilandasi kejernihan
pikiran dan hati , dan bertingkah laku berhati-hati
serta waspada.

7. Sinau Maca Mawi Kaca, Sinau Maos Mawi Raos

Artinya, sinau maca mawi kaca (belajar membaca


dengan cermin), sinau maos mawi raos (belajar
membaca dengan rasa). Ungkapan tersebut merupakan
salah satu inti ajaran R.M. Sosrokartono yang
bermakna hati kita sesungguhnya juga berfungsi
sebagai cermin untuk memantulkan perasaan orang
lain. Sementara itu belajar membaca menggunakan
rasa untuk menumbuhkan makna kehidupan dan
kemanusiaan yang lebih luas.

Belajar membaca dengan cermin memiliki makna yang


dalam. Bahwa membaca bukan sekedar menggunakan
pikiran seperti anak kelas I SD yang sedang mulai
lancar membaca. Membaca harus disertai mengupas isi
apa yang dipelajari serta membandingkan dengan
realitas yang terjadi di sekitarnya. Belajar dengan rasa
berarti belajar mengolah rasa untuk memahami diri
sendiri, orang lain, serta alam semesta.
Dalam kehidupan peribahasa ini sesuai untuk
menyadarkan bahwa menilai sesuatu tidaklah mudah.
Kita sering menggunakan istilah “don’t judge a book by
its cover” dan sama maknanya. Untuk menilai diri
sendiri utamakanlah rasa syukur dan untuk menilai
orang lain janganlah terjebak pada sisi luarnya saja.

8. Wastra Lungsed Ing Sampiran

Artinya, wastra (pakaian, kain), lungsed (lusuh), ing


sampiran (di tali tempat menggantungkan pakaian).
Terjemahan bebasnya, pakaian menjadi lusuh karena
terlalu lama dibiarkan tergantung dan tidak dipakai. 
Pesan dari peribahasa ini menggambarkan ilmu
pengetahuan yang tidak pernah dimanfaatkan,
sehingga akhirnya benar-benar tak berguna dan
dilupakan orang.

Di samping itu, ungkapan itu juga menyindir


keberadaan orang pandai di suatu tempat, tetapi tidak
pernah keahliannya dimanfaatkan oleh dirinya sendiri
ataupun masyarakat di lingkungannya. Sehingga
apabila kita merasa mampu, diminta atau tidak
diminta sebaiknya turun tangan pada yang
membutuhkan. Ada peribahasa lain mengatakan “sopo
luwih ora keno muni luweh” siapa yang berkelebihan
apapun itu sebaiknya tidak acuh tak acuh terhadap
lingkungannya. Dengan kelebiahannya membantu
agar bermanfaat bagi banya orang.

9. Yoga Angangga Yogi

Artinya, yoga (anak atau murid), anggangga


(menyerupai atau meniru), yogi(pendeta). Terjemahan
bebasnya anak berbadan pendeta atau lebih tepatnya,
cara berpikir dan berbuat seorang anak atau murid
yang banyak mirip dengan gurunya.

Peribahasa ini menjadi peringatan besar utamanya


bagi kita calon guru, atau siapapun yang kiranya
menjadi panutan di masyarakat. Contohnya seluruh
kata dan perbuatan nabi dan rasul akan menjadi
panutan umatnya. Apabila pembenaran dan
pengidolaan terhadap guru atau tokoh panutan itu
sudah sedemikian masuk ke dalam hatisanubari,
betapa bahayanya ketika hal-hal kurang tepat ditiru.
Karena sebagai guru sebaiknya berhati-hati dalam
perkataan dan tingkah lakunya. Guru harus benar-
benar menjadi suri tauladan  murid maupun
masyarakatnya.

Anda mungkin juga menyukai