Anda di halaman 1dari 192

1

PEMIMPIN AMANAH
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Phil

________________________________________________________________________

Konon dulu pemimpin atau raja-raja pada abad Pertengahan di Barat adalah seorang
bishop. Pemimpin politik adalah agamawan. Mereka dipilih setelah diketahui umum bahwa
mereka berasal dari tujuh turunan keluarga yang tidak cacat moral. Namun, hingga abad 19
kreteria pemimpin seperti itu mulai pudar sehingga sulit diperoleh. Tidak ada lagi
pemimpin bermoral bishop dan tidak ada bishop berkualitas politisi. Agama dan politik pun
bercerai.

Sejalan dengan denigrasi agama di abad sekuler dan boleh jadi dipicu oleh pikiran
Niccolò Machiavelli (1469–1527) abad 19 dianggap awal pencarian kriteria pemimpin ideal
tanpa faktor agama. Thomas Carlyle, misalnya, menulis buku Heroes and Hero Worship
(1841) untuk mengidentifikas bakat, skill dan ciri-ciri fisik orang yang menjadi penguasa.
Francis Galton dalam bukunya Hereditary Genius (1869) menguji kualitas pemimpin pada
keluarga-keluarga orang berpengaruh. Ia menemukan bahwa keluarga pemimpin berbakat
pemimpin. Artinya pemimpin itu dilahirkan. Namun, ini dibantah oleh teori Cecil Rhodes
(1853-1902) yang masih percaya bahwa karakter dan instink peimimpin itu bisa dididik.

Tapi sekalipun karakteristik pemimpin ditemukan (tahun 1940-an) namun suatu


kriteria tidak bisa berlaku untuk semua jenis masyarakat. Untuk itu para pakar
menggunakan teori yang telah dirintis oleh McGrath (1962) teori Functional Leadership
Model. Pemimpin ini dipilih sesuai dengan yang dikehendaki rakyat atau organisasi yaitu
untuk melayani.

Pada abad yang sama Bernard Bass (1978) mengembangkan teori yang disebut
Transactional dan transformational leadership. Yang pertama adalah pemimpin yang diberi
kekuasaan oleh kelompok atau rakyat untuk mengerjakan suatu tugas tertentu. kedua adalah
pemimpin yang visioner yang bertugas menstimulasi dan menanamkan visi kepada rakyat.
Bagaimanapun teori tentang kepemiminan hingga abad 21 ini masih gagal menemukan
rumusan sifat-sifat ideal seorang pemimpin.

2
Kini sering terjadi tiba-tiba seorang pemimpin muncul atau terpilih diluar kriteria
pemimpin. Politik dan politisi kini menjadi pemilik criteria, bukan pakar. Intelektualitas,
nilai-nilai, kecakapan sosial, kepakaran dan kecakapan dalam problem solving dan
mungkin juga kenegarawanan seiringkali absen dari diri pemimpin terpilih. Kepentingan
politik pun berada didepan sebagai penentu.

Maka mungkin putus asa dengan criteria ideal pemimpin, Oxford School
Leadership menemukan teori baru kepemimpinan yang disebut Neo-emergent theory.
Dalam teori dianggap paling mutakhir ini pemimpin itu dipromosikan oleh informasi yang
diciptakan oleh stakeholdernya melalui media masa atau media social. Namun yang
dipromosikan bukan karakter sesungguhnya dari pemimpin yang diinginkan, tapi untuk
mengangkat popularitas dan elektabilitas. Teori ini digambarkan sebagai berikut:

“the press, blogs and other sources report their own views of leaders, which may be
based on reality, but may also be based on a political command, a payment, or an inherent
interest of the author, media, or leader. Therefore, one can argue that the perception of all
leaders is created and in fact does not reflect their true leadership qualities at all.”

Teori Neo-emergent itu mungkin bisa disebut teori pencitraan atau pemimpin ala
media masa atau social (sosmed). Demokrasi bisa berubah menjadi mediakrasi (kuasa
media). Media pun sudah dibawah petunjuk kekuatan politik, pemodal, konglomerat dan
sebangsanya.

Logika postmodern memang tidak lagi memakai sillogisme, tapi bahasa dan makna
penentu segalanya. Maka tidak heran Akbar S Ahmed menyimpulkan bahwa ide-ide
postmodernisme dipicu oleh media. Media bisa bermain-main dengan makna. Koruptor
bisa tiba-tiba menjadi pelopor. Culas bisa menjadi lugas dan tegas. Tukang maki menjadi
pemimpin bernyali. Pakar barter menjadi berkarakter dan sebagainya.

Logika bahasa Postmodern dalam media diracik dengan faham humanisme


menghasilkan pemimpin yang unik. Pemimpin yang keras meledak-ledak, aneh-aneh dan
dianggap gila itu pemimpin berkarakter. Berkarakter dianggap bermoral dan berakhlaq.

3
Kata character sendiri bermasalah sebab ia sifat yang dimainkan seorang aktor
dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan. Berkarakter bisa diartikan ber “peran” dan
bukan suatu sifat yang melekat erat dalam diri. Sifat inilah yang diletakkan oleh media
kepada seseorang yang akan didaulat sebagai pemimpin.

Bahkan bermoral pun bermasalah pula. Dalam Oxford English Dictionary moral
adalah perilaku baik-buruk. Standar baik buruk itu bersumber dari kesepakatan manusia
(human convention). Bahkan apa yang disebut “hukum moral” atau dharma dalam agama
Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar. Jadi
ber-moral artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, dan tidak selalu religius.

Kata akhlaq serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa
yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya
(ahsanu taqwim). Jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti
fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berfikir, berkehendak dan berplerilaku sesuai
dengan fitrah (nurani) nya. Fitrah seseorang itu adalah bertuhan, beragama dan tentu
berislam.

Seorang yang tidak percaya kepada Tuhan mustahil bisa berbuat adil. Sebab
kekafiran sendiri sudah merupakan kezaliman pada diri sendiri. Jika seorang kafir merasa
lebih baik dari penganut agama hanya karena tidak korupsi, akan orang baik tapi penipu,
pemeras, pezina, pembunuh dan bahkan penentang Tuhan.

Pemimpin yang tegas, keras menindak pelanggaran, berani dengan siapapun yang
dianggap salah, berani mengambil resiko dan sebagainya boleh saja dianggap berkarakter.
Tapi ketika ia membolehkan perjudian, pelacuran, menuman keras sebagai sumber APBD,
dan berani mencemooh ulama yang tidak setuju dengannya ia sudah tidak ber-akhlaq,
meskipun tetap berkarakter.

Matrik pemimpin berakhlaq bukan lagi manusia, tapi Tuhan melalui agama. Puncak
berakhlaq adalah bersikap adil terhadap Tuhan dan terhadap manusia. Artinya meletakkan
dirinya sebagai hambaNya, beribadah, berbuat baik karena dan atas petunjuk Tuhan. Adil

4
terhadap manusia adalah membimbing, memperlakukan dan mengatur manusia agar terjaga
hartanya, jiwanya, akalnya, keluarganya dan terakhir agamanya.

Jadi untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara komprehensif tidak ada jalan lain
kecuali kita letakkan agama untuk menjaga kemaslahatan manusia dan kita sujudkan
maslahat manusia untuk Tuhan. Maka dari itu perbuatan, perkataan dan pikiran pemimpin,
kata Umar bin Khattab, harus sama. Itulah amanah. Jika tidak maka dia khianat dan
pengkhianatan paling keji, manurut Ali bin Abi Thalib adalah pengkhianatan pemimpin.

5
Filsafat Islam : Antara Ilmuwan Muslim dan Orentalis
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
_________________________________________________________________________

Jika di abad 9-13 M orang menyebut kata falsafah, maka asosiasinya pasti tertuju
pada al-Masysya’un atau Muslim paripatetik. Sebab para mutakallimun dan fuqaha tahu
kata falsafah (filsafat) merupakan Arabisasi dari kata philosophia. Selain itu para ulama
seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dsb., jelas telah berinteraksi dan menimba
ilmu dari khazanah filsafat Yunani dengan tujuan untuk memformulasikan filsafat Islam.
Namun, para orientalis menyimpulkan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat. Jadi
bagaimanakah asal usul dan hakekat filsafat Islam itu?

Terdapat tiga pandangan berbeda terdahap filsafat Islam. Pertama, mereka yang
yakin bahwa tidak ada filsafat Islam, yang ada hanyalah filsafat Yunani yang nama dan
substansinya telah di Arabkan. Kedua, mereka menolak sama sekali adanya filsafat dalam
Islam, karena berfilsafat itu haram hukumnya. Ketiga, mereka yang berpegang bahwa
filsafat Islam itu berasal dari al-Qur’an dan diperkaya oleh filsafat Yunani. Yang pertama
diwakili oleh orientalis, yang kedua oleh para fuqaha dan muhaddithin dan ketiga adalah
ilmuwan Muslim masa kini. Disini hanya akan dibahas pandangan pertama dan ketiga.

Alasan menafikan adanya filsafat Islam dari orientalis bersumber dari arti dan
sejarah filsafat Islam. Peter FE misalnya, melihat sumber filsafat Islam hanya dari Yunani.
Kajiannya menyimpulakan bahwa “dalam Islam tidak ada filsafat”, bahkan Ilmu Kalam
sekalipun ia anggap sebagai “saudara tiri” filsafat yang juga berasal sumber yang sama
yaitu Yunani (the stepsisters borne by the same mother). Pernyataan serupa juga
disampaikan oleh Professor Ueberweg dalam bukunya History of Philosophy vol. i, (hal.
405), bahwa seluruh filsafat Arab hanyalah Aristotelianisme yang dikembangkan kurang
lebih dengan konsep-konsep Neo-Platonik. Jadi filsafat Islam berasal dari Yunani, baik
nama maupun isinya.

6
De Boer juga melihat dari sisi sejarah. Katanya “Islam datang ke dunia ini tanpa
filsafat”, sebab, katanya, pada abad pertama masyarakat Islam tidak mempunyai kesadaran
akan metode atau sistim. Jadi filsafat Islam hanyalah hasil asimilasi dan bukan asli dari
Islam. Tidak aneh jika bukunya The History of Philosophy in Islam membahas secara
berlebihan Sains Yunani dan Wisdom dari Timur, sekedar untuk menunjukkan ketidak-
aslian filsafat Islam. Sama dengan De Boer, Gustave E von Grunebaum berasumsi bahwa
dalam Islam tidak ada pemikiran rasional, konsep-konsep dan prinsip klassifikasi, oleh
karena itu semua itu pasti diambil dari Yunani. Pandangan ekstrim ini tentu berdasarkan
pengetahuan yang parsial tentang Islam.

Asumsi bahwa dalam Islam tidak ada sesuatu yang rasional juga datang dari
M.W.Watt, Joseph van Ess dan Michael Cook. Mereka bahkan menuduh ilmu Kalam yang
menggunakan argumentasi rasional itu, memperkenalkan dan mendiskusikan konsep-
konsep non-Qur’ani, yang kebanyakan diambil dari filsafat dan sains Yunani atau dari teks
Syriac. Tapi, para orientalis itu hanya berasumsi dan mengakui bahwa itu semua masih
harus dibuktikan. Padahal ilmu sanad dan klassifikasi hadith, misalnya, tidak pernah
terbukti berasal dari Yunani.

Dalam buku A History of Philosophical System, Edward J. Jurji menulis artikel


berjudul Arabic and Islamic Philosophy. Dalam artikel itu ia mengakui adanya sumbangan
peradaban Arab-Islam kepada peradaban Barat Baru (New West). Meskipun demikian ia
dengan tegas menyatakan bahwa itu semua tidak berasal dari jazirah Arab, tapi dari
Yunani. Sebab sebelum orang-orang Arab itu berhubungan dengan bangsa Syria, Yahudi
dan Iran, mereka berwawasan sempit (narrow horizon). Orang Muslim, pada abad ke 7 M,
katanya, mustahil bisa faham arti logika dan filsafat Yunani. Kemampuan mereka dalam
disiplin filsafat baru muncul setelah orang-orang Kristen dan Yahudi mengungguli mereka.

Pernyataan Edward sebenarnya bertentangan dengan temuan Peter yang


menemukan fakta bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon
karya Aristotle karena khawatir akan membahayakan keimanan mereka. Bagi Muslim ini
tidak masalah. Ini berarti mereka tidak mampu menyerap logika Yunani yang canggih
(baca sophisticated) karena miskinnya mekanisme untuk menghasilkan kerangka konsep

7
keilmuan (scientific conceptual scheme) dalam pandangan hidup mereka. Jadi kalau fakta
yang dikemukakan Peter ini dipahami dalam perspektif pandangan hidup (worldview)
Islam, asumsi Edward tidak bisa dipertahankan lagi. Malah asumsi itu bisa menjadi terbalik
yaitu bahwa kerangka konsep keilmuan Barat itu muncul hanya setelah mereka bersentuhan
dengan peradaban Muslim yang berdasarkan pada pandangan hidup yang canggih.

Akibat dari cara pandang ini nampak dalam framework kajian mereka. Sudah dapat
dipastikan bahwa hampir seluruh buku sejarah filsafat Islam, atau artikel tentang filsafat
Islam dimulai dari tokoh yang bernama al-Kindi. Sebab al-Kindi dianggap cendekiawan
Muslim yang pertama kali bersentuhan dengan filsafat Yunani. Logikanya, sebelum al-
Kindi tidak ada filsafat Islam. Dan orang-orang yang menyerang filsafat Yunani seperti al-
Ghazzali, Fakhr al-Din al-Razi dan lain-lain tidak disebut filosof.

Mungkin agak sedikit obyektif, dan bisa mewakili pandangan ketiga adalah Michael
Marmura (dalam Encyclopedia of Religion) dan Oliver Leaman. Menurut Marmura para
filosof Muslim itu tidak hanya menerima ide-ide Yunani yang mereka terjemahkan, mereka
menyeleksi, mengolah dan merubah konsep-konsepnya untuk membentuk filsafat mereka
sendiri. Pengakuan Marmura sangat tepat, sebab tidak semua konsep Yunani diterima oleh
Muslim. Ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep. Faktanya
memang penterjemah dari kalangan Kristen seperti Hunayn Ibn Ishaq (m.873), Thabit in
Qurra (m.901), Yahya ibn Adi (m.974) dsb. adalah penerjemah bayaran. Sesudah proses
penterjemahan, tidak lagi punya peran apa-apa. Para cendekiawan dan filosof Muslim lah
yang kemudian mengolahnya dalam bentuk komentar, penjelasan, adapsi dan tentu
Islamisasi konsep-konsep pentingnya. Pendapat Marmura ini dikuatkan oleh Sabra, yaitu
bahwa istilah Yunani “philosophia” yang di Arabkan menjadi falsafah justru menunjukkan
tanda keberhasilan naturalisasi filsafat Yunani kedalam millieu Islam.

8
Bahkan menurut C.A.Qadir, penulis buku Philosophy and Science in The Islamic
World, sumber aspirasi asli dan riel para pemikir Muslim adalah al-Qur’an dan Hadith.
Pemikiran Yunani hanyalah pembuka jalan. Muslim berhutang pada Yunani dan pada saat
yang sama menyimpang dari Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia dan alam semesta
para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam
pemikiran Yunani.

Oleh sebab itu MM Sharif dalam A History of Muslim Philosophy mengibaratkan


pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain sedangkan pemikiran Yunani sebagai sulaman,
“meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu sebagai
kain”. Bagi Iqbal semangat Islam adalah anti-klasik, maksudnya adalah anti-Yunani.
Seyyed Hossein Nasr secara metaforis menyatakan bahwa Aristotle telah dikirim kembali
ketempat asalnya di Barat, bersamaan dengan Averroes, murid terbesarnya. Meskipun
begitu Nasr menyadari bahwa dalam filsafat terdapat unsur-unsur Yunani. Hanya saja
ketika unsur-unsurnya yang sesuai dengan semangat Islam itu diintegrasikan kedalam
peradaban Islam, ia menjadi Islami.

Jika para orientalis diatas begitu ekstrim mengklaim filsafat Islam sepenuhnya
berasal dari Yunani. Oliver Leaman dalam bukunya An Introduction to Medieval Islamic
Philosophy mengakui bahwa Usul Fiqih memiliki peran penting dalam melahirkan filsafat
dalam Islam. Ini nampaknya dikaitkan dengan tradisi qiyas dalam fiqih yang sangat
rasional dan hampir mirip dengan syllogisme Aristotle. Bukan hanya itu kenyataannya
dalam al-Qur’an memang telah terdapat elemen metafisika, seperti konsep Tuhan, alam
ghaib, hari akhir, prinsip akhlaq, ilmu, iman dsb. Dari elemen ini saja sudah dapat
disimpulkan bahwa filsafat telah ada sebelum bersentuhan dengan Yunani. Realitas ini
digambarkan oleh Oliver Leaman dengan cerdas sekali bahwa filsafat Islam muncul dalam
teologi Islam dan tanpa kaitan langsung dengan filsafat Yunani (philosophy arose in
Islamic theology and was without any direct contact with Greek philosophy).

9
Lebih dari itu, dalam Islam sendiri terdapat istilah hikmah. Hikmah sepadan dengan
kata sophy atau sophia. Dikalangan masyarakat Muslim tradisional filsafat masih dipahami
sebagai Íikmah yang berkaitan dengan para Nabi dan para wali. Bahkan, menurut SH.Nasr,
banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam
ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, KalÉm, UsËl al-Fiqh, Tasawwuf dan sudah tentu
ilmu-ilmu alam dan mathematika, yang memiliki akar secara mendasar dalam al-Qur’an,
sumber hikmah itu sendiri. Qadir dengan ringan menyatakan bahwa yang sebenarnya
terjadi adalah bahwa Íikmah dalam Islam telah menemukan sparing-partner-nya untuk
berkembang.

Jadi, jika Muslim masih memahami arti filsafat Islam sebagai pengetahuan asing
dan haram, maka ia tidak dapat menciptakan disiplin ilmu baru dalam Islam. Dan jika
Muslim masih menganggap filsafat Islam adalah murni berasal dari Yunani maka
berfikirnya set back ke abad ke 10. Padahal pada abad ke 13 saja istilah “falsafah” sudah
dapat diterima jika unsur-unsurnya yang bertentangan dengan Islam dihilangkan. Ibn
Taymiyyah, (MinhÉj al-Sunnah, I. ed.Rasyad Salim, hal 261) juga tidak keberatan dengan
istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-sahihah, yaitu pengetahuan tentang
Wujud.

10
RELIGIOUS - HUMANIS
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

“Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi”, “Daripada beragama tapi jahat
lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”. Itulah logika geram para pembenci
agama dan pengusung humanisme. Logikanya begitu humanis tapi justru seperti ateis. Dan
ternyata “jimat” atau aji-aji pamungkas orang sekular-liberal dan bahkan ateis untuk
menyerang agama adalah dalih humanisme.

Sejarahnya, memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari


teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat).
Perubahan itu dianggap sangat revolusioner yang selalu mengiringi perjalanan kebudayaan
Barat modern hingga postmodern.

Argumentasi mereka begitu mudah diterima. Dengan doktrin empirisisme Tuhan


dianggap tidak riil, sedangkan manusia begitu riil dan kasat mata. Membela Tuhan,
mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan atau menyucikan Tuhan dianggap sia-sia dan
tidak ada gunanya. Dalilnya “Tuhan tidak perlu dibela karena sudah Maha Kuasa”. Seperti
membela Tuhan tapi sejatinya membuka jalan bagi blasphemy.

Bukti orientasi antroposentrisme sudah terwakili oleh doktrin kematian Tuhan ala
Nietzsche. Dari situ penistaan agama, Tuhan dan kebenaran menjadi absah. Tapi benih
yang ditabur Nietzsche tahun 1948 telah menjadi buah masak yang berbentuk Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini adalah standarisasi kemanusiaan yang formal
dan disepakati banyak Negara pendukung humanisme. Maka dari itu hak-hak asasi manusia
benar-benar dominan dan agama-agama tidak lagi diberi ruang.

11
Karena penyusunan Deklarasi ini tidak melibatkan agama-agama maka banyak hal
yang menjadikannya tidak universal. Terbukti banyak agama yang tidak puas. Pada bulan
Juli tahun 1993 di New York diadakan Peluncuran acara Project on Religion and Human
Right. Acara ini merupakan reaksi agama-agama terhadap DUHAM dan merupakan
prakarsa untuk merevisinya.

Bukan hanya itu, pada ulang tahun ke 50 DUHAM dan ulang tahun ke 50 Fakultas
Religious Studies universitas McGill, Montreal, Canada, upaya merevisi DUHAM itu pun
terulang lagi. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of
Human Right by the World Religions.

Setelah itu berturut-turut acara saling merevisi berlanjut di berbagai tempat seperti
di California, New York, Durban, Barcelona, Paris dan Terakhir di Genting Highland,
Malaysia pada bulan November 2002. Anehnya, acara ini disaksikan oleh pihak UNESCO.
Resmilah sudah bukti perseteruan antara kaum humanis dan kaum religius.

Terpisah dari respon agama-agama, di kalangan umat Islam Negara-negara Islam


seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir dan sebagainya, juga turut menyadari dominasi
humanisme dalam DUHAM. Mereka menganggap DUHAM gagal memasukkan
pertimbangan konteks kultural dan religius dari Negara-negara non-Barat. Utusan Negara
Iran di PBB tahun 1981, Said Rajaie-Khorassani malah menyatakan bahwa “DUHAM
adalah hasil pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi Kristen yang tidak dapat diterapkan
kedalam Islam”.

Tiga tahun lebih awal dari acara di New York, umat Islam mengeluarkan Deklarasi
tandingan yang disebut Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI). Deklarasi
yang diadakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 ini diikuti 45
menlu Negara OKI. Intinya memberi gambaran hak-hak asasi manusia menurut Islam yang
sumber satu-satunya adalah syariah Islam.

12
Jika logika sekuler, liberal dan ateis diatas benar, maka isi Deklarasi Cairo itu
mestinya hanya menyucikan Tuhan belaka dan menginjak-injak kemanusiaan. Tapi ternyata
tidak dan logika sekuler liberal ateis itu salah.

Bahkan deklarasi Cairo itu tidak eksklusif untuk umat Islam. Dalam salah satu
pasalnya mencatatkan “Diskriminasi berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, seks,
agama, afiliasi politik, status sosial atau pertimbangan lainnya adalah dilarang”.

Bahkan perlindungan jiwa manusia adalah kewajiban syariat. Maka dalam situasi perang,
mereka yang tidak terlibat perang seperti orang tua, wanita dan anak-anak, yang terluka,
sakit dan juga tawanan perang, berhak untuk diberi makan, tempat tinggal dan keamanan
serta pelayanan kesehatan.

CDHRI juga memberikan hak kepada laki-laki dan wanita untuk menikah tanpa
mempertimbangkan ras, warna kulit atau kebangsaan, tapi tetap mempertimbangkan agama.
Selain itu wanita juga diberi penghargaan dan penghormatan yang sama sebagai manusia,
hak untuk menjalankan pekerjaannya, hak-hak sipil, kemandirian finansial, dan hak untuk
mempertahankan nama dan kekeluargaannya, meski tidak sama dalam segala hal.

Dalam pasal ke 10 disebutkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna.


Melakukan segala bentuk pemaksaan terhadap manusia atau mengeksploitir kemiskinan
atau kebodohan untuk mengonversikan seseorang dari satu agama ke agama lain atau
ateisme adalah dilarang. Masih banyak lagi pasal-pasal yang membela manusia, tapi tidak
serta merta menistakan agama apalagi Tuhan.

Baca misalnya pasal 22 yang berbunyi:

a) Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan
cara yang tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

b) Setiap orang berhak untuk membela yang benar, dan mendakwahkan yang baik, serta
memperingatkan hal-hal yang salah dan mungkar sesuai dengan norma-norma syariah
Islam.

13
c) Informasi adalah kebutuhan vital bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitir atau
disalahgunakan sehingga menodai kesucian dan penghormatan terhadap Nabi,
merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak atau membahayakan
masyarakat atau melemahkan keimanan.

d) Memicu kebencian yang bersumber dari kebangsaan atau doktrin keagamaan atau
melakukan sesuatu yang mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi ras adalah
dilarang.

Dari pasal 22 diatas terbukti bahwa memberi tempat pada agama tidak berarti
menistakan manusia. Sebab syariah adalah sumber segala perlakuan terhadap manusia,
Dalam syariah terdapat maslahat yang telah didesain oleh Tuhan melalui wahyu. Tapi tidak
semua yang dianggap maslahat manusia dapat dibenarkan syariat. Pelacuran, homoseks,
lesbianisme, nikah beda agama bagi pembenci agama adalah maslahat, tapi tidak
dibenarkan syariat.

Jadi logikanya yang benar semakin religius seseorang justru ia semakin manusiawi,
tapi semakin humanis seseorang justru semakin ateis.

Innal insana layatgha an ra’ahustaghna.

14
KEBENARAN
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

“Semua adalah relatif” (All is relative) merupakan slogan generasi zaman


postmodern di Barat, kata Michael Fackerell, seorang misionaris asal Amerika. Ia bagaikan
firman tanpa tuhan, dan sabda tanpa Nabi. Menyerupai undang-undang, tapi tanpa
penguasa. Tepatnya doktrin ideologis, tapi tanpa partai. Slogan itu memang enak didengar
dan menjanjikan kenikmatan syahwat manusiawi. Baik buruk, salah benar, porno tidak
porno, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka. Artinya tergantung
siapa yang menilainya.

Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian Pemikir Barat
modern terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi
postmodernis pun mewarisi kebencian ini.

Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah bisa menghasilkan kearifan dan
kebenaran. Bahkan persahabatan dan persaudaraan tidak selalu bisa kompromi dengan
kebenaran. Aristotle rela memilih kebenaran daripada persahabatan. Tidak puas dengan
sekedar membenci, selanjutnya postmodernisme ingin menguasai agama-agama. “Untuk
menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu mungkin logikanya. Untuk menguasai
agama tidak perlu beragama. Itulah sebabnya mereka membuat “teologi-teologi” baru yang
mengikat. Kini teologi dihadapkan dengan psudo-teologi. Agama diadu dengan ideologi.
Doktrin “teologi” pluralisme agama berada diatas agama-agama. “Global Theology” dan
Transcendent Unity of Religions mulai dijual bebas.

Agar nama Tuhan juga menjadi global diciptakanlah nama “tuhan baru” yakni The
One, Tuhan semua agama. Tapi bagaimana konsepnya, tidak jelas betul.
Bukan hanya itu “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka berpikir.
“Berpikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar”, sebab kebenaran itu relatif. “Jangan
terlalu lantang bicara tentang kebenaran, dan jangan menegur kesalahan”, karena kebenaran
itu relatif. “Benar bagi anda belum tentu benar bagi kami”, semua adalah relatif. Kalau

15
anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain
mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran.

Kata bijak Abraham Lincoln, “No one has the right to choose to do what is wrong”,
tentu tidak sesuai dengan kerangka berpikir ini. Hadis Nabi Idha ra’a minkum munkaran…
dan seterusnya bukan hanya menyalahi kerangka pikir ini, tapi justru menambah kriteria
Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal. Jadi, merasa benar menjadi
seperti “makruh” dan merasa benar sendiri tentu “haram”. Para artis dan selebriti negeri ini
pun ikut menikmati slogan ini. Dengan penuh emosi dan marah ada yang berteriak
“Semuanya benar dan harus dihormati”. Yang membuka aurat dan yang menutup sama
baiknya.

Confusing! . Entah sadar atau tidak mereka sedang men“dakwah”kan ayat-ayat


setan Nietzsche tokoh postmodernisme dan nihilisme. “Kalau anda mengklaim sesuatu itu
benar orang lain juga berhak mengklaim itu salah” kata Nietzsche. Kalau anda merasa
agama anda benar, orang lain berhak mengatakan agama anda salah.

Para cendekiawan Muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga
Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan terlalu sempit kalau hanya untuk umat
Islam”, kata mereka. Seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului
iradat Allah. Mereka bicara seperti atas nama Tuhan. Slogan “Semua adalah relatif”
kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Disana tidak ada kebenaran mutlak” (There
exists no Absolute Truth)”. Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka.
Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Kalau anda mengatakan
“Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata anda itu sendiri sudah mutlak, padahal anda
mengatakan semua relatif. Kalau anda mengatakan “Semua adalah relatif” atau “Semua
kebenaran adalah relatif” maka pernyataan anda itu juga relatif alias tidak absolute. Kalau
“Semua adalah relatif” maka yang mengatakan “Disana ada kebenaran mutlak” sama
benarnya dengan yang menyatakan “Disana tidak ada kebenaran mutlak”. Tapi ini self-
contradictory yang absurd. Menghapus kepercayaan pada kebenaran mutlak ternyata bukan
mudah.

16
Di negeri liberal seperti Amerika Serikat sendiri 70% Kristen misionaris dan 27%
ateis dan agnostik percaya pada kebenaran mutlak. Bahkan 38% warga Negara dewasanya
percaya pada kebenaran mutlak. (Seperti dilaporkan William Lobdell di the Los Angeles
Times dari hasil penelitian Barna Research Group).

Karena itu doktrin postmo pun berubah: “Anda boleh percaya yang absolute asal
tidak mencoba memaksakan kepercayaan anda pada orang lain”. Artinya tidak ada siapapun
yang boleh menyalahkan siapa dan melarang siapa. Tapi pernyataan ini sendiri telah
melarang orang lain. Bagi kalangan Katholik di Barat ini adalah sikap pengecut, pemalas
dan bahkan hipokrit. Bagi kita pernyataan ini menghapuskan amar ma’ruf nahi munkar.

Slogan “Semua adalah relatif” pun menemukan alasan baru “Yang absolute
hanyalah Tuhan”. Aromanya seperti Islami, tapi sejatinya malah menjebak. Mulanya
seperti berkaitan dengan masalah ontologi. Selain Tuhan adalah relatif (mumkin al-wujud).
Tapi ternyata dibawa kepada persoalan epistemologi.

Al-Qur’an yang diwahyukan dalam bahasa manusia (Arab), Hadis yang disabdakan
Nabi, ijtihad ulama dan sebagainya adalah relatif belaka. Tidak absolute. Sebab semua
dihasilkan dalam ruang dan waktu manusia yang menyejarah. Padahal Allah berfirman al-
haqq min rabbika (dari Tuhanmu) bukan ‘inda rabbika (pada Tuhanmu). “Dari Tuhanmu”
berarti berasal dari sana dan sudah berada disini di masa kini dalam ruang dan waktu
kehidupan manusia. Yang manusiawi dan menyejarah sebenarnya bisa mutlak.

Thomas F. Wall, penulis buku Thinking Critically About Philosophical Problem,


menyatakan percaya pada Tuhan yang mutlak berarti percaya bahwa nilai-nilai moral
manusia itu dari Tuhan. Demikian sebaliknya kalau kita tidak percaya Tuhan (hal. 60). Jika
ada yang percaya bahwa nilai moral manusia itu adalah kesepakatan manusia tentu ia tidak
percaya pada yang mutlak. “Semua adalah relatif” bisa berarti semua tidak ada yang tahu
Tuhan yang mutlak dan kebenaran firmanNya yang mutlak. Jika begitu benarlah pepatah
para hukama’ al-Nas a‘da’ ma jahilu (Manusia itu musuh bagi apa yang tidak
diketahuinya).

17
SYAHWAT PIKIRAN
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
________________________________________________________________________

Orang berzina, membunuh, mencuri itu karena syahwat. Orang korupsi, merampok,
memanipulasi itu karena dorongan syahwat. Ada pula orang berbeda pendapat dan
berselisih hingga bermusuhan karena syahwat. Bahkan boleh jadi ada orang bertausiyah,
menyalahkan orang lain dengan penuh syahwat.

Syahwat adalah nafsu atau hawa nafsu yang dimiliki oleh manusia tapi juga dimiliki
oleh hewan. Namun Allah swt memberi manusia syahwat, tapi juga memberinya akal dan
ilmu. Dengan akal, syahwat manusia akan membawa kepada kebaikan. Namun tanpa akal
dan ilmu syahwat akan menyesatkan. Orang sesat karena menggunakanhawa nafsunya
tanpa akal dan ilmu sehingga tidak dapat ditolong (QS al-Rum 29).

Maka barangsiapa yang akalnya mengikuti syahwatnya maka ia akan sesat, bahkan
lebih sesat dari binatang. Namun jika syahwatnya mengikuti atau dipimpin oleh akalnya
maka boleh jadi ia lebih mulia dari Malaikat.

Maka ketika seorang sedang berzina, memperkosa, membunuh dan mencuri,


sesungguhnya ia sedang dipimpin syahwatnya dan kehilangan imannya. Karena
meninggalknan imannya maka ia kehilangan akalnya. Berarti seorang yang beriman itu
adalah orang-orang yang cerdas menggunakan akalnya, sedangkan seorang pezina dan
pencuri itu hilang akal sehingga menjadi bodoh dan derajatnya rendah serendah hewan.
Namun, ada yang lebih berbahaya dari "syahwat yang menyesatkan pada perut dan
kemaluan" yang juga dikhawatirkan oleh Rasulullah. Syahwat itu adalah hawa nafsu yang
menyimpangkan dari jalan yang lurus." (H.RMuslim).

Jalan lurus adalah Islam dan Iman. Apa dibuat menyimpang oleh hawa nafsu boleh
jadi adalah pikiran seseorang. Terbukti tidak sedikit kasus dimana pemikir, ilmuwan,
cendekiawan yang pikirannya dirasuki oleh syahwat atau hawa nafsunya. Pemikir seperti

18
ini bisa jadi menghujat agama, mencaci ulama, mencaci saudara seiman, mencari cari
kesalahan orang lain dan sebagainya.

Bagaimanakah syahwat bisa membuat pikiran menyimpang? Al- Qur'an


menunjukkan bahwa karena syahwat hati seseorang itu terkunci. Padahal hati itu adalah
juga akalnya. Karena syahwat pendengarannya dan penglihatannya terhalang (QS. Al-
Jatsiyah: 23), walhal keduanya adalah sumber ilmu. Maka wajar jika syahwat dominan akal
tidak lagi berfungsi dalam menentukan baik buruk.

Selain itu dalam Islam yang dilarang bukan berfikir rasional atau menggunakan
akal, tapi berfikir yang mengikuti syahwat. Sebab mengikuti hawa nafsu … akan
menyesatkan manusia dari jalan Allah.." (QS. Shaad: 26). Ini sebenarnya suatu tindak
ketidak adilan dalam diri seseorang. Yaitu suatu tindakan meletakkan sesuatu bukan pada
tempatnya.

Orang yang melakukan tindakan seperti ini tentu bukan orang yang dapat disebut
adil. Orang seperti itu yang dilarang untuk dijadikan pemimpin dan ditaati. Firman Allah
jelas sekali: "Dan janganlah engkau taati orang yang Kami lalaikan hatinya untuk
mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya dan keadaannya sudah melampaui batas".
(QS.Al-Kahfi : 28).

Mafhum mukhalafah ayat ini jelas. Ilmuwan dan pemimpin yang berhak ditaati
manusia adalah orang yang hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada- Nya. Pikirannya bisa
menguasai hawa nafsunya sehingga ia mengetahui batas-batas kebebasan yang boleh
dilakukan dan yang tidak.

Untuk mengatasi ini Imam al- Ghazzali memberikan solusnya berupa kesabaran.
Sabar dalam syahwat disebut iffah; sabar dari marah adalah al-hilmu; sabar dari kelebihan
adalah al-zuhdu. Semua itu dapat diperoleh dengan tiga hal yaitu puasa, ibadah yang berat-
berat dan terakhir berdoa.

Wallahul.musta'an.

Dimuat di Koran Republika, 16 Juni 2016.

19
Impor Ilmu Asing
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
_________________________________________________________________________

Dalam kitab Fihrist Ibn Nadim menceritakan, pada suatu hari al-Mamun, khalifah
Abbasiyah ke VII, bermimpi. Disamping tempat tidurnya duduk persis seperti berhadap-
hadapan dengan sopan seorang berkulit putih berwajah kemerah-merahan, beralis tebal,
berkepala setengah gundul.

Dengan rasa terkejut al-Mamun bertanya: ”Siapa kamu?”


“Saya Aristotle” Jawab orang itu.
Ia terkesima tapi senang. Ia kemudian bertanya lagi:
“Bolehkah saya bertanya sesuatu?”
“Bertanyalah!”, Jawab Aristotle.
“Apa itu kebaikan?”
“Kebaikan adalah apa yang ada dalam pikiran” jelas Aristotle.
Tidak cukup dengan jawaban itu ia bertanya lagi: ”Lalu apa lagi”?
“Kebaikan itu apa yang baik dalam hukum” jawabnya
“Lalu apa lagi”, Katanya
“Kebaikan adalah apa yang baik untuk publik?”
“Lalu apa lagi?”, Tanyanya
“Lagi?”, Tanya Aristotle balik “Itu saja, tidak ada lagi”.

Tapi sebenarnya dialog dalam mimpi al-Mamun belum berakhir disitu. Dalam
riwayat lain masih ada fragmen dialog yang jarang disebut atau sengaja dihilangkan oleh
orang-orang tertentu. Yang terakhir itu al-Mamun berkata: “Beritahu saya lagi sesuatu?”

Aristotle lalu menjawab, “Siapapun yang memberi nasehat anda tentang emas,
ambillah ia sebagai emas, tapi bagi anda yang penting adalah keesaan (Tuhan)”.

20
Mimpi boleh jadi hanya merupakan kegelisahan jiwa (waswasat al-nafs). Dapat pula
merupakan isyarat dari langit. Sebab, sabda Nabi, mimpi adalah salah satu dari 46 pertanda
kenabian. Al-Ghazzali bahkan menganggap mimpi bisa menjadi penghubung antara alam
al-mulk dengan alam al-malakut. Jika mimpi al-Mamun termasuk kategori ini maka tabir
kata-kata Aristotle itu bisa dijelaskan. Bahkan menurut Ibn Sirin al-Nablisi dan penafsir
mimpi lainnya mimpi dapat di-tawil-kan secara ilmiah.

Tawil-nya mungkin begini: Aristotle menganggap akal atau pikiran dan masyarakat
sebagai sumber kebenaran. Aristotle tidak mengenal wahyu dan Yunani bukan tempat nabi-
nabi diturunkan. Menganggapnya sebagai nabi juga mustahil. Nabi pasti membawa misi
tauhid, sedangkan Aristotle tidak. Konsep Tuhannya, Unmoved-Mover (Penggerak yang
tak tergerakkan) adalah hasil spekulasi pemikiran. Jumlahnya banyak, meskipun
kualitasnya satu.

Itu mungkin sebabnya mengapa dalam mimpi al-Mamun ia mengatakan “Bagi anda
yang penting adalah keesaan Tuhan”. Konsep Tuhan Aristotle dan al-Mamun berbeda.
Yang pasti Tuhan Aristotle tidak untuk disembah dan bukan pencipta yang aktif. Konsep
Tuhan dalam Islam ditentukan oleh wahyu bukan akal. Meski Ibn Taymiyyah ataupun Ibn
Tufayl menganggap fitrah manusia dapat menemukan Tuhan, tapi mereka percaya bahwa
akal masih harus disempurnakan oleh wahyu (fitrah munazzalah).

Apakah mimpi al-Mamun termasuk ruya uluhiah, wallahu alam. Yang jelas setelah
mimpi itu al-Mamun memulai gerakan penerjemahan karya-karya Yunani, Persia,
Sansekerta kuno dan lain-lain kedalam bahasa Arab. Ini proyek riil bukan mimpi. Inilah
diantara gerakan yang menjadi pemicu berkembangnya peradaban Islam. Namun perlu
dicatat bahwa peradaban Islam tidak berkembang hanya karena terjemahan karya-karya
asing. Sebab umat Kristen Syriac juga tahu karya-karya Yunani, tapi tidak mampu
berkembang seperti umat Islam saat itu.

21
Islam berkembang utamanya karena keunikan pandangan hidupnya. Karena
pandangan hidupnya maka peradaban Islam menyerap atau meminjam unsur-unsur
peradaban lain. Proses penyerapan atau pinjam meminjam dalam peradaban, kata Prof.
Alparslan, adalah alami. Tapi meminjam bukan hanya menerjemahkan. Ada mekanisme
dan proses ilmiah selanjutnya. M. Rekaya dalam The Encyclopedia of Islam menulis bahwa
al-Mamun mengadopsi dan mengadapsi (adopted and adapted) khazanah pemikiran asing
“according to the requirement of Islamic Civilization.” Inilah paparan singkat mekanisme
dan proses meminjam konsep asing,

Tidak lebih seabad dari proses adopsi konsep asing itu umat Islam telah mampu
“menghasilkan karya asli.” Ini diakui William Mac Neil dalam karyanya The Rise of the
West.

Cara baru penggunaan angka-angka simbol matematik al-Khawarizmi, ensiklopedia


kedokteran Abu Bakar al-Razi, sejarah dunia dari konsep penciptaan al-Thabari dan lain-
lain membuktikan hal itu. Bagi Thomas Brown, (The Oxford History of Medieval Europe)
keberhasilan dan kekuatan umat Islam terletak pada kemampuan mereka mengembangkan
“sintesa yang original dan kuat”.

Rekaya benar, penerjemahan barulah proses adopsi. Sesudah itu diikuti oleh proses
adapsi konseptual. Disinilah pandangan hidup Islam memainkan peran sentralnya. Konsep
Tuhan, konsep hidup, konsep manusia, konsep dunia dan lain-lain, menjadi penapis
konseptual. Penapisan konseptual terkadang memerlukan perubahan paradigma (paradigm
shift). Jika demikian maka inilah yang dinamakan al-Attas sebagai proses Islamisasi. Al-
Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain mencoba mengislamkan berbagai konsep Yunani.

Karena begitu kompleksnya konsep-konsep asing itu kekurangan terjadi disana sini.
Itulah sebabnya mengapa al-Ghazzali merasa perlu menulis Tahafut al-Falasifah, dan Fakhr
al-Din al-Razi perlu menulis Mathalib al-aliyah. Demikian seterusnya. Jika kini konsep-
konsep yang dikembangkan al-Ashari, al-Ghazzali, al-Razi dan lain-lain diganti dengan
konsep-konsep Immanuel Kant, Derrida, Emilio Betti, Paul Ricour dan sebagainya, maka
kita justru akan set back ke periode adopsi konsep-konsep.

22
Lebih-lebih jika konsep-konsep sentral dalam pandangan hidup Islam juga digusur
oleh konsep-konsep asing. Yang terjadi bukan Islamisasi konseptual tapi justru invitasi
konsep-konsep asing tanpa koreksi dan kritik. Apakah salahnya “mengundang” konsep
asing “ke rumah” kita? Apa salahnya menggunakan konsep asing? Memang tidak salah,
asalkan tamu yang diundang tidak berubah menjadi tuan rumah. Dan asal konsep-konsep
asing dengan kerancuan konseptualnya tidak dibiarkan tanpa koreksi. Pepatah kuno
mengatakan Amici vitias si feras, facias tua, membiarkan kesalahan kawan tanpa koreksi
berarti menjadikannya milik anda.

23
Kebebasan Memilih
Oleh: Dr HamId Fahmy Zarkasyi
_________________________________________________________________________

“Pilihlah Dengan Nurani Anda” adalah satu-satunya iklan atau kampanye pemilu
yang paling menarik dan paling substansial bagi saya. Menarik karena ia tidak memihak
pada partai atau calon presiden manapun.

Substansial karena ia melibatkan hak asasi yang terdalam dari diri manusia. Pilihan
tidak lagi dipengaruhi lagi oleh hingar-bingar kampanye dengan segala janji-janji
politiknya. Pilihan lebih dipengaruhi oleh akal pikiran yang berkulminasi pada kehendak.

Nurani jelas merupakan kata pinjaman dari Islam, yang akarnya adalah “nur”.
Dalam kamus bahasa Melayu “nurani” diartikan bercahaya atau bersinar. Hati Nurani
artinya hati yang bercahaya. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Ia Maha Mengetahui.
Ilmu yang diperoleh dari padaNya, kata Imam Syafi’i, adalah cahaya dan cahaya Allah
tidak diberikan kepada pelaku maksiat. (al-ilm nur wa nur Allah la yuhda lil ‘asi)
Oleh sebab itu dalam Islam konsep kebebasan memilih tidak sama dengan konsep “bebas”
atau liberal atau freedom di Barat. Tidak seperti kata Cicero Libertas est potestas vivendi ut
velis (Kebebasan adalah kemampuan seseorang untuk hidup dengan semaunya).

Kata hurr atau hurriyyah, bebas atau kebebasan, juga bukan kata yang tepat untuk
makna kebebasan dalam Islam. Sebab hurr digunakan untuk merujuk kepada status sesuatu
atau seseorang yang diberi kebebasan seperti hamba, bekas tahanan dan lain-lain. Bukan
kebebasan dalam konteks pikiran dan kehendak ditentukan oleh individu.

Kebebasan dalam Islam tidak ada unsur pemaksaan seperti dalam medan semantik
kata hurr. Kata yang tepat untuk ini dalam Islam adalah ikhtiyar, berasal dari akar kata
khayr artinya baik. Kata ini sering diartikan berusaha, tapi sebenarnya berarti berusaha
memilih yang terbaik.

24
Maka dari itu “tidak ada paksaan dalam agama” diteruskan dengan kata-kata “Qad
tabayyana al-rushd min al-ghayyi” (Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan
yang sesat (Q.S. 2 : 256). Karena jalan yang benar telah ditunjukkan oleh ilmu agama yang
rasional maka ikhtiyar atau memilih yang terbaik tidak mungkin dilakukan kecuali dengan
ilmu. Ilmu tentang baik buruk. Bagi kaum sekuler baik-buruk ditentukan oleh akal atau
kesepakatan masyarakat.

Dalam Islam akal berada dibawah wahyu. Jadi ikhtiyar berbekal nilai atau ilmu
tentang nilai baik buruk yang berasal dari agama. Pelaku maksiat tentu bukan orang yang
memiliki nurani atau ilmu untuk memilih mana yang baik dan yang buruk. Ber-ikhtiyar
memilih pemimpin atau kepala negara atau presiden hakekatnya sama saja. Kebebasan
memilih harus berbekal ilmu tentang baik-buruknya calon yang akan dipilih. Peribahasa
“Jangan membeli kucing dalam karung” artinya “Jangan memilih tanpa ilmu”.

Memilih presiden adalah memilih pemimpin yang akan menentukan masa depan
kita. Baik buruk masa depan kita ditentukan oleh pemimpin. Untuk mengetahui calon
pemimpin yang baik, kita harus punya pengetahuan tentang visinya, kehidupan pribadinya,
sikap keberagamaannya, sikap kerakyatannya, akhlaknya, leadershipnya dan
kemampuannya mengadakan perbaikan dalam berbagai sektor kehidupan kita. Jika akal
kita tidak lagi mampu menentukan pilihan, kita tidak perlu pergi ke dukun atau tukang
ramal. Islam mengajarkan sarana spiritual khusus untuk ber-ikhtiyar yaitu shalat istikharah
(Memohon pilihan).

Akar kata istikharah sama dengan ikhtiyar. Doanya begitu jelas “Saya mohon
pilihan dengan ilmuMu dan dengan kekuasaanMu ……..jika engkau tahu jika perkara ini
(calon ini, pilihan ini) baik bagiku, agamaku, kehidupanku, dan masa depanku, maka
takdirkanlah, mudahkanlah, dan turunkanlah barakah kepadaku…”.

25
Artinya kita memohon agar cahaya ilmu Tuhan dipancarkan ke dalam hati kita.
Cahaya itulah yang membelokkan hati (yuqallib al-qulub) kita ke arah pilihan yang benar.
Memilih dengan nurani berarti memilih dengan hati yang bercahayakan ilmu Allah. Itulah
sejatinya makna memilih dengan nurani. Jika telah tiba masa ber’azam untuk memilih
maka pegangan terakhir adalah tawakkal.

26
Manhaj al-Fikri
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
_________________________________________________________________________

Ketika saya menulis thesis di Birmingham, Dr. David Thomas menasehati saya
“kalau anda mau obyektif anda harus keluar dari (cara pandang) Islam”. Saya terkejut tapi
tidak langsung menjawab, sebab dia temperamental. Pada temu-janji berikutnya saya baru
menjawab “If I get out of Islamic framework I will be, epistemologically, no longer a
Muslim”. Dia sekarang yang terperangah. Raut mukanya mendadak berubah, ia lalu tertawa
ngakak, “ok..ok…forget it” katanya. Saya tidak mengerti mengapa sesingkat itu
jawabannya. Tapi saya menangkap dia kurang percaya diri. Cara pandangnya dikotomis.
Subyek dan obyek dipisahkan secara paksa. Agar bisa obyektif maka saya (subyek) harus
memisahkan diri dari obyek.

Memang dia sendiri, yang Katholik itu, dalam kuliah-kuliahnya, cenderung melihat
sejarah Islam dari perspektif Kristen. Saya maklum. Tapi ketika dia sendiri memahami
Kristen dari visi Kristen dia menjadi “curang”. Persoalannya adalah bagaimana dan dengan
apa sesuatu itu dipahami.

Soal cara memahami alumni pesantren modern mungkin tidak akan lupa prinsip al-
tariqat ahammu min al-maddah (metode lebih penting dari materi). Dan guru lebih penting
dari metode (al-mudarrisu ahammu min al- Tariqah). Pisau lebih penting dari mangga, tapi
(keterampilan) pengupas lebih penting dari pisau. Itu prinsip bagaimana memahamkan
sesuatu (pengajaran) di tingkat menengah. Di perguruan tinggi masalahnya bukan metode
lagi, tapi metodologi.

Bukan hanya pisau tapi pisau analisa, framework, manhaj atau cara pandang. Inilah
sebenarnya inti nasehat David. Di tingkat menengah, jika metode atau tariqah gagal, murid
tidak paham. Tapi di perguruan tinggi salah memilih framework atau manhaj membuat
mahasiwa bingung kalau tidak tersesat. Prinsipnya mungkin berubah menjadi al-manhaj
ahammu min al-maddah wa al-mudarris (framework lebih penting dari materi dan dosen).

27
Dalam kajian Islam suatu framework atau manhaj terkait pertama-tama dengan
proses mencari, mencerna dan mengamalkan ilmu. Suatu “metabolisme” dalam nutrisi
spiritual. Kualitas ilmu, cara mencari, sumber ilmu yang benar, penalaran yang betul,
manfaat yang jelas merupakan sebagian dari bangunan framework.
Jika ilmu itu cahaya al-haqq, seperti kata Waqi’ guru Imam Syafii, maka ilmu dan iman
sumbernya sama. Siapa yang banyak ilmu mesti tebal imannya dan sebaliknya. Ia akan
berilmu dengan imannya dan beriman dengan ilmunya.

Pemikir mesti ahli zikir dan irama zikir harus sejalan dengan kerja pikir. (Ali Imran:
190-191). Karena cahaya itu dari Allah, maka alam pikiran Muslim merupakan refleksi
Ilmu Ilahi. Alam pikiran Muslim membentuk miniatur alam semesta yang terstruktur
(microcosmos).

Pancaran pandangannya terhadap hidup dan kehidupan seluas pancaran cahaya


pandangan hidup Islam (worldview). Itulah sebabnya mengapa Iqbal menyimpulkan
Muslim tidak ditelan cakrawala seperti kafir, tapi justru menelannya. Alam pikiran Muslim
yang diwarnai pandangan hidup Islam adalah framework.

Jika alam pikiran manusia adalah framework, maka Alparslan Acikgenc benar
“Setiap peradaban perlu framework” untuk memahami dirinya sendiri. Barat, India,
Kristen, Islam dan sebagainya punya framework.

Siapapun berhak memahami Islam, sebab Islam turun untuk umat manusia. Tapi,
memahami Islam bukan hanya memahami data dan fakta sejarah. Framework kata
Alparslan, tidak hanya berurusan dengan fakta dan data. Ia berkaitan dengan pendekatan
metodologis.

Artinya, bagaimana data dan fakta dalam peradaban Islam itu dipahami. Dalam
Islam realitas (haqiqah) data dan fakta sebagai obyek kajian harus diselaraskan dengan
realitas alam pikiran manusia (anfus), sebagai subyek yang mikrokosmis tersebut [Lihat
Fussilat, 53].

28
Ini firman Tuhan. Karena itu realitas alam pikiran Muslim bersifat relatif jika
berkaitan dengan fakta saja dan bersifat mutlak jika diderivasi dari dan selaras dengan
realitas teks wahyu. Bukan melulu produk spekulasi rasional, bukan pula berasal dari data
yang empiristis atau intuisionistis, tapi integrasi dari semua, asalkan mendapat pancaran
sinar wahyu.

Tapi memahami Islam tidak bisa dengan framework apapun atau alam pikiran
siapapun. Jika seorang ateis diizinkan memahami framework Islam, maka Nabi bisa jadi
penipu. Kalau alam pikiran sekuler dipakai, shahadat menjadi manifesto sekulerisasi.
Menurut alam pikiran liberal, Nabi, Umar ibn Khattab dan lain-lain adalah seorang tokoh
liberal sejati dan seterusnya.

Begitulah, jika realitas obyek dipisahkan dari alam pikiran subyek atau jika realitas
(haqiqah) data dan fakta tidak diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus).
Jika afaq dipisahkan dari anfus (worldview), maka ia akan menjadi hampa, bak lagu tanpa
irama. Begitulah, konsekuensi sebuah framework.

Itulah salah satu alasan mengapa Muslim tidak bisa memakai framework peradaban
lain. Framework Barat itu problematis, kata Sayyid Hossein Nasr. Mereka melupakan beda
rasio dan intelek.

Dalam Islam, istilah ‘aql sudah mencakup keduanya. Ratio (Latin) berarti pikiran
manusia, tapi ‘aql-‘aqala mempunyai arti “mengikat”. Suatu bagian dalam diri manusia
yang mengikat dirinya dengan Tuhannya. (makhluq dengan khaliq), yang menyatukan
fisika dengan metafisika, fenomena dengan noumena, simbol dengan makna, afaq dan
anfus, subyek dengan obyek, nisbi dengan mutlak dan seterusnya.

Karena anugerah ‘aql inilah maka manusia memiliki salah satu sifat Tuhan, yakni
‘alim. Barat yang rasionalistis itu telah membuang fakultas pengikat ini. Maka tidak salah
jika Iqbal menyimpulkan, rasionalisme Barat hanya bisa menghasilkan superman, seperti
Nietszhe, tapi nalar dan akal Islam menghasilkan insan kamil, seperti para ulama yang
saleh.

29
Jadi, Muslim bisa menggunakan metode asing tapi bukan frameworknya. Muslim
bisa menelan cakrawala pemikiran asing, tapi dengan Cakrawala Muslim. Muslim bisa
pakai handphone produk Barat, misalnya, tapi tidak mesti harus menjadi sekuler-liberal.
Orang Barat bisa pakai minyak dari Saudi tapi tidak perlu bersyahadat dan naik haji.

Sains Barat tidak sepenuhnya ditolak atau diterima. No science has ever been
integrated into any civilization without some of it also being rejected, S.H.Nasr. Unsur
asing perlu dicerna, diproses untuk diserap dan atau dibuang. Persis metabolisme tubuh
manusia. Matthew Melko, profesor sosiologi di Universitas Wright, Ohio, setuju One
civilization rarely receive material from another without changing the nature of that to fit its
own pattern. (lihat Stephen K.S. Civilization and World System).

Pattern adalah framework, alat cerna unsur-unsur asing. Jika ada yang
berargumentasi bahwa “inti sekulerisasi adalah rasionalisasi, dan rasionalisasi sejalan
dengan Islamisasi, maka sekulerisasi itu adalah Islamisasi”, maka ia telah salah
menentukan framework.

Sebab dalam framework atau manhaj ini Kant, Nietsche, Derrida dkk. pun bisa
menjadi figur yang “saleh”. Bagi yang setuju dengan gerakan gender dan feminisme,
syariat Islam itu menindas wanita. Benturan Islam-Barat direduksi menjadi Sexual clash of
Civilization.

Jadi jika Islam dipandang dari framework Barat, maka yang nampak bukan wajah
asli Islam. F.Rosenthal sendiri mengakui “Anything lying outside one’s own experience
cannot be comprehended in its true dimension”. Begitulah, menerima pandangan Alparslan
bermakna menolak nasehat David.

Pengikut “profesional” Barat mungkin akur dengan Thomas. “Jangan melihat Islam
dari dalam Islam, lihatlah dari (framework) Barat”. Tapi ketika mereka harus mendukung
“proyek” pluralisme agama, terpaksa harus “selingkuh”, “Jangan melihat Kristen dari
framework Islam”. Bagi yang arif akan terbesit di kedalaman dhomir mereka kesimpulan
kreatif “Jangan mengikuti Barat dengan framework Barat, lihatlah Barat dengan manhaj
Islam”.

30
Jadi, daripada mendengar nasehat David lebih baik membaca pengakuan Rosenthal
yang jujur dan adil. “Suatu peradaban” katanya, “cenderung berjalan diatas konsep-konsep
penting…Yang telah ada sejak kelahirannya… jika [konsep-konsep] itu tidak lagi
digunakan secara benar, maka ia merupakan pertanda yang jelas bahwa peradaban itu telah
mati”.

‘Ilm adalah salah satu konsep penting dan dominan dalam peradaban Islam yang
memberinya bentuk dan warna yang khas. Diatas konsep ‘ilm inilah peradaban Islam
berjaya dan berjalan selama berabad-abad. Dan di kedalaman konsep ‘ilm inilah manhaj
pemikiran Islam tersembunyi.

31
Clash of Worldview
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Samuel P. Huntington adalah pemberi nama konflik global yang terjadi saat ini
dengan sebutan “Clash of Civilization” melalui bukunya yang berjudul The Clash of
Civilization and the Remaking of the World Order (1996). Alasannya, sumber konflik umat
manusia saat ini bukan lagi ideologi, politik atau ekonomi, tapi kultural. Sebab, semua
orang kini cenderung mengidentifikasi diri dengan identitas kultural. Jika kultur atau
peradaban adalah identitas, maka identitas peradaban itu sendiri adalah worldview. Jadi
clash of civlization berindikasi clash of worldview.

Banyak yang tidak sepakat dengan Huntington. Mungkin karena superficial atau
provokatif. Seakan berbeda budaya bisa berarti perang. Namun Huntington bukan tanpa
pendukung. Peter Berger misalnya, setuju konflik politik sekarang ini adalah collision of
consciousness (benturan kesadaran atau persepsi), kata lain dari clash of civilization. Tapi
pilihan kata, clash dan collision memang vulgar, masih kalah lembut dari kata-kata al-Attas
divergence of worldviews. Tapi benarkah kini sedang terjadi clash of civilization?

Hampir semua sepakat bahwa setiap peradaban mempunyai worldview. Jerman


lebih dulu memiliki istilah weltanschauung, welt = dunia, anschauung = persepsi, berarti
persepsi tentang dunia. Di Italia digunakan istilah “konsepsi tentang dunia”. Di Perancis
kata weltanschauung dipinjam dan diartikan dengan “pandangan metafisis tentang dunia
dan konsepsi kehidupan”, di Rusia disebut mirovozzrenie berarti pandangan dunia.

Dan semua setuju bahwa kata worldview harus diikat oleh predikat kultural, religius,
ataupun saintifik. Jadilah, misalnya istilah Christian Worldview, Medieval Worldview,
Scientific Worldview, Modern worldview dan the Worldview of Islam. Semua mempunyai
cara pandang yang eksklusif. Tapi semua orang tahu disitu ada proses saling meminjam
antar peradaban, antar worldview.

32
Mungkin ini sebabnya di Barat orang mudah menerima denominasi berdasarkan
worldview ketimbang “agama”. Hegel misalnya ketika ia baca teologi Hindu ia spontan
menerimanya sebagai Indischen weltanschauung. Bahkan Ninian Smart menjadikan
worldview sebagai alat untuk mengeksplorasi kepercayaan manusia (crosscultural
explorations of human beliefs). Banyak lapisan makna didalam worldview. Membahas
worldview bagaikan berlayar ke lautan tak bertepi (journey into landless-sea) kata Nietsche.
Meskipun begitu, di Barat masalah worldview tetap hanya sejauh jangkauan panca indera.
Luasnya worldview bagi Kant, Hegel dan juga Goethe, hanya sebatas dunia inderawi
(mundus sensibilis).

Tapi bagi Shaikh Atif al-Zayn bukan luasnya yang penting, tapi darimana ia
bermula, maka worldview adalah mabda (tempat bermula). Disitu dapat diketahui spektrum
makna worldview. Sedangkan worldview Islam seperti yang digambarkan al-Attas tidak
sesempit luasnya lautan dalam planet bumi, tapi seluas skala wujud, ruyat al-Islam lil
wujud.

Menjadikan worldview sebagai matrik agama, peradaban, kepercayaan atau lainnya


sah-sah saja. Sebab worldview bisa diukur dari apa yang ada dalam pikiran orang. Oleh
sebab itu dilapisan dalam worldview terdapat conceptual framework (kerangka kerja
konseptual). Tidak salah jika kemudian Dilthey menjadikannya sebagai asas formulasi
epistemologis yang obyektif. Worldview lalu berfungsi sebagai asas ilmu-imu sosial
(Dilthey), dan ilmu-ilmu alam (Kant). Thomas S. Kuhn (1922-1996) bahkan menyulap
worldview menjadi paradigma yang menyediakan nilai, standar dan metodologi tertentu
yang mengikat kuat kerja-kerja saintifik.

Ia bahkan menyebutnya matrik disipliner (disciplinary matrix) yang memiliki


elemen yang tersusun. Ini mengingatkan kita pada kata-kata Husserl dalam Crisis of
European Sciences, bahwa worldview itu akhirnya mirip dengan kepercayaan keagamaan
yang bersifat individual. Di satu sisi ini merupakan dinamika pemikiran yang positif.
Ringkas kata, paradigm dan worldview memiliki variabel-variabel konsep yang terstruktur,
yang berproses menjadi framework pemikiran, dan disiplin ilmu pengetahuan. Itulah
sebabnya ilmu menjadi sarat nilai, alias tidak netral.

33
Dalam Islam, sejauh apapun pikiran kita berpetualang wahyu tetap menjadi
obornya. Al-Quran sendiri sarat dengan sistem konsep (conceptual scheme). Ilmu-ilmu
seperti fiqih, hadis, tafsir, falak, tabiah, hisab dan sebagainya adalah derivasi dari konsep-
konsep dalam wahyu. Artinya, worldview al-Quran telah menghasilkan framework dan
disiplin ilmu yang juga eksklusif. Orang Barat, misalnya, tidak bisa mengadopsi metode
tadil dan tajrih ilmu hadis, atau mengadopsi ilmu faraid dalam Islam, dan seterusnya.

Sebaliknya orang Islam juga tidak bisa terima teori kebenaran dikotomis: obyektif
dan subyektif. Tidak juga bisa menerima doktrin pan-seksualisme Freud, doktrin evolusi
Darwin dan sebagainya. Setiap teori atau konsep berangkat dari framework dan setiap
framework diderivasi dari worldview.

Kalau saya terpaksa setuju dengan Huntington, maka saya hanya setuju pada
dataran epistemologis. Itupun kalau ini termasuk dalam thesis Huntington. Pada dataran ini
memang seperti tidak terjadi apa-apa, tidak terlihat pula konflik sosial, lebih-lebih senjata.

Senjatanya adalah pena-pena para pemikir, yang dalam Islam dihitung baik pedang
syuhada. Akibatnya, tidak kasat mata. Hanya saja disana sini terjadi kebingungan
(confusion) intelektual, dan kehilangan identitas (lost of identity). Namun disini istilah
clash of worldview lebih tepat disebut worldview intrusion.

Banyak contoh yang bisa membuktikan bahwa pemikiran umat Islam kini sedang
dirasuki oleh worldview peradaban lain. Banyak cendekiawan Muslim atau “ulama”
memuji habis Immanuel Kant, Karl Marx, Thomas S. Kuhn, Derrida dkk., tapi mengkritik
al-Asyari, al-Ghazzali, al-Shafii dan lain-lain.

Ada pula yang ragu apakah al-Quran benar-benar wahyu Allah, sedangkan ia
percaya rukun Iman. Kini malah ada wanita Muslimah berjilbab, tapi protes mengapa
Tuhan begitu maskulin. Malah tidak aneh jika seorang ahli tahajjud dengan keningnya yang
hitam, juga seorang Marxist.

Ia memahami makna Tauhid, tapi tidak tahu berpikir tauhidi. Imannya tidak
didukung oleh akalnya sehingga ilmunya tidak menambah imannya. Muslim tapi
worldview dan framework berpikirnya tidak. Itulah dampak worldview intrusion.

34
Bagi yang tidak percaya thesis Huntington, boleh jadi ia percaya pada Derrida
(1930-….). Sebab tradisi intelektual Barat yang oleh Derrida disebut logocentrism telah
dirobohkan (deconstructed). Zaman postmodern telah menjadi post-worldview era. Tidak
ada lagi worldview. Tidak ada kepastian akan kebenaran tentang alam, apalagi framework.
Semua bebas memahami semua.

Jadi tidak ada clash of worldview. Tapi bukankah Derrida sedang mengusung
worldview dan framework dia sendiri?, humor pun bagi Witgenstein masih termasuk
worldview, meski ia hanya ilusi manusia tentang dunia. Dalam teologi Kristen sendiri
konflik kebaikan dan kejahatan dianggap sebagai konflik worldview. Konflik antara
kerajaan Tuhan dengan kerajaan Setan.

Jadi clash of worldview atau intrusion of worldview bukanlah skenario peperangan,


karena ia terjadi dalam diri kita sehari-hari, dalam akal dan hati kita. Oleh sebab itu kita
tidak hanya perlu ditunjukkan tentang hakekat kebenaran tapi juga jalan menuju kebenaran.

35
Kontradiksi
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Ada dua kesan yang terbersit dari wajah pendukung pluralisme agama: kontradiksi
tapi percaya diri! Kontradiksi karena mulutnya berbunyi toleransi tapi sorot matanya
menyiratkan relativisme. Percaya diri karena merasa berada di jantung wacana
postmodernisme.

Sebenarnya, asal mula makna pluralism adalah toleransi. Dalam Oxford Advanced
Learners’s Dictionary of Current English, terbit tahun 1948, makna itu jelas. Pluralisme
adalah “suatu prinsip bahwa kelompok-kelompok bebeda tersebut dapat hidup bersama
dalam kedamaian dalam satu masyarakat.” Tapi setengah abad kemudian prinsip berubah
menjadi relativisme: curiga terhadap konsep “kebenaran”. Buktinya bisa dibaca pada
Oxford Dictionary of Philosophy, oleh Simon Blackburn, terbit tahun 1995. Pluralisme
adalah prinsip bahwa disana tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama
benarnya. Disinilah kontradiksi itu mulai nampak.

Memang pluralism adalah wacana postmodernisme dan artinya tidak lain kecuali
relativisme. Akbar S Ahmed dalam Islam and Postmodernism tegas bahwa postmodernisme
dipicu oleh semangat pluralisme (relativisme). Dan, tulisnya, postmodernisme itu
dihadapkan secara berlawanan dengan fundamentalisme. Apa itu fundamentalisme? tidak
jelas. Dari Cheryl Bernard dalam Civil Democratic Soicety kita baru mafhum artinya
adalah keolompok yang menolak kebudayaan Barat. Jika demikian semakin jelas bahwa
relativisme adalah faham anti agama-agama.

Tapi bagaimana cara menghadapi agama-agama? Jadikanlah agama sebagai


masalah publik yang meresahkan! Buatlah bukti lalu stigma bahwa agama adalah sumber
konflik dan kekerasan. Jika perlu konflik antar agama sekecil apapun harus dipublikasikan
dan kalau perlu diada-adakan. Begitulah fatwa Bernard.

36
Hanya anehnya intoleransi dan kekerasan non fisik terhadap agama di Barat tidak
dibahas. Di Barat, Muslim, misalnya, tidak mengalami kekerasan fisik, tapi tidak
menikmati toleransi sama sekali. Bahkan Muslim kehilangan hampir semua hak asasi
publiknya. Menara masjid diharamkan sekaligus suara azannya. Ibadah shalat oleh individu
atau jamaah seperti Idul Adha diruang publik haram hukumnya, apalagi istighthah gaya
para kyai pesantren.

Sementara di negeri Muslim, khususnya Indonesia, toleransi lebih menonjol.


Penganut agama minoritas dapat menikmati kebebasan publik. Dentuman lonceng gereja
bebas bersaing dengan suara bedug dan azan. Gebyar natal, nyepi, imlek, galungan bebas
dirayakan diruang publik secara nasional, bersaing dengan Idul Fitri. Mimbar agama-agama
di TV-TV publik menjadi tontonan yang jamak.

Dari negeri Muslim ini mestinya Barat belajar bertoleransi, dan bukan mengajarkan
relativisme. Saya yakin itu. Sebab ketika saya memberi kuliah umum di Universtas Wienna
seorang peserta bertanya:”Mengapa anda dapat hidup dengan toleransi seperti itu? Padahal
kami disini bertentangga dengan Muslim atau penganut agama lain saja sangat tidak
mudah”. Karena Barat sekuler dan seperti kata John Hick, Barat baru mengenal pluralitas
agama-agama, jawab saya.

Memang Barat, Islam dan agama-agama perlu saling belajar bertoleransi. Jika
pluralisme berarti toleransi maka demi pluralism kita tidak perlu menyamakan Tuhan
semua agama dan konsep kepercayaan kepadaNya. Demi pluralisme Barat tidak perlu pergi
ke masjid dan ikut sholat atau ikut dikhitan. Sebaliknya, demi pluralism (toleran) Muslim
tidak perlu makan daging babi, minum arak, melegalkan praktek lesbi dan homoseks; Demi
pluralisme orang Nasrani tidak perlu ikut tahlilan, nyumbang dana untuk kurban atau zakat
dan orang Islam rame-rame ikut natalan. Demi pluralisme orang Hindu tidak perlu
menghancurkan patung mereka.

Jika pluralisme diartikan relativisme, maka akal sehat akan menolak, karena alasan
law of no-contradiction. Jika bagi seorang yang beragama Tuhan itu ada, sedangkan bagi
seorang atheist tuhan itu tidak ada…; dan jika dalam ajaran suatu agama Tuhan itu Maha
Esa sedangkan bagi penganut ajaran lain tuhan itu tiga atau lebih…; dan jika tuhan bagi

37
suatu agama adalah satu dan tidak seperti manusia sedang dalam kepercayaan itu ada dua:
laki dan wanita…dst. maka menurut law of no-contradiction tidak mungkin semua benar
atau semua salah. Yang benar pasti hanya satu.

Logika buya Hamka tidak salah ketika mengatakan bahwa siapapun yang
mengatakan semua agama itu sama, dia pasti tidak beragama. Jika Muslim yang
mengatakan semua agama itu sama, maka ia tidak bicara atas nama Islam. Dalam bahasa
logika, barangsiapa yang mengatakan semua pendapat itu sama benarnya maka ia
menyalahi law of no-contradiction berarti kontradiksi. Bagi Gregory Koukl, “konsep
pluralisme agama masa kini adalah bodoh (stupid)”. Wallahu a’lam bissawab

38
MODERAT

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

_______________________________________________________________________

Istilah moderat akhir-akhir ini mencuat menjadi jawaban terhadap stigmatisasi umat
Islam dengan fundamentalisme dan terrorisme. Istilah ini nampaknya berfungsi sebagai
penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi sekularisme tahun 70an sebagai penjinak
fundamentalisme. Tahun 2008 Sebuah symposium digelar di Tokyo Jepang. Isunya adalah
tentang arti Muslim moderat dan masa depan politik Islam.

Karena pentingnya istilah ini maka pada edisi tahun 2000 keatas American Journal
of Islamic Social Sciences mengangkat tema ini secara serial. Sedikitnya ada tiga kelompok
yang memperebutkan arti moderat ini yaiu mereka yang anti-Islam, orang Barat dan orang
Islam.

Definisi Islam moderat yang anti Islam dapat dilihat pada situs
“muslimsagainstshariah”. Disitu ditulis begini diantaranya: moderat adalah yang tidak anti
bangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan
contoh yang perlu ditiru, pro kebebasan beragama, pro-kesetaraan gender, menentang jihad,
menentang supremasi Islam, pemerintah sekuler, pro atau netral terhadap Israel, tidak
bereaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakaian Islam, syariah, dan
terorisme serta pro-humanisme universal.

Andrew McCarthy dalam National Review Online, August 24, 2010 justru dengan
tegas menyatakan siapapun yang membela syariat tidak dapat dikatakan moderat. (No one
who advocates shariah can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak
moderat.

39
Islam moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Muslim moderat, kata
Graham Fuller adalah yang menolak literalisme dalam memahami kitab suci, tidak
monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan
tidak menolak kebenaran agama lain.

Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat
adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia.
Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak
menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak
menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok “Islam
Liberal” yang kental bau orientalismenya.

Bagi Rabasa moderat adalah mereka yang dapat menerima kultur demokratik,
mendukung demokrasi dan menerima HAM internasional, termasuk mengakui kesetaraan
gender, kebebasan beribadah), menghormati pluralitas, menerima sumber hukum yang
tidak sectarian, dan memusuhi terrorisme dan segala bentuk kekerasan.

Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen memang benar-benar liberal. Dan


mungkin bagi orang liberal itu biasa dan “nothing wrong”. Tapi justru yang menemukan
kesalahannya adalah John L. Esposito. Dengan bijak dan adil dia kritik begini: Pertama,
Jika definisi Barat itu diterima maka Muslim konservatif dan tradisionalis menjadi tidak
moderat. Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin Salat Jumat menjadi kriteria
moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut agama lain termasuk Paus John
Paul II yang patrialistik itu justru tidak masuk kriteria moderat.

Louay Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh Muslim di Canada, memiliki kesan yang
sama. Pengertian moderat yang pro-Barat ataupun yang anti Islam sama saja. Seorang
Muslim belum dianggap moderat jika belum menolak al-Qur’an secara publik. Tapi
masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang harus mengingkari kitab
sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari kitab sucinya. Padahal kitab suci
itulah yang menjadi penyebab klaim negara Israel dan pendudukan tanah Palestina.

40
Kerancuan lain juga ditemukan Safi. Menurutnya pengertian “Muslim moderat” di
Barat adalah “a person who is not comfortable with his/her Islamic roots and heritage, and
openly hostile to Islam, and eager to transcend all Islamic norms”. Contoh yang nyata,
katanya ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal mengkritik Syariat
(Bukunya: The Trouble with Islam: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith), tapi pada
saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini oleh Barat
dianggap sebagai “the voice of moderation”.

Bagi Muqtedar Khan, cendekiawan Muslim asal Canada moderat itu adalah yang
berpikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang, bermoral, beramar ma’ruf nahi
munkar (QS. 5 : 48, 3 : 110), tidak ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah
Jan menambahkan, Muslim yang menolak ketidakadilan atau Muslim yang hidupnya hanya
untuk ibadah masih dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan.

Jadi, istilah moderat bisa diplesetkan menjadi sama arti dengan liberal. Atau bahkan
bisa menjadi anti Islam dan pro-Barat. Inilah alat untuk mengalahkan apa yang mereka
sebut radikalisme. Padahal untuk mengalahkan bayang-bayang fundamentalisme tidak
perlu liberalism. Dan agar menang melawan hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu
ekstremisme. Kebajikanlah yang akan mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim
virtus.

41
JIHAD
Oleh: Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi
_________________________________________________________________________

Pada 11 September, 2001 dua pesawat penumpang menabrak dua menara kembar
World Trade Center di Amerika Serikat. Diduga pelakunya adalah Muslim teroris Muslim,
terutama Usama bin Ladin. Setelah itu beberapa Negara Islam dicurigai sebagai sumber
terorisme. Tak ayal lagi Negara Afghanistan dan Iraq diperangi dan dikuasai hingga kini.

Media Barat secara latah segera mengkaitkan peristiwa ini dengan jihad umat Islam.
Bush pun juga salah sangka dan teriak “This is new crusade” (ini perang salib baru). Meski
dianggap salah redaksi lalu dikoreksi, orang tahu apa yang dipikirkannya.

Jack Nelson-Pallmeyer, menulis Is Religion Killing Us? Menuduh semua agama


sebagai sumber peperangan dan malapetaka. Charles Kimbal, dalam bukunya When
Religion Becomes Evil (Ketika Agama Menjadi Jahat) membuat lima kriteria agama jahat
dan salah satunya adalah yang mendeklarasikan “jihad”. Menurutnya “Declaring war
“holy” is a sure sign of corrupt religion”.

Ringkasnya perang atas nama agama dizaman sekarang ini “haram”. Tapi perang
atas nama kemanusiaan boleh, meskipun lebih banyak membunuh dan mengorbankan
nyawa. Banyak terminologi perang dalam al-Qur’an. Kata netralnya adalah qital, yaitu
perang dengan menggunakan senjata menghadapi musuh. Jika qital itu diniatkan untuk
membela kebenaran agama Allah maka ia disebut jihad. Perang orang kafir disebut juga
qital, tapi bukan jihad karena untuk membela tiran atau taghut (al-Nisa’, 76).

Istilah lain dari perang adalah “harb”. Harb adalah peperangan dalam arti umum
disebut sebanyak 6 kali dalam al-Qur’an. Harb digunakan untuk perang Arab Jahiliyah,
seperti perang al-Basus. Mungkin Perang Dunia I dan II lebih cocok disebut harb. Boleh
jadi dalam harb zaman modern musuh tidak saling berhadapan. Karena makna negatifnya
maka al-Qur’an tidak pernah menggunakan istilah harb untuk qital yang berarti jihad.

42
Harb lebih bermakna sekuler dan hanya untuk kepentingan dunia seperti untuk
kekuasaan, ekonomi, politik, memperbutkan harta karun atau sumber alam dsb. Maka
slogan para demonstran di Amerika yang berbunyi No War for Oil, tidak bisa diganti
menjadi No Jihad for Oil (La Jihada lil Bitrul). Yang tepat La harba lil bitrul.

Makna lain dari perang adalah ghazwah yaitu qital umat Islam yang disertai Nabi.
Sedangkan yang tidak disertai beliau disebut sariyyah. Makna-makna itu semua
menunjukkan bahwa perang dalam Islam ada aturan dan akhlaqnya.

Meskipun peperangan mewarnai sejarah Islam, tapi Islam sangat membenci


peperangan. Allah pun menghindarkan orang-orang beriman dari peperangan (al-Ahzab,
25). Ini tidak sebanding misalnya dengan “hobbi” perang bangsa Yunani yang
mengagungkan Ares, sang dewa perang. Orang Romawi mensucikan Tuhan perang yang
disebut Mars.

Apakah semua perang itu berarti jihad? Dan apakah jihad itu hanya berarti perang?
Dalam al-Qur’an kata jihad disebut hanya sebanyak 34 kali. Arti “jihad” tidak seperti yang
difahami orang Barat. Tidak bisa pula diterjemahkan menjadi Holy War. Para ulama
mengartikan jihad sebagai mencurahkan kemampuan, tenaga dan usaha untuk menyebarkan
dan membela dakwah Islam serta mengalahkan (musuh). Bisa juga berarti menanggung
kesulitan.

Jihad tidak selalu berarti perang. al-Raghib al-Isfahani memahami jihad sebagai
melawan tiga macam musuh: melawan musuh yang tampak, melawan godaan syetan,
melawan hawa nafsu. Jihad melawan musuh yang tampak pun tidak mesti perang. Sebab
Nabi bersabda “berjihadlah kepada orang-orang kafir dengan tangan dan lisan kalian”.

Ibn Taymiyyah bahkan memaknai jihad menjadi empat. Pertama dengan hati yaitu
berdakwah mengajak kepada syariat Islam; kedua dengan argumentasi untuk mencegah
kebatilan atau kesesatan; ketiga dengan penjelasan untuk membeberkan pemikiran yang
benar untuk umat Islam; dan keempat, dengan tubuh yaitu berperang.

43
Ibn al-Qayyim, dalam Zad al-Ma’ad menyimpulkan ayat-ayat jihad dalam al-Qur’an
menjadi tiga belas tingkatan. Empat tingkatan melawan hawa nafsu, dua tingkatan melawan
syetan, empat tingkatan melawan kaum kafir dan munafik, tiga tingkatan melawan
kezaliman dan kefasikan.

Begitulah, makna jihad yang berarti perang fisik menurut al-Isfahani, Ibn
Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim hanyalah bagian terkecil dari arti jihad. Itupun tidak sama
dengan perang sekuler atau Holy War di Barat yang sarat kebencian dan penistaan. Qital
dalam arti Jihad masih terikat oleh aturan yang berdimensi akhlaq dan rasa kemanusiaan.

Senjata tidak boleh merusak tanaman, makhluk hidup, binatang ternak, dan
sebagainya. Senjata pemusnah massal seperti kimia, nukler, bakteri, biologi tidak
digunakan dalam perang Islam. Target serangan pun tidak boleh mengenai rumah ibadah,
wanita, anak-anak, orang tua renta, orang cacat, orang buta, pendeta dan mereka yang tidak
sedang perang. Jika pun telah menang bala tentara Islam tidak boleh menghina musuh yang
kalah.

Jihad dalam arti perang menurut al-Qardhawi dibagi menjadi dua: jihad
penyerangan (al-talab) dan jihad perlawanan (daf’). Yang pertama disebut futuhat
(pembebasan). Maknanya menyerang untuk membebaskan negeri disekitar negeri Islam
dari penguasa zalim. Yang kedua melawan musuh yang secara militer memasuki negeri-
negeri Islam. Berarti perang bangsa Indonesia melawan Belanda, bangsa Aljazair melawan
Perancis, rakyat Palestina melawan Zionis adalah jihad.

Qardhawi juga memasukkan musuh dalam bentuk “pemikiran yang mengancam


aqidah, yang membuat ide-ide sesat dalam agama, yang mempengaruhi umat Islam untuk
meninggalkan agama”. Nampaknya al-Qardhawi setuju melawan “agresi” liberalisme,
sekularisme, pluralism agama, dan semacamnya yang mengancam aqidah dan syariah
adalah jihad.

44
Mengislamkan Worldview
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
_________________________________________________________________________

Tabligh (mendakwahkan) risalah adalah wajib bagi Nabi. Karena itu Nabi mengirim
surat kepada raja-raja mengajak mereka masuk Islam. Salah satu suratnya dikirim kepada
Ebrewez, kaisar Persia. Pimpinan negara adikuasa dan cucu mendiang kaisar Khosru I,
yang dinobatkan jadi Kaisar baru pada tahun 590 M. Itupun gara-gara ayahnya kaisar
Murmuza IV terbunuh. Dalam bukunya Tarikh al-Muluk wa al-Umam, al-Tabari
menceritakan bahwa Ebrewez tergolong raja Persia yang paling kuat. Jajahan dan
kekuasaannya paling luas. Prestasinya tak tertandingi oleh kaisar sebelumnya. Karena
itulah ia digelari Ebrewez yang berarti si Perkasa. Dalam bahasa Arab disebut al-
Mudhaffar. Karena itu wajar jika ia dikenal suka menunjukkan kemewahan dan
kebesarannya, menimbun harta kekayaan dan perhiasan. Ketika ia memindahkan
singgasananya dari bangunan lama ke bangunan baru tahun 607-608 M harta yang
dipindahkan terhitung sebanyak 468 juta gantang emas. Pada tahun ke 13 dari
kekuasaannya kekayaannya mencapai 880 juta gantang emas.

Surat Nabi yang singkat itu diantaranya berbunyi “Masuklah Islam agar anda
selamat dan jika anda menolak maka bagi anda dosa seluruh kaum Majusi”. Namun,
ternyata Ebrewez bukan penguasa yang bijak bestari. Bukan pula pemimpin yang adil dan
beradab. Ia begitu pongah bagai Firaun dan angkuh tak tersentuh. Yang pasti ia tidak dapat
hidayah. Dan benar, ketika cucu Anusyirwan itu menerima surat Nabi ia sangat murka.
Ebrewez serta merta merobek-robek surat dari Nabi itu. Dan dengan pongahnya ia
berkata,”Pantaskah orang itu menulis surat kepadaku sedangkan ia adalah budakku?”

45
Namun, setelah mendengar laporan ulah Ebrewez itu tidak sedikitpun memancing
amarah Nabi. Dengan tauhid dan tafwidh-nya yang kuat Nabi yakin dan pasrah. Hanya
Allah yang dapat memberi dan mencabut kekuasaan. Nabi membalas dengan doa
sederhana. Tanpa emosi dan rasa perkasa “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya”
(Mazzaqa Allah mulukahu). Bagaimana caranya, digambarkan Nabi begini, nanti : “Allah
memberi kekuasaan pada putera kaisar Persia yang bernama Syiraweh untuk mengalahkan
dan membunuh ayahnya.” Nabi bukan futurologi, tapi itulah Nabi. Doa dan gambaran Nabi
benar terjadi. Pada tahun 628 M putera Ebrewez yang bernama Qabaz yang digelari
Syirawaih itu merebut kekuasaan dan membunuh Kaisar Ebrewez, ayahnya sendiri. Qabaz
pun kemudian berkuasa, tapi tidak lebih dari empat bulan saja ia diturunkan.

Selanjutnya kekaisaran Persia itu berganti-ganti hingga sepuluh kali dalam masa
empat tahun. Itulah kenyataan dari mazzaqa Allah mulukahu. Allah benar-benar telah
merobek-robek kekaisaran itu. Selama itu kerajaan mengalami kekacauan dan huru-hara
Akhirnya rakyat berhasil mengangkat kaisar Yazdajir sebagai kaisar Persia terakhir dari
keluarga Sasaniah. Bagi yang berfikir sekuler, itu semua terjadi karena proses politik. Tidak
ada campur tangan Tuhan. Kaisar jatuh oleh rakyat, bukan dijatuhkan oleh Tuhan. Tapi
bagi Mumin, itulah jawaban doa Nabi. Begitulah cara Allah memberi dan mencabut
kekuasaan.

Di masa kekuasaan kaisar Yazdajir (sekitar tahun 637) inilah tentara Islam datang
ke Persia. Namun, kerajaan Persia yang telah berusia empat abad sudah seperti kakek gaek
yang ompong, lemah dan sakit-sakitan. Ketika kaum Muslimin datang, dapat dikatakan
tanpa perlawanan dan penduduknya masuk Islam dengan sukarela. Kekaisaran itu benar-
benar runtuh. Bahkan putera-puteri kaisar sangat berminat menikah dengan bala tentara
Islam, dan idolanya adalah Ali bin Abi Talib. Keruntuhan kerajaan Persia persis seperti
yang diramalkan Nabi delapan tahun sebelum itu : “Jika kaisar Persia hancur tidak akan ada
kaisar lagi sesudahnya.” (Hadith Ibn Kathir, jld. 3)

46
Namun, Muslim tidak datang untuk melakukan invasi apalagi kolonialisasi.
Kolonialisasi atau eksploitasi bukan karakter Muslim dan peradaban Islam. Muslim tidak
memboyong kekayaan Persia ke jazirah Arab. Konsepnya adalah hijrah. Berpindah, hidup,
berkarya dan memakmurkan kawasan yang dituju lahir batin. Istilah yang digunakan al-
Quran bukan penaklukan tapi pembukaan atau kemenangan (al-Fath), seperti fathu
Makkah, fathu Andalus, fathu Misra dan sebagainya Membuka, membebaskan,
menyelamatkan atau mengislamkan. Para ulama dan bala tentara Muslim mengajari bangsa
Persia al-Quran, Hadith, bahasa Arab dan pandangan hidup Islam. Yang dahulu jahil
menjadi alim, yang dulu tersesat mendapat petunjuk, yang dulu miskin menjadi kaya dan
makmur. Itulah rahmatan lil alamin.

Kepercayaan Persia kuno yang mitologis dan animistis perlahan berganti dengan
aqidah Islam yang rasional. Adat istiadat berganti syariat. Tradisi kekuasaan, kemegahan,
dan kemewahan berganti tradisi ilmu. Mungkin bala tentara Islam, ulama dan relawan Arab
itu tahu sabda Nabi bahwa “andaikata ilmu itu berada di bintang Suraya pasti akan dicapai
oleh orang-orang Persia”. (Lihat Musnad Ahmad, jld 2).

Ternyata, benar setelah ilmu-ilmu Islam yang tinggi itu dicapai dari kawasan ini
lahir ulama-ulama besar dalam sejarah Islam. Tradisi ilmu Islam telah melahirkan ulama
seperti al-Khawarizmi, Imam Bukhari, al-Isfahani, Fakhr al-Din al-Razi, Ibn Sina, al-
Ghazzali, Ibn Taymiyyah dsb. Dari sini pulalah lahir kekhalifahan besar Islam, Abbasiyah
yang bertahan selama 5 abad (750-1250), lebih lama dari kekaisaran Persia.

Dalam bacaan orang liberal dan pendukung keras HAM, masuknya umat Islam ke
Persia akan dianggap penindasan bangsa lain. Di nusantara mereka pernah menuduh Islam
sebagai agama pendatang. Padahal Muslim masuk ke nusantara mencerahkan
masyarakatnya yang dulu dihegemoni oleh mitologi menjadi teologi yang rasional. Islam
juga mempersatukan berbagai ras suku dan bahasa melalui persaudaraan agama. Jika cara
berfikir seperti ini diterapkan untuk semua bangsa di dunia, Amerika juga harus dianggap
pendatang dan penindas bangsa Indian, Israel perampas tanah dan penindas bangsa
Palestina. Australia penindas bangsa Aborigin. Jadi, menghukumi masa lalu dengan aturan
dan tertib masa kini adalah naïf.

47
Meski umat Islam menduduki dan mengislamkan bangsa lain, mereka datang
membawa pandangan hidup yang mencerahkan, aqidah yang mencerdaskan, syariah yang
membebaskan dan ritual keagamaan yang memudahkan. Itulah arti mengislamkan yang
sesungguhnya. Bangsa ini berjasa pada umat manusia karena Islam. Dapat berprestasi
tinggi karena mereka menerima worldview Islam. Benarlah George F Kneller ketika
mengatakan bahwa:

“ketika keluar dari jazirah Arab bala tentara Islam tidak membawa apa-apa kecuali al-
Quran dan Hadith, tapi karena inner dynamic-nya, Islam menjadi worldview yang kelak
memberi manfaat kepada umat manusia”. (George F Kneller, Science as a Human
Endeavor, New York: Columbia University Press, 1978, hal. 3-4)

Jadi, Islamisasi adalah membebaskan dan sekaligus menyelamatkan manusia dari


cengkeraman worldview yang tidak sesuai dengan fitrahnya.

48
Eksklusif dan Inklusif
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
_________________________________________________________________________

“ Masuklah Islam, maka anda akan selamat (Aslim Taslam). Namun jika anda
menolak anda akan mendapat dosa dua kali lipat”. Begitulah kalimat-kalimat dalam surat
Nabi yang dikirim kepada Heraclitus, Kaisar Romawi Timur. Kepada Kaisar Persia
Ebrewez surat Nabi berbunyi sama dengan tambahan “…. jika anda menolak maka bagi
anda dosa seluruh kaum Majusyi”.

Kepada Kaisar Najasyi berbeda lagi. Surat Nabi berbunyi: “Aku ajak anda kepada
Allah yang Esa yang tiada sekutu bagiNya… dan mempercayai apa yang aku bawa”
Kepada penguasa Mesir Muqauqis juga demikian: “Masuklah Islam anda akan selamat…
agar Allah memberi pahala dua kali lipat. Jika anda menolak anda akan menanggung dosa
bangsa Qibti”.

Surat Nabi itu adalah tawaran, dawah atau, panggilan untuk keselamatan. Bukan
memasarkan agama. Bukan pula intimidasi yang militeristik. Kurirnya pun tidak disertai
pasukan bersenjata. Beda dengan perkataan “You are with us or against us” lalu tebar dana
liberalisasi. Surat itu santun tapi tegas. Nabi sedang membawa risalah menyempurnakan
risalah sebelumnya.

“Masuklah Islam anda akan selamat”, artinya jelas bahwa yang tidak masuk Islam
tidak akan selamat. Tidak ada jalan keselamatan diluar Islam. Itulah misi Nabi. Itulah Islam
sebagai Al-din al-kamil.

Islam adalah din bukan religi atau agama kultural. Din adalah sistem keyakinan,
peribadatan serta prinsip kehidupan dunia-akhirat yang turun melalui wahyu Allah. Jadi din
adalah jalan kebenaran dan keselamatan. Jika seseorang masuk dalam sistem keyakinan
atau din ini maka ia akan berserah diri. Itulah berislam.

49
Berserah diri dalam Islam jelas kepada Tuhan yang bernama Allah. Allah seperti
yang dalam konsep para nabi dan Nabi Muhammad. Maka dari itu Allah bukan Yahweh,
bukan tuhan Bapak, bukan Nirguna Brahman, bukan Tao Te Ching, bukan En Soph, bukan
pula Dharmakaya.

Allah juga tidak sama dengan tuhan-tuhan eksoterik yang terbatas dalam konsep
“transendentalisme”. Berserah diri artinya berislam kepada Tuhan nabi Ibrahim, Musa dan
Isa serta nabi-nabi yang lain. Tuhan nabi-nabi itu adalah Tuhan yang diimani Nabi
Muhammad.

Jika Tuhan agama nabi-nabi itu benar mengapa penganut agama-agama terdahulu
itu harus ikut agama Nabi Muhammad? al-Quran surah al-Maidah: 65 menjawab: “Jika
orang-orang ahlul kitab beriman dan bertaqwa (kepada Allah) akan Kami hapuskan dosa
mereka dan akan Kami masukkan surga”

Artinya ahlul kitab dianggap tidak beriman kepada Allah SWT. Menurut ahli tafsir
al-Baydhawi ahlul kitab yang dimaksud adalah sebelum datangnya Islam. Standarnya pun
merujuk kepada Kitab Taurat dan Injil (al-Maidah 67) yang intinya adalah tauhid. Tapi itu
pun tidak mereka lakukan.

Sesudah Islam datang konsep berserah diri dan beriman pada Allah pun
disempurnakan. Konsep beriman pada Allah merujuk kepada al-Quran. Rukunnya
ditambah iman pada rasul-rasulNya dan kitab-kitab yang dibawa mereka, pada hari akhir,
qadha-qadar, serta konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya.

Dalam al- al-Ma'idah: 69 dan al-Baqarah: 62, jelas bahwa keselamatan agama
terdahulu adalah beriman pada Allah, hari akhir dan beramal shaleh. Keselamatan sesudah
Islam datang beriman dengan rukun-rukunnya.

Bukankah agama-agama itu dibawa oleh nabi-nabi dan turun dari Allah juga?,
Benar, tapi para pakar tafsir menyimpulkan bahwa untuk masa sesudah kedatangan Islam,
agama-agama itu dibatalkan (mansukh).

50
Ini berarti agama Kristen, Yahudi, Sabiin dan sebagainya itu kini telah
disempurnakan Islam. Ketika menafsirkan al-Baqarah: 62 dan Ali Imran: 69, Al-Thabari
yakin bahwa surat itu telah di mansukh oleh surah Ali Imran ayat 75 "Barangsiapa
memeluk agama selain Islam tidak diterima….".

Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah
Zuhayli dan mufasir-mufasir lainnya. (Lihat Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-Tafsir al-
Sahih, mausu'ah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Ma'thur, 2 jld, jld 1, Dar al-
Ma'athir, Madinah, 1999, hal. 169).

Menurut Ibn Taymiyyah bunyi al-Baqarah: 62 “Beriman kepada Allah dan hari
akhir” tidak bisa dipahami secara literal tapi perlu ditafsirkan. Konsep iman berkaitan
dengan konsep amal dan ilmu.

Jadi beriman kepada Allah dan hari akhir saja tidak cukup. Konsekuensi menerima
konsep itu yang terpenting adalah masuk Islam. Artinya menerima enam rukun Iman dan
lima rukun Islam. Tapi untuk mereka yang hidup sebelum kedatangan Nabi Muhammad,
adalah beriman kepada Allah dan akhir seperti yang diajarkan oleh Nabi-nabi yang diutus
kepada mereka.

Menolak Islam manjadi tidak seperti tidak logis. Sebab jika agama-agama yang
dibawa oleh Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad itu beriman pada Tuhan yang sama,
mengapa ketika Tuhan yang sama berfirman tidak mereka indahkan. Malah Nabi
Muhammad yang dimaki-maki.

Kalau kita harus merespon wacana keagamaan di Barat yang berkembang dari
eksklusif menuju inklusif dan pluralis, maka Islam mempunyai jawabannya. Islam adalah
agama eksklusif. Sebab selain jalan Islam tidak dianggap selamat.

Logikanya, jika Islam mengakui keselamatan ada pada agama lain, tentu Islam tidak
akan mengajak pemeluk agama lain masuk Islam. (al-Nahl: 126). Nabi juga tidak akan
mengirim surat meminta Raja Romawi Heraclitus, Raja Persia Ebrewez, Raja Ethiopia
masuk Islam.

51
Maka, tidak heran jika Islam tidak akan pernah mentolerir ijtihad-ijtihad teologis
yang menyimpang secara ijma. Maka aliran-aliran yang secara teologis menyimpang
seperti Ahmadiyah, Bahaiyyah, dan sebagainya tidak akan pernah ditolerir.

Islam juga bisa disebut agama yang inklusif. Sebab dalam Islam, anak-anak dari
orang tua yang beragama apapun, jika meninggal sebelum baligh akan masuk surga alias
selamat.

Islam juga bisa dicap agama pluralis. Alasannya jelas, Islam sejak lahir telah
berhadapan dengan pluralitas agama, ras, suku dan tradisi. Tapi pluralisme disini bukan
pluralisme teologis tapi sosiologis. Islam dapat hidup dengan berbagai agama, ras, suku dan
aliran apapun.

Sejarah membuktikan, pembunuhan nabi-nabi dilakukan oleh mereka yang tidak


suka agama. Kini tidak ada lagi nabi-nabi pembawa kebenaran dan jalan keselamatan untuk
dibunuh. Yang dibunuh adalah kebenaran dan jalan keselamatan dan bahkan “tuhan” itu
sendiri.

52
DUALISME
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
_________________________________________________________________________

Dalam sebuah acara talk-show di sebuah stasiun TV Inggris tahun 90an ditampilkan
isu pelacuran. Panelisnya pendidik, pastur, tokoh masyarakat dan beberapa pelacur. Hampir
semua menyoroti profesi pelacur dengan nada sinis. Pelacur adalah sampah masyarakat.
Pelacur mesti dijauhkan dari anak-anak. Merusak adat kesopanan sosial, dan seterusnya.
Tapi yang menarik giliran pelacur angkat bicara. "Saya memang pelacur. Dan saya
melakukan ini karena saya janda. Saya menjalani profesi ini untuk menghidupi tiga orang
anak saya. Kalian boleh saja mencemooh. Tapi siapa yang peduli jika anak-anak saya
kelaparan, siapa! siapa!" ia berteriak Iantang. "Supaya kalian semua tahu, lanjutnya, saya
memang pelacur tapi hati saya tetap suci". Hadirin pun bersorak. Nampaknya orang
bersorak bukan karena ia pelacur, tapi karena ia dualis. Menjadi pelacur dan merasa suci.
Dua sifat yang kontradiktif. Yang saya heran justru mengapa mereka bersorak. Sebab
doktrin dualisme sudah lama berakar di dalam pemikiran Barat. Asal usul terdekatnya
adalah fllsafat akal (philosophy of mind) yang digemari Descartes, Kant, Leibniz, Christian
Wolf dan lain-lain.

Menurut Christian Wolff misalnya "The dualists (dualistae) are those who admit the
existence of both material and are those who admit the existence of both material and
immaterial substances" tapi wujud materi dan jiwa terpisah. Pengertian ini disepakati Pierre
Bayle dan Leibniz.

Bahkan konon Barat mewarisinya dari kepercayaan Zoroaster (1000 SM) di Timur.
Dunia dianggap sebagai pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Thomas Hyde
menemukan doktrin ini dalam sejarah agama Persia kuno (Historia religionis veterum
Persiarum, 1700). Doktrin Zoroaster diwarisi oleh Manicheisme dan diramu dengan
dualisme Yunani. Tuhan akhirnya dianggap sebagai person dan juga materi.

53
Bagi orang Mesir kuno Ré adalah tuhan matahari simbol kehidupan dan kebenaran.
Lawannya adalah Apophis lambang kegelapan dan kejahatan. Deva dalam agama Hindu
adalah tuhan baik, musuhnya adalah asura tuhan jahat. Di Babylonia peperangan antara
Marduk dan Tiamat adalah mitos yang mewarnai worldview mereka. Mitologi Yunani
selalu menampilkan peperangan Zeus dengan Titans. Di Jerman perang antara Ases dan
Vanes, meski berakhir damai.

Dalam filsafat, Pythagoras adalah dualis. Segala sesuatu diciptakan saling


berlawanan: satu dan banyak, terbatas tak terbatas, berhenti-gerak, baik-buruk dan
sebagainya. Empedocles setuju dengan Pythagoras, baginya dunia ini dikuasai oleh dua hal,
cinta dan kebencian. Plato dalam dialog-dialognya memisahkan jiwa dari raga, inteligible
dari sensible.

Tapi apakah dualisme itu benar-benar realitas? Atau sekedar persepsi yang
menyimpang? Sebab nilai-nilai monistis persepsi yang menyimpang? Sebab nilai-nilai
monistis (kesatuan) dalam realitas juga ada dan riil. Heraclitus dan Parmenides mengkritik
dualisme Pythagoras.

Banyak itu pun berasal dari yang satu yang abadi. Yang dianggap saling berlawanan
itu sebenarnya membentuk kesatuan dan tidak bisa dipisahkan. Aristotle ikut-ikutan.
Dualisme Plato juga tidak benar. Jika jiwa diartikan bentuk (form) dari raga alami yang
berpotensi hidup maka jiwa adalah pasangan raga. Jadi jiwa dan raga adalah suatu
kesatuan. Tapi Aristotle ternyata masih dualis juga. Ia memisahkan akal dari jiwa.

Dalam kepercayaan kuno pun unsur monisme juga wujud. Marduk ternyata turunan
dari Tiamat. Zeus dan Titan berasal dari moyang yang sama. Leviathan ternyata diciptakan
Tuhan. Pemberontak Mahabharata adalah dari keluarga yang sama.

Dalam agama Zoroaster, kebaikan selalu dinisbatkan kepada Ahura Mazda atau
Ohrmazd sedangkan kejahatan disifatkan kepada Ahra Mainyu atau Ahriman. Tapi dalam
kitab Gathas, kebaikan dan kejahatan adalah saudara kembar dan memilih salah satu karena
kehendak.

54
Para pemikir Kristen mulanya memilih ikut Plato, tapi mulai abad ke 13 mereka
pindah ikut Aristotle dengan beberapa modifikasi. Di zaman Renaissance dualisme Plato
kembali menjadi pilihan. Tapi pada abad ke 17 Descartes memodiflkasinya. Baginya yang
riil itu adalah akal sebagai substansi yang berpikir (substance that think) dan materi sebagai
substansi yang menempati ruang (extended substance).

Teori ini dikenal dengan Cartesian dualism. Tujuannya agar fakta-fakta di dunia
materi (flsika) dapat dijelaskan secara matematis geometris dan mekanis. Kant dalam The
Critique of Pure Reason mengkritik Descartes, tapi dia punya doktrin dualismenya sendiri.
Pendek kata Neo-Platonisme, Cartesianisme dan Kantianisme adalah filsafat yang mencoba
merenovasi doktrln dualisme. Tapi terjebak pada dualisme yang lain.

Perang antara monisme dan dualisme. sejatinya adalah pencarian konsep ke-esa-an
(tauhid). Peperangan itu digambarkan dengan jelas oleh Lovejoy dalam bukunya The
Revolt Against Dualism. Fichte dan Hegel, misalnya juga mencoba menyodorkan doktrin
monisme, tapi bagaimana bentuk kesatuan kehendak jiwa dan raga, tidak jelas.
Nampaknya, karena arogansi akal yang tanpa wahyu (unaided reason) maka monisme
tersingkir dan dualisme berkibar. Jiwa dan raga dianggap dua entitas.

Seorang dualis melihat fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi
yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain,
karena beda komposisi. Akal bisa jahat dan materi bersifat suci. Atau sebaliknya,jiwa selalu
dianggap baik dan raga pasti jahat.

Padahal dari jiwalah kehendak berbuat jahat itu timbul. Dalam Islam kerja raga
adalah suruhan jiwa (innama al-a’mal bi al-niyyat). Karena itu ketulusan dan kebersihan
jiwa membawa kesehatan raga.

Dualis dikalangan antropolog pasti memandang manusia . Dualis dikalangan


antropolog pasti memandang manusia dari dua sisi: akal dan nafsu, jiwa dan raga,
kebebasan dan taqdir (qadariyyah &jabariyyah). Dalam fllsafat ilmu, dualisme pasti
merujuk kepada dikotomi subyek-obyek, realitas subyektif dan obyektif.

55
Kebenaran pun menjadi dua kebenaran obyektif dan sobyektif. Bahkan di zaman
postmo kebenaran ada dua absolute dan relatif. Dalam lslam konsep tauhid inherent dalam
semua konsep, tentunya asalkan sang sobyek berpikir tauhidi.

Nampaknya doktrin dualisme telah memenuhi pikiran manusia modern, termasuk


pelacur itu. Pernyataan pelacur itu tidak beda dari dialog dua sejoli dalam film indecent
Proposal, "I slept with him but my heart is with you". Seorang dualis bisa saja berpesan
”lakukan apa saja asal dengan niat baik". Anak muda Muslim yang terjangkiti pikiran
liberal akan berkata ’jalankan syariat sesuka hatimu yang penting mencapai maqasid
syariah”.

Kekacauan berpikir inilah kemudian yang melahirkan istilah ”penjahat yang


santun”, "koruptor yang dermawan", "ateis yang baik", "Pelacur yang moralis", dan
seterusnya.

Mungkin akibat ajaran dualisme pula Pak Kyai menjadi salah tingkah dan berkata
"Hati saya di Mekkah, tapi otak saya di Chicago“. Dualisme akhirnya bisa menjadi
perselingkuhan intelektual. Hatinya berzikir pada Tuhan tapi pikirannya

menghujatNya.

56
Pluralisme dan Islam
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
________________________________________________________________________

Ketika fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan Pluralisme Agama,


tidak banyak yang protes, kecuali beberapa gelintir penganut pluralis liberal. Sayang, protes
itu tidak ditanggapi Majelis Ulama Indonesia dengan penjelasan yang ilmiah, detail dan
dapat dipertahankan.

Mungkin itulah sebabnya mereka yang protes itu kini terus mengembangkan paham
ini melalui berbagai proyek. Untuk itu penjelasan mengenai apa hakekat pluralisme agama
itu perlu dihadirkan sekali lagi.

Sebelum Majelis Ulama Indonesia menghasilkan fatwa itu, Jurnal pemikiran dan
peradaban ISLAMIA pada edisi 3 dan 4 telah membahas panjang lebar paham ini. KH.
Salahuddin Wahid menantang para pengkritik fatwa untuk menjelaskan maksud mereka,
apakah seperti yang dimaksud ISLAMIA atau makna yang lain. Namun, hingga pihak
pengkritik fatwa itu juga tidak tegas pluralisme apa yang mereka bela itu.

Sebenarnya, paham Pluralisme Agama lahir dari doktrin pluralisme. Di Barat


pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling dominan
adalah akar nihilisme dan relativisme Barat postmodern.

Dari berbagai kamus pluralisme dapat bermakna dua hal: Pertama, Pengakuan
terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Kedua, Doktrin yang
berisi

a) Pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi,

b) Pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran yang tunggal atau kebenaran
satu-satunya tentang suatu masalah

c) Ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama
benarnya.

57
d) Teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth).

e) Pandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah
sama benarnya. (No view is true, or that all view are equally true).

(Lihat, The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language; Oxford Dictionary of
Philosophy; Oxford Advanced Learners’ Dictionary of Current English).

Jadi dari makna pluralisme saja sudah terdapat ide yang mencurigai kebenaran atau
paham relativitas kebenaran.

Pluralisme dalam pengertian pertama adalah toleransi, dimana masing-masing agama, ras,
suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan
kepercayaan orang lain.

Pluralisme dalam arti kedua sudah tidak berpegang pada suatu dasar apapan.
Masyarakat, harus menerima kenyataan bahwa disana tidak ada kebenaran tunggal artinya
mereka benar, atau masyarakat tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan
kepercayaan mereka itu benar atau paling benar. Bahkan dalam satu pengertian pluralisme
mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.

Sebenarnya wacana pluralisme tidak bisa lepas dari pemikiran Barat postmodern.
Sebab menurut Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam
postmodernisme diwarnai oleh doktrin pluralisme. Selain itu postmodernisme selalu
menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya dan cara menghadapinya adalah
menebar pluralisme. Doktrin utamanya adalah nihilisme dan relativisme.

Jadi, target utama pluralisme sebenarnya adalah agama dan kepercayaan. Sebab
begitu seseorang berbicara masalah pluralisme secara sosiologis, ia otomatis membahas
teologi atau agama juga.

58
Di antara tokoh pendukung paham pluralisme adalah Peter Ludwig Berger, seorang
sosiolog Amerika dan juga teolog Lutheran. Dalam bukunya The Desecularization of the
World Peter menyatakan bahwa sekularisasi telah gagal, sebab praktek keagamaan ternyata
justru bertambah subur dan desekularisasi malah dominan. Oleh sebab itu dalam The Social
Construction of Reality ia mengusulkan gantinya yaitu penyebaran paham pluralisme.

Berger beralasan bahwa meskipun agama masih sebagai faktor sosial yang kuat,
namun pluralisme dan dunia yang global telah merubah pengalaman keberagamaan
individu. Pluralisme yang dihidupkan, disebarkan dan diperkuat oleh globalisasi itu
menjadi fakta kehidupan sosial dan kesadaran individual.

Pada tingkat institusional, agama tidak lagi punya otoritas. Dan dalam masyarakat
demokrasi liberal dimana kebebasan beragama dijamin, agama tidak bisa lagi menjadikan
negara sebagai sandaran. Sejalan dengan kapitalisme otoritas itu seperti pasar, siapa saja
bebas memiliki otoritas. Bahkan masyarakat akan lebih kuat menganut doktrin pluralisme
daripada menganut suatu agama, tegas Berger.

Lebih ekstrim dari Berger, Diana L. Eck dalam The Challenge of Pluralism, tegas-
tegas menyatakan bahwa pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat beragama, tidak
pula sekedar menerima pluralitas (diversity).

Dalam bukunya From Diversity to Pluralism ia “membayangkan” bahwa pluralisme


adalah “peleburan” agama-agama menjadi satu wajah baru yaitu realitas keagamaan yang
plural. Pada pemikiran Diana ini, nampak sekali muatan relativismenya. Sebab ia juga
menyarankan agar agama-agama bersedia membuka diri dan menerima kebenaran yang ada
pada agama lain.

59
Alasannya karena setiap agama mengandung porsi kebenaran. Ini jelas sekali
menunjukkan bahwa Diana sependapat dengan ide bahwa semua agama itu sama benarnya
dan tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain.

Dari definisi dan penjabaran singkat diatas, pluralisme sudah mengandung makna
relativisme. Jadi klaim bahwa pluralisme adalah sebuah doktrin sosial ternyata menyentuh
aspek teologis. Maka dari itu pluralisme dan pluralisme agama, seperti yang akan
dijelaskan berikut ini, ternyata tidak beda. Kecuali jika ada yang memahami pluralisme
hanya setingkat toleransi.

Paham pluralisme agama terdiri dari dua aliran besar yaitu teologi global (global
theology) atau teologi dunia (world theology) dan kesatuan transenden agama-agama
(transcendent unity of religions). Yang pertama dicetuskan oleh John Hick dan Wilfred
Cantwell Smith, sedangkan yang kedua oleh Fritjhof Schuon.

Pertama yaitu teologi global berambisi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
proyek globalisasi Barat. Pendekatan yang dipakai aliran teologi global terhadap agama-
agama awalnya bersifat sosiologis, kultural dan ideologis. Bersifat sosiologis dan kultural
karena agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya
masyarakat modern yang plural. Ideologis sebab ia telah menjadi bagian dari program
gerakan globalisasi yang jelas-jelas memasarkan ideologi Barat.

Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan


kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik,
militer dan sumber kekuatan lainnya.

Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang
bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai
kebudayaan Barat seperti demokrasi, Hak Asasi Manusia, feminisme/gender, liberalisme
dan sekularisme. (Lihat Dr. Amir al-Roubaie, “Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam”,
dalam Jurnal pemikiran dan peradaban Islam ISLAMIA, Edisi 4, 2004 )

60
Jadi globalisasi Barat itu seakan-akan berdiri didepan semua agama dan memberi
instruksinya “Ikut globalisasi Barat atau tertinggal dan ditinggal”. Posisi seperti inilah yang
disampaikan oleh Peter Berger. Semua penganut agama, katanya, hanya ada tiga pilihan:
menolak pluralisme, menarik diri dari padanya atau terlibat dengannya. Semua pilihan
memiliki kesulitan dan resiko masing-masing, tapi hanya dengan terlibat dalam suatu
agama akan menjadi sejalan dengan demokrasi liberal.

Setelah menggunakan pendekatan sosiologis, kultural dan ideologis aliran ini


menggunakan pendekatan filosofis, terutamanya doktrin relativisme. Doktrin relativisme
kebenaran digunakan oleh John Hick dan juga Diana L. Eck untuk melebur batas agama-
agama (eksklusifisme).

Dalam bukunya an Interpretation of Religion Hick menyatakan bahwa kebenaran itu


relatif yang absolut hanya Tuhan dan manusia tidak pernah mampu memahami Tuhan. Apa
yang dipahami manusia mengenai Tuhan hanyalah bersifat relatif. Selain itu Hick juga
mengadopsi teori Copernican Revolution yaitu yang merevolusi prinsip geosentris menjadi
heliosentris. Jika Copernicus memindahkan pusat gravitasi dari bumi ke matahari maka
Hick memindahkan pusat gravitasi teologi dari agama-agama kepada Tuhan (Religion-
centredness to God centredness).

Kalau dulu setiap agama menjadi pusat yang dikelilingi tuhan, maka kini dirubah
tuhanlah yang dikelilingi agama-agama. Artinya dari banyak agama banyak tuhan menjadi
banyak agama satu Tuhan. Berbeda dari Hick yang mengusung globalisasi, doktrin
kesatuan agama-agama Schuon menebarkan ide bahwa agama dibagi menjadi dua: tingkat
eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (batiniyah). Pada tingkat eksoterik agama-agama
mempunyai tuhan, teologi, ajaran yang berbeda. Namun pada tingkat esoterik agama-
agama itu menyatu dan memiliki tuhan yang sama yang abstrak dan tidak terbatas.

Doktrin pluralisme agama ini kini disebarkan kedalam wacana pemikiran Islam.
Pengikut pertama doktrin teologi global dari Islam adalah Hasan Askari, sedangkan
pengikut doktrin kesatuan transenden agama-agama adalah S.H. Nasr, namun pencetusnya
sendiri Schuon yang dulunya Yahudi itu konon telah masuk Islam dan tetap pluralis. Para

61
cendekiawan Muslim yang mengadopsi paham ini sekurangnya ada tiga kelompok.
Pertama, Mereka yang memahami doktrin dan mempunyai agenda tersendiri. Kedua,
Mereka yang tidak memahami doktrin ini karena pemikirannya terbaratkan. Ketiga, Mereka
yang tidak memahami doktrin ini dan terbawa oleh wacana umum. Dari kelompok pertama
dan kedua inilah muncul istilah-istilah asing seperti Islam inklusif, Islam pluralis,
pluralisme dalam Islam dan sebagainya.

Selain itu mereka juga mencari-cari justifikasi dari al-Qur’an dan Hadis. Cara yang
mereka gunakan adalah dengan mendekonstruksi makna ayat dan hadis untuk disesuaikan
dengan tujuan mereka. Jadi prinsip pluralisme ala Peter L. Berger, Diana L. Eck atau
lainnya atau doktrin pluralisme agama ala John Hick dan Schuon tidak berbeda. Pluralisme
bukan prinsip mengenai toleransi, tapi relativisme kebenaran yang mengajarkan bahwa
“Semua agama adalah sama”.

Di Barat pluralisme telah meresahkan dan merugikan pihak gereja, seperti yang
akan dibahas sebentar lagi. Tapi di negeri ini para aktifis LSM menganggapnya “berkah”
melimpah. Para cendekiawan dan beberapa ulama menerimanya dalam domain “ijtihad”,
karena dianggap “baru” dan berdimensi universal meski asing bagi umat.

“Ijtihad” pendukung pluralisme (baca: liberalisme) di negeri ini lebih maju dari
wacana para teolog Barat. Mereka telah sampai tahap “berani” membuka “pintu-pintu”
surga bagi semua umat beragama. Tapi mereka lupa ketika membuka pintu surga lebar-
lebar, mereka belum menunjukkan jalan-jalan menuju pintu-pintu itu secara pasti, karena
semua jalan adalah relatif.

Boleh jadi, demi pluralism agama di satu saat nanti menjelang ajal seorang Kyai
boleh dibaptis, dan setelah dikubur seorang pendeta boleh ditalqin, agar di alam sana bisa
ada alternatif surga yang menurut mereka sangat “plural” itu.

62
Lagenhausen seorang Muslim mengkritik keras faham ini, “Tujuan pluralisme untuk
membangun toleransi itu baik tapi terlepas apapun tujuannya, konsepnya salah”, tulisnya
(Dr Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism Journal Al-Tawhid, Vol.
XIV, No. 3 ). Menurut HAMKA orang yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama,
sebenarnya dia sendiri tidak beragama. Jika ini makna pluralisme yang dimaksud kelompok
pluralis liberal, maka fatwa Majelis Ulama Indonesia itu sungguh benar adanya.

63
TIMUR

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Ketika saya berkunjung ke perpustakaan Islamic Research Academy di Leicester


Inggris, photo copy disitu mendadak macet dan tidak ada yang nampak bisa memperbaiki.
Tiba-tiba seorang yang berjanggut panjang dan berpakaian salwar gamis mencoba
mengotak-atik mesin itu. Saya yakin dari logat Inggrisnya dia orang Pakistan atau India.
Banyak yang antri photo copy waktu itu. Semua setengah kesal dan tidak sabar. Dan
akhirnya dengan mudah mesin itu berfungsi kembali.

Kisahnya sederhana dan tidak penting. Yang penting apa yang dikatakannya
kemudian. Sambil tersenyum dia berkata: “You see! wisdom always come from the East”.
Lho! apa hubungannya? Kami diam sejenak, tapi kemudian tertawa renyah. Rasanya kami
sedang memperolok-olok teknologi Barat. Teknologi itu kecil! Tidak ada apa-apanya
dibanding wisdom dari Timur. Tapi, itu hanya olok-olok.

Makna Timur atau “orient” dapat dipahami hanya dalam konteks Barat “occident”.
Ini bukan klasifikasi geografis dan nama dua mata angin. Tidak jelas siapa yang memulai
mengolok-olok “kamu orang Timur! kamu orang Barat!”. Yang pasti orientalisme
mendahului occidentalisme. Kini siapa yang disebut “orang Timur” dan “orang Barat”
sudah jelas. Timur, kata Edward Said, adalah masyarakat dan bahkan spirit yang
menakutkan Barat. (Orientalism, hal. 1-2).

Bahasa Edward nampak agak kasar, tapi gambaran yang tepat untuk fenomena
perseteruan. Timur dan Barat bahkan seperti dua kutub yang mustahil bertemu. Saya lalu
teringat dengan Iqbal. Ia memberanikan diri menghubungkan kutub itu dengan pesan-
pesannya. Dia sadar tidak banyak yang berani menyampaikan pesan kepada Barat. Ia
menulis:

“Saya tahu di kegelapan Timur, tidak ada cahaya tangan Musa atas Fir’aun”.

64
Pesan Iqbal untuk Barat dikompilasi dalam bentuk puisi, tahun 1923, berjudul
Payam-i-mashriq (Pesan dari Timur). Pesan ini disampaikan sebagai jawaban atas ratapan
Goethe seabad sebelumnya. Goethe (1749-1832) menulis buku West-Oestlicher Divan. Ia
meratapi mengapa pandangan manusia Barat menjadi sangat materialistis. Ia berharap
Timur dapat membawa misi yang menjanjikan nilai-nilai spiritual. Iqbal menjawab,
moralitas dan agama itu penting bagi peradaban bung! Hidup ini tidak akan pernah
meningkat tanpa memahami makna spiritualitas.

Ratapan Goethe dan pesan Iqbal masih tetap relevan hingga kini. Nyatanya para
pendeta Kristen di Barat masih terus menyesali “spirituality has gone to the East”. Barat
memang materialistis, individualistis dan mematikan rasa belas kasih dan persaudaraan
antar manusia, kata Iqbal. Maka ia kemudian berpesan:

“Wahai penghuni negeri-negeri Barat, alam milik Tuhan ini bukan toko.

Yang kau anggap barang berharga akan terbukti bernilai rendah.

Peradaban anda akan bunuh diri dengan pisau anda sendiri.

Sarang yang dibangun di atas dahan yang rapuh tidak bertahan lama.”

Bait terakhir itu ia ulangi lagi dalam Bang-i-Dara “Peradaban yang hanya
berdasarkan kapitalisme tidak akan berumur panjang”. Pasalnya tentu, karena kekurangan
asas moralnya dan lack of wisdom.

Sejalan dengan kegelisahan Goethe, pesan Iqbal dialihkan ke Karl Marx (1818-
1883). Iqbal kagum pada gagasan ekonomi Marx. Karena terlalu kagum, ia menyebut Marx
sebagai “nabi” tanpa wahyu”. Orang seperti Marx boleh jadi “hatinya beriman tapi otaknya
kafir”. Karena itu, pesan Iqbal, baiknya Marx kembali kepada agama dan nilai-nilai
spiritual. Pesan itu secara puitis dituangkan dalam Javid Namah “Orang Barat kehilangan
visi tentang surga. Mereka berburu mencari spirit murni dari perut.”

65
Iqbal pun berpesan kepada Nietzsche (1884-1900). Nietzsche adalah pemikir
cengeng. Ia merintih bagai orang tua dan menangis cengeng seperti anak kecil. Ketika
pikirannya buntu ia menangis “where is man”. Siapa yang bisa saya “orangkan”. “Aku
perlu guru (master)”, katanya. Master yang bisa membimbing jiwa. Sayangnya teriakannya
tidak bisa memanggil orang semerdu azan, dan tidak mampu mengusik telinga sekuat
musik rock. Tangisan Nietzsche adalah nyanyian spiritual yang tidak lagi digubris di Barat.
Mencari guru spiritual di Barat hanyalah utopia.

Anehnya, dalam kesunyian spiritualnya dan kebuntuan intelektualnya Nietzsche


menawarkan gagasan Superman. Iqbal pun segera tahu, gagasan itu pinjaman dari literatur
Islam atau Timur. Sayangnya baju Superman itu tidak berlabel S (baca: Spiritualisme), tapi
M (baca: Materialisme). Superman “ciptaannya” hanyalah makhluk biologis yang tanpa
moral dan spiritual.

Nietzsche hanya membuang tenaga dan waktu saja, kata Iqbal. Gagasan Superman,
tanpa melibatkan realitas khudi (Tuhan) adalah omong kosong. Pancaran sinar matanya
hanya dapat menembus dimensi fisik. Konsepnya hanya setingkat kemanusiaan (nasut).

Masih ada dua tingkat lagi yang belum dilalui: realisasi diri dalam konteks sosial
dan kesadaran ketuhanan (lahut). Iqbal pun gregetan: “Kalau orang Barat itu (maksudnya
Nietzsche) masih hidup hari ini, tentu aku akan menjelaskan tingkat Kesadaran Ketuhanan
ini”. Mestinya Superman diganti dengan Insan Kamil, kombinasi dari kesadaran ketuhanan
(lahut) dan kemanusiaan (nasut).

Masih soal manusia, Iqbal juga berpesan kepada kaum Feminis. Gerakan wanita
modern ini, kata Iqbal, memisahkan wanita dari tanggungjawab biologisnya. Peranan
tertinggi wanita itu adalah ibu bangsa.

66
Tapi wanita modern terlanjut menabur benih individualisme. Kodrat kewanitaan
dikorbankan untuk mengisi perut. Ini sama saja dengan bunuh diri, lanjutnya. Hasilnya
wanita Barat hanya memiliki kebebasan dan sanjungan. Sementara wanita Timur juga
memiliki kebebasan tapi dengan segala kehormatan dan penghargaan (with respect and
honor). “Barat tidak memahami wisdom dibalik kerudung wanita Timur”, katanya.

Jadi, benarkah wisdom selalu datang dari Timur?

Rabindranath Tagore peraih hadiah Nobel sastra dari India membenarkan. Kata bijak
“Cintailah musuhmu” diucapkan Nabi dari Timur. ”Taklukkan kemarahan dengan
kesabaran, kejahatan dengan kebaikan” juga wisdom Nabi yang lain dari Timur. Tapi kata-
kata “Kenali Musuhmu”, vini, vidi, vici, we are the super power dan sebagainya keluar dari
mulut orang Barat.

Tapi Tagore tidak selugas Iqbal. Ia sering menyampaikan pesan dari Timur ke
Barat, Tapi ia seperti ragu apakah Barat akan mendengar pesan-pesannya. Di Jerman ia
pernah menulis: “Namaku matahari. Hingga kini aku hanya menyinari Timur. Kini sang
matahari beranjak ke Barat. Untuk melihat apakah ia dapat menyinari negeri-negeri itu,
sehingga mereka mengalihkan pandangan kepadanya, Yang tidak mempedulikan Timur
atau Barat.

Tagore tidak punya rasa like dan dislike kepada Barat, ia malah tidak peduli Timur
atau Barat. Orang Barat yang bijak mestinya juga begitu. Orang Timur yang bijak malah
menegur Barat, seperti tangan Musa menegur Fir’aun. Hanya orang Timur yang “tolol” dan
tidak tahu Timur akan membenci Timur. Persis seperti kata Gai Eaton, dalam King of
Castle: The core of all stupidity is lack of self knowledge.

67
Goethe dan Tagore sama bijaknya. Tagore tidak peduli Timur atau Barat, Goethe
menganggap Timur dan Barat sama-sama milik Tuhan. Ia menulis:

Gottes ist der Orient,


Gottes ist der Okzident.

Tuhan adalah pemilik Timur. Tuhan adalah pemilik Barat. Luar biasa! Orang
mungkin terperangah dengan diktum Goethe ini. Tapi A. Dasgupta penulis buku Goethe
and Tagore, segera tahu ternyata Goethe diam-diam memplagiat ayat al-Qur’an, wa lillaahi
al-mashriq wa al-magrib. Hanya saja pada bait selanjutnya Goethe menambahi “The
Northland and the Sotherrn land, Rest in the quiet of His hand”. Masalahnya, Barat itu
milik Tuhan tapi Barat sendiri tidak memiliki Tuhan.

Jadi, benarkah wisdom selalu datang dari Timur?

Benar!, Kalau setuju bahwa Timur (syarq) adalah tempat terbit dan Barat adalah tempat
tenggelam (gharb). Faktanya semua agama terbit dari Timur, tapi ketika di Baratkan
(seperti Kristen) ia justru tenggelam. Mungkin pengakuan Hakim Agung Amerika Serikat
tahun 70an William O. Douglas seperti membenarkan kata orang berjanggut di Leicester itu
“One great contribution of the East to the West is charity or love, as epitomized by
Muhammad….”. itulah hikmah atau wisdom itu.

68
PLURALISME DAN GEREJA
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

"Our goal is a Christian nation. We have a Biblical duty, we are called by God, to
conquer this country. We don't want equal time. We don't want pluralism." Randall Terry,
Founder of Operation Rescue.

Jika Christian Nation diganti Daulah Islamiyah, dan Biblical Duty diganti Jihad dan
God ditukar Allah, pasti penulisnya jadi buronan. Dalam standar buku When Religion
Become Evil karya Charles Kimbal, Randall dan agama Kristen sudah tentu masuk kategori
agama jahat (evil) dan melanggar HAM.

Jika Randall pernah membaca tulisan Akbar S. Ahmed tahun 90an bahwa
“Postmodernisme dipicu oleh semangat pluralisme”, berarti Randall tengah melawan arus
kebudayaan Barat postmodern. Sebab ia pasti tahu bahwa pluralisme menjadi ordo di
zaman postmo. Padahal di Barat siapa melawan faham ini, termasuk Randall pasti dapat
stigma intoleran, mungkin juga teroris.

Sudah jamak postmodernisme lahir sebagai kemurkaan terhadap modernisme dan


kejengkelan terhadap nilai dan kebenaran (nihilisme). Pluralisme menurut Peter Berger,
(1967) merupakan alternatif pengganti sekularisme yang telah gagal di dunia Islam.

Kalau al-Attas menganggap sekularisme sebagai program, kita bisa yakin


pluralisme adalah proyek postmodernisme. Dilaksanakan dengan dana, strategi dan agen-
agen untuk setiap Negara dan agama. Dipopulerkan oleh tokoh dan didukung tokoh
populer. Dipromosikan pada dua wilayah sekaligus yakni sacred, dan profane.

Tidak mudah tapi ini proyek peradaban. Karena itu makna pluralisme dibuat
ambigu. Misi umumnya adalah memberangus fundamentalisme, persis seperti postmo. Tapi
makna istilahnya dibuat bersayap. Terkadang bermakna toleransi dan disaat lain berarti
relativisme.

69
Tapi kalangan agamawan Kristen telah mencium trik ini. Robert E. Regier &
Timothy J. Dailey misalnya dalam Religious 'Pluralism' or Tolerance?", sudah menaruh
curiga. Menurutnya, banyak orang hari ini yang dibingungkan oleh istilah toleransi
keagamaan tradisional Barat dengan pluralisme agama.

Pluralisme agama berarti semua agama sama-sama valid. Jika demikian, lanjutnya,
maka akan terjadi relativisme moral dan ketidakberaturan etika (ethical chaos). Kesan Rick
Rood, seorang tokoh Katholik lainnya, juga sama “Dalam pluralisme agama semua agama
adalah sama-sama benarnya sebagai jalan menuju Tuhan”.

Bahkan John Stott, teolog Anglican (dalam interview tahun 1998) tidak hanya
curiga. Ia menuduh target pluralisme pada akhirnya adalah melarang penyebaran agama,
khususnya Kristen (evangelisme). Sudah tentu trik ini tidak dipahami oleh para blind
supporter pluralisme. Padahal diantara narasumber mereka yaitu Diana L. Eck, pimpinan
proyek pluralisme Amerika, tidak menafikan sayap relativisme itu. Menurutnya agama-
agama dan pandangan hidup sekuler adalah sama benar dan validnya.

Benar jika dilihat dari dalam kulturnya sendiri. Untuk itu, kata Diana L. Eck., dalam
The Challenge of Pluralism, pluralitas harus digandengkan dengan pluralisme. Pengakuan
terhadap pluralitas agama-agama tidak cukup, harusnya juga mengakui realitas kebenaran
agama-agama, tegasnya.

Kini makna toleransi dan relativisme dalam pluralisme telah dibumikan menjadi
makna sosiologis dan teologis. Tapi ini justru merungsingkan pihak gereja. Dr. Dawe
Robert L. Dabney dalam Christian Century May 12, 1982 menulis bahwa gaung pluralisme
telah memasuki ruang-ruang gereja. “Namun pemahaman kita cenderung sosiologis
daripada teologis” tulisnya.

Tapi secara sosiologis sekalipun, menurut profesor teologi di Union Theological


Seminary, Richmond, Virginia itu masih terdapat sisi negatifnya. Negatifnya gereja harus
menerima berbagai pandangan baik konservatif ataupun liberal, yang saleh atau yang
brengsek, feminis atau tradisionalis, aliran kiri atau kanan. Artinya nanti aliran setan
sekalipun harus ditolerir.

70
Jadi sebenarnya mendukung pluralisme sosiologis juga masih riskan secara teologis.
Orang diluar gereja merasa aman dari upaya penyingkiran. Tapi secara teologis mengakui
keragaman kebenaran termasuk ateisme justru bertentangan secara teologis dengan gereja
dan agama manapun.

Itulah sebabnya uskup pertama Baltimore Dr. Dawe John Carroll bingung, jika
gereja bersikap terlalu eksklusif Kristen menjadi tidak laku di pasaran yang penuh
persaingan. Jika bersifat inklusif atau pluralis maka berarti mengakui semua sebagai sama-
sama benar adanya. Ini masalah.

Namun mereka tidak sadar dampak sosial ternyata tidak sebesar konsekuensi
religius. Sebab ternyata para peneliti menemukan bahwa pluralisme agama melemahkan
keterlibatan masyarakat dalam agama. Penelitian Finke dan Stark (1988) menyimpulkan
bahwa pluralisme menghilangkan kegairahan beragama.

Ketika Negara atau lembaga publik tidak lagi mengobarkan kebaikan suatu agama,
maka pemeluk agama-agama itu akan kehilangan kualitas atau intensitas keimanan atau
kepercayaan pada agamanya. Akibatnya, keterlibatan masyarakat pada agama menjadi
turun. Semakin pluralis seseorang semakin rendah semangatnya pergi ke gereja, begitulah
simpul Finke dan Stark.

Lebih jeli lagi adalah kesimpulan Kenneth R. Samples, Abad dua puluh telah
membawa tantangan yang tidak ada duanya dalam sejarah Kristen. Pada abad ini relevansi
Kristen dan kebenarannya yang tertinggi telah dipertanyakan untuk pertama kalinya.
Penghinaan terhadap klaim kebenaran Kristen yang sentral datang dari dua kelompok
berbeda: humanis sekuler yang ateis dan suasana pluralisme agama yang terus berkembang
(The Challenge of Religious Pluralism, Christian Research Journal)

Kesimpulan Sensus Olson and Hadaway (1998) di Kanada juga sama. Pluralisme
menggerogoti semangat masyarakat dalam kegiatan keagamaan di Amerika Utara. Stark
dan Bainbridge (1987) juga mencatat ketika seseorang berbeda pendapat tentang (ajaran)
suatu agama, maka salah satunya akan berkurang keimanannya. Tapi anehnya, Berger,

71
salah seorang konseptor pluralisme, berkesimpulan bahwa secara kognitif pluralisme agama
telah menjadikan individu sulit mengimani agama tertentu.

Selain itu kesimpulan Joseph M. Mcshane, S.J., Dosen religious studies di


LeMoyne College di Syracuse, New York menarik dicermati. Dalam masa 200 tahun
gereja-gereja Amerika menikmati “karunia” pluralisme tapi pada kurun waktu 40 tahun
terakhir, gereja akhirnya harus menanggung efek pluralisme yang merusak. Kini di
Amerika orang sulit membedakan antara penganut Katholik dan orang awam.

Mengamati situasi diatas Gregory Koukl, rekan John Scott menjadi marah dan
emosional mirip Randall. Dengan tegas dan blak-blakan ia mengatakan “Saya rasa konsep
pluralisme agama masa kini adalah bodoh (stupid). Konsep bodohnya adalah ide bahwa
semua agama pada dasarnya sama-sama benar”. Emosinya tercermin dari serapah dalam
bahasa informal Amerikanya That is just flat out stupid.

72
KOMUNISME
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Di Barat ketika Katolik tidak bicara kehidupan di dunia, Protestan mulai menyoal
"Mengapa agama tidak menjamin kemakmuran hidup". Mereka pun bekerja keras untuk
hidup makmur. Hidup makmur tidak cukup, makmur harus dijamin oleh kapital yang besar
dan bertahan lama. Mereka pun terbukti sukses. Max Weber mencatat, bahwa ternyata di
abad ke 16, di Jerman, kapitalis dan pengusaha besar serta pekerja yang terampil di
perusahaan-perusahaan modern adalah kaum Protestan.

Jadi kapitalis-kapitalis itu hanya ingin hidup makmur. Tapi makmur ternyata perlu
sistim dan kekuasaan yang melibatkan masyarakat. Dari sini sistim sosial, sistim pasar,
sistim pemerintahan pun berkembang bersama kapitalisme. Singkatnya lahirlah kapitalisme
sebagai sistim ekonomi dan sosial. Tujuan akhirnya kemakmuran.

Kemakmuran gaya kapitalisme bukan tanpa cacat. Maka pada awal abad ke 19
lahirlah gerakan sosialisme. Robert Owen (1771-1858) di Inggris dan Saint Simon (1760-
1825) di Perancis adalah diantara perumusnya. Ide dasarnya tetap bagaiman hidup makmur.

Tapi makmur ala sosialis mengutamakan kebersamaan. Sistim dikontrol dan


dicengkeram penguasa. Pribadi dikalahkan oleh rakyat dan buruh. Sosialisme pun diikuti
oleh komunisme. Paham yang dicetuskan oleh Karl Marx ini memusuhi kapitalisme dan
segala sistimnya. Kapitalis-kapitalis itu dianggap menindas kaum buruh.

Pimpinan Negara adalah borjuis dan kaum buruh adalah proletar. Keduanya
diteorikan sebagai musuh abadi. Jika kapitalis bersaing dengan sistim pasar bebas, komunis
melawan dengan cara apapun. Jika kapitalis menciptakan persaingan dengan cara kejam,
komunis tidak kalah kejamnya menciptakan konflik dan jika perlu pertumpahan darah
untuk mencapai tujuan.

Jika kapitalis tidak lagi mementing kan Tuhan, kaum komunis mengingkari adanya
Tuhan. Jika kapitalis dengan sis tim ekonominya menciptakan masya rakat elitis, komunis

73
menciptakan masya rakat tanpa kelas. Masalahnya, kapitalisme menghasilkan pertumbuhan
ekonomi tapi melupakan pemerataan. Sedangkan komunisme mengobesikan pemerataan
tapi tidak memikirkan partumbuhan.

Kini kapitalisme menguasai sistim ekonomi Negara-negara Eropah dan bahkan


sistim ekonomi dunia. Namun, kesejahteraan dan kemakmuran yang dibawa sistim ini
ternyata hanya dinik mati oleh segelintir orang. Sistim eko nomi kapitalis ternyata
berdampak buruk pada tata sosial-politik. Persaingan pasar berdampak pada persaingan
politik dan persaingan politik-ekonomi berujung pada pertumpahan darah pula.

Sedangkan komunisme sebagai sistim social ekonomi, belum memberi kan apa-apa
kepada rakyat yang diperjuangkannya. Obsesi untuk bisa makmur bersama gagal. Hampir
semua Negara komunis adalah miskin (proletar), sedang kan para pemimpinnya ternyata
tidak beda dari borjuis-borjuis kapitalis.

Cita-cita ideologi komunis adalah membela rakyat kecil. Tapi di negerinegeri yang
rakyatnya telah makmur, komunis kehilangan misinya. Dalam kondisi seperti ini
perjuangan komunis bukan lagi membela rakyat lemah, tapi menghancurkan kapitalisme.

Menghancurkan kapitalisme tidak perlu menunggu hingga ia matang, kata Lenin,


tapi setiap ada kesempatan kaum buruh harus merebut kekuasaan. Perebutan kekuasaan
ujung-ujungnya adalah pertumpahan darah. Kapitalisme dan komunisme sama-sama anyir
berbau darah.

Diakui atau tidak kapitalisme telah terbukti membawa kemakmuran materi lebih
baik dari komunisme. Namun, ia telah gagal membawa sistim sosial-po litik yang
membawa ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani. Dengan kapitalisme dunia semakin tidak
aman dan damai.

Jika komunisme ingin menggantikan peran kapitalisme dalam memakmurkan


rakyat, maka komunisme akan mengganti kemakmuran dengan pemerataan. Pemerataan
tidak akan menghasilkan kemakmuran. Jika komunisme tidak mampu memberi
kesejahteraan dan kemakmuran material kepada rakyat du nia, bagaimana mungkin dengan
atheismenya ia akan menjanjikan ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani.

74
Di banyak negeri Islam, para tokohnya mengagumi sosialisme. Mereka berteriak
seperti menemukan sesuatu "Islam adalah kiri". "Nabi adalah pelindung orang lemah", Nabi
adalah pelindung anak yatim (sosial) alias orang miskin dan ia akan bersama mereka di
sorga. Masih banyak lagi dalih untuk justifikasi kiri Islam.

Tapi orang lupa bahwa Islam bisa berbau kapitalis. Saudagar kaya (kapi talis) yang
jujur, misalnya, akan berada di surga bersama para nabi dan syuhada. Nabi pun menyukai
Muslim yang kaya dan kuat. Orang akan lengkap rukun Islamnya jika ia kaya dan mampu
membayar zakatnya.

Masyarakat dunia kini sedang meng alamai kekeringan nilai, kehausan spiritual, dan
kekosongan moral. Sistim apapun untuk mengatur kesejahteraan material, baik kapitalisme
maupun komunisme, tidak akan menyelesaikan nestapa manusia modern. Dunia mulai
menyadari ketidak mampuan kapitalis dan kegagalan komunis. Tapi mengapa Muslim
dengan secara cerdas tidak segera menjadikan Islam sebagai alternatif dari dua sistim yang
gagal itu.

--------------
Dimuat di Republika online dan ISLAMIA Republika, Kamis 19 Mei 2016.

75
ANTARA SHALAHUDDIN DAN AL GHAZALI
Dr. Adian Husaini

_________________________________________________________________

Film Kingdom of Heaven arahan Ridley Scott cukup berhasil menampilkan sosok
pahlawan Islam Shalahuddin al-Ayyubi secara lebih obyektif. Wajar, jika film yang
menampilkan sisi-sisi hitam sejarah Kristen itu memeranjatkan banyak orang di Barat.
Sebab, selama ini sosok Shalahuddin memang dipersepsikan sebagai “momok”, yang
dibenci. Jenderal Geraud, saat berhasil menaklukkan Damaskus, pada abad ke-20,
menginjakkan kakinya di makam Shalahuddin, sambil berteriak: “Saladin, wake up. We are
back!”

Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on
Today’s World, menguraikan dampak Perang Salib dalam membentuk persepsi masyarakat
Barat terhadap Muslim. Film Kingdom of Heaven mengungkap fakta yang sangat kontras
antara sikap pasukan Kristen dan pasukan Islam saat merebut Jerusalem. Tahun 1099, saat
menduduki Jerusalem, pasukan Salib membantai hampir semua kaum Muslim dan Yahudi.
Sekitar 30 ribu orang dibantai di Jerusalem, sehingga di Masjid al- Aqsha terjadi genangan
darah setinggi mata kaki. Tapi, saat Shalahuddin merebut kembali Jerusalem, ia
membebaskan kaum Kristen untuk meninggalkan Jerusalem dengan aman.

Sosok Shalahuddin, telah berabad-abad melegenda dalam tradisi masyarakat Barat.


Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya “Popular Attitudes towards Islam in
Medieval Europe” (Lihat, David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of
Islam in Medieval and Early Modern Europe, 1999), memaparkan cerita-cerita menarik
seputar legenda-legenda yang hidup di kalangan masyarakat Barat pada Zaman
Pertengahan terhadap Islam.

76
Misal, legenda tentang Eleanor of Aquitaine yang diisukan memiliki affair dengan
Shalahuddin al-Ayyubi, saat ia menemani suaminya, Louis VII, dalam Perang Salib II. Ada
pula legenda tentang Shalahuddin yang dikabarkan merupakan keturunan dari anak
perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga, legenda bahwa Shalahuddin telah
dibaptis pada akhir hayatnya.

Apa pun persepsi Barat tentang Shalahuddin, bagi kaum Muslim, Shalahuddin al-
Ayyubi dipandang sebagai pahlawan. Hingga kini, banyak orang Muslim bangga memberi
nama anaknya “Shalahuddin”. Kisah-kisah kepahlawanan Shalahuddin, Muhammad al-
Fatih, dan penguasa-penguasa (umara) Muslim lainnya, telah memberikan inspirasi kepada
banyak generasi Muslim, bahwa jalan kebangkitan umat Islam adalah dengan menunggu
dan berusaha menghadirkan seorang pemimpin politik kenegaraan. Bahkan, terkadang,
harapan itu begitu besar, saat Negara dan masyarakat dalam kondisi terpuruk, banyak yang
berharap hadirnya pemimpin baru akan memberikan perubahan besar dalam kehidupan
mereka. Harapan itu sering kali berakhir sia-sia. Pemimpin baru yang tampil tak mampu
berbuat banyak, atau bahkan seringkali menunjukkan kualitas jauh lebih rendah dari pada
citra yang dimunculkan saat kampanye pemilihan kepemimpinan negara.

Peran Ulama

Kisah kebangkitan umat Islam dalam Perang Salib – setelah terpuruk dan dibantai
Pasukan Salib dari Eropa – bisa menjadi pelajaran penting bagi umat Islam saat ini.
Kebangkitan umat Islam ketika itu terjadi bukan melalui hadirnya seorang pemimpin hebat
seperti Shalahuddin al-Ayyubi, tetapi justru terjadi melalui kerja keras para ulama – melalui
madrasah-madrasah – yang berhasil melahirkan satu generasi yang hebat, yaitu “Generasi
Shalahuddin” (Jiilu Shalahuddin). Kisah kebangkitan itu dipotret dan dianalisis dengan baik
oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-
Hakadza ‘Aadat al-Quds. Buku ini memaparkan peran ulama- ulama seperti Imam al-
Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan sebagainya, dalam mendidik dan melahirkan
generasi Shalahuddin tersebut.

77
Peran Imam al-Ghazali dalam kebangkitan umat Islam saat itu juga digambarkan
dalam Kitab al-Jihad yang ditulis ‘Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang
imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad
melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam
tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami
bertemu dengan al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al- Sulami adalah imam di
Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal
periode Perang Salib.

Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat
menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada
dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk
mengakhiri “degradasi spiritual” kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus
dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan
Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan
kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua,
penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah
memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami
menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan
Salib.

Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-
Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan
pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan the greater jihad (al- jihad al-akbar).
Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan
demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan
perang melawan pasukan Salib (Franks).

78
Peran al-Ghazali dalam membangun moral kaum Muslim disebutkan oleh Elisseef.
Bahwa, kelemahan spiritual di kalangan Muslim pada awal Perang Salib ditekankan oleh
al-Ghazali, yang ketika itu mengajar di Damascus. Al-Ghazali menekankan jihad melawan
hawa nafsu, melawan kejahatan, di atas jihad melawan musuh. Tujuannya adalah untuk
membantu kaum Muslim mereformasi jiwa mereka.

(The spiritual laxness existing in Islam on the eve of the Crusades was underlined
by al- Ghazali, in 1096. The illustrious philosopher who, at the time, was teaching in
Damascus, emphasized the priority of jihad of the soul, the jihad al-akbar (the major jihad)
– struggle against evil – over the jihad al-aÎghar (the minor jihad), i.e. the struggle against
infidel. His aim was to help the Muslim rediscover his soul. At this time, it was necessary
to effect the reform of morals and beliefs and to create ways of combating the various
heterodoxies existing in the very bosom of Islam).

Faktanya, sekitar 50 tahun kemudian, di masa Nur ad-Din Zengi, kaum Muslim
mampu melaksanakan jihad efektif. Elisseef mencatat: “The person who would realize the
ideal of the jihad which as-Sulami, Ghazali, and the ‘ulama of Damascus had advocated,
was Nur ad-Din.”

Titik balik Perang Salib terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim pada
539/1144, di bawah komandan Imam al-Din Zengi, ayah Nur al-Din. Dua tahun sesudah
itu, Zengi wafat, tahun 1146. Ia telah meratakan jalan buat anaknya, Nur al-Din, untuk
memimpin perjuangan melawan Pasukan Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih
kemenangan melawan pasukan Salib dan pada 549/1154 ia sukses menyatukan Syria di
bawah kekuasaan Muslim. Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat religius,
pahlawan jihad, dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur al-Din pada
569/1174, Shalahuddin al-Ayyubi, keponakan Nur al-Din, memegang kendali
kepemimpinan Muslim dalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai
pahlawan Islam yang berhasil membebaskan Jerusalem pada tahun 1187.

79
Istilah jihad, secara yuridis Islam, kemudian berkembang menjadi makna khusus,
dan telah dipahami oleh para sarjana Muslim dalam pengertian “perang” (qital). Dalam
makna khusus dalam bidang fiqih inilah, istilah jihad memiliki makna syariat. Semisal, ada
ketentuan-ketentuan hukum dimana orang yang matin dalam jihad – dengan makna qital –
diperlakukan jezanahnya sebagai syahid. Namun, memang terdapat berbagai hadith Nabi
saw yang menunjukkan berbagai jenis jihad dalam makna yang umum, seperti jihad dengan
mengeluarkan kata-kata yang benar di depan penguasa yang zalim. Begitu juga dengan
jihad melawan hawa nafsu, dengan lisan, dan harta.

Secara ringkas dapat dipahami, bahwa di masa Perang Salib, kaum Muslim berhasil
menggabungkan konsep jihad al-nafs dan jihad melawan musuh dengan baik.

Karya-karya al-Ghazali dalam soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan


berbagai jenis potensi dalam perjuangan umat, baik potensi jiwa, harta, dan juga keilmuan.
Adalah menarik, bagaimana dalam situasi perang seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat
masalah umat secara komprehensif; secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin, al-
Ghazali juga menakankan pentingnya masalah ilmu. Ia membuka kitabnya itu dengan
“Kitabul Ilmi”. Aktivitas al-Ghazali yang aktif dalam memberikan kritik-kritik keras
terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat, juga menunjukkan
kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al-Ghazali seperti berpesan
kepada umat, ketika itu, bahwa problema umat Islam saat itu tidak begitu saja bisa
diselesaikan dari faktor-faktor permukaan saja, seperti masalah politik atau ekonomi.
Tetapi, masalah umat perlu diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar, yang
dikatakan oleh Ali al-Sulami sebagai tahap “reformasi moral”. Tentu, tahap kebangkitan
dan reformasi jiwa ini tidak dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang
benar. Ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun
kepada keimanan yang benar dan juga amal yang benar. Ilmu yang salah akan menuntun
pada pehamaman yang salah. Jika pemahaman sudah salah, bagaimana mungkin amal akan
benar?

80
Jadi, dalam perjuangan umat, diperlukan pemahaman secara komprehansif terhadap
problematika yang dihadapi oleh umat Islam. Ketika itu, umat Islam menghadapi berbagai
masalah: politik, keilmuan, moral, sosial, dan sebagainya. Problema itu perlu dianalisis dan
didudukkan secara proporsional dan adil. Yang penting ditempatkan pada posisinya, begitu
juga yang kurang penting. Di situlah, al-Ghazali menulis kitab Ihya Ulumuddin, dengan
makna “Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”. Ketika itu, dia seperti melihat, seolah-
olah ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu dihidupkan. Dalam Kitabnya, ia sangat
menekankan pada aspek niat dan pembagian keilmuan serta penempatannya sesuai dengan
proporsinya.

Problema politik umat ketika itu merupakan masalah yang sangat serius. Tetapi,
problematika keilmuan dan akhlak merupakan masalah yang lebih mendasar, sehingga
solusi dalam bidang politik, tidak dapat dicapai jika kerusakan dalam bidang yang lebih
mendasar itu tidak diselesaikan terlebih dahulu. Al-Ghazali dan para ulama ketika itu
berusaha keras membenahi cara berpikir ulama dan umat Islam serta menekankan pada
pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi ulama-ulama yang jahat. Sebab,
ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya.
Nabi Muhammad saw memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini.
Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik.
Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan
fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah saw:
Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi
Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan
para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila
pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka
sesat dan menyesatkan. (HR Muslim).

81
Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan
konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari
perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama su’, atau ulama jahat. Penyimpangan dalam
bidang keilmuan tidak ditolerir sama sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan yang
kuat, secara ilmiah.

Banyak kaum Muslimin yang berpikir bahwa jika aspek politik direbut oleh gerakan
Islam tertentu, maka akan selesailah masalah umat. Pendapat ini sebagian benar. Tapi
kurang sempurna. Kekuasaan politik adalah bagian dari masalah penting umat Islam.
Sebab, ad-daulah adalah penyokong penting perkembangan agama. Bukan hanya Islam.
Tetapi, juga agama-agama lain. Agama Kristen berkembang pesat di Eropa atas jasa besar
Kaisar Konstantin yang mengeluarkan Dekrit ‘Edict of Milan’ (tahun 313) dan Kaisar
Theodosius yang menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara Romawi (Edict of
Theodosius, tahun 392). Perkembangan agama Budha juga tidak lepas dari peran Raja
Asoka. Begitu juga eksistensi dan perkembangan agama-agama lain, sulit dipisahkan dari
kekuatan politik. Sama halnya, dengan ideologi-ideologi modern yang berkembang saat ini.
Eksistensi dan perkembangan mereka juga sangat ditopang oleh kekuasaan politik.
Komunisme menjadi kehilangan pamornya setelah Uni Soviet runtuh. Sulit membayangkan
Kapitalisme akan diminati oleh umat manusia jika suatu ketika nanti Amerika Serikat
mengalami kebangkrutan sebagaimana Uni Soviet.

Tetapi, perlu dicatat, bahwa kekuasaan politik bukanlah segala-galanya. Banyak


peristiwa membuktikan, bahwa pemikiran, keyakinan, dan sikap masyarakat, tidak selalu
sejalan dengan penguasa. Di masa Khalifah al-Makmun, yang Muktazily, umat Islam lebih
mengikuti para ulama Ahlu Sunnah, ketimbang paham Muktazilah. Di masa penjajahan
Belanda, umat Islam tidak mengikuti agama penjajah, dan lebih mengikuti kepemimpinan
ulama. Banyak lagi contoh lain.

82
Karena itu, ulama dan umara memang dua tiang penyangga umat yang penting.
Kedua aspek itu harus mendapatkan perhatian yang penting. Para aktivis politik umat harus
memiliki pemahaman yang benar tentang Islam. Jika tidak, para pemimpin politik justru
bisa menjadi perusak Islam yang signifikan. Karena ketidaktahuannya, bisa saja melakukan
tindakan yang keliru. Sebagai contoh, mereka mati-matian merebut kursi kepemimpinan di
daerah atau departemen tertentu, sedangkan kemunkaran di bidang aqidah Islamiyah
dianggap sepele. Ribuan orang dikerahkan untuk berdemonstrasi karena faktor kursi
kekuasaan, tetapi tidak demonstrasi apa-apa ketika ada penyimpangan dalam aqidah Islam,
semisal kasus Ahmadiyah, penyebaran paham Pluralisme Agama, atau kezaliman yang
sangat mencolok, semisal pembangunan patung yang memakan dana rakyat milyaran
rupiah, disaat rakyat sedang dililit kesulitan hidup dan berbagai penyakit yang mematikan.

Jadi, tidaklah benar jika dalam perjuangan mengabaikan salah satu aspek
kehidupan. Tetapi, semuanya harus ditempatkan dalam proporsi dan tempatnya. Itulah yang
namanya adil. Nabi Muhammad saw memulai dakwah Islam dengan aspek ilmu,
memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang konsep-konsep dasar
dalam Islam, seperti konsep tentang Tuhan, Nabi, wahyu, adil, agama, dan sebagainya.
Pondasi pemikiran (afkar), pemahaman (mafahim), standar-standar nilai (maqayis), dan
ketundukan (qana’at), yang Islamiy ditanamkan secara kokoh oleh Nabi Muhammad saw
kepada para sahabat ketika itu. Mereka tampil sebagai sosok-sosok ulama dan cendekiawan
serta pejuang yang tangguh dalam berbagai bidang kehidupan. Bisa dilihat, bagaimana
hebatnya argumentasi Ja’far bin Abi Thalib ketika berdebat dengan Raja Najasyi dan
orang-orang kafir Quraisy Mekkah di Habsyah. Ja’far dan kaum Muslimin yang sedang
dalam kondisi terjepit meminta perlindungan kepadsa Najasyi, mampu memberikan
argumen-argumen yang canggih seputar masalah Isa a.s. yang menjadi titik sentral
kontroversi Islam dengan Kristen.

Ringkasnya, perjuangan Islam dalam menghadapi problematika yang dihadapi umat


ini, perlu memadukan dan mensinergikan berbagai aspek, yakni aspek keilmuan, kejiwaan,
harta benda, dan sebagainya. Jihad melawan hawa nafsu atau berjuang dalam bidang
keilmuan, tidak perlu dipertentangkan dengan jihad melawan musuh. Semua perlu

83
dipadukan, sebagaimana telah dilakukan di zaman Rasulullah saw, Perang Salib, dan
sebagainya, sehingga kaum Muslim berhasil mengukir kemenangan yang gemilang dalam
berbagai arena perjuangan.

Rasulullah saw bersabda: “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa


alsinatikum”. (Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, jiwamu, dan
lisan-lisanmu). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad, al-Darimi,
dengan sanad yang sangat kuat. Ibn Hibban, al-Hakim, and an-Nawawiy menyatakan,
bahwa hadits ini sahih.

Melalui hadits tersebut, Rasulullah saw menekankan pentingnya kaum Muslimin


melakukan jihad secara komprehensif, dengan menggunakan berbagai potensi yang
dimiliki, baik harta, jiwa, maupun lisan. Dalam arena perjuangan, atau arena jihad,
sebenarnya tiga aspek: harta, jiwa, dan lisan, saling terkait satu dengan yang lain.
Peperangan fisik adalah salah satu bagian dari sebuah perjuangan yang luas dan panjang
antara al-haq dan al-bathil.

Bahkan, dalam hadits lainnya, Rasulullah saw juga menekankan pentingnya jihad
melawan hawa nafsu. Rasulullah saw bersabda: “Al-Mujahid man jahada nafsahu fi- Allah
‘Azza wa-Jalla”. (Mujahid adalah seseorang yang melakukan jihad melawan hawa
nafsunya di jalan Allah). Al-Iraqiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih, dan diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi.

Jadi, dalam arena perjuangan atau arena jihad, kaum Muslim sebenarnya diminta
untuk menggabungkan seluruh kemampuan atau potensi – baik potensi jiwa, harta, maupun
lisan (intelektual) dan menempatkan masing-masing pada proporsi yang sebenarnya. Kapan
kekuatan fisik digunakan, kapan kemampuan intelektual, dan kapan potensi harta benda
diperlukan. Semua itu harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Semua
potensi jihad itu tidak bisa digunakan jika manusia dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka,
perang melawan hawa nafsu secara otomatis menjadi faktor penting dalam bentuk-bentuk
perjuangan lainnya.

84
Jika kaum Muslim mampu menggabungkan semua potensi tersebut, maka dalam
sejarahnya, kaum Muslim mampu tampil sebagai umat yang hebat, gemilang dan terbilang.
Jika potensi itu terpecah belah dan tidak teratur dengan baik, maka kekalahan menimpa
kaum Muslimin.

Peran ilmu dan ulama

Sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam ditinggali dua perkara, yang jika keduanya
dipegang teguh, maka umat Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya, yakni, al-
Quran dan Sunnah Rasululullah. Tapi, disamping itu, Rasulullah saw juga mewariskan para
ulama kepada umat Islam. Ulama adalah pewaris nabi. Ulama-ulamalah yang diamanahkan
untuk menjabarkan, mengaktualkan, membimbing, menerangi, dan memimpin umat dalam
bidang kehidupan. Banyak ulama yang mensyaratkan ‘kemampuan berijtihad’ bagi kepala
negara (khalifah).

Adalah ideal jika ulama dan umara sama-sama baik. Dalam sejarahnya, Islam akan
cepat berkembang jika ulama dan umaranya baik. Tapi, ada fase-fase dalam sejarah,
dimana salah satu dari dua pilar umat itu bobrok atau rusak. Ketika itu, keberadaan ulama
yang baik lebih diperlukan. Ketika Khalifah al-Makmun memaksakan paham Muktazilah,
para ulama Ahlu Sunnah melakukan perlawanan yang gigih. Umat selamat, dan lebih
mengikuti ulama ketimbang umara. Di zaman penjajahan Belanda, umaranya jelas rusak.
Tetapi, ulama-ulama Islam ketika itu gigih mempertahankan ad-Dinul Islam.
Alhamdulillah, meskipun Belanda berusaha sekuat tenaga menghancurkan Islam, umat
Islam lebih mengikuti ulamanya.

Maka, yang perlu diperhatikan dan dicermati, -- disamping kerusakan umara –


adalah kerusakan ulama. Lahirnya ulama-ulama yang jahil, yang tidak kapabel
keilmuannya, yang korupsi ilmu agama, yang berfatwa tanpa ilmu yang memadai, yang
akhlaknya rusak, yang cinta dunia, dan sebagainya, adalah bencana terbesar yang dihadapi
oleh umat Islam. Jika kondisi seperti ini sudah terjadi, maka umat Islam harus bersiap-siap
mengalami kebangkrutan.

85
Lebih rusak lagi jika para ulama sudah mencintai dunia, menjual agama dengan
harta benda dunia, dan yang merusak ilmu-ilmu agama dengan dalih menyesuaikan Islam
dengan tuntutan zaman.

Adalah musibah dan fitnah besar, misalnya, jika dari Perguruan Tinggi Islam justru
lahir orang-orang yang berpaham atheis atau yang gila dunia. Jika ilmu agama sudah
dirusak, maka akan lahir ulama yang rusak (ulama as-su’); yakni ulama, yang harusnya
menjadi penjaga agama, justru menjadi penghancur agama. Ketika ilmu-ilmu Islam dirusak,
maka tidak ada jalan kembali bagi peradaban Islam untuk bangkit lagi. Karena itu sangat
diprihatinkan, jika umat Islam membiarkan terjadinya serangan pemikiran yang akan
merusak ilmu-ilmu agama.

Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk tulisan Ibnul Qayyim
al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab”
dan “Besi” sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah
mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang
hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya
Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah
tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).

Penutup

Sekelumit kisah kebangkitan umat Islam di era Perang Salib tersebut bisa menjadi
pelajaran berharga bagi kita, betapa pentingnya peran ulama dalam proses kebangkitan
umat Islam. Ulama adalah pewaris Nabi. Maknanya, Nabi mewariskan perjuangannya pada
kepemimpinan ulama. Jatuh bangunnya umat terletak pada baik atau tidaknya kualitas
ulamanya. Jika ulamanya jahat atau jahil maka bencana besar menimpa umat.

Jadi, sepanjang zaman, ulama harus senantiasa ada dalam jumlah yang memadai.

86
Sebab, perjuangan Nabi tidak boleh berhenti. Ulama tidak dilahirkan dan tidak
turun dari langit. Tapi, ulama lahir dari proses pendidikan. Ironis, jika di masa penjajahan,
lembaga pendidikan Islam bisa melahirkan ulama-ulama hebat, tapi di masa kemerdekaan,
justru tidak mampu melahirkan ulama-ulama hebat pewaris Nabi. Semoga musibah itu
tidak menimpa lembaga pendidikan kita. Amin.

87
LGBT: Belajar Dari Yahudi
Oleh: Dr Adian Husaini

________________________________________________________________

Selasa (17/2), Fahira Idris, anggota DPD-RI dari Jakarta, pada acara Indonesia
Lawyers Club, di sebuah TV swasta, mengingatkan bangsa Indonesia agar tidak me
mandang remeh gerakan legalisasi LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) di
Indonesia. Ia menunjuk kasus yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Di negara adikuasa ini,
gerakan LGBT telah meraih sukses. Puluhan tahun lalu, kawin sejenis masih terlarang.
Tapi, pada 26 Juni 2015, secara resmi AS mengesahkan perkawinan sesama jenis,
mengikuti jejak 20 negara lain.

Imbauan Fahira itu patut diperhatikan. Sebab, perjalanan legalisasi perkawinan


sejenis (same-sex marriage), di AS terbilang sangat cepat. Tahun 2004, Mas sachusetts
menjadi negara bagian pertama yang mengesahkan perkawinan sejenis. Tak lama
kemudian, pada 2013, untuk pertama kalinya, Katedral Nasional AS melaksanakan
perkawinan sejenis (https:// www. cathedral.org/press/PR-60QF1- 3I0018.shtml). Awal
Juni 2015, pun, baru sekitar 30 negara bagian yang melegalkan kawin sejenis.

Sebelumnya, tahun 2003, dunia sudah digemparkan peristiwa terpilihnya Gene


Robinson sebagai Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire AS. Gene Robinson adalah
seorang pastor homo yang selama 13 tahun kawin dengan Mark Andrew. Mereka hidup
sebagai pasangan "suamiistri" secara terbuka. Itu artinya, untuk pertama kalinya seorang
pelaku homoseksual menduduki jabatan tertinggi dalam hirarki gereja selama 2000 tahun
sejarah Kristen. Padahal, secara tersurat, Bibel (Imamat, 20:13), menegaskan: pelaku
praktik kawin sejenis wajib dihukum mati.

88
Maka, di tengah perkembangan yang begitu cepat, menyusul keputusan Mah kamah
Agung AS, para tokoh Katolik AS memberikan reaksi keras. Mereka me nyerukan agar
kaum Katolik tidak menghadiri perkawinan sesame jenis. Pastor Michel Jarrel, seperti
dikutip www.cbs –news.com, menyerukan pembangkangan sipil. "In some cases civil
disobedience may be a proper response," ujarnya. Memang, hingga kini, otoritas Katolik
tertinggi di Roma (Vatikan) tetap mempertahankan doktrin perkawinan antara satu laki-laki
dengan satu wanita.

Beberapa saat sebelumnya, Paus Fran ciscus menerima sejumlah pujian dari
beberapa kelompok LGBT, ketika mengizin kan satu kelompok lesbian dan ho moseksual
dari AS untuk duduk di kursi kehormatan dalam pertemuan umum ming guan dengan Sang
Paus. Tetapi, Va tikan tetap bereaksi keras ketika negara Irlandia yang mayoritas Katolik
mengesahkan perkawinan sejenis, melalui referendum. Vatikan menyebut legalisasi per
kawinan sejenis di Irlandia itu sebagai "ke kalahan kemanusiaan" (a defeat for humanity).

Apa yang menimpa Gereja Katolik dalam kasus LGBT di sejumlah negara,
khususnya di AS, patut menjadi bahan renungan serius umat Islam Indonesia. Gereja
Katolik selama ini diakui sebagai sebuah institusi keagamaan dan politik terbesar dan tertua
di dunia. Bangsa AS, meskipun menganut sistem kenegaraan yang sekuler, tetapi rakyatnya
masih banyak yang mempertahankan nilai-nilai religius.

Sebuah buku berjudul What Americans Believe: An Annual Survey of Values and
Religious Views in the United States (Ca lifornia: Regal Books, 1991), memberikan
gambaran tingkat religiusitas rakyat AS yang masih lumayan. Terhadap pertanyaan,
"apakah kepercayaan Kristen masih relevan dengan jalan hidup anda", sebanyak 47 persen
rakyat AS menjawab "sangat setuju". Terhadap pertanyaan, "apakah Bibel adalah kata-kata
Tuhan dan secara total ajarannya adalah akurat", sebanyak 47 persen pemeluk Kristen
menjawab "sangat setuju". Lalu, terhadap pernyataan, "bahwa ada Satu Tuhan yang
Mahasuci dan Mahasempurna, yang menciptakan alam semesta dan mengaturnya,"
sebanyak 74 persen juga menjawab "sangat setuju".

89
Bahkan, jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah
"bangsa Kristen". Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: "We are a Christian
people." Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 1892, dengan
menyatakan: "This is a Christian Nation." Theo dore Dwight Woolsey, memberikan
penjelasan, mengapa AS disebut "a Christian Na tion": "In this sense certainly, that the vast
majority of the people believe in Chris tianity and the Gospel…" . Survei antara tahun
1989-1996 menunjukkan, 84-88 per sen penduduk AS mengaku Kristen. (Lihat, Samuel P.
Huntington, Who Are We? The Challenges to America's National Identity" (New York:
Simon&Schuster, 2004).

Peran Yahudi.

Bagaimana bangsa AS yang pernah menegaskan sebagai bangsa Kristen itu


kemudian bisa diubah persepsi dan sikapnya dalam kasus perkawinan sesama jenis?
Ternyata, prosesnya tidak sederhana. Pada 22 Mei 2013, Wakil Presiden AS Joe Biden
memberikan pujian kepada tokoh-tokoh Yahudi yang telah berjasa dalam mengubah
persepsi bangsa AS tentang perkawinan sejenis. Harian Israel, Haaretz menulis sebuah
berita berjudul: "Biden: Jewish leaders drove gay marriage changes". Dikatakan, bahwa,
"Vice President Joe Biden is praising Jewish leaders for helping change American attitudes
about gay marriage and other issues.

Biden says culture and arts change people's attitudes. He cites social media and the
old NBC TV series "Will and Grace" as examples of what helped changed attitudes on gay
marriage. Biden says, quote, "Think … behind of all that, I bet you 85 percent of those
changes, whether it's in Hollywood or social media, are a consequence of Jewish leaders in
the industry." Biden says the influence is immense and that those changes have been for the
good."

90
Pernyataan Joe Biden itu tidak dapat dipandang enteng. Bahwa, para tokoh Yahudi-
lah yang telah mendorong terjadinya perubahan sikap bangsa Amerika terhadap perkawinan
sejenis. Bahwa, bu daya dan kesenian adalah media yang ber hasil mengubah sikap dan
perilaku masya rakat. Ia pun menyebut peran penting me dia sosial dan satu film serial TV
"Will and Grace" di NBC-TV. Biden berani bertaruh bahwa 85 persen perubahan itu
dimainkan oleh para tokoh Yahudi yang berperan besar di Hollywood atau media sosial.

Kajian-kajian tentang dominasi peran Yahudi di AS sangat melimpah. Prof.


Norman Cantor, dalam bukunya, The Sac red Chain, menyebutkan bahwa pada 1994,
jumlah Yahudi di AS hanya tiga persen dari populasi bangsa AS. Tetapi, pengaruh mereka
setara dengan kekuatan 20 persen penduduk AS. Bahkan, Prof. Cantor me nulis, "Jews
were over represented in the learned professions by a factor of five or six."

Kemampuan dan dominasi Yahudi dalam pembentukan opini di AS tidak diragukan


lagi. Kekuatan kaum Yahudi AS adalah dalam pembentukan opini. Eugene Fisher, Direktur
Catholic-Jewish Relations, menyatakan, "If there is Jewish power, it's the power of the
word, the power of Jewish columnist and Jewish opinion makers." Ia pun menambahkan,
"And if you can shape opinion, you can shape events." Jadi, kata Fisher, jika Anda bisa
membentuk opini, maka Anda akan mampu mencipta aneka peristiwa. (Dikutip dari buku
The New Jerusalem: Zionist Power in America karya Michael Collins Piper, Washington,
DC: American Free Press, 2004).

Pengaruh tokoh-tokoh Yahudi dalam mempromosikan legalisasi perkawinan sejenis


– seperti disebutkan Joe Biden – tentu tak lepas dari proses liberalisasi pemikiran tentang
homoseksual dalam ajaran Yahudi. Dan Cohn-Sherbok, dalam bukunya, Modern Judaism,
(New York: St Martin Press, 1996, hlm. 98), mengungkapkan perkembangan pemikiran
kalangan Yahudi reformis terhadap status hukum homoseksual. Menurut mereka,
perumusan hukum-hukum Yahudi modern harus memperhitungkan aspek psikologis.

91
Homoseksual misalnya, meskipun dilarang dalam Bibel, saat ini perlu dibolehkan,
sebab saat ini manusia telah memiliki pemahaman terhadap seksualitas yang lebih
tercerahkan (a more enlightened understanding of human sexuality).

-----------
Artikel ini dimuat di Jurnal Islamia-Republika 18 Februari 2016 dan Republika Online 19
Februari 2016

92
TAMAK DUNIA: SUMBER KEHANCURAN
Oleh: Dr. Adian Husaini
_________________________________________________________________

Dalam buku populernya “The Rise and Fall of the Great Powers”, Paul Kennedy
menutup dengan bab “The United States: the Problem of Number One in Relative Decline”.
Dalam buku ini, Kennedy memaparkan tanda-tanda kemunduran Amerika Serikat: Tahun
1985, utangnya sudah mencapai 1.823 milyar USD. Defisit neracanya 202,8 milyar USD.
Tahun 2002 defisit neracanya diperkirakan telah mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS.
Dengan politik unilateralnya, ambisi kuasanya, beban yang ditanggung AS makin besar.
Duit ditebar untuk menaklukkan negara-negara lain.

Tapi, bagaimana pun, untuk sementara ini, AS masih menjadi negara terkuat. Dalam
kata-kata Paul Kennedy, “For all its economic and perhaps military decline, it remains, in
Pierre Hassner’s world, “the decisive actor in every type of balance and issue… because it
has so much power for good or evil.”

Nabi Muhammad saw menunjukkan sebuah rumus kehancuran peradaban, dalam


satu sabda beliau: "Hampir tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok mengeroyok
kamu, bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka." Seorang
sahabat bertanya: "Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?" Nabi SAW
menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu sangat banyak (mayoritas), tetapi
(kualitas) kamu adalah buih, laksana buih di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa gentar
terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan menanamkan penyakit "al
wahnu". Seorang bertanya, "Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab:
"Cinta dunia dan takut mati." (HR Abu Dawud).

Umat Islam digambarkan oleh Rasulullah SAW, ketika itu jumlahnya banyak. Tapi,
banyaknya tidak berarti, laksana buih. Sumber kehinaan itu terletak pada sikap “hubbud-
dunya”, penyakit tamak terhadap dunia. Kebangkitan dan kehinaan suatu umat atau bangsa
adalah merupakan sunnatullah. Jika umat Islam tidak kembali kepada Islam, terjangkit

93
penyakit hubbud-dunya, maka selamanya umat ini akan terus terhinakan. Pada saatnya
nanti Allah akan memusnahkan umat seperti itu dan menggantikannya dengan umat atau
generesi yang lain.

“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad dari agama Allah,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, yang Allah mencintai mereka, dan
merkapun mencintai Allah, mereka berkasih sayang kepada orang-orang mukmin, dan tidak
menghinakan diri kepada orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, dan mereka
tidak takut pada celaan orang-orang yang suka mencela.” (QS al-Maidah:54). Manusia-
manusia yang “tamak dunia” tidak memiliki sikap cinta Allah dan Rasul-Nya. Apalagi mau
berjihad di jalan Allah! Mereka hanya mementingkan syahwat dunia, mengejar dunia demi
keuntungan dan kesenangan dirinya. “Tamak dunia” menjauhkan manusia dari sikap cinta
pengorbanan yang menjadi salah satu asas kebangkitan sebuah bangsa atau peradaban.

Syekh Amir Syakib Arsalan dalam buku terkenalnya, Limaadzaa Taa’kkharal


Muslimun wa-limaadzaa Taqaddama Ghairuhum menyebutkan, bagaimana besarnya sikap
berkorban dari kaum Yahudi dan bangsa-bangsa Barat, sehingga mereka mampu
mengalahkan kaum Muslimin di berbagai belahan dunia. Pemuda-pemuda Italia dulu, tulis
Syaikh Arsalan, merasa malu jika sampai umur 20 tahun masih ada di kampungnya.
Mereka meminta izin untuk pergi berperang melawan umat Islam. Bangsa Yahudi mampu
menghimpun dana yang sangat besar dan ribuan milisi berani mati demi merebut Tanah
Palestina.

Tengoklah sejarah! Mengapa kaum Muslim hancur di Andalusia setelah hampir 800
tahun (711-1492) memimpin negeri ini. Mengapa Kota Jerualem bisa diduduki Pasukan
Salib (tahun 1099) yang jauh lebih rendah tingkat peradabannya? Mengapa bangsa Mongol
yang sangat biadab dan barbar bisa menaklukkan Baghdad tahun 1215? Bisa disimpulkan:
“tamak dunia” adalah sumber utama kehancuran peradaban Islam saat itu.

94
Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-
Hakadza ‘Aadat al-Quds, dengan tepat menggambarkan kondisi moralitas penguasa, ulama,
dan masyarakat, di saat-saat kejatuhan Kota Suci Jerusalem di tangan pasukan salib.
Penyakit tamak dunia merajalela, bukan hanya di kalangan penguasa, tetapi juga di
kalangan ulama. Umat Islam mengabaikan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Mereka
membiarkan kemunkaran merajalela, karena sibuk memikirkan kejayaan dan keuntungan
pribadi dan kelompoknya. Satu lagi, penyakit kronis ketika itu: umat Islam terjebak dalam
perpecahan antar-mazhab yang sangat parah. Mereka tidak peduli dengan Islam, dan hanya
sibuk memikirkan kejayaan kelompoknya dengan mencaci-maki kelompok lainnya.

Tokoh Islam, Mohammad Natsir, jauh-jauh sebelumnya pernah mengingatkan


bahaya ”tamak dunia” yang sedang mengancam negara Indonesia. Pada 17 Agustus 1951,
hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, Mohammad Natsir menulis sebuah artikel berjudul
“Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya
ini, Natsir menggambarkan hilangnya budaya cinta pengorbanan pada manusia Indonesia
pasca kemerdekaan: “Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya
terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa
sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-
citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung
pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah
dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka
berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka
mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil
keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi.
Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.”

Di tahun 1980-an, Natsir juga pernah berpesan kepada para sejumlah cendekiawan
Muslim yang mewawancarainya: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat
Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia...Di negara kita, penyakit cinta
dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa
revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat).

95
Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya,
sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang
terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di
Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang
cukup serius.”

Nabi Muhammad saw sudah mengingatkan bahaya ”tamak dunia”. Sejarah sudah
membuktikan. Kini, kita bisa menilai: apakah bangsa Indonesia – bangsa Muslim terbesar
di dunia ini -- sedang menuju proses kebangkitan atau sedang menggali kuburnya sendiri?

Wallahu a’lam bil-shawab.

96
“Islam Ragu-ragu” versi Rektor UIN Yogya
Oleh: Adian Husaini
_________________________________________________________________

Di kalangan akademisi muslim Indonesia, nama Prof. Dr. M. Amin Abdullah tidak
asing lagi. Selain menjabat sebagai rektor Universitas Islam Negeri Yogyakarta (dulunya
IAIN Yogya), dia juga pernah menjabat posisi penting di PP Muhammadiyah, sebagai
Ketua Majlis Tarjih dan Pemikiran Islam. Tetapi, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45
di Malang, tahun 2005, namanya terpental dari jajaran pimpinan pusat Muhammadiyah.

Dia berlatarbelakang pendidikan bidang filsafat Islam. Lulus PhD dari Department
of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU),
Ankara, Turki, tahun 1990. Sebagai akademisi dan penulis, tulisan Amin Abdullah tersebar
di berbagai buku, jurnal, dan media massa. Bidang yang sering ditulisnya terutama masalah
filsafat dan epistemologi Islam. Tapi, karena sangat gencar mempromosikan penggunaan
hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an, dia kadang kala juga dijuluki “Bapak
Hermeneutika Indonesia”.

Komitmennya dan kegigihannya dalam mempromosikan hermeneutika sebagai


metode “tafsir baru” pengganti metode tafsir al-Quran yang klasik, tampak dalam berbagai
tulisannya tentang hermeneutika. Di UIN Yogyakarta, penggunaan metodologi
hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an memang sangat digalakkan, sampai-sampai seorang
mahasiswa yang bermaksud mengritik metode ini mengaku “akan membentur tembok”.

Disamping mempromosikan hermeneutika, Amin Abdullah tentu saja harus


melakukan kritik terhadap metode tafsir Al-Qur’an. Ia menulis dalam sebuah pengantar
untuk buku tentang hermeneutika, bahwa “tafsir-tafsir klasik Al-Quran tidak lagi memberi
makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.”

97
Penulis buku itu pun dengan semena-mena mengecam tafsir-tafsir klasik, tanpa data
dan analisis yang memadai, dimana letak kekurangan dan ketidakberesan tafsir-tafsir
klasik. Ditulis dalam buku ini: “Apalagi sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang
diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan status quo, dan
kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya.” (Lihat, Ilham B. Saenong,
Hermeneutika Pembebasan, 2002, hal. xxv-xxvi, 10).

Kecurigaan terhadap mufassir dan para ulama Islam juga tak luput dari goresan
tangan Abdullah. Di dalam tulisannya yang lain, Amin Abdullah mengajak pembaca untuk
mencurigai ilmu-ilmu keagamaan, tanpa membedakan antara ilmu keagamaan dalam Islam,
dengan ilmu keagamaan yang muncul dalam tradisi peradaban Barat yang berlatar belakang
sejarah Yahudi dan Kristen. Ia tulis, misalnya:

“Dari studi empiris-historis terhadap fenomena keagamaan diperoleh masukan


bahwa agama sesungguhnya juga sarat dengan berbagai “kepentingan” yang menempel
dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri.” (Pengantar buku
Metodologi Studi Agama, 2000, hal. 2)

Bagi mahasiswa baru dalam bidang studi Islam, pernyataan-pernyataan profesor dan
rektor sebuah kampus berlabel Islam semacam itu, bisa jadi melenakan. Sebab, kata-kata
yang ditebar cukup halus. Para ulama dan ilmuwan keagamaan, apa pun agamanya, adalah
manusia biasa. Karena itu, mereka pasti punya kepentingan dengan ilmu-ilmu nyang
disusunnya.

Sepintas, kata-kata Amin Abdullah itu logis. Padahal, jika didalami, ada kekeliruan
mendasar dalam cara berpikir, karena metodologi “gebyah uyah” (serampangan) dalam
menyamakan antara tradisi keilmuan Islam dengan tradisi keilmuan Barat.

98
Di dalam Islam, ada tradisi penyatuan antara ilmu dengan amal. Ada konsep
“fasiq”, dimana seorang yang –meskipun berilmu tinggi– tetapi berbuat jahat, dapat terkena
ketegori fasiq, dan karena itu, periwayatan dan beritanya perlu diklarifikasi. Jika dia fasiq,
maka sebagian ulama melarangnya menjadi saksi di dalam pernikahan atau pengadilan.

Di dalam ilmu hadis, ada ilmu Jarah wa Ta’dil, yang secara terbuka membeberkan
sifat-sifat buruk perawi hadits, seperti pembohong, dan sebagainya. Karena itu, di dalam
tradisi keilmuan Islam, kita akan menjumpai ilmuwan-ilmuwan yang sangat tinggi ilmunya,
sekaligus juga sangat shalih dalam beragama. Itu bisa kita jumpai pada Imam-imam
mazhab, Imam Bukhari, Imam al-Ghazali, Ibnu Taymiyah, dan sebagainya. Mereka bukan
hanya ilmuwan, tetapi juga mujahid dan ahli ibadah.

Tradisi seperti itu tidak terjadi dalam sistem keilmuan di Barat yang sekular. Di
dalam tradisi ilmu yang berakar pada tradisi keilmuan Yunani, ada pemisahan antara orang
pintar dan orang saleh. Banyak ilmuwan pintar dan dihormati oleh masyarakatnya,
meskipun amalnya bejat. Seorang ilmuwan di Barat, tetap dianggap sebagai ilmuwan yang
dihormati, meskipun tidak jelas agamanya dan amalan-amalan agamanya.

Paul Johnson, dalam bukunya “Intellectuals” (1988), memaparkan kehidupan dan


moralitas sejumlah ilmuwan besar yang menjadi rujukan keilmuan di Barat dan dunia
internasional saat ini, seperti Ruosseau, Henrik Ibsen, Leo Tolstoy, Ernest Hemingway,
Karl Marx, Bertrand Russel, Jean-Paul Sartre, dan beberapa lainnya. Ruosseau, misalnya,
dicatatnya sebagai “manusia gila yang menarik” (an interesting madman).

Pada tahun 1728, saat berumur 15 tahun, dia bertukar agama menjadi Katolik, agar
dapat menjadi peliharaan Madame Francoise-Louise de Warens. Ernest Hemingway,
seorang ilmuwan jenius, tidak memiliki agama yang jelas. Kedua orang tuanya adalah
pengikut Kristen yang taat. Istri pertamanya, Hadley, menyatakan, ia hanya melihat
Hemingway sembahyang selama dua kali, yaitu saat perkawinan dan pembaptisan anaknya.

99
Untuk menyenangkan istri keduanya, Pauline, dia berganti agama menjadi Katolik
Roma. Kata Johnson, dia bukan saja tidak percaya kepada Tuhan, tetapi menganggap
‘organized religion’ sebagai ancaman terhadap kebahagiaan manusia. (He not only did not
believe in God, but regarded organized religion as a menace to human happiness).

Sebagai ilmuwan, seyogyanya Rektor UIN Yogya itu memberikan klarifikasi dan
penjelasan yang bertanggung jawab terhadap tulisannya, bahwa “Dari studi empiris-historis
terhadap fenomena keagamaan diperoleh masukan bahwa agama sesungguhnya juga sarat
dengan berbagai “kepentingan” yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu
keagamaan itu sendiri.”

Jika dia katakan, agama –termasuk Islam– adalah sarat dengan berbagai
kepentingan yang menempel pada ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan, maka dia
harus menjelaskan, apa kepentingan Sayyidina Utsman menghimpun Mushaf Al-Qur’an,
apa kepentingan Imam Bukhari mengumpulkan dan menyeleksi hadits-hadits Nabi, apa
kepentingan Imam Syafii menulis Kitab Risalah? Apakah kita harus mencurigai tindakan
keilmuan sahabat-sahabat Rasululullah dan ulama-ulama Islam yang begitu besar jasanya
terhadap pengembangan keilmuan Islam, sehingga kita harus menyatakan, bahwa mereka
semua pasti punya kepentingan.

Apakah kita tidak bisa berprasangka baik terhadap mereka, dan mengakui
keikhlasan dan jasa mereka yang luas biasa dalam menyusun ilmu-ilmu agama
(ulumuddin)?

Metode studi Islam yang –maaf, sok– bersikap kritis ini bisa pada akhirnya
berdampak kepada keragu-keraguan pada para pelajar dan mahasiswa. Mereka yang belajar
Islam dengan cara-cara seperti ini, bukan tidak mungkin akan terjebak pada keraguan dan
ketidakyakinan terhadap ajaran agamanya sendiri.

Akhirnya, dari metode ini bisa lahir sarjana-sarjana yang justru rajin menghujat
agamanya, ragu dengan kebenaran agamanya, dan bahkan memusuhi agamanya. Orang
yang belajar ushuluddin (dasar-dasar agama), bukannya semakin yakin dengan agamanya,
tetapi bisa jadi malah “ucul”-“din”nya (agamanya lepas).

100
Tidak sedikit para sarjana syariah lulusan perguruan tinggi Islam, yang akhirnya
justru gigih menentang dan aktif menulis artikel yang menghancurkan dan menghina
syariat Islam. Kita sungguh tidak habis mengerti, misalnya, bagaimana dari sebuah kampus
berlabel Islam, seperti UIN Yogya, bisa muncul tesis master yang justru menghujat Al-
Qur’an, dan menyatakan, bahwa “Mushaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profan
dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya,
yang masih dalam proses pencarian.

Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa
ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.” (Lihat
buku: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan” (2004), hal. 123) Penulis tesis itu dan juga
para dosen serta rektor kampus itu seolah-olah tenang-tenang saja dengan fenomena
semacam itu, dan tidak takut dengan akibat yang ditimbulkan jika ada orang yang
terpengaruh dengan ide sesat itu.

Apakah mereka tidak takut dengan dosa jika ada yang kemudian meragukan
kebenaran Al-Qur’an, karena membaca tesis yang sudah dibukukan itu? Jika orang sudah
meragukan kebenaran Al-Qur’an, lalu bagaimana dia bisa beriman dan meyakini rukun
iman yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti Malaikat, Hari Kiamat, dan sebagainya?

Penanaman keragu-raguan terhadap Islam bagi mahasiswa Muslim tampaknya kini


banyak dilakukan oleh para dosen-dosennya sendiri. Dan itu bukan hal yang aneh, jika kita
menyimak tulisan lain dari Amin Abdullah, Sang Rektor. Dalam pengantarnya untuk
sebuah buku berjudul “Hermeneutika Al-Quran” (2005), Amin secara gamblang menulis,
bahwa:

“Dengan sangat intensif hermeneutika mencoba membongkar kenyataan bahwa


siapa pun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah
“terbatas”, “parsial-kontekstual pemahamannya”, serta “bisa saja keliru”.

101
Cara berpikir Amin seperti itu sama saja dengan membongkar sistem keilmuan
dalam Islam. Sebab, tidak ada lagi pemikiran yang bersifat pasti dan qath’iy. Tidak ada
tafsir yang tetap dan pasti kebenarannya. Semua terbatas dan bisa saja keliru. Juga, tidak
ada lagi konsep ‘tawatur’, berita yang dipastikan kebenarannya. Kita bisa mempertanyakan
kepada Rektor UIN Yogya itu, bagaimana dengan konsep “keadilan para sahabat” dan
ijma’ sahabat? Pengumpulan Mushaf Utsmani adalah berdasarkan ijma’ sahabat.

Dengan cara berpikir Amin Abdullah, maka bisa saja pengumpulan Al-Qur’an itu
keliru. Sebab, para sahabat Rasulullah itu adalah manusia dan kumpulan manusia. Dan
selama mereka pada level manusia, maka mereka “bisa saja keliru”.

Jadi, ijma’ para sahabat Rasululullah saw itu – menurut cara berpikir Rektor UIN
Yogya – bisa saja keliru. Cara berpikir semacam itu bisa kita katakan sebagai bentuk ‘Islam
ragu-ragu’. Islam yang serba tidak pasti. Tidak ada kebenaran yang pasti. Itulah tugas
hermeneutika. Malah, lanjut Sang Rektor lagi, tugas hermeneutika itu berseberangan
dengan keinginan egois hampir semua orang untuk “Selalu Benar”.

Tidak mengherankan, katanya, jika kemudian kehadiran hermeneutika sebagai salah


satu disiplin kajian yang mencermati proses epistemologis-ontologis pemahaman manusia
banyak mendapat tantanan. Dan tentangan paling keras terhadap hermeneutika muncul dari
ranah agama-agama yang harus diakui merupakan ladang paling subur bagi lahirnya
“Klaim Kebenaran”.

Itulah kata-kata Sang Rektor UIN Yogya, yang sangat membanggakan


hermeneutika sebagai metodologi pemahaman Al-Qur’an, yang menurutnya mampu
membongkar hal-hal yang selama ini dianggap sebagai satu bentuk kepastian.

Dengan cara berpikir Rektor seperti itu, maka kita tidak heran, jika dari kampus
berlabel Islam itu lahir sarjana-sarjana versi ‘Islam ragu-ragu’, alias golbin (golongan
bingung) yang tidak pernah meyakini kebenaran Islam.

102
Tentu kita patut kasihani manusia-manusia seperti ini. Meskipun, kita tidak perlu
risau dengan ulah mereka. Biarlah yang bingung bangga dengan kebingungannya sendiri.
Kita ingatkan mereka, mudah-mudahan mereka sadar. Kita yang sudah menemukan
kebenaran, kewajiban kita adalah meyakini kebenaran itu, dan berusaha menegakkannya.
Dan Allah SWT sudah mengingatkan kita:

“Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah engkau menjadi golongan orang-
orang yang ragu.” (QS Al Baqarah:147).

Wallahu a’lam. (Jakarta, 28 Oktober 2005/hidayatullah.com).

103
Promo Lesbi, Hina Nabi, Lecehkan Al-Qur’an.
Oleh: Dr Adian Husaini
_________________________________________________________________

Sebagian pegiat legalisasi homoseksual dan lesbianisme, tampaknya menjadikan


Nabi Luth a.s. sebagai sasaran kebencian dan umpatan mereka. Al-Quran memang
menggambarkan perjuangan Nabi Luth a.s. yang begitu berat dalam menghadapi
kemunkaran yang dikerjakan kaumnya, sehingga Nabi Luth diusir dari kampungnya. Al-
Quran menggambarkan perjuangan Nabi Luth sebagai berikut: “Dan (Kami juga telah
mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya:
“Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang
pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat,
bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak
lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan
pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal
(dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).

Di dalam Surat Hud ayat 82 dikisahkan: “Maka tatkala datang azab Kami, Kami
jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani
mereka dengan batu dari tanah-tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.”

Kerusakan perilaku seksual kaum Luth ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw:

“Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum
Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).

104
Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof. Hamka menjelaskan, bagaimana sangat merusaknya
penyakit ’kaum Luth’, sehingga mereka diazab dengan sangat keras oleh Allah SWT.
Hamka sampai menyebut bahwa perilaku seksual antar sesama jenis ini lebih rendah
martabatnya dibandingkan binatang.

Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Hamka mengutip
sebuah hadits Rasulullah saw.: “… dan apabila telah banyak kejadian laki-laki
’mendatangi’ laki-laki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga
Allah tidak mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa.” (HR at-Tirmidzi, al-
Hakim, dan at-Tabhrani).

Hamka menulis dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap


tangan: “Sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina
Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang
’mendatangi’ dan ’didatangi’ itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya
memutuskan kedua orang itu wajib dijatuhi hukuman mati.” (Lihat, Tafsir al-Azhar, Juzu’
8).

Bisa digambarkan, betapa gundah dan marahnya kaum homo dan lesbi beserta para
pendukungnya, terhadap sosok Nabi Luth yang mencoba menghentikan budaya syahwat
merdeka pada kaum liberal di masa itu. Sebuah situs http://www.savethe males.ca, pada 16
Oktober 2004, menulis berita tentang Irshad Manji dengan judul ”Lesbian Muslim
Reformer is a New World Orderly.” Ditulis: ”Muslim ”reformer” and lesbian activist Irshad
Manji, 35, symbolizes the globalist push to extinguish true religion and enslave humanity.”

Tentang akitivitas Irshad Manji dalam mendukung dan mempromosikan


lesbianisme bisa dilihat dalam situsnya: www.irshadmanji.com. Kaum liberal pun
membanggakannya sebagai sosok ”lesbian” yang – katanya – gigih melakukan ijtihad.
Seorang aktivis liberal membanggakan Irshad Manji dengan menulis judul artikel dalam
Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) berjudul: Irshad Manji, Muslimah Lesbian
yang Gigih Menyerukan Ijtihad. Ditulis di jurnal ini: ”Manji sangat layak menjadi inspirasi
kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.”

105
Sebuah contoh gugatan terhadap sosok Nabi Luth a.s. ditunjukkan oleh sekumpulan
mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang yang menerbitkan Jurnal JUSTISIA. Pada
Edisi 25, Th XI, 2004, diturunkan laporan utama berjudul ”Indahnya Kawin Sesama Jenis”.
Dengan gagahnya, redaksi menulis pengantar: “Hanya orang primitif saja yang melihat
perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan
kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan
pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan
kebablasan.”

Selanjutnya, artikel-artikel di Jurnal itu diterbitkan dalam sebuah buku berjudul


“Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum
Homoseksual”, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005). Disebutkanlah
strategi ke arah legalisasi perkawinan sesame jenis (homo dan lesbi), yaitu:

(1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-
haknya yang telah dirampas oleh negara,

(2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum
homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak
mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan
kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya,

(3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan
konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual,

(4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan


perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” (hal. 15).

106
Hina Nabi lecehkan al-Quran

Para penyokong gerakan legalisasi homoseksual ini berani membuat tafsir baru atas
ayat-ayat al-Quran, dengan membuat tuduhan-tuduhan keji terhadap Nabi Luth. Seorang
penulis dalam buku ini, misalnya, menyatakan, bahwa pengharaman nikah sejenis adalah
bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin
agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas
doktrin tersebut. Si penulis kemudian mengaku bersikap kritis dan curiga terhadap motif
Nabi Luth dalam mengharamkan homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam al-Quran
surat al-A’raf :80-84 dan Hud :77-82). Semua itu, katanya, tidak lepas dari faktor
kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki, yang
kebetulan homoseks.

Ditulis dalam buku ini sebagai berikut : ‘’Karena keinginan untuk menikahkan
putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua
laki-laki tadi tidak normal. Istri Luth bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan
berusaha menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami
dan dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth
menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh yang saya
tahu, al-Quran tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi kebencian Luth terhadap kaum
homo disamping karena faktor kecewa karena tidak berhasil menikahkan kedua putrinya
juga karena anggapan Luth yang salah terhadap kaum homo.” (hal. 39).

Cercaan terhadap Nabi Luth dan al-Quran terus dilanjutkan berikut ini: “Luth yang
mengecam orientasi seksual sesama jenis mengajak orang-orang di kampungnya untuk
tidak mencintai sesama jenis. Tetapi ajakan Luth ini tak digubris mereka. Berangkat dari
kekecewaan inilah kemudian kisah bencana alam itu direkayasa. Istri Luth, seperti cerita al-
Quran, ikut jadi korban. Dalam al-Quran maupun Injil, homoseksual dianggap sebagai
faktor utama penyebab dihancurkannya kaum Luth, tapi ini perlu dikritisi… saya menilai
bencana alam tersebut ya bencana alam biasa sebagaimana gempa yang terjadi di beberapa
wilayah sekarang. Namun karena pola pikir masyarakat dulu sangat tradisional dan mistis
lantas bencana alam tadi dihubung-hubungkan dengan kaum Luth…. ini tidak rasional dan

107
terkesan mengada-ada. Masa’, hanya faktor ada orang yang homo, kemudian terjadi
bencana alam. Sementara kita lihat sekarang, di Belanda dan Belgia misalnya, banyak
orang homo nikah formal… tapi kok tidak ada bencana apa-apa.” (hal. 41-42).

****

Para mahasiswa tersebut – saat itu – sedang menimba ilmu di sebuah Perguruan
Tinggi yang menyandang nama Islam, juga nama “Walisongo” (IAIN Walisongo
Semarang). Para Wali itu adalah penyebar dan pendakwah Islam yang sangat gigih di
Tanah Jawa. Wali Songo tidak bermain-main dalam masalah agama. Para Wali Songo
bersikap tegas terhadap penyelewengan aqidah yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar.

Di dalam tradisi keilmuan Islam, sangat ditekankan masalah adab, bukan hanya
kebebasan berpikir dan berbicara. Tiap manusia harus memahami adab bicara. Pemain bola
di Eropa ada yang dihukum karena bicara bernada rasis. Seorang anak juga tidak bebas
bicara kepada orang tuanya dengan – misalnya – bertanya kepada ayahnya: “Ayah,
benarkah saya anak ayah? Tolong buktikan secara ilmiah!”

Adab juga menekankan sikap “tahu diri”. Tidak gampang bicara dan menulis sesuka
hati, tanpa merujuk kepada pendapat para ulama yang punya otoritas tafsir ilmu al-Quran.
Di dalam tiap bidang keilmuan, kita mengakui adanya otoritas. Tidak semua manusia bebas
bicara dalam soal keilmuan. Contohnya, pelawak Thukul dan Prof. Mahfud MD sama-sama
manusia. Tetapi, nilai kata-kata keduanya tidaklah sama saat bicara tentang arti pasal-pasal
dalam UUD 1945. Dalam bidang ekonomi, begitu juga. Kita mengakui ada otoritas
keilmuan dari para pakar ekonomi yang sudah diakui tingkat keilmuannya oleh komunitas
ilmuwan internasional di bidang tersebut. Dalam bidang Fisika, kita akan tertawa geli jika
ada mahasiswa baru belajar rumus-rumus dasar fisika lalu berterak-teriak, bahwa Newton,
Einstein, Stephan Hawking, Habibie, ternyata bodoh semua!

Adalah suatu kehancuran besar, jika adab keilmuan ini tidak ditegakkan dalam
bidang Ulumuddin. Jika kita mengakui al-Quran adalah Kitab wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, maka logikanya pasti kita mengakui, bahwa manusia yang
paling memahami al-Quran adalah Nabi Muhammad SAW. Kemudian, Nabi SAW

108
menunjuk sejumlah sahabatnya yang beliau sebut sangat ahli dalam Tafsir al-Quran, seperti
Ibnu Abbas dan Abdullah bin Mas’ud. Berikutnya, muncul para ahli tafsir al-Quran dari
kalangan Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, dan seterusnya.

Sebagaimana dalam bidang Ilmu Ekonomi, Ilmu Fisika, dan sebagainya, Ilmu Tafsir
juga merupakan ilmu yang sudah sangat matang perkembangannya dalam tradisi keilmuan
Islam. Begitu juga Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Fiqih, Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Kalam.
Jika hendak belajar Tafsir al-Quran, seharusnya orang mau merujuk kepada ilmuwan atau
ulama yang memahami Ilmu Tafsir al-Quran.

Jika ditelaah dengan sedikit cermat saja, tampak bahwa Irshad Manji bukanlah
orang yang punya otoritas memadai dalam pemahaman al-Quran. Itu bisa dilihat dalam
bukunya, ”Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini”, yang bisa di-
unduh di situsnya. Dalam buku ini, Irshad Manji, menyandarkan keraguannya terhadap al-
Quran pada pendapat Christoph Luxenberg (seorang pendeta Kristen asal Lebanon yang
menyembunyikan nama aslinya). Kata Manji: ”Jika al-Quran dipengaruhi budaya Yahudi-
Kristen – yang sejalan dengan klaim bahwa al-Quran meneruskan wahyu-wahyu
sebelumnya – maka bahasa Aramaik mungkin telah diterjemahkan oleh manusia ke dalam
bahasa Arab. Atau, salah diterjemahkan dalam kasus hur, dan tak ada yang tahu berapa
banyak lagi kata yang diterjemahkan secara kurang tepat. Bagaimana jika semua ayat salah
dipahami?” (hal. 96). Pendapat Christoph Luxenberg menyatakan bahwa selama ini umat
Islam salah memahami al-Quran, yang seharusnya dipahami dalam bahasa Syriac. Tentang
surga, dengan nada sinis Manji menyatakan, bahwa ada human error yang masuk ke dalam
al-Quran. Menurut riset yang baru, tulis Manji, yang diperoleh para martir atas
pengorbanan mereka adalah kismis, dan bukan perawan. “Nah, bagaimana bisa Al-Quran
begitu tidak akurat?” tulisnya.

Pendapat Luxenberg yang dicomot begitu saja oleh Irshad Manji bahwa bahasa al-
Quran harus dipahami dalam bahasa Aramaik telah ditulis dalam buku “Die syro-
aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache”.
Pendapat Luxenberg pun sangat lemah dan sudah banyak artikel ilmiah yang

109
menanggapinya. Dr. Syamsuddin Arif telah mengupas masalah ini secara tajam dalam
bukunya, “Orientalis dan Diabolisme Intelektual”.

Menurut Syamsuddin, Professor Hans Daiber, misalnya, memberikan seminar


terbuka tentang karya Luxeberg itu selama satu semester penuh di Departemen Orientalistik
Universitas Frankfurt, dimana ia ungkapkan sejumlah kelemahan-kelemahan buku itu
secara metodologi dan filologi. Salah satu kelemahan Luxenberg, misalnya, untuk
mendukung analisis dan argumen-argumennya, mestinya Luxenberg merujuk pada kamus
bahasa Syriac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 8 Masehi (zaman Islam), dan
bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad ke-20 karangan Jacques E. Manna
terbitan tahun 1.900!

Jadi, penghormatan berlebihan terhadap Irshad Manji, merusak dua hal sekaligus:
otoritas keilmuan Islam dan juga asas-asas akhlak Islam. Kita yakin, masih banyak ulama,
cendekiawan, dan kalangan umat Islam yang sadar dan cinta akan agamanya. Kita cinta
negeri kita, sehingga kita berharap, negeri Muslim terbesar ini tidak menjadi tong sampah
pemikiran!

Wallaahu a’lam bil-shawab. (Depok, 5 Mei 2012).

110
LEGENDA-LEGENDA BARAT
Oleh: Adian Husaini
_________________________________________________________________

Meskipun peradaban Barat berhasil mencapai kemajuan pesat dalam bidang sains
dan teknologi, tetapi masyarakat Barat ternyata masih tetap terkenal sebagai pemuja
legenda atau dongeng-dongeng. Kamus “The American Heritage Dictionary on the English
Language”, mengartikan kata “legend” dengan “An unverifiable popular story handed
down from the past.” Artinya, “legenda” adalah cerita masa lalu yang tidak dapat
diverifikasi kebenarannya. Kata ini berasal dari bahasa Latin “legere” yang artinya “to
collect”, “to gather”, atau “to read”, yakni “mengumpulkan” atau “membaca”.

Lihatlah deretan judul film-film yang beredar di gedung-gedung biosksop dalam


beberapa bulan ini. Penuh dengan cerita-cerita legenda. Film Troy yang bercerita tentang
legenda kepahlawanan Achiles dan Agammemnon, di masa Yunani kuno, laris manis
diserbu penonton di gedung-gedung bioskop Kuala Lumpur. Penonton harus rela antri
untuk dapat menikmati film yang dibintangi oleh Brad Pitt, Orlando Bloom, dan Eric Bana
ini.

Film Spiderman 2, juga bukan main hebatnya dalam menyerap penonton. Sampai-
sampai penonton dilarang membawa handphone saat masuk ke dalam gedung bioskop (di
Malaysia disebut Pawagam). Sementara, sampai 23 Juli 2004, film Spiderman 2 telah
maraup keuntungan 15 juta USD (sekitar Rp 140 milyar), masih dibawah perolehan film
legenda “Catwoman” yang maraup 16,7 juta USD.

Kini, sedang hangat-hangatnya masyarakat di sini dibuai oleh film King Arthur.
Baru diedar bebarapa saat, sampai 23 Juli 2004, King Arthur sudah maraup keuntungan
3,04 juta USD. Film The Passion of The Christ yang begitu kontroversial, berhasil meraup
keuntungan 19,2 juta USD, sampai bulan Februari 2004.

111
Film ini, meskipun didasarkan pada cerita Perjanjian Baru, tetapi juga dibumbui
dengan berbagai cerita yang sulit diverifikasi kebenarannya. Film trilogi “The Lord of the
Rings”, mampu maraup keuntungan lebih dari 2000 juta USD. Jauh sebelumnya, berbagai
film legenda semacam Rambo, Batman, Superman, dan sebagainya, yang ternyata juga
menjadi film-film yang “laku dijual”. Dengan promosi yang sangat dahsyat, film-film itu
pun dinikmati oleh banyak umat manusia di belahan dunia lainnya. Mengapa masyarakat
Barat menyukai legenda, mitos-mitos, atau mimpi-mimpi? Padahal, ada yang menyebut
bahwa cerita-cerita yang menjual mimpi biasanya diproduksi oleh masyarakat tertindas
untuk menghibur diri dan membayangkan akan kejayaan di masa yang akan datang.

Cerita-cerita legenda itu biasanya dikaitkan dengan kisah kepahlawanan (epik)


untuk membangkitkan moral. Apakah fenomena ini berkaitan dengan masyarakat Barat
yang “sakit” dan sedang mengalami krisis dalam hidup? Sebagai peradaban yang sedang
berkuasa, Barat terbukti tidak mampu menyelesaikan problema yang dihadapi umat
manusia, bahkan probem dirinya sendiri. Mereka dihantui dengan berbagai kecemasan yang
tidak berkesudahan. Itu semua karena mereka kehilangan pegangan hidup, setelah
menempatkan manusia sebagai “tuhan”.

Terlepas dari hal itu, ada baiknya kita telaah kilasan sejarah tentang berbagai
legenda tentang Islam yang hidup di kalangan masyarakat Barat, khususnya di abad
pertengahan. Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya berjudul “Popular Attitudes
towards Islam in Medieval Europe” (1999) mencatat banyak legenda menarik tentang Islam
yang populer di kalangan masyarakat Barat di abad pertengahan. Bahkan, meskipun Barat
menyerap banyak informasi langsung dari dunia Islam, saat Perang Salib (Crusade),
legenda-legenda tentang Islam tetap hidup subur di kalangan masyarakat. “But Western
Christian were more likely to hear legends, many of which were brought backs by the
Franks who had been to the Holy Land,” tulis Cruz.

112
Misalnya, legenda bahwa Ida, seorang janda pasukan Salib, dikawini seorang
Muslim (Sarancens) dan akhirnya menurunkan seorang anak bernama Zengi. Nama
lengkapnya, Nuruddin Zengi. Dalam sejarah, ia adalah paman Shalahuddin al-Ayyubi, yang
membalik sejarah Perang Salib, dengan keberhasilannya menaklukkan Edessa dari pasukan
Salib (the Franks) pada 1144.

Legenda tentang Shalahuddin al-Ayyubi – tokoh yang merebut kembali Jerusalem


dari the Franks, 1187– bertebaran. Ada cerita tentang Eleanor of Aquitaine, istri Louis VII,
yang memiliki affair dengan Shalahuddin. Ada juga legenda, bahwa Shalahuddin adalah
keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga legenda bahwa
Shalahuddin dibaptis pada akhir hayatnya.

Legenda, bahwa Dome of the Rock di Jerusalem menyimpan banyak berhala


sesembahan kaum Muslim. Dan bahwa di Mekah, pendeta murtad bernama Nicholas,
dijadikan sesembahan. Pidato Pope Urban II yang terkenal di The Council of Clermont, 25
November 1095, juga menyebarkan banyak legenda tentang Muslim. Di tengah konflik
antar masyarakat Eropa ketika itu, Pope Urban II, menggalang sebuah legenda tentang
musuh bersama bernama “Turks”. “The Turks”, kata Paus, “adalah bangsa terkutuk.”
“Killing these godless monsters was a holy act: it was a Christian duty to exterminate this
vile race from our lands,” katanya.

Seruan The Pope, mendapat sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan Kristen
bergabung, dengan semangat tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku klasiknya, Islam and
the West, Norman Daniel menyebut: “The essence of crusading was to slay for God’s
love.” . Maka, saat memasuki Jerusalem, 1099, the Franks melakukan tindakan yang sulit
dipercaya. Mereka membantai sekitar 30.000 warganya, Muslim dan Yahudi, termasuk
wanita dan anak-anak.

Fulcher of Chartress mencatat: “If you had been there your feet would have been
stainen to the ankles in the blood of the slain.” Seorang tentara the Franks menulis dalam
Gesta Francorum : “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they

113
were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there
were.”

Sepanjang sejarah, hubungan Islam-Barat diwarnai dan memunculkan banyak


legenda. Dokumen Chanson de Roland (sekitar tahun 1100) yang ditemukan di Inggris
pada abad ke-19 memberikan gambaran bahwa kaum Muslim adalah penyembah berhala,
pengecut, berperang demi kekayaan, tanah, dan perempuan. Dokumen ini bercerita tentang
legenda kepahlawanan (epic) Charlemagne yang digambarkan berhasil menaklukkan
seluruh Spanyol.

Padahal, pada 778, Charlemagne gagal menjalankan misi membantu gubernur


Barcelona dan Saragossa melawan Khalifah Umayyah di Cordoba. Saat pulang, pasukan
Charlemagne melakukan pembunuhan dan perampokan di Kota Pamplona. Pasukan
Basque/Wascons (Kristen) melakukan pembalasan dan mengalahkan pasukan
Charlemagne. “Uniknya” dalam Chanson de Roland, Charlemagne digambarkan telah
berhasil menaklukkan semua Spanyol, kecuali Saragossa. Musuh utamanya, bukan pasukan
Wascons, tetapi kaum Muslim (Saracens).

Cerita tentang Charlemagne sangat penting disimak dalam sejarah Eropa. Sebab,
pada tahun 800, Paus Leo III membuat keputusan besar dalam politik kepausan, dengan
meletakkan mahkota kerajaan kepada Charlemagne yang diangkat sebagai “Emperor of the
Romans”. Aksi Leo III ini sekaligus memindahkan gelar itu dari Kekaisaran Romawi
Timur (Byzantine) ke Barat.

Pengesahan Kekaisaran Romawi terhadap Charlemagne kemudian membentuk pola


hubungan baru dalam bidang keagamaan di Eropa, dan kemudian juga memicu konflik
politik-keagamaan di abad Pertengahan. Ini berkaitan dengan pemisahan tanggung jawab
dan sumber legitimasi kekuasaan dari dua institusi tersebut: negara dan Gereja.

Legenda lain yang memberikan gambaran buruk tentang Islam adalah cerita tentang
Aymeri of Narbonne dan putranya, William of Orange. Dalam legenda ini, Muslim
digambarkan lebih buruk ketimbang yang ada dalam Chanson de Roland. Selain
penyembah berhala, Muslim adalah pencipta segala kejahatan, musuh Tuhan, dan pemuja

114
setan. Mereka memakan tawanan perang, mengkhianati perjanjian, dan menjual belikan
wanita mereka sendiri. Mereka adalah manusia-manusia kejam, pengkhianat, dan
menyembah banyak dewa, seperti Mahomet, Cahu, Apollyon, dan Tervagant.

Dalam banyak aspek, perang melawan terorisme juga diwarnai berbagai legenda.
Legenda-legenda tentang ancaman Islam itu terus hidup di benak masyarakat Barat,
sehingga begitu peristiwa 11 September 2001 meletus, banyak kaum Muslim mengalami
perlakuan tidak manusiawi di Barat. Banyak ilmuwan Barat yang telah membongkar
berbagai legenda seputar masalah terorisme.

Siapa yang sebenarnya teroris? Syekh Ahmad Yassin (almarhum) atau Ariel
Sharon? Tahun 1980-an, isu terorisme PLO menyita perhatian dunia internasional. Padahal,
pada 1982, terjadi pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan
anak-anak) oleh Tentara Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama
sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu
juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris, seperti
PLO, Baader-Meinhof gang dan Red Brigades.

Kita ingat, bagaimana banyaknya cerita-cerita yang menyeramkan seputar Taliban


di Afghanistan diproduksi dan ditulis. Tak lama kemudian, Taliban dihancurkan. Kita ingat,
bagaimana legenda tentang senjata pemusnah massal dibuat, sebelum Irak diserang. Kini,
sejumlah cendekiawan “neo-konservatif” seperti Bernard Lewis dan juga sejumlah media
massa Barat banyak membuat cerita seputar “bahaya Wahabi dan Arab Saudi”. Apakah ini
juga pertanda, rezim Wahabi di Arab Saudi berada dalam ancaman?

Majalah Newsweek 28 Juni 2004 menggunakan istilah “the demonizing of Saudi


Arabia”. Dulu, Wahabisme disokong Barat (Inggris) untuk melawan Ottoman, dan selama
puluh dekade, Barat berada di belakang Saudi. Hubungan khusus AS dan Arab Saudi sudah
menjadi rahasia umum. Apakah akan terjadi suatu perubahan besar dalam kebijakan AS
terhadap Saudi?

115
Mari kita lihat dan tunggu, apakah dalam waktu dekat akan beredar luas berbagai
“legenda” – melalui surat kabar, majalah, film, dan sebagainya – tentang Arab Saudi dan
keluarga kerajaan yang berlimpah dengan kekayaan itu. Sudah terbukti dalam sejarah,
legenda sangat ampuh dalam membentuk persepsi masyarakat Barat.

Wallahu a’lam. (KL, 30 Juli 2004).

Ulama Dalam Kemerdekaan dan Pembangunan


Oleh: Dr. Adian Husaini
_________________________________________________________________

116
PEMBUKAAN UUD 1945 menegaskan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”. Rumusan itu sungguh indah;
sesuai dengan rumusan aqidah ahlus sunnah; memadukan aspek rahmat Allah dan usaha
manusia. Bangsa Indonesia berjuang merebut kemerdekaan dan kita mengakui, bahwa
Allah Subhanahu Wata’ala adalah yang menganugerahi kemerdekaan. Pengakuan itu kita
letakkan dalam Pembukaan Konstitusi, dan biasanya dibaca setiap upacara bendera.

Dengan pemahaman seperti itu, sepatutnya bangsa Indonesia, dan kaum Muslim
khususnya, tidak boleh merasa angkuh, bahwa kemerdekaan itu diraih semata-mata karena
usaha perjuangan rakyat Indonesia. Tapi, kemerdekaan adalah anugerah Allah, sehingga
kemerdekaan kita pahami sebagai nikmat dari Allah yang wajib kita syukuri. Syukur,
maknanya, menggunakan nikmat itu sesuai dengan Yang Memberi Nikmat; bukan menurut
hawa nafsu kita. Semoga kita dan para pemimpin kita sadar akan makna penting dari
kemerdekaan.

Rumusan penting itu memang dihasilkan dari goresan tinta ulama dan cendekiawan
Muslim yang berunding dalam Panitia Sembilan dalam BPUPK tahun 1945 yang
menghasilkan dokumen sejarah penting, yaitu Piagam Jakarta. Syukurlah, rumusan “Atas
berkat rahmat Allah… “ itu tidak dituntut untuk dicoret sebagaimana rumusan tujuh kata
“(Ketuhanan)… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Seperti kita pahami, “tujuh kata” itu kemudian dicoret dalam sidang PPKI, 18
Agustus 1945. Bung Hatta mengaku, ia mendapat telepon dari seorang perwira Jepang yang
mengaku menyampaikan aspirasi kaum Kristen Indonesia Timur. Bahwa, mereka tidak mau
bergabung dengan NKRI jika “tujuh kata” itu tidak dihapus. Hingga kini, peristiwa seputar
pencoretan “tujuh kata” itu masih misterius, sebab sampai meninggalnya, Bung Hatta tidak
membuka siapa sebenarnya perwira Jepang yang meneleponnya tersebut.

Tapi, bagaimana pun, peristiwa itu telah menjadi sejarah. Kita ambil hikmahnya.
Bagi umat Islam, tanggal 17 Agustus 1945, adalah hari yang patut disyukuri sebagai rahmat
Allah Subhanahu Wata’ala, dan tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari yang jangan

117
dilupakan. Itulah hari dimana para tokoh Islam menerima tuntutan kaum Kristen Indonesia
Timur, demi terpeliharanya kemerdekaan dan juga demi persatuan dan kesatuan NKRI.

Kita perlu mengingat kembali, bahwa setelah Puagam Jakarta ditetapkan, masih ada
sebagian anggota BPUPK yang menggugatnya. Akhirnya, Bung Karno sendiri
menegaskan: “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan
antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan,
saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima Panitia
ini.”

Piagam Jakarta adalah naskah pembukaan (preambule) Undang-undang Dasar


(UUD) 1945 yang disiapkan untuk konstitusi Negara Indonesia merdeka. Ketika naskah
pembukaan itu sudah disepakati, maka naskah-naskah rincian pasal-pasal dalam UUD 1945
masih menjadi masalah yang diperdebatkan.

Dalam sidang BPUPK tanggal 13 Juli 1945, KH Wahid Hasyim mengusulkan, agar
Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft pasal 29
diubah dengan ungkapan: “Agama Negara ialah agama Islam”, dengan menjamin
kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan sebagainya. Kata Kyai Wahid
Hasyim: “Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang
berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya
boleh diserahkan buat ideologi agama.”

Usul KH Wahid Hasyim disokong oleh Soekiman. Tapi, Haji Agus Salim
mengingatkan, bahwa usul itu berarti mementahkan kembali kesepakatan yang telah dibuat
sebelumnya antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Usulan Wahid Hasyim
akhirnya ditolak.

Tapi, pada sidang tanggal 14 Juli 1945, Ki Bagus Hadikoesoemo, tokoh


Muhammadiyah kembali mengangkat usul Kyai Sanusi yang meminta agar frase “bagi
pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta dihapuskan saja. Jadi, bunyinya menjadi:
“Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.”

118
Menanggapi permintaan KIai Sanusi dan Ki Bagus Hadikoesoemo, Soekarno
kembali mengingatkan akan adanya kesepakatan yang telah dicapai dalam Panitia
Sembilan. Soekarno, lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI:

“Sudahlah hasil kompromis diantara 2 pihak, sehingga dengan adanya kompromis


itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi
dan mengambil, geven dan nemen. Ini suatu kompromis yang berdasar memberi dan
mengambil… Pendek kata, inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi, panitia memegang
teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin
“Djakarta Charter”, yang disertai perkataan Tuan anggota Soekiman, gentlemen agreement,
supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.” (Tentang
perdebatan dalam BPUPK, lihat A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945,
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Uiversitas Indonesia, 2004).

Semangat jihad. Peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 membuktikan kebesaran jiwa


para ulama dan tokoh Islam dalam menyikapi persatuan dan kesatuan bangsa. Tentunya,
sikap itu merupakan rangkaian panjang dari keterlibatan para ulama dalam berbagai
perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah. Memang, sejarah mencatat, goresan tinta
ulama memiliki andil signifikan dalam meraih kemerdekaan NKRI.

Bahkan, perjuangan mengusir penjajah, sering kali memadukan goresan tinta ulama
dan kucuran darah syuhada. Penjajahan bukan soal politik dan ekonomi, tetapi juga
masalah iman. Sebab, penjajah membawa misi “Gospel”, yakni menyebarkan agama
mereka dan merusak keagamaan penduduk muslim. Karena itu, sepanjang sejarah
perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, peranan para ulama Islam sangat
menonjol.

Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII&XVIII, (2005), Azyumardi Azra mengungkap sejumlah contoh perjuangan para
ulama dalam melawan penjajah. Sebutlah contoh Syekh Yusuf al-Maqassari (1627-
1629M). Ulama terkenal ini bukan hanya mengajar dan menulis kitab-kitab keagamaan,
tetapi juga memimpin pasukan melawan penjajah. Tahun 1683, setelah tertangkapnya

119
Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf Maqassari memimpin sekitar 4.000 pasukan di
hampir seluruh wilayah Jawa Barat.

Menurut satu versi, Syekh Yusuf berhasil ditangkap setelah komandan pasukan
Belanda, van Happel, berhasil menyusup ke markas Syekh Yusuf, dengan menyamar
sebagai Muslim dengan pakaian Arab. Syekh Yusuf pun dibuang ke Srilanka dan Afrika
Selatan untuk mengurangi pengaruhnya. Tapi, justru di kedua tempat itu, Syekh Yusuf
berhasil mengembangkan Islam dengan mengajar dan menulis. Usaha Belanda untuk
mengkristenkan Syekh Yusuf juga gagal. Sarjana Evangelis Belanda, Samuel Zwemer,
mengkritik Petrus Kalden, pendeta dari Gereja Belanda Tua Cape Town, yang gagal
menjadikan Syekh Yusuf sebagai pemeluk Kristen.

Ulama lain, Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani (1704-1789), dikenal sebagai


ulama paling terkemuka dari wilayah Palembang. Meskipun menetap Mekkah, Syekh Abd
al-Shamad memiliki kepedulian kuat terhadap kondisi Nusantara dan mendorong kaum
Muslim untuk melaksanakan jihad melawan penjajah.

Sebuah kitab berbahasa Arab tentang keutamaan jihad fi-sabilillah ditulisnya


dengan judul, Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu’minin fi-Fadhail al-Jihad fi-
Sabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah. Melalui kitabnya ini, Syekh al-Palimbani
menjelaskan bahwa wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk melakukan jihad melawan
kaum kafir.

Dalam The Achehnese, seperti dikutip Azra, Snouck Hurgronje menyebutkan


bahwa karya Syekh al-Palimbani merupakan sumber rujukan utama berbagai karya
mengenai jihad dalam Perang Aceh yang sangat panjang melawan Belanda, mulai 1873
sampai awal abad ke-20. Kitab ini menjadi model imbauan agar kaum Muslim berjuang
melawan kaum kafir.

120
Bahkan, setelah kemerdekaan diraih, para ulama tetap mengawal kemerdekaan
Indonesia. Itu ditunjukkan oleh kepahlawanan KH Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya,
pada 14 September1945.

Isi Resolusi Jihad yang diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa Madura itu
antara lain berbunyi:

(1) Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib
dipertahankan,

(2) Umat Islam, terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan
kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia,

(5) Kewajiban tersebut adalah “jihad” yang menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam
(fardhu ain) yang berada dalam jarak radius 94 km (yakni jarak dimana umat Islam boleh
melakukan shalat jama’ dan qasar). Adapun bagi mereka yang berada di luar jarak tersebut,
wajib membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut. Dalam teks
lain, ada tambahan: “Kaki tangan musuh adalah pemecah belah kebulatan tekad dan
kehendak rakyat dan harus dibinasakan; menurut hukum Islam sabda hadits (Nabi) riwayat
Muslim.”

Dampak dari Resolusi Jihad itu sungguh luar biasa. Puluhan ribu kyai dan santri
berperang melawan tentara Sekutu, yang baru saja memenangkan Perang Dunia kedua.
Lima belas ribu tentara Sekutu dengan persenjataan serba canggih tak mampu menghadapi
pasukan perlawanan pasukan kyai dan santri. Bahkan, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby
tewas di tangan laskar santri. (Lihat, el-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i, 2010).

Dimana ulama kini?. Fatwa jihad KH Hasyim Asy’ari – yang ketika itu juga sebagai
pemimpin tertinggi umat Islam di Indonesia, sebagai Ketua Majelis Syuro Masyumi —
menunjukkan kebesaran jiwa para ulama dalam menyikapi kemerdekaan Indonesia. Sikap
itu juga menunjukkan kedewasaan berpolitik dalam bingkai NKRI. Meskipun tidak seluruh
tuntutan dan cita-cita para ulama itu terpenuhi dalam memperjuangkan dasar negara, tetapi
mereka “tidak ngambek” atau lari dari NKRI. Fatwa bahwa mempertahankan kemerdekaan

121
RI adalah wajib hukumnya, menunjukkan pembelaan hidup-mati umat Islam Indonesia
terhadap kemerdekaan Indonesia.

Merenungkan sejarah perjuangan para ulama dalam memperjuangkan dan membela


kemerdekaan Indonesia itu, kita patut bertanya sekarang, di mana para ulama itu
ditempatkan? Dalam upacara peringatan kemerdekaan, biasanya ulama ditempatkan dalam
posisi “terhormat” sebagai “tukang baca doa”. Lumayan! Daripada tidak sama sekali! Akan
tetapi, apakah ulama diajak rembukan untuk memusyawarahkan, bagaimana seharusnya
bangsa kita ini mensyukuri nikmat kemerdekaan yang katanya diraih “atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa” itu?

Mengapa memperingati kemerdekaan yang resmi dan diakui oleh institusi


kenegaraan hanya berupa upacara bendera? Bagaimana jika bentuk peringatan resmi
kemerdekaan RI itu dilakukan dengan khataman al-Quran dan pembacaan kisah-kisah
perjuangan para pahlawan di seluruh masjid di Indonesia? Bukankah itu sesuatu yang
bagus? Silakan yang melaksanakan lomba makan kerupuk, lomba balap karung, lomba
panjat pinang; tetapi tidak ada salahnya jika Presiden bersama para ulama memberi contoh
memperingati kemerdekaan dengan acara ibadah di masjid. Agak aneh, bahwa masjid-
masjid di Indonesia belum terdengar menyelenggarakan acara peringatan kemerdekaan RI,
padahal, kemerdekaan Indonesia diraih dengan perjuangan yang panjang oleh para ulama
dan para syuhada.

Lebih menyedihkan, setelah kemerdekaan, ada usaha – sadar atau tidak – untuk
menyingkirkan ulama dari perumusan konsep-konsep pembangunan untuk mengisi
kemerdekaan. Ulama dijadikan sebagai makhluk yang berharga terutama saat menjelang
pilihan presiden atau pilkada. Saat diperlukan – kadang ulama didatangi; diminta doa, restu,
atau dukungan politik, agar jabatan politik diraih; agar hujan turun saat kekeringan; agar
krisis berlalu saat dilanda krisis. Setelah semua kebutuhan terpenuhi, ulama ditinggalkan,
diposisikan sebagai “pendorong mobil mogok”.

Tapi, itu pun masih lumayan; daripada para pejabat datang ke dukun-dukun klenik.
Ulama adalah pewaris Nabi. Mereka wajib menjaga diri. Tugas utamanya adalah

122
melanjutkan perjuangan menegakkan misi kenabian. Ulama tidak perlu minta dihormati,
apalagi sampai “gila hormat”. Kata Imam al-Ghazali, jika ulama rusak, cinta harta dan
kehormatan (hubbul mal wal-jah), maka rusaklah penguasa. Jika penguasa rusak, maka
rakyat pun binasa.

Sejarah telah membuktikan, bagaimana para ulama kita begitu hebat perjuangannya
dalam menyebarkan dan menjaga Islam di seluruh negeri. Begitu hebat dan cerdiknya para
Wali Songo yang mendidik dan kemudian mengangkat Raden Patah sebagai Raja Muslim
pertama di Tanah Jawa. Jika ulama setia pada perjuangan menegakkan cita-cita mulia para
anbiya,pasti para penguasa tak akan memandang mereka hina!

Wallahu A’lam.*/Jakarta, 21 Agustus 2015

PERINGATAN IMAM AL GHAZALI


Oleh: Adian Husaini
_________________________________________________________________

123
Tanggal 4 Juni 2005, saya datang ke IAIN Bandung, memenuhi undangan seminar
tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama. Kampus IAIN Bandung sedang
direncanakan untuk menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), seperti halnya UIN Jakarta
dan UIN Yogyakarta. Dalam berbagai diskusi saya dengan mahasiswa dan dosen di
berbagai UIN dan IAIN, saya mempunyai kesimpulan, bahwa salah satu masalah mendasar
yang dialami oleh kalangan akademisi dan perguruan tinggi Islam saat ini adalah masalah
visi, misi, dan niat. Masalah visi dan misi terkait dengan pemahaman tentang konsep ilmu.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu? Ilmu-ilmu apakah yang harus
dipelajari, dan untuk apa mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Pendidikan, pada dasarnya
berkaitan dengan masalah ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan
ilmu-ilmu agama (ulumuddin). Sudah bukan rahasia lagi, kekacauan konsep ilmu telah
menyebabkan munculnya dampak yang sangat serius di kalangan kaum Muslim saat ini.
Pada level perguruan tinggi, konsep keilmuan terpecah secara mendasar; ilmu agama dan
ilmu umum. Perguruan Tinggi dibentuk berdasarkan konsep yang sekular itu, sehingga
lahirlah universitas/Institut Umum dan Universitas/Insititut Islam. Konsep dasar ini jelas
sangat keliru, karena tidak berdasarkan pada konsep keilmuan Islam. Dari konsep yang
salah ini, lahirlah para cendekiawan yang terbelah, baik dalam cara berpikir, maupun dalam
penguasaan keilmuan.

Mahasiswa yang belajar teknik, kedokteran, ekonomi, komputer, geologi, dan


sebagainya, tidak merasa wajib untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia hanya merasa
cukup sudah beramal dan bersemangat memperjuangkan Islam melalui aktivitas politik,
sosial, ekonomi, dan sebagainya. Ia tidak merasa wajib untuk mempalajari ilmu-ilmu Islam,
seperti Ushuluddin, bahasa Arab, Ulumul Quran, Ulumul hadits, ilmu fiqih, dan
sebagainya.

Menurut perasaan mereka, mempelajari ilmu-ilmu agama seperti itu adalah


tanggung jawab orang-orang pesantren, IAIN, dan semacamnya. Meskipun secara umum
bisa dikatakan, rata-rata mahasiswa kedokteran, teknik, komputer, dan sebagainya, adalah
manusia berotak cerdas, mereka tidak merasa wajib menggunakan akalnya untuk
mempelajari dengan sungguh-sungguh bahasa Arab atau ulumuddin lainnya. Mereka

124
biasanya hanya suka mendengar ustad ceramah, seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau
melalui media radio/telivisi, dengan tradisi jiping (ngaji kuping).

Belajar agama dianggap sambilan, atau hanya sekedar mengisi waktu, dengan
tenaga dan pikiran sisa. Mereka sanggup belajar bahasa Inggris, membayar mahal, dan
bersungguh-sungguh mencurahkan pikirannya, untuk menguasai bahasa itu. Tetapi, ketika
berhadapan dengan bahasa Arab, mereka merasa tidak berkepentingan sama sekali.

Padahal, Imam Syafii menjelaskan dalam Kitab Risalah, bahwa mempalajari bahasa
Arab adalah fardhu 'ain, dan setiap orang Muslim wajib menguasai bahasa Arab,
semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuannya. Artinya, adalah berdosa, jika
seseorang tidak bersungguh-sungguh belajar bahasa Arab. Padahal, jika orang-orang cerdas
mau bersungguh-sungguh menggunakan akalnya untuk menguasai bahasa Arab, mereka
insyaallah bisa menguasainya, sebagaimana mereka mampu memguasai bahasa-bahasa
asing lainnya.

Biasanya, para profesional atau kaum cendekiawan berlatarbelakang ilmu-ilmu


umum, senang dan bangga memelihara statusnya sebagai orang awam dalam agama.
Meskipun sudah lulus kuliah berpuluh-puluh tahun, dan menjadi orang muslim sejak lahir,
mereka senang mengucapkan, saya ini awam dalam agama. Jadilah ia awam seumur
hidupnya dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi sangat pakar dalam ilmu-ilmu tertentu di
bidang profesinya. Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Mereka menjadi
awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, atau tidak punya waktu untuk
belajar, tetapi lebih karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam. Mereka
tidak paham, mana ilmu yang fardhu 'ain, dan mana ilmu yang fardhu kifayah.

Padahal, konsep ini telah dijelaskan dengan gamblang oleh Imam al-Ghazali
melalui kitabnya yang terkenal Ihya Ulumuddin.

Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya,
termasuk ilmu yang fardhu ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ain adalah ilmu yang
diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang
cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka

125
seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ain, lebih daripada orang lain yang
kurang kadar kecerdasan akalnya.

Bagi kaum cendekiawan atau ulama, maka tanggung jawab mereka juga lebih berat.
Disamping wajib mengetahui yang benar, mereka juga harus mengetahui ilmu tentang hal-
hal yang bathil yang tersebar di tengah masyarakat. Sebab, kata al-Ghazali, orang yang
tidak mengetahui kebathilan, ia akan terperosok di dalamnya. Ibarat seorang dokter, maka
ulama wajib mengetahui ilmu tentang pengobatan dan sekaligus ilmu tentang penyakitnya.

Maka, di masa lalu, para ulama Islam, disamping menguasai ilmu-ilmu keislaman
dengan mendalam, mereka juga menguasai ilmu-ilmu tentang pemikiran kontemporer
ketika itu. Dengan itulah para ulama bisa menjalankan fungsinya sebagai pewaris para nabi,
dengan menjaga aqidah umat. Para ulama saat ini, misalnya, wajib memahami dengan
mendalam masalah sekularisme, liberalisme, pluralisme, marxisme, dan sebagainya.
Paham-paham inilah yang sekarang menguasai dunia dan mencengkeram benak kaum
muslimin. Jika para ulama tidak menguasai masalah-masalah pemikiran kontemporer, maka
mereka akan menjadi penonton yang baik di satu arena pertarungan pemikiran yang
dahsyat.

Mencari ilmu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, adalah wajib bagi
setiap Muslim. Artinya, setiap hari, kaum Muslim seharusnya sibuk dalam aktivitas
keilmuan. Tidak ada hari tanpa mengaji dan menambah ilmu, terutama ilmu-ilmu yang
fardhu 'ain, maupun ilmu yang fardhu kifayah.

Imam al-Ghazali mencontohkan, ilmu fardhu kifayah seperti ilmu kedokteran dan
ilmu berhitung. Ilmu jenis ini diperkukan untuk tegaknya sistem masyarakat. Fardhu
kifayah artinya, jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, dalam jumlah
yang mencukupi kebutuhan masyarakat (kifayah), maka gugurlah kewajiban itu dari
sebagian kaum muslimin lainnya. Tidak perlu semua anggota masyarakat menjadi dokter,
dan tidak perlu semuanya pakar dalam matematika, teknik elektro, teknik komputer, teknik
pesawat, dan sebagainya. Cukup sebagian kaum Muslimin yang menguasai bidang ilmu

126
fardhu kifayah. Selain kesalahan dalam memahami konsepsi ilmu, masalah mendasar
lainnya dalam masalah ilmu dan pendidikan adalah soal niat mencari ilmu. Imam al-
Ghazali sudah mengingatkan dengan bahasa yang lugas dalam mukaddimah kitab Bidayatul
Hidayah.

Kata beliau, jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar hebat-
hebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan
untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat
dengan dunia. (Fa-anta saain ilaa hadmi diinika wa ihlaaki nafsika, wa bayi aakhiratika bi
dunyaaka). Bagi Imam al-Ghazali, ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu
terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah
ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah.

Siapapun yang mencari ilmu dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka
para Malaikat akan melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan
ikan-ikan di laut mendoakan si pencari ilmu yang ikhlas dalam langkahnya. Jika saat ini
kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan
ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah
konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar?

Banyak jurusan dalam ilmu-ilmu agama dibentuk, dengan tujuan untuk mencari
lapangan kerja. Mereka yang lulus, banyak yang kemudian tidak tertarik untuk
mengembangkan ilmunya lebih jauh, atau mengamalkan ilmunya untuk berdakwah, tetapi
justru meniatkan ilmunya untuk mencari harta benda dunia, sebagaimana sudah
diperingatkan oleh al-Ghazali.

Yang lebih memprihatinkan, ada kampus-kampus yang sama sekali mengabaikan


masalah ilmu, dan mendirikan lembaga pendidikan sekedar jual beli gelar. Dari kampus-
kampus semacam ini akan lahir orang-orang yang menyandang gelar tertentu tanpa
keilmuan yang memadai. Peringatan Imam al-Ghazali ini sangat penting kita renungkan.
Beliau menulis Kitab Ihya Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah antara tahun 1096-1097, di
saat awal-awal periode Perang Salib. Saat itulah kaum Muslimin mengalami krisis politik

127
dan militer yang sangat serius, sehingga pasukan Salib (Crusaders) yang lebih rendah
tingkat peradabannya mampu mengalahkan kaum Muslimin. Dengan penguasaan ilmu yang
tinggi dan pencermatannya langsung ke beberapa wilayah kaum Muslimin, Al-Ghazali
melihat pada problema yang paling mendasar yang harus dipecahkan umat Islam saat itu,
yaitu masalah keilmuan dan keulamaan. Seperti kita bahas pada Catatan Akhir Pekan
(CAP) yang lalu, tugas ulama adalah sebagai pewaris para Nabi. Mereka yang harus
menjaga ilmu-ilmu agama agar tetap hidup dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
Islam. Jika konsepsi Islam tentang ilmu dipahami dan dihayati oleh kaum Muslimin,
terutama para tokoh-tokohnya, maka tidak mungkin kita mengalami krisis seperti sekarang
ini.

Umat akan paham, mana yang wajib dilakukan terlebih dahulu dan mana yang
menjadi prioritas kemudian. Tidak mungkin kita mengalami krisis pembelajaran dirosah
islamiyah, dimana jurusan-jurusan agama (Fakultas Agama Islam) adalah jurusan terakhir
yang dipilih mahasiswa muslim. Kemarin, saya berkunjung ke satu kampus di Jakarta. Ada
data yang dianggap biasa: di kampus ini, jumlah mahasiswa jurusan komunikasi mencapai
400 orang, sementara mahasiswa jurusan agama hanya 15 orang. Itu pun adalah mereka-
mereka yang diberi insentif untuk kuliah di situ. Biasanya, karena merupakan pilihan
terakhir, maka yang masuk ke studi agama pun, kualitas mahasiswa yang kemampuan
akalnya pas-pasan.

Masalahnya lebih rumit lagi, setelah masuknya virus liberalisme-sekularisme ke


dalam sistem pendidikan Islam. Virus ini otomatis melemahkan sendi-sendi pertahanan
kaum Muslim, dan memunculkan masalah yang sangat pelik. Dari konsepsi yang keliru
lahirlah sarjana yang keliru cara berpikirnya. Jika dulu paham ateisme disebarkan oleh
kalangan Marxis-komunis, maka kini tidak sedikit sarjana dari kalangan studi Islam yang
dengan bangga menyebarkan ateisme atau Marxisme, baik dalam bentuknya yang asli atau
metamorfosisnya, seperti paham pluralisme agama atau gender equality.

128
Mudah-mudahan peringatan Imam al-Ghazali dapat menjadi bahan renungan kita
bersama, dalam upaya membangun peradaban Islam yang gemilang di masa mendatang.
Amin. (Jakarta, 10 Juni 2005).

SATU TUHAN, SATU AGAMA!


Oleh: Dr. Adian Husaini

_________________________________________________________________

Dalam beberapa hari belakangan, ada sejumlah SMS yang masuk ke HP saya.
Isinya, meminta saya mengkaji sebuah buku berjudul Satu Tuhan Banyak Agama,

129
Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Rabu (19/10/2011), saya
baru sempat mencari buku ini di sebuah toko buku. Setelah membaca dengan seksama, saya
segera berusaha memberikan sejumlah ulasan berikut ini.

Dari segi penampilan luar, buku karya Dr. Media Zainul Bahri (dosen Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta) tampak berwibawa, dengan tebal 500 halaman lebih.
Ada pengantar dari Rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat dan juga pujian dari
Prof. Kautsar Azhari Noer, guru besar Perbandingan Agama, UIN Jakarta. Dengan
tampilan semacam itu, wajar jika orang menyangka bahwa buku ini berbobot ilmiah yang
tinggi. Apalagi, ini juga disertasi doktor di UIN Jakarta.

Tentu, usaha penulis buku ini dalam mengkaji pemikiran-pemikiran tiga tokoh sufi
tersebut perlu diberikan apresiasi. Harapannya, ke depan, makin terbuka kajian-kajian
semacam ini yang lebih serius dan lebih Islami. Akan tetapi, sebagai karya terbuka, tentu
buku ini wajib dikaji secara kritis. Berikut ini catatan kritis untuk buku ini:

Pertama, buku ini mengambil konsep Pluralisme, Perenialisme dan Kesatuan


Transendensi Agama-agama/KTAA (Transcendent Unity of Religions) sebagai dasar
analisis. Pemikiran tiga tokoh sufi dianalisis dari konsep ini. Tidak ada catatan kritis apa
pun terhadap konsep KTAA tersebut. Penulis buku ini sudah meyakini kebenaran konsep
tersebut dan kemudian berusaha mencari legitimasi pada karya-karya klasik dan
kontemporer dari para ulama dan sarjana Muslim klasik dan kontemporer.

Padahal, jika ditelaah sepintas saja, kita akan menjumpai berbagai paradoks dan
kerancuan dalam pemikiran-pemikiran yang disajikan. Sebagai contoh, tertulis: “Dalam
diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan bahwa setiap
agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa tidak ada agama
yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat,
karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hal.
21).

130
Itulah salah satu keganjilan pemikiran pluralisme agama. Mereka menolak “klaim
kebenaran” dari masing-masing pemeluk agama, tetapi pada saat yang sama mereka justru
menolak keberagaman. Mereka memaksa semua pemeluk agama melepaskan klaim
kebenarannya masing-masing lalu dipaksa berpindah menuju satu keyakinan, bahwa
“semuanya benar”, sebagaimana paham kaum pluralis tersebut. Bukankah ini satu sikap
yang paradoks dan justru anti-pluralisme!

Simaklah, betapa paradoks dan absurdnya logika penganut pluralisme ini! Di dalam
buku ini, dikatakan: “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan
bahkan jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang meluncur
ke samudera yang sama.” (hal. 379).

Logikanya, jika ia mengakui kebenaran semua agama, aliran, atau paham,


seharusnya dia juga mengakui kebenaran paham para penganut agama yang meyakini
kebenaran agamanya sendiri (bersikap eksklusif). Tetapi, anehnya, kita banyak menjumpai
berbagai kecaman terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran pluralisme.
Dikutip, misalnya, pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita tidak dapat mengatakan agama
yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama adalah relatif, terbatas, parsial, tidak
lengkap, satu cara melihat sesuatu. Saat ini, menganggap bahwa satu agama pada dirinya
lebih baik dari agama lain adalah sebuah pandangan keliru, ofensif, dan berpandangan
sempit. (hal. 379-380).

Kita balik bertanya, jika orang hanya mengakui paham Pluralisme saja yang benar,
dan menyerang paham yang berbeda dengannya, bukankah orang itu juga berpandangan
sempit? Seorang “pluralis sejati”, seharusnya bersikap permisif terhadap semua paham dan
agama, karena semuanya dianggap benar! Terbuktilah, logika kaum pluralis ini memang
mau menang sendiri dan asal-asalan: merasa benar sendiri dengan pendapatnya, tetapi
menyalahkan umat beragama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri!

Kedua, dalam buku ini tidak didefinisikan apa yang disebut “agama” dan apa
batasannya? Misalnya, ditulis: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama, dalam arti

131
sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih baik atau lebih
sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang Mahabenar secara mutlak – meminjam
ungkapan Schuon – tidak mungkin kebenaran-Nya secara sempurna dikandung hanya oleh
satu agama atau berapa agama, bahkan jutaan agama sekali pun.” (hal. 380).

Mari kita uji logika Doktor lulusan UIN Jakarta ini. Ia tentu paham bahwa jumlah
agama di dunia ini adalah ribuan. Ambillah satu contoh agama bernama Bhairawatantra
yang hidup di Indonesia sebelum kedatangan Islam. Bhairawatantra memiliki ajaran, bahwa
manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu
memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan
menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B.
Wolter, Jakarta-Groningen, 1953). Hal. 89). Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik,
adalah pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi
persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel
Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia.
Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih jauh tentang
aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011).

Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan


penyembelihan manusia ini sama derajatnya dengan agama Islam? Di era modern ini,
masih banyak dijumpai agama yang mengajarkan agar pemimpin dan jemaatnya semuanya
bertelanjang bulat saat melakukan ritual. Ada juga agama pemuja setan. Maka, bisa juga
ditanyakan, saat menulis bukunya ini, si dosen Ushuluddin UIN Jakarta tersebut sedang
memeluk dan meyakini agama apa? Sulit dibayangkan, jika logika si dosen ini suatu ketika
dipungut oleh para pelacur, sehingga mereka berlogika, bahwa praktik prostitusi adalah
satu bentuk ritual suci kepada Tuhan!

Ketiga, sebagaimana kebiasaan kaum yang mengaku pluralis agama, penulis buku
ini juga mengutip sejumlah ayat dari Kitab suatu agama menuruti pemahamannya sendiri,
yang berbeda dengan pemahaman para pemeluk agama tersebut. Sebagai contoh, ia
menulis: “Di antara agama-agama dunia, Hinduisme dan Bahaisme adalah dua agama yang
secara eksplisit mengapresiasi pluralisme agama, dalam arti mengakui jalan-jalan

132
keselamatan pada agama-agama lain, Bhagawatgita, salah satu kitab suci Hindu, memuat
dua sloka popular yang selalu menjadi rujukan bagi pluralisme.

Sloka itu berbunyi:

“Jalan mana pun ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Kuterima. Wahai


Arjuna, manusia mengikuti jalan-Ku pada semua jalan.” (hal. 381). Benarkah agama Hindu
kondisinya seperti itu? Ternyata, ungkapan itu hanya khayalan penulis saja! Tahun 2006,
terbit sebuah buku berjudul Semua Agama Tidak Sama. Editor buku ini, Ngakan Made
Madrasuta menulis kata pengantarnya dengan judul “Mengapa Takut Perbedaan?” Ngakan
mengkritik pandangan yang menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh
sebagian kaum Pluralis yang suka mengutip Bagawadgita IV:11: “Jalan mana pun yang
ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.”

Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut “Jalan” dalam Gita adalah empat yoga yaitu
Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama
Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan
hanya satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya.” (Lihat,
Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006) hal. xxx.)

Bahkan, majalah MEDIA HINDU, edisi Oktober 2011, menurunkan laporan utama
berjudul “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit”
dengan menyimpulkan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa
Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-
satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal
dasar untuk menjadi Negara maju.”

Itulah agama Hindu yang ditulis oleh orang Hindu sendiri! Sebagaimana sejumlah
penganut paham pluralis, dosen Ushuluddin UIN Jakarta ini pun mencoba mencari
legitimasi pemikirannya dengan mengutip pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh,
yang – katanya – berpendapat, bahwa tidak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nasrani,
dan Sabean untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw., karena masing-masing umat
memiliki wahyu dan nabi yang khusus, unik dan berbeda satu sama lain. (hal. 382-383).

133
Jika si penulis buku tersebut mau meneliti dengan sungguh-sungguh dan jujur
pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, tentu dia tidak akan berani menulis
semacam itu. Dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul
Kitab, disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab
yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya dan
kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu, mereka diperlakukan seperti Ahlul
Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi.

Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai
rincian QS 3:199), Abduh dan Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu:

(1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur
dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan
kebaikan,

(2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mereka
mengatakan bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya,
karena al-Quran merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata
putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada
yang hilang dan tidak mengalami pengubahan,

(3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka,

(4) rendah hati (khusyu') yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu untuk
melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman,

(5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia. (Lebih jauh
tentang keselamatan Ahli Kitab, kekafiran dan kemusyrikannya, lihat, Dr. Hamim Ilyas,
Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan
Non-Muslim, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hal. 71-99).

Jadi, di sini tampak jelas kekeliruan si penulis. Rasyid Ridha dan Muhammad
Abduh sama sekali tidak berpendapat seperti yang ditulis oleh penulis buku ini. Secara
ilmiah, cara-cara seperti ini tidak patut dilakukan, apalagi oleh seorang dosen Ushuluddin.

134
Keempat, penulis buku menyimpulkan bahwa dia telah mematahkan argumentasi
dari para sarjana ISTAC, seperti Sani Badron, Syamsuddin Arif dan Anis Malik Thoha.
(hal. 2). Sayangnya, penulis tidak mengkaji karya-karya para sarjana tersebut dengan
mendalam dan cermat. Penulis hanya mengutip artikel Sani Badron di Majalah Islamia,
Vol. 1, no. 3 (2004) yang berjudul “Ibn al-Arabi Tentang Pluralisme Agama.” Padahal, Dr
Mohd. Sani bin Badron telah menulis Tesis yang serius berjudul “Ibn al-Arabi’s
Conception of Religion.” Tesis Sani bin Badron ini tidak ditemukan dalam daftar referensi
buku ini.

Di akhir kesimpulan Tesisnya, Sani bin Badron mengkritik cara berpikir kaum
Transendentalis yang memaksakan posisi teologis Ibn Arabi ke dalam pola pikir mereka:
“Then only may we see clearly – at least in the case of Ibn al-‘Arabi – how far the
Trancendentalists have been right or have been deviated by their own belief.”

Dr. Syamsuddin Arif juga sudah melakukan kajian serius tentang konsep agama-
agama Ibn Arabi yang mengkritik cara-cara kaum Transendentalis dalam membaca karya
Ibn Arabi. Berikut ini petikan sebuah artikel Dr. Syamsuddin Arif berjudul “Pluralisme”
dan Manipulasi Orientalis.” Oleh kaum Pluralis, Ibn Arabi ‘dijadikan bemper’ untuk
melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek
esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama
benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb).
Pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam
tulisan-tulisan mereka yang kini tampak mendapat banyak pengikut di Indonesia.

Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn
Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah
mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan,
biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis
Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti
kemana pun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”

135
Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), SH Nasr
menyimpulkan bahwa di sinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed
paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan
Books, 1964], hlm.118).

Sebenarnya, Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam


syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed. Dr.
M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6).

Di situ dinyatakan bahwa yang ia maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama
Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran 3 (Ali Imran):31,
“Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah
aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.”

Dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi menyatakan
bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-
Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn
Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan ‘la
religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.

Menurut Ibn Arabi, semua agama dan kitab suci terdahulu harus diakui
kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing -- yakni sebelum diutusnya Nabi
Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Validitas itu tidak
berlanjut setelah kedatangan Rasulullah saw. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun,
niscaya tidak akan mengimami kita, kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat
Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa
hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa
bi syar‘ina),” tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).

Sikap Ibn Arabi tentang konsep mukmin-kafir juga jelas. Orang Yahudi atau
Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka
memang mengharuskan beriman mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Futuhat, bab

136
495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut
wa huwa kafir”).

Demikian hasil kajian Dr. Syamsuddin Arif tentang konsep agama Ibn Arabi yang
berbeda dengan cara pandang penulis buku ini, yang sudah beriman secara bulat-bulat
kepada teori Transendentalisme Fritjoph Schuon. Pembaca bisa membandingkan hasil
kajian Sani bin Badron dan Dr Syamsuddin Arif dengan kajian penulis disertasi ini.

Kelima, kesalahan fatal penulis buku ini adalah menjiplak mentah-mentah dan
mengimani tanpa kritis sosok dan pemikiran KTAA, yaitu Fritjoph Schuon. Padahal,
banyak sekali kritik terhadap pemikiran Schuon dan praktik ritual tarekat Maryamiyya yang
dibentuknya. Salah satu kritik tajam disampaikan oleh Mark Sedwigk melalui bukunya
Againts the Modern World. Sedwigk memaparkan beberapa penyimpangan yang dilakukan
oleh Schuon maupun tarekat Maryammiyah. (Mark Sedgwick, Against the Modern World ;
Traditionalism and the Secret Intellectual History of Twentieth Century, Oxford University
Press, 2004).

Mark Sedgwick menulis, bahwa Schuon sangat permisif dalam soal pelaksanaan
syariat Islam. “He believed that esoteric practice was what really mattered and that its
esoteric framework was less important.” (Ibid, hal. 124). Schuon memiliki hobi melukis. Ia
juga tak segan-segan membuat lukisan telanjang, sebagai simbol esoterisme. (Ibid, hal.
148). Setelah mengaku “bertemu” dengan Bunda Maria (Virgin Mary), Schuon juga
membuat lukisan yang terkadang menggambarkan Bunda Maria dalam keadaan telanjang
bulat atau telanjang sebagian yang mempertontonkan payudaranya. Katanya, itu sebagai
simbol untuk mengungkapkan kebenaran dan membebaskan kasih sayang. (to the unveiling
of truth in the sense of gnosis and to liberating mercy.” (Ibid, hal 151). Tahun 1965,
Schuon menikah lagi. Uniknya, kali ini ia menikahi salah satu muridnya sendiri, tanpa perlu
bercerai dengan suaminya terdahulu. Perkawinan ini dijuluki sebagai “perkawinan vertikal”
atau “perkawinan spiritual”. (Ibid, hal. 152-153).

137
Penutup.
Sebenarnya, teori KTAA, bahwa semua agama menuju Tuhan yang sama, atau
ibaratnya, semua sungai akan mengalir ke Laut yang sama, adalah sebuah teori fabrikasi
dan khayalan belaka. Faktanya, tidak semua sungai mengalir ke laut. Ada sungai yang
kering duluan. Faktanya juga, tidak semua sungai airnya jernih. Ada sungai yang airnya
keruh, bahkan ada yang busuk dan beracun.

Faktanya, saat ini, ada agama yang mengajarkan bahwa zina adalah perbuatan bejat,
tetapi ada juga agama yang mengajarkan praktik seks bebas! Ada agama yang
mengharamkan babi. Tetapi ada juga yang menghalalkannya. Ada agama yang mewajibkan
khitan. Tapi ada juga yang melarang khitan! Ada agama yang melarang kawin sejenis
(homo/lesbi). Ada juga agama yang membolehkan kawin sejenis. Orang yang sehat akalnya
pasti menyatakan, tidak mungkin semua ajaran itu sama-sama benar dan berasal dari Tuhan
yang sama!

Adalah sebuah khayalan belaka, bahwa agama-agama akan bertemu pada level
esoterik/transenden. Ingatlah, bahwa Iblis pernah berdialog dengan Allah di level itu.
Faktanya, dia tetap iblis dan kafir. Jadi, di level transenden pun ada Iblis yang kafir.

Teori KTAA juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu sudah mengenalkan diri-
Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni Muhammad saw.
Nama-Nya pun sudah disebutkan. Jadi, manusia tidak perlu mengarang nama Tuhan Yang
Satu itu. Kalau ada orang menyebut Tuhan Yang Satu itu dengan nama “Setan Gundul” –
menurut seorang Muslim – nama itu harus ditolak. Tapi, menurut penganut KTAA, nama
apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja! Kata mereka, yang penting Tuhan.

Lalu, juga sebuah khayalan dari pengikut paham KTAA, bahwa aspek esoterik
(batin) lebih penting dari aspek eksoterik (aspek syariah). Seorang Muslim -- yang telah
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah –
pasti meyakini bahwa salah satu tugas penting dari Nabi Muhammad saw adalah
mengajarkan bagaimana cara menyembah Tuhan Yang Satu itu! Itu aspek syariat. Tanpa
panduan dan contoh dari Nabi, manusia pasti akan menyembah Tuhan sesuai dengan

138
imajinasi dan kreativitasnya masing-masing! Jika semuanya dikatakan sah dan benar, lalu
untuk apa Nabi Muhammad saw diutus?

Yang bisa dinilai dari suatu agama adalah justru aspek eksoterisnya. Sedangkan
aspek esoterik adalah sesuatu yang abstrak, yang dalam pandangan Islam tidak dapat
dipisahkan dari aspek syariat. Jika konsep eksoteris direlatifkan dan dibebaskan dalam
bentuk apa pun, itu sama saja dengan merusak agama itu sendiri.

Jika kita renungkan, yang logis bukan konsep “Satu Tuhan, Banyak Agama”, tetapi
yang benar adalah “Satu Tuhan, Satu Agama!” Sebagai Muslim, sesuai penjelasan ayat-
ayat al-Quran, misalnya QS 16:36, 3:19, 85, saya memahami, bahwa Tuhan itu SATU, dan
Tuhan yang SATU itu hanya menurunkan SATU agama kepada para Nabi-Nya, yaitu
agama Tauhid. Selama tidak mengajarkan TAUHID – yakni mengakui dan tunduk kepada
Allah, sebagai SATU-SATU-nya Tuhan – maka jelas itu bukan agama dari Allah, dan
bukan agamanya para Nabi; bukan pula agama wahyu (revealed religion), melainkan agama
budaya (cultural religion). Agama Tauhid menuhankan Allah, sebagai satu-satunya Tuhan;
bukan menuhankan Iblis.

Dan untuk mengenal Allah – bukan Genderuwo atau Setan Gundhul – mutlak perlu
beriman kepada kenabian Muhammad saw. Karena itulah, saya membaca syahadat:

Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah. Jadi, Tuhan saya jelas,yaitu Allah! Bukan asal Tuhan, atau Tuhan
asal--asalan. Itu karena posisi saya sudah jelas, yaitu saya Muslim, saya sudah memilih
Islam. Saya bukan Kristen, saya bukan Yahudi, saya bukan Hindu, atau penganut paham
kebenaran semua agama. Itu keyakinan saya, dan saya sangat menghormati keyakinan yang
berbeda dengan saya, meskipun saya tidak membenarkannya. Saya tidak boleh memaksa
orang lain mengikuti pendapat saya. Itulah makna toleransi dan mutual understanding.

Jadi, sejatinya, teori Kesatuan Transendensi Agama-agama (KTAA) adalah teori


yang absurd (senseless). KTAA bukannya memperkuat basis ushuluddin (dasar-dasar
agama) seorang Muslim, tetapi justru mengajak Muslim untuk menjadi “uculuddin”

139
(bahasa Jawa: lepas agamanya). Padahal, penulis buku ini adalah dosen di Fakultas
Ushuluddin, bukan Fakultas “Uculuddin”!

Wallahu a’lam. (Depok, 20 Oktober 2011).

BELAJAR DARI “NAPOLEON”


Oleh: Dr. Adian Husaini
__________________________________________________________________

140
Kondisi kebebasan nyaris tanpa batas (anarkhi) dalam negara demokrasi – menurut
Socrates (469-399 SM) -- akhirnya akan memunculkan bentuk tirani (tyranny). Socrates,
seperti diceritakan muridnya, Plato (427-347 SM), dalam karyanya ‘The Republic’,
memandang demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang tidak ideal; lebih rendah
nilainya dibandingkan ‘aristokrasi’ (negara dipimpin para pecinta hikmah/kebenaran),
‘timokrasi’ (negara dipimpin para ksatria pecinta kehormatan), dan ‘oligarchy’ (negara
dipimpin oleh sedikit orang). Di negara demokrasi (pemerintahan oleh rakyat – the rule of
the people), kata Socrates, semua orang ingin berbuat menurut kehendaknya sendiri, yang
akhirnya menghancurkan negara mereka sendiri. Kebebasan menjadi sempurna. Ketika
rakyat lelah dengan kebebasan tanpa aturan, maka mereka akan mengangkat seorang tiran
untuk memulihkan aturan. (… when men tire of the lawlessness of a liberty… they appoint
a strong man to restore order). (Lihat, Eric H. Warmington, (ed.), Great Dialogues of Plato,
(New York: The New American Library), hal. 123).

Adalah menarik untuk membandingkan keadaan Indonesia saat ini dengan kondisi
Perancis pada saat-saat negara itu mengalami Revolusi tahun 1789 dan setelah kejatuhan
Napoleon. Menjelang Revolusi, Perancis adalah negara autokrasi di bawah kekuasaan Raja
Louis ke-14 yang berpenduduk sekitar 26 juta jiwa. Kekuasaan terpusat di tangan raja dan
kaum elite negara. Ada dua kelompok yang sangat diistimewakan ketika itu. Pertama, kaum
agamawan (clergy), yang diwakili oleh Geraja Katolik, dan kaum bangsawan (nobility).
Gereja mendapatkan berbagai keistimewaan, seperti memungut pajak hasil bumi, mencatat
kelahiran, perkawinan, dan kematian, melakukan penyensoran terhadap buku-buku yang
dinilai melawan ajaran Gereja, mengoperasikan sekolah-sekolah. Walaupun tanah-tanah
Gereja banyak menghasilkan keuntungan, namun mereka tidak membayar pajak apa pun.
Karena itu, banyak dijumpai, tokoh-tokoh agama yang hidup dalam kemewahan. Kelompok
bangsawan yang jumlahnya hanya sekitar 350 ribu juga mendapatkan berbagai
keistimewaan. Mereka dikecualikan dari hampir semua jenis pajak. Mereka menguasai
sekitar ¼ sampai 1/3 tanah Perancis.

Krisis ekonomi menjelang tahun 1789, dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan
liberal dan kelompok bourgeoisie Perancis untuk melakukan revolusi dan meruntuhkan

141
monarkhi. Dan itu terjadi pada 14 Juli 1789, saat masyarakat Perancis berhasil
meruntuhkan penjara Bastile, yang menjadi simbol dari kekuasaan Rejim Lama.

Revolusi Perancis mengusung jargon yang sangat terkenal: “liberty, egality, dan
fraternity” (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Namun, revolusi itu selama
beberapa tahun tidak melahirkan stabilitas dan kebaikan bagi rakyat Perancis. Masa-masa
teror sempat terjadi selama beberapa tahun yang memakan korban sekitar 40 ribu orang.
Saling bunuh dan teror terjadi antar rezim yang berganti-ganti kekuasaan. Rezim
Thermidorean, misalnya, pada 1795, melakukan aksi “kontra-revolusi” yang membantai
pengikut rezim sebelumnya.

Di saat-saat berkembangnya anarkhi dan ketidakpastian itulah, muncul seorang


Jenderal militer, bernama Napoleon Bonaparte, yang mengambil alih kekuasaan di Perancis
pada tahun 1799. Napoleon lahir tanggal 15 Agustus 1769 di Pulau Corsica. Ia masih
termasuk keluarga bangsawan kecil. Tahun 1796, ia memimpin pasukan Perancis di Itali.
Di sinilah ia meraih reputasi yang hebat dalam kemiliteran. Tahun 1799, ia menjadi
jenderal terkemuka di Perancis. Ia bergabung dalam satu konspirasi untuk menumbangkan
penguasa lama, dan mendirikan sistem pemerintahan baru dengan kekuasaan dipegang oleh
tiga konsul. Sebagai konsul pertama, Napoleon memonopoli kekuasaan. Tahun 1802, ia
menjadi konsul pertama seumur hidup, yang berhak menentukan penggantinya. Dan pada 2
Desember 1804, dalam satu seremoni agung di Katedral Notre Dame di Paris, Napoleon
menobatkan dirinya sebagai Kaisar Perancis (emperor of the French). Napoleon memang
cinta pada kekuasaan, yang ia ibaratkan, seperti seorang musisi mencintai biolanya.

Napoleon melakukan perombakan sistem pemerintahan di Perancis. Ia


mengembalikan Perancis ke dalam sistem pemerintahan yang disebut sebagai “enlightened
despotism” (despotisme yang tercerahkan). Ia menjadikan pemerintahan berjalan lebih
efektif, dengan melakukan berbagai kebijakan, seperti: efisiensi dan penyeragaman
administrasi pemerintahan, menolak feodalisme, menentang persekusi keagamaan, dan

142
menghilangkan diskriminasi warga negara. Juga, ia memilih kebijakan yang menjadikan
negara mengontrol perdagangan dan industri. Menurut Napoleon, sistem “enlightened
despotism” merupakan alat untuk menjamin stabilitas politik dan memperkuat negara.
Napoleon juga memelihara dan melaksanakan sejumlah hasil yang dicapai dalam revolusi
Perancis, seperti: persamaan di depan hukum, jenjang karir berdasarkan kemampuan dan
prestasi (meritokrasi), penekanan pada pendidikan sekular, dan pengurangan kekuasaan
Gereja (clerical power). Namun, Napoleon menekan kebebasan politik.

Berbagai cara dilakukan Napoleon untuk mengkonsentrasikan kekuasaan, sehingga


menjadi efektif. Untuk meraih dukungan kaum Katolik, ia melakukan negosiasi dengan
Paus, yang hasilnya adalah pengesahan Concordat 1801, berupa pengakuan Katolik sebagai
agama mayoritas rakyat Perancis. Napoleon menolak permintaan Paus untuk menjadikan
Katolik sebagai agama negara. Ia pun melakukan berbagai cara untuk membungkam
penentangnya, dari kalangan bekas keluarga kerajaan maupun pendukung republik. Namun,
ia pun melakukan berbagai perbaikan di bidang hukum, ekonomi, dan pendidikan. Ia
mendirikan University of France. Untuk menekan laju inflasi, misalnya, ia mendirikan
Bank of France. Ia juga membiarkan para petani menguasai lahan para tuan tanah, yang
mereka peroleh di masa Revolusi.

Di tangan Napoleon, Perancis kemudian menjadi kekuatan besar di Eropa. Antara


tahun 1805-1807, Perancis mampu menaklukkan Austria, Russia, dan Prussia (cikal bakal
Jerman). Tahun 1810, Napoleon mendominasi Eropa Daratan, kecuali Semenanjung
Balkan. Napoleon berhasil membawa Perancis menjadi negara besar yang sayangnya
kemudian dimanfaatkan untuk aktivitas imperialisme. Ekspansi yang berlebihan akhirnya
mengantarkan kehancuran tentara Perancis, terutama setelah kekalahan besar di Rusia pada
tahun 1812 yang membawa kematian ratusan ribu tentara Napoleon.

Akhirnya, tahun 1814 Paris diduduki Tentara Sekutu Austria, Russia, Prussia, dan
Swedia, dan Napoleon berhasil ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba. Namun, setahun
kemudian, sang jenderal kembali ke Paris sebagai ‘hero’ dan bertempur kembali melawan
pasukan Sekutu, sebelum akhirnya dikalahkan kembali. (Uraian tentang Revolusi Perancis

143
dan Napoleon diringkaskan dari buku Western Civilization A Brief History, karya Marvin
Perry, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1997).

Akankah “Napoleon” akan muncul di Indonesia? Di tengah situasi “anarkhis” dan


kepemimpinan yang lemah, bukan tidak mungkin sebagian merindukaN tampilnya sosok
Napoleon. Tapi, perlu diwaspadai, sosok semacam ini pun, ujungnya – jika tanpa iman dan
taqwa – akan membawa pada kesengsaraan!

Wallahu A’lam.

KESAKTIAN DAKWAH
Oleh: Dr. Adian Husaini
__________________________________________________________________

Prof. Dr. Hamka pernah menulis sebuah artikel menarik berjudul “Islam dan

144
Majapahit”, yang dimuat dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1982). Bagi pengkaji sejarah Islam di Indonesia, artikel Hamka ini teramat
sayang untuk dilewatkan. Hamka memulai artikelnya dengan ungkapan pembuka:

“Meskipun telah hidup di zaman baru dan penyelidik sejarah sudah lebih luas dari
pada dahulu, masih banyak orang yang mencoba memutar balikkan sejarah. Satu di antara
pemutarbalikkan itu ialah dakwah setengah orang yang lebih tebal rasa Hindunya daripada
Islamnya, berkata bahwa keruntuhan Majapahit adalah karena serangan Islam. Padahal
bukanlah begitu kejadiannya. Malahan sebaliknya.”

Hamka menjelaskan, bahwa Kerajaan Majapahit pada zaman kebesarannya,


terutama semasa dalam kendali Patih Gajah Mada, memang adalah sebuah kerajaan Hindu
yang besar di Indonesia, dan pernah mengadakan ekspansi, serangan dan tekanan atas
pulau-pulau Indonesia yang lain. Dalam kitab “Negarakertagama” disebutkan daftar negeri
taklukkan Majapahit. Berbagai Kerajaan, baik Hindu, Budha, maupun Kerajaan Islam
ditaklukkan.

Kerajaan Islam Pasai dan Terengganu pun dihancurkan oleh Majapahit. Pasai tidak
pernah bangkit lagi sebagai sebuah kerajaan. Tapi, Pasai kaya dengan para ulama. Di dalam
sejarah Melayu, Tun Sri Lanang menulis, bahwa setelah Kerajaan Malaka naik dan maju,
senantiasa juga ahli-ahli agama di Malaka menanyakan hukum-hukum Islam yang sulit ke
Pasai. Dan jika ada orang-orang besar Pasai datang ziarah ke Malaka, mereka disambut
juga oleh Sultan-sultan di Malaka dengan serba kebesaran.

Menurut Hamka, jika Pasai ditaklukkan dengan senjata, maka para ulama Pasai
kemudian dating ke Tanah Jawa dengan dakwah, dengan keteguhan cita-cita dan ideologi.
Para ulama datang ke Gresik sambil berniaga dan berdakwah. Terdapatlah nama-nama
Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ibrahim Asmoro, atau Jumadil Kubro, ayah dari
Maulana Ishak yang berputera Sunan Giri (Raden Paku) dan Sunan Ngampel (Makhdum
Ibrahim).

145
“Dengan sabar dan mempunyai rancangan yang teratur, guru-guru Islam berdarah
Arab-Persia-Aceh, itu menyebarkan agamanya di Jawa Timur, sampai Giri menjadi pusat
penyiaran Islam, bukan saja untuk tanah Jawa, bahkan sampai ke Maluku. Sampai akhirnya
Sunan Bonang (Raden Rahmat) dapat mengambil Raden Patah, putra Raja Majapahit yang
terakhir (Brawijaya) dikawinkan dengan cucunya, dan akhirnya dijadikan Raja Islam yang
pertama di Demak,” tulis Hamka.

Tindakan para wali dalam penyebaran Islam di Jawa itu tidak dapat dicela oleh raja-
raja Majapahit. Bahkan, kekuasaan dan kewibawaan mereka di tengah masyarakat semakin
meluas. Ada wali yang diangkat sebagai adipati Kerajaan Majapahit. Hamka menolak keras
pandangan yang menyatakan, bahwa Majapahit runtuh karena diserang Islam. Itu adalah
pemutarbalikan sejarah yang sengaja disebarkan oleh orientalis seperti Snouck Hourgronje.
Upaya ini dilakukan untuk menjauhkan bangsa Indonesia agar tidak menjadikan Islam
sebagai basis semangat kebangsaan. “Maksud ini berhasil,” papar Hamka.

Akibatnya, dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolah-


sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama
Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka
tenggelam oleh nama Raja Airlangga. Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa
Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah
Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia.
Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit.

Simaklah paparan Hamka selanjutnya berikut ini:

“Marilah kita jadikan saja segala kejadian itu, menjadi kekayaan sejarah kita, dan
jangan dicoba memutar balik keadaan, agar kokohkan kesatuan bangsa Indonesia, di bawah
lambaian Merah Putih!

146
Kalau tuan membusungkan dada menyebut Gajah Mada, maka orang di Sriwijaya
akan berkata bahwa yang mendirikan Candi Borobudur itu ialah seorang Raja Budha dari
Sumatra yang pernah menduduki pulau Jawa. Kalau tuan membanggakan Majapahit, maka
orang Melayu akan membuka Sitambo lamanya pula, menyatakan bahwa Hang Tuah
pernah mengamuk dalam kraton sang Prabu Majapahit dan tidak ada kstaria Jawa yang
berani menangkapnya.

Memang, di zaman jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu!
Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama jiwa persatuan. Dan Kompeni
Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya. Tahukan
tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Diponegoro, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah dapat
ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke
Minangkabau buat mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa
dirinya tertipu, sebab yang diperanginya adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan
setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan serbannya sama
dengan ikatan serban ulama Minangkabau, sudi menerima Sentot sebagai “Amir” Islam di
Minangkabau? Teringatkah tuan, bahwa lantaran rahasia bocordan Belanda tahu, Sentot
pun diasingkan ke Bengkulu dan disana beliau berkubur buat selama-lamanya?

Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan
Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang
harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana.”

Peringatan Hamka, ulama terkenal, ini kiranya sangat patut dicamkan! Upaya
sebagian kalangan, baik LSM dalam dan luar negeri maupun sebagian unsur pemerintah
untuk menjauhkan Islam dari masyarakat – dengan cara membangkitkan kembali tradisi-

147
tradisi pra-Islam atau menanamkan paham sekularisme – sejatinya akan membawa
Indonesia ke jurang bencana.

Fenomena ini menunjukkan, bahwa tantangan dakwah Islam di Tanah Jawa


sejatinya masih belum berubah. Jika Wali Songo dan para pendakwah Islam lainnya di
Tanah Jawa telah memulai langkah-langkah yang spektakuler, mengubah agama penduduk
mayoritas negeri ini menjadi Muslim, maka kaum Muslim selanjutnya berkewajiban
melanjutkannya.

Dalam buku terkenalnya, Fiqhud Da’wah, M. Natsir menegaskan, bahwa dakwah


adalah kewajiban setiap muslim. “Tidak boleh seorang Muslim dan Muslimah
menghindarkan diri dari padanya.”

ISLAM, KOMUNIS DAN PANCASILA


Oleh: Dr. Adian Husaini

________________________________________________________________________

Sejarah perjalanan kehidupan bernegara di Indonesia mencatat satu babak tentang


perebutan memaknai Pancasila antar berbagai kelompok ideologi di Indonesia. Pergulatan

148
pemikiran itu secara intensif pernah terjadi dalam Majlis Konstituante, dimana kekuatan
Islam dan sekulerisme kembali terlibat dalam perdebatan tentang Dasar Negara Indonesia.
Kekuatan komunis pernah menggunakan Pancasila untuk memuluskan penerapan ideologi
komunisme di Indonesia.

Mantan Wakil Kepala BIN, As'ad Said Ali, menulis dalam bukunya, Negara
Pancasila, (hlm. 170-171), bahwa munculnya semangat para tokoh Islam untuk
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dalam Majelis Konstituante, antara lain juga
didorong oleh masuknya kekuatan komunis (melalui Partai Komunis Indonesia/PKI) ke
dalam blok pendukung Pancasila.

"Kalangan Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi


oleh kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi dimensi
religiusitasnya. Kekhawatiran tersebut semakin mengkristal karena adanya peluang
perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamanatkan perlunya dibentuk Majelis
Konstituante yang bertugas merumuskan UUD yang definitif," tulis As'ad dalam bukunya
tersebut.

Dalam pidatonya di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, tokoh Islam


Kasman Singodimedjo banyak mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila.
Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham
dan ideologi komunisme. Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha
Esa menjadi "kebebasan beragama". Termasuk dalam cakupan "kebebasan beragama"
adalah "kebebasan untuk tidak beragama."

Mr. Kasman Singodimedjo adalah Jaksa Agung RI 1945-1946 dan Ketua Komite
Nasional Indonesia Pusat (1945-1950). Ia juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah.
Dalam Sidang Konstituante itu mengingatkan: "Saudara ketua, sama-sama tokh kita
mengetahui bahwa soko guru dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan
sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai
peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama.
Saudara ketua, sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umum nya dan pada

149
dasarnya justru anti Tuhan dan anti-Agama!." (Lihat buku Hidup Itu Berjuang, Kasman
Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 480-481).

Masuknya kaum komunis ke dalam blok pembela Pancasila kemudian dipandang


oleh kubu Islam sebagai upaya membelokkan Pancasila dari prinsip dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sebagai contoh, pada 20 Mei 1957, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Ir.
Sakirman mendukung pandangan Fraksi Katolik yang menyatakan, bahwa "Rakyat
Indonesia terdiri dari berbagai-bagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau
keyakinan masing-masing bersifat universal."

Karena itu Sakirman menyeru kepada golongan Islam: "Betapa pun universal,
praktis dan objektifnya Islam, tetapi karena Islam hanya merupakan salah satu dari sekian
banyak kepercayaan dan keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka
Pancasila sebagai apa yang dinamakan oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) suatu
"grootste gemene deler" yang mempertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua,
akan tetapi lebih praktis lebih objektif dan lebih universal dari pada Islam."

Dalam Sidang Konstituante tanggal 2 Desember 1957, Kasman mengkritik ucapan


Nyoto dari PKI pada Sidang Konstituante 28 November 1957 yang menyatakan: "Pancasila
itu bersegi banyak dan berpihak ke mana-mana." Kasman berkomentar: "Itu artinya, dan
menurut kehendak dan tafsiran PKI, bahwa Pancasila itu dapat dan boleh saja bersegi ateis
dan politeis, pun dapat/ boleh saja berpihak ke syaitan dan neraka."

Begitulah sikap para tokoh Islam dalam sidang Konstituante yang memang
merupakan forum untuk merumuskan dasar negara yang baru. Tapi, ketika forum itu di
bubarkan dan dikeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959, Kasman dan para tokoh Islam lain nya,
menerimanya karena telah sah secara konstitusional. (Hidup Itu Berjuang, Kasman
Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 536-540).

Dalam bukunya, Renungan dari Tahanan, Kasman menulis: "… seluruh rakyat
Indonesia, termasuk seluruh umat Islam yang meliputi mayoritas mutlak dari rakyat

150
Indonesia itu kini harus mengindahkan Dekrit Presiden itu sepenuh-penuhnya." (Lihat,
Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan, (Jakarta: Tintamas, 1967), hlm. 34).

Memang, Ir. Sakirman pernah berpidato dalam Majlis Kontituante dengan


menyebutkan adanya rumusan sila kelima yang diajukan Bung Karno pada 1 Juni 1945,
yang berbeda dengan rumusan risalah sidang BPUPK, yaitu (5) "Ke-Tuhanan yang
berkebudayaan atau Ke-Tuhanan yang berbudi luhur atau Ke-Tuhanan yang hormat
menghormati satu sama lain." Sakirman juga mengakui, bahwa PKI memang menginginkan
agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila "Kemerdekaan Beragama dan
Berkeyakinan Hidup." (Pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku Pancasila dan Islam:
Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor:
Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008), hlm. 275.

Fakta komunisme. Tajamnya perbedaan antara Islam dan Komunisme, tidak menyurutkan
usaha untuk menyatukan kekuatan agama dan komunisme. Tapi, sejarah kemudian
mencatat, upaya penyatuan antara kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis, di bawah
payung Pancasila mengalami kegagalan.

Golongan Islam melakukan perlawanan habis-habisan melawan komunisme. Dalam


Muktamar Ulama se-Indonesia tanggal 8- 11 September 1957 di Palembang, para ulama
memutuskan:

(1) Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam
menganutnya,

(2) Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran Komunisme dengan keyakinan dan
kesadaran, maka kafirlah dia dan tiada sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada
pusaka-mempusakai dan haram hukumnya jenazahnya diselenggarakan secara Islam,

151
(3) Bagi orang yang memasuki organisasi/Partai yang berideologi komunisme (PKI, Sobsi,
Pemuda Rakyat dll; tidak dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi
umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut,

(4) Walaupun Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya
bagi umat Islam mengangkat/ memilih kepala negara yang berideologi Komunisme,

(5) Memperingatkan kepada pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi
subversif asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/ Atheis Indonesia,

(6) Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel
organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia. (Lihat buku Muktamar Ulama se-
Indonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957, yang disusun oleh H. Husin Abdul
Mu'in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia, 1957).

Dalam sambutannya untuk Muktamar tersebut, mantan wakil Presiden RI


Mohammad Hatta mengingatkan kepada para ulama, bahwa perkembangan Komunisme di
Indonesia, terutama dihasilkan melalui kerja keras mereka dan kondisi kemiskinan rakyat.
"Kemajuan PKI tidak disebabkan oleh kegiatan orang-orang komunis mengembangkan
ideologi yang belum di mengerti oleh rakyat, melainkan dengan kegiatannya bekerja dalam
kalangan rakyat serta janji-janjinya akan membagikan tanah dan memperbaiki hidup rakyat
yang miskin.

Apabila kaum Ulama kita tidak menilai masalah kemasyarakatan ini dengan ukuran
yang tepat, Muktamar tidak akan dapat menyusun rencana yang tepat terhadap gerakan
Atheisme," kata Hatta dalam sambutannya. Hatta mengajak agar Ulama berusaha
menegakkan keadilan Islam. Kata Hatta lagi, "Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia,
maka dengan sendirinya Komunisme akan lenyap dari bumi Indonesia.

Apabila berlaku keadilan Islam di bumi kita ini, tidak ada yang akan dituntut oleh
Komunisme. Keadilan Islam adalah keadilan yang setinggi-tingginya, keadilan Ilahi.
Keadilan Islam menumbuhkan rasa damai, rasa bahagia dan sejahtera."

152
Perjuangan melawan komunisme, dalam sejarah perjuangan umat Islam, bisa
dikatakan sudah mendarah daging di berbagai penjuru dunia. Sebab, kekejaman komunisme
di berbagai belahan dunia sudah terbukti. Di Indonesia, salah seorang sastrawan terkemuka
yang aktif melawan komunisme, sejak zaman Orde Lama sampai zaman kini adalah Taufik
Ismail. Berbagai buku yang menjelaskan bahaya dan kegagalan komunisme ditulis oleh
Taufik Ismail, termasuk buku-buku saku yang disebarluaskan secara gratis kepada
masyarakat luas.

Taufiq mengaku risau dengan generasi muda yang tidak lagi mengenal hakekat dan
kekejaman kaum komunis. Dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit
Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum,
2007), Taufiq menyajikan data yang menarik: Komunisme adalah ideologi penindas dan
penggali kuburan massal terbesar di dunia. Dalam mengeliminasi lawan politik, kaum
komunis telah membantai 120 juta manusia, dari tahun 1917 sampai 1991. Itu sama dengan
pembunuhan terhadap 187 nyawa per jam, atau satu nyawa setiap 20 detik. Itu dilakukan
selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl marx (1818-1883) pernah berkata:
"Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita."

Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870- 1924) juga menyatakan: "Saya suka
mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah
membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah." Satu lagi
tulisannya: "Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis.
Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang."

Lenin bukan menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai


setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjut kan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46
juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta
jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987). Buku saku lain

153
tentang komunisme yang ditulis oleh Taufiq Ismail adalah Komunisme=Narkoba dan
Komunis Bakubunuh Komunis, serta Karl Marx, Tukang Ramal Sial yang Gagal (Jakarta:
Infinitum, 2007).

Sepatutnya, bangsa Indonesia mau belajar dari sejarah. Ketika agama dibuang;
Tuhan disingkirkan, jadilah manusia laksana binatang. Anehnya, kini ada yang mulai
berkampanye tentang perlunya "kebebasan beragama" harus mencakup juga "kebebasan
untuk tidak beragama". Dalam kondisi seperti ini, Islam dan kekuatan anti-komunisme
lainnya, diharapkan memainkan perannya yang signifikan. Jangan sampai elite-elite muslim
lupa diri; sibuk memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya; sibuk saling caci; tanpa
sadar komunisme dalam kemasan baru semakin mendapat simpati masyarakat.
Na'udzubillahi min dzalika.

Kepemimpinan Perguruan Tinggi Islam


Oleh: Dr. Adian Husaini

Dalam berbagai kesempatan seminar atau kuliah umum, saya menyampaikan satu
penyataan, bahwa dalam kurun waktu 25-30 tahun belakangan, telah terjadi kebangkitan
sekolah-sekolah Islam di Indonesia. Itu terjadi khususnya pada lembaga pendidikan tingkat
TK, dasar, dan menengah.

Kini dapat disaksikan, di berbagai pelosok daerah, banyak kalangan menengah


muslim tidak segan-segan menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah Islam, bahkan ke
pondok-pondok pesantren. Tak jarang, mereka rela meninggalkan kesempatan untuk

154
memasuki sekolah-sekolah negeri. Bagi sebagian orang, masuk ke sekolah Islam, dengan
membayar mahal pun, tak jadi soal.

Tetapi kepercayaan seperti itu belum dinikmati Perguruan Tinggi Islam (PTI).
Sejauh informasi yang saya terima, hingga kini, murid-murid pintar lulusan SMA sekolah-
sekolah Islam unggulan, belum menjadikan Perguruan-perguruan Tinggi Islam, sebagai
tujuan utama kuliah utama mereka.

Berbagai SMA Islam masih memasang ‘promosi’, bahwa sekian persen lulusan
mereka diterima di berbagai Perguruan Tinggi Favorit. Yang dimaksud ‘favorit’ adalah
semisal UI, ITB, UGM, IPB, Unair, Undip, Unpad, dan sebagainya. Sejumlah universitas
Islam kini menduduki ‘peringkat atas’; masuk 50 besar universitas terbaik di Indonesia,
versi sejumlah lembaga pemeringkat.

Dari segi pemilihan jurusan (Program Studi) belum ada pergeseran yang signifikan
dalam hal minat calon mahasiswa. Kedokteran Umum masih menduduki peringkat
tertinggi. Biasanya disusul Teknologi Informasi, Ekonomi, dan seterusnya. Hingga kini,
bidang Keguruan dan Pendidikan belum menjadi tujuan utama para murid-murid SMA
terbaik secara akademik. Mungkin ada pemenang olimpiade matematika internasional yang
mendaftar menjadi mahasiswa Fakultas Tarbiyah di satu PTI, tetapi saya tidak tahu.
Wallahu A’lam.

Padahal, jika dicermati, kini banyak sekali sarjana lulusan UI, ITB, IPB, dan
sebagainya, yang memilih berprofesi sebagai guru. Bahkan tidak sedikit para insinyur dan
pakar ekonomi yang aktif bergelut dalam bidang pendidikan. Dan mereka terbukti sukses
mewujudkan dan mengelola berbagai lembaga pendidikan Islam terkenal.

Mengapa sekolah-sekolah Islam bangkit dan menjadi tujuan utama para murid
muslim yang pintar-pintar? Jawabnya sederhaha. Sebab, sekolah-sekolah Islam itu
berbenah dengan serius meningkatkan kualitasnya. Mereka bukan hanya memasang target
kompetensi keunggulan akademik, tetapi juga kompetensi iman, taqwa, dan akhlak mulia.
Sebagian sekolah, menambah dengan kompetensi hafalan al-Quran. Intinya, ada ‘nilai jual’,

155
ada ‘distingsi’ atau ‘keunikan’, yang bersifat Islami, yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah
Islam.

Urgensi Kebangkitan PTI

Kebangkitan sekolah-sekolah Islam itu kini telah meluluskan ribuan murid-murid


SMA muslim yang berkualifikasi tinggi, baik secara akademik atau pun secara akhlak.
Tidak sedikit dari mereka yang juga sudah hafal al-Quran 30 juz. Sepatutnya, para murid
terbaik itu melanjutkan pendidikan mereka ke PTI, agar pembinaan intelektual, keimanan,
ketaqwaan, seta akhlak mereka terus berjalan dengan baik.

Tetapi, realitasnya, hingga kini, di kalangan orang tua dan para murid lulusan SMA,
masih banyak muncul pertanyaan: di kampus mana di Indonesia, kita bisa mendidik anak-
anak kita untuk menjadi ahli Tafsir al-Quran, ahli ilmu fiqih, ahli sejarah Islam, ahli sains
Islam, ahli psikologi Islam, dan sebagainya? Dimana kita mengirim anak-anak kita untuk
dididik menjadi wartawan muslim yang tangguh? Kemana kuliahnya, seorang yang ingin
menjadi pejuang profesional di bidang hukum? Bahkan, kemana kuliahnya, jika kita ingin
mendidik anak-anak kita menjadi guru pejuang yang hebat?

Patut disyukuri, kini sejumlah universitas Islam telah menempati jajaran perguruan
tinggi elite di Indonesia. Beberapa prodi mereka diserbu calon mahasiswa. Beberapa
universitas Islam kini memiliki jumlah mahasiswa lebih dari 20 ribu orang. Jumlah yang
fantastis!

Semua prestasi dan kepercayaan itu patut disyukuri. Itu amanah! Namun, tantangan
tidak berhenti sampai disitu. Sebab, tujuan terpenting pendidikan dalam Islam, dan juga
dalam ketentuan UUD 1945 serta UU Pendidikan Tinggi (UU No 12 tahun 2012) adalah
pengembangan potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.

156
UUD 1945 pasal 31 (c) pun menegaskan: “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang.”

Jadi, merujuk kepada UUD 1945 dan UU Pendidikan Tinggi, aspek iman, taqwa,
dan akhlak mulia sepatutnya menjadi tekanan utama proses pendidikan di seluruh
Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya di PTI. Itu tataran normatifnya. Maka,
sepatutnya, tujuan pendidikan itu dijabarkan dalam kurikulum, program pendidikan, dan
evaluasi pendidikan. PTI sepatutnya menjadi pelopor dalam hal ini.

Mahasiswa muslim PTI yang akan ujian skripsi, misalnya, harus diuji aspek iman,
taqwa, dan akhlaknya. Bukan hanya diuji kualitas akademiknya. Lucu, jika ada mahasiswa
muslim lulus sarjana dari suatu PTI, tetapi tidak bisa membaca al-Quran dengan baik.
Lebih parah, jika ia lulus sarjana, tetapi tidak disiplin dalam menjalankan salat lima waktu,
atau jahat akhlaknya. Padahal, PTI tersebut memasang slogan-slogan indah dalam bentuk
perumusan visi-misi kampus yang ideal.

Peringatan Allah Subhanahu Wata’ala dalam al-Quran sangat keras:

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak
kamu lakukan? (Itu) sangatlah dibenci oleh Allah, jika kamu mengatakan apa yang tidak
kamu lakukan!” (QS 61:2-3).

Era 25 tahun kedua

Menyusul era 25 tahun pertama, berupa Kebangkitan Pendidikan Islam di peringkat


dasar dan menengah, maka saya pikir, perlu dicanangkan sebuah tekad mulia untuk

157
mencanangkan 2020-2045 sebagai era Kebangkitan Perguruan Tinggi Islam (PTI) di
Indonesia. Itulah era 25 Tahun Kedua Kebangkitan Pendidikan Indonesia.

Kebangkitan itu harus berpijak pada landasan dan konsep yang kokoh dalam
pendidikan Islam, yakni penanaman adab dan pencapaian ilmu yang gemilang. Proses
penanaman nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia, dalam tradisi pendidikan
Islam disebut sebagai proses penanaman adab (inculcation of adab). Itulah hakikat dan inti
pendidikan dalam Islam, sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-
Attas dalam Konferensi Pendidikan Islam Internasional pertama di Makkah, 1977.

Pada 13 November 2017, gagasan al-Attas itu digaungkan lagi oleh Dr. Muhammad
Ardiansyah, dalam bentuk disertasi doktor bidang Pendidikan Islam di Universitas Ibn
Khaldun Bogor. Disertasinya berjudul “Konsep Adab Syed Muhammad Naquib al-Attas
dan Aplikasinya di Perguruan Tinggi”.

Melalui disertasinya, Ardiansyah membuktikan, bahwa konsep adab yang


dirumuskan oleh Prof. al-Attas bersifat unik, penting, mendasar, dan aplikatif. Al-Attas
bukan saja berhasil membuat rumusan konsep adab yang komprehensif, tetapi al-Attas juga
telah membuktikan bahwa konsepnya bisa diterapkan di dunia pendidikan modern,
khususnya di Perguruan Tinggi.

Menurut Ardiansyah, konsep adab sendiri bukanlah hal baru dalam ajaran Islam.
Para ulama Islam telah menekankan penting dan strategisnya konsep ini. Itu bisa dilihat
dari pernyataan para ulama seperti Umar ibn al-Khattab r.a. yang menyatakan taadabû
tsumma ta‘allamû (beradablah kalian, kemudian pelajari ilmu). (Lihat, Syekh Abdul Qadir
al-Jilani, al-Ghunyah li Thâlibî Tharîq al-Haq, (Beirut:al-Maktabat al-Sya’biyah, tanpa
tahun), hlm. 54).

Konsep adab ini bukan konsep baru. Sejak dulu para ulama sudah membahas dan
mengaplikasikannya. Beberapa ulama telah menyampaikan makna adab. Abu al-Qasim al-
Qusyairy (w 465 H) menyatakan dalam al-Risalat al-Qusyairiyah, bahwa esensi adab

158
adalah gabungan semua sikap yang baik (ijtimâ’ jamî’ khisâl al-khair). Oleh karena itu
orang yang beradab adalah orang yang terhimpun sikap yang baik di dalam dirinya.

Dalam disertasinya, Ardiansyah menawarkan enam langkah aplikasi konsep adab di


Perguruan Tinggi: Pertama, mensosialisaikan tujuan pendidikan sebagai proses
menanamkan adab yang diawali dengan tazkiyatun nafs. Kedua, menyusun kurikulum
pendidikan secara hirarkis dengan klasifikasi ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu fardhu
kifayah. Ketiga, menyiapkan program dan metode pendidikan berdasarkan prinsip al-
taadub tsumma al-ta’allum melalui kajian adab, penguatan keimanan, pembiasaan,
keteladanan dan kedisiplinan. Keempat, mengoptimalkan peran dosen sebagai muaddib
yang peduli dan menjadi teladan. Kelima, merumuskan evaluasi pendidikan berdasarkan
adab dan ilmu. Dan keenam, menyiapkan sarana pendukung yang berkualitas.

Melalui enam langkah inilah, tujuan pendidikan tinggi untuk membentuk manusia
yang baik (good man), yakni manusia beradab (insan adabi), atau manusia yang beriman,
bertakwa, dan berakhlak mulia, dapat terwujud. Itulah manusia terbaik, yang mampu
menjadi pemimpin dalam berbagai bidang kehidupan.

Jadi, sesuai konsep ini, proses pendidikan di universitas atau perguruan tinggi,
bukan sekedar proses pengajaran, tetapi yang utama adalah proses penanaman nilai-nilai
kebaikan. Proses ini memerlukan keteladanan pimpinan dan dosen, pembiasaan penerapan
nilai-nilai kebaikan, dan juga penegakan aturan.

Konsep “taadabû tsumma ta‘allamû” juga lazim diterapkan dalam proses


pendidikan para ulama di masa lalu. Al-Laits Ibn Sa’ad memberi nasehat kepada para ahli
hadits: “Ta’allamul hilm qablal ‘ilmi!” Belajarkah sikap penyayang sebelum belajar ilmu!

Di Perguruan Tinggi, konsep ini bisa diterapkan dalam bentuk matrikulasi di awal
perkuliahan. Dalam kurun waktu tertentu, para mahasiswa baru hanya belajar dan
mengamalkan adab dan ibadah. Hanya mereka yang terbukti adab, ibadah, dan akhlaknya
baik, yang boleh melanjutkan pelajaran, menekuni bidang ilmu tertentu di Fakultas. Dengan
cara ini, insyaAllah terhindar lahirnya ilmuwan-ilmuwan yang tidak beradab (be-adab).

159
Pendidikan jiwa

Sesuai dengan konsep pendidikan berbasis adab tersebut, maka inti dari seluruh
proses pendidikan adalah proses pensucian jiwa (takiyatun nafs). Inilah awal perubahan diri
manusia. Jiwanya yang harus berubah menjadi semakin suci. Tidak keliru jika para siswa
dan mahasiswa rajin menggemakan lagu Indonesia Raya: “Bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya!”

Kampus seyogyanya menjadi tempat ideal bagi proses pensucian jiwa tersebut,
dengan dimotori para pejabat dan pimpinannya. Jangan sampai pimpinan kampus justru
mempertontonkan – misalnya – perilaku cinta dan serakah jabatan. Sebab, cinta dunia
adalah pangkal segala kerusakan. Pimpinan kampus yang sehat jiwanya adalah yang
memandang jabatan sebagai amanah yang berat, yang akan mereka pertanggungjawabkan
di hadapan Satu-satunya Hakim Yang Maha Adil di Hari Akhir.

Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “al-Mujaahidu man jaahada


nafsahu”. Bahwa, seorang mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya.
(HR Tirmidzi). Proses pensucian jiwa adalah perjuangan yang berat. Dan hanya orang yang
mensucikan jiwanya yang akan beruntung dan meraih kemenangan. Dengan kata lain,
kampus ideal bukan menjadi tempat untuk mengumbar hawa nafsu.

Tentu saja, untuk meraih jiwa yang suci atau jiwa yang tenang (muthmainnah)
tersebut, perlu jalan terjal dan mendaki. Imam al-Ghazali dalam Minhajul Abidin,
menggambarkan kesukaran jalan menuju bahagia tersebut: “Ternyata ini jalan yang amat
sukar. Banyak tanjakan dan pendakiannya. Sangat payah dan jauh perjalanannya. Besar
bahayanya. Tidak sedikit pula halangan dan rintangannya. Samar dimana tempat celaka dan
akan binasanya. Banyak lawan dan penyamunnya. Sedikit teman dan penolongnya.”

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sudah bersabda: “Ingatlah, sorga itu


dikepung oleh segala macam kesukaran atau hal-hal yang tidak disukai (al-makaarih); dan
neraka itu dikepung oleh hal-hal yang disukai manusia (al-syahawaat).” (HR Thabrani,
shahih).

160
Sebagai contoh, kampus ideal, sepatutnya memiliki orientasi utama kehidupan
akhirat; bukan hanya berhenti pada tujuan-tujuan duniawi. Para dosen dan mahasiswa
menyadari pentingnya mengejar kebahagiaan (sa’adah) dunia dan akhirat. Penetapan
ranking universitas di Indonesia, seharusnya juga memasukkan kriteria iman, taqwa, dan
akhlak mulia; bukan hanya aspek formalitas dan manajerial kampus.

Untuk mewujudkan gerakan kebangkitan Perguruan Tinggi, maka Perguruan Tinggi


Islam (PTI) harus menjadi contoh yang baik (uswah hasanah) bagi Perguruan Tinggi
lainnya. Perguruan Tinggi Islam bersungguh-sungguh dalam melahirkan alumni yang ideal.
PTI harus unggul dalam kualitas iman, taqwa, akhlak mulia, dan profesionalitas lulusan
nya. Jangan sampai lulusan PTI sama atau bahkan lebih buruk dari Perguruan Tinggi
Umum.

Ini adalah gerakan mulia dan pekerjaan besar. Diperlukan kerja keras, kerja ikhlas,
dan kerja cerdas untuk mewujudkannya. Jika ini dilakukan dengan sungguh-sungguh,
insyaAllah, dalam waktu singkat, PTI akan menjadi mimpi dan tujuan utama tempat kuliah
bagi para lulusan SMA terbaik di Indonesia. Dengan begitu, maka era 2020-2045 benar-
benar menjadi era kepemimpinan Perguruan Tinggi Islam. InsyaAllah. (Depok, 13 Februari
2018).*

ISLAM DAN INFORMASI


Dr Adian Husaini

__________________________________________________________________

Pesan ayat al-Quran itu begitu jelas: dalam menerima suatu informasi, kaum
Muslim diperintahkan memperhatikan kredibilitas sumber berita. Waspadai jika berita itu
bersumber dari orang fasik. Siapakah orang yang disebut sebagai fasik?

Kata “fasik” (fasiq), berasal dari kata dasar “al fisq“ yang artinya “keluar” (khuruj).
Para ulama mendefinisikan fasik sebagai “orang yang durhaka kepada Allah SWT karena
meninggalkan perintah-Nya atau melanggar ketentuan-Nya”. Orang fasik adalah orang

161
yang melakukan dosa besar atau banyak/sering melakukan dosa kecil. Memang tidak begitu
mudah menentukan batasan yang tegas apakah seorang masuk kategori fasik. Di dalam Al
Quran kata fasik muncul dalam berbagai konteks. Terkadang kata fasik dihubungkan
langsung dengan kekafiran dan kedurhakaan (QS 49:7) dan terkadang digandengkan
dengan kebohongan dan percekcokan (QS 2:197).

Di lapangan hukum Islam, kata “fasik” diperhadapkan dengan kata “‘adil“. Menurut
jumhur ulama, adil adalah sifat tambahan dan tidak identik dengan Islam itu sendiri.
Maksudnya, orang yang tidak adil (fasik) tidak langsung dikeluarkan dari Islam. Kategori
fasik bisa terjadi akibat dosa besar atau dosa kecil, tetapi kategori kafir hanya mungkin
terjadi akibat dosa besar. Dengan demikian, dapat dikatakan, setiap kafir pasti fasik, tetapi
belum tentu setiap fasik adalah juga kafir. Sebagian ulama madzhab Syafii menyatakan,
bahwa seorang dapat dikatakan sebagai tidak fasik (adil) apabila kebaikan dia lebih banyak
dari kejahahatannya dan tidak terbukti bahwa ia sering berdusta.

Menyimak uraian para ulama ter sebut, dapat diambil pemahaman, bahwa orang
fasik terlarang memegang suatu jabatan atau amanah yang berhubungan dengan
“kepercayaan”. Posisi media massa dan wartawan adalah sebagai ”pembawa amanah”
untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Harusnya, posisi ini tidak ditempati
oleh orang-orang yang fasik. Artinya, QS al-Hujurat ayat 6 tersebut seharusnya
menyadarkan umat Islam untuk menyiapkan tenaga-tenaga wartawan dan institusi media
Islam yang adil dan profesional.

Asbabun Nuzul ayat 6 surat Al Hujurat itu berkaitan dengan kisah seorang bernama
al-Walid bin Uqbah. Ia diutus oleh Nabi Muhammad saw untuk menarik zakat dari Bani
Musthaliq yang telah menyatakan masuk Islam. Al-Walid tidak berhasil menarik zakat dan
pulang kembali ke Madinah dengan mambawa laporan kepada Nabi SAW bahwa Bani
Mushthaliq telah murtad dari Islam.

Nabi pun bersiap-siap mengirimkan pasukan ke Bani Musthaliq. Tapi, se belum itu
terjadi, datanglah utusan Bani Mushthaliq dan membantah berita al-Walid. Maka turunlah
ayat itu. Bahkan ayat tersebut memberi julukan yang hina kepada Al Walid, yaitu si

162
“fasik”, tegasnya seorang pembohong. Ibnu Zaid, Muqatil, dan Sahl bin Abdullah memberi
arti orang fasik sebagai pembohong (kadzdzaab). Sedangkan Abul Hasan al Warraq
memberi arti orang fasik sebagai orang yang tidak segan-segan menyatakan suatu
perbuatan dosa. (Lihat, Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar, Juzu’ XXVI, hal. 191-192).

Kisah itu mengisyaratkan betapa pentingnya kaum Muslim sangat berhati-hati


dalam menerima, mengolah, dan menyebarkan informasi. Silakan menerima informasi dari
kaum fasik, tapi harus dilakukan tabayyun terlebih dahulu. Lakukan cek dan ricek. Jangan
percaya begitu saja informasi dari kaum fasik, apalagi kaum kafir. Apalagi, tidak ada
informasi yang bebas nilai dan bebas misi. Informasi dalam bentuk berita, analisis, atau apa
pun, disebarkan melalui media massa melalui proses pemilihan, penyuntingan, dan lay-out
serta sudut pandang yang sarat kepentingan dan muatan nilai penulis dan media massanya.

Bahkan, secara khusus, al-Quran mengingatkan bahwa musuh utama para Nabi –
dan tentu juga para pengikut Nabi– adalah setan-setan jenis manusia dan setan-setan jenis
jin yang senantiasa menyebarkan ”kata-kata indah” (zukhru falqaul), dengan tujuan untuk
menipu manusia. (QS an-An’am: 112). Iblis pun menggoda Adam dan Hawa dengan kata-
kata indah dan ungkapan yang menawan, bukan dengan ungkapan dan bentakan kasar,
sehingga berhasil membujuk Adam dan Hawa melanggar larangan Allah. Henry Martyn,
tokoh misionaris terkenal dengan ungkapan nya, “Aku datang untuk menghadapi umat
Islam, bukan dengan senjata tapi dengan kata-kata, bukan dengan kekuatan fisik tapi
dengan logika, dan bukan dalam kebencian tapi dalam kasih.”

Perang Salib telah gagal, begitu kata Henry Martyn. Karena itu, untuk “me
naklukkan” dunia Islam perlu resep lain: gunakan “kata, logika, dan kasih”. Bukan
kekuatan senjata atau kekerasan. Hal senada dikatakan misionaris lain, Raymond Lull,
“Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat
menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum
mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh.”

Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata,
tetapi dengan cinta kasih dan doa. Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris redaksi

163
Church Missionary Society, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen
dibandingkan Raymond Lull. Lull adalah misionaris pertama dan mungkin terbesar yang
menghadapi para pengikut Muhammad.

Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen
terkenal di Timur Tengah, dalam buku Islam: A Challenge to Faith (1907). Buku yang
berisi resep untuk “menaklukkan” dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai “beberapa
kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut
pandang missi Kristen”.

Jangan heran, jika kaum misionaris kemudian sangat serius dan professional dalam
mengembangkan media informasi untuk mengarahkan pemikiran masyarakat. Tugas media
adalah membentuk citra (image), yang seringkali berbeda dengan realitas sebenarnya.
Media bisa mencitrakan seorang sebagai “orang baik” dan “orang jahat” yang sering
berbeda dengan kenyataan sebenarnya.

Informasi memang hal teramat penting dalam kehidupan manusia. Dan Nabi
Muhammad saw memerintahkan: Berjihadlah melawan orang-orang mu syrik dengan
hartamu, jiwamu, dan lidahmu. Kini, apa yang sudah dilakukan oleh umat Islam dalam
berjuang di bidang media informasi ini? Sudahkah kita semua bersungguh-sungguh
berjuang di bidang informasi ini? Jujurlah kita, tanya di sini, di hati ini!

PANCASILA MENOLAK ILMU SEKULER


Oleh: Dr. Adian Husaini
__________________________________________________________________

Pada 27 Desember 2017 lalu, saya mendapat undangan dari Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta, untuk menjadi pembicara dalam sebuah Seminar Nasional
tentang Keislaman dan Kebangsaan. Pembicara lainnya yang diundang hadir adalah Prof.
Dr. Mahfud MD dan Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, guru besar Ilmu Hukum Universitas
Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, serta Danrem Yogyakarta.

164
Dalam seminar itulah, saya pertama kali mengenal sosok Prof. Sudjito, yang dikenal
juga sebagai pakar tentang Pancasila. Prof. Sudjito memaparkan uraiannya tentang
Pancasila dengan judul: “Memposisikan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu”. Beliau tampil
pada sesi pertama bersama wakil dari Korem Yogyakarta. Sedangkan saya dijadwal tampil
pada sesi berikutnya bersama Prof. Mahfud MD.

Tema itu menarik. Karena itu, saya dengan tekun menyimaknya. Sejumlah poin
penting yang disampaikan Prof. Sudjito diantaranya adalah bahwa: (a) Ilmu adalah lentera
kehidupan (b) Ilmu sebagai institusi pencarian kebenaran, dinamis, terus berkembang, dan
(c) ilmu bersifat amaliah, yakni berdwitunggal dengan amal.

Prof. Sudjito menggariskan bahwa epistemologi keilmuan yang berparadigma


Pancasila adalah yang mengakui bahwa asal-usul dan hakikat ilmu adalah dari Tuhan,
berproses dalam kehidupan manusia, bermuara pada pertanggungjawaban kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Maka, karakteristik ilmu yang berparadigma Pancasila adalah:

(a) bersifat teistik, obyektif, dan universal (sila 1),

(b) bersifat humanistik, naturalistik (sila 2),

(c) Metode keilmuan holistik (sila 3),

(d) Kebenaran diperoleh melalui konstruksi sosial-religius, musyawarah-mufakat (sila 4),


dan

(e) Keadilan sosial berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila 5).

Lebih jauh Prof. Sudjito mengingatkan, bahwa saat ini Pendidikan Ilmu di
Perguruan Tinggi masih menghadapi permasalahan dan tantangan antara lain: (a)
Kurikulum masih berkarakter liberalistik, individualistik, dan sekuler (b) adanya pengaruh
narkoba dan ideologi ekstrim di kampus yang perlu ditanggulangi (c) pengaruh model-
model pendidikan Barat yang berkarakter rasionalistik semata, tetapi nihil moralitas
kemanusiaan, dan (d) belum semua dosen ber-Pancasila.

165
Terakhir, menurut Prof. Sudjito, Perguruan Tinggi diharapkan menghasilkan lulusan
yang cinta kepada Pancasila, paham hukum sebagai order (tatanan) dan mampu
mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat. Dalam pandangannya, ilmuwan professional
adalah yang bermoral Pancasila, berwawasan kebangsaan, dan taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

Secara umum, pandangan Prof. Sudjito tentang Pancasila itu menawarkan


keserasian antara agama dan Pancasila. Sosok ilmuwan yang taqwa sebagai cita ideal
ilmuwan Indonesia mensyaratkan penerapan ajaran agama. Setelah seminar, kami sempat
berbincang singkat, dan beliau menegaskan bahwa orang yang ber-Pancasila adalah orang
yang religius.

Saya merasa ada kesepahaman dengan Prof. Sudjito dalam soal hubungan antara
Islam dengan Pancasila. Pernyataan beliau bahwa pengajaran ilmu di Perguruan Tinggi
masih berkarakter liberalistik, individualistik, dan sekuler, perlu kita garisbawahi. Sebagai
akademisi senior di sebuah universitas besar di Indonesia, pernyataan itu menyiratkan
keprihatinan yang mendalam. Apalagi, UUD 1945 menegaskan bahwa pemerintah harus
menyelenggarakan pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan
akhlak mulia. Ilmu-ilmu sekuler tidak akan membawa mahasiswa menuju pada iman,
taqwa, dan akhlak mulia.

Bahaya ilmu sekuler

Cendekiawan Kristen Harvey Cox dalam buku terkenalnya, The Secular City,
menjelaskan bahwa sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan
metafisika; pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is
the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention
away from other worlds and towards this one).

Buku Harvey Cox diawali dengan bab “The Biblical Source of Secularization”. Ia
mengutip pendapat teolog Jerman Friedrich Gogarten: “Secularization is the legitimate
consequence of the impact of biblical faith on history.” Bahwa sekularisasi adalah akibat
logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah.

166
Dalam bukunya, Christianity in World History, Arend Theodor van Leeuwen,
mencatat, bahwa penyebaran Kristen di Eropa membawa pesan sekularisasi. Kata Leeuwen,
“Christianization and secularization are involved together in a dialectical relation.” Maka,
menurutnya, persentuhan antara kultur sekular Barat dengan kultur tradisional religius di
Timur Tengah dan Asia, adalah bermulanya babak baru dalam sejarah sekularisasi. Sebab,
kultur sekular adalah hadiah Kristen kepada dunia.(Christianity’s gift to the world).
(Pendapat Leeuwen dikutip dari buku Mark Juergensmeyer, The New Cold War?, (London:
University of California Press, 1993).

Salah satu ilmuwan muslim terkemuka yang gigih menolak gagasan sekulerisasi
adalah Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Buku karya al-Attas, Islam and
Secularism, yang terbit awal 1970-an, sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di
dunia. Al-Attas menolak klaim Harvey Cox bahwa akar sekularisasi terdapat dalam
kepercayaan Bible. Bagi al-Attas, akar sekularisasi bukan terdapat dalam Bible, tetapi
terdapat dalam penafsiran orang Barat terhadap Bible.

Sekularisasi bukanlah dihasilkan oleh Bible, namun ia dihasilkan oleh konflik lama
antara akal dan Bible di dalam pandangan hidup orang Barat. Kata al-Attas: “The claim that
secularization has its roots in biblical faith and that it is the fruit of the Gospel has no
substance in historical fact. Secularization has its roots not in biblical faith, but in the
interpretation of biblical faith by Western man…”.

Dalam pandangan al-Attas, worldview orang Barat telah menempatkan Tuhan


menjadi manusia dan manusia dijadikan Tuhan (deity is humanized and man is deified).
Manusia telah menempatkan dirinya sebagai Tuhan yang merasa berhak mengatur diri dan
seluruh alam sesuai kemauannya sendiri. Manusia seperti itu sejatinya telah hilang adab
kepada Tuhan. Semua itu berawal dari ilmi yang salah. Ilmu yang sangat merusak
kehidupan manusia.

Peringatan akan bahaya ilmu sekuler ini juga pernah disampaikan oleh pakar filsafat
sains, Seyyed Hossein Nasr. Menurutnya, kini makin banyak manusia yang sadar akan
bahaya penerapan sains Barat yang menyebabkan kehancuran lingkungan hidup dan

167
mengarah pada lumpuhnya tatanan alam ini. Kata Nasr: “To day more and more people are
becoming aware that the applications of modern science, a science witch until a few
decades ago was completely Western and which has now spread to other continents, have
caused directly or indirectly unprecedented environmental disasters, bringing about the real
possibility of the total collapse of the natural order.” (Seyyed Hossein Nasr, The Need for a
Sacred Science, (New York: State University of New York Press, 1993).

Di Indonesia, bahaya ilmu sekuler pun sudah disampaikan oleh banyak ilmuwan
muslim. Mohammad Natsir, misalnya, dalam pidatonya di Majelis Konstituante, tahun
1957 sudah mengingatkan, bahwa manusia Indonesia hanya punya dua pilihan: (1) memilih
faham sekulerisme (la-dieniyah) tanpa agama, atau (2) memilih faham agama (dieny).

Dan inilah penjelasan Mohammad Natsir, pahlawan nasional yang juga pendiri
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), tentang sekulerisme:

“Sekulerisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham tujuan dan sikap
hanya di dalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam kehidupan kaum sekuleris
tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat,
Tuhan, dsb. Walaupun ada kalanya mereka mengakui akan adanya Tuhan, tapi dalam
penghidupan perseorangan sehari-hari umpamanya, seorang sekuleris tidak menganggap
perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan
sehari-hari, maupun hubungan jiwa dalam arti doa dan ibadah.

Seorang sekuleris tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber
kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai moral itu
ditimbulkan oleh masyarakat semata-mata. Ia memandang bahwa nilai-nilai itu ditimbulkan
oleh sejarah atau pun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata, dan dipusatkan
kepada kebahagiaan manusia dalam penghidupan saat ini belaka…”

Menurut Natsir, bagi ilmuwan sekuler, “Ilmu pengetahuan sudah dijadikan tujuan
tersendiri, science for the sake of science.” Pandangan sekuler, kata Natsir, sangat
berbahaya, karena “menurunkan sumber-sumber nilai hidup manusia dari taraf ke-Tuhanan
kepada taraf kemasyarakatan semata-mata.”

168
Natsir memberi contoh. Misalnya, ajaran tidak boleh membunuh, kasih sayang
sesama manusia, semuanya itu menurut sekulerisme, sumbernya bukan wahyu Ilahi, akan
tetapi apa yang dinamakan: penghidupan masyarakat semata-mata. Jika dulunya, karena
nenek moyang kita menganggap bahwa hidup damai dan tolong menolong akan
menguntungkan semua pihak, maka timbullah larangan untuk membunuh dan bermusuhan.
Jadi, tujuannya adalah ‘perdamaian’.

Natsir memandang, bahwa pandangan semacam itu telah menurunkan nulai-nilai


adab dan kepercayaan ke taraf perbuatan manusia dalam pergolakan masyarakat. Dengan
begitu, maka pandangan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merosot. Manusia merasa
dirinya lebih tinggi daripada nilai-nilai itu sendiri! Manusia menganggap bahwa nilai-nilai
itu bukan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi, tapi sebagai “alat semata-mata”, karena
semua itu adalah ciptaan manusia sendiri.”

Kritik Mohammad Natsir terhadap sekulerisme itu sangat tajam. Karena itulah,
Natsir berjuang sepanjang hidup untuk melawan sekulerisme melalui berbagai bidang
kehidupan, khususnya bidang politik dan pendidikan. Untuk itu, Natsir tercatat aktif dalam
proses pendirian sejumlah universitas Islam di Indonesia.

Kini, dengan adanya kritik Prof. Dr. Sudjito terhadap pengajaran ilmu-ilmu sekuler
di Perguruan Tinggi, semoga semakin banyak yang sadar akan bahaya ilmu-ilmu sekuler
tersebut. Tentu tidak salah jika kita berharap, semoga kampus UGM menjadi salah satu
pelopor dalam gerakan “de-sekulerisasi ilmu”, sebagai pijakan menuju pembentukan
ilmuwan-ilmuwan yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia (UUD 1945, pasal 31 (c)).

169
HUTANG BARAT TERHADAP ISLAM
Oleh: Adian Husaini

__________________________________________________________________

”Hutang Barat terhadap Islam” (The Wes’st Debt to Islam). Itulah tajuk satu bab
dari sebuah buku berjudul “What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to
Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006), karya Tim Wallace-Murphy.
Di tengah gencarnya berbagai serangan terhadap Islam melalui berbagai media di Barat saat

170
ini, buku seperti ini sangat patut dibaca. Selain banyak menyajikan data sejarah hubungan
Islam-Barat di masa lalu, buku ini memberikan arus lain dalam menilai Islam dari kacamata
Barat.

Berbeda dengan manusia-manusia Barat yang fobia dan antipati terhadap Islam –
seperti sutradara film Fitna, Geert Wilders – penulis buku ini memberikan gambaran yang
lumayan indah tentang sejarah Islam. Bahkan, dia tidak segan-segan mengajak Barat untuk
mengakui besarnya hutang mereka terhadap Islam. ”Hutang Barat terhadap Islam,” kata,
Tim Wallace-Murphy, “adalah hal yang tak ternilai harganya dan tidak akan pernah dapat
terbayarkan sampai kapan pun. Katanya, “We in the West owe a debt to the Muslim world
that can be never fully repaid.’’

Pengakuan Wallace-Murphy sebagai bagian dari komunitas Barat semacam itu,


sangatlah penting, baik bagi Barat maupun bagi Islam. Di mana letak hutang budi Barat
terhadap Islam? Buku ini banyak memaparkan data tentang bagaimana transfer ilmu
pengetahuan dari dunia Islam ke Barat pada zaman yang dikenal di Barat sebagai Zaman
Pertengahan (the Middle Ages). Sejak beberapa bulan lalu, setiap hari, Harian Republika,
juga memuat rubrik khusus tentang khazanah peradaban Islam di masa lalu, yang
memberikan pengaruh besar terhadap para ilmuwan di Barat.

Di Zaman Pertengahan itulah, tulis Wallace-Murphy, Andalusia yang dipimpin


kaum Muslim menjadi pusat kebudayaan terbesar, bukan hanya di daratan Eropa tetapi juga
di seluruh kawasan Laut Tengah. Pada zaman itu, situasi kehidupan dunia Islam dan dunia
Barat sangatlah kontras. Bagi mayoritas masyarakat di dunia Kristen Eropa, zaman itu,
kehidupan adalah singkat, brutal dan barbar, dibandingkan dengan kehidupan yang
canggih, terpelajar, dan pemerintahan yang toleran di Spanyol-Islam.

Saat itu, Barat banyak sekali belajar pada dunia Islam. Para tokoh agama dan
ilmuwan mereka berlomba-lomba mempelajari dan menerjemahkan karya-karya kaum
Muslim dan Yahudi yang hidup nyaman dalam perlindungan masyarakat Muslim. Barat

171
dapat menguasai ilmu pengetahuan modern seperti sekarang ini, karena mereka berhasil
mentransfer dan mengembangkan sains dari para ilmuwan Muslim.

Tim Wallace-Murphy menekankan perlunya Barat mengakui bahwa mereka


mewarisi sains Yunani dan lain-lain, adalah atas`jasa para ilmuwan dan penguasa Muslim.
Di masa kegelapan Eropa tersebut, orang-orang Barat secara bebas menerjemahkan karya-
karya berbahasa Arab – tanpa perlu membayar Hak Cipta. Sejarawan Louis Cochran
menjelaskan, bahwa Adelard of Bath (c.1080-c.1150), yang dijuluki sebagai “the first
English scientist”, berkeliling ke Syria dan Sicilia selama tujuh tahun, pada awal abad ke-
12. Ia belajar bahasa Arab dan mendapatkan banyak sekali buku-buku para sarjana. Ia
menerjemahkan “Elements” karya Euclidus, dan dengan demikian mengenalkan Eropa
pada buku tentang geometri yang paling berpengaruh di sana. Buku ini menjadi standar
pengajaran geometri selama 800 tahun kemudian. Adelard dengan menerjemahkan buku
table asronomi, Zijj, karya al-Khawarizmi (d. 840) yang direvisi oleh Maslama al-Majriti of
Madrid (d.1007). Buku itu merupakan pengatahuan astronomi termodern pada zamannya.

Seorang penerjemah yang sangat fenomenal bernama Gerard of Cremona. Selama


hampir 50 tahun tinggal di Toledo (1140-1187), dia menerjemahkan sekitar 90 buku dari
bahasa Arab ke bahasa Latin. Separoh lebih berkaitan dengan matematika, astronomi, dan
bidang sains lainnya; sepertiga berkaitan dengan kedokteran dan sisanya tentang filsafat
dan logika. Bidang-bidang keilmuan inilah yang memberikan fondasi bagi munculnya
renaissance (kelahiran kembali peradaban Barat) di Eropa pada abad ke-12 dan ke-13 M.
Bukan hanya dalam bidang penerjemahan Barat sangat aktif. Dalam Pendidikan Tinggi,
Oxford University yang berdiri tahun 1263 dan Cambridge University tak lama sesudah itu,
juga menjiplak model kampus-kampus ternama di Andalusia.

Dengan bukti-bukti sejarah tentang kejayaan Islam dan karakter Islam itu sendiri,
Wallace-Murphy mengajak koleganya di dunia Barat untuk mengakui jasa-jasa besar Islam
terhadap Barat. Lebih dari itu, dia mengimbau, agar Barat mampu melihat Islam dengan
lebih jernih dan jangan bernafsu untuk mengintervensi urusan dunia Islam. Termasuk
dalam soal toleransi dan penghormatan terhadap budaya dan pemeluk agama lain. Terhadap
pertanyaan, “Can the world of Islam solve its own problems?”, apakah dunia Islam mampu

172
menyelesaikan masalahnya sendiri, Wallace-Murphy menjawab tegas: Itu telah terbukti di
masa lalu, dan berkat prinsip-prinsip ajaran Islam yang penuh toleransi terhadap budaya
dan agama lain, maka Islam akan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.

Bahkan, ditambahkannya, karena keyakinan kaum Muslim yang tidak tergoyahkan


dan hasrat besar akan kemerdekaan, maka ”Siapa atau apa yang akan mampu menghentikan
mereka?” Agama Islam, katanya, telah memberikan inspirasi yang begitu besar di masa
lalu, dan mereka akan meraih kejayaan kembali di masa depan di berbagai bidang yang
mereka telah memiliki pengalaman hebat di banding yang lain, dalam soal toleransi,
kreativitas, dan penghormatan.

Lalu, ia menutup bukunya dengan sebuah imbauan kepada masyarakat Barat:


“Berikanlah penghormatan kepada kaum Muslim, sebagaimana mereka telah
memperlihatkan kepada kita, saat mereka – tanpa syarat – membagi buah kebudayaan
mereka kepada kita.” Kata Wallace-Murphy, “Grant them the same respect that they have
shown to us when they, unconditionally, shared the fruits of their culture with us”.

Sains Islam

Ilmu pengetahuan senantiasa berkembang dari masa ke masa. Dan dunia Islam
ketika itu berhasil mentransfer dan mengembangkan ilmu pengatahuan yang dikembangkan
oleh peradaban lain, seperti Yunani, India, Cina, Persia, Babilonia, dan sebagainya. Tetapi,
para ilmuwan Muslim tidak begitu saja menjiplak karya-karya ilmuwan Yunani atau yang
lain. Bahkan, menurut pakar sains Islam, Prof. Cemil Akdogan, ilmuwan Muslim berhasil
mengembangkan ilmu pengetahuan yang ”khas Islam”, yang berbeda dengan tradisi ilmu
pengetahuan Yunani atau peradaban lain.

173
Dalam bukunya, Science in Islam and the West, (ISTAC-IIUM, 2008), Cemil
Akdogan menjelaskan, bahwa sains Islam adalah produk dari pendekatan tauhidik,
sedangkan sains Barat modern adalah produk dari pendekatan dualistik. Dalam Islam, sains
tidak terpisahkan dari Islam. Sedangkan di Barat, sains bersifat ”bebas Tuhan” (godless).
Ironisnya, ketika Barat modern mengambil sains dari dunia Islam, mereka mensekularkan
sains tersebut dan membebaskan sains dari campur tangan agama. Ini adalah salah satu
produk sekulerisme yang memandang alam sebagai hal yang semata-mata ”profane” dan
tidak terkait dengan unsur ketuhanan. Karena itulah, mereka memandang bahwa manusia
boleh memperlakukan alam sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Prof. Naquib al-Attas
menilai, sains sekular Barat inilah sumber kerusakan terhadap dunia saat ini, bukan hanya
kerusakan manusia tetapi juga dunia binatang, tumbuhan, dan alam mineral.

Prestasi-prestasi besar kaum Muslim di bidang kehidupan dan keilmuan tidaklah


terpisah dari dorongan besar yang diberikan Kitab Suci al-Quran dalam pengembangan
ilmu pengetahuan. Al-Quran adalah Kitab yang begitu besar perhatiannya terhadap
aktivitas pemikiran dan keilmuan. Ini, misalnya, tergambar dari penyebutan kata “al-‘ilm”
dan derivasinya yang mencapai 823 kali. Ditegaskan dalam QS 3:18-19, orang-orang yang
berilmu harus mampu menemukan dua kesimpulan:

(1) Tidak ada Tuhan selain Allah,

(2) ad-Din (agama) dalam pandangan Allah hanyalah Islam.

Dengan semangat inilah, kaum Muslim mampu menaklukkan dunia ilmu.


Sepenggal sejarah peradaban Islam yang digambarkan oleh Tim Wallace-Murphy dalam
bukunya, memperlihatkan bagaimana “rahmatan lil-alamin” memang pernah terwujudkan
ketika umat Islam mengikuti dan menerapkan perintah al-Quran untuk belajar dan bekerja
keras. Umat Islam menjadi umat yang disegani dan dicontoh oleh peradaban lain. Satu
pelajaran penting yang dapat kita ambil dari buku Tim Wallace-Murphy itu adalah
kesadaran akan hakekat ajaran Islam itu sendiri, yang berhasil diserap dan diaplikasikan
oleh kaum Muslim, sehingga menghasilkan sebuah peradaban yang tinggi. Umat Islam

174
tidak pernah menutup diri dari peradaban lain. Unsur-unsur positif dari mana pun bisa
diambil. Tetapi, bukan pandangan hidup syirik yang bertentangan dengan ajaran Tauhid.

Dalam kaitan inilah, kita tidak habis pikir dengan banyaknya cendekiawan yang
”silau” dengan peradaban Barat; yang bangga dan rajin melantunkan lagu-lagu sekularisme,
liberalisme, feminisme, pluralisme agama, dan isme-isme lain yang hanya menyeret kaum
Muslim menjadi ”satelit Barat”. Karena itulah, sangatlah ajaib, bahwa banyak perguruan
Tinggi Islam saat ini, misalnya, lebih bangga menerapkan metode hermeneutika Barat
dalam menafsirkan al-Quran ketimbang menggunakan Ilmu Tafsir al-Quran itu sendiri.
(Depok, 2 Rabiulakhir 1429 H/9 April 2008).

Pidana Zina, mengapa takut?


Oleh: Dr Adian Husaini

_________________________________________________________________

Menyusul keluarnya draf revisi RUUKUHP tahun 2003, sebuah majalah mingguan,
edisi 6-12 Oktober 2003, menulis laporan utama dengan judul "Rancangan KUHP: Kitab
Yang Semakin Menakutkan". Pada pekan yang sama, majalah mingguan lainnya memuat

175
sejumlah komentar aktivis HAM dan perempuan yang menolak urusan zina diatur dalam
KUHP. Menurut mereka, zina itu masalah pribadi.

Majalah mingguan terkenal itu menulis soal pasal-pasal zina dalam RUUKUHP
tahun 2003 tersebut, "Jeratan Buat Para Pezina". Tulis majalah ini: "Makna zina dalam
RUU KUHP diperluas, membuka peluang aparat ke ruang pribadi. Aroma hukum Islam,
minus sanksi."

Ada sejumlah pasal RUU KUHP tahun 2003 yang dipersoalkan. Misalnya, Pasal
419, yang menyatakan, bahwa akan dikenai pidana penjara lima tahun: (a) Laki-laki yang
berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan
istrinya. (b) Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan laki-laki yang bukan suaminya.

(c) Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan
perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan,
atau perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-
laki, pada hal diketahui laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan.

Sementara Pasal 420 RUU KUHP 2003 itu menyatakan: "Laki-laki dan perempuan
yang masing-masing tidak terikat perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan
karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat, dipidana dengan penjara
paling lama satu tahun atau denda dalam kategori II (Rp 750 ribu)."

Entah mengapa, RUU-KUHP 2003 itu kemudian tenggelam. Kini tahun 2018,
kembali muncul RUU-KUHP (RKUHP) yang juga memperluas cakupan pidana pasal-pasal
perzinaan serta homoseksual. Maka, kini, lagi-lagi, muncul protes.

Logika bahwa soal-soal zina adalah masalah privat kembali muncul. Para penolak
pasal-pasal zina dalam RUU-KUHP itu seperti tak menyadari bahwa saat ini, begitu banyak
masalah privat yang diatur oleh hukum negara. Pecandu narkoba, meskipun mengonsumsi
untuk dirinya, dan tidak mengganggu orang lain, tetap ditangkap dan diadili. Mereka pun
tak protes ketika dipaksa mengenakan helm atau sabuk pengaman saat mengendarai
kendaraan bermotor. Tidak ada argumentasi bahwa itu soal privat.

176
Musuh agama

Dalam Islam, pezina yang telah memenuhi syarat empat saksi menerima sanksi
hukum yang berat. Pezina muhsan, dihukum mati dengan cara rajam. Pezina ghairu muhsan
dicambuk 100 kali. (QS 24: 2). Nabi Muhammad SAW bersabda: "Apabila perzinaan dan
riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya
azab Allah atas mereka sendiri". (HR Thabrani dan Al Hakim).

Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, perbuatan zina juga dipandang sebagai kejahatan
super berat. Sanksi bagi pezina bermacam-macam: dilempari batu sampai mati, dan bahkan
beberapa jenis perzinaan dijatuhi sanksi hukuman bakar hidup-hidup. Kitab Perjanjian
Lama (Hebrew Bible), Kitab Ulangan 22:20-22, menyebutkan:

"(20) Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan
pada si gadis, (21) maka haruslah si gadis dibawa keluar ke depan pintu rumah ayahnya,
dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati sebab dia
telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kau
hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.

(22) Apabila seorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami,
maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan
perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang
Israel." (Teks Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000).

Dalam Kitab Imamat (Leviticus) 20:8- 15 disebutkan semua bentuk dan jenis
perbuatan zina dijatuhi hukuman mati. Bahkan, pezina dengan binatang pun, harus
dihukum mati, termasuk binatangnya. "Bila seorang laki-laki berkelamin dengan seekor
binatang, pastilah ia dihukum mati, dan binatang itu pun harus kamu bunuh juga." (ayat
15).

177
Jadi, menjatuhkan sanksi pidana berat kepada pezina, bukan hanya perintah
Alquran. Aneh, jika ada pemeluk Islam atau Kristen menolak RKUHP pasal zina ini.
Sebagian penolak beralasan bahwa RKUHP berpotensi mengkriminalisasi kelompok
tertentu.

Misalnya, Pasal 484 ayat (1) dan (2) RKUHP menyebutkan bahwa laki-laki dan
perempuan yang tidak terikat perkawinan secara sah berhubungan seks bisa dikenakan
pidana. Pasal 488 menyatakan bahwa seseorang yang hidup bersama sebagai suami istri di
luar perkawinan sah akan dipidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling
banyak ketegori II.

Alasan penolakan kali ini tak lagi menuduh pasal-pasal itu "beraroma hukum
Islam". Tetapi, pasal-pasal itu berpotensi mengkriminalisasi kaum perempuan, anak, dan
remaja. Juga, menurut mereka, pasal ini bisa menyasar orang-orang yang perkawinannya
tidak tercatat oleh negara dengan berbagai alasan.

Kekhawatiran kelompok penolak RKUHP ini perlu diperhatikan, karena tidak


secara terbuka mendukung perzinaan. Mereka tidak secara tegas menya takan bahwa
berzina merupakan hak asasi manusia – asal sama-sama dewasa dan suka sama suka.
Sebaliknya, yang me midanakan zina dituduh sebagai pelanggar HAM.

Pandangan bahwa zina tidak melanggar HAM itu aneh. Zina itu jelas perbuatan
maksiat, durhaka kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sejak kapan manusia punya hak untuk
bermaksiat kepada Tuhannya? Inilah cara pandang manusia modern, yang oleh Prof. Syed
Naquib al-Attas dirumuskan: deity is humanised, god is deified? (Tuhan dijadikan sebagai
manusia, dan manusia dijadikan Tuhan). Demi memuja hawa nafsu, manusia sampai berani
melawan Tuhan.

LGBT dan Yahudi

178
Senin (12/12/2018), sekelompok massa yang mengatasnamakan "Aliansi
Masyarakat Sipil" melakukan aksi di DPR, menolak rancangan KUHP baru. Massa
menuduh RKUHP kali ini merupakan bentuk diskriminasi kepada minoritas. Tampak
beberapa spanduk pembelaan terhadap LGBT dibentangkan. Satu spanduk berbunyi:
"LGBT punya hak sama dengan masyarakat yang lain nya. LGBT bukan penyakit."
Pendemo lainnya membentangkan spanduk berbunyi: "Kami menolak RKUHP. Tidak
sesuai HAM."

Para pendukung LGBT itu tak henti-hentinya berkampanye bahwa LGBT bukan
penyimpangan. Karena itu, mereka merasa punya hak untuk melaksanakan praktik seks
sejenis. Jargon "persamaan" dan "kesetaraan" digunakan para pendu kung LGBT di
berbagai negara. Dengan jargon "equal", pendukung LGBT di Irlan dia yang mayoritas
Katolik, akhirnya memenangkan referendum.

Perkawinan LGBT di negara itu kemudian dilegalkan, meskipun dikecam keras oleh
Vatikan. Saat menjadi Saksi Ahli di MK dari pihak AILA, saya memohon kepada hakim
MK agar mengambil pelajaran dari kasus legalisasi LGBT di Amerika Serikat (AS). Pada
26 Juni 2015, secara resmi AS mengesahkan perkawinan sesama jenis, mengikuti jejak 20
negara lain sebelumnya. Perjalanan legalisasi perkawinan sejenis (same-sex marriage), di
AS terbilang sangat cepat. Tahun 2004, Massachusetts menjadi negara bagian pertama yang
mengesahkan perkawinan sejenis.

Tak lama kemudian, pada 2013, untuk pertama kalinya, Katedral Nasional AS
melaksanakan perkawinan sejenis (https://www.cathedral.org/press/PR- 60QF1-
3I0018.shtml). Awal Juni 2015, pun baru sekitar 30 negara bagian di AS yang melegalkan
perkawinan sejenis.

Apa yang menimpa Gereja Katolik dalam kasus LGBT di sejumlah negara,
khususnya di AS, patut menjadi bahan renungan serius bagi bangsa Indonesia yang
mayoritas Muslim. Sebab, AS selama ratusan tahun dikenal sebagai bangsa yang cukup
religius. Sebuah buku berjudul What Americans Believe: An Annual Survey of Values and

179
Religious Views in the United States (California: Regal Books, 1991), memberikan
gambaran tingkat religiositas rakyat AS yang masih lumayan.

Terhadap pertanyaan, "apakah kepercayaan Kristen masih relevan dengan jalan


hidup anda", sebanyak 47 persen rakyat AS menjawab "sangat setuju". Bahkan, jauh
sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah "bangsa Kristen". Tahun
1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: "We are a Christian people." Itu ditegaskan lagi
oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 1892, dengan menyatakan: "This is a Christian
Nation." (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to Ameri ca's
National Identity (New York: Si mon&Schuster, 2004).

Bagaimana bangsa AS bisa diubah persepsinya sampai melegalkan perkawinan


sejenis? Inilah jawabannya! Pada 22 Mei 2013, Wakil Presiden AS Joe Biden memberikan
pujian kepada tokoh-tokoh Yahudi yang telah berjasa dalam mengubah persepsi bangsa AS
tentang perkawinan sejenis. Harian Israel, Haaretz menulis sebuah berita berjudul "Biden:
Jewish leaders drove gay marriage changes". Dikatakan, bahwa, "Vice Presi dent Joe Biden
is praising Jewish leaders for helping change American attitudes about gay marriage and
other issues."

Kajian-kajian tentang dominasi peran Yahudi di AS sangat melimpah. Prof Norman


Cantor, dalam bukunya, The Sacred Chain, menyebutkan bahwa pada 1994, jumlah Yahudi
di AS hanya tiga persen dari populasi bangsa AS. Tetapi, pengaruh mereka setara dengan
kekuatan 20 persen pen duduk AS. Bahkan, Prof Cantor menulis, "Jews were over
represented in the learned professions by a factor of five or six."

Kemampuan dan dominasi Yahudi dalam pembentukan opini di AS tidak diragukan


lagi. Kekuatan kaum Yahudi AS adalah dalam pembentukan opini. Eugene Fisher, Direktur
Catholic-Jewish Relations, menyatakan, "If there is Jewish power, it's the power of the

180
word, the po wer of Jewish columnist and Jewish opinion makers." (Dikutip dari buku The
New Jerusalem: Zionist Power in America karya Michael Collins Piper, Washington, DC:
American Free Press, 2004).

Laman http: www.timesofisrael.com (4/3/2016), masih memampang satu judul


berita "US Jews among the most supportive of gay marriage". Disebutkan bahwa kaum
Yahudi Amerika merupakan komunitas tertinggi yang memberikan dukungan terhadap
legalisasi perkawinan sejenis (perkawinan homo dan lesbi) di AS. Itulah hasil survei "Pew
Research Center for the People and the Press."

Menurut hasil survei yang dilakukan dalam rentang tahun 2012-2013, sebanyak 76
persen Yahudi AS mendukung pengesahan (legalisasi) perkawinan se jenis, sedangkan 18
persen menentang, dan delapan persen tidak menyatakan sikapnya. Jumlah itu jauh lebih
besar dibandingkan pemeluk Protestan (34 persen) dan pemeluk Katolik (53 persen).

Tidak mengherankan jika pakar psikologi AS, Prof Kevin McDonald, dalam
bukunya The Culture of Critique, menyimpulkan bahwa gerakan intelektual abad ke-20,-
yang sebagian besar didirikan dan dipimpin oleh orang-orang Yahudi – "have changed
European societies in fundamental ways and destroyed the confidence of Western man."

Semoga khafilah pemerintah dan DPR tetap berlalu, maju tak gentar membela yang
benar, meskipun harus menghadapi berbagai teriakan, tekanan, dan ancaman dalam
perumusan pasal-pasal kejahatan zina – baik sejenis maupun lain jenis. Yakinlah, bahwa
jika penduduk satu negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, pasti Allah akan
mengucurkan berkah dari langit dan dari bumi! (QS 7:96). Allahu Akbar!

181
JIWA MANUSIA MENURUT FAKHRUDDIN AL-RAZI

Oleh: Adnin Armas, M.A.

__________________________________________________________________

Imam Fakhruddin al-Razi (m. 1210 M) dikenal sebagai seorang ulama besar yang
ensiklopedis, menguasai berbagai bidang keilmuan secara mendalam. Ia seorang mufassir

182
al-Quran terkemuka. Ia juga pakar dalam bidang kedokteran, logika, matematika, dan
fisika. Ia menulis kurang lebih dari dua ratus judul buku. Beberapa judul pun berjilid-jilid.
Tulisannya tentang jiwa manusia terurai paling sedikit dalam tiga karyanya. Pertama,
tentunya dalam Tafsir Besar-nya (al-Tafsir al-Kabir). Kedua, bukunya yang berjudul Kitab
al-Nafs wa al-Ruh wa Syarh Quwahuma. (Buku Jiwa dan Ruh dan Komentar Terhadap
Kedua Potensinya). Ketiga, tulisannya yang lebih menukik, terdapat dalam magnum opus-
nya (karya besar), yang berjudul al-Matalib al-Aliyah fi al-Ilm al-Ilahi (Kesimpulan-
Kesimpulan Puncak dalam Ilmu Ketuhanan). Buku ini terdiri dari 9 jilid.

Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang
unik. Keunikannya ada pada karakteristiknya yang khas. Manusia memang beda dengan
makhluk ciptaan Allah yang lain. Bagi Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk yang
memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan nafsu. Ini membedakan manusia bukan hanya
dengan binatang dan tumbuhan, tapi juga dengan malaikat. Dalam kajian psikologi Barat,
perbandingan manusia dengan malaikat dan setan tentunya tidak ditemukan.

Menurut al-Razi, malaikat hanya memiliki akal dan hikmah, tanpa tabiat dan hawa
nafsu. Karena itu, malaikat selalu ber-tasbih, ber-tahmid dan melakukan taqdis. (QS 16:50;
66:6: 21:21). Malaikat juga tidak akan mengingkari perintah Allah Taala karena memang
tidak memiliki hawa nafsu. Sebaliknya, binatang dan tumbuh-tumbuhan memiliki tabiat
dan nafsu, namun tidak memiliki akal serta hikmah. Berbeda dengan malaikat, binatang dan
tumbuh-tumbuhan, manusia memiliki kesemua karakteristik tersebut, yaitu akal, hikmah,
tabiat dan hawa nafsu.

Karakteristik berbeda menyebabkan sifat juga berbeda. Bagi al-Razi, malaikat


selalu memiliki kesempurnaan karena tidak punya hawa nafsu dan tabiat. Sebaliknya,
binatang selalu memiliki kekurangan karena tidak punya akal dan hikmah. Nah, manusia
ada di antara keduanya. Manusia memiliki akal dan hikmah, tapi manusia juga punya hawa
nafsu dan tabiat. Karena ke-empat karakteristik tersebut, maka manusia memiliki sifat
kekurangan dan kelebihan. Jika manusia menggunakan akal dan hikmah untuk mengatur
hawa nafsu dan tabiatnya, maka manusia akan memiliki kelebihan dibanding dengan
makhluk ciptaan Allah lainnya. Dengan menggunakan akal -- dan hikmah yang bersumber

183
dari ajaran agama -- untuk menundukkan hawa nafsu dan tabiatnya, maka manusia akan
menjadi khalifah Allah di bumi, sekaligus akan menjadi makhluk yang paling mulia.
Sebaliknya, jika tabiat dan hawa nafsu yang menguasai diri dan akalnya, maka ia akan lebih
hina dari binatang, yang memang tidak punya akal dan hikmah.

Menurut Fakhruddin al-Razi, jiwa manusia memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan


tertinggi adalah tingkat yang menghadap ke alam ilahi (al-sabiqun, al-muqarrabun).
Tingkatan ini dapat diraih hanya jika manusia mau melakukan praktek spiritual (al-
riyadiyah al-ruhaniah) dengan istiqamah. Tingkatan berikutnya adalah tingkatan
pertengahan (ashab al-maymanah, al-muqtasidun). Untuk mencapai tingkat kedua ini,
diperlukan ilmu akhlak (‘ilm al-akhlaq). Tingkatan paling rendah adalah jiwa manusia yang
sibuk mencari kesenangan kehidupan duniawi, (ashab al-shimal, al-dhalimun).

Fakhruddin al-Razi juga menyatakan bahwa ada tiga jenis jiwa manusia. Pertama,
al-Nafs al-Mutmainnah (al-Fajr, 89: 27), yaitu jiwa yang tenang, jiwa yang penuh dengan
kehidupan spiritualitas dan kedekatan dengan Tuhan. Kedua adalah al-Nafs al-lawwamah
(al-Qiyamah 75: 2). Ketiga adalah al-Nafs al-Ammarah bi al-su (Yusuf, 12: 53), adalah
jiwa yang selalu mengarahkan manusia kepada keburukan.

Fakhruddin al-Razi membedakan jiwa dengan tubuh. Menurutnya, jiwa bukanlah


struktur lahiriah yang bisa dilihat secara inderawi (Ghayr al-bunyah al-zahirah al-
mahshushah).

Fakhruddin al-Razi membuktikan pendapatnya dengan akal dan wahyu. Adapun


bukti akal sebagai berikut. Pertama, jiwa adalah satu. Oleh sebab itu, jiwa berbeda dengan
tubuh dan bagian-bagiannya. Bahwa jiwa adalah satu, dapat dibuktikan secara spontan dan
intuitif (a priori) dan bisa juga dengan bukti empiris (a posteriori). Spontan, karena ketika
seorang mengatakan “aku/saya”, maka “aku/saya” merujuk kepada satu esensi (zat) yang
khusus, dan tidak banyak.

Jiwa bisa juga dibuktikan secara empiris, yang berbeda dengan tubuh dan bagian-
bagian tubuh:

184
(a) Jiwa bukanlah himpunan bagian-bagian tubuh karena penglihatan tidak menghimpun
seluruh kerja tubuh.

(b) Jiwa juga tidak identik dengan bagian dari tubuh karena tidak ada dari bagian tubuh
yang meliputi semua kerja tubuh.

(c) Jika kita melihat sesuatu, kita mengetahuinya, setelah itu menyukainya ataupun
membencinya, mendekatinya ataupun menjauhinya. Jika penglihatan adalah sesuatu, dan
pengetahuan adalah sesuatu yang lain, maka yang melihat tidak akan mengetahui. Padahal,
ketika saya melihat, saya mengetahui. Jadi, esensi dari penglihatan dan pengetahuan adalah
satu.

(d) Semua bagian tubuh adalah alat untuk jiwa. Jiwa melihat dengan mata, berfikir dengan
otak, berbuat dengan hati, merasa dengan kulit, dan seterusnya.

Lalu, apa ”jiwa” itu? Fakhruddin al-Razi menggambarkan hakikat jiwa sebagai
substansi yang berbeda dengan tubuh. Jiwa juga terpisah secara esensial dengan tubuh.
Namun jiwa terhubungkan dengan tubuh dengan hubungan kerja dan administrasi (dzat al-
nafs jawhar mughayir laha mufariq anha bi al-dhat mutaalliq biha tasarruf wa al-tadbir).

Setelah menyebutkan bukti-bukti akal, Fakhruddin al-Razi menyebutkan banyak


ayat dalam al-Quran yang menunjukkan bahwa jiwa bukanlah tubuh. Firman Allah,
misalnya, dalam Surah Ali Imran ayat 169 yang artinya: ”Janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya
dengan mendapat rezki. (QS 3: 169). Jadi, jiwa bukan tubuh, karena sekalipun badan
mereka telah gugur, namun jiwa mereka tetap hidup. Begitu juga disebutkan dalam al-
Quran Surah Al-Muminun 40:46; Nuh 71: 25; Al-Anam: 93.

Pemikiran Fakhruddin al-Razi bahwa jiwa dan bukan tubuh -- yang mengatur tubuh
sangat penting untuk direnungkan. Kita mungkin banyak menghabiskan uang untuk
berobat, merawat kesehatan badan, menjaga tubuh dengan membeli berbagai produk
kesehatan dan kosmetika, dan membeli pakaian dengan berbagai merek, model dan bentuk.
Jika tidak menghabiskan banyak uang untuk keperluan dan keinginan tersebut, setiap hari

185
kita mandi untuk membersihkan tubuh kita. Namun, apakah jiwa yang justru mengatur
tubuh kita juga dibersihkan, diobati, dirawat dan dihiasi?

Manusia bisa saja memiliki tubuh bersih namun berjiwa kotor. Jadi, jiwa tidak
selalu tergantung kepada penampilan tubuh. Kita berharap memiliki jiwa yang sehat dengan
tubuh yang sehat. Jiwa yang tenang akan dapat diraih dengan mempelajari serta
mengamalkan ibadah dan akhlak secara berkelanjutan. Inilah jiwa yang sehat, jiwa yang
selalu mengingat Allah dan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya

TOKOH-TOKOH ORIENTALIS DI INDONESIA


Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

I. Thomas Stamford Raffles (1781-1826)

Terlahir dengan nama Thomas Raffles, sosok yang sangat dihormati di Inggris dan
Singapura ini tidak lahir di lingkungan istana. Ia lahir di lepas pantai Jamaika 6 Juli 1781
dari orang tua yang hanya berprofesi sebagai juru masak di sebuah kapal. Ia pun lahir saat
orang tuanya bekerja di geladak Kapal Ann. Namun, sebuat Sir (sebutan bagi bangsawan
Inggris) selalu dilekatkan padanya karena jasa-jasanya yang besar bagi pemerintahan
Inggris.

186
Tidak seperti orientalis pada umumnya, Raffles bukanlah seorang ilmuwan an sich.
Ia hanya menyelesaikan sekolah biasa di Inggris. Namun, karena keuletan dan kemauan
belajarnya yang sangat tinggi, Raffles diterima bekerja sebagai juru tulis di East Indian
Company (EIC) pada tahun 1795. Beberapa saat kemudian ia dipromosikan sebagai asisten
sekretaris untuk wilayah kepulauan Melayu di perusahaan yang sama. Sejak dipekerjakan
di sana, kemampuan bahasa Melayunya terasah.

Sejak tahun 1804, Raffles bertugas di Pulau Penang, Malaysia. Kemudian tahun
1811 ia dikirim pemerintah Inggris pada suatu ekspedisi ke Tanah Jawa sebagai Letnan
Gubernur. Karena kecerdikan, keterampilan, dan kemampuannya berbahasa Melayu,
Pemerintah Inggris mempercayai Raffles menjadi Gubernur Jendral Hindia-Belanda, pada
tahun yang sama setelah wilayah kepulauan Indonesia resmi jatuh ke tangan Inggris dari
Prancis. Raffles pun menggantikan Gubernur Jendral William Daendels (1808-1811) utusan
Prancis.

Walaupun datang sebagai pejabat, Raffles ternyata sangat senang dengan dunia ilmu
pengetahuan. Kegemarannya pada biologi membuat namanya telah dijadikan nama ilmiah
bagi sederet tumbuhan dan binatang. Yang paling masyhur adalah rafflesia arnoldi (bunga
bangkai). Selain itu, ia pun menaruh perhatian besar pada kebudayaan Melayu dan Jawa.
Sepanjang masa tugasnya di kepulauan Melayu dan Jawa, ia mengumpulkan berbagai data
tentang sejarah dan kebudayaan di wilayah ini; juga mengenai flora dan fauna yang tidak
akan pernah ia lewatkan.

The History of Java adalah magnum opus-nya mengenai segala sesuatu tentang
Pulau Jawa, temasuk sejarah dan budayanya. Sekalipun lebih terlihat sebagai laporan atas
apa yang ia temukan selama bertugas di Jawa, namun karya ini dianggap sebagai tonggak
penting kajian-kajian sejarah dan kebudayaan Jawa dan Indonesia yang dilakukan oleh
orientalis-orientalis sesudahnya.

Karya inilah yang mula-mula menganggap kebudayaan Hindu-Budha sebagai


fondasi dasar kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Karya ini pula yang
menginspirasi sarjana-sarjana asing, terutama Belanda, pada masa-masa berikutnya untuk

187
turut menguatkan kesimpulan Raffles tentang posisi kebudayaan Hindu-Budha di
Indonesia.

Bagi Raffles, Islam yang disebarluaskan pada masa Walisongo dianggap sebagai
ajaran asing. Sekalipun ia mengakui bahwa saat ia bertugas di kepulauan Melayu dan Jawa,
Islam merupakan agama yang dianut mayoritas rakyat di kawasan ini, namun Raffles tidak
melihatnya sebagai fenomena kultural yang harus digali. Ia justru semakin yakin dengan
pengaruh mistik Hindu-Budha pada penguasa-penguasa Muslim. Ia menafsirkan berbagai
praktik kultural yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Muslim sama seperti penguasa-
penguasa Hindu sebelumnya.

Penggambaran kekuasaan raja-raja Islam yang penuh mistik seperti keris bertuah,
benda-benda pusaka, dan semisalnya melekat sepanjang tulisannya di The History of Java.
Penggambarannya ini mengukuhkan kesan tidak berpangaruhnya ajaran-ajaran Islam yang
ia sebut sebagai Mohamedanism ini kepada perilaku kultural masyarakat dan penguasa-
penguasa Muslim.

Selain itu, ia pun mengukuhkan kesan perluasan Islam yang dilakukan dengan cara-cara
kekerasan oleh penguasa Islam. Dalam kasus Raden Fatah, misalnya, The History of Java-
lah yang mula-mula menceritakan bahwa Demak mendapatkan kekuasaan setelah
menghancurkan Majapahit. Dalam cerita itu digambarkan toleransi dan sikap damai
Majapahit justru dibalas dengan serangan Raden Fatah yang haus kekuasaan hingga
Majapahit benar-benar luluh lantak tak bersisa.

Simpatinya pada kebudayaan Hindu-Budha ini juga diwujudkan dengan usaha-


usahanya mengeskavasi candi-candi di pulau Jawa yang semula sudah hancur. Atas
perintahnya-lah candi Borobudur yang sudah terkubur debu letusan gunung Merapi
dibangun kembali dan dijadikan icon Jawa. Sejak saat itulah, tergambar seolah-olah
pembangun utama kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Hindu-Budha. (***)

II. William Marsden (1754 1836)

188
Bagi para Indonesianis, Raffles adalah inspirator sedangkan Marsden adalah peletak
dasar kajian ilmiah tentang Indonesia. Karyanya yang paling popular tentang wilayah di
kepulauan ini adalah The History of Sumatra (1783). Sama seperti Raffles, Marsden
memokuskan karyanya ini pada kebudayaan orang-orang Sumatra seperti Minangkabau,
Batak, Aceh, Rejang, Lebong, dan sebaginya.

Jika Raffles meletakkan penelitian sebagai kerja sampingan dari pekerjaan


utamanya sebagai pejabat, maka Marsden datang ke Asia Tenggara sebagai seorang
Orientalis yang ditugaskan pemerintah Inggris untuk meneliti wilayah ini. Marsden
bersahabat baik dengan Raffles dan sama-sama pernah dikirim ke Bengkulu untuk tugas
yang berbeda. Saat bertemu di Inggris, Marsden sempat menghadiahkan 5 buah koin gobog
wayang yang menjadi salah satu koleksi penting Raffles.

Marsden lahir di Dublin 16 November 1754. Orang tuanya adalah pedagang di kota
itu. Sejak usia 16 tahun ia sudah bekerja di sebuah perusahaan multinasional Inggris Eeast
Indian Company (EIC) sebagai juru tulis. Ia bekerja di sana sebelum Raffles dan kemudian
di kirim ke Bengkulu tahun 1771. Setelah itu, ia dipromosikan sebagai sekretaris utama
negara untuk urusan Hinda-Timur yang ditempatkan di Sumatra. Sepanjang berada di Sana,
ia melakukan penelitian tentang berbagai hal menyangkut kehidupan masyarakat Sumatra,
dari mulai kekayaan alam, kehidupan sehari-hari, kebudayaan, sampai masalah keyakinan.
Ia menguasai bahasa Melayu dengan sangat baik.

Sekembalinya dari Sumatra tahun 1779, ia mulai menulis The History of Sumatra
dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 1783. Karya ini lebih dahulu dibuat daripada
The History of Java. Namun, popularitas Raffles membuat The History of Java lebih dahulu
dipublikasikan dan dikenal orang sebelum karya Marsden ini. Walaupun demikian, karya
Marsden ini sangat penting bagi kajian-kajian keindonesiaan pada masa-masa berikutnya,
terutama menyangkut Sumatra. Pada tahun 1834, dua tahun menjelang kematiannya,
Marsden diangkat sebagai ketua the Royal Society, sebuah kumpulan kaum intelektual
Inggris saat itu. Posisinya ini memberikan pengakuan akan otoritasnya di dunia ilmu
pengetahuan.

189
Sama seperti karya-karya oreintalis pada umumnya, kelemahan mendasar karya
Marsden tentang Sumatra ini adalah mengenai framework (kerangka kajian). Marsden
terjebak dengan framework kultural Eropa yang telah tersekularisasi saat melakukan
eksplanasi menyangkut fenomena-fenomena kultural masyarakat Sumatra yang mayoritas
Muslim.

Sepanjang eksplanasinya dalam The History of Sumatra, tulisan Marsden


mengesankan bahwa kebudayaan dan kebiasaan sehari-hari yang dipraktikkan masyarakat
Sumatra adalah indeginiuos (asli) hasil kreativitas masyarakat Sumatra. Saat menjelaskan
mengenai hukum yang berlaku di beberapa kerajaan seperti Minangkabau. Melayu, dan
Aceh, Marsden gagal mengungkapkan bahwa hukum-hukum yang berlaku itu merupakan
hukum yang diadopsi masyarakat dari syariat Islam. Bahkan sampai hari ini di masyarakat
Minang terkenal ungkapan adat basandi syara dan syara basandi kitabullah. Marsden sama
sekali luput menjelaskan keterkaitan syariat Islam dengan hukum adat yang berlaku di
sebagian besar wilayah Sumatra ini. Alhasil, karya Marsden ini berkontribusi besar dalam
memisahkan pengaruh Islam dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia, terutama wilayah
Sumatra. (***)

III Cristiaan Snouck Horgonje (1857-1936)

Orientalis kelahiran Thalen, Ousterhout, Negeri Belanda tanggal 8 Februari 1857 ini
adalah orientalis paling kontroversial di Indonesia. Untuk memuluskan tujuannya menggali
informasi mengenai umat Islam, ia rela berpura-pura masuk Islam. Oleh ayah dan kakeknya
yang menjadi pendeta Protestan di Belanda ia diarahkan untuk mejadi pendeta. Namun,
Snouck tidak kerasan dan memilih meneruskan kuliah di Universitas Leiden jurusan Sastra
Arab. Tahun 1875, ia mendapatkan predikat cum laude untuk disertasi doktor dalam bidang
Bahasa Semit dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Festival Mekah). Tidak puas dengan
studinya di Leiden, tahun 1884 ia pergi Mekah untuk menggali kebudayaan Arab dan
berbagai aspek Islam di tempat yang netral dari pengaruh kolonialisme. Namun untuk
tujuannya itu, ia rela menyatakan masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.

190
Di Mekah, ia bertemu dengan seorang tokoh Aceh yang kemudian menjadi antek
Belanda, Habib Abdurrahman Zahir. Pertemuannya itu mengubah minatnya belajar bahasa
dan kebudayaan Arab kepada masalah-masalah politik kolonial. Dari Zahir, Snocuk
mendapatkan banyak bahan mengenai penanganan masalah-masalah Acah. Saran-saran
Zahir itu tidak terlalu ditanggapi pemerintah kolonial saat ditawarkan oleh Zahir sendiri.
Namun melalui tangan Snouck, barulah pemerintah mau merespon. Bahkan, saat Snouck
menawarkan diri untuk meneliti masalah-masalah pribumi, terutama masalah Aceh,
pemerintah kolonial menyetujuinya.

Tahun 1889 ia mulai melaksanakan tugasnya melakukan penelitian mengenai


aspek-aspek kebudayaan dan keagamaan masyarakat Aceh. Hasil penelitiannya itu
kemudian dibukukan setebal 2 jilid dengan judul De Atjeher. Dalam penelitiannya, ia
berhasil mendapatkan informasi dari sumber-sumer pertama berkat kepura-puraannya
mengaku Islam. Orang-orang Aceh pun percaya karena penguasaannya terhadap bahasa
Arab dan penguasaannya terhadap berbagai aspek ajaran Islam. Apalagi, ia pernah dua
tahun belajar di Mekah.

Tidak lama setelah pemerintah menjalankan saran-saran hasil penelitian Snuock,


Aceh yang selama hampir satu abad penguasaan Belanda atas Indonesia tidak dapat
ditaklukkan akhirnya dapat ditaklukkan juga. Atas jasa-jasanya ini Snouck mendapatkan
pujian dan penghargaan besar. Kantor yang disediakan pemerintah Belanda untuk
akitivitasnya, yaitu Het Kantoor voor Inlansche Zaken (Kantor Penasihat Urusan-Urusan
Pribumi), menjadi kantor yang cukup penting. Bahkan kewenangannya seringkali tumpang-
tindih dengan pemerintah lokal setempat.

Sama seperti para pendahulunya, Snouck tetap memperingatkan pemerintah


Belanda bahwa Islam berbahaya bagi kepentingan politik kolonial. Namun, banginya tidak
semua Islam berbahaya. Hanya umat Islam yang berkesadaran politiklah yang akan
mengancam kelangsungan kekuasaan Belanda. Sementara umat Islam yang hanya
mengurusi masalah-masalah ibadah tidak akan berbahaya. Oleh sebab itu, pemerintah

191
disarankan agar mendukung setiap kegiatan umat Islam yang berkaitan dengan masalah
ibadah sehari-hari.

Seperti dicatat Bernhard van Vlakke dalam The History of Nusantara, Snouck pula
yang memperingatkan bahwa pada dasarnya masyarakat Islam Indonesia adalah masyarakat
yang ramah dan tidak suka amok (protes). Yang suka menyulut amarah mereka adalah
mereka yang sudah pulang dari Mekah dan membawa paham ”Mekah” yang keras. Inilah
yang kemudian menjadi cikal bakal stigma jelek terhadap alumni-alumni Timur Tengah
dan ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahab yang oleh para Orientalis diberi julukan
Wahabi. Kadua saran di antara sekian banyak saran Snouck yang lain di atas, rupanya
sampai saat ini masih dijadikan standar penguasa dalam memperlakukan umat Islam.
Padahal semestinya, saran itu hanya cocok untuk para penguasa penjajah yang memusuhi
umat Islam, bukan pemerintah yang berasal dari dalam diri umat Islam sendiri.

192

Anda mungkin juga menyukai