Anda di halaman 1dari 2

Wayang dan Koreksi Kekuasaan

Wayang seringkali dilihat sebagai hiburan belaka, untuk mengisi kebutuhan psikologis masyarakat
dan alat komunikasi yang merekatkan sesama warga masyarakat. Dengan demikian, wayang
berfungsi sebagai pemelihara kohesi masyarakat. Sudah tentu ia bukanlah satu-satunya alat perekat
kohesi masyarakat itu, karena ia pun tidak berkembang menjadi lembaga/institusi yang kompleks
sehingga tidak memiliki compelling institution (kekuatan pemaksa institusional). Hubungan dalang-
penanggap dengan penonton tetap saja merupakan hubungan cair yang berlangsung secara
insidental.

Wayang dapat pula dilihat secara kultural sebagai tradisi penularan nilai-nilai dari satu generasi ke
generasi lainnya. Apa yang diluhurkan oleh wayang berkembang menjadi cita ideal yang dijadikan
tolok ukur etis dan estetis oleh masyarakat yang menggemarinya. Dalam konteks ini, wayang
berfungsi ganda yang dapat pula menciptakan krisis bagi dirinya sendiri. Di satu sisi, wayang
memelihara nilai-nilai lama yang dibakukan sebagai tolok ukur normatif yang harus terus-menerus
dipegangi oleh masyarakat. Di sisi lain, wayang juga berfungsi memasukkan nilai-nilai baru, yang juga
akan dikembangkan menjadi tolok ukur yang baru pula bagi kehidupan masyarakat. Sudah tentu
dengan mengorbankan nilai-nilai dan tolok ukur lama yang berbeda dari nilai-nilai dan tolok ukur
baru itu akan menimbulkan ketegangan. Ketegangan yang muncul antara nilai-nilai dan tolok ukur
lama dan baru itu dapat berkembang menjadi krisis identitas yang akan merusak kredibilitas wayang
itu sendiri sebagai wahana penularan nilai antar- generational. Pesan KB Keluarga Berencana),
apabila disampaikan secara vulgar dan serampangan, dapat menjadi hukuman mati bagi fungsi vital
ini dari wayang sebagai kekayaan kultural. Wayang dapat pula difungsikan sebagai alat pembentuk
budaya politik masyarakat dalam jangka panjang. Jenis pertama dari fungsi itu adalah pemanfaatan
wayang untuk memberikan legitimitasi kepada pola masyarakat, memperoleh legitimasi dari wayang
sebagai cara penyelenggaraan kekuasaan yang diinginkan masyarakat. Kejujuran, sikap mengabdi
kepada kepentingan umum, kerendahan hati dan keberanian moral adalah hal-hal yang dianggap
telah ditegakkan oleh sistem pemerintahan yang ada itu.

Bahkan lebih dari itu, tipologi kepemimpinan yang ada dalam wayang dijadikan percontohan dan
sistem kepemimpinan yang ada. Bung Karno umpamanya, telah sejak lama “dimodelkan” atau
memodelkan diri sebagai Dipati Karno yang ada dalam wayang. Kelaliman pejabat- pejabat Kolonial
“diwayangkan” dalam bentuk tokoh Buto (raksasa) yang tamak, tidak beradab dan tidak memiliki
kepribadian luhur. Karena itu menjadi tugas para pejuang kemerdekaan yang “diwayangkan” sebagai
Ksatria, untuk berjuang menumbangkan kekuasaan penjajah yang “diwayangkan” sebagai raksasa itu.
Peranan kulutral wayang, dalam penciptaan budaya politik yang melawan penjajahan itu, tidak dapat
dianggap kecil artinya.

Hal yang sama dapat pula dilihat pada peranan wayang sebagai alat koreksi terhadap jalannya
penyelenggaraan kekuasaan. Walaupun sistem pemerintahan telah berhasil “diwayangkan”, yakni
sebagai jalannya pemerintahan yang disamakan dengan keluhuran pemerintahan adil makmur,
gemah ripah loh jinawi dan toto tentrem kerta raharja, jalannya penyelenggaraan kekuasaan oleh
pemerintahan secara individual dapat disanggah oleh wayang. Tanpa menyebut nama, para dalang
dapat saja memproyeksikan perilaku tertentu dari pejabat tertentu sebagai sesuatu yang
menyimpang dari cita luhur penyelenggaraan kekuasaan. Dalam porsi ini, apa yang disampaikan
dalang dapat berkembang menjadi pembentuk pendapat umum tentang keabsahan perilaku sang
pemimpin yang tidak disebutkan namanya itu. Ia dapat saja berkembang menjadi Bimo yang agak
kebodoh-bodohan tetapi jujur, atau menjadi Durno yang disumpah-serapah masyarakat karena
kelicikannya.

Dalam melakukan fungsi koreksi terhadap jalannya penyelenggaraan kekuasaan ini, ki dalang dapat
pula menjadi pengumpul pendapat (pollsetter) melalui sebuah cara yang unik dan sangat kultural.
Dalang dapat memproyeksikan melalui lakon yang dipilihnya dan aksentuasi pada sisi tertentu dari
jalannya lakon, tentang keadaan yang tengah berlangsung pada suatu saat. Lakon “Kunthi Pilih” dan
“Dewa Amral”, misalnya, menunjuk kepada sebuah proses peralihan pemerintahan yang
membayangi suksesi kepemimpinan nasional kita dewasa ini. Akankah suksesi berlangsung segera,
atau masih menunggu hingga tahun 2003? Akan berlangsung secara konstitusionalkah atau melalui
cara-cara lain, dan haruskah ia berlangsung melalui proses pencapaian konsensus atau atas dasar
pemaksaan kehendak? Itulah pertanyaan utama yang sudah barang tentu tidak dapat dijawab oleh ki
dalang. Tetapi lakon Kunthi Pilih dan Dewa Amral dapat membawa kita ke dalam suasana peralihan
kekuasaan itu. Perubahan seorang ksatria, dari Punthadewa menjadi Dewa Amral bukanlah
menunjuk kepada status-quo, melainkan kepada perubahan dalam personalia pimpinan negara.
Proses penentuan jodoh bagi Kunthi menunjuk pada dua hal: proses munculnya ksatria (baca:
pimpinan negara) yang baru di satu sini, dan proses pergantian kepemimpinan negara yang
tersendat-sendat. Benarkah demikian?

Anda mungkin juga menyukai