Anda di halaman 1dari 3

PERAN AGAMA DALAM PEMILIHAN UMUM

Oleh: Lili Fadli Muhamad*)

Setiap warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dan akan menggunakannya pada
Pemilihan Umum (Pemilu) tentu setuju dengan pendapat bahwa Pemilu memiliki nilai strategis yang
signifikan bagi kelanjutan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilu adalah saat yang
tepat, sebuah momentum yang datang sekali dalam kisaran masa yang telah ditentukan. Inilah saatnya
to be or not to be yang dapat menjadi peluang bagi siapa saja yang bisa mengelolanya secara cerdas,
kreatif, dan bertanggung jawab. Namun peluang itu akan hilang bila kita tetap mempertahankan sikap
"bebal" kita selama ini.
Apakah yang dapat dilakukan oleh agama bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
sejalan dengan kewenangan Negara? Bila seseorang menganut pendapat bahwa manusia seperti seekor
katak, yang hidup dalam dua ruang, baik yang bersifat publik maupun privat, kemudian ia
menggolongkan hidup beragama pada ruang privat, akan sulit bagi manusia itu untuk mengingkari
pentingnya peran atau fungsi dari makna yang diemban tiap entitas keagamaan tersebut dalam ruang
hidup bersama di dunia publik dan populis.
Kepada agama, orang senantiasa mengharapkan hadirnya inspirasi bagi perubahan atas situasi
yang "bebal" dan jumud ini, apakah yang dapat diberikan oleh agama agar tidak mengecewakan umat
yang merupakan massa pemilih?
Kita setuju dengan pendapat bahwa agama memiliki tugas kemasyarakatan. Bagi Indonesia,
tentulah tugas kemasyarakatan dari agama tidak dengan serta merta menggantikan azas dan bentuk
kenegaraan kita dengan suatu azas dan bentuk penyelenggaraan pemerintahan menurut pandangan
keagamaan manapun juga, melainkan bahwa relevansi agama terletak justru pada panggilan untuk
memberikan landasan moral, etik, dan spiritual bagi pembangunan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dalam konteks Negara Pancasila.
Persoalannya, bagaimanakah agama dapat memberikan landasan moral, etik, dan spiritual
tersebut bagi pembangunan masyarakat bangsa dan negara dalam konteks Negara Pancasila yang plural
itu? Secara fenomenologis, kemunculan agama dapat dijelaskan melalui dua gerakan, yaitu internalisasi
dan eksternalisasi. Internalisasi adalah gerakan dari setiap pribadi beriman untuk memasukkan nilai-
nilai moral keagamaan dari luar dirinya untuk masuk ke dalam proses strukturisasi dunia batinnya
sendiri. Pada gilirannya, tiap-tiap pribadi beriman atau kelompok komunitas beriman yang sama, juga
mengekspresikan nilai dan moral keagamaannya yang simbolik itu ke realitas publik yang ada di luar
dirinya. Inilah yang disebut eksternalisasi.
Pada gerak eksternalisasi, agama mengemban fungsi profetisnya. Eksternalisasi nilai-nilai moral
dan etik keagamaan ini tentu saja dapat dibaca sebagai upaya alamiah semua agama untuk
memaknakan dunia sekitarnya, termasuk dunia politik dan kekuasaan. Tetapi mengapa di hari-hari
terakhir ini, bila kita cermati, terdapat gejala bahwa eksternalisasi nilai-nilai moral dan etik komunitas
agama di Indonesia sepertinya mengalami peningkatan yang signifikan, dan bahkan berujung pada
upaya yang tajam untuk memasukkan semua keprihatinan agama ke dalam perundang-undangan
publik?
Hal semacam ini kiranya dapat dijelaskan sebagai gejala tidak berfungsinya nilai-nilai moral
dan etik kebangsaan yang seharusnya dipelihara oleh negara dan politik kebangsaan sebagai sacred
canopy yang menaungi dan mengatur kehidupan bermasyarakat kita. Dengan kata lain, negara selama
ini telah gagal untuk menyatakan makna kehadirannya, alasan moral dari keberadaannya sendiri, yang
tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengembangkan "kekuasaan-yang melayani" rakyat dan
bukannya model "kekuasaan-untuk dilayani".
Karena kegagalan negara itulah, maka komunitas agama berusaha untuk memberikan alternatif
yang tentu saja membiaskan nilai-nilai moral dan etik keagamaannya sendiri sebagai sacred canopy
kebangsaan. Tetapi tentu tawaran semacam ini di Indonesia yang majemuk dalam kultur dan bahasa
keagamaan, tidak dapat dicerna secara sederhana. Prasangka antar pemeluk agama dapat dengan mudah
meruncing dan berujung pada konflik antar agama yang menyakitkan semua pihak, terlepas dari apakah
konflik itu direkayasa oleh kelompok ketiga yang merauf keuntungan dari persengketaan tersebut atau
pun terjadi dengan sendirinya.
Sebagaimana kita ketahui, dalam iklim politik demokrasi, mekanisme transisi kekuasaan diatur
melalui pemilihan umum. Dalam Pemilu 2024 mendatang, nilai strategis yang muncul ada pada
kenyataan bahwa inilah saatnya rakyat kembali memilih pemimpin dan wakilnya secara langsung.
Maka tentu saja pada sifat "memilih secara langsung" ini terdapat peran moral kebebasan dan
kewarganegaraan yang bertanggungjawab dari setiap warga negara yang memiliki hak pilih di
Republik ini.
Tetapi tentu saja segala apa yang kita inginkan dan harapkan untuk terjadi di Republik ini tidak
begitu saja muncul. Di sini kita diminta untuk bekerja secara realistis. Artinya, ada hal-hal yang dapat
kita lakukan dan sebaliknya tidak dapat kita lakukan dalam rangka perbaikan atas kehidupan
bermasyarakat. Misalnya, kita tidak dapat memperbaiki moral pejabat yang korup. Tetapi kita dapat
dan harus berusaha menciptakan sebuah sistem pergantian dan pengelolaan kekuasaan yang mencegah
agar jangan sampai negeri ini dipimpin dan diatur lagi oleh penguasa yang korup.
Kita tidak dapat dan tidak perlu mengharapkan setiap Parpol peserta Pemilu harus bermoral dan
cinta rakyat terlebih dahulu sebelum mereka bertarung di ajang Pemilu. Tetapi kita dapat dan harus
menciptakan basis dan praktek penyelenggaraan Pemilu yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta
Jujur dan Adil, yang diharapkan dapat memberikan kesempatan yang luas bagi rakyat untuk memilih
pemimpinnya sendiri. Maka sifat Luber dan Jurdil dari Pemilu tidak boleh berhenti sekedar sebagai
verbalisme semata. Semuanya harus direalisasikan, mulai dari tahap pendaftaran Parpol calon peserta
Pemilu, calon anggota legislatif, daftar pemilih sementara, verifikasi-verifikasi data oleh KPU, sampai
pada penghitungan dan perekapan suara hasil Pemilu.
Kita juga tidak perlu mengharapkan akan datangnya 'Ratu Adil' atau pun 'Mesias Politik' untuk
menjadi Pemimpin Nasional di negeri ini, tetapi yang jauh lebih penting adalah berusaha menciptakan
sebuah sistem kontrol atau pengawasan yang efektif terhadap setiap rezim kekuasaan pemerintahan
yang terpilih atau yang menjadi pemenang pada setiap Pemilu.
Hanya berdasarkan keteguhan moral, ketulusan hati, dan kebeningan berpikir, kita semua dapat
secara bersama-sama menyelamatkan negeri ini dari kehancuran. Pihak-pihak yang terlibat dalam
Pemilu, baik sebagai Peserta maupun sebagai Penyelenggara Pemilu harus menanamkan dalam dirinya
bahwa apa yang dilakukannya semata hanya karena Allah dan akan mempertanggungjawabkannya
kepada Allah. Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Umar r.a, Rasullah menegaskan: "Setiap kalian adalah
pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.” Wallahualam bissawab.

*)
Dosen Prodi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi

Anda mungkin juga menyukai