Anda di halaman 1dari 3

Nama : Angelica Miftahul Jannah

Prodi : Farmasi Reg A Pagi

Matkul : Kewarganegaraan

Memasuki tahun politik, suasana demokrasi diperkeruh dengan suguhan drama politik yang
dimainkan para aktor demokrasi. "Kampret" dan "cebong" adalah lakon utama dalam drama
berjudul Pilpres 2019. Skenario yang dimainkan tak jauh dari cerita kebangkitan PKI,
propaganda Rusia, menteri pencetak utang, invasi Tionghoa, politisasi ulama, politisasi agama,
curang debat pilpres, dan cerita lainnya yang hanya membuat alur cerita berantakan tanpa
makna.

Layaknya sinetron di televisi yang selalu mendapat rating tinggi, nyatanya drama politik ini
memang mampu menggiring opini publik dan menjadi jalan pintas bagi para lakon untuk
menggalang dukungan. Sayangnya, jalan pintas ini lebih sering menciptakan percakapan yang
bernada kebencian, fitnah, dan hoaks di media massa maupun media sosial ketimbang
perdebatan bernada inovasi yang mengasah nalar publik.

Politik bukan lagi pertarungan gagasan, ide, dan program kerja, melainkan adu pencitraan, janji,
kebencian, dan kecemasan. Meminjam istilah Habermas, pergeseran ini merupakan
pemiskinan politik (the impoverishment of politics).

Kata seorang filsuf asal Prancis, Paul Ricoeur, politik memiliki wajah ganda: politik rasional dan
politik durjana. Ricoeur menyebutnya sebagai paradoks politik (the political paradox). Kini,
politik yang durjana digunakan untuk meraih kekuasaan dengan jalan pintas demokrasi seperti
yang disebutkan di atas. Politik jenis ini menyasar kelompok masyarakat literasi rendah dengan
memanfaatkan ketakutan dan ketidaktahuan mereka.

Para pemilih yang belum rasional akan mudah tersihir dengan karisma dan retorika semata,
sehingga mengabaikan ukuran-ukuran ideal seperti integritas, track record, program kerja, dan
kompetensi.

Kebebasan yang dibingkai oleh keadaban publik, yang mampu mewujudkan keadilan sosial dan
harmoni sosial. Bukan kebebasan yang mengumbar kebencian dan permusuhan.

Kebebasanlah yang menjamin pendulum terus bergerak, membawanya ke tengah kala


pendulum melaju kencang ke ekstrim kiri atau kanan. Kita harus menghimpun dan
mengerahkan energi sosial agar pendulum bergerak dinamis berirama seperti lonceng jam,
jangan sampai lonceng jam berhenti mengayun karena kehabisan batere atau ada komponen
yang rusak.
Kekuatan yang memaksakan pendulum berayun ke titik ekstrim kiri atau kanan lantas berhenti
di sana berkepanjangan hanya bisa terjadi kalau kita hanya berdiam diri, ketika energi kebajikan
membeku.

Pemilu atau pilkada merupakan pembaruan kontrak politik, semacam pelumas untuk
melancarkan gerak pendulum, ke kiri dan ke kanan tak jauh dari titik tengah keseimbangannya.
Bukan statik persis di titik tengah dan berhenti bergerak dengan mematikan energi atau
merusak komponen lonceng. Pemilu sejatinya membawa ke arah perbaikan dan keseimbangan
politik yang lebih tinggi.

Setiap kita bebas memilih peran yang dipandang paling cocok untuk mengerek keseimbangan
politik yang lebih tinggi dan lebih berkualitas. Ada yang menempuh pilihan bergabung dengan
kubu salah satu calon. Ada pula yang merasa dirinya tak bakal bisa mengubah keadaan dengan
cara tidak mendatangi bilik suara atau golput.

Pada pilkada Jakarta 2012, saya memilih ikut berlaga sebagai salah satu calon gubernur lewat
jalur non-partai atau independen. Bukan karena saya anti partai politik, melainkan sebagai
pengimbang kekuatan partai politik menuju keseimbangan politik yang lebih tinggi dan
berkualitas: semacam peran checks and balances terhadap partai politik. Tim kami menempuh
cara-cara baru dalam kampanye, antara lain dengan keterbukaan, crowd funding, dan
menawarkan program yang terukur dan dapat diterapkan, terutama lewat media sosial. Kami
mengutamakan tata sosial ketimbang tata ruang, mendengarkan langsung asa masyarakat yang
orisinil dengan bermalam di rumah warga, mendengarkan masukan dari para ahli, dan metode-
metode baru lainnya yang belum pernah ditempuh sebelumnya. Dua hari setelah pilkada, tim
kami menyerahkan laporan keuangan dan alhamdulillah dinilai baik (bahkan kalau tak salah
yang terbaik).

Tantangan terbesar terhadap demokrasi bermutu pada masyarakat modern terdiri atas
pembagian sumberdaya politik yang tidak merata. Setidaknya, kalau demokrasi dimaknai
sebagai kesetaraan politik antara semua warganegara, definisi Robert Dahl, salah satu pencipta
tersohor teori demokrasi abad ke-20. Sayangnya, cita-cita itu sulit diwujudkan di ekonomi-
ekonomi kapitalis pasar, baik yang maju seperti Amerika maupun yang sedang berkembang
seperti Indonesia. Masalahnya: secara ironis, kapitalisme pasar sekaligus merupakan dasar
ekonomi mutlak buat negara demokratis modern sambil menggerogoti terus dasar politik
negara tersebut. Serangan paling terkenal terhadap kapitalisme selama ini diluncurkan pada
pertengahan abad ke-19 oleh teoretisi sosial Karl Marx yang mengutamakan perbenturan kelas
selaku kekuatan dinamis dalam sejarah. Namun, Marx dan pengikutnya sampai abad ke-21
tidak banyak membantu kita memahami apa yang harus kita buat untuk memperbaiki
demokrasi. Contoh di Indonesia: tulisan-tulisan Richard Robison dan Vedi Hadiz. Selain yakin
berlebihan terhadap peran perbenturan kelas, mereka menyepelekan mandirinya lembaga-
lembaga demokrasi yang dijuluki demokrasi borjuis, demokrasi yang hanya melayani
kepentingan kelas kapitalis. Niccolo Machiavelli, filsuf politik Italia abad ke-16, lebih tepat
selaku pemandu global abad ke-21 ketimbang Marx. Pendekatan Machiavelli terfokus pada
peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber
daya politik. Ia menawarkan kerangka berharga, terdiri atas konsep-konsep virtù dan fortuna,
yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan teori tindakan baru pada zaman kita. Virtù,
keterampilan atau kejantanan, berarti luas semua sumber daya yang berguna bagi aktor politik
untuk mencapai tujuannya. Fortuna berarti kans atau keberuntungan, tetapi dalam pengertian
kondisi-kondisi alamiah dan sosial serta kejadian-kejadian yang dihadapi sang aktor, tanpa
implikasi keharusan atau nasib. Kita juga diingatkan Machiavelli bahwa ada tensi, mungkin tak
terhindarkan sepanjang masa, antara moralitas pribadi dan moralitas politik.

Anda mungkin juga menyukai