Pesta demokrasi Pemilu 2024 akan segera tiba. Gegap gempita berita politik di seluruh
media begitu masif, baik di portal-portal media maupun di media sosial. Kita bisa
menyaksikan di sepanjang jalan raya maupun perkampungan berserakan wajah-wajah
baru, maupun wajah-wajah lama, calon legislatif di setiap daerah. Kesan yang terlihat
adalah mengurangi keindahan lingkungan, terlihat kumuh, dan kurang sedap dipandang
mata.
Di satu sisi, hal tersebut merupakan cara yang baik untuk bisa lebih mendekatkan diri lagi
kepada masyarakat. Namun, tentu saja ada hal lain yang dapat dilakukan yang minim
mengakibatkan kerusakan ataupun keresahan dalam masyarakat. Sebagai contoh
nyatanya, yang telah dan masih kita lakukan hingga saat ini yaitu proses debat antara
paslon presiden dan wapres.
Tentunya masyarakat berharap debat bisa menjadi solusi bagi persoalan-persolan yang
dihadapi, terutama persoalan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Visi dan misi serta
strategi para paslon diharapkan dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik.
Bukan hanya sekadar janji dan pencitraan semata dalam ruang digital.
Saiful Mujani, pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sekaligus doktor
ilmu politik lulusan Ohio State University), menyimpulkan berdasarkan kajian
elektabilitas yang dilakukannya bahwa debat capres-cawapres tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap suara pemilih. Menurutnya, jika mengukur elektabilitas dari hasil
survei sebelum debat dan hasil survei setelah debat, dari rangkaian pilpres 2004 sampai
2019 yang lalu, pengaruh debat tidaklah terlalu besar. Orang-orang yang menonton debat
cenderung sudah menjadi partisan. Sementara, para pemilih mengambang atau undecided
voters kebanyakan tidak terlalu berminat dan tidak terjangkau oleh debat tersebut.
Menurut Saiful Mujani, selama empat kali pemilihan presiden, perbandingan suara
sebelum debat dan pasca debat tidak menunjukkan perubahan signifikan. Bahkan, jumlah
orang yang menonton debat capres yang disiarkan secara langsung pun cenderung sedikit
dibandingkan dengan total pemilih yang mencapai 204 juta orang.
Menurut Stuart Hall, media memiliki peran dalam mempertahankan dominasi yang kuat
dan mengeksploitasi kelompok yang miskin dan tidak berdaya. Ideologi diartikan sebagai
“kerangka kerja mental” yang terdiri dari bahasa, konsep, kategori, citra pemikiran, dan
representasi yang digunakan oleh berbagai kelas dan kelompok sosial untuk memahami,
mendefinisikan, meneliti, dan menjelaskan cara kerja masyarakat. Banyak dari kita tidak
menyadari ideologi yang kita miliki dan dampak signifikan yang dapat dimilikinya dalam
kehidupan kita.
Karena salah satu tujuan Hall adalah untuk mengungkap ketidakseimbangan kekuatan
dalam masyarakat, ia menyatakan bahwa pendekatan studi budaya menjadi sah jika dapat
“mendekonstruksi” struktur saat ini dari lembaga riset media yang gagal mengatasi
ideologi. Studi budaya memiliki keterkaitan erat dengan teori kritis, tetapi lebih
menekankan resistensi daripada rasionalitas. Hall meyakini bahwa tujuan dari teori dan
penelitian adalah memberdayakan orang-orang yang terpinggirkan untuk mengubah
dunia.
Di era digitalisasi yang penuh tantangan ini, diperlukan pemimpin; seorang komunikator
politik, dalam hal ini paslon presiden, yang memiliki Communication skill yang
memadai, kemampuan diplomasi yang handal, empati, kompetensi dan bisa menganalisis
pesan secara kritis, tentang problematika yang dihadapi masyarakat. Untuk itu
seyogyanya pelaksanaan debat bisa menjadi solusi dan pondasi untuk membangun negeri,
sehingga debat tidak hanya sekedar wadah lelucon atau berkesan hiburan semata serta
ajang politik identitas, tapi bisa dan dapat dipertanggungjawabkan secara substansi.