Anda di halaman 1dari 17

Gelombang Perlawanan: Respon Terhadap

Ketidakberesan Elite Politik dan Disfungsi Negara


indoprogress.com/2019/10/gelombang-perlawanan-respon-terhadap-ketidakberesan-elite-politik-dan-

Harian IndoPROGRESS October 3, 2019

PADA hari Senin, 23 September 2019, ribuan mahasiswa yang


terdiri dari berbagai universitas di Yogyakarta turun ke jalan.
Mereka melakukan long march dari kampus masing-masing
untuk kemudian bertemu di titik simpul yang sama, di Jalan
Gejayan. Gejayan menjadi saksi bisu hadirnya kekuatan aliansi
mahasiswa Jogyakarta menyuarakan sekaligus menuntut
pemerintahan yang dianggap bermasalah. Aksi ini kemudian
dikenal dengan seruan #Gejayan_Memanggil. Perkembangan
teknologi digital melalui pemanfaatan media sosial menjadi
instrumen penting dalam memobilisasi masa dan menyesaki
ruang publik virtual. Masifnya mobilisasi massa melalui
penggunaan media sosial telah membuat seruan
#Gejayan_Memanggil menjadi salah satu tranding topic di
Twitter.

Gejayan dipilih sebagai simpul berkumpulnya aksi mahasiswa


karena memiliki nilai sejarah yang sama. Di tahun 1988, ribuan
mahasiswa Jogyakarta turun ke jalan membawa semangat yang
sama dan tunggal, yaitu menuntut Soeharto turun dari jabatan
presiden. Rezim Soeharto yang menerapkan sistem
pemerintahan birokratikotoriter selama 32 tahun, telah
kehilangan legitimasi menyusul munculnya krisis ekonomi yang
melanda Indonesia. Elemen masyarakat dan mahasiswa
menuntut reformasi yang menghadirkan sistem politik
1/17
demokratis. Tanggal 23 September 2019, ada romantisme akan
keberhasilan gerakan sipil di Jalan Gejayan. Tuntutan dan isu
yang diperjuangkan berbeda. Jika tahun 1998 common enemy
mereka adalah rezim orde baru yang otoriter, maka aksi
mahasiswa tahun 2019 common enemy mereka bukanlah rezim
otoriter, tetapi demokrasi itu sendiri. Mereka menganggap
bahwa makna demokrasi telah ditelanjangi dan dikorupsi oleh
elite politik yang berhasil mentransformasikan diri melalui pintu
demokrasi.

Aksi demonstrasi sebagai bentuk ungkapan, ekspresi sekaligus


kritik publik terhadap negara merupakan sebuah keniscayaan
dalam sistem demokrasi. Demokrasi menghendaki adanya
kebebasan warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan
sosial politik sekaligus melakukan kontrol populer secara setara.
Hadirnya demontrasi mahasiswa sebagai bentuk kritik atas
penguasa mengindikasikan adanya problem dalam tubuh
demokrasi. Praktik kekuasaan negara yang dijalankan oleh aktor
politik melalui logika patronase dan klientalisme, oligarkis dan
praktik kartel adalah varian dari problem demokrasi yang tengah
dihadapi Indonesia paca orda baru. Reformasi politik yang
mengubah transformasi politik dari otoritarianisme ke demokrasi
ternyata tidak serta merta membawa iklim perubahan sosial
politik dan pembangunan ekonomi ke arah yang lebih baik.

Selama kurang lebih 20 tahun pasca orba, telah banyak kajian


yang berusaha memotret paradoks bekerjanya demokrasi di
Indonesia. Aspinall (2014) berkesimpulan bahwa politik
Indonesia kontemporer dihiasi oleh kegiatan patronase antar
2/17
elite untuk merebut jabatan di arena politik formal. Praktik
patronase, misalnya, dengan mudah ditemui pada masa pemilu.
Calon kandidiat menawarkan sumber material maupun non-
material kepada pemilih untuk dikonversi menjadi dukungan
dalam bilik suara (voting buying). Praktik ini tentu membuat
dimensi persaingan antar aktor menjadi tidak sehat dan akhirnya
menghadirkan pemimpin politik yang tidak berintegritas dan
akuntabel. Praktik korupsi menjadi sulit dihindari.

Pandangan yang lain menyebut bahwa demokrasi Indonesia


telah dikuasai oleh segelintir elite yang mempunyai kepentingan
pada politik pertahanan kekayaan. Segelentir elite ini disebut
oleh Hadiz & Robinson (2004) dan Winters (2011) sebagai
oligarki. Resources yang melekat pada negara merupakan lahan
basah untuk berburu rente para oligarki. Hubungan yang
dibangun secara harmonis antara negara dengan para oligarki
telah mengeksklusi sekaligus mengorbankan warga negara.
Distribusi kekuasaan politik dan ekonomi yang memusat ke
tangan elite oligarki ini menjadi penyebab munculnya
ketimpangan di tengah masyarakat yang akhirnya berujung pada
absennya negara dalam menyuguhkan pelayanan publik yang
berkualitas dan menciptakan kesejahteraan warga negara.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Slater (2014) dan Ambardi
(2009), munculnya kekuatan oligarki ini tidak lepas dari praktik
kartel-kartel politik. Persoalan-persoalan yang muncul di tubuh
rezim demokrasi ini menjadi alasan mengapa proses transisi di
Indonesia tidak berjalan mulus alias mandek (Tornquist, 2013).

3/17
Persoalan demokrasi dalam praktik bernegara kian hari semakin
tidak bisa masuk akal dalam nalar demokrasi. Hari ini ruang
publik disesaki oleh isu tentang ketidakberesan elite politik dan
disfungsi negara yang gagal dalam mewujudkan tuntutan warga
negara yang haus akan kesejahteraan. Upaya pelemahan KPK,
sejumlah isu RKUHP yang kontroversial, Undang-undang
Pertanahan dan Undang-Undang Minerba yang memihak
kepentingan elite dan pemodal menjadi pemicu meledaknya
gelombang perlawanan mahasiswa Jogyakarta di Gejayan dan
terus direspon oleh aksi demontrasi di berbagai daerah,
termasuk di Jakarta.

Ketidakberesan Elite Dan Disfungsi Negara

Awal mula terbentunya negara pada dasarnya tidak lepas dari


mandat rakyat yang memberikan legitimasi dan kedaulatan
mereka kepada negara sebagai institusi dan lembaga yang
mengatur kehidupan rakyat untuk menciptakan keteraturan
demi mencapai kebaikan bersama. Hal ini tidak lepas dari realita
bahwa individu dan kelompok yang hidup dalam suatu daerah
teritorial memiliki kepentingan masing-masing sehingga rentan
terhadap konflik dan pertumpahan darah sebagai akibat adanya
persaingan dan benturan kepentingan yang beragam dalam
memperebutkan sumber daya yang terbatas. Untuk
meminimalisir terjadinya konflik, individu dan kelompok
bersepakat untuk memilih suatu organisasi atau institusi
bernama negara yang bertanggungjawab dalam menciptakan
ketertiban dan harmonisasi kehidupan sosialpolitik. Negosiasi
4/17
antara kelompok (rakyat) dengan negara disebut John Locke
sebagai kontrak sosial. Rakyat memberikan legitimasi,
kepercayaan, loyalitas dan bersedia diatur oleh negara.
Sementara negara berkewajiban melindungi hak-hak warga
negara dan berkomitmen menciptakan kebaikan bersama.
Keberhasilan dan kegagalan negara sangat ditentukan oleh
sejauh mana negara menjalankan tugas tersebut secara efektif.

Namun dalam logika bekerjanya negara, tidak selalu berada pada


ranah ideal. Negara kerap kali justru bertindak sebagai alat bagi
kelas berkuasa untuk menindas kelompok lain yang berada di
luar kekuasaan negara. Negara menjelma sebagai entitas
kekuatan dominasi elite yang menyatu dalam tubuh negara
untuk mendapatkan akses terhadap resources dan disaat yang
bersamaan memarginalisasi dan mengekslusi kehidupan rakyat.
Inilah yang dikatakan oleh kaum Marxian bahwa negara tidak
lain hanya sebagai perpanjangan tangan segelintir elite yang
berkuasa. Tidak hanya sebagai alat bagi kelas dominan untuk
mengejar kepentingan mereka, negara seringkali menemui jalan
buntu bagaimana seharusnya mengelola negara dan masyarakat.
Fungsi negara sebagai penyedia layanan publik, membuat
produk kebijakan, distribusi dan alokasi nilai kepada rakyat kerap
kali terhambat ketika berhadapan dengan kepentingan elit
politik yang berkuasa. Dengan kata lain, keberadaan elite politik
yang mengelola institusi negara telah menyandera fungsi-fungsi
dan tujuan dari negara itu sendiri.

Paling tidak kondisi ini yang tengah menjangkiti Indonesia


sebagai sebuah entitas dari negara. Ada ketidakberesan elite
5/17
politik sekaligus disfungsi negara sehingga demokrasi yang
sedang berjalan pasca reformasi tidak kunjung membawa arah
perubahan yang lebih baik. Demokrasi terjebak pada aspek
prosedural namun abai terhadap nilai-nilai yang lebih
substansial. Di satu sisi, institusi demokrasi banyak diciptakan
dan dikembangkan untuk mengawal reformasi, namun di sisi lain
keberadaan institusi demokrasi ini tidak lantas membuat fungsi
dan kinerja institusi tersebut berjalan secara efektif. Sebagai
ilustrasi, pemilu lima tahunan diselenggarakan secara lebih
terbuka dan transparan. Warga negara diberikan hak dan
kesempatan yang sama untuk ikut berkontestasi dalam pemilu.
Ironisnya, kandidat terpilih sebagai elite politik yang lahir dari
produk pemilu tidak banyak yang berhasil menjalankan ide
representasi, yang terjadi justru adanya monopoli institusi
representasi oleh aktor dominan, yakni elite politik yang memikili
basis sumber daya material (Amalinda & Tornquist, 2016).
Banyaknya pejabat politik yang lahir dari rahim pemilu yang
korup dan tidak akuntabel mempertegas bahwa nilai demokrasi
substantif belum tersentuh. Ketidakberesan elite dan disfungsi
negara yang kemudian menuai kritik di tengah rakyat dapat
dibaca dari isu-isu yang menjadi perdebatan di ruang publik
belakangan ini. Dari beragam masalah yang sangat kompleks,
paling tidak ada tiga persoalan yang penting dan krusial yaitu
menyangkut pelemahan KPK, perumusan kebijakan yang tidak
akomodatif, dan polemik mengenai hak asasi manusia.

Pertama, isu mengenai pelemahan KPK dapat dirunut dari awal


proses pembentukan calon pimpinan KPK periode 2019-2023.
Panitia seleksi calon pimpinan KPK, berdasarkan keterangan ICW,
6/17
bermasalah karena meloloskan calon pimpinan yang memiliki
catatan kurang baik, misalnya tidak melaporkan LHKPN dan
pernah bertemu dengan pejabat yang tengah tersandung kasus
korupsi. Polemik ini berlanjut dan menemui puncaknya setelah
pemerintah dan DPR sepakat merevisi UU KPK nomor 30 tahun
2002. Pasal-pasal yang bermasalah seperti menempatkan
institusi KPK di bawah kekuasaan eksekutif dan pegawai KPK
yang bekerja didalamnya berstatus sebagai PNS. Selain itu revisi
undangundang KPK terbaru yang telah disahkan menghendaki
dibentuknya lembaga Dewan Pengawas yang dibentuk oleh DPR
untuk mengontrol kinerja KPK. Celaknya, Dewan Pengawas ini
memiliki tugas dan kewenangan melampaui KPK, misalnya dalam
urusan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, KPK harus
mendapatkan izin dari Dewan Pengawas.

Proses pemilihan calon pimpinan KPK yang bermasalah dan


desain regulasi KPK yang kontroversial dianggap sebagai upaya
elite politik yang berkuasa untuk melemahkan KPK dengan
mengebiri kewenangan KPK dan menempatkan KPK sebagi
lembaga yang tidak lagi independen karena harus berada dalam
kekuasaan eksekutif dan terbatasi oleh hadirnya Dewan
Pengawas. Ironisnya, proses revisi undang-undang ini sangat
politis tanpa membuka ruang partisipasi dan dialog terbuka
melibatkan elemen civil society. Di tengah tuntutan publik yang
begitu besar terhadap penguatan KPK dan masa depan
pemberantasan korupsi di Indonesia, elite politik di parlemen
justru terkesan tertutup dan terburu-buru dalam membuat
regulasi. Masukan publik tidak mendapat perhatian serus dalam
agenda perumusan dan formulasi kebijakan terkait revisi
7/17
Undang-Undang KPK. Ketika kontrol publik ditutup dan ruang
partisipasi publik dibatasi maka makna demokrasi menemui
paradoksnya sendiri. Dan paradoks ini dilakukan secara sadar
dan terstruktur oleh DPR dan pemerintah.

Kedua, perumusan kebijakan yang tidak akomodatif dan


representatif. Salah satu fungsi negara adalah mengatur
warganya untuk menjamin terciptanya keteraturan dan
harmonisasi di tengan kehidupan warga negara. Fungsi mengatur
ini termanifestasikan secara formal dan terlembaga melalui
konstitusi dan undang-undang. Kegagalan negara dalam
menjalankan fungsi regulatif ini tatkala dalam proses perumusan
dan formulasi kebijakan tidak berpihak kepada kepentingan
publik sebagai pemilik kedaulatan. Karena itu perumusan
kebijakan yang akomodatif dan representatif menjadi penting
dan patut menjadi perhatian utama negara. Namun isu tentang
RUU Minerba dan Pertanahan menemukan kejanggalan. RUU
Minerba yang tengah dibahas oleh DPR dianggap berpihak
kepada kepentingan pengusaha dan pemodal. Draf RUU ini
menghapus pasal tentang korupsi pertambangan. Padahal,
sebelumnya, Undang-Undang No 4 tahun 2019 tentang Minerba
mengatur tentang sanksi bagi pejabat atau pihak lain yang
menyelahgunakan kewenangan terkait Izin Usaha Pertambangan
(IUP), Izin Pemanfaatan Ruang (IPR) dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK). Upaya DPR mengahapus pasal
pidana bagi tindakan korupsi terkait izin pertambangan semakin
memperkuat asumsi bahwa negara sudah kehilangan netralitas
dan independensinya dalam mengelola kehidupan warga negara.
Negara di bawah kendali oligarki yag menguasai sejumlah
8/17
perusahaan pertambangan. Oligarki ini bisa berasal dari elite
politik yang memegang jabatan politik bisa pula berasal dari luar
jabatan politik namun keberadaan mereka sangat berpengaruh
terhadap keputusan politik pemerintah.

Sementara RUU tentang Pertanahan juga tidak kalah


kontroversial. Dalam draf undangundang tersebut menyebut
bahwa negara berhak memidanakan warga yang menolak dan
melawan pejabat yang bertugas pada bidang tanah miliknya.
Selain itu negara berhak memidanakan bagi kelompok yang
melakukan “pemufakatan jahat” dalam sengketa lahan. Hal ini
mengindikasikan bahwa proses pembentukan kebijakan tersebut
sangat politis. Lewat regulasi tersebut, warga negara dibatasi
dalam memperjuangkan hak atas klaim tanah mereka dari
kemungkinan penguasaan pihak lain baik perusahaan maupun
pejabat negara. Negara menunjukkan identitasnya sebagai
institusi yang mengedepankan represi dan menekan warga
negara yang enggan memberikan hak tanah mereka. Singkatnya,
pasal tersebut melegitimasi negara melakukan tindakan
kekerasaan sekaligus rentan atas tindakan mengkriminalisasi
warga dan komunitas (organisasi) yang bergerak pada isu agaria.

Dua RUU tentang Minerba dan Pertanahan sebagaimana yang


telah disinggung di atas, menunjukkan bahwa terdapat masalah
dalam proses perumusan dan formulasi kebijakan. Regulasi yang
tengah dikonsolidasikan bias kepentingan. Proses keputusan
politik didefinisikan secara sepihak oleh negara melalui DPR dan
Pejabat dan abai akan perlunya kebijakan yang akomodatif dan
representatif dengan mengutamakan kepentingan publik melalui
9/17
penyaringan masalah publik secara hati-hati dan transparan
sehingga proses keputusan politik yang diambil tidak
mendiskriminasikan dan memarginalisasikan warga negara.
Kuncinya adalah adanya ruang dialog secara setara antara
pemerintah dan warga yang bersangkutan sehingga
memunculkan konsensus bersama yang menguntungkan kedua
belah pihak. Problemnya, proses perumusaan RUU Minerba dan
Pertanahan ini nampaknya jauh dari kata akomodatif dan
representatif.

Ketiga, ketidakberesan elite politik dan disfungsi negara dilihat


dari polemik hak asasi manusia. Selan fungsi regulatif, hadirnya
negara tidak lepas dari fungsinya sebagai lembaga yang
melindungi dan menjamin hak-hak warga negara dari adanya
ancaman. Hak-hak ini mencakup hak untuk hidup, berbicara dan
berserikat, serta hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self-
determination). Pihak luar, bahkan negara sekalipun, tidak
berwenang merampas hak tersebut dengan cara dan alasan
apapun. Hak ini sangat universal dan melekat dalam diri individu
atas nama manusia sehingga eksistensi hak ini perlu dihormati
dan dijunjung tinggi. Perdebatannya adalah sejauh mana negara
mengatur urusan warga negara baik di ranah publik maupun
privat sehingga tidak merampas hak asasi. Negara seringkali
kehilangan kendali (latah) dengan terlampau mengintervensi
kehidupan warga negara melalui seperangkat aturan yang
acapkali bias kemanusiaan dan gender. Pendefinisian secara
sepihak menggunakan sudut pandang negara dalam mengatur
urusan publik seringkali melanggar nilai-nilai HAM dan
demokrasi. Celakanya, kekeliruan ini dilembagakan melalui
10/17
regulasi. RUU ketenagaakerjaan dengan jelas sangat bias gender.
Di dalam draf UU tersebut, pekerja perempuan tidak lagi
mendapatkan hak cuti haid dengan alasan nyeri haid dapat
diatasi dengan obat. Hal ini nampak mendiskreditkan posisi
perempuan. Perusahaan akan dengan mudah melakukan
eksploitasi terhadap pekerja perempuan dengan menuntut
untuk tetap melakukan kegiatan produksi tanpa
mempertimbangkan kondisi fisik dan psikologis pekerja
perempuan yang mengalami haid. Konsekuensinya, pekerja
perempuan terkesan dianggap hanya sebagai mesin penghasil
keuntungan material bagi perusahaan dengan mengabaikan sisi
kemanuasiaan terhadap perempuan. Pasal 81 tentang cuti haid
yang akan dihapus dengan dalih bisa ditangani dengan obat anti
nyeri terkesan terlalu mensimplifikasi persoalan. Pemerintah dan
DPR tidak melihat dampak jangka panjang bagaimana
seandainya pekerja perempuan mengalami sakit yang lebih
serius. Selain itu cerita tentang penangkapan para aktivis HAM di
berbagai sektor masih menjadi polemik dalam penegakan hukum
di Indonesia.

Gelombang Perlawanan Mahasiswa: Sebuah Pilihan Alternatif

Apa yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya


membawa kita pada pemahaman bahwa terdapat
ketidakberesan elite, dalam hal ini DPR dan pemerintah, dalam
proses formulasi kebijakan yang akan berdampak besar terhadap
kehidupan publik. Ketidakberesan ini ditandai oleh kegagalan
elite politik dalam mengartikulasi dan mengagregasikan masalah
11/17
publik yang lebih substansial. Masalah yang berkembang di
tengah publik cenderung dipolitisasi sehingga keputusan politik
yang dihasilkan terkesan hanya melayani kepentingan segelintir
elite, sementara publik semakin terpinggirkan. Ketidakberesan
elite ini membuat ide representasi tidak bekerja optimal pada
instititusi kekuasaan formal. Munculnya pasal karet dan menuai
polemik di tengah publik adalah sebuah sinyal bahwa ide
representasi itu tidak berpihak pada publik sebagai pihak yang
memberikan legitimasi dan kekuasaan lewat pemilu. Ketika
persoalan publik gagal dikelola dengan baik, sementara kapasitas
institusi formal negara tidak mampu bekerja efektif dan ruang-
ruang kontrol publik dan partisipasi terkesan dibatasi, maka
satusatunya harapan yang dapat dilakukan untuk merespon
kegelisahan ini semua adalah dengan membentuk perlawanan
yang bernaung dalam wadah gerakan sipil yang digerakkan oleh
kekuatan civil society. Keberadaan civil society menjadi penting
sebagai basis demokrasi (Putnam, 1992). Hal ini dikarenakan civil
sociey dianggap dapat menjadi penyeimbang kekuasaan negara
sehingga terdapat mekanisme check and balances. Kekuasaan
pemerintah perlu diawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan
kekuasan.

Paling tidak hal ini yang melatarbelakangi sekaligus memicu


munculnya tagar
#Gejayan_Memanggil yang sukses memanggil nurani mahasiswa
Jogyakarta untuk turun ke jalan menuntut elite politik agar lebih
responsif terhadap persoalan yang tengah dihadapi publik yang
sesungguhnya. Jogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar,
telah membuktikan bahwa kehidupan seorang
12/17
pelajar/mahasiswa tidak hanya disibukkan oleh proses
pendidikan tetapi ada beban moral yang melekat untuk menjadi
bagian sebagai aktor perubahan. Masa aksi yang turun ke jalan
didominasi oleh pakaian berwarna serba hitam. Warna ini dipilih
sebagai makna simbolik yang berusaha menjelaskan situasi
bahwa keadaan negara dan bangsa hari ini sedang berduka,
suram dan dirundung kepiluan.

Aksi demonstrasi mahasiswa Jogyakarta yang mengatasnamakan


“Aliansi Rakyat Bergerak” membawa tujuh tuntutan yaitu: 1)
Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan
ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP; 2)
Mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang
baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan
terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia; 3)
Menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang
bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa
wilayah di Indonesia; 4) Menolak pasal-pasal bermasalah dalam
RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja; 5)
Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang
merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma
agraria; 6) Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual; 7) Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan
menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.

Aksi mahasiswa ini dipusatkan di pertigaan Gejayan. Sebelumnya


mahasiswa melakukan long march dari arah utara, barat, dan
selatan. Terdapat tiga titik kumpul yang telah ditentukan yaitu
Bundaran UGM, Pertigaan UIN Sunan Kalijaga, dan Gerbang
13/17
Utama Universitas Sanata Dharma. Masa sudah banyak
berdatangan dan memadati tempat kumpul yang ditentukan
mulai jam 10.00-12.00. Sorak-sorai dan nyanyian penggugah
semangat khas anak pergerakan tak henti digaungkan. Aksi
mahasiswa ini berlangsung selama sekitar 5 jam dan berakhir
pada sore hari. Kerumunan massa aksi yang berjumlah ribuan
membuat polisi harus mengalihkan arus lalu lintas kendaraan.
Selain longmarch, aksi ini diikuti dengan kegiatan tanda tangan
di banner yang terbentang luas. Peserta aksi secara bergantian
menggoreskan tinta di atas banner yang tersedia. Beberapa
peserta aksi ada pula yang memperagakan kegiatan tidur di aspal
jalan beberapa menit sebagai simbol matinya demokrasi di
Indonesia. Mimbar orasi pun disipakan bagi siapa pun yang ingin
mengekespresikan opini dan meluapkan protes mereka.

Tidak diketahui secara pasti siapa yang menjadi pelopor utama


yang menggerakan ribuan mahasiswa ini. Beberapa Universitas
bahkan mengeluarkan surat edaran menyatakan diri secara
kelembagaan tidak terlibat dalam gerakan “Aliansi Rakyat
Bergerak” dan tidak bertanggungjawab atas kemungkinan
terjadinya gejolak sosial akibat aksi tersebut. Bahkan beberapa
surat edaran tersebut terkesan tidak mendukung mahasiswa
untuk turun ke jalan dengan tetap menjalankan kegiatan
perkualiahan. Universitas Sanata Dharma, UIN Sunan Kalijaga
dan UGM termasuk yang mengeluarkan surat edaran tersebut
dan ditandatangi oleh pimpinan universitas. Meskipun demikian,
beberapa dosen nampak hadir turun ke jalan membaur bersama
kerumunan aksi mahasiswa. Di antara dosen pengampu kuliah
bahkan secara sadar mengosongkan kelas supaya mahasiswa
14/17
kuliah di lapangan, mengikuti aksi. Sebagian dosen ada pula yang
tetap mengajar di kelas, namun secara pribadi mengizinkan
mahasiswanya yang izin tidak masuk kelas untuk turun ke jalan.

Yang menarik dari #Gejayan_Memanggil adalah gerakan ini


melibatkan berbagai unsur bendera organisasi mahasiswa.
Mereka membawa misi yang sama melakukan protes terhadap
pemerintahan saat ini. Berbagai tuntutan, narasi dan isu yang
diperjuangkan oleh organisasi kemahasiswaan ini diakomodir
dalam naungan “Aliansi Rakyat Bergerak”. Mahasiswa yang tidak
memiliki platform organisasi tertentu pun tak kalah banyak
jumlahnya. Apa yang bisa ditangkap dari sini adalah tidak begitu
penting siapa aktor yang menggerakkan dan memobilisasi massa
ke jalan, sebab gelombang protes ini lebih menekankan pada isu
dan narasi yang dibawa. Isu dan narasi ini yang sukses menarik
ribuan mahasiswa membentuk lautan manusia di sepanjang jalan
Gejayan. Meskipun tentu tidak menutup kemungkinan atas
rentannya ditunggangi oleh pihak yang mencoba mengambil
peruntungan pragmatis dari gerakan ini. Tetapi gerakan ini
sebenarnya murni berangkat dari panggilan nurani atas
kegelisahan mahasiswa dan rakyat pada umumnya terkait
kondisi perpolitikan Indonesia yang kian rumit dengan segudang
problem.

Target dari gerakan protes mahasiswa ini adalah untuk


mengklaim ruang publik yang selama ini dianggap bekerjanya
ruang publik menjadi kabur dan bias karena terdistorsi oleh
kepentingan elite politik secara sepihak. Ruang publik tidak
menyediakan perdebatan dan dialog yang sehat melibatkan
15/17
berbagai elemen kelompok masyarakat. Elite politik yang
oligarkis telah mendominasi ruang publik sehingga yang muncul
hanya keberpihakan jangka pendek, sementara aspirasi publik
yang lebih substansial terpinggirkan, tidak menjadi bahan diskusi
yang penting. Paradoks, parlemen yang menjadi perpanjangan
suara rakyat seyogyanya mampu menjalankan fungsi
representasi atas nama kehendak publik yang mereka wakili.
Tetapi representasi itu tidak lebih hanya menjelma pada model
representasi simbolik (stand for). Representasi model ini
menempatkan reprersentator (anggota DPR) merasa tidak
terbebani tanggungjawab tehadap kelompok yang mereka wakili
(Pitkin, 1967). Padahal demokrasi substansial mensyaratkan
lahirnya representator yang menjalankan fungsi representasi
politik yang lebih substantif sesuai dengan kehendak publik yang
mereka wakili (act for). Hal ini yang membuat demokrasi
Indonesia terjebak pada aspek prosedural. Karena itu, aliansi
gelombang protes mahasiswa Jogyakarta tidak hanya mengklaim
ruang publik yang bias kepentingan tetapi sekaligus menggugat
praktik representasi politik yang gagal dikerjakan dengan baik
oleh DPR. Ketika ide representasi lemah, maka aksi protes turun
ke jalan menjadi pilhan alternatif. Gerakan perlawanan
mahasiswa ini bentuk dari cerminan politik extra-parlementer
untuk meng-counter parlemen formal yang dianggap berpihak
pada kepentingan oligarki.***

Mahpudih adalah alumni Ilmu Pemerintahan UNTIRTA, Serang,


Banten

16/17
Kepustakaan:

Ambardi, K. (2009). Mengungkap Politik Kartel: Studi Tentang


Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Gramedia
& LSI.

Aspinall & Berenschot. (2019). Democracy for Sale: Election,


Clientalism, and The State in Indonesia. Leiden: Cornell University
Press.

Pitkin, Hanna F. (1967). The Concept of Representation. United


State: University of California Press

Robinson, R., & Hadiz, V. (2004). Reorganizing Power in


Indonesia: The Politics of Oligarchy in Age of Markets. London:
Routletge.

Slater, D. (2004). “Indonesian Accuntability Traps: Party Cartels


and Presidential Power After Democracy Transition.” Indonesia,
No. 78 (Oktober).

Tornquist, O. (2014). “Stagnation or Transformation in


Indonesia?” Economic and Political Weekly, Vol.49, No. 50, 23-
27.

Winters, J. (2014). ‘Oligarchy and Democracy in Indonesia.’ In M.


Ford, & T. Pepinsky, Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and
Contemporary Indonesian Politics. New York: Cornell University
Press.

17/17

Anda mungkin juga menyukai