Anda di halaman 1dari 48

B.

UNSUR CERITA FIKSI ANAK

Sebuah teks sastra yang tersaji di hadapan pembaca sebenarnya adalah sebuah kesatuan dari
berbagai elemen yang membentuknya. Elemen-elemen itu dapat dibedakan ke dalam unsur intrinsik
dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur cerita fiksi yang secara langsung berada di
dalam, menjadi bagian, dan ikut membentuk eksistensi cerita yang bersangkutan. Unsur fiksi yang
termasuk dalam kategori ini misalnya adalah tokoh dan penokohan, alur, pengaluran, dan berbagai
peristiwa yang membentuknya, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Dalam rangka telaah teks-teks
fiksi cerita anak, juga fiksi dewasa, unsur-unsur intrinsik inilah yang lebih menjadi fokus perhatian.

Unsur ekstrinsik, di pihak lain, adalah unsur yang berada di luar teks fiksi yang
bersangkutan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap bangun cerita yang dikisahkan, langsung atau
tidak langsung. Hal-hal yang dapat dikategorikan ke dalam bagian ini misalnya adalah jati diri
pengarang yang mempunyai ideologi, pandangan hidup dan way of life bangsanya, kondisi
kehidupan sosial-budaya masyarakat dijadikan latar cerita, dan lain-lain. Sebuah teks cerita fiksi
yang hadir di hadapan kita, anak-anak, pada hakikatnya merupakan "anak kandung" pengarangnya,
maka ideologi dan atau way of life pengarang mesti mewarnai cerita yang ditulisnya. Dalam rangka
telaah teks-teks fiksi cerita anak, juga fiksi dewasa, unsur-unsur ekstrinsik, walau bukannya tidak
menarik, sebaiknya tidak dinomorsatukan dan atau mengabaikan intrinsik yang yang membangun
cerita.
Pembicaraan unsur cerita fiksi anak berikut lebih difokuskan membangun cerita. terhadap
unsur-unsur intrinsik tanpa menisbikan peran unsur ekstrinsik

1. Tokoh

Ketika anak berhadapan dengan buku bacaan cerita fiksi, apa yang mula-mula menarik
perhatian dan mengesankannya? Jawaban yang umumnya anak adalah tokoh cerita. Tokoh(-tokoh)
cerita itulah yang pertama-tama dan terutama menjadi fokus perhatian baik karena pelukisan fisik
maupun karakter yang disandangnya. Selain itu, baik karena mencerminkan tokoh realistik maupun
tidak, tokoh-tokoh cerita itu pula yang mudah diidentifikasikan sehingga anak akan dengan mudah
menemukan hero pada diri tokoh yang bersangkutan. Tokoh-tokoh cerita yang menjadi hero, dan
karenanya pasti terkenal, akan digandrungi oleh anak: diidentifikasikan, diidolakan, atau dikagumi
segala sikap dan tingkah lakunya. Hal itu misalnya dapat dilihat pada tokoh Harry Potter yang
dikagumi oleh anak-anak hampir sedunia, juga tokoh-tokoh komik seperti Kapten Tsubasa, Crayon
Sincan, dan lain-lain.
a. Hakikat Tokoh

dikisahkan Tokoh cerita dimaksudkan sebagai pelaku perjalanan hidupnya dalam cerita fiksi
lewat alur baik sebagai pelaku maupun penderita berbagai peristiwa yang diceritakan. Dalam cerita
yang fiksi anak tokoh cerita tidak harus berwujud manusia, seperti anak- anak atau orang dewasa
lengkap dengan nama dan karakternya, melainkan juga dapat berupa binatang atau suatu objek yang
lain yang biasanya merupakan bentuk personifikasi manusia. Bahkan, bukan dalam fabel sekalipun,
atau fabel modern, tokoh binatang juga dapat dimunculkan bersama tokoh manusia yang lain, dan
anak juga akan dapat menerima secara wajar percakapan yang terjadi antara manusia dan binatang.
Dalam cerita fiksi fantasi binatang atau tokoh halus dapat dihadirkan bersama dengan tokoh
manusia biasa.

Tokoh-tokoh cerita fiksi hadır sebagai seseorang yang berjatidiri, bukan sebagai sesuatu
yang tanpa karakter. Justru karena tiap tokoh hadir dengan kualifikasi tersebut kemudian dapat
dibedakan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Jadi, aspek kualitas kedirian, jatidiri,
seorang tokoh penting untuk diketengahkan karena dari situlah pertama-tama dan yang utama
identitas tokoh akan Jikenah. Kualitas jatidiri tidak semata-mata berkaitan dengan ciri fisik,
melainkan terlebih berwujud kualitas nonfisik. Oleh karena itu, tokoh cerita dapat dipahami sebagai
kumpulan kualitas mental, emosional, dan sosial yang membedakan seseorang dengan orang lain
(Lukens, 2003:76).

Jadi, aspek nonfisik, mental, emosional, moral, dan sosial, dalam hubungannya dengan
tokoh cerita fiksi dipandang lebih penting daripada sekadar aspek fisik. Dalam realitas kehidupan
sehari-hari, berbagai unsur aspek nonfisik lebih menunjukkan jatidiri seseorang, lebih menunjukkan
ciri karakter seseorang. Dalam kaitannya untuk mengenali dan mengidentifikasi jatidiri seseorang
pun -yang dalam hal ini adalah tokoh cerita- pemahaman aspek-aspek nonfisik itu juga lebih
penting untuk diperhatikan. Oleh karena itu, Abrams (via Nurgi- yantoro, 2005:165)
mengemukakan bahwa tokoh cerita (character) dapat dipahami sebagai seseorang yang ditampilkan
dalam teks cerita naratif (juga: drama) yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu sebagaimana yang diekspresikan lewat kata-kata dan dan ditunjukkan dalam
tindakan. Usaha meng- identifikasi dan mengenali jatidiri seseorang lebih tepat jika dilakukan
dengan melihat apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan. Walau demikian, hal itu tidak perlu
diartikan bahwa ciri dan kualitas fisik menjadi tidak penting. Kualitas fisik atau ciri-ciri fisik
tertentu, termasuk di dalamnya jenis kelamin, usia, dan postur tubuh, juga penting. Apalagi jika
kualitas fisik tersebut ada kaitannya dengan karakter tokoh Atau, kualitas jatidiri dan karakter
seorang tokoh harus sesuai dan atau mencerminkan gambaran kondisi fisik. Penokohan yang kuat
dalam sebuah cerita antara lain adalah ada keterkaitan harmonis antara keadaan dan kualitas fisik
dan nonfisik. Bentuk fisik seseorang adakalanya sudah mencerminkan keadaan mentalnya. Dalam
sebuah cerita fiksi yang baik bentuk fisik seorang tokoh sekaligus mencerminkan kualitas sikap dan
perilaku. yang

Di samping untuk memberikan bacaan yang sehat dan menarik, buku cerita fiksi anak juga
dimaksudkan untuk memberikan "pendidikan" moral tertentu lewat cerita. Tokoh cerita adalah
sarana strategis untuk memberikan tujuan pendidikan yang dimaksud. Keadaan ini sering
menjadikan tokoh yang dihadirkan menjadi kurang wajar karena harus tunduk pada kemauan
pengarang untuk tujuan tersebut. Bagaimanapun, tuntutan hadirnya tokoh memenuhi prinsip
kewajaran tetap diperlukan dalam teks cerita fiksi anak: tokoh anak itu biarkan bertingkah laku
sebagaimana lazimnya anak-anak. Dibandingkan dengan fiksi dewasa cerita fiksi anak memang
lebih jelas unsur dan tujuan mendidiknya, namun hal itu tidak harus diartikan bahwa unsur dan
tujuan itu mematikan kewajaran unsur fiksi yang lain terutama unsur tokoh. Artinya, unsur dan
tujuan mendidik itu haruslah secara implisit menjadi bagian cerita dan unsur fiksi yang memuatnya.

b. Jenis Tokoh

Jenis tokoh cerita fiksi anak dapat dibedakan ke alam bermacam kategori tergantung dari
sudut pandang mana kita melihatnya. Misalnya, jika dilihat berdasarkan realitas sejarah, tokoh
dapat dibedakan ke dalam tokoh rekaan dan tokoh sejarah, berdasarkan wujudnya dapat dibedakan
ke dalam tokoh manusia, binatang, atau objek lain, berdasarkan kompleksitas karakter dapat
dibedakan kedalam tokoh sederhana dan tokoh bulat, dan lain-lain. Namun, pembagian itu tidak
menunjukkan sesuatu yang pilah benar, dan sebuah teks cerita fiksi dapat saja dikategorikan ke
dalam beberapa macam tergantung dari mana ia dilihat.

Tokoh rekaan dan tokoh sejarah. Sesuai dengan namanya yang liksi, tokoh-tokoh cerita
fiksi juga merupakan tokoh rekaan. Artinya, mereka bukan merupakan tokoh yang secara faktual
dapat ditemukan di dunia nyata atau di dalam sejarah. Tokoh-tokoh itu adalah tokoh imajinatif,
dalam arti tokoh yang diciptakan lewat kekuatan imajinasi pengarang, maka tidak terlalu berlebihan
jika tokoh-tokoh itu disebut sebagai "anak kandung" pengarang. Sebagai si empunya cerita dan
tokoh cerita, pengarang berhak mengkreasikan tokoh-tokoh ciptaannya sesuai dengan pandangan
hidup, wawasan keindahan, dan ideologinya. Penciptaan tokoh-tokoh itu diprasyarati oleh
pengalaman hidup yang kaya dan melewati proses perenungan, penghayatan, dan penciptaan.

Karena pengarang juga bagian dari anggota masyarakat yang hidup dalam latar belakang
sosial-budaya tertentu, penciptaan tokoh- tokoh ceritanya juga sering mengambil model dari dunia
di kehidupan nyata yang dialami. Pengambilan model tersebut bentuknya bergradasi, yaitu dengan
mengambil bentuk-bentuk personifikası atau benar-benar mengangkat tokoh realistik-historis, tokoh
yang memang ada di dunia nyata. Pengambilan bentuk personifikasi dimaksudkan sebagai
pengangkatan tokoh yang sebagian jatidirinya berasal dari tokoh nyata, misalnya yang berwujud
sikap dan perilaku, namun secara keseluruhan ia merupakan tokoh rekaan. Pengangkatan tokoh
yang mempersonifikasikan tokoh nyata pada umumnya akan mudah dikenal dan dipahami oleh
anak karena keduanya berangkat dari realitas yang sama sehingga mudah dipersepsikan. Namun
demikian, tokoh yang benar-benar rekaan seperti tokoh cerita pada cerita fiksi fantasi juga dapat
mudah dipahami anak karena fantasi anak masih dengan mudah menerima berbagai macam fantasi
yang tidak masuk akal sekalipun.

Tokoh sejarah yang diangkat ke dalam cerita fiksi juga tidak dapat seratus persen
mempertahankan jatidirinya yang sesungguhnya. Hal itu terutama disebabkan hakikat fiksi adalah
karya imajinatif yang di dalamnya terkandung unsur penciptaan. Hal itu sepintas seperti
bertentangan dengan hakikat sejarah yang bersifat empirik dan tidak dapat dimanipulasikan.
Namun, kedua hal tersebut, yaitu kutup rekaan dan kutup historis, dapat dipadukan lewat kerja
imajinatif dalam bentuk cerita. Penghadiran tokoh cerita, khususnya yang bukan merupakan tokoh
utama, akan berdampak memberikan kesan "sungguh-sungguh terjadi". Sebaliknya, jika tokoh itu
menjadi tokoh utama, cerita fiksi yang bersangkutan akan menjadi fiksi historis.

Tokoh protagonis dan antagonis. Sebuah cerita fiksi menjadi menarik dan bahkan
mencekam karena terjadi pertentangan di antara kedua kelompok tokoh yang berseberangan.
Pertentangan yang lazim terjadi, apalagi dalam cerita anak, adalah antara tokoh-tokoh) yang
berkarakter baik dan yang berkarakter jahat. Tokoh yang golongan pertama lazım disebut sebagai
tokoh protagonis (protagonistic character), sedang yang kedua tokoh antagonis (antagonistic
character). Kedua jenis peran tokoh ini mesti ada dalam cerita fiksi karena pada tarik-menarik
ketegangan antara kebaikan dan kejahatan itu pula, antara lain, sebuah cerita menjadi menarik,
menegangkan, dan akhirnya memberikan kepuasan lewat katarsis dengan dikalahkannya tokoh yang
berkarakter jahat.
Tokoh berkarakter baik lazimnya menjadi tokoh protagonis karena pembaca akan cenderung
berpihak pada tokoh-tokoh jenis ini. Tidak ada pembaca anak, juga lazimnya dewasa, yang tidak
memihak tokoh protagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh pembawa misi kebenaran dan nilai-nilai
moral yang berseberangan dengan tokoh antagonis yang justru pembawa kejahatan atau malapetaka.
Tokoh protagonis ini pulalah yang sering dijadikan hero, pahlawan, karena "bertugas"
membawakan nilai-nilai yang menjadi idealisme pembaca. Sebaliknya, tokoh antagonis sering
menjadi tokoh yang disikapi secara antipati oleh penibaca karena sifatnya yang jahat.

Dalam cerita fiksi anak pembedaan antara tokoh protagonis dan antagonis sering lebih
eksplisit karena buku bacaan itu sekaligus berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai moral
sebagaimana yang diperankan oleh tokoh protagonis. Hal itu terutama terlihat pada novel-novel
yang berkategori fantasi dan formula seperti dalam novel Harry Potter, Eragon (Christopher Paolin),
Kembalinya Sang Raja, Lord of the Rings (J.R.R. Tolkien), dan Ranggamorfosa Sang Penakluk
Isana (Nuranto Hadyansah). Namun, dalam novelovel kategori yang lam seperti novel realistic,
pertentangan antara tokoh protagonis dan antagonis tersebut tidak selalu dalam pengertian
pertentangan fisik, misalnya dalam Kapten Bola, Ito, dan Moko (ketiganya karya Arswendo
Atmowiloto). Bahkan, adakalanya tidak mudah bagi kita untuk menentukan mana tokoh yang
tergolong protagonis dan antagonis.

Tokoh putih dan hitam. Istilah tokoh putih dan tokoh hitam lazimnya dimaksudkan untuk
menyebut tokoh yang berkarakter baik dan buruk. Tokoh protagonis yang adalah tokoh hero di atas
dikategorikan sebagai tokoh putih, yaitu tokoh yang berkarakter baik dan sekaligus membawakan
dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Sebaliknya, tokoh antagonis yang notabene sebagai
tokoh berkarakter jahat dan sebagai pemicu konflik dan pertentangan- pertentangan dikategorikan
sebagai tokoh hitam.

Tokoh-tokoh cerita dalam cerita fiksi anak pada umumnya dapat dibedakan ke dalam tokoh
putih dan tokoh hitam. Artinya, tokoh-tokoh yang dihadirkan memiliki karakter yang jelas terpilah:
putih atau hitam, baik atau jahat, dan tidak ada yang "abu-abu" alias mempunyai kemungkinan
keduanya. Tokoh-tokoh Harry Potter, Ron, dan Hermione dalam novel Harry Potter dikategorikan
sebagai tokoh putih, dan sebaliknya tokoh Lord Voldemort dan Malfoy sebagai tokoh hitam. Atau,
tokoh Eragon, Worm, dan Ajihat dalam novel Eragon sebagai tokoh putih, sedang tokoh Galbatorix,
Urgal, Ra'zac, dan Shade tokoh hitam. Demikian juga tokoh Rangga, Danu, Ki Sanggalangit, dan
Sekar dalam novel Ranggamorfosa Sang Penakluk Istana sebagai tokoh putih, sedang Naga
Taksaka dan tujuh setan murid-muridnya sebagai tokoh hitam.
Namun, dalam sebuah novel tidak harus ada tokoh hitamnya. Dalam novel Kapten Bola,
Moko, Ito, dan Mencari Ayah sulit untuk ditentukan siapa yang merupakan tokoh hitam. Atau
paling tidak kalaupun ada, seperti pada Ito, tokoh itu hanya secara sambil lalu disebut. Demikian
juga dalam cerita fantası tokoh jahat yang hitam tidak harus ada. Banyak cerita fantası, termasuk
cerpen-cerpen fantasi yang dapat dibaca di Kompas edist Minggu, yang menampilkan cerita tanpa
harus menghadirkan tokoh antagonis-hitam dan tetap saja menarik. Misalnya, cerpen fantasi "Putri
dan Bintang" (QYanuari N.) dan "Polah Bidadari Kecil" (R. Nuralam).

Tokoh datar dan tokoh bulat. Pembagian karakter tokoh cerita ke dalam karakter datar
(flat character) dan bulat (round character) berasal dari Forster, yaitu berkaitan dengan kadar
kompleksitas karakter seorang tokoh cerita. Untuk dapat mengetahui apa saja karakter seorang
tokoh, perlu dilakukan kerja analisis, baik lewat kata- kata, tingkah laku, maupun apa yang
dinarasikan. Berdasarkan hasil analisis atau identifikasi itulah kemudian seorang tokoh
dikategorikan sebagai berkarakter datar atau bulat. Walau demikian, pengkategorian ke dalam dua
jenis karakter tersebut tidak eksak, melainkan bersifat gradasi. Semakin banyak dan bervariasi
karakter seorang tokoh yang berhasil diidentifikasi, dan bahkan tidak jarang mengejutkan, berarti
tokoh tersebut dapat dikategorikan sebagai tokoh bulat. Demikian juga sebaliknya, jika hanya dapat
diidentifikası beberapa macam karakter saja, atau karakter yang bersifat stereotip, tokoh yang
bersangkutan termasuk tokoh berkarakter datar atau sederhana.

Tokoh berkarakter datar adalah tokoh yang hanya memiliki karakter yang "itu-itu" saja,
karakter yang tertentu dan sudah pasti mirip dengan formula. Menurut Lukens (2003:82), ada unsur
esensial karakter ke aksı, tetapi tidak secara penuh dikembangkan. Hal-hal esensial karakter tokoh
itu sering membentuk pola tertentu sehingga mudah dikenali dan bersifat familiar, dan bahkan
adakalanya bersifat stereotip mencerminkan pola karakter tertentu. Menurut Lukens tokoh dengan
karakter datar ini merupakan tokoh yang kurang penting. Dalam cerita fiksi yang menghadirkan
tokoh utama yang berkarater bulat, kehadiran tokoh berkarakter datar pada umumnya berfungsi
sebagai tokoh periferal. Dilihat dari segi perannya tokoh bulat merupakan tokoh protagonis dan
dapat pula antagonis. Namun demikian, berbagai cerita fiksi anak yang tergolong pendek pada
umumnya lebih banyak menghadirkan tokoh datar. Hal itu disebabkan kurang adanya keleluasaan
pengarang yang merasa dibatası oleh jumlah halaman. Selain itu, tokoh bocah dalam cerita fiksi
anak, sebagaimana halnya anak pada umumnya, masih bersifat lugu dan belum banyak bertingkah
yang mencerminkan karakter yang kontradiktif. Tokoh Jamin dan Johan pada novel klasik saduran
Merari Siregar dalam novel St Jamin dan St Johan dapat dikategorikan ke dalam tokoh datar ini.
Tokoh-tokoh lain seperti Moko (novel Moko), Ito (novel Ito), Adinda (Masih Ada Hari Esok),
Rangga, Gigih, dan Anggi (Ranggamorfosa Sang Penakluk Istana) secara umum dapat
dikategorikan sebagai tokoh sederhana.

Tokoh berkarakter bulat, di pihak lain, adalah tokoh yang memiliki banyak karakter dan
adakalanya bersifat tidak terduga, maka karakternya pun tidak dapat dirumuskan sebagaimana
tokoh datar. Lukens (2003:83) mengatakan bahwa karakter tokoh jenis ini dikembangkan secara
penuh dan didemonstrasikan ke dalam aksi cerita. Dalam kaitannya dengan keseluruhan cerita,
menurutnya, tokoh jenis ini lebih baik penampilannya, lebih mengasyikkan, lebih realistis dalam
arti mencerminkan kehidupan yang senyatanya, dan karenanya lebih dapat dinikmati. Sama halnya
dengan tokoh datar, dilihat dari segi perannya, tokoh bulat dapat merupakan tokoh protagonis dan
dapat pula antagonis. Tokoh Harry Potter -juga Ron dan Hermione dalam novel Harry Potter adalah
tokoh-tokoh) protagonis yang berkarakter bulat, sedang Lord Voldemort adalah tokoh antagonis
yang juga berkarakter bulat.

Tokoh statis dan berkembang. Tokoh jenis ini ada kaitannya dengan tokoh sederhana dan
bulat di atas. Tokoh statis (static character) dimaksudkan sebagai tokoh yang secara esensial
karakternya tidak mengalam perkembangan. Sejak awal kemun- culannya hingga akhir cerita tokoh
tidak mengalami perubahan dan perkembangan karakter. Artinya, karakter bersifat konstan, jika
baik ia akan terus-menerus terlihat baik, dan demikian pula jika sebaliknya. Tokoh yang bersifat
statis pada umumnya adalah tokoh yang berkarakter datar, tidak banyak jatidirinya yang diungkap.
Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa tokoh berkarakter datar dan statis menjadi tokoh yang
tidak bernilai literer. Karakter yang statis dan tidak berkembang atau yang bersifat datar adakalanya
memang menjadi tuntutan cerita.

Tokoh berkembang (developing character) sering juga disebut sebagai tokoh yang dinamis
(dynamic character), di pihak lain, dapat dipahami sebagai tokoh yang mengalami perubahan dan
perkem bangan karakter sejalan dengan alur cerita. Sejalan dengan perkembangan alur yang
menampilkan berbagai peristiwa dan konflik yang juga semakin meningkat, karakter tokoh juga
mengalami perubahan dan perkembangan untuk menyikapi dan menyesuaik dengan tuntutan alur.
Dengan demikian, perubahan dan perkembangan alur itu tetap berada dalam kaitannya dengan alur
dan dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, adanya perubahan dan perken bangan karakter itu tidak
terjadi begitu saja tanpa ada konflik yang memicunya. Karakter tokoh jenis ini pada umumnya
termasuk dalam kategori tokoh berkarater bulat yang diungkap dan didemonstrasikan berbagai
kemungkinan karakternya sesuai dengan aksi cerita.
Berhadapan dengan tokoh datar yang notabene adalah tokoh statis yang sejak awal sampai
akhir cerita relatif tidak mengalami perubahan karakter, dan rasanya kita hanya berhadapan dengan
tokoh yang itu-itu saja. Tokoh yang berjenis karakter sederhana pada umumnya adalah juga berarti
tokoh statis. Hal yang demikian tidak terjadi pada tokoh dinamis yang bulat. Berhadapan dengan
yang dinamis dan bulat di awal cerita, rasanya kita berhadapan dengan tokoh lain di akhir cerita.
Pada akhir cerita seolah-olah pembaca berhadapan dengan tokoh lain yang berbeda dengan tokoh
yang dijumpai pada awal cerita. Ada kesan yang lebih mendalam dan menyeluruh tentang jatidiri
tokoh yang bersangkutan.

c. Teknik Penghadiran Tokoh

Jika bertemu dengan orang baru, kita tidak secara serta-merta langsung memahami sikap
dan tingkah lakunya, cara bertutur kata dan bertingkah laku, cara bergaul dan berhubungan dengan
orang lain, dan lain-lain yang secara umum dapat dikategorikan sebagai karakter orang tersebut.
Pemahaman kita tentang orang lain tersebut akan datang sedikit demi sedikit lewat pergaulan
dengannya, pengama sikap dan kebiasaannya, atau lewat informasi yang diberikan oleh orang lain.
Bahkan, tidak jarang telah sekian lama bergaul pun belum tentu kita dapat memahami secara
keseluruhan jatidiri orang tersebut. Pengetahuan kita tentang orang tersebut tetaplah bersifat
sepotong- sepotong, tidak lengkap, dan karenanya kita perlu merekonstruksi- kannya sendiri.

Hal yang kurang lebih sama berlaku juga untuk berkenalan dengan tokoh-tokoh cerita dalam
fiksi. Tokoh cerita fiksi hadir ke hadapan pembaca, anak sekalipun, tidak serta-merta begitu saja,
tetapi sedikit demi sedikit dengan teknik tertentu sejalan dengan perkembangan alur. Ada sejumlah
cara penghadiran tokoh, namun secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua macam, yaitu
teknik uraian atau narasi pengarang (telling) dan teknik ragaan (showing). Teknik yang pertama
menunjuk pada pengertian bahwa pemunculan karakter tokoh itu secara langsung diceritakan oleh
pengarang, sedang teknik yang kedua menunjuk pada pengertian tokoh dibiarkan tampil sendiri
untuk memperlihatkan karakter jatidirinya seiring dengan perkembangan alur cerita.

Lukens (2003:76-78) mengemukakan bahwa teknik peng- hadiran karakter tokoh dapat
dilakukan lewat aksi, kata-kata, penampilan, komentar orang lain, dan komentar pengarang.
Keempat yang pertama dapat dikategorikan sebagai teknik ragaan, sedang yang kelima, yaitu
komentar pengarang sebagai teknik uraian. Tentu saja teknik penghadiran tokoh atau pelukisan
tokoh tidak sebatas kelima macam itu, melainkan masih banyak yang lain lagi. Namun, teknik mana
yang ditemukan dalam sebuah teks cerita anak tergantung kemauan penulisnya.

Penggunaan berbagai teknik tersebut dalam sebuah teks bacaan cerita anak mestilah
bervariasi. Artinya, teknik-teknik itu dipergunakan untuk menghadirkan jatidiri tokoh secara
bergantian, saling mengisi dan melengkapi, sehingga yang terwujud adalah sebuah teks yang
menarik dan tidak bersifat monoton. Selain itu, walau lebih menantang dan mengasyikkan, teknik
ragaan tidak harus dikatakan selalu lebih baik daripada teknik uraian yang terkesan menggurui.
Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret kepada pembaca anak-anak, kejelasan pelukisan
seorang tokoh baik yang menyangkut aspek fisik maupun nonfisik tetaplah diperlukan, dan itu dapat
dilakukan secara bervariasi antara teknik ragaan dan uraian.

Teknik aksi. Teknik aksi dimaksudkan sebagai teknik penghadiran tokoh lewat aksi,
tindakan, dan tingkah laku yang ditunjukkan oleh tokoh yang bersangkutan. Aksi, tindakan, dan
tingkah laku seseorang, anak sekalipun, pada umumnya menunjukkan sikap dan karakterya. Dengan
demikian, pemahaman terhadap berbagai aksi dan tingkah laku seseorang dapat dipandang sebagai
salah satu cara untuk memahami sikap dan karakter tokoh cerita. Pemahaman ini juga berlaku bagi
penulis buku bacaan cerita anak, yaitu bahwa aksi dan tingkah laku yang dikisahkan dalam alur
cerita sekaligus menunjukkan karakter yang dimiliki tokoh anak itu. Dalam sebuah cerita harus ada
keterkaitan yang jelas antara apa yang dilakukan tokoh dengan sikap dan kepribadian yang
disandangkan kepadanya.

Misalnya, seorang anak yang pemberani tidak akan takut berjalan dalam gelap sendirian,
tidak takut berhadapan dengan sebayanya yang nakal, dan tentu lebih menyukai sesuatu yang
bersifat menantang. Anak yang rajin akan dengan senang hati membantu orang tuanya. Anak yang
berjiwa kesetiakawanan tinggi akan suka membantu kawannya yang mengalami kesusahan, dan
lain-lain, yang kesemuanya itu ditunjukkan lewat aksi dan tingkah laku tokoh secara konkret.
Berikut dikutipkan tingkah laku tokoh Sumba yang dikalahkan oleh Kunti, anak perempuan, dalam
pemilihan ketua perkumpulan bola dalam novel Kapten Bola.

"Ya, akulah yang jadi pemimpinnya. Kau dianggap menyetujuinya," jawab Kunti sambil
tersenyum.
Sumba menghentakkan kakinya ke tanah. Hatinya mendongkol tidak terkira, tapi tak bisa
apa-apa. Ia kembali duduk sambil menggerutu. Beberapa temannya tertawa riuh. Muka Sumbaga
menjadi merah. Ia hanya melambaikan tangan berkali-kali untuk meredakan tawa teman-temannya.
"Sudah, sudah, apa yang kautertawakan. Kunti memang licik.
la... la..."
"Ada yang ingin kaukatakan, Sumba?"
Sumbaga menggeleng. Gelak tertawa teman-temannya makin riuh.
"Baik, marilah kita atur hari latihannya. Seminggu dua atau tiga kali. Kita tidak akan
berlatih tiap hari. Tak baik akibatnya, kita tidak akan tahan lama. Dua kali atau tiga kali?"
(Arswendo Atmowiloto, Kapten Bola, 2001:350)
Tenik kata-kata. Jika teknik tingkah laku menunjukkan karakter tokoh cerita lewat aksi dan
tingkah laku nonverbal, teknik kata-kata dapat dipahami sebagai cara menunjukkan karakter tokoh
lewat tingkah laku verbal, lewat kata-kata yang diucapkan. Sama halnya dengan tingkah laku
nonverbal, tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata juga mencerminkan karakter tokoh yang
bersangkutan. Kata-kata yang diucapkan tokoh adalah cermin segala sesuatu yang hidup dalam
pikiran dan perasaan, dan itu artinya adalah sebagian dari jatidirinya. Dengan demikian,
pemahaman terhadap apa yang diucapkan oleh seorang tokoh dapat dipandang sebagai salah satu
cara untuk lebih memahami karakter tokoh tersebut. Hal ini juga berlaku bagi penulis buku bacaan
cerita anak, yaitu bahwa kata-kata yang diucapkan para tokoh dalam kaitannya dengan alur cerita
sekaligus menunjukkan karakter yang dimiliki tokoh anak itu.
Contoh kutipan di atas sekaligus untuk menunjukkan aspek jatidiri, kepribadian, seorang
tokoh lewat kata-katanya. Tokoh Kunti, yang seorang bocah perempuan itu, lewat sikap dan kata-
katanya yang tegas ternyata mampu mengalahkan seorang bocah laki-laki sebayanya untuk menjadi
pemimpin permainan bola. Lewat kata-katanya itu, Kunti mampu mengatur, memimpin, dan
meyakinkan kawan- kawannya, dan lewat kata-katanya itu pula pembaca dapat memahami tentang
kuatnya kepribadian Kunti di antara kawan-kawannya yang hampir semuanya laki-laki.
Teknik penampilan. Teknik penampilan dapat dipahami sebagai teknik penghadiran tokoh
dengan seluruh kediriannya bak yang terlihat secara fisik maupun sikap dan perilakunya. Teknik ini
menghubungkan antara bentuk tampilan fisik yang antara lain meliputi bentuk perawakan lengkap
dengan ciri khasnya (tinggi-rendah, besar- kecil, tampan-cantik, gemuk-kurus, dan lain-lain),
tingkah laku noverbal (aksi, tindakan, tingkah laku, kebiasaan yang dilakukan, dan lain-lain), dan
kata-kata (wujud kata-kata, nada suara, tempo berbicara, dan lain-lain).
Jadi, teknik penampilan ini pada hakikatnya merupakan sesuatu yang dapat diamati pada
seorang tokoh baik menyangkut aspek fisik maupun nonfisik dalam sekali kesempatan yang secara
keseluruhan mencerminkan gambaran tentang sikap dan karakter seseorang. Misalnya, kita lihat
tampilan tokoh Kunti, seorang bocah yang perempuan itu, ternyata memiliki kata-kata-kata yang
tegas, berwibawa, tidak mau dikalahkan oleh teman laki-lakinya, dan hal itu juga ditunjukkan lewat
kemampuannya bermain bola yang juga tidak kalah baik dengan sebaya yang laki-laki. Hal-hal
tersebut mampu memberikan gambaran tentang siapa sesungguhnya seorang Kunti itu.

Teknik komentar orang lain. Pemahaman terhadap seseorang tidak hanya sebatas
mengamati apa yang dilakukan, dikatakan, dan atau ditampilkan oleh yang bersangkutan, tetapi
secara lebih lengkap juga dapat dilakukan dengan melihat apa yang dikatakan oleh orang lain
tentangnya. Komentar tokoh lain merupakan salah satu cara yang biasa dipergunakan untuk
melukiskan karakter seorang tokoh baik untuk menunjukkan sikap dan karakter yang belum
diungkap dengan teknik lain maupun untuk memperkuat teknik lain yang sudah dipergunakan, baik
yang menyangkut sikap dan karakter yang berkualifikasi positif maupun negatif. Dengan adanya
komentar tokoh-tokoh lain tersebut gambaran jatidiri seorang tokoh menjadi lebih lengkap dan hal
itu akan memudahkan pengimajian dan pemahaman oleh pembaca anak-anak. Komentar tentang
tokoh itu dapat diberikan oleh orang-orang dekatnya, misalnya sesama tokoh protagonis, atau justru
oleh orang lain yang menjadi tokoh antagonis.

Tokoh sihir superjahat dan superkejam dalam novel Harry Potter, Lord Voldemort,
misalnya, di seri awal (baca: 1) tidak pernah hadir secara langsung ke hadapan pembaca. Namun,
semua pembaca tahu dan bahkan mungkin ikutan bergidik bulu romanya, mendengar kejahatan
tokoh itu. Hampir semua perilaku kejahatan tokoh itu dikisahkan oleh orang lain, terutama oleh
tokoh protagonis yang menjadi lawannya. Misalnya, untuk menunjukkan betapa takutnya orang
kepada tokoh itu bahkan untuk menyebut namanya pun tidak berani atau terkejut dan ketakutan jika
ada orang lain menyebut namanya, sehingga tokoh itu cukup disebut sebagai "Kau- yang berani
Tahu-Siapa". Dengan menyebut namanya orang merasa yakin bahwa si tokoh jahat itu pasti akan
datang untuk mencelakainya.

"Semua ini, menurutku, dimulai oleh orang yang bernama- kelewatan sekali kau tidak tahu
namanya, semua orang di dunia kita tahu..."
"Siapa?"
"Yah aku tak mau sebut namanya, kalau bisa. Tak seorangpun berani sebut namanya."
"Kenapa tidak?"
"Astaganaga, Harry, orang kan masih takut. Wah, susah jadinya. Begini, ada penyihir
yang ... jadi jahat. Jahat sekali. Bahkan lebih dari jahat. Jauh lebih jahat daripada sekadar lebih
jahat.
Namanya..." Hagrid menelan ludah, tapi tak ada suara yang keluar.
"Bagaimana kalau ditulis saja?" Harry mengusulkan. "Tidak-aku tidak bisa eja. Baiklah-
Voldemort." Hagrid bergidik. "Jangan suruh aku sebut sekali lagi. (J.K. Rowling, Harry Potter dan
Batu Bertuah, 2000:72-3)'
Teknik komentar pengarang. Jika berbagai teknik penghadiran tokoh di atas dilakukan
secara ragaan yang bersifat tidak langsung dan menjadi bagian dari alur cerita, teknik komentar
pengarang merupakan teknik uraian yang bersifat langsung dari kata-kata pengarang. Artinya,
jatidiri seorang tokoh itu sengaja ditunjukkan langsung oleh si empunya cerita lewat narası. Hal-hal
yang diungkapkan secara langsung dapat menyangkut sesuatu yang bersifat fisik seperti bentuk
perawakan atau nonfisik seperti sikap dan tingkah laku Teknik pelukisan tokoh yang demikian
dapat dilakukan secara singkat dan jelas sehingga tidak mengundang kesalahpahaman apalag
pembacanya adalah pembaca anak-anak.
Namun demikian, tidak semua jatidiri tokoh drungkapkan secara langsung oleh pengarang
karena jika demikian halnya, cerita akan membosanken dan terkesan monoton. Ibunya hanya
tersenyum Ibunya tahu, Kunti segan bersisir dan memakai bedak. Tidak seperti kebanyakan
perempuan Kunti bisa marah kalau dipaksa. Sudah sejak kelas dua Kuna tidak suka memakai bedak.
Sejak ia ditertawakan oleh kakak-kakaknya, yang semuanya laki-laki. Di rumah itu hanya Kunti dan
ibunya yang bukan laki-laki. (Arswendo Atmowiloto, Kapten Bola, 2001:20)

2. Alur Cerita

Istilah yang biasa dipergunakan untuk menyebut alur adalah alur cerita, plot, atau jalan
cerita. Istilah mana yang akan dipakai terserah kepada tiap orang walau sebenaarya alur lebih dari
sekadar jalan cerita. Namun, fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa alur merupakan salah
sau unsur cerita fiksi yang juga menarik untuk dibicarakan di samping unsur tokoh. Bahkan, tidak
berlebihan jika alur juga disebut sebagai tulang punggung cerita karena alur itulah yang
menentukan perkembangan cerita. Bagi pembaca dewasa, tokoh bisa jadi lebih menarik, tetapi bagi
anak pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang terjadi, bagaimana kisah selanjutnya, bagaimana
akhirnya, dan lain-lain yang memerlukan jawaban itu lebih menarik. Hal itu semua menunjukkan
arti pentingnya alur dalam cerita Siksi anak.

a. Hakikat Alur Cerita


Dalam kaitannya dengan sebuah teks cerita, alur berhubungan dengan berbagai hal seperti
peristiwa, konflik yang terjadi, dan akhirnya mencapai klimaks, serta bagaimana kisah itu
diselesaikan. Alur berkaitan dengan masalah bagaimana peristiwa, tokoh, dan segala sesuatu itu
digerakkan, dikisahkan sehingga menjadi sebuah rangkaian cerita yang padu dan menarik. Selain
itu, alur juga mengatur berbagai peristiwa dan tokoh itu tampil dalam urutan yang enak, menarik,
tetapi juga terjaga kelogisan dan kelancaran ceritanya.

Dari sini kemudian muncul istilah alur yang dipahami sebagai rangkaian peristiwa yang
terjadi berdasarkan hubungan sebab akibat. Dalam sebuah cerita mesti ada banyak peristiwa yang
dirangkai menjadi satu kesatuan yang padu. Peristiwa-peristiwa yang dimuncul- kan itu send:n tidak
boleh terjadi secara insidental yang tidak saling terkait, melainkan mesti dalam kaitan sebab akibat.
Jadi, faktor sebab akibat itulah yang dipandang sebagai menggerakkan alur cerita. Peristiwa apa
saja yang dikisahkan memang milik pengarang, tetapi pengarang pun tidak boleh sembarang
mengangkat peristiwa- peristiwa yang secara logika tidak saling berkaitan. Keterkaitan
antarperistiwa dan hubungan sebab akibat itulah yang menyebabkan alur cerita menjadi logis. Hal
yang perlu dicatat: anak pun sudah dapat bersikap kritis, lagipula cerita fiksi juga merupakan salah
satu sarana untuk memupuk perasaan dan pikiran kritis.
Dalam sebuah cerita boleh jadi tokoh cerita lebih menarik untuk dibicarakan daripada alur
cerita. Namun, alur ceritalah yang meng- hadır dan menggerakkan tokoh sehingga mampu tampil
sebagai sesosok pribadi yang menarik dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tokon cerita
tidak akan hadir dan berkembang tanpa alur cerita yang menggerakkannya, dan sebaliknya alur pun
tidak dapat dikembangkan tanpa tokoh yang menjadi fokus pengem- bangannya. Singkatnya, ada
keterkaitan erat antara tokoh dan alur centa karena kita tidak dapat membicarakan salah satunya
tanpa melibatkan yang lam. Alur cerita tidak lain adalah cerita tentang tokoh, wayat hidup tokoh,
dar lain-lain yang terkait dengan tokoh.
Berdasarkan hal itu pula Lukens (1999:103) memahami alur sebagai urutan peristiwa
sebagaimana ditunjukkan oleh tokoh lewat aksi. Aksi tokoh cerita itulah yang menghasilkan apa
yang kemudian disebut sebagai peristiwa walau tidak semua peristiwa mesti berupa aksi tokoh.
Aksi tokoh itu sendiri dapat berupa tindakan dan atau tingkah laku baik verbal maupun nonverbal.
Dalam kaitannya dengan pengembangan alur cerita, aksi dan atau peristiwa tersebut mungkin
dilakukan atau ditimpakan kepada tokoh. Jadi, tokoh cerita dapat berfungsi ganda, di satu sisi
sebagai pelaku, sedang di sisi lain sekaligus juga sebagai penderita aksi dan peristiwa. Justru karena
hal inilah alur cerita berkembang dan jatidiri tokoh pun dapat diungkap secara lebih lengkap.

b. Konflik dalam Pengembangan Alur Cerita


Unsur esensial dalam alur adalah peristiwa baik yang dilakukan oleh dan ditimpakan kepada
tokoh maupun yang bukan. Berkat peristiwa yang dikisahkan secara berurutan itu alur cerita
berkembang. Namun, berbagai peristiwa yang dikisahkan itu bukan sekadar peristiwa demi
peristiwa tanpa ketegangan, tanpa konflik karena jika demikian halnya cerita pasti tidak menarik.
Dengan demikian, konflik dapat dipandang sebagai unsur esensial dalam peristiwa. Konflik itulah
pada hakikatnya yang menjadi motor penggerak alur, menyebabkan munculnya ketegangan dan
hubungan sebab akibat, yang kesemuanya menjadi semacam "jaminan" bahwa alur cerita akan
menarik karena memiliki kadar suspense yang tinggi.
Suspense, rasa ingin tahu, dapat dipahami sebagai adanya perasaan ketidakpastian tentang
sesuatu yang bakal terjadi yang menyebabkan pembaca merasa berharap-harap cemas menunggu.
Hal inilah antara lain yang mampu mengikat pembaca cerita fiksi, tidak peduli anak atau dewasa,
untuk tidak melepaskan buku bacaannya. Oleh karena itu, masalah suspense mestilah tetap terjaga
keberada- annya di setiap halaman buku, dan itu artinya adalah mempertahankan konflik. Konflik
mesti tetap muncul di sepanjang cerita, dan begitu konflik berakhir hal itu dapat dimaknai bahwa
cerita telah selesai.
Konflik pada hakikatnya merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan yang dialami dan
atau dirasakan tokoh. Konflik dapat muncul karena adanya pertentangan di antara beberapa
kepentingan yang berbeda, namun juga karena konflik pula kemudian memuncul- kan pertentangan-
pertentangan. Jadi, konflik pun mengalami perkem- bangan, dan perkembangan konflik berarti
perkembangan alur cerita. Dengan demikian, konflik mengandung unsur dramatik, dan dalam cerita
fiksi aspek itu memegang peran penting. Artinya, kehadirannya mutlak diperlukan.
Dalam cerita fiksi konflik lazimnya terjadi jika tokoh protagonis berhadapan dengan
antagonis dan atau kekuatan oposan. Lukens (2003:100-106) mengemukakan bahwa dalam cerita
fiksi anak konflik dapat berupa atau terjadi antara: (i) seseorang dengan diri sendiri, (ii) seseorang
dengan orang lain, (iii) seseorang dengan masyarakat, (iv) dan seseorang dengan alam. Dalam
sebuah cerita fiksi mungkin saja ditemukan beberapa jenis konflik sekaligus walau ada salah satu
jenis yang terlihat lebih dominan, dan itu adalah hal yang wajar.

Konflik seseorang dengan diri sendiri. Konflik dapat terjadi di dalam batin seseorang
dengan diri sendiri. Konflik jenis ini lazim juga disebut sebagai konflik internal. Di dalam batin
seseorang biasa terjadi tarik-menarik antara beberapa kepentingan yang berseberangan yang sama-
sama menuntut untuk dipilih. Pilihan-pilihan yang ada itu sama- sama memiliki konsekuensi
menyenangkan dan tidak menyenangkan dan karenanya tokoh menjadi kebingungan untuk
menentukan pilihan, maka terjadilah konflik. Dalam hal ini boleh dikatakan seorang tokoh memiliki
"dua hati", hati melawan hati, gagasan melawan gagasan.

Intensitas pertentangan (baca: konsekuensi) di antara pilihan- pilihan itu bervariasi, mulai
dari yang sederhana sampai yang berakibat serius. Hal itu juga tergantung si empunya cerita,
apakah mau lebih mengembangkan konflik internal atau eksternal dalam cerita fiksi yang
bersangkutan. Kasus adanya konflik batin juga sudah dapat terjadi pada diri anak, dan karenanya
juga dalam cerita fiksi anak. Misalnya, pilihan sikap anak terhadap uang saku sekolah, apakah akan
dihabiskan untuk jajan saja atau sebagian ditabung. pilihan untuk bermain-main dengan kawannya
atau membantu ibu; pilihan untuk menonton film kartun di televisi atau belajar, dan lain- lain yang
banyak ditemukan dalam cerita fiksi realistik. Dalam cerita fiksi konflik-konflik itu lazimnya
didramatisasikan sehingga terlihat lebih serius dan menantang.

Konflik seseorang dengan orang lain. Konflik yang terjadi di antara tokoh-tokoh cerita
dapat digolongkan sebagai konflik eksternal, konflik antara seseorang dengan orang lain di luar diri
sendiri. Walau demikian, konflik eksternal juga mencakup konflik yang lebih dari itu. Konflik ini
lazimnya terjadi antara tokoh protagonis dan antagonis, namun juga dapat terjadi di antara sesama
tokoh protagonis dan antagonis. Konflik yang terjadi antara tokoh protagonis dan antagonis mesti
menyangkut hal-hal yang lebih prinsipial yang dalam kaitannya dengan pengembangan alur mesti
lebih fungsional. Sebaliknya, kon- flik di antara kawan lazımnya menyangkut hal-hal yang lebih
kecil, sekadar beda pendapat tentang sesuatu saja, dan bukan merupakan perbedaan prinsipial. Jika
perbedaan antarkawan itu menjadi prin- sipial, salah satu pihak akan berubah fungsi menjadi tokoh
antagonis.

Fiksi dewasa yang menampilkan konflik internal mungkin lebih menarik, tetapi dalam cerita
fiksi anak tampaknya novel yang menampilkan konflik eksternal lebih menarik perhatian anak. Hal
ini dapat dimengerti karena anak masih lebih banyak berpikir ke sesuatu yang ada di luar dirinya
daripada sebaliknya yang bersifat perenungan. Selain itu, dengan melibatkan tokoh-tokoh yang
terbelah dalam fungsi protagonis dan antagonis, identifikasi hero menjadi lebih jelas dan mudah:
tokoh hero disimpati dan tokoh antagonis diantipati. Moral cerita juga gampang dipahami, tokoh
protagonis pembawa misi kebenaran harus dibela dan disetujui tingkah lakunya, sedang tokoh
antagonis pembawa bencana harus dikutuk dan dijauhi.
Dalam serial novel Harry Potter misalnya, konflik utama terjadi antara Harry Potter dengan
kelompoknya, misalnya Ron dan Hermione, melawan Lord Voldemort yang superjahat dan
pengikut- nya. Pembaca (anak) tidak akan ragu memilih Harry Potter sebagai hero yang luar biasa
lewat berbagai penampilan, kemampuan, dan sekaligus karena fungsinya sebagai pembawa misi
memberantas kejahatan. Di pihak lain, Lord Voldemort, walau jarang dimunculkan secara langsung
dan hanya lewat tokoh-tokoh lain pengikut atau simpatisannya, misalnya lewat tokoh anak Malfoy
(ayahnya pengikut Voldemort), tanpa ragu divonis sebagai tokoh jahat yang mesti diberantas dari
muka bumi. Konflik di antara dua kepentingan itu, yaitu antara kebenaran dan kejahatan, telah
menjadi tema klasik cerita fiksi yang tetap saja menarik perhatian orang hingga kini.
Konflik di antara dua kepentingan tersebut juga ditemukan dalam novel Ranggamorfosa
Sang Penakluk Istana, yaitu konflik yang terjadi antara kelompok Rangga, Danu (ayah Rangga),
dan Ki Sanggalangit (kakek Rangga) dengan Naga Taksaka dan ketujuh setan (Setan Merah, Setan
Biru, dan lain-lain) muridnya. Kelompok Rangga adalah pembela kebenaran dan pejuang
kepentingan orang lain, sedang kelompok Naga Taksaka adalah kelompok jahat yang berjuang demi
kepentingan sendiri dan merugikan orang lain.
Konflik seseorang dengan masyarakat. Konflik jenis ini juga tergolong konflik eksternal
yang terjadi antara seseorang dengan sesuatu yang di luar dirinya. Istilah masyarakat antara lain
adalah kehidupan sosial-budaya masyarakat yang memiliki berbagai sistem dan konvensi yang
berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Perbedaan itulah yang dapat menimbulkan
konflik dalam diri seseorang, misalnya jika seseorang masuk ke dalam suatu sistem masyarakat
yang berbeda dengan masyarakatnya sendiri. Hal itu akan menyebabkan terjadinya perbenturan
budaya atau culture shock. Dalam cerita fiksi yang menampilkan model kehidupan, konflik dengan
masyarakat tentunya dapat menyebabkan seseorang merasa terpencil, terkucil, dan berbagai
perasaan tidak nyaman yang lain dan yang menyebabkan orang lebih suka menutup diri dari
pergaulan.
Dibandingkan dengan orang dewasa sebenarnya anak kurang merasakan adanya konflik
dengan lingkungan masyarakatnya. Hal itu antara lain disebabkan anak belum mampu memahami
sepenuhnya bahasa simbol, aturan, norma, atau sistem dan konvensi kemasya- rakatan yang
berlaku. Selain itu, anak lebih mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan karena faktor
afeksi anak belum sekuat dan belum semapan dewasa. Hal-hal ini pulalah antara lain yang
menyebabkan perlunya anak diperkenalkan pada budaya lain agar terkondisi dengan sistem
kehidupan yang bersifat multikulturalisme,
Konflik seseorang dengan alam. Alam haruslah dipahami dalam pengertian yang lebih
luas yang meliputi berbagai kondisi apa lingkungan kehidupan termasuk di dalamnya flora dan
fauna. Kondisi alam yang menyebabkan konflik dapat dikelompokkan ke dalam yang disebut
antagonistic force, yang tingkatan intensitasnya mula dari sederhana dan keseharian sampai yang
tergolong serius dan dramatik. Konflik-konflik kecil yang terjadi antara seorang bocah dengan
binatang piaraannya, seperti anjingnya lari, si kucing menggondol makanan, si ayam merebut kue,
si induk ayam marah karena diganggu anak-anaknya, dan lain-lain banyak dijumpai dalam
keseharian. Secara umum terlihat bahwa anak menyukai binatang- binatang jinak dan tetumbuhan
bunga-bungaan, dan itu dapat memunculkan hal-hal yang menyenangkan dan sekaligus konflik.
Namun, alam tidak selamanya bersahabat dengan manusia walau hal itu juga lebih sering
disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Apa pun penyebabnya, dalam kaitan itu alam dapat disebut
penyebab timbulnya konflik, dan konflik itu pun sudah dapat dirasakan oleh anak. Misalnya,
bencana banjir, kerusakan padi di sawah akibat hama tikus, wereng, atau kemarau, tanaman
perkebunan dirusak babi hutan, atau binatang-binatang yang lain. Dalam cerita fabel modern yang
berjudul Gendon Kembali ke Sekolah (Edhi Arianto) yang dicontoh- kan di depan dikisahkan
seekor anak gajah yang mengamuk dan langsung mengejar orang yang membawa bedil karena
orang tuanya dibunuh orang itu. Walau mengandung unsur konflik manusia dengan binatang, cerita
itu pada hakikatnya lebih mengingatkan kita agar menjaga kelestarian lingkungan, bukan malah
merusaknya.

c. Pola Alur Cerita


Cerita fiksi hadir untuk menampilkan cerita, dan alur cerita itu berkembang dari awal hingga
akhir. Sepanjang perkembangan alur tersebut ada banyak aksi dan peristiwa yang dilakukan dan
ditimpakan kepada tokoh yang ditampilkan secara berurutan dan enak diikuti hubungan sebab
akibatnya. Secara teoretis ada pola-pola tertentu yang lazim ditemukan dalam pengembangan alur,
tidak terkecuali dalam cerita fiksi anak, baik yang menyangkut substansi kualitas aksi tokoh
maupun sekuensi aksi-aksi tersebut.

Awal, tengah, akhir. Bagaimanapun model urutan centa dan penceritaan yang tersaji,
sebuah cerita fiksi tetap saja memiliki awal, tengah, dan akhir cerita yang kesemuanya dapat
dikenali. Bagian awal cerita dimaksudkan sebagai awal dimulainya sebuah cerita yang pada
umumnya berisi pengenalan tokoh dan latar serta mulai pemunculan konflik. Pada cerita fiksi yang
beralur kronologis tahap awal cerita berada di awal buku yang merupakan halaman dan kalimat
pertama yang dibaca oleh pembaca, sedang pada fiksi yang beralur sorot balik awal cerita
tempatnya tidak di awal buku. Bagian tengah cerita dimaksudkan sebagai tahap tempat alur cerita
sudah berjalan, konflik sudah berkembang, dan akhirnya mencapai klimaks. Tahap tengah inilah
letak alur cerita yang sesungguhnya, dan karenanya merupakan bagian terpanjang dari sebuah cerita
fiksi. Bagian akhir dimaksudkan sebagai akhir alur cerita yang pada umumnya berupa penyelesaian
cerita. Bagian awal, tengah, dan akhir cerita tersebut juga sering disebut sebagai tahap perkenalan,
pertikaian, dan penyelesaian.
Secara teoretis penyelesaian cerita dapat bersifat tertutup dan terbuka. Penyelesaian tertutup
dimaksudkan bahwa cerita sudah selesai, sudah diselesaikan, atau tidak ada lagi kemungkinan
kelanjutan misalnya dengan dimatikannya tokoh-tokoh cerita atau diselesaikannya konflik yang
menjadi inti cerita. Di pihak lain, penyelesaian terbuka dimaksudkan sebagai penyelesaian yang
belum selesai, dalam arti bahwa cerita itu masih dapat dikembangkan lebih lanjut, atau konflik atau
sebagian konflik belum dituntaskan, tetapi cerita sudah dihentikan, ditutup, atau dianggap selesai.
Jika pada penyelesaian tertutup pembaca tinggal menerima apa yang terjadi, pada penyelesaian
terbuka pembaca tidak ikut berperan serta memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain tentang
sesuatu yang bakal terjadi sebagai kelanjutan kisahnya.
Namun, apa pun bentuk penyelesaian yang ditemukan dalam sebuah cerita fiksi anak,
penyelesaian alur cerita mestilah tetap dapat memuaskan pembaca anak dengan memberikan
sesuatu yang bersifat katarsis. Dalam cerita fiksı fantasi yang menampilkan konflik antara tokoh
protagonis dan antagonis, penyelesaian konflik itu pada umumnya memenangkan tokoh protagonis
yang merupakan pembawa nilai-nilai moral yang idealistik. Cerita fiksi sebagai sarana pembawa
pesan moral kepada pembaca anak tentulah juga menunjukkan bahwa seseorang yang jahat atau
bersalah itu haruslah dihukum atau paling tidak menyadari kesalahannya dan kembali ke jalan yang
benar.

Kronologis versus sorot-balik. Pola alur dapat bersifat kronologis, sorot balik, atau
gabungan keduanya. Pembedaan ke dalam pola-pola itu jika dilihat bagaimana sekuensi peristiwa-
peristiwa yang dikisahkan. Bagaimanapun sebuah alur cerita pasti berhubungan dengan pengurutan
berbagai peristiwa, dan itu artinya alur berada dalam pola tertentu.
Pola alur kronologis (progresif, maju) dimaksudkan sekuensi peristiwa-peristiwa dikisahkan
berdasarkan kronologi waktu kejadiannya. Peristiwa yang terjadi lebih dahulu dikisahkan lebih awal
daripada peristiwa yang terjadi lebih kemudian. Jadi, teknik pengisahannya dilakukan secara urut
dari awal hingga akhir, darı A hingga ke Z. Cerita fiksi yang dikisahkan dengan pola ini memperli-
hatkan alur yang runtut-linear-kronologis, dan karenanya mudah diikuti, mudah dipahami hubungan
kausalitasnya, apalagi mengingat bahwa pembaca utama yang dituju adalah anak-anak yang masih
terbatas daya jangkau dan kemampuan berpikirnya. Penghadiran tokoh dan cerita dengan
mengambil pola alur kronologis ini memberikan semacam jaminan bahwa anak akan mampu
memahami
cerita yang dikisahkan. Pola alur sorot balik, di pihak lain, dimaksudkan sebagai sekuensi
penyajian peristiwa-peristiwa yang dikisahkan itu tidak harus urut berdasarkan waktu kejadiannya.
Artinya, peristiwa yang terjadi lebih kemudian, peristiwa yang merupakan akibat dan peristiwa-
peristiwa sebelumnya, justru dikisahkan lebih dahulu daripada peristiwa sebelumnya yang menjadi
penyebab muncvleva peristiwa akibat. Dengan demikian, terjadi manipulasi dalam hal pengurutan
kronologi kejadian peristiwa. Misalnya, peristiwa kematian seorang tokoh jahat dikisahkan sebelum
hal-hal yang menyebabkan kematiannya. Penggunaan pola in dalam sebuah cerita fiksi akan
membuat alur menjadi lebih variatif dan menarik, dan di sinilah antara lam letak keindahan cerita
fiksi itu. Dalam banyak cerita pola alur sorot balik ini akan memberikan daya suspense yang lebih
kuat.
Namun, sebagai sebuah cerita fiksi anak, pola alur sorot balık masih berada dalam "status"
toleransı. Artinya, masih belum terlalu ruwet, masih saja mudah dikenali hubungan sebab-
akibatnya. Pembaca anak perlu disajii cerita dengan teknik pengaluran yang lain, yang tidak melulu
kronologis sehingga dapat merangsang imajinasi, pikiran, dan perasaan kreatif-sensitifnya. Dalam
berbagai cerita fiksi anak, betapapun kadarnya, selalu terlihat adanya unsur alur sorot balik itu, dan
rasanya tidak memberatkan anak. Bahkan, novel Harry Potter yang terkenal karena panjangnya itu
pun di dalamnya, yang sudah terlihat sejak di awal seri pertama, Harry Pooter dan Batu Bertuah,
sudah menampilkan unsur alur sorot balik. Demikian juga pada novel Kapten Bola (Arswendo
Atmowiloto), walau secara umum novel itu beralur kronologis, juga menampilkan unsur sorot balik.
Konflik dan klimaks. Jika pola alur yang berupa kronologis dan sorot balik dilihat
berdasarkan sekuensi peristiwa, aspek konflik dan klimaks dalam alur dilihat berdasarkan substansi
peristiwa-peristiwa yang dikisahkan. Peristiwa yang berkembang berdasarkan hubungan sebab
akibat dan logika merupakan aspek substansial alur, dan aspek inilah yang dikisahkan dengan pola
urutan tertentu.
Aspek peristiwa, juga ditambah keadaan latar, yang dikisahkan pada cerita fiksi, novel,
biasanya relatif banyak, tetapi hanya sebagian yang berwujud konflik. Walau demikian, konflik
inilah yang menjad jiwa cerita. Bahkan, dapat dikatakan menarik atau tidak sebuah cerita fiksi
dalam banyak hal akan ditentukan oleh kualitas dan intensitas konflik yang dimunculkan. Apakah
sebuah cerita akan terasa monoton atau mencekam penuh dengan ketegangan dan suspense, dalam
banyak hal juga ditentukan oleh intensitas konflik. Konflik dmei konflik yang semakin memuncak,
pada akhirnya akan sampai pada tahap klimaks, tempat konflik mencapai puncak ketegangan, dan
akhimya diselesaikan.
Walau demikian ada perbedaan intensitas konflik dalarn berbagai subgenre cerita fiksi anak.
Pada cerita fiksi realis konflik yang terjadi antartokoh pada umumnya masih sebatas pertentangan
kecil-kecilan karena posisi tokoh yang berfungsi sebagai protagonis dan antagonis itu tidak jarang
kabur. Pada novel Kapten Bola di atas misalnya, tokoh utamanya adalah Kunti, seorang anak
perempuan yang berwibawa dan pandai jadi kiper dan sekaligus sebagai kapten, sering bertentangan
dengan Sumba, anak laki-laki kawannya yang juga pemain bola. Namun, Sumba tidak dapat disebut
sebagai tokoh antagonis karena konflik itu terjadi sebatas perbedaan pendapat saja dan kekawanan
keduanya tidak terganggu karenanya.
Hal itu berbeda dengan novel-novel formula dan fantasi tinggi yang sejak awal sudah
memasang tokoh yang difungsikan sebagai protagonis dan antagonis yang sekaligus sudah
dilengkapi dengan karakteristik yang berseberangan. Konflik yang dibangun menjadi lebih intensif
dengan mempertemukan dua kepentingan yang berbeda dan masing-masing memegang prinsip
yang tidak mau kalah. Dalam cerita fiksi anak konflik sering ditempatkan pada posisi pertentangan
antara pihak yang baik dan yang jahat, terutama terlihat pada fiksi fantasi tinggi, dan karenanya
pembaca lazim memberikan sikap simpati kepada tokoh yang baik. Keberpihakan kepada tokoh
baik terlihat pada klimaks, dan penyelesaian cerita, yang selalu memenangkan pertentangan, dan hal
yang demikian merupakan sebuah katarsis yang memuaskan pembaca. Klimaks pada novel
Ranggamorfosa Sang Penakluk Istana misalnya, adalah berupa perkelahian frontal antara dua kubu
yang bertentangan (kelompok baik dan jahat) dan berakhir dengan kehancuran kelompok jahat.
Suspense dan surprise. Suspense dapat dipahami sebagai rasa ingin tahu yang dirasakan
oleh pembaca tentang kelanjutan cerita. Sebuah cerita fiksi yang mampu menjaga unsur suspense
sepanjang alur cerita pada umumnya akan mampu menahan pembaca untuk tetap menikmati alur
cerita, tidak peduli pembaca dewasa atau anak. Aspek inilah yang menjadi semacam ikatan
emosional sehingga mampu membangkitkan rasa ingin tahu dan bahkan bukannya tidak mungkin
membuat penasaran pembaca untuk mengikuti dan mengetahui kelanjutan dan akhir cerita. Oleh
karena itu, kehadiran suspense dalam cerita fiksi merupakan sesuatu yang mau tidak mau mesti ada
dan dipertahankan, dan jika tidak bisa jadi pembaca akan melemparkan buku bacaan itu dan tidak
mau menyentuhnya lagi.

Surprise di pihak lain, dapat dipahami sebagai adanya unsur kejutan yang dialami oleh
pembaca ketika menikmati alur cerita. Surprise akan terjadi jika sesuatu yang dikisahkan itu tidak
sesuai dengan apa yang dibayangkan sebelumnya oleh pembaca, atau terjadi penyimpangan,
pelanggaran, terhadap sesuatu yang telah menjadi kelazıman. Adanya unsur surprise dalam cerita
fiksi lazimnya akan meningkatkan daya suspense dan rasa penasaran di samping juga membuat
cerita menjadi lebih menarik dan terasa segar-orisinal. Namun demikian, kadar "wajib hadir"-nya
surprise dalam sebuah cerita fiksi tidaklah semenentukan suspense walau bukannya tidak penting.
Novel-novel semacam Harry Potter dan Ranggamorfosa Sang Penakluk Istana dibangun dengan
penuh suspense dan unsur surprise di sana-sini.

Kesatupaduan. Sebuah cerita fiksi pastilah menghadirkan peristiwa yang relatif cukup
banyak, dan itu semua tergantung pada panjang cerita atau ketebalan buku. Namun demikian,
peristiwa- peristiwa dan konflik yang dihadirkan haruslah saling berkaitan satu dengan yang lain,
atau ada saling keterkaitan, sehingga secara keseluruhan cerita itu menampilkan sesuatu yang
memiliki ciri kesatupaduan (unity). Bentuk keterkaitan antarperistiwa tersebut berupa hubungan
sebab-akibat, kelogisan, atau konteks kewacanaan sehingga alur cerita menjadi lebih meyakinkan.
Alur cerita mungkin saja dikembangkan dengan pola linear- kronologis, sorot balik, atau
gabungan antara keduanya sehingga terkesan agak kompleks, namun bagian mana yang merupakan
tahap awal, tengah, dan akhir haruslah dapat dikenali oleh, baik dengan mempergunakan logika
sebab akibat, kelogisan, maupun yang lain. Dengan demikian, kompleksitas alur yang mungkin saja
terjadi, sekalipun itu cerita anak, dapat dipahami lewat kejelasan tahapan- tahapan tersebut, dan itu
artinya kemudahan pemahaman logika cerita Bagaimanapun juga, alur cerita fiksi merupakan
sebuah struktur yang sengaja dibangun dan dikembangkan untuk menampilkan tokoh dan cerita
secara utuh dan padu, dan karenanya ia dapat pula disebut sebagai a unity action, atau an artistic
whole, sebuah aksi yang satu- padu, sebuah kemenyeluruhan yang artistik.

3. Latar
Sebuah cerita fiksi yang hadir dengan menampilkan tokoh dan alur memerlukan kejelasan
tempat di mana cerita itu terjadi, kapan waktu kejadiannya, dan latar belakang kehidupan sosial-
budaya masyarakat tempat para tokoh berinteraksi dengan sesama. Tanpa kejelasan hal-hal tersebut
cerita yang dihadirkan rasanya kurang realistik, tidak berpijak di bumi, yang kesemuanya berakibat
kurang dapat dipahaminya cerita fiksi yang ditampilkan. Itu artinya dalam sebuah cerita fiksi
memerlukan latar. Bersama dengan unsur tokoh dan alur cerita, unsur latar merupakan sebuah fakta
cerita yang secara konkret dapat ditemukan dalam cerita fiksi.
Menurut Lukens (2003:147) dalam fiksi dewasa latar dapat terjadi di mana saja termasuk di
dalam benak tokoh, sehingga tidak terlalu banyak membutuhkan deskripsi tentang latar. Namun,
tidak demikian halnya dengan cerita fiksi anak. Dalam cerita fiksi anak hampir semua peristiwa
yang dikisahkan membutuhkan kejelasan tempat dan waktu kejadiannya, dan karenanya
membutuhkan deskripsi latar secara lebih detil. Kejelasan cerita tentang latar dalam banyak hal
akan membantu anak untuk memahami alur cerita.
a. Hakikat Latar
Latar (setting) dapat dipahami sebagai landas tumpu berlangsungnya berbagai peristiwa dan
kisah yang diceritakan dalam cerita fiksi. Peristiwa dan kisah dalam cerita fiksi tidak dapat terjadi
begitu saja tanpa kejelasan landas tumpu. Apalagi untuk cerita fiksi anak yang dalam banyak hal
memerlukan rincian konkret yang lebih menjelaskan "apa dan bagaimana"-nya berbagai peristiwa
yang dikisahkan. Walau demikian, hal itu juga tergantung dari kemauan pengarang, yaitu apakah
mau menampilkan latar yang lebih konkret, rinci, dan sekaligus fungsional, atau sebaliknya dengan
menghadirkan latar secara terbatas dan terlihat kurang fungsional.
Latar menunjuk pada tempat, yaitu lokasi di mana cerita itu terjadi, waktu, kapan cerita itu
terjadi, dan lingkungan sosial-budaya, keadaan kehidupan bermasyarakat tempat tokoh dan
peristiwa terjadi. Kejelasan deskripsi latar penting karena ia dipergunakan sebagai pijakan pembaca
untuk ikut masuk mengikuti alur cerita dan sekaligus mengembangkan imajinasi. Misalnya, novel
Moko (Arswendo Atmo- wiloto) berlatar tempat di sekolah, di tempat penjahitan dan di warung
tempat Moko bekerja yang kesemuanya di Solo, serta di berbagai tempat di Jakarta tempat ketika
Moko berkunjung ke rumah kakek dan saudara sahabatnya. Namun, masalah waktu tidak dijelaskan
karena yang ada hanya siang dan malam, tetapi dalam situasi kehidupan modern. Hal itu dapat
dipahami lewat kehidupan sosial budaya masyarakat yang sudah menunjuk pada situasi kehidupan
dewasa ini.
Persepsi dan pengetahuan yang telah dimiliki pembaca tentang latar yang diangkat ke dalam
cerita fiksi, pembaca anak sekalipun, dalam banyak hal akan membantu pemahaman. Kesesuaian
antara persepsi dan deskripsi latar cerita akan memberikan kesan yang lebih meyakinkan dan
memberikan kesan bahwa cerita yang dikisahkan itu sungguh ada dan terjadi. Kesan itu penting
dalam rangka membangun kesadaran dan pengembangan imajinasi.
Latar yang dapat diindera, dapat dilihat keberadaannya, seperti latar tempat yang berupa
gedung sekolah, rumah tempat tinggal, jalan, tanah lapang atau halaman sekolah tempat bermain
bola, lazimnya disebut sebagai latar fisik (physical setting). Di pihak lain, latar dirasakan
kehadirannya, tetapi tidak dapat diindera, misalnya nilai- nilai dan aturan yang mesti diikuti baik di
rumah, di masyarakat, di sekolah, maupun di tempat lain disebut sebagai latar spiritual (spiritual
setting). Kedua jenis latar tersebut akan sama-sama dapat ditemukan dalam cerita fiksi, tetapi belum
sama kadar intensitas dan pentingnya. yang
Dalam cerita fiksi anak latar fisik lebih dirasakan kehadirannya oleh anak, dan karenanya ia
dapat dianggap menjadi lebih penting daripada latar spiritual. Maka, dalam cerita fiksi anak, jenis
latar itu lazimnya diceritakan secara lebih jelas dan rinci. Sebaliknya, untuk fiksi dewasa, latar
spiritual justru lebih penting karena latar jenis inilah yang lebih dapat difungsionalkan dalam
kaitannya dengan aspek fiksi yang lain, terutama tokoh dan alur cerita. Sebuah latar tempat akan
kurang bermakna, dan bisa jadi mirip benda mati, atau tidak ada bedanya dengan tempat-tempat
yang lain, jika tidak jelas bagaimana keadaan latar spiritualnya. Deskripsi latar fiksi boleh lengkap
dan konkret, tetapi hal itu harus pula diimbangi oleh kelengkapan dan kejelasan latar spiritualnya
sehingga secara keseluruhan kehadiran latar itu lebih meyakinkan cerita.
b. Unsur Latar
Sebagaimana dikemukakan di atas latar terdiri dai tiga unsur, yaitu tempat, waktu, dan
lingkungan sosial budaya. Kehadiran ketiga unsur tersebut saling mengait, saling mempengaruhi,
dan tidak sendiri-sendiri walau secara teoretis memang dapat dipisahkan dan diidentifikasi secara
terpisah. Ketepatan deskripsi latar tempat mesti dalam kaitannya dengan waktu karena latar tempat
akan berubah sejalan dengan perkembangan waktu. Misalnya, kondisi gedung sekolah di desa pada
tahun 1960-an mesti tidak sama dengan tahun 1920-an. Pada tahun 1960-an yang disebut gedung
sekolah sebenarnya bukan gedung, melainkan hanya rumah berdinding bambu dan banyak yang
sudah reyot. Namun, pada tahun 1920-an rata-rata gedung sekolah, apalagi yang untuk sekolah
lanjutan, di pelosok desa sekalipun, pada umumnya sudah permanen dan relatif bagus, dan sudah
berlistrik lagi.
Adanya budaya listrik dan gaya hidup yang berteknologi listrik. terutama di pelosok
pedesaan, menunjukkan kehidupan sosial-budaya dewasa ini. Kehidupan di pedesaan pada tahun
1960-an umumnya masih belum berlistrik, belum mengenal gaya hidup berteknologi listrik, dan
kalaupun ada radio, hanya dihidupkan dengan batere. Itu pun belum banyak orang yang
memilikinya, apalagi televisi dan lain- lain barang-barang elektronika hampir mustahil
keberadaannya. Jadi, dalam deskripsi latar yang demikian, ketiga unsur latar tersebut saling mengait
dan menunjukkan identitas masing-masing.

Latar tempat. Latar tempat menunjuk pada pengertian tempat di mana cerita yang
dikisahkan itu terjadi. Pengertian tempat luas, bisa di mana saja, seperti di rumah reyot, gedung
sekolah, gedung megah, di ruang kelas, di halaman sekolah, di tanah lapang, jalan raya, jalan becek
pedesaan, di kebun, di hutan, dan lain-lain tergantung pada tuntutan alur cerita. Berbagai tempat di
perkotaan akan lebih diakrabi oleh anak-anak perkotaan, sedang tempat-tempat di pedesaan juga
akan lebih dikenal oleh anak-anak desa.

Untuk cerita fiksi anak, deskripsi tentang latar cukup penting untuk membantu anak
memahami dan mengembangkan imajinasi. Apalagi jika pemilihan latar tempat itu lain daripada
yang telah lazim. Misalnya, pemilihan kastil tua dengan ruang-ruang aneh, berbagai lorong aneh,
tempat-tempat aneh dan angker untuk ukuran biasa, dan lain-lain yang serba tidak lazim
sebagaimana ditemukan dalam novel serial Harry Potter. Untuk latar tempat yang demikian,
pengetahuan dan persepsi anak tentang tempat tersebut baru diperoleh lewat deskripsi yang
diberikan dalam cerita itu, dan bukan lewat pengalaman pada kehidupan nyata sehari-hari. Namun,
penampilan tempat-tempat tidak yang lazim itu bukannya tidak baik, bukankah cerita fiksi juga
berfungsi untuk mengenalkan dan memperluas pengetahuan pembaca tentang suatu tempat? Lewat
deskripsi latar itu pembaca anak akan memperoleh pengetahuan dan persepsi baru, dan itu
merupakan suatu bentuk pengalaman batin yang berharga.

Deskripsi latar tempat yang rinei, lengkap dengan karakteristik yang ada, lengkap dengan
landmark-nya, akan memberikan suasana tipikal terhadap latar tempat yang bersangkutan. Hal itu
akan memperkuat gambaran dan imajinasi pembaca anak untuk mengiku alur cerita. Namun, jika
tempat-tempat yang diangkat itu merupakan tempat yang telah dikenal, artinya tempat yang benar-
benar ada seperti di Yogyakarta, deskripsi tersebut harus benar-benar sesuai dengan realitas.
Misalnya,deskripsi kota Yogyakarta yang memiliki tugu di sebuah perempatan jalan, yang jika terus
ke selatan akan melewati rel kereta api, kemudian masuk Jalan Malioboro, dan jika terus akan
sampai di alun-alun utara kraton Yogyakarta, adalah benar-benar mencerminkan realitas salah satu
sudut kota Yogyakarta. Deskripsi tersebut akan menjadi lebih hidup, kuat, dan meyakinkan jika
dikaitkan dengan latar waktu dan sosial-budaya.

Latar waktu. Latar waktu dapat dipahami sebagai kapan berlangsungnya berbagai peristiwa
yang dikisahkan dalam cerita fiksi. Dalam banyak kasus masalah waktu lazimnya dikaitkan dengan
waktu kejadian yang ada di dunia nyata, waktu faktual, waktu yang mempunyai referensi sejarah.
Jadi, peristiwa dan alur cerita yang dikisahkan dalam cerita itu berangkat dan atau mempunyai
kesamaan saat dengan peristiwa yang ada dan terjadi di dunia nyata. Untuk mengetahui hal tersebut,
jika pengarang tidak secara pasti menunjukkannya, ia dapat dicari lewat "petunjuk-petunjuk"
khusus yang mengisyaratkan pada adanya referensi waktu tertentu. Misalnya, ia dapat diperkirakan
lewat benda-benda teknologi yang disebut, tempat-tempat atau bangunan tertentu, tokoh-tokoh yang
hidup pada saat tertentu, dan lain-lain yang kesemuanya secara langsung atau tidak langsung
menunjukkan waktu keberadaannya.

Namun demikian, dibandingkan dengan latar tempat, masalah referensi waktu tersebut
dalam cerita fiksi anak kurang ditekankan. Hal itu dapat dipahami karena latar tempat memberikan
pijakan terjadinya peristiwa yang secara konkret dapat diimajinasikan. Di pihak lain, latar waktu
bersifat lebih abstrak dan anak pada umumnya belum mampu memahami sejarah atau sesuatu yang
dikaitkan dengan referensi sejarah. Pemahaman anak terhadap alur cerita lebih banyak berangkat
dari siapa tokoh, apa peristiwa dan bagaimana alur, di mana lokasi kejadian, dan bukannya kapan.
Sesuai dengan perkembangan kognitifnya, tampaknya anak belum mampu mengkritisi adanya
kesesuaian atau ketidaksesuaian antara waktu cerita dan waktu sejarah yang melatarbelakangi
dengan segala konsekuensinya.

Sebuah kisah yang tidak masuk akal bagi dewasa yang disebabkan oleh adanya
ketidaksesuaian cerita dengan waktu sejarah, atau karena adanya unsur anakronisme, bagi anak
keadaan itu tidak menjadi masalah. Masalah waktu yang secara konkret dapat lebih berpengaruh
hanyalah pagi, siang, sore, dan malam: pagi untuk bersekolah, dan seterusnya sesuai dengan
kegiatan kesehariannya. Namun demikian, hal itu tidak perlu ditafsirkan tidak perlunya referensi
waktu sejarah dalam cerita anak. Misalnya, jika cerita berlatar kehidupan modern dewasa ini, ia
harus pula disertai dengan kondisi kehidupan sosial-budaya yang sesuai yang tentunya berbeda,
misalnya jika mengangkat latar masa lalu. Bahkan, sebuah cerita yang berlatar tempat yang sama
sekalipun, jika ada perbedaan latar waktu kejadiannya, kondisi latar juga tidak sama. Cerita hadır
tidak semata- mata memuaskan pembaca anak, tetapi juga harus disertai tanggung jawab ke dalam
diri pengarang. Novel Ranggamorfosa Sang Penakluk Istana dan Masih Ada Hari Esok, misalnya,
berlatar waktu kehidupan (Jakarta) dewasa ini, maka berbagai situasi soasial kehidupan masyarakat
juga mencerminkan situasi kini.

Latar sosial-budaya. Latar sosial budaya dalam cerita fiksi dapat dipahami sebagai keadaan
kehidupan sosial-budaya masyarakat yang diangkat ke dalam cerita itu. Cerita fiksi tidak hanya
membutuhkan latar tempat dan waktu, tetapi juga di masyarakat tempat cerita itu diangkat.
Kehidupan masyarakat di mana pun di berbagai pelosok dunia pasti memiliki sistem, konvensi,
adat-istiadat, nilai-nilai yang diyakini kebenarnya, dan lain-lain yang lebih merupakan setting
spiritual yang mengikat anggota masyarakat yang bersangkutan dalam bertingkah laku, termasuk di
dalamnya anak-anak yang masih dalam tahap belajar dan menginternalisasikannya. Hal-hal itulah
yang dimaksud dengan latar sosial-budaya.
Cerita fiksi berkisah tentang manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan, maka latar
belakang sosial-budaya masyarakat yang diangkat menjadi setting cerita mesti ikut terbawa ke
dalamnya. Justru karena ada kejelasan latar sosial-budaya itulah, antara lain, anak dapat belajar
tentang hidup dan kehidupan, tentang model-model kehidupan, lewat cerita baik itu model
kehidupan dalam masyarakat sendiri mau- pun masyarakat lain di berbagai pelosok. Jika cerita
berlatar sosial- budaya di masyarakat sendiri anak dapat belajar dan menginternalisa- sikannya,
terhadap cerita yang berlatar sosial-budaya masyarakat lain anak dapat belajar dan menambah
wawasan mutikultural. Sebagai sa- lah satu bacaan anak yang menjadi salah satu sarana pendidikan,
sastra menawarkan banyak kesempatan tentang hal-hal tersebut. Hal itu akan terjadi pada cerita
fiksi yang menempatkan latar sosial-budaya ke dalam fungsi penting dalam kaitannya dengan
keseluruhan cerita.

Berbagai hal yang terkait dengan latar sosial-budaya masyarakat dalam cerita fiksi lazimnya
akan terangkat lewat tokoh cerita. Tokoh cerita itulah yang secara langsung atau tidak langsung
memperagakan sistem, aturan, dan nilai-nilai kehidupan sosial-budaya masyarakat lewat sikap dan
tingkah lakunya. Selain itu, tokoh juga "bertugas" memerankan diri sesuai dengan status sosial yang
disandangnya, misalnya apakah ia berasal dari tingkat status sosial rendah, menengah, tinggi, dari
golongan kaya atau miskin, terpelajar atau sebaliknya, berasal dari desa atau kota, tempat tinggal
mewah, menengah, atau kumuh, dan lain-lain yang masing-masing akan membawa konsekuensi
dalam bentuk karakter tokoh. Dengan kata lain, kondisi latar sosial-budaya akan mempengaruhi
karakter tokoh, atau karakter tokoh itu dibentuk oleh lingkungan kehidupan sosial- budaya
masyarakat yang membesarkannya.
c. Fungsi Latar
Kehadiran unsur latar dalam sebuah cerita fiksi tidak semata- mata hanya berfungsi untuk
menjadi landas tumpu cerita, tetapi juga mengemban sejumlah fungsi yang lain. Namun, intensitas
pemfung- sian latar bervariasi di antara cerita fiksi yang kesemuanya tergantung pada niatan
penulisnya. Kehadiran unsur latar yang bersifat fungsional lazimnya lebih terkait dengan berbagai
unsur fiksi yang lain di samping juga terlihat memiliki fungsi-fungsi tertentu.
Latar fungsional. Latar fungsional dalam cerita fiksi ditandai oleh eratnya keterkaitan
antara unsur latar dengan berbagai unsur fiksi yang lain terutama tokoh dan alur cerita. Latar yang
bersifat fungsional, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial-budaya,
berpengaruh langsung terhadap pengembangan karakter tokoh dan alur cerita. Kehadiran latar
tersebut menjadi amat penting dalam kaitannya dengan keseluruhan cerita, dan tidak dapat
digantikan oleh latar lain tanpa mempengaruhi karakter dan alur cerita. Latar tempat yang ditunjuk
misalnya, tidak dapat digantikan dengan tempat yang lain tanpa mengganggu cerita. Misalnya,
sebuah cerita yang berlatar tempat di sebuah kota kecil, atau pelosok pedesaan, dengan tokoh anak-
anak yang saling mengenal dengan baik tidak dapat begitu saja diganti dengan kota besar seperti
Jakarta yang mempunyai karakteristik berbeda dengan kota kecil tersebut.
Demikian juga halnya dengan latar waktu dan sosial budaya. Sebuah cerita yang berlatar
masa lalu seperti cerita tradisional tidak dapat diganti begitu saja dengan waktu kini, atau
memasukkan benda- benda teknologi hasil peradaban modern. Misalnya, ia tidak dapat
memasukkan televisi, komputer, telepon, dan lain-lain karena pada masa itu benda-benda tersebut
belum ditemukan. Hal itu belum termasuk adanya perubahan kehidupan sosial-budaya yang pasti
akan terjadi sejalan dengan perkembangan zaman. Hal yang serupa juga berlaku penggantian latar
sosial-budaya dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain.
Karakteristik latar yang demikian inilah yang oleh Lukens (2003:148-151) disebut sebagai
latar integral (integral setting), sedang yang berkarakteristik sebaliknya, yaitu yang kehadirannya
kurang terkait dengan unsur fiksi yang lain dan kurang dipentingkan disebut sebagai latar belakang
(backdrop). Sebuah latar dikatakan integral jika aksi, karakter, atau tema dipengaruhi oleh tempat
dan waktu karena latar berperan sebagai pengontrol tokoh secara amat lembut, yaitu dengan cara
membatasinya. Artinya, aksi dan karakter tokoh yang hanya dapat terjadi jika didukung dan atau
ada kesesuai- annya dengan latar yang melingkupinya. Seorang tokoh cerita fiksi tidak dapat
beraksi semau sendiri dan tidak dapat berkarakter secara bertentangan dengan latar yang
mendukungnya. Seorang anak yang hidup di sebuah desa terpencil tidak mungkin berperilaku dan
bertin dak seperti anak kota besar, misalnya dapat naik kendaraan bermotor, tidak takut keramaian,
berjalan-jalan di pertokoan dan mall tanpa canggung, dan lain-lain. Jadi, latar akan membentuk
karakter tokoh.
Latar integral juga ditandai oleh adanya deskripsi latar tempat secara lebih rinci dan khas,
dan pada fiksi realisme yang berangkat dari tempat-tempat tertentu yang dikenal di dunia nyata
diperkuat oleh ciri khas yang ada di suatu tempat. Selain itu, ia juga diperkuat oleh latar sosial-
budaya dan waktu secara saling berkaitan dan saling mempengaruhi dan memperkuat satu dengan
yang lain. Tempat- tempat yang dilukiskan dalam novel Harry Potter mempunyai karakteristik khas,
terkesan aneh dan angker, dan itu semua menjadi bagian integral terhadap terjadinya aksi, peristiwa,
dan sekaligus berperan dalam membentuk karakter tokoh. Tempat-tempat tersebut tidak hanya
menjadi latar terjadinya peristiwa dan aksi tokoh, melainkan juga menyebabkan dan mempengaruhi
terjadinya peristiwa dan aksi tokoh yang khas yang hanya dapat dilakukan dalam latar tempat
seperti itu.
Latar yang hanya berfungsi sebagai latar belakang (backdrop), di pihak lain, hadir semata-
mata karena tokoh dan alur cerita membutuhkan landas tumpu. Namun, latar tersebut tidak banyak
berperan dalam pengembangan karakter tokoh dan alur cerita yang dikisahkan. Jadi, kehadiran
unsur latar tersebut kurang bersifat fungsional dalam kaitannya dengan unsur fiksi yang lain. Latar
tempatnya misalnya, lokasinya dapat saja digantikan dengan lokasi yang lain tanpa mengganggu
alur cerita. Deskripsi latar tempat tidak rinci dan tidak memiliki ciri khas tempat-tempat tertentu
sehingga lebih memberikan kesan umum. Sebuah tempat di kota misalnya, tidak jelas kota mana,
sehingga karenanya dapat kota di mana saja, atau kalaupun disebut juga tidak lengkap dengan
landmark-nya.
Selain latar yang bersifat fungsional dan hanya sebagai latar belakang tersebut, Lukens
(2003:153-160) mengemukakan fungsi- fungsi latar yang lain, yaitu latar yang berfungsi sebagai
pemerjelas konflik, antagonis, pemerjelas tokoh, dan sebagai simbol. Latar cerita fiksi yang
mempunyai fungsi-fungsi tersebut terbatas pada latar yang fungsional, dan tidak untuk latar yang
hanya berperan sebagai latar belakang saja. Di dalam sebuah cerita fiksi dapat saja sejumlah fungsi
latar tersebut sama-sama ditemukan, namun pada fiksi yang lain bisa jadi hanya satu-dua fungsi
yang terlihat dominan.
Latar sebagai pemerjelas konflik. Latar fungsional terkait langsung dengan unsur fiksi
yang lain terutama tokoh dan alur cerita, dan pada fiksi yang demikian pemahaman latar merupakan
hal yang esensial untuk memahami tokoh dan alur. Dengan demikian, latar sekaligus berfungsi
sebagai pemerjelas esensi konflik yang dibangun lewat alur cerita. Hal itu disebabkan, secara
langsung ataupun tidak langsung, aspek-aspek latar, tempat, waktu, atau sosial budaya baik secara
sendiri maupun bersama, berperan dalam pengembangan konflik. Tokoh Moko dalam novel Moko
(Arswendo) yang anak Solo merasa kebingungan dan mengalami konflik ketika diajak dan berada
di kota metropolitan Jakarta yang baik situasi kota maupun pergaulan antarwarga berbeda dengan
biasa dialami di Solo.
Contoh lain misalnya, dalam cerita (sebagaimana yang difilmkan) Tarsan Kota, dapat dilihat
konflik Tarsan dengan lingkungan barunya di kota. Tarsan adalah tokoh klasik yang sudah amat
dikenal sebagai tokoh yang terbiasa hidup di tengah hutan bersama binatang-binatang yang
sekaligus menjadi teman-temannya. Bahkan, Tarsan tidak mampu berbicara dengan bahasa
manusia. Ketika Tarsan dihadapkan pada situasi latar yang baru yang lain daripada kesehariannya,
konflik pun terjadi karena ia tidak terbiasa hidup dengan lingkungan manusia. Ia tidak mengerti
bahasa, cara hidup, lingkungan sosial-budaya, dan lain-lain yang merupakan ciri khas peradaban
manusia. Ia tidak kerasan tinggal di kota dan ingin kembali ke lingkungan lama yang amat
dikenalnya.
Latar sebagai antagonis. Latar yang berfungsi sebagai pemerjelas konflik, dalam kadar
yang semakin intensif, dapat berubah menjadi kekuatan antagonis yang menyulut dan meningkatkan
konflik yang dialami tokoh. Latar seolah-olah menjadi musuh tokoh, atau pa- ling tidak latar
dirasakan sebagai sesuatu yang tidak bersahabat pada giliran selanjutnya dapat memunculkan
konflik-konflik baru.
Kemarau panjang dan kekeringan jelas dirasakan sebagai "musuh" petani karena
menyebabkan gagalnya panen, dan bahkan juga sulitnya diperoleh air sekadar untuk kebutuhan
hidup sehari-hari Di pihak lain, di daerah tertentu rawan banjir, banjir pun juga dapat dirasakan
sebagai musuh masyarakat karena bencana yang ditimbulkannya sangat merugikan. Situasi
kemacetan di kota-kota besar kini juga sudah menjadi musuh yang menghantui setiap perjalanan,
apalagi jika orang sedang diburu waktu. Bagi Tarsan latar perkotaan dianggapnya tidak bersahabat
dan karenanya dianggap sebagai sesuatu yang menyulitkannya. Demikian pula halnya dengan anak-
anak perkotaan yang tidak akrap dengan hutan, jika mereka pergi ke hutan akan banyak
menemukan sejumlah kesulitan di sana schingga kondisi hutan itu dianggapnya sebagai penimbul
konflik.
Latar sebagai pemerjelas tokoh. Perkembangan karakter tokoh dipengaruhi atau bahkan
dibentuk oleh latar yang melingkupinya. Hal itu sekaligus juga berarti bahwa karakter seorang
tokoh dapat dipahami lewat dan sekaligus diperjelas oleh kondisi latar yang membesarkannya.
Orang hidup dalam sebuah komunitas yang telah memiliki sistem nilai dan budaya yang mengatur
perilaku anggotanya dalam bersikap dan berperilaku sehingga amat logis jika orang itu bersikap dan
berkarakter yang mencerminkan norma-norma komu- nitasnya tersebut. Seorang anak yang hidup di
lingkungan komunitas nelayan sejak kecil sudah dihadapkan pada fakta kehidupan yang keras
sekadar untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka jika anak itu akhirnya berkarakter
keras, pekerja keras, tidak pantang menyerah, dan lain-lain yang sejenis adalah suatu hal yang
masuk akal. Demikian juga halnya dengan anak-anak petani miskin, buruh kecil, atau anak orang
tidak berpnya lainnya.
Tokoh Moko dalam novel Moko dan Ito dalam novel Ito (keduanya karya Arswendo) adalah
gambaran anak yang dibesarkan dalam keluarga tak mampu dan lingkungan yang keras. Moko
harus bekerja apa saja, membantu bekerja dalam penjahitan, membantu di warung, sekadar untuk
membayar uang sekolah dan membantu adiknya. Ito yang orang tuanya juga tidak mampu bahkan
sering tidak masuk sekolah karena harus bekerja mencari uang. Ito bekerja serabutan termasuk
mencuri barang-barang dagangan yang diturunkan dari truk-truk di pasar seperti ketela, beras, atau
apa saja yang laku jual. Karakter Ito yang keras, pantang menyerah, lincah, dan pandai berkelit
dapat dipahami lewat lingkungan hidupnya yang menuntutnya untuk berjuang demi sesuap nasi.
Latar sebagai simbol. Latar sebagai simbol (metafora) menunjukkan bahwa unsur latar
sekaligus menggambarkan sesuatu yang lain yang lazimnya adalah keadaan atau jatidiri tokoh.
Latar yang berfungsi sebagai pemerjelas jatidiri tokoh haruslah dipahami tidak harus berupa
deskripsi latar secara langsung, melainkan juga secara tidak langsung lewat simbol-simbol, lewat
deskripsi metaforis. Namun demikian, sebagai novel dengan pembaca anak fungsi latar sebagai
simbol itu mestilah masih mudah dikenali oleh anak sekalipun.
Seorang anak yang tinggal di daerah elite dengan rumah mewah dan mobil juga mewah,
walau tidak dideskripsikan secara jelas, pembaca anak pun akan tahu bahwa tempat tinggal itu
menunjukkan status sosial anak dan penghuninya, yaitu orang-orang kaya dengan status sosial
tinggi. Maka, anak-anak lain yang merasa miskin mungkin akan segan bergaul dengannya.
Sebaliknya, anak-anak yang tinggal di daerah kumuh dengan rumah-rumah yang sederhana, seperti
tokoh Moko dan Ito dalam novel Moko dan Ito, juga sudah menunjukkan status sosial anak-anak
dan penghuni lainnya, yaitu anak-anak miskin dengan status sosial rendah.
4. Tema
Jika memilih buku bacaan sastra anak, yang sering terlintas di pikiran adalah pertanyaan-
pertanyaan seperti: buku yang bercerita tentang apa, apakah ceritanya bagus atau tidak, buku cerita
itu ingin berbicara tentang apa, atau apa yang ingin disampaikan lewat cerita itu, dan lain-lain.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut berkaitan dengan isi cerita, dengan gagasan-gagasan yang ingin
diungkapkan lewat, atau yang secara umum berkaitan dengan tema cerita.
Hakikat tema. Secara sederhana tema dapat dipahami sebagai gagasan yang mengikat
cerita (Lukens, 2003:129), mengikat berbagai unsur intrinsik yang membangun cerita sehingga
tampil sebagai sebuah kesatupaduan yang harmonis. Jadi, dalam kaitan ini tema merupakan dasar
pengembangan sebuah cerita. Sebagai sebuah gagasan yang ingin disampaikan tema dijabarkan dan
atau dikonkretkan lewat unsur-unsur intrinsik yang lain terutama tokoh, alur, dan latar. Pemahaman
terhadap tema suatu cerita fiksi adalah pemahaman terhadap makna cerita itu sendiri. Tema sebuah
cerita fiksi merupakan gagasan utama dan atau makna utama cerita.
Tema itu sendiri lazimnya berkaitan dengan berbagai permasalahan kehidupan manusia
karena sastra berbicara tentang berbagai aspek masalah kemanusian: hubungan manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan diri sendiri, manusia dengan sesama, dan manusia dengan lingkungan
alam. Walau demikian, tokoh-tokoh cerita "pembawa tema" itu tidak harus berwujud tokoh
manusia, melainkan juga dapat binatang atau makhluk dan benda lain. Tema apa yang diangkat ke
dalam sebuah cerita fiksi tergantung pada kemauan penulis, tetapi tema yang berkaitan dengan
interaksi antarsesama yang paling banyak ditemukan. Jika sastra anak ingin menyampaikan
kebenaran, kebenaran itu haruslah ditemukan lewat cerita, dan itu adalah tema, makna cerita secara
keseluruhan.
Ketika Lukens mendefinisikan sastra anak sebagai sebuah kebenaran yang signifikan yang
diekspresikan ke dalam elemen- elemen yang layak dan bahasa yang mengesankan, kebenaran yang
signifikan tersebut dipandangnya sebagai sesuatu yang esensial, dan itu adalah tema. Jadi, tema
berbicara dan berkaitan dengan masalah kebenaran, kebenaran tentang kehidupan sebagimana yang
diyakini penulis. Sebagai sebuah cerita, kebenaran yang ingin disampaikan itu didemonstrasikan
lewat kehidupan yang sengaja dibangun dan dikembangkan lewat tokoh, alur, dan elemen cerita
yang lain. Jadi, prinsip tentang kebenaran diperlakukan sebagai sebuah ideologi yang ingin
diperjuangkan dan disebarluaskan.

Penemuan tema. Penemuan tema dalam sebuah cerita kadang- kadang tidak semudah yang
dibayangkan. Hal itu disebabkan adakalanya tema diungkapkan secara eksplisit lewat pernyataan
(kalimat) yang mudah dikenali, dan adakalanya pula hanya diung- kapkan secara implisit lewat
keseluruhan cerita. Namun, tema yang diungkapkan secara eksplisit sekalipun juga perlu ditemukan
lewat pembacaan dan pemahaman cerita secara keseluruhan. Berdasarkan pemahaman itulah
kemudian kita dapat menentukan bahwa ada kalimat-kalimat yang dipandang mengandung
pernyataan tema.

Tema memiliki kaitan yang erat dengan tokoh dan alur. Kedua unsur fakta cerita inilah yang
paling lazim "ditugasi" sebagai pembawa tema. Hal itu tidak lepas dari hakikat cerita fiksi yang
tidak lain adalah cerita tentang tokoh, apa yang dilakukan dan ditimpakan kepada tokoh. Tokoh
pasti dibebani dengan konflik, dan konflik adalah urusan alur. Dengan demikian, tema dapat
ditafsirkan secara lebih sederhana lewat tokoh dan konflik apa yang ditimpakan kepada tokoh-tokoh
itu. Jika dalam cerita terdapat tokoh protagonis dan antagonis yang jelas konfliknya, misalnya pada
fiksi fantasi, pada konflik itulah lazimnya tema diungkapkan.
Namun, aktivitas menemukan tema sebenarnya merupakan kerja orang dewasa, misalnya
dengan tujuan memilih bacaan yang tepat untuk anak atau karena tuntutan kerja penelitian
pemerhati sastra anak. Di pihak lain, anak sebagai pembaca tidak pernah berpikir untuk menemukan
tema, dan bahkan tidak paham apa itu tema. Bagi pembaca anak yang utama adalah cerita dan di
dalam cerita itu terkandung sesuatu yang menyenangkan yang dapat dijadikan idola atau sebagai
identitas dirinya. Sesuatu tersebut pada hakikatnya adalah makna cerita yang bagi dewasa itu adalah
tema.

Tema mayor dan minor. Cerita fiksi hadir untuk menyam- paikan sesuatu, makna, atau te
bukankah sering ada lebih dari satu tema dalam sebuah cerita fiksi itu. Atau, paling tidak kita dapat
menafsirkan adanya beberapa tema. Jadi, makna mana yang dapat dinyatakan sebagai tema dari
sebuah cerita fiksi itu. Hal itu sering terjadi jika cerita yang dibaca itu relatif panjang, misalnya
centa fiksi anak yang berwujud novel, apalagi novel yang kelewat panjang seperti Harry Potter
(misalnya seri ke-4 dan ke-5 setebal 882 dan 1.200 halaman) atau Eragon (563 halaman).

Untuk cerita fiksi yang pendek, yaitu cerpen, sebagaimana yang banyak dijumpai pada
majalah-majalah anak seperti Bobo (yang kemudian dikumpulkan dalam buku seri Kumpulan
Dongeng Bobo) atau di koran edisi Minggu seperti Kompas dan Kedaulatan Rakyat, pada umumnya
hanya menampilkan satu tema. Misalnya, cerpen yang berjudul "SMS" (Satwika Prabaswara) yang
menampilkan tema penipuan lewat ponsel, atau cerpen "Penghuni Rumah Kosong" (Arie Wib) yang
menampilkan tema kesalahdugaan. Demikian juga dengan cerpen-cerpen anak yang lain seperti
"Bila Leak Berkeliaran di Connecticut" (Mujibah Utami), "Kursi Malas Kakek" (Retno wijayanti),
dan "Polah Bidadari Kecil" (R. Nuralam)", "Putri dan Bintang" (QYanuari N.), dan lain-lain baik
yang termasuk cerita fiksi realis maupun fantasi. Walau demikian, tema-tema yang dapat ditafsirkan
dari cerpen-cerpen itu pun dapat berbeda-beda dan lebih dari satu tergantung penafsirnya.

Di pihak lain, untuk cerita fiksi yang panjang sering menampil-ma. Tema itulah yang
menjiwai keseluruhan cerita. Namun, persoalan yang kemudian muncul adalah kan beberapa tema
sekaligus. Misalnya, novel fantasi serial Harry Potter pada tiap serinya boleh dikatakan
menampilkan tema yang kurang lebih sama, yaitu "bagaimanapun kejahatan pada akhirnya akan
dikalahkan oleh kebaikan, atau kebaikan mengalahkan kejahatan". Hal itu dilukiskan dalam kisah
pertentangan dan pertempuran antara Harry Potter si anak ajaib dan Lord Voldemort yang
superjahat. Namun, di samping tema utama tersebut novel itu juga menghadirkan tema-tema lain
seperti "persahabatan yang kental", "kebersamaan akan mengalahkan kejahatan", yaitu kekawanan
dan kebersamaan antara Harry Potter, Ron, dan Hermione, "kejujuran", "Cinta kasih orang tua
kepada yang luar biasa kepada anak", "pengkhianatan", "kepercayaan", "balas dendam", dan lain-
lain yang semuanya dapat diperoleh lewat novel tersebut.

Karena menjiwai keseluruhan, tema pertama novel Harry Potter dapat disebut sebagai tema
utama atau tema mayor, sedang tema-tema yang lain yang "hanya" terdapat pada bagian-bagian
tertentu sebagai tema tambahan atau tema minor. Dalam istilah Lukens (1999:139-40) tema utama
itu disebutnya sebagai primary theme (tema primer), sedang tema-tema yang lain sebagai secondary
themes (tema sekunder).

Fungsi didaktik. Salah satu hal dominan dalam sastra, dalam bacaan fiksi anak, adalah
dominannya unsur dan fungsi pendidikan. Lewat buku sastra yang sengaja dikreasikan untuk
bacaan anak diharapkan pembaca anak-anak memperoleh sesuatu yang baik bagi perkembangan
kejiwaannya. Buku-buku cerita fiksi lazimnya sengaja difungsikan sebagai salah satu bacaan anak
yang memberikan pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lewat tokoh dan alur
cerita yang menarik dan menegangkan itu anak sekaligus memperoleh sesuatu yang berharga tanpa
harus disadari olehnya. Salah satu kriteria pemilihan buku bacaan sastra fiksi anak yang lazim
menjadi pertimbangan utama dan pertama adalah adanya

unsur didaktis, tema-tema didaktif. Namun, sesuatu yang mendidik, sesuatu yang
mengandung unsur dan fungsi didaktis, tidak harus disampaikan dengan cara-cara yang menggurui.
Tidak ada seorang pun yang senang jika terang- terangan digurui, anak sekalipun. Prinsip tidak
menggurui adalah suatu hal yang mesti menjadi karakteristik bacaan sastra. Buku bacaan sastra
bukanlah buku ajaran tentang moral walau di dalamnya terkandung ajaran moral. Artinya, dalam
buku bacaan sastra sah-sah saja jika terdapat moral atau tema-tema yang bersifat didaktis, tetapi
cara penyampaiannya tidak dengan cara-cara menggurui. Biarkan pembaca anak memahami dan
menemukannya sendiri unsur-unsur didaktis itu bukan dengan cara ditunjukkan secara langsung.
Sastra kata Lukens (2003:132) hadir tidak untuk mengajar, melainkan membantu kita untuk
memahami sesuatu. Biarkan anak menikmati cerita itu, yang secara tidak langsung juga terbantu
untuk memahami berbagai persoalan kehidupan yang diangkat menjadi tema, dan biarkan anak
menemukan jati dirinya. Itulah, antara lain, perbedaan antara tema-tema didaktis dalam cerita sastra
dengan bacaan didaktis lain yang bukan sastra.

Ketika membaca novel Ito, anak akan memperoleh cerita betapa si Ito harus berjuang keras
dengan bekerja apa yang dapat menghasilkan uang sekadar untuk membantu orang tua, adiknya,
dan biaya untuk bersekolah. Kita tidak perlu mengatakan secara langsung kepada anak, misalnya
dengan kata-kata: "Hai, bekerjalah kamu yang keras seperti Si Ito itu agar dapat membayar uang
sekolah!". Sekali lagi, tidak ada seorang anak pun yang suka mendengar perintah itu. Tetapi,
biarkan anak menikmati sendiri cerita tentang Ito, biarkan anak berpikir dan menemukan sendiri
bahwa bekerja itu diperlukan dalam hidup untuk dapat bertahan, biarkan anak berpikir dan akhirnya
menemukan sendiri ajaran bahwa hidup itu tidak mudah, tetapi harus diperjuangkan dengan keras.
Kesemuanya itu menjamin lebih mengasyikkan dan sekaligus mengajari anak untuk memahami dan
mendapatkan sesuatu lewat bacaan atas usaha sendiri.

Novel Masih Ada Hari Esok (Pipiet Senja) menghadirkan tema didaktis lewat tokoh dan
cerita yang disajikan. Novel ini menampilkan tema sikap optimisme terhadap hari esok yang lebih
baik dan berpasrah diri kepada Tuhan. Tokoh Adinda yang terkena penyakit talasemia sejak lahir
dan harus menjalani transfusi darah secara berkala tiap bulan sekali tetap tabah Adinda menerima
keadaan dirinya dan tetap optimis menghadapi hidup. Dibandingkan dengan novel Ito, adanya kesan
menggurui dalam novel Masih Ada Hari Esok ini cukup terasa, namun hal itu terkait langsung
dengan maksud pengarangnya yang sengaja menulis novel untuk bacaan anak usia 7-13 tahun.

5. Moral

Hakikat moral cerita. Moral, amanat, atau messages dapat dipahami sebagai sesuatu yang
ingin disampaikan kepada pembaca. Sesuatu itu selalu berkaitan dengan berbagai hal yang
berkonotasi positif, bermanfaat bagi kehidupan, dan mendidik. Moral berurusan dengan masalah
baik dan buruk, namun istilah moral itu selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang baik. Untuk
bacaan cerita fiksi anak, istilah disampaikan itu bahkan dapat dipahami secara lebih konkret sebagai
mengajarkan. Hal itu disebabkan cerita fiksi hadir dan ditulis sebagai salah satu alternatif
memberikan pendidikan kepada anak lewat cerita. Walau demikian, istilah "mendidik" dan atau
"mengajarkan" haruslah tetap dipahami sebagai mendidik dan mengajarkan lewat cara-cara cerita
fiksi, dalam konteks cerita fiksi, dan bukan dalam pengertian harfiah seperti yang dilakukan oleh
guru kepada murid.

Kehadiran moral dalam cerita fiksi dapat dipandang sebagai semacam saran terhadap
perilaku moral tertentu yang bersifat praktis, tetapi bukan resep atau petunjuk bertingkah laku. Ia
dikatakan praktis lebih disebabkan ajaran moral itu disampaikan lewat sikap dan perilaku konkret
sebagaimana yang ditampilkan oleh para tokoh cerita. Tokoh-tokoh cerita tersebut dapat dipandang
sebagai model untuk menunjuk dan mendialogkan kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh
penulis cerita.

Dengan demikian, kehadiran unsur moral dalam sebuah cerita fiksi, apalagi fiksi anak,
tentulah merupakan sesuatu yang mesti ada. Dalam sebuah cerita fiksi mestilah terkandung sebuah
ideologi, main mind, yang secara langsung atau tidak langsung mengakui bahwa sesuatu yang baik
harus diperjuangkan dan dimenangkan. Cerita yang pada akhirnya memenangkan perjuangan tokoh
putih mampu memberikan katarsıs yang melegakan setiap pembaca. Itu artinya adalah kemenangan
moral. Tampaknya akan terlihat tidak lazim dan tidak jelas ideologi apa yang ingin diketengah dan
diperjuangkan jika cerita fiksi pada akhir penyelesaiannya memenangkan tokoh hitam yang
notabene adalah penentang moral. Cerita fiksi yang demikian, seandainya ada, akan ditolak dan
tidak dipilih sebagai bacaan anak.

Tema dan moral. Dalam pembicaraan tentang unsur tema sebelumnya jelas terlihat bahwa
tema, yang dipahami sebagai gagasan utama dan atau makna cerita, tidak lain adalah juga moral.
Artinya, tema tidak lain adalah moral. Itu adalah penyederhanaan pemahaman yang tidak dapat
ditolak walau sebenarnya tema lebih dari sekadar moral. Tema mengemban misi yang lebih besar
daripada moral. Namun, dalam cerita fiksi anak penyederhanaan pemahaman tersebut merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Hal itu terlihat, misalnya, dalam pemilihan bacaan cerita fiksi
kita sering mempertanyakan apa atau bagaimana tema yang dikandungnya, baik atau tidak,
mendidik atau tidak, dan jika jawabannya ya, seberapa jauh kadarnya. Pemertanyaan-pemertanyaan
tersebut pada hakikatnya juga mempertanyakan moral.

Macam moral cerita. Macam moral cerita fiksi dapat bermacam-macam dan berbagai-
bagai jenisnya, tergantung dari sudut pandang mana itu semua dilihat. Nurgiyantoro (2005:324-5)
mengemukakan bahwa dilihat dari sudut persoalan hidup manusia yang terjalin atas hubungan-
hubungan tertentu yang mungkin ada dan terjadi moral dapat dikategorikan ke dalam bebrapa
macam hubungan. Dari sudut ini moral dapat dikelompokkan ke dalam persoalan hubungan
manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan sesama, hubungan manusia dengan
lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Berdasarkan keempat hubungan tersebut
moral dapat dirinci ke dalam jenis-jenis tertentu, yang dapat dipandang sebagai variannya, yang
secara konkret ditemukan dalam sebuah cerita, yang jumlahnya relatif lebih banyak. Dalam hal ini
moral ditafsirkan berdasarkan sikap dan perilaku tokoh.
Misalnya, adanya rasa percaya diri, tidak mudah menyerah, dan merasa mampu dan
tertantang untuk menghadapi persoalan adalah contoh beberapa karakter yang dimiliki tokoh Kunti
dalam Kapten Bola yang semuanya dapat dikategorikan sebagai moral yang berhubungan dengan
diri sendiri. Contoh yang lain misalnya, adanya perilaku suka membantu kesulitan orang tua dan
adik, rasa dan perilaku setia kawan, mendamaikan kawan-kawan yang berkonflik dengan orang
lain, dan tidak mendendam walau dijahati oleh kawannya adalah contoh karakter tokoh Ito dalam
novel Ito yang dapat dikategorikan ke dalam hubungan tokoh dengan sesama. Demikian pula halnya
dengan kategori-kategori lain yang secara konkret bentuk varian kemunculannya dapat ditemukan
dalam bacaan cerita fiksi.
Dalam sebuah novel atau cerita pendek anak dapat saja ditemukan sejumlah moral yang
ingin disampaikan dalam kategori yang berbeda. Namun, kategori dan varian mana yang lebih
intensif berbeda antara cerita fiksi yang satu dengan cerita fiksi yang lain. Dalam cerita-cerita fiksi
pendek yang ditampilkan dalam majalah- majalah anak yang mengusung misi agama tertentu,
misalnya majalah TK Islam dan Aku Anak Sholeh, moral religius sering terlihat diutamakan
daripada jenis ajaran moral yang lain. Moral religius juga terasa kuat pada novel Masih Ada Hari
Esok (Pipiet Senja). Cerita- cerita fiksi dalam majalah-majalah yang lain, termasuk yang diumum-
kan lewat surat kabar dan novel-novel yang terbit mandiri, apa moral yang dikandungnya
tergantung pada kemauan pengarang.
Teknik penyampaian moral. Teknik penyampaian moral tidak berbeda halnya dengan
teknik penyampaian tema, yaitu dapat bersifat eksplisit dan implisit, penyampaian langsung atau
tidak langsung, secara terang-terangan atau terselubung. Teknik penyampaian yang disebut pertama
bersifat menggurui, sedang yang kedua membiarkan pembaca anak untuk memahami dan
menemukannya sendiri. Apa yang dikemukakan tentang fungsi tema yang didaktis juga berlaku
untuk moral, dan bukankah tema merupakan suatu bentuk moral juga, apalagi dalam fiksi anak.
Jadi, moral dalam sastra pun hadir dengan cara-cara yang wajar sejalan dengan perkembangan alur
cerita dan karakter tokoh. Sastra kata Lukens (2003:132) hadir tidak untuk mengajar, melainkan
membantu kita untuk memahami sesuatu.
Teknik penyampaian moral secara langsung pada umumnya berwujud petuah langsung oleh
penulis cerita, lazimnya dalam bentuk narasi, dan tidak menjadi bagian aksi-reaksi alur dan atau
karakter tokoh. Dalam bahasa yang ekstrem pengarang keluar dari alur cerita yang dibangunnya
sekadar untuk memberi petuah. Teknik ini menjanjikan kejelasan moral yang diajarkan kepada
pembaca anak, tetapi tidak ada seorang pun yang suka digurui dengan cara demikian. Kegiatan
membaca cerita fiksi adalah keasyikan dan kenikmatan untuk memperoleh cerita yang dapat
memuaskan rasa ingin tahu, dan bukannya aktivitas yang disengaja untuk mencari petunjuk.
Teknik penyampaian moral secara tidak langsung lazimnya dilakukan lewat jalinan cerita
dan karakter tokoh. Dengan demikian, aspek moral tersebut, seperti halnya tema, menjadi bagian
dari unsur cerita. Unsur cerita yang paling praktis dan lazim dijadikan sarana penyampaian moral
adalah alur dan karakter tokoh itu. Hal itu dapat dipahami karena cerita fiksi tidak lain adalah kisah
tentang tokoh, dan tokoh-tokoh itulah yang merupakan pelaku dan penderita peristiwa dan konflik.
Di sela-sela bercerita lewat alur dan tokoh moral ikut mengalir. Jadi, yang ditemui pembaca adalah
cerita, tetapi jika dipahami secara lebih intensif di dalamnya terdapat sesuatu yang lebih berharga
daripada sekadar cerita dan tokoh ceritanya, dan itulah moral. Lewat ajaran moral yang langsung
diaksikan dalam cerita dan perilaku tokoh, harapannya, anak akan dapat terbantu dalam memahami,
menjalani, dan menghadapi tantangan hidup.
Namun, penentuan penyampaian moral yang secara langsung dan tidak langsung atau
eksplisit dan implisit itu, tampaknya, kenyataannya tidaklah eksak benar. Jika dalam sebuah cerita
fiksi ditemui adegan pemberian nasihat oleh seorang ibu kepada anaknya agar bersikap dan
berperilaku yang baik, misalnya, akan dikelompokkan ke dalam teknik langsung atau tidak
langsung, eksplisit atau implisit, tampaknya masih dapat diperdebatkan. Bahwa nasihat itu
disampaikan lewat alur dan tokoh cerita, berarti ia masuk menjadi bagian cerita, dan artinya moral
itu disampaikan secara tidak langsung. Namun, kenyataan bahwa nasihat itu dikatakan secara
gerang-terangan dan terlihat menggurui, walau lewat tokoh dan alur sekalipun, penyampaian moral
itu terlihat menjadi langsung dan eksplisit. Teknik semacam itu jika terlalu sering dijumpai akan
terasa mengganggu kelancaran cerita dan kenikmatan membaca cerita.

6. Sudut Pandang
Hakikat sudut pandang. Sudut pandang (point of view) dapat dipahami sebagai cara
sebuah cerita dikisahkan. Abrams (via Nurgi- yantoro, 2005:248) mengemukakan bahwa sudut
pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana
menampilkan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah
teks fiksi kepada pembaca. Jadi, sudut pandang pada hakikatnya adalah sebuah cara, strategi, atau
siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengungkapkan cerita dan gagasannya.
Pemilihan sudut pandang dalam sebuah cerita fiksi dalam banyak hal akan mempengaruhi
kebebasan, ketajaman, dan keobjektifan dalam bercerita, dan itu juga berarti mempengaruhi kadar
plausibilitas dan atau kemasukakalan, cerita.
Secara lebih konkret dan spesifik sudut pandang adalah "siapa yang melihat, siapa yang
berbicara", atau "dari kacamata siapa sesuatu itu dibicarakan". Pertanyaan tentang "siapa" itu
mengusung jawaban bahwa ia dapat berupa siapa saja: anak atau dewasa, anak atau orang tua, anak
sekolah atau guru, perempuan atau laki-laki, teman atau musuh, orang yang secara langsung
mengalami atau tidak, dan lain- lain. Ia memang dapat tokoh siapa pun, dari status sosial apa pun,
dari latar belakang apa dan mana pun, dan dari usia mana pun yang kesemuanya tergantung apa
maunya si pengarang. Namun, pemilihan "siapa" tersebut juga membawa konsekuensi logis, yaitu
masing- masing memiliki kelebihan dan sekaligus keterbatasan-keterbatasan.
Sebuah cerita yang mengangkat tokoh anak membawa konsekuensi bahwa segala sesuatu
yang dikisahkan juga harus mencerminkan atau sesuai dengan cara dan kemampuan anak dalam
memandang dan menyikapi suatu persoalan. Kesesuaian sikap dan perilaku anak tersebut dihhat
dari kacamata psikologi, yaitu apakah sikap dan perilaku itu sesuai dengan tingkat perkembangan
kejiwaan anak pada usia tertentu. Sama-sama anak pun akan bersikap berbeda- beda tergantung
pada latar belakang sosial kehidupannya, dan itu juga berpengaruh terhadap sikap dan perlaku
dalam memandang dan memperlakukan sesuatu. Jika kesemuanya oke-oke saja, pembaca dewasa
juga akan menerima cerita itu sebagai sebuah kewajaran. Dalam sebuah cerita fiksi pun-terutama
untuk cerita fiksi realisme hal itu penting untuk diperhatikan sebagai salah satu pertanggung-
jawaban logika untuk membuat cerita yang dikisahkan itu plausibel.
Macam sudut pandang. Sudut pandang lazimnya dibedakan berdasarkan bentuk persona
yang mengisahkan cerita. Berdasarkan bentuk persona itu kemudian dapat dibedakan adanya sudut
pandang persona pertama dan persona ketiga, tetapi bentuk persona kedua jarang dimanfaatkan
selain sebagai variasi penuturan saja (lihat Nurgiyantoro, 2005:269-71). Berdasarkan kedua bentuk
persona tersebut Lukens (2003:168) membedakan sudut pandang ke dalam empat kategon, yaitu
satu kemungkinan dari sudut pandang orang pertama dan tiga kemungkinan dari orang ketiga.
Pembagian Lukens yang dimaksud secara lengkap adalah: (1) sudut pandang orang pertama (first-
person point of view), (ii) sudut pandang orang ketiga mahatahu (omniscient point of view), (iii)
sudut pandang orang ketiga terbatas (limited omniscient point of view), dan (iv) sudut pandang
objektif atau dramatik (objective (dramatic) point of view). Menurut Mitchell (2003:267) sudut
pandang orang pertama dan ketiga masih dominan, tetapi dalam penulisan cerita kontemporer
keduanya telah dikreasikan sedemikian rupa sehingga tampil lebih menarik.

Secara lebih konkret pembagian sudut pandang berdasarkan bentuk persona tersebut
kemudian dipadukan dengan "stapa" tokoh pemilik persona itu sebagaimana dikemukakan
sebelumnya. Misalnya, sebuah cerita dituturkan dengan sudut pandang "aku", dan si aku itu adalah
seorang anak yatim yang miskin. Atau, cerita dituturkan dengan sudut pandag "dia", dan si dia itu
ada sejumlah anak yang berbeda-beda latar belakang sosialnya, misalnya ada yang berasal dari
keluarga miskin, kaya, di rumah si anak harus bekerja keras membantu ibunya, sedang yang lain
bermanja-manja, dan lain-lain. Adanya perbedaan pemilihan sudut pandang dan latar belakang
sosial para tokoh tersebut menuntut perbedaan sikap dan perilaku dalam memandang suatu
persoalan, dan itu artinya ada perbedaan cerita.
Sudut pandang persona pertama. Sudut pandang persona pertama, gaya aku,
menampilkan kisah dengan tokoh "aku" sebagai pusat pengisahan, sebagai yang empunya cerita.
Tokoh "aku" lazimnya menjadi tokoh protagonis yang mengisahkan apa yang dialami dan disikapi,
baik hanya terjadi dalam batin maupun yang secara nyata dilakukan secara verbal dan nonverbal.
Cerita fiksi yang menampilkan sudut pandang dengan cara ini seolah-olah terlihat sebagai kisah
biografis: tokoh aku itulah yang menjadi pusat pengisahan yang dikisahkan jalan hidupnya. Tokoh-
tokoh lain menjadi penting dan dipentingkan sepanjang ada kaitannya dengan tokoh "aku".
Gaya ini dapat menampilkan kisah tokoh "aku" secara cermat menyangkut segala hal yang
dialaminya dengan plausibilitas yang tinggi, tetapi ia menjadi amat terbatas jika menyangkut apa
yang dialami dan dirasakan oleh tokoh lain. Sebagaimana halnya dalam kehidupan nyata, kita hanya
dapat memahami apa yang dirasakan dan dilakukan oleh orang lain jika orang lain tersebut
mengatakannya. Jadi, cerita tidak dapat begitu saja meloncat dari tokoh ke tokoh lain dengan
leluasa tanpa terkait langsung dengan "aku". Cerita fiksi yang mempergunakan sudut pandang "aku"
misalnya cerpen "Puasa Pertama" (Tri Wiyono)", "Teror Bisul" (Dwiyanto)"., dan "SMS" (Satwika
Prabaskara). Tampaknya, cerita fiksi anak lebih banyak dikisahkan dengan sudut pandang orang
ketiga daripada orang pertama.
Sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang orang ketiga, gaya dia, menampilkan kisah
dengan tokoh dia sebagai pusat pengisahan. Tokoh "dia" muncul dengan sebutan nama, misalnya
Ito, Kunti, Harry Potter, atau dengan kata ganti seperti ia-dia-mereka. Sudut pandang orang ketiga
ini dibedakan ke dalam dua jenis berdasarkan kemampuannya mengakses informasi terhadap hal-
hal yang dapat dan tidak dapat dikisahkan, yaitu sudut pandang dia mahatahu (omniscient point of
view) dan sudut pandang orang ketiga terbatas (limited omniscient point of view).
Sesuai dengan sebutannya, sudut pandang orang ketiga mahatahu menoleransi penceritaan
beberapa tokoh tokoh sekaligus, berpindah-pindah dari satu tokoh ke tokoh yang lain, baik yang
menyangkut berbagai peristiwa yang dilakukan dan ditimpakan secara nyata maupun berbagai
peristiwa batin. Pengarang dapat mengisahkan apa yang terjadi di hati dan pikiran tokoh dan apa
yang dilakukan secara nyata yang dapat diindera, serta aksi-reaksi yang terjadi di antara para tokoh,
seolah-olah pengarang menjadi sumber informasi yang mengetahui segalanya. Kesemuanya itu
dilakukan demi kelancaran cerita tanpa harus mempertanggungjawabkan dari mana semua hal yang
dikisahkan itu diperoleh. Hal-hal itulah yang dipandang sebagai, antara lain, kelebihan sudut
pandang tersebut. Tokoh-tokoh cerita yang dikisahkan dapat berfungsi sebagai tokoh protagonis dan
antagonis. Cerita fiksi anak pada umumnya ditulis dengan sudut pandang ini. Novel dan cerpen
yang telah disebut di atas seperti Ranggamorfosa Sang Penakluk Istana, Ito, Moko, Kapten Bola,
Harry Potter, Eragon, dan beberapa judul cerpen seperti "SMS", "Penghuni Rumah Kosong", "Kursi
Malas Kakek", "Polah Bidadari Kecil", dan "Putri dan Bintang" adalah contoh-contohnya
Sudut pandang orang ketiga terbatas, di pihak lain, tidak memberi kebeasan kepada
pengarang untuk mengisahkan perihal tokoh sebagaimana sudut pandang dia mahatahu. Sesuai
dengan sebutannya juga, pengarang memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi yang dapat
dikisahkan, baik yang menyangkut jumlah tokoh maupun peristiwa-peristiwa karena posisinya yang
hanya berangkat dari seorang tokoh. Posisi pengarang mirip pengamat suatu kejadian, misalnya
pengamat sepakbola yang hanya berdiri di pinggir lapangan, yang hanya dapat melaporkan segala
sesuatu yang dapat dilihat dan didengarnya, dan itu tidak lebih. Tokoh cerita yang dijadikan "dia"
sebagai pengamat lazimnya tokoh protagonis yang dapat memberikan komentar atas peristiwa-
peristiwa yang terjadi dan dilakukan tokoh- tokoh lain.

7. Stile dan Nada


Stile') dan nada merupakan dua hal yang terkait erat. Jika stile berkaitan dengan masalah
pilihan berbagai aspek kebahasaan yang dipergunakan dalam sebuah teks kesastraan, nada adalah
sesuatu yang terbangkitkan oleh pemilihan berbagai bentuk komponen stile tersebut. Jadi, nada
pada hakikatnya merupakan sesuatu yang terbentuk, terbangkitkan, atau sebagai konsekuensi
terhadap pilihan stile.
a. Stile
Ketika pembaca berhadapan dengan sastra, dengan cerita fiksi, secara kasat mata yang
dihadapi adalah kata-kata, larik-larik, struktur kalimat, dan alinea-alinea. Sebagai sesuatu yang
ingin diungkapkan, cerita tenggelam di balik kata-kata itu. Cerita tersebut, juga berbagai unsur
pesan yang lain, hanya dapat hadir dan dihadirkan lewat kekuatan imajinasi di rongga pikiran dan
perasaan pembaca dengan perantara kata-kata yang secara faktual dibacanya itu. Artinya, harus
melalui kata-kata itulah cerita dan pesan dapat sampai kepada pembaca. Hal itu berarti betapa besar
peran kata-kata dalam rangka penyampaian cerita.
Aspek bahasa dalam teks sastra merupakan input bahan, sarana, atau media pengekspresian
gagasan. Namun, dalam sastra yang notabene adalah sebentuk karya seni, aspek bahasa juga
menjadi faktor penentu nilai kelitereran teks yang bersangkutan walau tujuan ekspresi itu terutama
adalah penyampaian gagasan. Aspek bahasa dalam teks sastra juga harus mendapat perhatian yang
semestinya dan tidak dikalahkan oleh berbagai aspek intrinsik yang lain. Aspek bahasa juga perlu
dikreasikan sedemikian rupa sehingga tampil indah, menarik, dan mempesona sehingga dengan
membaca bahasanya saja kita sudah dapat merasakan kenikmatan-keindahan teks-teks sastra yang
bersangkutan. Kenikmatan-keindahan itu akan lebih terasa lagi jika bahasa yang dipergunakan itu
juga komunikatif sehingga pemahaman dan penikmatan centa tidak mengalami gangguan.
Hakikat stile. Bahasa yang dipergunakan dalam teks-teks sastra dapat dipandang sebagai
representasi sebuah stile, yaitu stile penulisnya. Stile (style) itu sendiri dapat dipahami sebagai
sebuah cara pengungkapan dalam bahasa, cara bagaimana seseorang mengung- kapan sesuatu yang
akan diungkapkan (Abrams, via Nurgiyantoro, 2005:276), atau bagaimana seorang pengarang
mengemukakan sesuatu sebagai ekspresi apa yang mau dikatakan (Lukens, 2003:185). Stile pada
hakikatnya adalah cara pengekspresian jatidiri seseorang karena tiap orang akan mempunyai cara-
cara tersendiri yang berebda dengan orang lain. Dalam hal ini stile dapat disamakan dengan cara
seseorang berpakaian yang berbeda-beda selera dari orang ke orang.
Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan yang meliputi aspek bunyi, leksikal, struktur
gramatikal, dan penggunaan berbagai sarana retorika yang memperindah penuturan seperti
pemajasan (figures of thought), penyiasatan struktur (figures of speech), dan pencitraan (imagery).
Selain itu, sebagai sebuah teks tertulis aspek ejaan (grafologi) juga menjadi bagian stile
sebagaimana halnya lafal juga bagian dari stile bahasa lisan. Jadi, stile tidak lain adalah seluruh
tampilan kebahasaan yang secara langsung dipergunakan dalam teks- teks sastra yang bersangkutan.
Dengan demikian, keindahan sebuah stile sebuah teks kesastraan dilihat dan dipertimbangkan lewat
keseluruhan aspek kebahasaan tersebut dan bagaimana fungsi dan dukungan tiap aspek itu dalam
mendukung pengekspresian gagasan secara tepat. Dalam ungkapan lain, bagaimana peran dan
fungsi tap aspek itu dalam mendukung capaian efek keindahan.
Secara sederhana wujud pengungkapan kebahasaan dalam setiap teks dapat dibedakan ke
dalam dua hal, yaitu apa yang ingin diungkapkan dan bagaimana cara mengungkapkan. Aspek
pertama menunjuk pada gagasan dan pesan, isi, sedang yang kedua pada bahasa, bentuk. Aspek
bahasa dalam kaitan ini dapat dipandang "sekadar" sebagai sarana mengekspresikan, manner of
expression, media of reprentation, atau bahkan sebagai drees of thought. Bahasa (stile) dapat
dipandang sebagai 'bungkus pikiran' atau 'media representasi' dari cerita dan pesan yang ingin
disampaikan. Dengan demikian, menarik atau tidaknya cerita, sampai atau tidaknya pesan, dalam
banyak hal akan dipengaruhi atau bahkan ditentukan oleh kualitas stile. Hal itu terlebih lagi terasa
dalam bacaan cerita fiksi anak-anak.
Aspek gagasan (isi) dan stile (bentuk) erat berkaitan walau bukannya tidak dapat dipisahkan.
Sebuah gagasan yang sama dapat diungkapkan ke dalam beberapa bentuk stile. Hal inilah yang
menye- babkan stile dapat disiasati, dimanipulasi, dan didayagunakan sedemi- kian rupa lewat
kreativitas bahasa sehingga tampil sebagai sebuah bentuk yang indah, mempesona, dan
mengesankan. Stile tidak hanya berfungsi untuk menampilkan cerita, karakter tokoh, penstiwa dan
alur, konflik dan berbagai persoalan kehidupan yang dikisahkan, tetapi bahkan juga merupakan
cerita itu sendiri (Lukens, 2003:186-187). Stile yang indah yang mampu membawakan cerita
dengan sangat mengena sehingga mampu mempengaruhi pembaca akan menjelma menjadi sesuatu
yang amat mengesankan dan memberikan dampak yang mendalam. Maka, stile tidak bedanya
dengan cerita itu sendiri.
Itulah sebabnya Mitchell (2003:34) mendifinisikan stile sebagai kualitas tulisan. Apakah
tulisan dalam sebuah karya itu memberikan sesuatu yang berguna bagi pembaca, atau seberapa
banyak tulisan itu memberikan kemanfaatan kepada pembaca. Berhadapan dengan sebuah cerita
yang menarik, baik dari segi cerita maupun stile, tidak jarang kita tidak menyadari kualitas
bahasanya yang juga indah karena hertutup oleh keindahan cerita. Namun, jika bahasa sebuah karya
itu kurang bagus, tidak lancar, ia akan sangat terasa mengganggu dan kita menyadari betapa kurang
menariknya stile karya itu.
Komponen dan karakteristik stile bacaan sastra anak. Stile yang secara faktual dihadapi
pembaca adalah sebuah kemenyeluruhan yang jadi. Artinya, keindahan sebuah stile bukan semata-
mata karena keindahan bahasanya saja, melainkan terlebih karena secara tepat mampu mendukung
dan menampilkan cerita. Artinya, berbagai komponen stile yang ada secara bersama dan fungsional
mendukung terbentuknya sifat kemenyeluruhan itu sehingga peran masing-masing komponen tidak
lagi sepenting dan sefungsional bentuk keseluruhan- nya. Namun demikian, dalam bentuk
keseluruhannya tersebut tetap saja dapat dikenali berbagai komponen pendukungnya, dan bisa jadi
ada komponen-komponen tertentu yang terasa dominan.
Komponen stile dalam teks fiksi dapat dikenali lewat bentuk formalnya, yaitu aspek
leksikal, gramatikal (morfologi dan sintaksis), sarana retorika atau berbagai bentuk bahasa figuratif,
serta konteks dan kohesi. Aspek bunyi juga dapat dipertimbangkan, tetapi dalam fiksi ia tidak
terlalu penting dan tidak sepenting dalam teks puisi. Demikian juga aspek grafologi. Dalam
kegiatan analisis stile sebagai bagian kerja stilistika, berbagai komponen tersebut perlu
diidentifikasi, dideskripsikan, dan dijelaskan peran dan fungsi masing- masing dalam dukungannya
mencapai efek keindahan. Bahasa bacaan cerita anak haruslah sederhana, tidak terlalu kompleks,
baik yang menyangkut aspek leksikal, struktur, maupun bahasa figuratifnya. Walau demikian, ada
gradasi tingkat kompleksitas bahasa sastra anak berdasarkan tingkatan usia anak sebagai
pembacanya. Cerita-cerita fiksi anak yang tergolong sebagai bacaan anak usia dini dan untuk
memahami ceritanya bahkan masih ibacakan oleh orang dewasa, mesti bahasanya jauh lebih
sederhana dibanding cerita fiksi untuk anak usia 10, 11, atau 12 tahun yang sudah lancar membaca
sendiri. Namun, sebagai pembaca yang bersifat aktif-reseptif, termasuk yang hanya dibacakan,
anak-anak mampu memahami bahasa jauh lebih banyak daripada yang kita duga.
Kesederhanaan atau sebaliknya kekompleksan stile dapat dilihat berdasarkan komponen
stile yang mendukungnya, baik yang berupa aspek leksikal, gramatikal, bahasa figuratif, maupun
bentuk-bentuk kohesivitas dan koherensitasnya. Jika yang dipakai dalam sebuah teks adalah kata-
kata familiar dan natural yang lazim dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari dan didukung oleh
makna yang lebih bersifat denotatif, kata-kata dalam bahasa teks tersebut sederhana. Anak-anak
telah mengenal kata-kata itu dalam kesehariannya. Namun, bacaan sastra juga mengemban fungsi
memperkaya bahasa (baca: kosakata) anak. Penggunaan kata-kata yang tergolong sulit juga
dimungkinkan demi kelancaran penceritaan. Lagi pula, makna sebuah kata, walau belum dikenal
sekalipun, akan dapat ditafsirkan berdasarkan konteksnya.
Kesederhanaan struktur sintaksis, selain dilihat dari panjang pendek kalimat, juga terlebih
dilihat berdasarkan bentuk struktur yang dipergunakan dan kejelasan koherensitas dan
kohesivitasnya. Yang disebut belakangan juga berlaku untuk melihat tingkat kesederhanaan
wacana, yaitu yang berwujud hubungan antarkalimat, antaralinea, antardialog, atau antara dialog
dan narasi yang saling berselingan saling melengkapi. Struktur kalimat (dan wacana) mudah
dikenali hubungan antarunsur pendukungnya sehingga mudah dipahami maknanya, juga karena
didukung oleh kejelasan kohesivitasnya, dapat dikatakan sebari struktur yang sederhana. Jika hal-
hal terpenuhi. walau kalimat yang bersangkutan relatif panjang, ia masih boleh disebut sederhana.
Di pihak lain, kalimat yang pendek, tetapi strukturnya kompleks, bahkan tidak berlebihan jika
disebut sebagai tidak sederhana.
Berbagai bentuk bahasa figuratif atau sarana retorika, seperti pemajasan, pernyiasatan
struktur, dan pencitraan, dalam banyak hal dimanfaatkan sebagai bunga-bunga bahasa sehingga
terlihat lebih jelas peran dan fungsi keindahannya. Penggunaan berbagai sarana retorika itu
dimaksudkan untuk lebih mengintensifkan makna, di samping untuk memperindah penuturan.
Maka, penggunaan dan pemanfaatan berbagai bentuk tersebut pertama-tama harus demi kejelasan
dan intesitas makna penuturan, dan karenanya mestilah memberikan fasilitas kemudahan
pemahaman juga. Itu artinya, apa pun wujud bentuk retorika yang dipergunakan, mestilah tidak
mengabaikan kesederhanaan struktur yang dipilih. Selain itu, urusan makna denotasi dan konotası,
suatu hal yang banyak dieksplorasi dan dimanipulasikan dalam berbagai bentuk pemajasan, juga
mempertimbangkan keterjangkuan pemahaman oleh pembaca anak.
Peran bahasa dalam bacaan cerita fiksi tidak semenentukan. dalam hal pencapaian efek
keindahan, dalam teks puisi. Tetapi, ia itu berarti tetap saja tidak dapat diremehkan. Kesederhanaan
stile dalam banyak hal berarti kemudahan pemahaman cerita, dan komunikatifnya sesuatu yang
ingin disampaikan lewat cerita. Selain itu, kesederhanaan itu indah. Atau, keindahan sebuah karya
justru terletak pada kesederhanaannya, pada kelugasannya. Sesuatu yang ingin dikemukakan boleh
saja kompleks, tetapi jika dibahasakan ke dalam stile yang sederhana, maka sesuatu tersebut juga
akan menjadi sederhana. Menuturkan sesuatu yang kompleks ke dalam bahasa yang sederhana jauh
lebih sulit dan menantang daripada ke dalam bahasa yang juga kompleks.

b. Nada
Berhadapan dengan sebuah bacaan cerita fiksi kita mungkin merasakan adanya nada-nada
tertentu. Misalnya, kita merasakan adanya nada humor, bercanda, bersahabat, familiar, serius,
formal, ramah, sinis, ironis, atau yang lain. Hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak
terelakkan yang lazim dapat ditemukan dalam sebuah cerita fiksi, termasuk di dalamnya cerita fiksi
anak. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah nada itu?
Hakikat nada. Nada (tone) dapat dipahami sebagai sikap, pendirian, atau perasaan
pengarang terhadap masalah yang dikemukakan dan terhadap pembaca (Lukens, 2003:205; Leech
via Nurgiyantoro, 2005:285). Nada mencerminkan sikap dan pendirian pengarang terhadap hal-hal
yang dikisahkan dalam sebuah cerita fiksi dan sekaligus juga terhadap pembaca untuk
menggiringnya ke sikap dan pendirian yang kurang lebih sama. Lewat nada yang terbangkitkan
dalam cerita itu pengarang ingin mempengaruhi pembaca (anak) untuk memberikan sikap
sebagaimana yang diberikan secara implisit dalam cerita.
Nada selalu terbangkitkan dalam setiap pembicaraan baik lisan maupun tertulis. Dalam
bahasa lisan nada dengan mudah dapat dikenali lewat intonasi, misalnya nada datar, cepat dan
meninggi, merendah, ramah dan lemah lembut, merengek, membujuk, dan sebagainya. Dalam
bahasa tulis, di pihak lain, intonasi tidak dapat secara langsung dipergunakan, dan sebagai gantinya
adalah lewat pilihan kata tertentu yang sanggup membangkitkan nada tertentu. Dalam bacaan cerita
fiksi yang notabene adalah teks tertulis, nada dapat dibangkitkan lewat sarana kata-kata, lewat kata-
kata pilihan. Kata-kata itulah yang mampu membangkitkan nada yang mewakili sikap dan pendirian
pengarang dan sekaligus juga mampu mengajak dan mempengaruhi pembaca.
Pilihan kata dan juga berbagai aspek kebahasaan yang lain seperti struktur dan berbagai
bentuk sarana retorika- adalah urusan stile, maka itu dapat diartikan bahwa stile mempengaruhi
nada. Dalam bahasa tulis seperti cerita fiksi nada hanya dapat terbangkitkan lewat kata-kata
(bahasa!), maka kata-kata (:stile!) itulah yang membangkitkan nada dalam kesastraan. Jadi, semua
aspek stilelah yang secara konkret membangkitkan nada. Pilihan semua aspek stile mesti
menunjukkan na. Hal itu sesuai dengan apa yang dikatakan Kenny (via Nurgiyantoro, 2005:285)
bahwa stile adalah sarana, sedang nada adalah tujuan, dan salah satu kontribusi terpenting stile
adalah untuk membangkitkan nada.
Namun, hal itu tidak berarti bahwa nada secara begitu saja dapat terbangkitkan lewat stile
tanpa melibatkan aspek fiksi yang lain. Aspek bahasa yang notabene adalah sarana pengungkapan
sastra mesti berarti bahwa berbagai aspek fiksi lain, terutama tokoh, alur, tema, dan moral juga
hanya terbangkitkan dalam kesadaran pembaca lewat bahasa, dan demikian juga halnya dengan
nada. Nada humor misalnya, tidak hanya secara sendiri terbangkitkan oleh kata-kata, melainkan
juga dalam kaitannya dengan aspek yang lain mengingat keseluruhan unsur fiksi merupakan satu
kesatuan yang padu dan harmonis. Sesuatu itu dapat menjadi bernada humor karena didukung oleh
karakter dan alur, atau secara umum karena menjadi bagian centa, dan karenanya humor tersebut
pada hakikatnya merupakan hasil dari kesemua aspek cerita. Lukens (2003:206) pun menegaskan
bahwa nada tidak dapat berupa kata-kata yang terisolasi dari rangkaian keseluruhan cerita.
Macam nada. Nada itu sendiri menjadi bagian dan tersembunyi dalam cerita, dan ketika
kita membaca cerita, ia juga tersembunyi dalam kesadaran kita tanpa kita menyadarinya. Hal itu
berarti untuk menemukan nada, artinya tidak semata-mata hanya terasakan, diperlukan kesadaran
untuk maksud itu. Nada yang dapat ditemukan dalam berbagai cerita fiksi itu dapat bermacam-
macam, misalnya nada humor, bersahabat, akrab, ramah, lembut, menggurui, benci, sinis. ironis,
parodial, simpati, empati, dan lain-lain. Dalam sebuah cerita fiksi dapat saja ditemukan lebih dari
satu nada.
Salah satu nada yang penting dalam sastra anak adalah nada humor (Lukens, 2003:208).
Nada humor dapat dibangun lewat karakter tokoh, alur, dan didukung oleh situasi tertentu dan
dengan mempergunakan kata-kata tepat yang kesemuanya dapat memancing anak untuk tertawa.
Tawa anak itu penting sebagai salah satu wujud pelepasan emosi dan pertanda kepuasan, dan salah
satu tujuan penulisan sastra anak adalah untuk memberikan kepuasar itu. Cerita fiksi anak lazimnya
disertai gambar-gambar yang mengkonkretkan karakter dan alur cerita, dan gambar-gambar itu pun
sering dibuat dalam bentuk yang lucu. Gambar-gambar lucu yang bertujuan mengajak anak tertawa
itu terlihat lebih intensif pada komik dan film- film kartun.
Pada umumnya anak akan tertarik pada bacaan cerita yang bernada bersahabat, ramah,
lembut, di samping nada lucu. Lewat nada-nada yang demikianlah ajaran moral yang ingin
disampaikan lebih efektif, dan bukannya lewat nada yang jelas-jelas menggurui. Nada yang
menggurui disepakati banyak orang sebagai nada yang tidak menyenangkan, bahkan oleh pembaca
anak sekalipun. Pada bacaan cerita anak, sebenamya nada menggurui perlu dipergunakan, namun
caranya yang harus dipikirkan agar tidak terlihat mencolok. Misalnya, menggurui dalam kaitannya
dengan alur cerita yang melibatkan para tokoh sehingga seolah-olah sebagai bagian cerita yang
memang harus demikian, masih dapat ditoleransi. Penulisan cerita anak biasanya dimotivasi oleh
pengarang yang merasa terdorong untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak lewat bacaan.
Dalam batas tertentu nada dapat juga dipandang sebagai cara penyampaian sesuatu kepada
pembaca, misalnya dengan cara parodial, sinis, atau ironis. Nada parodial juga merupakan hal yang
banyak ditemukan dalam sastra anak. Cara parodial merupakan suatu teknik pengungkapan dengan
menirukan sesuatu dari orang lain, misalnya berupa gaya, karakter tokoh, cara-cara seseorang
melakukan sesuatu, dan lain-lain. Dalam parodial biasanya terkandung unsur ironi sebagai bagian
untuk mencapai efek tertentu. Karena bersifat peniruan dan di dalamnya terkandung unsur
pengulangan, Margaret Rose (via) Makaryk, 1995:604), menyebut parodi sebagai
transcontextualized repetition yang di dalamnya terdapat aspek pengulangan intertekstual dan ironi.
Ironi itu sendiri oleh Samuel Johnson (via Makaryk, 1995:572) diartikan sebagai sebuah cara untuk
mengemukakan sesuatu yang maknanya bertentangan dengan kata-kata yang dipergunakannya.
Cara parodial itu biasanya terkait dengan nada-nada yang lain, misalnya ironis, sinis, lucu, humor,
simpati, empati, dan lain-lain.
Cerita dengan tokoh-tokoh binatang misalnya, sampai batas- batas tertentu dapat dipandang
bernada parodial atau menyampaikan sesuatu dengan cara parodial. Tingkah laku verbal dan
nonverbal para tokoh itu, misalnya kancil, kera, gajah, harimau, buaya, dan lain-lain dapat
dipandang sebagai personifikasi manusia, yaitu bahwa manusia itu bermacam-macam sikap dan
perilakunya. Tokoh-tokoh binatang itu mewakili, menirukan, atau mencerminkan tingkah laku
manusia, dan memang secara sengaja dimaksudkan untuk memparodikan manusia dan hubungan
antarmanusia dengan segala dan berbagai karakternya sebagai sarana "pembelajaran" secara tidak
langsung kepada anak. Cerita fikst realistik itu pun pada hakikatnya merupakan parodi dari
kehidupan manusia.

8. Lain-lain: Judul
Setiap cerita fiksi pasti mempunyai judul, dan judul itulah lazimnya yang pertama-tama
dibaca oleh pembaca. Bahkan, orang yang belum tentu sempat membaca keseluruhan suatu cerita
fiksi juga masih sempat membaca judulnya walau secara sekilas. Judul bukan bagian dari unsur
intrinsik teks fiksi, tetapi karena ia merupakan sesuatu yang pertama-tama dibaca dan dikenali
pembaca, menarik juga untuk dibicarakan. Selain itu, judul mesti terkait dengan unsur fiksi yang
lain. Atau, paling tidak dapat dipertanyakan apakah ada keterkaitan antara judul dan unsur fiksi
yang lain, dan jika ada bagaimanakah wujud keterkaitannya.
Pertanyaan-pertanyaan itu merupakan sesuatu yang menarik mengingat pengarang cerita
fiksi tidak begitu saja memberi judul karyanya, tetapi pasti ada pertimbangan-pertimbangan
tertentu. Dalam hubungan ini hal penting yang perlu dikaji adalah menemukan apa kaitan antara
judul dan isi cerita. Dengan demikian, pemahaman judul cerita fiksi dalam banyak hal membantu
pemahaman cerita secara keseluruhan.
Tema dan tokoh utama. Banyak cerita fiksi anak yang diberi judul dengan tema cerita,
makna cerita, tokoh utama, atau gabungan antara tokoh utama dan tema. Bahwa isi cerita berkaitan
dengan judul sudah sering terlihat. Hal itu tidak lepas dari kesadaran pengarang bahwa cerita fiksi
itu pertama-tama dan terutama dikonsumsikan kepada anak-anak, maka pemberian fasilitas
kemudahan pemahaman dan daya tarik dipentingkan. Cerpen-cerpn yang dimuat di Kompas pada
lembar "Kompas Anak, Cerita-cerita" sebagaimana ditunjukkan di atas juga banyak diberi judul
yang menggambarkan tema dan gabungan tokoh dengan tema. Misalnya, cerpen yang berjudul
"Teror Bisul" (Dwiyanto), "Gitar Impian" (Naomi)", "Bunga Ajaib" (Masrevi Yuliandri), "Cita-Cita
Milik Semua Orang" (Eko S Rahayu)", "Planet yang Hilang" (Ipal)", atau, "Sayembara yang Anch",
"Guci Ajaib", dan "Lukisan Payung", dan lain-lain.
"Cita-Cita Milik Semua Orang" misalnya, mengisahkan seorang bocah perempuan miskin,
Ela, yang bercita-cita menjadi pramugari agar dapat membelikan ibunya sebuah kalung mutiara
dalam sebuah karangannya, tetapi ia diejek Doni yang anak orang kaya. Doni kemudian dimarahi
Ibu Guru dan disuruh minta maaf. Ibu Guru menjelaskan bahwa cita-cita itu milik semua orang dan
tidak hanya milik anak orang kaya. Karangan Ela akhirnya terpilih sebagai karangan terbaik dan
akan diikutsertakan dalam lomba mengarang tingkat kabupaten. Jadi, judul tersebut mengisyaratkan
tema dan sekaligus moral cerita fiksi itu.
Selain tema cerita, cerita fiksi anak juga tidak sedikit yang diberi judul dengan tokoh utama
cerita, dan ia adalah tokoh anak-anak atau remaja. Misalnya, novel Moko dan Ito (Arswendo), Si
Jamin dan Si Johan (Merari Siregar), Eragon (Christoper Paolin), Rangga- morfosa Sang Penakluk
Istana (Nuranto Hardyansah) dan lain-lain. Selain itu, juga banyak ditemukan judul cerita yang
menggabungkan tokoh utama dengan tema (topik) utama. Contoh yang paling terkenal adalah serial
novel Harry Potter (J.K. Rowling). Novel-novel itu sebenarnya mempunyai sub-subjudul yang
menggambarkan topik utama atau tema utama yang menjadi inti cerita, dan kesemuanya selalu
bersangkut-paut dengan Harry Potter sebagai tokoh utama cerita. Judul-judul serial novel itu adalah
(dalam terjemahan Indonesianya) seri I: Harry Potter dan Batu Bertuah, seri II: Harry Potter Kamar
Rahasia, seri III: Harry Potter Tawanan Azkaban, seri IV: Harry Potter Piala Api, dan seri V: Harry
Potter dan Orde Phonix (ketika buku ini ditulis seri VI masih dalam proses penulisan
pengarangnya).
Semua novel Harry Potter tersebut pada intinya mengisahkan orang permusuhan antara
Harry Potter, seorang bocah siswa sekolah sihir Hogwarts, dan Lord Voldemord, seorang penyihir
yang teramat jahat dan kejam. Harry amat mendendam Voldemord karena kedua tuanya dibunuh
olehnya ketika ia masih bayi dan menyisakan luka di dahinya hingga kini. Justru luka itu yang
membuat semua orang tahu siapa Harry Potter karena ketika akan membunuhnya, sihir Voldemord
justru membalik mengenai dirinya sehingga tubuhnya luluh lantak Sebaliknya, Lord Voldemord
juga amat mendendam Harry Potter karena dialah satu-satunya orang yang berhasil menggagalkan
rencana-rencana jahatnya. Voldemord berusaha meminjam tubuh orang lain untuk mencelakai
Harry, namun selalu saja berhasil dikalahkan. Namun, mulai seri IV Lord Voldemord telah berhasil
menemukan tubuhnya kembali sehingga dapat berhadapan langsung dengan Harry Potter. Tiap seri
menceritakan kehidupan Harry Potter selama satu tahun belajar di sekolah sihir Hogwarts itu. Jadi,
usia Harry Potter, yang pada seri I adalah 10 tahun, bertambah satu tahun tiap kali masuk ke seri-
seri selanjutnya.
Judul-judul cerita lain yang serupa misalnya adalah cerpen- cerpen dalam Kompas edisi
Minggu di atas seperti "Polah Bidadari Kecil" (R. Nuralam), "Putri dan Bintang" (QYanuari N.),
"Mawar Merah Buatan Nuning" (Roffi'ah)", dan "Ling dan Sayap Camar" (Arief Januarsa)". "Polah
Bidadari Kecil" misalnya, mengisahkan tokoh Bidadari Bungsu yang biasa dipanggil Bidadari Kecil
yang ingin mengikuti bidadari-bidadari dewasa turun untuk mandi di telaga di bumi. Ketika
permintaannya dituruti, Bidadari Kecil justru ingin berlama-lama ada di bumi untuk bermain di
pantai. Maka, ketika bidadari lainnya terbang kembali, ia sengaja meronta agar jatuh dipantai, dan
di sana ia bermain-main dengan manusia. Namun, ketika matahari telah tenggelam semua anak
manusia pulang, sedang Bidadari Kecil kini sendinan dan tidak dapat pulang. Maka, ia menangis
kebingungan, dan akhirnya dibantu oleh bidadari yang lain untuk kembali ke Negeri Angkasa. Jadi,
judul "Polah Bidadari Kecil" itu selain menunjukkan siapa tokoh utama cerita, juga sekaligus
menunjukkan berbagai kejadian yang merupakan polah tokoh itu dan yang sekaligus merupakan
topik utama cerita.
Latar. Selain hubungan-hubungan di atas, judul cerita juga sering berupa penunjukan latar
tempat dan benda-benda tertentu yang lain yang semuanya berhubungan dengan isi cerita. Tema
ceria itu sendiri berkaitan dengan masalah lain. Misalnya, cerpen-cerpen dalam Kompas edisi
Minggu yang telah disebut sebelumnya seperti "Bila Leak Berkeliaran di Connecticut" (Mujibah
Utami), "Kursi Malas Kakek" (Retno Wijayanti), "Penghuni Rumah Kosong" (Arie Wb), dan
"SMS" (Satwika Prabaswara). Cerita-cerita yang mengambil judul demikian terlihat lebih
membutuhkan pemahaman yang baik untuk mengetahui hubungan antara judul dan isi cerita.
Namun demikian, secara umum hubungan yang ada masih mudah dipahami oleh anak sekalipun.
"Bila Leak Berkeliaran di Connecticut" misalnya, mengisahkan tokoh Tini yang sekolah di
Amerika mengikuti orang tuanya. Di sekolah ia sering diremehkan oleh Mary, kawan sekelasnya,
dan Mary menantangnya untuk bersainsg mengumpulkan dana yang lebih banyak untuk
disumbangkan ke UNICEF pada saat pesta Halloween. Tini merasa tertantang, maka ia sibuk
mencari akal perihal pakaian yang akan dikenakannya. Dengan dibantu Ratri, kawannya, akhirnya
ia memilih pakaian leak dan Ratri barong bali. Sambil menari tarian Bali sekaligus dengan iringan
kasetnya keduanya berkeliling mencari dana dari rumah ke rumah, dan oleh orang yang pernah ke
Bali ia diberi dolar banyak. Tini mengumpulkan lebih banyak dana daripada Mary. Jadi, cerpen ini
berkisah tentang persainsgan antara dua anak untuk tampil lebih menonjol.
Cerpen "SMS" menampilkan tema penipuan lewat sms seperti yang lazim dijumpai dalam
keseharian dewasa. Cerpen ini mengisahkan tokoh "aku" yang memperoleh hadiah HP dari
neneknya. Suatu ketika ia mendapat sms bahwa ia memperoleh hadiah komputer, tetapi oleh
kawan-kawannya diperingatkan, jangan-jangan itu hanya penipuan. Maka, mereka sepakat untuk
mencari alamat yang ditunjuk dalam sms, dan ternyata itu alamat fiktif. Di sana mereka melihat
seorang ibu yang memaki-makı karena telah tertipu. Si Ibu itu telah mengirimkan uang satu juta
rupiah, tetapi hadiah tidak ada, bahkan di kantor itu tidak ada orang yang tahu. Satpam kantor itu
memberitahukan bahwa untuk hari itu saja telah ada beberapa orang yang datang ke tempat itu
untuk mengambil hadiah dan mereka semua tertipu. Jadi, cerpen itu sendiri bertemakan penipuan
lewat sms, dan kemudian sms itulah yang dipakai sebagai judul cerpen yang juga terlihat tepat dan
efektif.

Anda mungkin juga menyukai