Anda di halaman 1dari 8

Teori Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Prosa Fiksi

Annisa Sabrina_1201618054

Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik (struktur dalam) secara faktual akan kita jumpai secara langsung
pada saat membaca prosa fiksi.

1. Tema
a. Pengertian Tema
Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. la selalu berkaitan dengan berbagai
pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius. dan
sebagainya. Dalam hal tertentu, sering tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan
utama cerita. Tema (theme), menurut Stanton (1965: 20) dan Kenny ( 1966: 88) adalah
makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Untuk menentukan makna pokok sebuah
novel, kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang makna pokok, atau tema, itu
sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan
yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto, 1986: 142).
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang
menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam
banyak hal bersifat "mengikat" kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa-konflik-situasi
tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah
bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar
pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu.
Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak. Dengan demikian,
untuk menemukan tema sebuah karya fiksi,ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan
cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit
ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang "disembunyikan". walau belum tentu juga
dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak (secara
sengaja) disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca.
Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya
ia akan "tersembunyi" di balik cerita yang mendukungnya.
Sebagai sebuah makna, pada umumnya tema tidak dilukiskan, paling tidak
pelukisan yang secara langsung atau khusus. Eksistensi dan atau kehadiran tema adalah
terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita, dan inilah yang menyebabkan kecilnya
kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut. Hal ini pulalah antara lain yang tidak
mudahnya penafsiran tema. Penafsiran tema (utama) diprasyarati oleh pemahaman
cerita secara keseluruhan. Namun, adakalanya dapat juga ditemukan adanya kalimat-
kalimat (atau: alinea-alinea, percakapan) tertentu yang dapat ditafsirkan sebagai sesuatu
yang mengandung tema pokok. Berdasarkan kriteria bahwa makna utama (baca: tema
pokok) bersifat merasuki keseluruhan cerita,
b. Penggolongan tema
 Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang
hanya "itu-itu" saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam
berbagai cerita, termasuk cerita lama. Tema-tema tradisional. walau banyak variasinya,
boleh dikatakan, selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan
(Meredith & Fitzgerald. 1972: 66). Pada umumnya tema-tema tradisional merupakan
tema yang digemari orang dengan status sosial apa pun, di manapun, dan kapan pun.
Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja
mengangkat sesuatu yang tidak lazim, katakan sesuatu yang bersifat nontradisional.
Karena sifatnya yang nontradisional, tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan
harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan,
mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.
c. Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley dalam Dictionary of World Literature (1962: 417), mengartikan tema sebagai
subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita.
Shipley membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan—semuanya
ada lima lingkatan:
Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (dalam tingkat kejiwaan) molekul, man
as molecul. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan
oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan. Ia lebih menekankan mobilitas
daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. Unsur latar dalam novel
dengan penonjolan tema tingkat ini mendapat penekanan, Contoh karya fiksi yang
mengangkat tema ini, misalnya, Around the World all Eighty Days karya Julius Verne.
Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan)
protoplasma, man as protoplasm, Tema karya sastra ini lebih banyak menyangkut
masalah seksualitas—suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial. man as socious.
Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan
sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan
lain-lain yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain
berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, kasih,
propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial
lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial
Keempat, tema tingkat egoik. Manusia sebagai individu, man as individualism.
Disamping sebagai makhluk sosial manusia juga digambarkan sebagai manusia yang
individual yang senantiasa menuntut pengakuan atas hak individualnya. Masalah
individual tersebut diantaranya egois, harkat, martabat, dan sikap dan sifat manusia
lainnya.
Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum tentu
setiap manusia mengalami dan atau rnencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema
tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah
religiositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan
hidup, visi, dan keyakinan.
2. Tokoh dan Penokohan
Istilah "tokoh" menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan
karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh
pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan
karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan-
menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu
dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones (1968: 33), penokohan
adalah pelukisan gambaran yang jelas ten tang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita.
Penggunaan istilah "karakter" (character) sendiri dalam berbagai literatur
bahasa lnggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-
tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi,
dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton, 1965: 17). Dengan
demikian, character dapat berarti 'pelaku cerita' dan dapat pula berarti 'perwatakan'.
Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimilikinya, memang, merupakan
suatu kepaduan yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu, tak jarang, langsung
mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya. Hal itu terjadi terutama
pada tokoh-tokoh cerita yang telah menjadi milik masyarakat, seperti Datuk
Meringgih dengan stfat-sifat jahatnya, Tini dengan keegoisannya, Hamlet dengan
keragu-raguannya, dan sebagainya. Tokoh cerita (character), menurut Abrams
(1981: 20), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan. Dari kutipan tersebut juga dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh
dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca.
Istilah "penokohan" lebih luas pengertiannya daripada "tokoh" dan "perwatakan"
sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan,
dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup
memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran
pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Tokoh,
watak, dan segala emosi yang dikandungnya itu adalah aspek isi, sedangkan teknik
pewujudannya dalam karya fiksi adalah bentuk. Jadi, dalam istilah penokohan itu
sekaligus terkandung dua aspek: isi dan bentuk. Sebenarnya, apa dan siapa tokoh
cerita itu tak penting benar selama' pembaca dapat mengidentifikasi diri pada tokoh-
tokoh tersebut (Jones, 1968: 33), atau pembaca dapat memahami dan menafsirkan
tokoh-tokoh itu sesuai dengan logika cerita dan persepsinya.
Dalam buku apresiasi sastra, berdasarkan fungsinya tokoh dapat digolongkan
atas: (1) tokoh utama, (2) tokoh pembantu, (3) tokoh tambahan. Berdasarkan
perannya, ada tiga jenis tokoh, yaitu protagonist, antagonis, serta tritagonis.
Tokoh protagonist adalah tokoh yang mengemban misi terwujudnya cerita sesuai
tema atau amanat. Tokoh antagonis adalah tokoh penentang tokoh protagonist agar
cerita terwujud. Tokoh titagonis adalah tokoh pendukung tokon protagonis dan
antagonis.
3. Watak dan perwatakan
Watak biasa juga disebut karakter. Ia berhubungan erat dengan tokoh.
Watak adalah ciri, sifat, sekaligus sikap yang dimiliki oleh tokoh. Perwatakan
merupakan cara kerja pengarang untuk menggambarkan watak tokoh. Ada 3 cara
kerja yang sering dilakukan pengarang untuk menggambarkan watak tokoh,
yaitu berdasarkan:
a. Dimensi fisiologis
Pengarang menggambarkan watak tokoh melalui ciri fisik tokoh.
b. Dimensi psikologis
Pengarang menggambarkan psikis tokoh.
c. Dimensi sosiologis
Pengarang menggambarkan keadaan dan hubungan sosial antartokoh.
4. Alur dan plot
Alur yaitu rangkaian cerita yang dijalin berdasarkan sifat logis.
Pergerakan alur suatu prosa fiksi dapat diidentifikasi secara jelas berdasarkan
urutan waktu kejadian atau kronologisnya. Berdasarkan urutan peristiwa, alur
dapat digolongkan menjadi:
1) Alur maju (progresif)
2) Alur mundur (regresif)
3) Alur gabungan (compound)
Alur merupakan struktur gerak cerita yang erat kaitannya dengan plot,
karena plot terdapat di dalam jalan cerita. Alur dan plot sama-sama mengandung
rangkaian peristiwa, namun plot lebh dari sekadar rangkaian peristiwa
(Nurgiyantoro, 2000).
Plot menagandung tahapan berupa:
1) Perkenalan
2) Perumitan
3) Konflik
4) Klimaks
5) Antiklimaks
6) Penyelesaian
5. Latar (seting)
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran
pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa~peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981: 175). Latar
memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk
memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang
seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi

 Unsur Latar
1. Latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi.

2. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah "kapan" terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya ftksi.
3. Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
4. Latar fisik dan spiritual
Latar tempat, berhubung seeara jelas menyaran pada lokasi tertentu,
dapat disebut sebagai latar fisik (physical setting). Latar yang berhubungan
dengan waktu, walau orang mungkin berkeberatan, tampaknya juga dapat
dikategorikan sebagai latar fisik sebab ia juga dapat menyaran pada saat tertentu
secara jelas.
Dalam buku Apresiasi Sastra Indonesia ada 3 unsur penting pada latar cerita,
yaitu: (1) latar tempat, (2) latar waktu, (3) latar situasi atau latar sosial.

5. Gayar Bahasa
Gaya Bahasa adalah nuansa maupun cara pengarang memproduksi cerita
melalui fitur-fitur Bahasa. Bahasa merupakan medium penyampai prosa fiksi,
sehingga struktur cerita dengan Bahasa sangat berkaitan erat stuktur cerita
dengan Bahasa yang dipergunakan oleh pengarang. Dalam pengembangan
cerita, pengarang sering berpeluang melakukan penyimpangan terhadap Bahasa
sehari-hari. Hal ini dilakukan untuk mencapai ketepatan diksi dalam
menyampaikan maksudnya atau untuk mencapai efek keindahan sesuai
kehendaknya pengarang memiliki kewenangan untuk mengolah bahasanya. Hal
ini biasa dikenal sebagai licencia potica.

6. Sudut pandang
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan,
atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Ada beberapa
macam sudut pandang, yaitu:
a. Sudut Pandang Persona Ketiga: "Dia"
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga,
gaya "dia", narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia,
dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus
menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kala ganti. Hal ini akan
mempermudah pembaca untuk mengenali tokoh yang diceritakan atau siapa
yang bertindak.
Sudut pandang "dia" dapat dibedakan ke dalam dua golongan
berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan
ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan tokoh "dia", jadi bersifat mahatahu, di lain
pihak ia terikat, mempunyai keterbatasan "pengertian" terhadap tokoh "dia"
yang diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja.

b. Sudut Pandang Persona Pertama: ”Aku"


Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona
pertama, first-person point of view, "aku", jadi gaya “aku” narator adalah
seseorang ikut terlibat dalam cerita. 1a adalah si "aku" tokoh yang berkisah,
mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, selfconsciousness, mengisahkan
peristiwa dan tindakan, yang diketah dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan,
serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Kita, pembaca,
menerima apa yang diceritakan oleh si "aku", maka kita hanya dapat melihat dan
merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku”
tersebut.
Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan
berdasarkan peran dan kedudukan si "aku" dalam cerita. Si "aku" mungkin
menduduki peran utama, jadi tokoh utama protagonis, atau mungkin hanya
menduduki peran tambahan, jadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku
sebagai saksi.

c. Sudut Pandang Campuran


Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih satu
teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang
lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya. Kesemuanya itu tergantung dari
kemauan dan kreativitas pengarang, bagaimana mereka memanfaatkan
berbagai teknik yang ada demi tercapainya efektivitas penceritaan yang
lebih, atau paling tidak untuk mencari variasi penceritaan agar memberikan
kesan lain. Pemanfaatan teknik-teknik tersebut dalam sebuah novel
misalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan kelebihan dan keterbatasan
masing-rnasing teknik.
Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam sebuah
novel, mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan
teknik "dia" mahatahu dan "dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan
teknik "aku" sebagai tokoh utama dan "aku" tambahan atau sebagai saksi,
bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara
"aku" dan "dia" sekaligus.
7. Amanat
Amanat ialah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui
karyanya kepada pembaca atau pesan yang dihasilkan setelah pembaca selesai
menuntaskan pembacaannya terhadap prosa fiksi. Amanat dapat disampaikan
pengarang secara tersurat maupun tersirat. Pembaca dapat menemukan amanat
tersurat dan tersirat sekaaligus dalam suatu prosa fiksi.

Unsur Entrinsik
Unsur entrinsik merupakan unsur pembangun prosa fiksi dari luar. Unsur
entrinsik terdiri atas lima faktor yaitu fakor sosial, faktor keagamaan, fakor
budaya, faktor latar belakang dan pandangan hidup pengarang, dan nilai-nilai
yang terkandung dalam prosa fiksi.
1. Faktor sosial, misalnya latar belakang masyarakat saat proses penulisan prosa
fiksi. Kondisi dan ekonomi pun termasuk di dalamnya.
2. Faktor keagamaan yang melatarbelakangi karya sastra maupun nilai-nilai yang
disematkan dalam karya sastra.
3. Faktor budaya, misalnya budaya yang melatarbelakangi karya lahir dan kental
dengan di dalamnya memengaruhi cerita.
4. Faktor latar belakang pengarang, misalnya dilihat dari sisi biografi, psikologis,
dan aliran sastra yang dia yakini.
5. Nilai-nilai yang terkandung di dalam prosa fiksi yang mendukung keutuhan
cerita, misalnya: nilai moral, nilai pendidikan, nilai religius, nilai budaya, nilai
filosofis, dan nilai hak asasi.
Daftar Pustaka

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.
Suhita, Sri dan Rahmah Purwahida. 2018. Apresiasi Sastra Indonesia dan
Pembelajarannya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai