Anda di halaman 1dari 4

A.

HAKIKAT SASTRA

Hakikat adalah segala sesuatu yang berada pada sesuatu yang paling dasar dari sebuah
konstruksi pemikiran. Dalam pendapat lain dikemukakan bahwasanya hakikat adalah sebuah
akar.

Dalam bahasa Indonesia, kata sastra itu sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuna yang berarti
tulisan. Istilah dalam bahasa Jawa Kuna berarti "tulisan-tulisan utama". Sementara itu, kata
"sastra" dalam khazanah Jawa Kuna berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kehidupan.
AKar kata bahasa Sansekerta adalah sas yang berarti mengarahkan, mengajar atau memberi
petunjuk atau instruksi. Sementara itu, akhiran tra biasanya menunjukkan alat atau sarana.
Dengan demikian sastra berarti alat untuk mengajar atau buku p

Petunjuk atau buku instruksi atau buku pengajaran. Di samping kata sastra, kerap juga kata
susastra kita di beberapa tulisan, yang berarti bahasa yang indah--awalan su pada kata susastra
mengacu pada arti indah.

B. Ciri-ciri Sastra
Jan Van Luxemburg (1984) dalam Pengantar Ilmu Sastra (1984:5) menyebutkan ciri-ciri sastra
khususnya kekhasannya pada masa Romantik. Dia menyebutkan sebagai berikut:

1. Sastra adalah sebuah ciptaan atau kreasi. Karena sastra adalah kreasi, maka sastra
bukanlah imitasi atau tiruan. Penciptanya disebut dengan seniman lantaran
menciptakan sebuah dunia baru.
2. Sastra bersifat otonom. Ini berarti tidak mengacu pada sesuatu yang lain. Sastra tidak
bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselaran di dalam karyanya sendiri.
3. Sastra memiliki unsur koherensi. Artinya, unsur-unsur didalamnya memiliki keselarasan
antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan dengan bentuk atau ungkapan tertentu.
Hubungan antara bentuk dan isi bersifat fleksibel.
4. Sastra berisi tentang sintesis atau unsur-unsur yang selama ini dianggap bertentangan.
Pertentangan tersebut terdiri atas berbagai bentuk. Ada pertentangan yang disadari,
tanpa disadari, antara ruh dan benda, pria dan wanita dan seterusnya.
5. Sastra berisi ungkapan-ungkapan yang "tidak bisa terungkapkan". Penyair
menghasilkan kata-kata untuk memotret sebuah fakta aktual atau imajinatif yang tidak
bisa digambarkan oleh orang lain. Ketika dijelaskan oleh sastrawan, maka fakta itu
kemudian terlihat jelas oleh orang-orang awam atau pembaca.

C. Unsur-unsur Pembangun Karya Sastra


Pada dasarnya karya sastra dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Keduanya berperan penting supaya sebuah karya sastra bisa tercipta dengan rapi dan cerita
dapat tersampaikan dengan jelas ke para pembaca.

 Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Yang termasuk dalam
unsur intrinsik adalah tema, alur, tokoh, penokohan, latar/setting, sudut pandang dan amanah.

1. Tema

Setiap fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. Penulis
menuliskan watak para tokoh dalam karyanya dengan dasar tersebut. Dengan demikian
tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tema merupakan hal yang paling penting dalam
seluruh cerita. Tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan mengenai
kehidupan yang membentuk gagasan utama dari suatu karya sastra . Scharbach (dalam
Nurasiah, 2006: 11), mengatakan bahwa istilah tema berasal dari bahasa latin yaitu tempat
untuk meletakkan suatu perangkat. Jadi tema adalah ide sebuah cerita atau sesuatu yang
menjadi pengarang yang dibeberkan melalui tindakan-tindakan tokoh cerita itu terutama tokoh
utama. Tema yang baik harus bersama di dalam unsur cerita.

2. Alur

Alur adalah rangkaian cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin
2002: 83). Menurut Sukade ( 1987: 3), alur mula-mula dikaitkan dengan unsur cerita atau
pencerita, kemudian berkembang sebagai akibat logis dari berbagai unsur secara kompleks.
Menurut Hayati dan Winarno (1990: 10), alur adalah rangkaian peristiwa atau kejadian yang
sambung menyambung dalam suatu cerita. Dengan demukian alur merupakan suatu jalur
lintasan atau urutan suat peristiwa yang berangkai sehingga menghasilkan suatu cerita.

Pengarang mengkomunikasikan novelnya melalui tokoh-tokohnya. Tokoh ini melaksanakan


peran masing-masing sehingga timbul situasi konflik menurut Ginarsa (1989: 11), adanya alur
disebabkan oleh terbentuknya kekuatan-kekuatan yang terjadi karena adanya problema yang
perlu diselesaikan.

3. Tokoh

Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya dalam peristiwa dalam kehidupan sehari-hari selalu
diembang oleh tokoh-tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengembang peristiwa
dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita disebut tokoh. Sedangkan cara
pengarang menampilkan tokoh atau disebut penokohan.

Menurut Santoso (1995), tokoh adalah pelaku yang memainkan peran dalam cerita rekaan.
Pada umumnya tokoh dalam cerita rekaan adalah manusia, tetapi dapat pula tokoh yang
berwujud binatang, benda-benda, tumbuhan, dewa, jin, dan roh yang diinsankan.

4.. Penokohan

Penokohan yang ditemukan dalam cerita fiksi adalah pelaku imajinatif, pelaku yang ada dalam
benak pengarang. Pelaku imajinatif itu tidak akan dijumpai sekalipun dicari di seluruh dunia.
Pelaku imajinatif tidak dapat ditangkap oleh alat indera. Ia hanya dapat ditangkap oleh daya
imajinasi seseorang melalui raut muka, bentuk tubuh dan perilakunya. Karakter tokoh atau
pelaku dapat dikenal lewat penggambaran baik yang dilakukan pengarang pencerita maupun
oleh pelaku.

Hayati dan Winarno (1990), mengungkapkan bahwa dalam penggambaran, seorang pengarang
dapat melakukannya dengan dua cara yaitu secara eksposisi dan dramatik. Cara eksposisi, yaitu
penggambaran tokoh dikatakan memiliki sifat-sifat yang sama jika sifat-sifat yang sama itu
memiliki bersifat lahiriah maupun batinia. Misalnya pengarang menggambarkan kondisi
badannya, umumnya kesukaannya, kesopanannya dan sebaliknya. Sebaliknya cara dramatik,
yaitu pengarang secara tidak langsung menjelaskan sifat-sifat atau watak tokoh tatapi hanya
memberikan gambaran berupa tindakan atau gerak-gerik seorang tokoh.

Jadi, penokohan atau karakter adalah pengembangan watak yang meliputi pandangan, perilaku,
keyakinan dan kebiasaan yang dimiliki para tokoh yang mempunyai tempat tersendiri dalam
suatu karya sastra.

5. Latar

Latar adalah keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya suatu kejadian.
Menurut Suroto (1989: 94), latar adalah penggambaran situasi, tempat dan waktu serta
suasana terjadinya peristiwa.

Hudson (dalam Nurasiah 2006: 14), membedakan latar sosial dan latar fisik. Latar sosial
mencakup penggambaran keadaan mastarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikap-sikapnya,
adat, kebiasaan, cara hidup, bahasa dan sebagainya yang melatari peristiwa. Adapun yang
dimaksud latar fisik adalah tempat wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya.

6. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan pelaku dalam cerita termasuk diri
pengarang itu sendiri. Sudut pandang cerita itu menyatakan bagaiman fungsi pengisah
(pengarang) dalam sebuah cerita, apakah ia mengambil seluruh bagian langsung dalam seluruh
peristiwa atau sebagai pengamat terhadap objek dari seluruh tindakan-tindakan dalam cerita
itu. Pengarang dapat bertindak sebagai tokoh utama yaitu mengisahkan adegan dengan
menggunakan kata ganti orang pertama (aku, kami). Pengarang dapat juga sebagai pengamat
dengan menggunakan kata ganti orang kedua (kau, kamu).

7. Amanah

Amanah adalah gagasan yang mendasari karya sastra atau pesan yang ingin disampaikan
pengarang kepada pembaca atau pendengar. Menurut Sudjiman (1992), amanah adalah suatu
ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang yang diangkat dari sebuah karya
sastra.

 Unsur ekstrinsik

Unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur yang mempengaruhi sebuah karya sastra tetapi tidak
berasal dari dalam karya sastra itu sendiri. Sesuai dengan namanya, unsur ekstrinsik berasal
dari luar karya sastra.Dalam sebuah karya sastra, unsur-unsur ekstrinsik yang
mempengaruhinya antara lain, yaitu kondisi Pembuatan Karya Sastra latar Belakang Pengarang,
dan nilai-nilai.

1. Kondisi Pembuatan Karya Sastra

Kondisi pembuatan karya sastra menjelaskan waktu dan tempat dibuatnya suatu karya sastra.
Beberapa karya sastra juga menerangkan kondisi sosial, budaya, politik masyarakat pada saat
dibuatnya karya sastra.

Terdapat beberapa kondisi yang bisa mempengaruhi karya sastra, yaitu kondisi negara, kondisi
politik, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi. Ketika negara sedang mengalami krisis ekonomi,
konflik politik, atau fenomena tertentu, biasanya gaya bercerita dan cerita-cerita yang
dihasilkan pun berhubungan dengan hal tersebut.

2. Latar Belakang Pengarang

Latar belakang pengarang menjadi salah satu hal yang harus ada dalam setiap karya sastra.
Untuk menghargai hasil karya sebuah karangan, biasanya dicantumkan informasi mengenai
penulis yang meliputi latar belakang pendidikan, usia, jenis kelamin, latar belakang keluarga,
kondisi psikologis penulis, bahan bacaan penulis, dan hobi penulis. Hal-hal tersebut tentu saja
akan mempengaruhi pola pikir dan juga pola bercerita dari penulis karya sastra tersebut.

3. Nilai-Nilai

Sering kali, dalam menuliskan suatu cerpen, novel, atau cerita jenis apapun, penulis kerap
menyisipkan nilai ataupun norma yang menurutnya penting. Nilai-nilai yang dapat dipetik
dalam karya sastra biasanya berkaitan dengan nilai moral, sosial, budaya, dan nilai agama.
Nantinya, nilai-nilai tersebut dikontekskan dengan norma yang berlaku di masyarakat seperti
norma agama, norma adat, norma hukum, dan norma kesusilaan.

Dengan metode ini, seorang penulis dapat menjadia agen perubahan sosial dan juga
mempengaruhi pola pikir pembaca-pembacanya dengan nilai yang dianggapnya benar.

Anda mungkin juga menyukai