Anda di halaman 1dari 16

Afthonul Afif

Pernahkah kita merenungkan bagaimana identitas kita terbentuk hingga seperti sekarang ini?
Apakah cara kita memilih identitas kita hari ini tergantung pilihan sadar kita ataukah karena tuntutan
tuntutan sosial yang tidak sepenuhnya dapat kita kendalikan?
Melampaui tradisi kognitivisme yang menekankan pilihan rasional individu dalam proses
pembentukan identitas, yang menempatkan lingkungan sosial semata sebagai backdroop, buku ini
mencoba menawarkan perspektif yang lebih bernilai "sosial" bahwa, pilihan rasional individu
bukanlah sesuatu yang semata menjangkar dalam dunia kognitifnya, melainkan sesuatu yang terus
menerus berada dalam tegangan dan negosiasi dengan lingkungan sosialnya.
Identitas dengan demikian adalah konsekuensi dari proses interaksi, negosiasi, kompromi dan
pertentangan antara individu dengan individu lain juga dengan struktur sosial yang diterima
bersama. Identitas tidak dapat dipahami sebagai pengetahuan individual saja, melainkan lebih
sebagai pengetahuan sosial. Proses menentukan dan ditentukan berlangsung berbarengan, dan itu
terjadi dalam momen representasi. Dengan kata lain, identitas itu terkonstitusikan, bukan sesuatu
yang kita ambil atau diberikan begitu saja.

Benarkah manusia adalah juragan bagi nasibnya sendiri atau sebaliknya, korban dari kekuatan-
kekuatan yang tak dapat dibendung yang meremukkan tulang-tulang individualitasnya? Adakah
orang, laki-laki atau perempuan, yang benar-benar telah, atau sedang, atau akan, menyetak suatu
sejarah?

Mengapa peristiwa-peristiwa, rekaman dari apa yang kita sebut sebagai sejarah, berlangsung seperti
itu? Apakah semua itu terjadi secara sembarangan dan tiba-tiba? Adakah sejumlah visi utama
tunggal, atau sejumlah prinsip-prinsip gabungan, yang sanggup memaparkan tindakan-tindakan
manusia yang teramat luas di dalam sebuah medan peperangan, atau di dalam sejarah lahirnya
bangsa-bangsa?
Buku mungil yang bentuk awalnya adalah sebuah esai ini, ditulis Berlin dengan analisis yang brilian
dan tajam terhadap usaha Tolstoy dalam menjawab peliknya pertanyaan-pertanyaan di atas yang
tertuang dalam karya agungnya, War and Peace, salah satu novel terbesar dalam sejarah
kesusastraan dunia. Melalui buku ini kita akan tahu tentang pokok-pokok gagasan yang menopang
filsafat sejarahnya Tolstoy, tentu menurut tafsir penulisnya.

Buku ini hanya 130 halaman. Bila sehari kuterjemahkan 4 halaman saja, sebulan ke depan sudah
kelar. Dengan catatan saya tidak keseringan baper dan melow di tengah desakan deadline yang
menikam. Semula saya iseng saja membacanya karena sedang jenuh-jenuhnya dengan pekerjaan
utama, namun karena daya pikatnya yang aduhai, saya pun iseng pula menerjemahkannya. Siapa
tahu ada penerbit yang bersedia menerbitkannya. Tenang, honornya tidak akan saya pakai buat
foya-foya (emang berapa sih honor menerjemahkan buku? Hahaha), namun akan saya
redistribusikan buat para pelapak buku sebagai sumbangsih ala kadarnya bagi industri perbukuan
nasional. Hahaha.

Layak diterbitkan dalam bahasa Indonesia, biar kita setidaknya memiliki wawasan agar tidak lugu-

lugu amat dalam meninjau sejarah kita. 😊

Saya menganggap mereka berdua adalah esais terbaik di indonesia setidaknya hingga hari ini.
Mereka sama sama menempatkan kehidupan wong cilik dan dilema dilema yang ditimbulkan akibat
perjumpaan yang intens antara tradisi dan modernitas sebagai subjek permenungan.
Esai esai mereka hidup bersama pihak pihak dan peristiwa peristiwa yang mereka angkat.
Ketidakberjarakan ini membikin esai esai mereka bukan sekadar parade gagasan belaka, melainkan
serupa fotografi yang memiliki daya bidik yang presisi atas realitas namun juga tidak dapat dibilang
sebagai sebuah penyederhanaan tanpa gagasan. Lebih tepat dikatakan, esai esai mereka adalah
tampilan realitas apa adanya dengan bingkai pandangan personal yang khas.
Satu perbedaan yang cukup menonjol dari keduanya adalah cara mereka memandang priyayinisme
atau secara umum feodalisme. Mahbub secara terang terangan menunjukkan ketidaksukaan bahkan
kemuakan terhadapnya, sementara Kayam dalam taraf tertentu masih membela dan
mempertahankannya. Mahbub adalah fotografer jalanan sementara Kayam adalah fotografer studio.
Dari sini saya tahu perlu lebih bersimpati dan mengidolakan siapa. Hehe

4
Disesap hingga kerak-keraknya untuk menemukan saripati hidup. Tak kunjung menemukan? Bikin
secangkir lagi. Tak kunjung lagi? Bikin secangkir lagi. Begitu seterusnya, hingga pahit manis "nyawiji"

Saya selalu kagum dengan cara pikiran dan tubuh berelasi. Tubuh bisa sangat tangguh dan adaptif
terhadap tekanan berat dan pendisiplinan ketat ketika pikiran menyuntikkan sugesti, misal "jangan
sakit!" atau "bertahanlah!" Namun saat pikiran melepasnya, oleh sebab tersinggung saja tubuh bisa
langsung ambruk.

Sekarang perhatikan riwayat terbentuknya intimitas atau kedekatan hubungan. Ikatan-ikatan


tradisional telah merenggang, bahkan tercerai-berai bersama-sama. Masyarakat lebih lemah
dibanding sebelumnya, demikian juga lingkungan pergaulan dan keluarga. Rentang hidup
hubungan-hubungan tumbuh lebih singkat dan singkat. Usia perkawinan juga semakin singkat,
misalnya, begitu juga teman-teman yang berubah-ubah dari bulan ke bulan, jika tidak dari minggu
ke minggu atau hari ke hari. Pertemuan-pertemuan mengubah struktur-struktur sosial masa lalu, dan
orang-orang terus-menerus memiliki kedekatan hubungan tanpa kepastian, memiliki kedalaman
tanpa komitmen. Di masa lalu, kedekatan selalu bermakna komunal, namun sekarang menjadi
situasional. Keluarga dan pertemanan masih erat, namun sekarang kedekatan muncul di antara
orang-orang asing—di antara sesama pelancong, di sebuah kafe, dan di berbagai jenis pertemuan-
pertemuan sementara. Sangat mungkin berhubungan secara terbuka sekaligus mendalam dengan
orang asing, begitu juga dengan tetangga, teman, atau pasangan. Begitu jenis kehidupan komunal
masa lalu melemah, kondisi ini akan terjadi, terus dan terus.

7.

Kebahagiaan

Ada beberapa kelompok bangsa di dunia yang mengembangkan sikap enggan atau malu untuk
mengekspresikan kebahagiaan, atau mengekspresikan kebahagiaan secara terbuka dan berlebihan
adalah tindakan yang kurang pantas. Contohnya adalah Jerman, Swiss, dan negara-negara Nordik.
Mereka lebih memilih "sikap tengah-tengah saja." Mereka umumnya juga bangsa2 yang paling
efektif: tidak bekerja dalam jam2 panjang, namun ketika bekerja mereka sangat efektif sehingga
produktivitas mereka secara komparatif bagus.

Ada sejumlah penjelasan mengapa mereka memiliki sikap semacam itu, mulai dari kondisi alam
ekstrem, trauma kolektif di masa lalu, heroisme leluhur yang diwariskan turun-temurun, hingga
etiko-religio yang mengajarkan kesalehan dan kesederhanaan.

Di Indonesia, meski tidak bisa disebut sebagai kecenderungan kolekif, saya juga menemukan orang-
orang yang enggan/malu mengekspresikan rasa bahagia mereka. Penyebab persisnya saya kurang
tahu. Namun saya memiliki dugaan yang rasa-rasanya makin teruji kebenarannya: Orang-orang
Indonesia kurang menganggap kebahagiaan itu penting. Bagaimana bisa kita "pedhe" bicara ttg
kebahagiaan, sementara kondisi-kondisi yang memoderasi orang untuk bahagia nyaris tidak pernah
dianggap penting oleh negara? Ujung-ujungnya kebahagiaan menjadi urusan masing-masing orang,
dan persis di sini terletak paradoksnya, orang yang paling sering atau bersemangat bicara ttg

kebahagiaan, justru termasuk mereka yang paling tidak bahagia. 😁

Positifnya, orang Indonesia memiliki ketabahan di atas rata-rata bangsa lain. Meksi berkali-kali

dibikin tidak bahagia oleh pemimpin mereka, mereka tetap tawakkal dan berbaik sangka. 😁

8.
Di ruangan ini saya bisa berjam-jam duduk tanpa beranjak. Tidak selalu untuk membaca atau
menulis. Kadang saya hanya berdiam diri untuk memastikan apakah hidup saya sejauh ini sudah
cukup bermakna, memutuskan apa yang harus saya pertahankan dan lepaskan, merancang sesuatu
yang akan saya lakukan, memulihkan kepercayaan diri ketika pikiran diserbu ingatan tentang
kekeliruan-kekeliruan serius yang pernah saya lakukan di masa lalu, juga memulihkan daya hidup.
Pagi ini saya kembali menyinggahi ruangan ini. Saya merasa ada hal penting sedang menguasai
pikiran saya.

9.

Medsos telah menjadi sejenis pasar; pasar kepribadian. Siapa satset, plakplek, waswus, yang akan
menguasai pasar. Namanya juga pasar, di situ ada pihak yang kalah dan tersingkir, sebab di sisi
sebaliknya ada pihak yang memonopoli. Yang kalah merana, yang menang bahagia. Rantai produksi
citra-citra kepribadian hari-hari ini nyaris tidak ada bedanya dengan rantai produksi bahan-bahan
konsumsi harian kita. Bedanya, jika konsumsi jasmaniah ada batasnya, konsumsi kejiwaan tak ada
ujungnya.

Anda bisa bayangkan, betapa merananya orang-orang yang merasa perlu me-"like" unggahan2nya
sendiri. Sementara itu, mereka ini juga punya kebutuhan sama dengan umumnya orang: diakui,
dihormati, disanjung, intinya dianggap ada.
Biar semua bahagia dan bergembira, mari kita bersama-sama galakkan ibadah nge-"like" nasional.

Kata para pilsup dari eropah sana, "ada-bersama-di dunia" dalam rangka hidup "mengada-ada."😀

10

Saya tidak memiliki rencana khusus di tahun depan, selain melanjutkan rentetan rencana yang belum
tunai di tahun-tahun sebelumnya yang hanya itu-itu saja.

Kita sering membayangkan bahwa di tahun baru kita benar-benar akan menjadi manusia baru
dengan melakukan dan menikmati hal-hal baru. Kecenderungan melakukan prospeksi ini secara
psikologis memang menyenangkan, mampu menghadirkan rasa cemas yang menggairahkan.

Pikiran manusia secara evolusioner memang didesain untuk menjalankan tugas ini, bahkan pikiran
yang paling malas dan jarang digunakan sekalipun tidak bisa dicegah untuk merancang harapan dan
penebusan paling rumit dan muluk di tahun-tahun mendatang.

Namun sebaiknya kita juga tidak lupa bahwa hidup kita senantiasa diikat oleh prinsip realitas, bahwa
yang di depan itu pada dasarnya adalah selalu yang sekarang.
Selamat menikmati apa yang masih bisa dinikmati di sisa-sisa hari di 2020 ini teman-teman.

Irfan Afifi

1.

Kenyataan yang ditangkap "mata kamera" kadang lebih indah. Mungkin karena matanya ini tak
pernah memilih maupun menolak melihat apapun. Ia tak pernah melihat kenyataan menurut
gagasan benci-suka nya. Akhirnya kenyataan tampil apa adanya.

2.

Anak kecil tak pernah mencita-citakan bahagia. Karena keadaan itu sedang "berlangsung" dalam
kekiniannya. Alias tak perlu menjadi "cita-cita", atau tak perlu meraih untuk menggapainya, karena
memang sedang dialami. Orang besarlah yang mencita-citakan, menggagas, dan menginginkannya.
Mencita-citakan dan mereka-reka gagasan "kebahagian" yang diciptakannya sendiri, yang berawal
dari gagasan bahwa "yang saat ini" kurang sempurna, dan karenanya tak ia terima, lalu ia
proyeksikan ke depan. Karena ia gagasan yg sewenang ia ciptakan sendiri, ia tidak pernah ada di
dunia dan kenyataan ini.

3.

Penghormatan yang diberikan orang lain kepada diri kita sebenarnya hanya merupakan buah dari
tindakan penghormatan kita terhadap orang lain. Itu rumus kemanusiaannya.

Jadi jika ada orang "meminta hormat" kepada kita tanpa melakukan tidakan serupa-- apalagi atas
nama trah, jabatan, posisi, dan kekayaan seseorang-- ia sedang berlaku sepihak dan sewenang-
wenang. Karena pada dasarnya, bukan hanya trah dan golongan tertentu yang harus mendapat
kehormatan dan penghormatan, melainkan seluruh manusia berhak mendapatnya.

4.

Dalam prasangka awangan kita, pemikiran Jawa atau bahkan Nusantara, dianggap pemikiran yang
menyepi, alias tak bersentuh dengan gagasan besar lain dunia. Lihat kutipan yang saya capture di
bawah ini.

Ini semacam rekaman bagaimana Paman Ajar (maksudnya Ki Hajar Dewantara) juga Ki Ageng
Suryomentaram bersentuhan dengan ide-ide besar dunia. Keduanya telah melahap pemikiran-
pemikiran besar di zamannya, sebagaimana metafor yang dituturkan Buku Langgar,
"Main pedang-pedangan (bengkat), musuhnya Nabi Khidir, Sultan Agung, dan Sunan Kalijaga.
Bermain kartu dengan Batara Narada dan Siddharta. Yang mengocok kartu Pitagoras dan Plato.
Saling beradu mulud dengan Prabu Jayabaya. Adu gulat dikeroyok oleh Laose dan Konghucu. Yang
ngompori Aristoteles dan Immanuel Kant."

Jadi pemikir awal Indonesia tidak jadi pembebek yang mengulang pemikiran Barat semata. Mereka
melahirkan dan merumuskan pemikirannya sendiri.

Aan Masyur

1.

Hubungan saya dengan ibu saya adalah sesuatu yang rumit. Kami jarang bertemu dan, sejak saya
tamat Sekolah Dasar, kami tidak pernah tinggal serumah. Ibu saya lebih banyak menyampaikan
pikiran-pikirannya dengan diam. Dia tampaknya lebih percaya kepada kekuatan mata daripada
kata.

Hari ini, 22 Desember, seperti biasa, orang-orang merayakannya sebagai Hari Ibu. Saya juga senang
melakukan hal serupa. Tadi pagi, ibu saya menelpon. Dia tidak meminta ucapan dan hadiah. Tidak.
Dia mengabarkan bahwa dia sedang berada di kampung kelahiran saya di sebuah desa bernama
Desa Biru, di pelosok Sulawesi Selatan. Selama ini, dia tinggal di Balikpapan. Kami—saya, dua adik
saya, dan ibu saya—sepakat merayakan hari ulang tahun ibu saya setiap 22 Desember, biar gampang
diingat. Sesungguhnya, tidak ada di antara kami yang tahu persisnya tanggal kelahiran ibu saya. Di
Kartu Tanda Penduduk perempuan bernama Safinah itu, tertulis 31 Desember 1965—tapi, begitulah
pada masa itu, semua orang yang tidak tahu tanggal lahirnya akan dianggap lahir pada 31
Desember.

Saya lahir ketika usia ibu saya belum cukup 20 tahun. Banyak kisah ibu saya yang saya tahu justru
dari orang lain. Kisah cinta ibu saya yang rumit dengan ayah saya, misalnya. Juga kisah cintanya
dengan dua pria yang suka menulis puisi sewaktu dia belum menikah dengan ayah saya. Karena
kisah cintanya dengan dua pria itulah, ibu saya juga menyukai puisi. Dia kerap meminta saya
membaca puisi melalui telepon atau sekadar mengirimkan puisi yang baru saya tulis lewat pesan
pendek. Ibu saya adalah pembaca pertama nyaris semua puisi yang saya tulis. Saya selalu
membayangkan pembaca puisi-puisi saya sedekat dan sejauh ibu saya.

Saya banyak menulis perihal ibu saya, baik melalui puisi maupun prosa--dan tampaknya masih akan
menulis tentang dia. Saya selalu merasa gagal menulis sesuatu yang bagus mengenai ibu saya. °
°
° (tulisan di atas adalah potongan dari catatan yang saya tulis setahun lalu pada hari yang sama
dengan hari ini.)

2.

MENUNGGU (1/3) // Tadi pagi waktu jalan-jalan di kawasan Kayutangan, Malang, saya melihat pria
tua ini duduk sendiri. Orang-orang di sana bilang nyaris setiap hari pria tua itu duduk di tempat
tersebut. Konon dia berada di sana menunggu kekasihnya yang tidak pernah datang. Ceritanya, pada
suatu hari, waktu itu ada peristiwa politik, mereka berpisah di tempat tersebut dan saling berjanji
untuk bertemu lagi di sana. Perempuan itu tidak pernah lagi datang entah karena apa. Tetapi, pria
tua itu percaya suatu hari nanti kekasihnya akan datang, maka di sanalah dia menunggu dan
menunggu dan menunggu.

MENUNGGU (2/3) // Saya mampir dan mengamati dia duduk dengan posisi seperti ini cukup lama.
Orang-orang bilang dia susah diajak ngobrol. Dia terus saja diam selama berjam-jam hingga malam,
hingga dia balik ke rumahnya, untuk datang lagi besoknya dan lagi dan lagi.

MENUNGGU (3/3) // Saya mencoba mengajaknya bicara. Ini beberapa informasi saya dapat:
Namanya Arifin. Dia tinggal di Ngantang (saya tidak tahu di mana dan seberapa jauh tempat ini dari
Kayutangan). Dia berada di sana hampir setiap hari sejak tahun 70-an (beberapa orang lain bilang
80an dan 90an). Dia menyebut satu peristiwa dan nama Soeharto berkali-kali. Dia ramah, tetapi
untuk bisa mengajaknya berbincang kita harus duduk dekat sekali karena suaranya sangat pelan.

3.

Desember 2016 ketika berkunjung ke Malang, saya bertemu dengan Pak Arifin dan menulis sedikit
kisahnya di Instagram. Menurut cerita, nyaris setiap hari dia berada di tempat yang sama di
Kayutangan untuk menanti kekasihnya yang tidak kunjung tiba. Dia dan kekasihnya berpisah pada
suatu hari karena ada peristiwa politik. Mereka berjanji untuk bertemu kembali setelah situasi aman
di tempat mereka berpisah. Maka di sanalah Pak Arifin menunggu setiap hari sejak tahun 1970-an
dan sang kekasih yang dinanti tidak kunjung datang entah karena apa. Kemarin saya menerima
kabar bahwa Pak Arifin meninggal dunia di rumah sakit, setelah ditemukan terkapar dengan kondisi
menyedihkan di tempat biasa dia menanti. Selamat beristirahat, Tuan!

Faizul Kamal

1.

Seorang teman menyalahkan gaya saya merokok. Dia menunjukkan gaya merokok yang benar
dan itu mengejutkan bagi saya. Mungkin bagi beberapa orang lainnya. Suatu waktu, teman saya
itu pergi ngopi di suatu kedai bagus dan dengan harga paling murah untuk satu cangkir kopinya
seharga minyak goreng satu liter hari ini. Di sana dia melihat seorang perempuan perokok,
selebgram dengan ribuan pengikut, menekan click ball di tengah filter rokok—jika itu ditekan
dapat mengubah rasa—dengan gigi depan sampai berbunyi gemertak. Tidak seperti gaya
merokok teman saya yang menekan click ball dengan tangan. Kejadian itu menyadarkannya,
selama ini ternyata dia merokok dengan cara yang salah dan norak bahkan amatir. Padahal
merokok, bagi dia, sama pentingnya dengan minum air putih.

Tanpa negosiasi dan kesadaran berpikir dengan dirinya sendiri, teman saya kemudian memilih
gaya merokok seperti perempuan ayu itu dan mendakwahkannya kepada saya. Keyakinan
terhadap apa yang dia anggap benar dipengaruhi rasa kalah benar dan keren sehingga
sepantasnya bagi dia untuk memperbaiki kembali apa yang kurang. Jika itu tidak dilakukan akan
membuatnya dirundung rasa tidak percaya diri (meskipun tidak seberapa tapi membayangi
pikirannya, seperti ada lubang yang harus ditutup) karena ada yang lebih benar, keren, dan tidak
norak. Gaya merokok diinterpretasikan sebagai kegiatan bermartabat dan tidak bisa dilakukan
asal-asalan.

Mengherankan. Merokok yang saya anggap biasa saja dan tidak akan ada orang lain
memperhatikan serius tata caranya, ternyata perlu gaya tertentu.

Pengamatan tentang gaya dan atribut-atribut bersolek memang banyak terjadi DEWASA INI
yang kemudian dijadikan peniruan dan tuntutan sosial bagi beberapa orang, utamanya seusia
saya. Barangkali salah satu sebab kenapa kita menjadi, meminjam istilah SGA, “konsomen
agung”: selera bagus, pilihan berkelas, tapi tidak bikin apa-apa, adalah karena pengamatan dan
peniruan tanpa kemandirian berpikir. Fenomena ini tidak semuanya dapat kita bendung. Jadi,
mari kita ambil cara mudah: asal konsumen agung tidak mudah melabeli seseorang norak, ndeso,
amatir, culun, primitif, dan memaksa orang lain sama dengannya, maka kewarasan kita masih
terjaga.

Beberapa hari lalu, ketika sedang mencari konten untuk @barisbuku, aku menemukan larik puisi
Mahmoud Darwish: “Salah satu adab mendengarkan perempuan berbicara adalah menyimak
kedua matanya terlebih dahulu.”
Di banyak tempat Ketika seorang perempuan berbicara kepadaku, kusimak kedua matanya.
Tentu, kepada lelaki pun aku demikian, tapi kamu pasti sepakat kalau mata perempuan lebih
gimanaaa gitu. Jadi, kamu pasti mengerti kenapa Mahmoud Darwish mencipta puisi seperti itu.

2.

EMPAT PEREMPUAN DI MASA LALU DI KEDUA MATA PEREMPUAN-PEREMPUAN


MASA KINI (1/4). Ketika ada seorang perempuan berbicara kepadaku dan aku menyimak kedua
matanya, sering tiba-tiba aku mengingat seorang perempuan tua di masa lalu. Itu terjadi di
beberapa perempuan.

Perempuan tua di masa lalu itu kutemui di penghujung tahun 2018. Aku berencana ke Kota Gede
untuk ziarah ke angkringan dan mencari ‘hikmah’ di makam Panembahan Senopati, tapi hujan
membuatku berteduh di beranda sebuah masjid di jalan Parangtritis. Di sana, aku melihat
seorang perempuan tua sendirian dan melamun. Aku menghampirinya, menyalami, lalu bertanya
banyak hal.

Perempuan tua itu ternyata sedang menunggu anaknya yang berada di Kulon Progo, pergi main
ke rumah temannya. Anaknya tak bisa segera pulang karena ada jalan yang terjebak banjir.

Dia jauh-jauh dari Magelang untuk mengirimi uang dan jajan. Ini dia lakukan sepekan sekali.
Anaknya mondok tahfidh di Krapyak. Bukan anak kandung, tetapi anak dari kakak
perempuannya yang sudah meninggal. Dia merawat anak yatim itu dari kecil hingga seusia
denganku, menganggapnya seperti anak sendiri.

Dia terus menunggu, menunggu, dan menunggu. Dia tak mau menunggu di pondok anaknya lalu
menitipkan jajanan dan uang ke santri lain atau pengurus pondok. Itu karena dia tidak membawa
semacam oleh-oleh untuk Bu Nyai. Kata dia, setiap dia ke pondok pasti diminta Bu Nyai
bertemu dan dia akan membantu pekerjaan Bu Nyai di dapur.

Magrib. Hujan masih belum reda. Isya. Hujan masih juga turun. Pukul 8 malam perempuan tua
itu kehabisan pulsa. Dia ingin sekali menelpon anaknya. Aku kemudian teringat seorang teman
yang jualan pulsa. Aku menelpon temanku dan meminta mengirimi pulsa kepada perempuan tua
itu. Aku senang ketika dia bisa menelpon anaknya. Tapi, nada bicaranya kali ini berbeda dari
sebelumnya. Di penghujung percakapan, air matanya jatuh. Dia menangis tersedu. Aku
merasakan kesedihan itu.

Beberapa menit setelah itu, dia membuka salah satu jajan yang dibawa. Dia menawariku untuk
memakannya. Dia berkata kalau anaknya tidak bisa pulang malam ini. Padahal besok pukul 6 dia
harus mencari bis untuk pulang. Dia akan pulang. Membawa kesedihan, membawa kembali jajan
dan uang untuk anaknya. Aku memakan kacang rebus darinya, mengunyahnya, menelannya.
Bukan kacang yang kutelan, tapi sebentuk rasa haru. Malam makin dingin dan hujan reda. Dia
bercerita kalau tadi puasa. Aku kemudian berpikir, dia bahkan tak makan apa pun, hanya minum
air putih.

Pukul 1. Dia memintaku tidur, tapi aku ngotot untuk tidak tidur. Dia tak mau tidur dan tak
menyebutkan alasannya kecuali, menjaga motorku. Aneh, pikirku waktu itu. Aku sudah tidak
lagi membantahnya. Aku pun tidur.

Subuh. Perempuan itu masih terjaga. Dia bercerita tadi malam ada yang hendak mencuri
motorku. Aku membatin, siapa sebenarnya perempuan ini? Pukul 5.30, aku mengusulkan
kepadanya kalau jajan dan uang itu biar aku saja yang mengantar ke pondok. Tapi dia menolak
dan memintaku untuk mengantarnya ke perempatan Dongkelan mencari bis.

Turun dari motor, dia memberikan jajan yang seharusnya untuk anaknya kepadaku, kemudian
mendoakanku dan memintaku untuk mampir di rumahnya, suatu saat, di belakang Pondok Al-
Hikmah, dekat Gunung Sumbing, Magelang. Aku mengiyakan.

Sampai cerita ini ditulis, aku tidak tahu di mana pondok itu. Dulu aku pernah bertanya ke banyak
orang, mencarinya di Google Maps, dan melambungkan doa-doa ke langit agar diberi petunjuk
Sang Hyang Wenang (Yang Mahakuasa) di mana rumah perempuan itu, yang tidak kuketahui
namanya, tapi tetap tidak kutemukan.

Aku pernah menjual koran di perempatan Jogokaryan dan menangis. Itu adalah tangis pertamaku di
Jogja.
Semua ini terjadi pada suatu pagi yang hujan. Aku berteduh di emperan toko helm dan menangis
karena tak satu pun koranku laku. Aku juga kesal pada seorang peminta-minta (orangnya masih
muda dan sehat) yang memakai jas hujan, yang bebas mendekati para pengendara sambil
menengadahkan tangan. Enak sekali dia, tinggal minta, dan orang-orang banyak yang iba.

Para pengendara itu mana mungkin melihatku, seorang penjual koran, yang sedang berteduh, yang
butuh sekali uluran tangan. Tapi aku tidak akan menyalahkannya. Sebab, aku berada agak jauh dari
jangkauan mereka. Harapanku cuma satu waktu itu: hujan reda dan aku bisa kembali menjajakan
koranku. Akan tetapi, hujan makin deras. Bahkan sampai siang hari.

Besok tak ada sepeser uang pun yang kupegang. Besok aku harus mengembalikan koran sebanyak
ini ke pemasok dan harus rela kalau misalnya dimarahi, dikurangi jualannya, atau bahkan disuruh
libur dulu. Besok kembali menikmati kelaparan. Besok, kalau ada teman sedang makan, aku harus
terima dua kemungkinan, ditawari makan atau dibiarkan kelaparan. Besok, besok, besok, dan
seterusnya, pikiranku adalah tentang kenapa aku memilih ke Jogja dan menjadi penjual koran seperti
ini? Bukankah lebih baik aku menerima surat lulus masuk kuliah di Surabaya?

Kalau kuingat sekarang, rasanya wagu. Untuk apa aku menangis hanya karena persoalan seperti itu?
Tapi waktu itu aku memang benar-benar tidak tahu mau apa selain menangis, yang padahal aku
tahu, menangis di situ tidak akan menyelesaikan masalah.

Hari ini, ketika melihat penjual koran di sekitaran lampu merah (terlebih ketika hujan turun), biasanya
kusempatkan membeli, meskipun tidak kubaca. Ini bukan lagi soal aku butuh koran atau tidak, tapi
soal kenangan pedih itu. Hal ini juga kulakukan pada penjual-penjual 'kecil' (yang mengais rezeki
untuk hidup dalam sehari) yang lain.

Tulisan ini ingin kuakhiri dengan seruan, yang meskipun kedengaran klise, tetap akan kukatakan:
belilah apa-apa yang mereka jual, meskipun sedikit. Hal itu akan sangat membantu. Kita tidak tahu
apa yang terjadi di baliknya.
Pesan Kebudayaan dari Perempuan Penjual Wayang (2/3)

Ada satu kisah teladan dari Gus Dur. Suatu waktu dia kebingungan mencari uang, kemudian dia
meminta seseorang untuk menjual mobilnya. Di rumah, dia menerima tamu yang meminta
amalan biar cepat dapat uang karena terlilit utang. Seseorang yang diminta Gus Dur menjual
mobil, tidak lama kemudian datang dengan kabar baik, mobil terjual. Dia memberikan uang itu
kepada Gus Dur. Belum sempat Gus Dur menghitung uang itu, dia memberikannya kepada tamu
yang terlilit hutang.

Kisah itu membekas di benakku, sampai ketika satu tahun lalu, aku menjumpai seorang
perempuan tua penjual wayang kulit pada sebuah sore yang cerah di Kampung Dero,
Condongcatur, Sleman. Ketika aku sedang membersihkan kursi-kursi untuk bersiap membuka
kedai kopi, perempuan itu berjalan dari timur membawa wayang dan menawarkannya pada
setiap orang, dari rumah ke rumah. Usia perempuan itu mungkin 50-an tahun.

Aku mengamati perempuan penjual wayang, tak ada orang yang memanggil kemudian
menanyakan berapa harga wayang itu untuk dia beli. Sebenarnya tak cocok menjual wayang di
kampung yang mayoritas dihuni orang-orang sibuk kerja, mahasiswa, dan pendatang. Kampung
Dero lebih mirip sebagai perkampungan kota dan di sini juga ada perumahan. Jadi wajar
seandainya aku ragu apa mereka pernah nonton wayang atau paham wayang?
Sampai di depan kedai Kopi Welasan, kedai kopi milikku dan beberapa teman, perempuan itu
aku panggil. Tubuhnya cukup kurus. Dia memakai kerudung dan kakinya samar-samar aku lihat,
hitam dan penuh debu.

Aku memintanya duduk, kemudian menawarinya minuman dan makanan, tetapi dia menolak.
Padahal sudah kukatakan kepadanya, meskipun aku jualan tetapi tidak akan memintanya
membayar. Sampai akhirnya dia betul-betul menolak, padahal segelas minuman sudah ada di
depannya. “Tidak, Mas. Terima kasih.” Jawabnya tanpa alasan. Dia perempuan yang sangat baik.
Aku bisa melihat dari tutur kata dan sikapnya kepadaku. Aku kemudian menanyainya banyak
hal.

Dia orang Gunung Kidul. Anaknya masih kelas 4 SD. Dia berjualan wayang kulit dari terminal
tempat dia turun lalu berjalan kaki menyusuri desa-desa. Wayang-wayang yang dijualnya itu asli
dari kulit, seharga 30-60 ribu. Aku berpikir, keuntungannya mungkin hanya 10-25 ribu. Sehari
jualan, katanya, hanya menjual 3-5 wayang.

Wayang bagiku begitu asing, bahkan nyaris tak pernah terpikirkan apalagi menggemarinya.
Seorang Indonesianis asal Belanda, Th.G. Pigeaud, memberi penjelasan bahwa wayang adalah
hasil kreasi wali-wali penyebar Islam di Jawa. Jadi, murni khas Jawa, bukan Sanskerta. Wayang
kulit di era Majapahit bahkan belum ada.

Meskipun aku lahir sebagai orang Jawa dan dididik dengan sistem pesantren yang embrionya
dari Wali Sango, wali-wali yang menyebarkan Islam di Jawa, tapi tak pernah melihat
pertunjukan wayang apalagi bisa memainkannya dan paham filosofinya.
Wayang-wayang semakin menepi dari pentas kesenian. Dan di sekeliling kita, ternyata ada orang
yang menjualnya dengan berjalan kaki sambil berteriak, “Wayang wayang! Wayang kulit asli.”
Dari desa ke desa, rumah ke rumah, di tengah hiruk pikuk sebuah kota.

Aku kembali meminta perempuan itu meminum air yang sudah kusediakan, tetapi dia malah
menyambutnya dengan pertanyaan, “Kalau ke terminal Condongcatur, dari sini masih berapa
kilo, Mas?” Aku kemudian menjawab, “Masih jauh, Bu. Saya tidak tahu pasti berapa kilo, tetapi
mungkin 4 kilometer ada.” Dia menyambung, “Ya sudah saya mau pamit dulu, Mas, terima kasih
sudah menawari saya minuman.”

Tahu dia akan pergi, aku ingin sekali membeli salah satu wayang yang dia jual meskipun tak
tahu untuk apa. Tetapi uangku sisa sedikit, sedikit sekali. Aku meyakinkan diriku untuk membeli
wayang dari perempuan ini.

“Tunggu dulu, Bu, kalau wayang yang ini berapa, Bu?” Aku menunjuk salah satu wayang yang
dia bawa.

“Mas mau beli?”

“Iya, Bu.” Kemudian dia mengambil salah satu wayang, dan menjelaskan, “Ambil yang ini aja,
ini karakternya mirip sama sampean, Mas. Bayar 25 ribu nggak apa-apa.”

Saya kaget, dan kemudian memberikan 25 ribu kepadanya. Bagaimana perempuan itu tahu
karakterku? Apakah dari segelas air yang tidak dia minum? Bisa saja.

Ramadan kemarin aku secara tak sengaja membaca Islam Berkebudayaan, buku tebal milik
seorang teman yang dia berikan kepadaku, karangan M. Jadul Maula, seorang budayawan dan
pengasuh Pesantren Kaliopak. Aku menemukan bahasan tentang salah satu tokoh wayang yang
dipilihkan perempuan itu dan sadar bahwa memang tokoh wayang itu mirip dengan karakterku.
Aku menawari Ibu itu tumpangan untuk ke terminal Condongcatur, “Kalau saya antar ke
terminal, apakah Ibu mau?” Dia dengan setengah tertawa menjawab, “Kalau sampean mengantar
saya, lalu bagaimana saya menjual wayang-wayang yang masih banyak ini?”

Kami tertawa. Dia kemudian pamit, aku menyalaminya, dan memberi tahu ke mana dia harus
berjalan ke arah terminal.

Teman-teman tercinta, aku tak perlu memberi tahu kepadamu tokoh wayang apa yang mirip
dengan karakterku. Tetapi, aku perlu mengutip ungkapan menarik dari M. Jadul Maula sebagai
penutup tulisan ini. “Wayang adalah bayangan diri sendiri. Persis seperti cermin.”

TIGA PEREMPUAN DI MASA LALU (3/3)

Ini kisah terakhir tentang perempuan di masa lalu yang ingin aku ceritakan kepadamu.

Dia sedang mengusir kucing putih di seberang gang ketika aku datang. Waktu itu malam terang
bulan pukul sembilan, pada 21 Januari 2022.

Aku tak mengira bakal sampai di depan sebuah masjid tua yang sudah lama kuketahui
cerita-cerita mistisnya, apalagi menjumpai perempuan itu. Aku hanya berjalan sekehendak hati,
menyusuri lorong-lorong labirin yang meskipun di malam terang seperti ini masih tampak ngeri,
rumah-rumah joglo tua yang mencekam, sedikit penerangan lampu, dan nyaris tak ada warga
yang terjaga di depan rumahnya atau santri-santri, peziarah, yang lewat di gang-gang ini. Kecuali
dia, si perempuan yang aku temui itu. Dia perempuan amat tua. Dia tak terkejut sepertiku ketika
kami berpapasan di depan masjid Kenepan.

Masjid Kenepan dikenal banyak ditinggali jin putih. Dari sisi sejarah dan pendidikan,
masjid ini digunakan tempat mengaji para kiai-kiai besar seperti Kiai Arwani, Kiai Turaichan
Adjhuri, Kiai Asnawi, Kiai Hasan Asy’ari Magelang, hingga Kiai Sya’roni Ahmadi.

Aku lalu menghampiri perempuan tua itu. Kami saling bertanya dan menjawabnya,
sewajar orang pertama bertemu. Dia tidak pikun dan tuli. Meskipun sesekali tidak mendengar
baik pertanyaanku. Tapi, ada satu pertanyaan yang tidak mau dia jawab. Dia tak mau memberi
tahu namanya, dan malah berbalik tanya namaku.

Pertanyaan-pertanyaanku mulai kuarahkan tentang masjid ini. Sebagai orang yang tinggal
di dekat masjid, aku meyakini dia pasti tahu cerita-cerita tentang masjid ini. Apalagi dia lahir
sebelum Indonesia merdeka, usianya hamper 90 tahun. Dia bahkan menjadi murid dari kiai-kiai
besar yang aku sebutkan di atas.

Begini cerita tentang Masjid Kenepan dari seorang perempuan tua, tidak dikurangi dan
tidak dilebih-lebihkan.

Anda mungkin juga menyukai